Sebaran Dokter yang tidak Merata Ancam Pelaksanaan BPJS

Surabaya: Kesenjangan distribusi dokter di wilayah Indonesia akan menghambat pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, Selasa (2/4), mengatakan pemerintah daerah (pemda) harus turut mengambil andil mengatasi distribusi dokter yang tidak merata tersebut.

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan khususnya pengobatan diperkirakan akan meningkat saat sistem ini diberlakukan. Ada sebagian daerah yang kelebihan tenaga dokter, ada juga yang kekurangan. Distribusinya tidak merata hingga ke daerah terpencil dan menumpuk di kota-kota besar.

Rasio dokter di beberapa provinsi bahkan melebihi rata-rata nasional saat ini yaitu 33/100.000 penduduk.

Rasio dokter di DI Yogyakarta sudah mencapai 69/100.000 penduduk. Sementara itu di Kota Semarang rasionya mencapai 119/100.000 penduduk. DKI Jakarta memiliki rasio sebaran dokter yang tinggi yaitu 74/100.000 penduduk dan Sulawesi Utara 74/100.000 penduduk.

Beberapa provinsi dengan rasio sebaran dokter terendah antara lain adalah Sulawesi Barat sebesar 8/100.000 penduduk, Nusa Tenggara Timur (NTT) 9/100.000 penduduk, Nusa Tenggara Barat (NTB) 12/100.000 penduduk, Maluku dan Maluku Utara 13/100.000 penduduk. Adapun Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara 14/100.000 penduduk, Lampung 15/100.000 penduduk, dan Papua 16/100.000 penduduk.

“Para Gubernur melalui Dinas Kesehatan bisa mendistribusikan kelebihan itu untuk ditempatkan di daerah lain sehingga pemerataan di tingkat provinsi bisa tercapai,” ungkap Menkes dalam kunjungan kerja ke Puskesmas Dupak Surabaya, Selasa (2/4).

Provinsi, disebut Menkes, memiliki posisi strategis untuk menempatkan tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah.

Menurut Menkes, rasio sebaran dokter terhadap penduduk berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pemerintah menargetkan 40/100.000 atau 1 dokter umum melayani 2.500 penduduk.

Produksi dokter setiap tahun di Indonesia diperkirakan mencapai 7.000 orang sehingga dari sisi jumlah seharusnya sudah tercapai.

Pemerintah daerah (Pemda) harus mengalokasikan anggaran sekurang-kurangnya sebanyak 10% untuk pembangunan kesehatan. Kewajiban mengalokasikan anggaran sebesar 10% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tertuang dalam Undang-Undang (UU) nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Pemda wajib ikut serta dalam proses pembangunan kesehatan yang dilakukan bersama dengan pusat.

Salah satu kewajiban Pemda adalah menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun ini mencapai sekitar Rp34,5 Triliun dimana 83% diberikan ke daerah dan 17% untuk di pusat. (Vera Erwaty Ismainy)

(sumber: www.metrotvnews.com)

Birokrasi Rumit Membuat Perawat Indonesia Tidak Dicari

Jakarta, PKMK – Birokrasi yang berbelit di Indonesia membuat sejumlah negara enggan mencari tenaga perawat dari Indonesia. Sementara, negara tersebut kekurangan tenaga perawat. Anton Sihombing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), menyampaikan hal tersebut di Jakarta (2/4/2013). Negara yang sebenarnya potensial menjadi pasar bagi perawat asal Indonesia antara lain negara Timur Tengah seperti Dubai, demikian juga Hong Kong, Australia, dan lain-lain.

“Saya sendiri enggan mengurus pengiriman tenaga perawat ke negara lain. Itu karena birokrasi kita yang terlalu rumit. Kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah?”ungkap anggota Komisi IV DPR RI itu. Selanjutnya bila hendak diintensifkan, pengiriman perawat Indonesia ke luar negeri sebaiknya tidak bersifat government to government (G2G). Namun, prosedur diserahkan ke pihak swasta. “Sebaiknya, Pemerintah Indonesia cukup berperan sebagai regulator. Jangan menjadi wasit sekaligus pelaksana,” tambah Anton.

Sudah saatnya Indonesia menambah pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) dari sektor formal seperti perawat. “Kita sebaiknya jangan melulu mengirimkan tenaga kerja informal,” jelasnya. Dia pun menyoroti mekanisme jaminan asuransi kesehatan dan lain-lain kepada TKI. Selama ini, asuransi tersebut dibayarkan di Indonesia sementara TKI bekerja di luar negeri. “Ini kan membuat pengurusan asuransi menjadi sulit dan berbelit-belit. Mana bisa diterima akal, TKI bekerja di luar negeri namun asuransinya dibayar di Indonesia.” Akan lebih baik bila semua asuransi tersebut dibayarkan oleh pihak pemberi kerja kepada TKI. Jadi, premi ataupun klaim asuransi dibayarkan di negara lain, bukan di Indonesia. Pihak pemberi kerja harus mengasuransikan TKI secara menyeluruh. Hal tersebut meliputi asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, dan lain-lain.

Tropical Diseases Infect 1 in 6 People Worldwide

There are so many things we take for granted in America. One of them is that our children are not regularly infected by one of the tropical diseases so common among the world’s poorest people.

When I was just starting my career in medicine, I worked for a year in Bangladesh studying the polio vaccine. I spent several months serving as the doctor in a clinic run by the Marist sisters. I kept a journal of my experiences that I came across when I was cleaning out my desk the other day.

Flipping through the pages reminded me why I went into public health in the first place: the opportunity to address some of the health inequity that I saw.

Join the ABC News Tweet Chat About Neglected Tropical Diseases Today at 1 p.m. ET

One of the diseases I treated while working at the clinic was ascaris, also known as roundworm infection. As many as one billion people around the world are infected with this parasite, according to the Center for Disease Control and Prevention.

Along with hookworm, trachoma, elephantiasis, whip worm, snail fever and river blindness, roundworm is considered one of the seven parasitic and bacterial infections that together have a higher health burden on the world’s poor than malaria and tuberculosis.

In medicine, we refer to these as the “neglected tropical diseases.” They infect nearly one in six people worldwide, including half a billion children, and lead to tremendous suffering and loss of life. Yet, the estimated cost to treat these diseases is less than 50 cents per person.

Roundworm is spread through contact with soil contaminated with feces containing eggs or early worm forms. Symptoms may be mild — but long-term infections with worms can cause micronutrient deficiencies that impair growth and stunt brain development.

Each year, an estimated 60,000 people die from roundworm infection. These are preventable deaths.

I am still haunted by one little boy I treated in Tuital, a rural village that is six hours by boat from Dhaka, the capital city of Bangladesh. He must have been 9 or 10 years old. Like most of the children I saw, his family brought him to the clinic as a last resort. Travel was difficult and local remedies were trusted more than conventional medicine.

Here is what I wrote in my journal at the time:

Jan. 28, 1990. “There is a little boy I’m caring for who has an intestinal obstruction from worms. I’m quite worried about him. After one enema, he passed a few worms. That was yesterday. I am afraid he will perforate his bowel and die. In the morning we may try again to convince the family to go to Dhaka. I would love to do an abdominal x-ray and then scope him. It is truly a cruel world if this child dies needlessly.”

Jan. 30, 1990. “The little boy is hanging in there but in the morning we are sending him to Shishu Hospital in Dhaka……

March 5, 1990. “I met the family of the boy with worms that we sent to Dhaka. He died three days ago after two operations for resection of dead bowel. He was obstructed from worms as we thought. I can’t help but wonder whether we had kept him here for too long…..”

The World Health Organization has a plan for eliminating intestinal worms transmitted by contact with contaminated soil: treat all children with a cheap medication to “deworm” them; provide clean water and proper sanitation to prevent new infections.

Sounds pretty simple right? On my weekly tweet chat today, I’ll explore why this hasn’t happened yet and what it will take to get it done.

The one-hour chat takes place on Twitter today from 1-2 p.m. ET. This week, I’ll be joined by the not-for-profit groups End 7, The Carter Center and Every Mother Counts, as well as the Center for Disease Control and Prevention, plus dozens of hospitals and caring citizens from around the globe.

I realize that the average American isn’t likely to encounter a deadly tropical disease. But for the rest of the world, these diseases have devastating consequences. Won’t you join me to learn more about this important issue and what you can do to get involved in the fight to the needless suffering caused by these diseases?

Participation is simple. Here’s how. Follow the conversation or jump in with comments and questions of your own.

(source: abcnews.go.com )

Ada 9 Indikator Kesehatan Yang Perlu Perhatian Serius Pemerintah

Surabaya – Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengakui masih ada sembilan indikator pembangunan kesehatan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah.

Karena itu, pemerintah daerah (pemda) diminta lebih berperan aktif lagi untuk mengkoordinir penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah masing-masing.

Demikian Menkes saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2013 untuk regional tengah, di Surabaya, Jawa Timur, Senin (1/4) malam ini.

Kegiatan ini diikuti perwakilan dinas kesehatan kabupaten/kota yang berasal dari provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Bali, Nusa Ternggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Turut hadir pada kesempatan ini Gubernur Jawa Timur Soekarwo,Sekjen Kemkes Supryantoro, sejumlah pejabat eselon 1 Kemkes, Dirut PT Askes Fachmi Idris, dan Plt Kepala BKKBN Sudibyo Alimoeso.

“Berdasarkan hasil mid term review rencana pembangunan jangka menengah yang dilaksanakan pada tahun 2012, dari 51 indikator pembangunan kesehatan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, terdapat 9 indikator yang memerlukan perhatian lebih serius,” kata Menkes.

Sembilan indikator yang dimaksud, menurut Menkes, yakni penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di mana saat ini berada pada angka 228/100.000 kelahiran hidup (KH) tahun 2009, masih jauh dari target pemerintah yaitu 118/100.000 KH di tahun 2014.

Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 32/1000 KH pada 2012, diakui masih sulit mencapai target 24/1000 KH di tahun 2014.

Sementara angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) 2,6 anak pada 2012, masih sulit diturunkan menjadi 2,1 anak pada 2014.

Peningkatan persentase penduduk dengan akses air minum yang berkualitas yakni 42,76% pada 2011, sulit diturunkan menjadi 68% pada 2014. Penurunan Annual Parasite Index untuk penyakit malaria adalah 1,69 pada 2012, menjadi 1 pada 2014.

Selain itu, ada empat indikator lain yang masih dalam status warna kuning. Di antaranya peningkatan umur harapan hidup dari 71,1 tahun saat ini, menjadi 72 tahun pada 2014.

Peningkatan cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih dari 88,64% pada 2012, menjadi 90% yang ditargetkan pemerintah pada 2014.

Peningkatan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS sebesar 79,5% pada 2012, menjadi 90% tahun 2014.

Yang terakhir adalah peningkatan persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dari 64,58% pada 2012, ditargetkan 80,10% pada 2014.

Oleh karena itu, melalui kegiatan Rakerkesnas, diharapkan Provinsi sebagai penyelenggara di pemda, mampu berperan aktif dan efektif sebagai koordinator penyelenggara pembangunan kesehatan di daerah masing-masing, agar upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara optimal, terutama untuk percepatan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) 2015.

Sebelumnya, rakerkesnas regional barat yang diikuti 13 provinsi telah dilaksanakan di Jakarta tanggal 19-20 Maret 2013 menghasilkan 5 rekomendasi.

Di antaranya langkah percepatan pencapaian MDGs kesehatan dengan pemetaan masalah, penguatan manajemen, penguatan SDM, penguatan peran masyarakat, dan penguatan program.

Selain itu, adanya langkah-langkah peningkatan pengendalian penyakit tidak menular, peningkatan askes dan mutu pelayanan, serta peningkatan upaya promotif, preventif, dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, Rakerkesnas Regional Timur akan dilaksanakan di Makassar pada 14-17 April 2013 mendatang, yang akan diikuti 10 provinsi. [D-13]

(sumber: www.suarapembaruan.com)

Mekanisme Birokrasi Kesehatan Jawa Timur Dinilai Lambat

Jakarta-PMPK.Mekanisme birokrasi pelayanan kesehatan untuk warga Jawa Timur belum cukup baik. Pelayanan yang diberikan masih lambat sehingga perlu dipercepat. “Koordinasi antara Dinas Kesehatan di kotamadya dengan propinsi, perlu dirapikan,” kata Endang Agustini Syarwan Hamid, Anggota Komisi IX DPR RI, dalam rapat di DPR, Jakarta, Senin (4/2/2013). Endang mengatakan, akhir tahun 2012 ada sekitar 60 orang pasien cuci darah di Malang. Mereka tidak bisa berobat karena tidak ditanggung oleh Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). “60 orang pasien cuci darah, itu jumlah yang signifikan, bukan?” kata Endang.

Ia pun berkata, “Bagaimana bisa bahwa seorang bidan yang membantu persalinan, tidak bisa mendapatkan haknya karena sulitnya birokrasi? Maka, pelayanan birokrasi kesehatan di Jawa Timur harus lebih dipercepat.” Ia pun menyatakan prihatin karena di satu propinsi di Pulau Jawa, kelambanan seperti itu masih ditemui. Endang menambahkan, kekurangan koordinasi antara para kepala Dinas Kesehatan dengan para direktur utama rumah sakit umum daerah (RSUD), juga merupakan penyakit yang tidak kunjung sembuh. “Pemerintah Propinsi Jawa Timur perlu memperbaiki semua hal itu,” kata dia.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa bantuan yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada warga miskin seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan, sekalipun dana yang diberikan besar. “Bantuan yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada sekitar 86 juta penerima Kartu Jamkesmas , juga bisa saja demikian. Maka, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (tnp2ki) harus mempunyai strategi yang lebih jitu untuk mengurangi kemiskinan.” Sementara, dalam rapat yang sama, anggota Komisi IX DPR RI yang lain, Surya Chandra mengungkapkan bahwa dirinya banyak mendapatkan pengaduan dari warga yang tidak mendapatkan pelayanan Kartu Jamkesmas. “Ada yang dari Jawa Timur ataupun propinsi lain.”

“Apa sebenarnya yang menyebabkan hal itu? Apakah ada semacam perbedaan kriteria penerima?”, ucap Surya. Ia menambahkan,”Sering pula, Kartu Jamkesmas sudah dipegang tapi tidak bisa digunakan di rumah sakit. Untuk menyelesaikan persoalan ini, harus ada koordinasi yang bersifat lintas sektoral. Ini penting mengingat berlakunya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) di tahun 2014 semakin dekat.”

Kisruh Data BPJS Dinilai Wajar

Jakarta-PMPK. Ketidaksesuaian data penerima Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang sekarang terjadi merupakan hal yang wajar. Demikian pula kurang sesuainya data warga peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan berlangsung pada 2014. ‘Harapannya, kekurangan yang terjadi dapat diperbaiki di masa datang’, ungkap Profesor Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, di sela rapat dengan Komisi IX DPR RI, di Jakarta, Senin (4/2/2013). Ia menambahkan, sebelumnya di Indonesia belum pernah ada upaya untuk menghimpun data warga miskin secara terintegrasi dan lintas sektor. “Dan sekarang, dengan adanya persiapan menuju BPJS di tahun 2014, proses integrasi data seperti itu berlangsung,” imbuhnya.

Kata dia, terkait pembagian Kartu Jamkesmas tahun 2013 di Propinsi Jawa Timur, warga yang sudah memiliki kartu baru sudah bisa mulai menggunakannya sejak awal Januari 2013. Sementara itu, warga yang belum mendapatkan kartu baru, bisa menggunakan kartu yang lama sampai akhir Februari ini. Ghufron menambahkan, saat ini masih ada sekitar 2 juta warga yang belum mendapatkan Kartu Jamkesmas tahun 2013 di Jawa Timur. “Tapi saat ini, pengiriman kartu baru sedang berlangsung, sudah dikirim ke Dinas Kesehatan setempat. Kami menargetkan bahwa sebelum 28 Februari 2013, semua kartu itu sudah didistribusikan,” kata dia.

Kemudian, ia menjelaskan akan ada proses verifikasi ulang bahwa untuk 480 ribuan warga Jawa Timur yang belum terdaftar sebagai penerima Kartu Jamkesmas di tahun 2013. Untuk itu, Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2KI) untuk sinkronisasi data. “Kalau hasilnya menunjukkan bahwa di antara mereka tidak berhak mendapatkan Kartu Jamkesmas tahun 2013, ya tidak akan diberi. Bisa saja mereka sudah mendapatkan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah),” kata dia.

Pasien Penderita Diabetes Minati Apotek Online Medicastore

2apr13-1

2apr13-1Jakarta, PKMK – Pasien penyakit berulang seperti diabetes dan gangguan jantung meminati layanan apotek online salah satunya ialah situs Medicastore.com. Mereka membeli obat secara teratur, biasanya dua atau tiga hari sebelum obat habis, mereka membeli melalui internet kepada produsen. hal ini disampaikan Tjetjeng Herjadi, Manajer Operasi Medicastore.com di Jakarta (2/4/2013). Nilai obat yang dibeli pasien tersebut di kisaran dua ratus ribuan. “Kalo persediaan obat yang diminta ada, kami kirim via kurir dan kalau tidak ada, dicari terlebih dulu ke distributor obat itu,” tambah Tjejeng.

Pasien tersebut biasanya membayar menggunakan internet banking atau melakukan transfer pembayaran melalui ATM. Dua cara pembayaran itu digunakan seluruh konsumen apotek online Medicastore.com. Pasien pembeli obat resep umumnya meng-scan resep yang diberikan dokter. Kemudian, resep tersebut dikirim ke Medicastore.com melalui internet. “Ada pula yang mengirim resep melalui mesin faksimil, dan yang datang langsung ke kantor kami membawa resep pun ada,” ungkap Tjejeng. Berapa banyak konsumen obat resep di Medicastore.com? Ia menjawab, dalam sebulan ada kira-kira ratusan konsumen. Ada tren kenaikan walau tidak signifikan. Produk yang lebih banyak dicari di Medicastore.com yakni obat herbal dan obat suplemen. Jumlah konsumen kelompok ini dua kali lipat konsumen obat resep. Harga per jenis obat suplemen itu bervariasi. Berkisar Rp 100.000 sampai Rp 400.000. “Kami memasang harga minimal pembelian sebesar Rp 100.000 ke seluruh konsumen,” ucap Tjetjeng.

Sementara, Deputi Manajer Operasi Medicastore.com Nasandi mengatakan, pihaknya kini bisa menarik sekitar 300.000 pengunjung situs tiap bulan. Jumlah pengunjung yang mengakses via PC desk top dengan mobile device seperti BlackBerry, tidak jauh berbeda. “Dengan mobile device, pengunjung merasa lebih praktis dalam mengakses Medicastore.com, aksesnya lebih cepat,” kata Nasandi.

E-Commerce Kesehatan Dinilai Lebih Kuat di B2B

2apr13-2

2apr13-2Jakarta, PKMKElectronic commerce (e-commerce) kesehatan di Indonesia cenderung lebih berkembang di lingkup business to business (B2B) daripada business to consumer (B2C). Sebab, karakter produk industri kesehatan seperti obat over the counter (OTC) tidak menguntungkan untuk dipasarkan melalui internet. Pengamat e-commerce dari Bloomberg Business Week, Purjono Agus Suhendro, menyampaikan hal tersebut di Jakarta (1/4/2013) melalui electronic mail.

Mayoritas obat OTC harganya murah, sehingga, tidak menguntungkan bila dijual melalui internet kepada perorangan. “Skala ekonomisnya tidak menguntungkan bila dijual eceran lewat internet. Bisa-bisa, ongkos kirimnya jauh lebih mahal dan merepotkan,” ungkap Purjono. Di samping itu, dia menambahkan, konsumen lebih suka membeli obat OTC melalui warung, apotek, ataupun pasar swalayan mini. Hal ini terjadi karena lebih cepat dan praktis.

Penjualan obat OTC ataupun produk kesehatan yang lain melalui internet sudah tentu harus menguntungkan dengan mencapai skala ekonomis tertentu. Karena itu, jika hendak dipasarkan melalui internet, obat OTC harus dijual dalam jumlah banyak kepada distributor, bukan kepada konsumen. Jika dijual kepada distributor melalui internet, yang berlangsung adalah transaksi e-commerce B2B, bukan B2C. Selanjutnya, Purjono menambahkan bahwa jika hendak dipasarkan ke perorangan, biasanya pihak penjual memasang syarat batasan harga tertentu. Dalam hal ini, harga obat itu terbilang mahal.”Dengan demikian, pihak penjual tidak rugi karena biaya pengiriman yang lebih mahal.”

Melihat fakta tersebut, saat ini penyedia e-commerce B2C di Indonesia pada umumnya bukan pihak independen. Namun, merupakan pihak yang dipayungi oleh perusahaan farmasi besar. Di sini, e-commerce B2C sekadar menjadi sarana promosi. Hal yang lebih dipentingkan produsen tersebut adalah distribusi obat OTC dengan jalur konvensional, bukan melalui internet.

 

Tuberkulosis Kebal Obat Jadi Fokus Perhatian

Jakarta – Tuberkulosis kebal obat-obatan menjadi prioritas dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia. Panduan penanganan pengobatan tuberkulosis terus disosialisasikan agar kepedulian masyarakat meningkat.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan hal itu seusai membuka Simposium Peringatan Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia, Sabtu (30/3), di Jakarta. Tuberkulosis kebal obat-obatan (multidrug resistant tuberculosis/MDR TB) disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang kebal terhadap minimal dua obat anti-TB isoniazid (INH) dan rifampicin (RMP).

Selain MDR TB, pemerintah memberi prioritas pada TB-HIV. Berdasarkan data WHO Global Report 2012, Indonesia berada di peringkat ke-9 dari 27 negara dengan beban MDR TB terbanyak di dunia. Diperkirakan pasien MDR TB di Indonesia mencapai 6.620 orang. Rinciannya, MDR TB di antara TB kasus baru 5.700 kasus dan MDR TB di antara kasus TB yang pernah mendapat pengobatan 920 kasus.

Kepala Perwakilan WHO Indonesia Khancit Limpakarnjanarat mengatakan, saat ini perhatian terhadap penanganan tuberkulosis di dunia fokus pada MDR TB. Hal yang menggembirakan, sudah ada laboratorium untuk pemeriksaan kultur sekaligus melaksanakan uji kepekaan obat anti-TB lini pertama dan kedua.

“Di Indonesia sudah ada di beberapa provinsi. Harapannya penanganan MDR TB ke depan semakin baik,” katanya. Laboratorium tersebut adalah Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya, Laboratorium Mikrobiologi FKUI, Laboratorium Mikrobiologi RS Persahabatan Jakarta, Balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan Jawa Barat, dan Laboratorium NHCR-Universitas Hasanuddin, Makassar.

Direktur Utama RS Persahabatan Syahril Mansyur mengatakan, MDR TB sulit dideteksi karena harus melalui uji sensitivitas. Kesulitan kedua terletak pada pengobatan. “Kalau pengobatan TB perlu waktu selama enam bulan, MDR TB perlu waktu 18-24 bulan,” kata Syahril.

Selain RS Persahabatan, ada delapan RS yang menjadi rujukan MDR TB, yaitu RSU dr Soetomo, RSUD dr Saiful Anwar, RSUD dr Moewardi, RS Labuang Baji, RS Hasan Sadikin, RSUP Adam Malik, RS Sanglah, dan RSUP dr Sardjito.

Hingga tahun 2012, tercatat terjaring 4.297 suspek MDR TB dengan 1.005 pasien MDR TB. Sebanyak 825 pasien sudah menjalani pengobatan. Angka keberhasilan pengobatan pada pasien MDR TB 71 persen.

Sosialisasi panduan

Tjandra mengatakan, panduan penanganan pengobatan TB sudah ada. Pihaknya berupaya agar panduan itu disosialisasikan. “Melalui acara yang mengundang petugas kesehatan sebanyak 1.200 orang ini diharapkan panduan diketahui dengan baik dan benar. Harapannya, mereka yang sebagian datang dari daerah menyebarkan di daerah masing-masing,” kata Tjandra.

Dia menegaskan, hal yang sangat penting dalam penanganan TB MDR adalah bagaimana pasien TB sejak awal minum obat yang diberikan dengan benar. “Pasien TB harus minum obat sampai penyakitnya sembuh dan tidak menulari orang lain sehingga tidak terjadi MDR TB dengan segala masalahnya,” kata Tjandra.

Menurut Untung Suseno, Ketua Country Coordinating Mechanism (tim yang mengelola dana bantuan global), dana yang dialokasikan untuk penanganan TB di Indonesia saat ini 90 juta dollar AS. Tahun 2014-2016 jumlahnya 75 juta dollar AS. “Bantuan yang diberikan makin lama makin kecil disesuaikan kemampuan Indonesia dengan ekonomi yang makin baik sehingga peran pemerintah pun semakin besar,” kata Untung. (DOE)

(sumber: health.kompas.com)

H7N9 bird flu kills 2 in China in first human cases

SHANGHAI, CHINA (BNO NEWS) — Two people in China’s largest city of Shanghai died this month after contracting a strain of avian influenza that had never been transmitted to humans before, health authorities said on Sunday. A third victim in China is in a critical condition.

China’s National Health and Family Planning Commission said two men from Shanghai and a woman from another region in eastern China were diagnosed with avian influenza, better known as bird flu, after they became ill with coughs and fevers before developing pneumonia. Laboratory tests confirmed Saturday that they had contracted H7N9, a strain not seen in humans before.

The first known victim, an 87-year-old man from Shanghai, became ill on February 19 and passed away on March 4, according to the Commission. The second victim, a 27-year-old man who was also from Shanghai, began showing symptoms on February 27 and died at a local hospital on March 10.

A 35-year-old woman from Chuzhou, a city in Anhui province, some 320 kilometers (198 miles) northwest of Shanghai, became ill on March 15. The woman was later admitted to a hospital in Nanjing, a city in neighboring Jiangsu province, and remained in a critical condition on Sunday.

It is unclear how the virus infected the three victims, who do not appear to have any direct connections, but none of their relatives or friends are believed to have fallen ill. The Commission said the 27-year-old man was a butcher while the 35-year-old woman had been in contact with poultry before falling ill.

The Chinese government said it is closely following the situation and has informed the World Health Organization (WHO), Hong Kong, Macao, Taiwan, and a number of countries about the deaths. A WHO spokesman said the risk to public health appears to be low as there is no evidence of human-to-human transmission.

In Hong Kong, a spokesman for the Center for Health Protection said it would closely monitor the situation and urged members of the public to remain vigilant for possible cases of bird flu. “We will heighten our vigilance and continue to maintain stringent port health measures in connection with this development,” he said.

There is no known vaccine for H7N9, but the strain is different from the well-known H5N1 variant. Since 2003, the H5N1 bird flu virus has killed or forced the culling of more than 400 million domestic poultry worldwide and caused an estimated $20 billion in economic damage before it was eliminated from most of the 63 infected countries.

According to the World Health Organization (WHO), the bird flu virus has infected at least 605 people since it first appeared, killing 357 of them. Most cases and deaths were recorded in Indonesia, Vietnam, Egypt and China. Vietnam, Indonesia, China and Cambodia all reported bird flu deaths last year.

(source; wireupdate.com)