Telemedicine Indonesia Terhambat Biaya Mahal

Jakarta, PKMK. Penerapan telemedicine di Indonesia terhambat oleh sejumlah faktor. Satu di antaranya adalah biaya penyelenggaran infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal. dr. Erik Tapan, MHA, pengamat informatika kedokteran, mengatakan hal tersebut di Jakarta hari ini. Erik menyampaikan dengan infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal, telemedicine Indonesia menjadi tidak feasible untuk dipasarkan. “Bandwidth di Indonesia itu kan terbilang mahal,” kata dia. Kecepatan perkembangan telemedicine di Indonesia, ia mengatakan, akan sejajar dengan harga infrastruktur teknologi informasi. Semakin menurun harga tersebut, semakin cepat pula perkembangan telemedicine.

Erik menambahkan untuk saat ini yang lebih berkembang di Indonesia adalah telemedicine yang tidak memerlukan bandwidth besar. Salah satunya yaitu layanan yang bersifat konsultatif antara dokter dengan pasien. “Pokoknya, yang berkembang lebih cepat adalah telemedicine yang tidak bersifat real time,” kata Erik. Seperti apa bentuk telemedicine yang ideal di Indonesia saat ini? Erik menjawab, sekarang ada rumah sakit yang menerapkan teleconference dengan institusi pelayanan kesehatan di luar negeri. Hal yang harus diingat bahwa telemedicine yang baik adalah yang bersifat D to D, bukan D to P. Pada prinsipnya, telemedicine adalah pengobatan jarak jauh menggunakan teknologi. Itu sedari layanan konsultasi, diagnosis, sampai pengobatan. “Termasuk di situ adalah operasi,” jelas Erik.

BELANJA NEGARA 2014: Naik 20%, Pagu Indikatif Ditetapkan Rp1.900 Triliun

JAKARTA–Pemerintah menetapkan pagu indikatif belanja kementerian/lembaga negara pada 2014 sebesar Rp561,2 triliun. Pagu indikatif tersebut belum termasuk anggaran Pemilu dan BPJS yang mencapai Rp24,52 Triliun.

Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo mengatakan pagu indikatif belanja negara pada 2014 diperkirakan mencapai Rp1.900 triliun. Pagu tersebut meningkat sekitar 20% dibandingkan belanja negara APBN 2013 yang mencapai Rp1.683,0 triliun.

“Dari Rp1.900 triliun itu, resource envelop untuk lembaga sama kementerian di pusat jumlahnya Rp561 triliun. Itu secara riil nanti saat nota keuangan disampaikan, akan ditambah Rp50 triliun lagi,” tutur Menkeu seusai Rapat Kerja Pemerintah 2014 di Bappenas, Senin (8/4).

Tambahan anggaran belanja K/L sebesar Rp50 triliun, imbuhnya, merupakan pagu anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun, anggaran penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan Rp8,52 triliun dan sisanya sekitar Rp25 triliun untuk anggaran kenaikan gaji PNS.

Apabila dikalkulasi, total pagu indikatif belanja K/L pada 2014 mencapai Rp611,2 triliun. Pagu tersebut lebih tinggi dibandingkan anggaran belanja K/L dalam APBN-P 2012 Rp547,92 triliun dan APBN 2013 Rp594,59 triliun.

Dalam rapat tersebut, pemerintah memaparkan besaran dan arah kebijakan pada tahun anggaran 2014 kepada K/L dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) seluruh Indonesia.

Menkeu berharap penyusunan RKP dan RAPBN 2014 dapat berlangsung dengan efisien, menghindari duplikasi, dan menghindari berulangnya kegiatan yang perlu dianggarkan.

“Sekarang K/L akan selesaikan rencana mereka untuk dibicarakan di trilateral meeting. Jadi pos-pos yang spesifik belum dibicarakan,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Herry Purnomo mengatakan dalam penyusunan RKP dan RAPBN 2014, K/L diharapkan dapat memenuhi target pembangunan meski dengan anggaran yang terbatas.

“Biasa lah K/L minta anggaran sebesar-besarnya, tetapi kita kan kemampuan duitnya terbatas dan tidak bisa memenuhi semua,” ujar Herry.

Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, tema RKP 2014 adalah memantapkan perekonomian nasional untuk peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. (if)

(sumber: web.bisnis.com)

Asia braces for spill-over of new bird flu strain

BANGKOK, 8 April 2013 (IRIN) – Officials throughout Asia are implementing measures to protect people from a new strain of bird flu – H7N9 – that has so far infected 24 people in China, killing seven.

These are the first human infections and deaths to have been recorded from this virus strain worldwide. China’s neighbours have reacted by boosting hospital capabilities and disease surveillance, strengthening border control, issuing reminders to ban illegal poultry imports, and more vigorously testing what is imported.

Following a mass poultry culling on 5 April in Shanghai – one of the Chinese cities affected – pandemic expert and virologist Yi Guan from the University of Hong Kong told IRIN he expects human cases to “drop or stop”. But he added that experts still have much to learn about the disease.

The virus has proved to be a “low-pathogenic” virus in infected land-based birds, so it is not clear why the virus has been so severe in humans, he noted. The true spread of the disease is also still unknown.

“We have a knowledge gap and do not know the full picture. There may be people with minor infections or who are asymptomatic among [the] population as a result of H7N9,” said Yi.

Experts have not been able to learn how or why the 21 persons became infected. While some people had contact with animals or their habitats, and infections are suspected to originate in poultry, the virus’s host and source have not been lab-confirmed.

The UN Food and Agriculture Organization has noted that knowing what species is responsible for the fatal outbreak is “essential to target response actions accordingly, including trade restrictions”.

Indonesia

Since the H5N1 bird flu virus first appeared in 2003, there have been 622 laboratory-confirmed human cases globally, 371 of them fatal, according to the World Health Organization (WHO). Indonesia has seen the largest number of deaths from H5N1: 160.

“We face a similar situation to China because the high risks of the animal-human interface, and inadequate bio-security among many poultry farmers. That’s why [holding a] public awareness campaign is important, and we continue to closely monitor genetic mutations of the bird flu virus,” said Emil Agustiono, the head of Indonesia’s National Zoonosis Committee.

He said no “special measures” have been enacted as the country does not import live poultry from China.

The WHO has not advised any travel or restrictions or any special screenings linked to the flu outbreak.

Tjandra Yoga Aditama, director general for disease control and environmental health at Indonesia’s Health Ministry, told IRIN the call for “intensive surveillance” has been made to local health departments. They have also been called upon to immediately respond to “any cases of influenza-like illness and severe acute respiratory infection, which may be found in communities, hospitals and other health care providers, seaports and airports.”

Vietnam

Vietnam, which does import live poultry from China, issued a government directive on 4 April reminding officials working near the border with China to be vigilant about keeping out illegal poultry imports and about inspecting all legal imports before distribution.

Vietnam’s health ministry has designated laboratories to analyse blood samples of suspected cases.

The Institute for Tropical Diseases in the capital, Hanoi, has ready 8,000 doses of Tamiflu (reported by Chinese authorities to be effective in treating the infection at early stages), 23 respirators and two dialysis machines. On 5 April, the Health Ministry promulgated an action plan in the case of an H7N9 outbreak.

China

Local media reported that Hong Kong government officials have cautioned against panic-buying and confirmed the availability of 1,400 hospital beds to quarantine any patients infected with H7N9.

Following his visit to a local poultry market on 8 April, Hong Kong’s secretary for food and health, Ko Wing-man, told reporters that officials in Hong Kong and mainland China are collaborating to boost surveillance of all poultry imports. All poultry are to receive rapid tests for H5N1 virus as well as H7N9 before being released to the markets for sales in Hong Kong.

(source: www.irinnews.org)

Rekam Medis Elektronik Masih Banyak Berstandar Lokal

Jakarta, PKMK – Penerapan sistem rekam medis elektronik di rumah sakit seluruh Indonesia sudah lebih berkembang daripada sebelumnya. Meskipun seperti itu, dapat dikatakan bahwa rumah sakit yang menggunakan rekam medis elektronik standar internasional masih sedikit jumlahnya. Dengan demikian, rekam medis elektronik itu belum memungkinkan adanya komunikasi internasional. hal ini diungkapkan Prof. Johan Harlan, Kepala Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma di Jakarta (8/4/2013).

Demi mengatasi hal tersebut, rumah sakit ataupun lembaga kesehatan lain se-Indonesia perlu memperjelas standar rekam medis elektronik yang digunakan. Dalam hal ini, yang perlu diperjelas adalah tipe standar internasional yang hendak digunakan: versi awal atau versi open source yang kini mulai banyak ditawarkan. Saat ini yang menggunakan standar internasional masih sedikit. Sebuah rumah sakit besar di Yogyakarta sudah mulai menggunakan standar internasonal itu. Demikian pula dengan beberapa rumah sakit di Jakarta. “Tetapi, mayoritas mereka membeli software. Bukan mengembangkan sendiri,” ucap Johan lagi.

Kini sistem rekam medis elektronik di Indonesia digunakan untuk keperluan internal sebuah lembaga. Bukan untuk komunikasi antar-lembaga kesehatan. “Kementerian Kesehatan RI mencoba membuat interkoneksi itu. Namun, itu untuk koneksi data yang sudah terakumulasi bagi keperluan Dinas Kesehatan. Jadi, bukan untuk interkoneksi data pasien,” demikian Johan menjelaskan. Selanjutnya, selain memperjelas standar internasional yang akan digunakan, sudah seharusnya lembaga kesehatan di Indonesia selanjutnya mempersiapkan tenaga mumpuni untuk itu. Kemudian standar yang disepakati bersama itu perlu diimplementasikan ke seluruh lingkungan manajemen kesehatan di Indonesia. Dari segi regulasi, sebenarnya tidak ada hambatan berarti bagi Indonesia untuk lebih intensif mengembangkan rekam medis elektronik. Regulasi terbaru menyatakan bahwa, dengan syarat-syarat tertentu, data digital berstatus sama dengan data kertas. Nah, kita tinggal memerjelas definisi syarat-syarat tertentu itu.

Health minister wants sex education taught at school

Paper Edition | Page: 4

Health Minister Nafsiah Mboi has said that the Education and Culture Ministry should address the spread of HIV/AIDS by providing proper sex and reproductive health education for schoolchildren.

Nafsiah said on Wednesday that cooperation between the two ministries was important, because the Health Ministry could only prevent the rising prevalence of HIV/AIDS on the downstream by promoting safe sex, while the Education and Culture Ministry was responsible on the upstream for disseminating information to youngsters.

“The Education and Culture Ministry is also responsible [for] sharing adequate knowledge on morality, religion and ethics, while the Health Ministry is responsible [for] introducing condoms, providing health services and an even distribution of antiretroviral treatment [ARV] for patients,” she said.

Last year, following her appointment as Health Minister, Nafsiah said she would promote condom-use to youngsters, which led to rallies by those who considered it to be promoting indecency among the country’s youth.

The prevalence of HIV/AIDS in the country continues to rise. A report by the Joint UN Program on HIV/AIDS (UNAIDS) disclosed that the rate of new HIV infections in Indonesia increased by more than 25 percent between 2001 and 2011.

“Our country has not yet been successful in combating the rising prevalence of HIV/AIDS, which is mostly transmitted through unprotected sex,” Nafsiah said. “Most people who became infected were aged between 15 and 25. Therefore, […] sex and reproductive education should be introduced before high school.”

In November 2011, the ministry launched the Aku Bangga Aku Tahu (I am proud I know) campaign to improve the understanding of HIV/AIDS for people aged 15-24 years. Nafsiah pointed out that the campaign should also be supported by proper sex education at schools.

“With education, teenagers would have the mental toughness to say no to sex before marriage, unprotected sex and drugs.”

Despite the fact that he once said it was unnecessary to teach sex education in schools, Education and Culture Minister Muhammad Nuh responded to Nafsiah’s comments by saying that the new national curriculum to be implemented in July this year would integrate sex education within biology.

“Students will not only study reproductive organs […] but also reproductive health and ethics […] to prevent them from getting involved in sexual misconduct,” he said.

He added that information about HIV/AIDS would also be covered in religion and civics (PPKN) subjects.

Nafsiah reflected that the integration of sex education within curriculum subjects would not be easy to implement.

“Most teachers still see sex as a taboo issue,” Nafsiah explained. “When in fact, all people, including teenagers, deserve to be informed [about reproductive health] even though they are not yet married.”

Nuh indicated that the ministry would offer training to teachers about integrating sex education in to their subjects and extra-curricular activities.

“Educational institutions should provide a private space for students to share their problems about this issue [sex],” Nuh stated. “There should be a commitment from the country’s top officials to [set a good] example to the public.”

(source; www.thejakartapost.com)

Hari Kesehatan Sedunia: Waspadai Ancaman “Silent Killer”

Jakarta – Peringatan Hari Kesehatan Sedunia (World Health Day/WHD) yang jatuh pada 7 April tahun ini mengingatkan seluruh negara di dunia untuk mewaspadai ancaman hipertensi atau tekanan darah tinggi.

Hipertensi kini merupakan masalah kesehatan dunia yang mencemaskan dan menyebabkan beban biaya kesehatan semakin tinggi.

Hipertensi memberikan kontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat penyakit tidak menular, seperti stroke dan jantung koroner.

Dalam statistik kesehatan dunia tahun 2012, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa hipertensi adalah suatu kondisi berisiko tinggi yang menyebabkan sekitar 51% dari kematian akibat stroke, dan 45% dari jantung koroner.

Pada tahun 2011, WHO mencatat satu miliar orang di dunia menderita hipertensi.

Dua per tiga di antaranya berada di negara berkembang yang berpenghasilan rendah dan sedang. Indonesia berada dalam deretan 10 negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi di dunia, bersama Myanmar, India, Srilanka, Bhutan, Thailand, Nepal, Maldives.

Prevalensi hipertensi akan terus meningkat, dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang dewasa di dunia terkena serangannya.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, di Indonesia sendiri prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, yang berarti 1 dari 3 orang mengalaminya.

Ironisnya, 76% dari mereka yang tidak mengetahui dirinya telah mengalami hipertensi, sehingga tidak mendapatkan pengobatan.

“Padahal hipertensi yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi yang fatal, seperti serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal. Hipertensi juga dapat menyebabkan kebutaan, irama jantung tidak beraturan, dan gagal jantung,” katanya, di Jakarta, baru-baru ini.

Ia mengatakan, peringatan WHD tahun 2013 mengusung tema hipertensi, karena banyak orang tidak mengenali dan memahami bahayanya. Hipertensi seringkali tidak bergejala, sehingga sering disebut silent killer atau pembunuh terselubung yang tidak disadari.

Peningkatan prevalensi hipertensi juga berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena di samping mengakibatkan kesakitan dan kematian tinggi, biaya pengobatan yang harus diberikan mahal karena seumur hidup.

Memperingati WHD tahun ini Kemkes mengimbau masyarakat untuk saling mengingatkan tentang bahaya hipertensi.

Selain itu, Kemkes juga meminta masyarakat menerapkan perilaku CERDIK, yaitu cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dengan kalori seimbang, istrahat cukup, dan kelola stress.

Mengukur tekanan darah secara rutin serta teratur minum obat sesuai anjuran dokter juga penting bagi mereka yang sudah terkena hipertensi.

“Hipertensi bisa dicegah dan diobati. Sederhana saja, setiap datang ke fasilitas kesehatan, tekanan darah wajib masuk sebagai salah satu pemeriksaan. Setiap orang harus tahu berapa tensinya. Dengan begitu orang akan lebih waspada,” kata Tjandra.

Kemkes juga sedang menggodok regulasi untuk mengontrol konsumsi garam di dalam negeri.

Dalam memperingati WHD yang mengusung tema “Waspadai Hipertensi, Kendalikan Tekanan Darah”, Kemkes akan melakukan rangkaian kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman hipertensi.

Di antaranya, gerakan pengukuran tekanan darah bagi masyarakat sejak 7-14 April.

Pengukuran tekanan darah ini dilakukan pada setiap pasien maupun pengunjung berusia di atas 18 tahun di semua fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit baik pemerintah maupun swasta, klinik, dan posbindu penyakit tidak menular.

Perwakilan WHO di Indonesia Kanchit Limpakaryanarat mengatakan secara individu setiap orang berisiko terkena hipertensi.

Akan tetapi belakangan ini kejadiannya lebih banyak terjadi di perkotaan, karena pengaruh gaya hidup, seperti pola makan, pola diet, kurang aktivitas fisik, stress tinggi, alkohol, dan merokok.

Menurutnya, mudah saja mencegah hipertensi, yakni hindari faktor risiko, seperti kurangi konsumsi garam, dan makan tidak berlebihan dan selektif dalam memilih makanan.

“Selama kita memotong faktor risikonya, kita bisa terhindar dari ancaman hipertensi,” katanya.

(sumber: www.beritasatu.com)

Penderita AIDS di Indonesia 5.686 dan HIV 21.511 Orang

Surabaya – Jumlah penderita HIV di Indonesia 2012 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan penderita AIDS mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

“Penanggulangan HIV-AIDS merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional,” ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di sela acara seminar dengan tema ‘Penguatan kampanye “Aku bangga aku tahu”, pada Rapat kerja kesehatan nasional (rakerkesnas) 2013 di The Empire Palace Surabaya, Rabu (3/4/2013).

Sejak 1987 hingga 2005, jumlah orang yang sudah masuk dalam stadium AIDS lebih banyak dilaporkan daripada yang baru terinfeksi HIV. Sementara itu, mulai 2006 hingga 2012, sudah lebih banyak orang terinfeksi HIV dan belum masuk stadium AIDS yang ditemukan.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada 2012 ditemukan kasus HIV sebanyak 21.511 orang dan AIDS sebanyak 5.686 orang. Berdasarkan presentase kasus AIDS menurut faktor risiko pada 1987 hingga Desember, secara komulatif, faktor risiko penularan HIV terbanyak pada heteroseksual (58,7 persen); Injecting drug users (IDU) sebanyak 17,5 persen; penularan perinatal 2,7 persen dan homoseksual sebanyak 2,3 persen.

Sementara itu, data pada 2011, penderita HIV sebanyak 21.031 orang dan penderita AIDS sebanyak 5.686 orang. Pada 2010, penderita HIV sebanyak 21.591 orang dan AIDS sebanyak 6.845 orang. Pada 2009, penderita HIV sebanyak 9.793 orang dan AIDS sebanyak 5.483 orang. Sedangkan pada 2008, penderita HIV sebanyak 10.362 orang dan AIDS sebanyak 4.943

orang.

Nafsiah mengatakan, salah satu tantangan penanggulangan HIV-AIDS adalah peningkatan pengetahuan anak sekolah dan remaja tentang HIV-AIDS. Pasalnya, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 yang dilaksanakan Kemenks menunjukkan masih rendahnya pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada penduduk usia 15 sampai 24 tahun, yakni 11,4 persen.

“Perlu dukungan seluruh masyarakat dan kerjasama bebrbagai pihak untuk melakukan berbagai upaya pengendalian penyakit HIV-AIDS,” jelasnya.

Dia menambahkan, pendekatan yang dilakukan diantaranya ‘Total Football’ secara intensif, menyeluruh, komprehensif dan terkoordinasi.

(sumber: surabaya.detik.com)

Fake ID cards discovered in Jakarta

The Deputy Governor of Jakarta in Indonesia has indicated that the government will start to crack down on those who make fake ID cards, as many counterfeits have surfaced as of late.

“We have received numerous reports about people using fake ID cards to get KJS facility,” Jakarta Deputy Governor Basuki T Purnama said in a report in Berita Jakarta. “We will criminally charge the makers as well as theusers of fake ID cards. We will investigate to find who the culprits are, because this is an obscure plot that involves individuals who work in healthcare sector. We will reveal it. The sanction has been stipulated in Criminal Code (KUHPP).”

Reportedly, samples were taken from ID cards used by residents to acquire free healthcare services, and of the sample of 15 cards, one was fake. As to how the card made it through verification is still under investigation.

Following this discovery, health centers will check ID card receipts against population and civil registration department databases to verify legitimate cardholders and recipients of Jakarta’s healthcare system.

Counterfeiting, or even the bogus creation of cards with biometric details is something that has plagued other systems recently. Reported previously in BiometricUpdate.com, The UIDAI has cancelled 384,000 Aadhaar numbers of the total 410,000 numbers issued under the biometric exception clause. It has recently been discovered that many agencies had exploited the clause to generate money as for each successful enrollment, the agency is paid a nominal amount of money.

That being said, it is unclear who is producing the fake health ID cards in Indonesia, though as Basuki said, it’s a plot that involves individuals who work internally in the healthcare sector.

Also in India, earlier this year, 150 bogus ration cards issued under the biometric system were discovered. These bogus cards were also created internally, as it was reported that they were produced by the food and civil supplies department deputy director in collusion with three fair price shop owners, as well as the biometric franchisee.

(source: www.biometricupdate.com)

Pasien BPJS Bisa Tak Dilindungi UU Konsumen

JAKARTA, PKMK – Pasien pengguna layanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan bisa tidak dilindungi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebab, dalam undang-undang tersebut, yang diatur adalah relasi antara konsumen dengan pelaku usaha, termasuk jasa layanan kesehatan. Sementara, bentuk penyedia jasa layanan kesehatan saat ini bervariasi. “Rumah sakit kan ada yang berbentuk PT (perseroan terbatas), unit pelaksana teknis, dan yayasan,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, di Jakarta, Kamis (4 April).

Di samping itu, kata Sudaryatmo, saat ini masih belum jelas apakah BPJS Kesehatan berbentuk badan usaha atau bukan. “Jadi, sebaiknya semua hal itu harus clear sebelum BPJS Kesehatan berjalan. Jangan menyisakan grey area,” dia berkata.

Apa akibatnya bila grey area itu masih tersisa sementara BPJS Kesehatan berjalan? Jawab Sudaryatmo, konflik horisontal antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan bisa terjadi. “Bisakah pasien menuntut sebagai konsumen kalau kondisi tersebut belum diperbaiki?” kata dia.

Di negara lain seperti India, telah diperjelas bahwa jasa layanan kesehatan gratis tidak bisa digugat melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen. Jadi, di India, Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya bisa dipakai untuk menggugat penyedia jasa layanan berbentuk PT. “Di India, perlindungan buat dokter dalam menghadapi gugatan pun jelas. Dokter diasuransikan sehingga ada yang menjamin manakala ada gugatan dari pasien,” ia menambahkan.

YLKI mendorong adanya mekanisme yang melahirkan rasionalitas dalam pengobatan. “Terus terang, dengan people service seperti BPJS, ada hal yang kurang rasional. Karena tidak ada kontrol dan pasien dalam posisi yang lemah.”

Di satu rumah sakit swasta di Jakarta, karyawannya mesti membayar iuran Rp 90.000 per bulan untuk mendapatkan semua pelayanan kesehatan kelas III. “Nah, dengan iuran BPJS yang di Rp 15.000-an per orang per bulan, apakah itu rasional?” kata Sudaryatmo.

 

 

New world strategy aims to eradicate polio by 2018

WASHINGTON – Health authorities are finalizing a plan to end most cases of polio by late next year and eradicate the disease by 2018 — if they can raise enough money to finish the work.

The six-year global strategy will cost $5.5 billion, and require increasing security for vaccine workers who have come under attack in hard-hit countries.

But with polio cases at a historic low — 223 cases last year — officials with the World Health Organization, Gates Foundation and other polio-fighting groups said Tuesday there’s a chance of success. The disease was widespread in 125 countries back in 1988 when the global polio fight began. Today, it remains endemic in just three: Pakistan and Nigeria — where those health workers were killed — and Afghanistan.

(source: www.10news.com)