Dokter Spesialis untuk Jemaah Haji Perlu Ditingkatkan Jumlahnya

1apr13-2

1apr13-2Jakarta, PKMK – Jumlah dokter spesialis untuk penanganan kesehatan jemaah haji Indonesia perlu ditambah. Selama ini, yang diberangkatkan ke Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, lebih banyak dokter umum. “Padahal, penyakit jemaah haji yang rata-rata berusia lanjut bervariasi,” kata Nazuli Juwaini, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, di Jakarta (1/4/2013). Nazuli mengungkapkan, saat ini dokter spesialis yang menangani jemaah haji masih langka. Maka, sesuai jenis penyakit jemaah, di sana perlu banyak dokter spesialis jantung, paru-paru, internis, dan lain-lain.

Ia pun mengatakan, Komisi VIII DPR RI meminta agar Kementerian Kesehatan RI dan Kementerian Agama RI meningkatkan koordinasi dalam pelayanan kesehataan jemaah haji. Saat ini, koordinasi tersebut sudah bagus, dan harus lebih ditingkatkan lagi. “Untuk penanganan kesehatan jemaah haji, itu kan dana murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Itu menandakan bahwa Pemerintah Indonesia menaruh perhatian tinggi terhadap pelayanan kesehatan haji,” Nazuli menambahkan. Meningkatkan koordinasi antara dua lembaga memang bukan hal yamg mudah. “Koordinasi dalam satu kementerian pun sudah sulit. Tapi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama harus menaikkan koordinasi, komunikasi, dan pelayanan,” ucapnya.

Dengan pelayanan kesehatan yang lebih baik, angka jemaah haji yang wafat bisa terus diturunkan. Dalam hal pelayanan itu, banyak hal yang harus diperhatikan. Soal gizi makanan, perlu tiga kali lipat lebih baik mengingat kondisi iklim di Tanah Suci yang berbeda dengan di Indonesia. “Tahun ini, insya Allah angka jemaah yang wafat bisa lebih kecil lagi,” tutup Nazuli.

Jumlah Dokter Umum Naik 6 Ribu Orang per Tahun

1apr13

1apr13Jakarta, PKMK – Jumlah dokter umum di Indonesia bertambah sekitar 6.000 sampai 5.000 orang per tahun. Adapun jumlah total dokter umum di Indonesia kini sekitar 80.000 orang. “Angka penambahan dokter umum di Indonesia terbilang ideal,” ungkap dr.Ahmad Budi Arto, MM., Ketua Harian Presidium Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), di Jakarta (31/3/2013). Budi Arto menambahkan, hal yang perlu diperhatikan saat ini adalah distribusi dokter umum yang tidak merata. Mayoritas dokter umum di DKI Jakarta ataupun propinsi lain terkonsentrasi di kota besar. “Dari 18.000 dokter, 13.000 di antara mereka dokter umum di Jakarta,” kata dia.

Selain distribusi, kualitas dokter umum perlu diperhatikan ataupun ditingkatkan. Sekitar 72 fakultas Kedokteran di Indonesia tidak menghasilkan dokter umum dengan standar sama. “Peraturan Pemerintah mensyaratkan semua Fakultas Kedokteran memiliki rumah sakit pendidikan. Tapi, sekarang ini tidak semuanya punya, ‘kan?” tambahnya.

Lebih lanjut, PDUI saat ini sedang membuat pemetaan dengan tujuan memperoleh data lebih akurat tentang dokter umum. Dengan demikian, upaya memeratakan distribusi dan meningkatkan kualitas dokter umum bisa lebih baik. “Kami sedang konsolidasi organisasi. Saat ini, dari 33 propinsi di Indonesia, PDUI sudah ada di 24 propinsi. Kini jumlah anggota PDUI sekitar 40.000 sampai 50.000 dokter umum,” tambahnya. Kini, dari sekitar 90.000 sampai 100.000 dokter di Indonesia, 80 persen adalah dokter umum. Dokter umum tersebut tersebar di perusahaan asuransi, praktek di klinik ataupun pribadi, dan di industri.

 

Health-Care Spending to Double by 2018

Business research group Frost & Sullivan predicts Indonesia’s health-care spending will reach $60.6 billion in 2018, more than double last year’s estimate of $26.4 billion.

Nitin Dixit, a senior health-care industry analyst at Frost & Sullivan, said in Jakarta on Wednesday that health care spending in

Asia-Pacific countries was expected to double in line with increasing demand for quality health-care services and better life expectancies.

Dixit said the Indonesian market would be supported by government programs and policies resulting in increased spending and access to health services.

“In Indonesia, health care spending will reach $60.6 billion in 2018, assuming the average growth rate is 14.9 percent per annum from 2012 to 2018,” Dixit was quoted as saying by Investor Daily.

During the same period, Dixit said per capita spending on health care would grow 13.8 percent a year, from $108.90 last year to $237.10 in 2018.

Frost & Sullivan also forecast that the private sector would play a greater role in the country’s health-care sector and overtake spending sourced from the government. It estimated the private sector will account for 53 percent of health-care spending in 2018, up from 49 percent now.

Sutoto, the chairman of Indonesian Hospital Association, agreed with the assessment, adding that Indonesia’s health-care industry would produce abundant opportunities for growth, particularly after the full implementation of universal health care in 2014.

The universal health-care scheme, written into law by the House of Representatives in 2011, aims to provide health insurance for 117 million Indonesian workers starting next year.

The current scheme, managed by state-owned insurer Jamsostek, only provides coverage to 11.5 million workers.

President Susilo Bambang Yudhoyono has called for an initial fund of Rp 25 trillion ($2.6 billion) for the program.

“Hospitals will be full when universal health care comes into effect due to the ease of access to health-care services. On the other hand, there will be more people demanding better-quality services,” Sutoto added.

Hannah Nawi, associate director of health-care practice for the Asia Pacific at Frost & Sullivan, said the shift in people’s lifestyles would also boost growth in health care.

(source: www.thejakartaglobe.com)

Belanja Kesehatan Indonesia Bakal Mencapai US$ 60,6 Miliar

Frost & Sullivan memprediksi belanja kesehatan di Indonesia dapat mencapai US$ 60,6 miliar pada tahun 2018. Belanja tersebut ditaksir tumbuh 14.9% CAGR (compound annual growth rate) selama periode 2012-2018.

Sementara itu, Frost & Sullivan juga memprediksi belanja kesehatan di Asia Pasifik akan meningkat dua kali lipat dalam enam tahun ke depan, dengan China, Jepang, dan India sebagai penyumbang terbesar. “Belanja kesehatan akan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada terjadinya reformasi sektor kesehatan di Asia Pasifik,” jelas Hannah Nawi, Associate Director, Healthcare Practice, Asia Pacific, Frost & Sullivan.

Ada beberapa hal yang akan mendorong peningkatan belanja kesehatan di Indonesia. Dari sisi demografi, rata-rata usia populasi yang berumur 28 tahun dan kelompok usia di atas 35 tahun diproyeksikan akan tumbuh lebih cepat selama periode 2010-2014. Hal ini menandai lambatnya perubahan demografis, dan pada akhirnya dapat menjadi beban institusi-institusi penyedia layanan kesehatan. Hannah pun menambahkan, “Urbanisasi dan populasi yang berangsur menua akan mendorong permintaan terhadap layanan kesehatan di Indonesia.”

Selain itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, berbagai skema asuransi kesehatan telah ditetapkan oleh pemerintah. Skema-skema asuransi yang disediakan oleh pemerintah, seperti Jamkesmas, Jamsostek, dan Askes, dapat digunakan baik di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta, meskipun pelayanan yang diberikan di rumah sakit swasta masih terbatas pada perawatan dasar. “Hal ini dilakukan untuk meringankan beban institusi kesehatan pemerintah yang mengalami keterbatasan sumber daya akibat jumlah pasien yang meningkat,” kata Hannah.

Sektor asuransi kesehatan juga diprediksi tumbuh seiring dengan makin kokohnya industri rumah sakit swasta di Indonesia. Meski demikian, proporsi cakupan asuransi kesehatan swasta masih tergolong rendah, yaitu kurang dari 5% dari total jumlah populasi.

Kebutuhan akan layanan kesehatan yang semakin besar di Tanah Air tidak dilewatkan oleh sektor swasta. Di Indonesia, hampir 67% saham kepemilikan rumah sakit swasta dimiliki oleh investor asing. Kini, sektor swasta semakin memperkokoh keberadaannya, terutama di kota-kota besar. Sebagian besar pembangunan dan transaksi properti rumah sakit swasta terjadi di Jakarta, diikuti oleh kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Manado, Makassar, Tangerang, dan Bali, yang mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan investasi dalam pasar penyedia jasa layanan kesehatan di provinsi-provinsi utama di Indonesia. Di tahun 2012 terdapat sekitar 544 rumah sakit swasta di Indonesia. Dan jumlah tersebut diperkirakan akan bertambah menjadi 731 di tahun 2018.

Nitin Dixit, Senior Industry Analyst, Healthcare, Frost & Sullivan, mengatakan bahwa langkah selanjutnya yang harus diambil adalah mewujudkan visi pemanfaatan teknologi guna mendorong peningkatan layanan kesehatan, di mana target implementasi dari sistem informasi kesehatan di tingkat provinsi mencapai 100% dan 60% untuk daerah pedesaan atau perkotaan di tahun 2014.

Pemanfaatan teknologi juga akan mendukung proses pemerataan layanan kesehatan di seluruh penjuru nusantara, karena saat ini sebagian besar spesialis layanan kesehatan hanya tersedia di kota-kota besar, dan jarak yang harus ditempuh untuk menjangkau layanan tersebut cukup jauh.

“Sebagai gambaran, meningkatnya penggunaan sistem telemedika untuk konsultasi melalui video dan diagnosa jarak jauh, serta penggunaan internet sebagai sarana konsultasi kesehatan dengan dokter lokal tanpa harus datang langsung ke klinik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan,” kata Nitin.

“Hal tersebut menunjukkan bahwa proses untuk mewujudkan sektor kesehatan yang berdasar pada informasi (information-based) niscaya akan segera tercapai dan pada akhirnya akan mendorong proses modernisasi sektor kesehatan di Indonesia, ” tutur dia.

(sumber: swa.co.id)

Indonesia’s healthcare spending set to expand

Paper Edition | Page: 4

Indonesia’s healthcare expenditure is predicted to reach US$60.6 billion in 2018 with a growth of 14.9 percent over the 2012-2018 period on account of faster growth in age groups above 35 years, urbanization and an increase of lifestyle-related diseases such as cancer and diabetes, says research and consulting firm Frost & Sullivan.

Hannah Nawi, Frost & Sullivan’s Healthcare Practice Associate Director for Asia Pacific, said Indonesia’s median age was 28 years and that age groups beyond 35 years were projected to grow faster than the average from 2010 to 2014.

“Urbanization and a slowly aging population will the drive demand for healthcare in Indonesia,” Hannah said recently.

She added that increasing chronic and lifestyle-related diseases, including cancer and diabetes, especially in big cities in the country, would also play a large role in the increasing public demand for healthcare services in the next few years.

“In terms of the healthcare burden, once you are a cancer patient, you’ll be in treatment for life. The same goes for diabetes,” Hannah said, adding that it could put a strain on healthcare institutions.

Separately, the head of the Indonesian Hospital Association (PERSI), Sutoto said that the national healthcare system under the Social Security Providers (BPJS) Law would also play a significant role in increasing the country’s total healthcare expenditure.

The health insurance, which will cover 121.6 million people as of Jan. 1, 2014, will be made available in stages for all eligible Indonesians through 2019.

“Many hospitals questioned their readiness ahead of the implementation of the BPJS next year, when in fact it actually opens more opportunities for the healthcare industry, especially for private hospitals,” Sutoto said. “Around 86 million low-income people who have no access to healthcare services, will be able to receive hospital services by the time it is implemented, and the government will pay their premiums,” he added.

The country, however, still faced a lot of challenges in fulfilling the increasing demand for healthcare services, Nitin Dixit, Frost & Sullivan’s healthcare senior industry analyst, said.

“The first challenge is the uneven distribution of resources. The hospital, the doctors, the entire healthcare infrastructure is unevenly distributed,” Nitin said.

Sutoto said that the country’s doctor-to-people ratio was only 3 doctors per 10,000 people, much less than Malaysia, which has 9 doctors for every 10,000 people and Cuba, which has 64 doctors for 10,000 people.

“We have a total of 73 medical faculties across the country, but yet we are still lacking doctors, especially specialist doctors,” he said.

He also said that hospitals should start recalculating their service costs and make it more efficient ahead of the BPJS, as the government would apply an equal healthcare tariff across all healthcare institutions to ease insurance claims.

“We urge all hospitals to reduce their costs and make it more efficient ahead of the BPJS,” Sutoto said. “At the same time, we hope the government assists us and lowers taxes, as well as electricity and water tariffs for hospitals, as we will have to provide more third class rooms for low-income people,” he said. (nad)

(source:  www.thejakartapost.com)

12 RSUD Raih Penghargaan Kemenpan

28-mar13

28-mar13Jakarta, PKMK – 12 RSUD memperoleh penghargaan Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan). Lokasi RSUD itu tersebar di sejumlah propinsi. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Azwar Abubakar, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, dalam acara Penyerahan Penghargaan Akuntabilitas Kinerja dan Pelayanan Publik. Penghargaan tersebut berlangsung di Balai Kartini, Jakarta, hari ini (Kamis, 28/3).

Berdasarkan pantauan wartawan situs internet ini, tujuh RSUD memperoleh Piala Citra Pelayanan Prima 2012 Kategori RSUD dengan Predikat A. RSUD yang dimaksud diantaranya RSUD Ulin (Banjarmasin), RSUD Tarakan (Jakarta), RSUD Tugurejo (Semarang), RSJ Grhasia Sleman (Yogyakarta), RSUD Arifin Achmad (Pekan Baru), RSUD dr. Saiful Anwar (Malang), dan RSUD dr. Abdoel Moeloek (Bandar Lampung). Adapun lima RSUD lainnya memperoleh Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 Kategori RSUD dengan Predikat B. RS tersebut meliputi RSUD Al Ihsan (Bandung), RSUD Khusus Mata Masyarakat Palembang, RSUD dr. Zainoel Abidin (Banda Aceh), dan RSUD Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau).

Selain 12 RSUD tersebut, dua lembaga kesehatan Pemerintah Indonesia yang lain juga memperoleh penghargaan. Dua lembaga tersebut ialah pertama, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Lampung, mendapat Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 Kategori Unit Pelaksana Proyek (UPP) Pilihan dengan Predikat A. Kedua, Puskesmas Kecamatan Jagakarsa (Jakarta) mendapatkan Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 Kategori UPP Pilihan dengan Predikat B.

Dalam acara tersebut, Kemenpan pun menyerahkan sejumlah penghargaan lain. Antara lain, Piala Citra Bhakti Abdi Negara 2012 Tingkat Propinsi dengan Predikat B, diserahkan ke Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menteri Azwar Abubakar mengungkapkan, setiap lembaga milik Pemerintah Indonesia harus mengetahui kemajuan dari setiap program yang dijalankan. “Itu demi mencapai tujuan dari sasaran,” tambahnya. Dia pun menambahkan, dalam konsep akuntabilitas kinerja, masyarakat punya hak untuk mengetahui dan menilai kinerja penyelenggaraan negara. Hal ini juga merupakan kewajiban tiap lembaga negara untuk melaporkan kinerja.

 

Pendidikan Dokter Subspesialis akan Lebih Diperhatikan

JAKARTA, PKMK — Pendidikan dokter subspesialis di Indonesia akan lebih diperhatikan. Dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran, salah satu masukan yang dibahas adalah pentingnya memfokuskan perhatian kepada pendidikan dokter subspesialis. Ketua Komisi X DPR RI, Agus Hermanto, mengatakan hal itu di Jakarta hari ini (Rabu, 27 Maret).

Kata Agus, selama ini pendidikan dokter subspesialis memang belum tertangani secara fokus. “Ada masukan agar dalam RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran, pendidikan dokter subspesialis bisa benar-benar dimasukkan ke dalam pendidikan tinggi. Barangkali itu nanti dimasukkan dalam prodi (program studi) sebuah universitas,” demikian Agus berkata.

Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa pendidikan dokter subspesialis itu sejajar dengan strata-tiga. Oleh karena itu, wajar bila mendapatkan perhatian yang lebih tingggi. “Dengan perhatian yang lebih fokus dan tinggi, Indonesia nantinya tidak kekurangan dokter subspesialis ataupun spesialis saat menghadapi AFTA,” kata legislator dari Partai Demokrat tersebut.

Apa hal penting lain yang dibahas dalam RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran? Agus menjawab antara lain pembicaraan tentang keberadaan sekolah tinggi kedokteran. Persisnya, ada pembahasan tentang pihak yang berhak menyelenggarakan pendidikan kedokteran. Yaitu hanya universitas yang punya fakultas kedokteran, atau juga satu sekolah tinggi kedokteran.

Agus menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI ingin agar RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran selesai dibahas di tahun 2013 ini untuk kemudian disetujui pada Sidang Paripurna DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden RI di tahun yang sama. “Setelah reses di April 2013, kami akan intensif melanjutkan pembahasan RUU itu,” ungkapnya.

Teleradiologi di Indonesia Belum Berkembang

Jakarta – Perkembangan teleradiologi di Indonesia saat ini bisa dikatakan belum banyak. Sebab sejumlah faktor menghambat perkembangan tersebut. Kepala Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma, Profesor Johan Harlan, mengatakan hal itu di Jakarta hari ini (Rabu, 27 Maret).

Johan mengatakan, salah satu bentuk hambatan itu adalah persoalan biaya yang terlalu mahal. Di Indonesia ataupun luar negeri, saat ini cara konvensional masih lebih murah daripada teleradiologi. Dalam arti, masih lebih murah bila dokter spesialis radiologi datang ke rumah sakit ataupun klinik untuk membaca hasil pencitraan radiologi. Itu karena jumlah pengguna yang belum banyak. “Padahal, teleradiologi ataupun telemedicine yang lain baru bisa murah kalau digunakan dalam jumlah banyak sehingga mencapai skala ekonomis,” kata Johan.

Hambatan berikutnya, Johan menambahkan, adalah pada kejelasan regulasi. Saat ini, izin praktek dokter di Indonesia berdasarkan wilayah. “Padahal, kalau seorang dokter spesialis radiologi di Jakarta membaca hasil pencitraan dari satu rumah sakit di Kalimantan, ia sudah berpraktek lintas-wilayah, bukan?” kata dia.

Sebenarnya, kata Johan lagi, teleradiologi bisa berperan penting mengingat jumlah dokter spesialis radiologi di Indonesia masih sedikit dibandingkan kebutuhan.

Saat ini, beberapa rumah sakit di Jakarta telah menjalankan teleradiologi untuk internal. Sebuah rumah sakit di Jakarta Utara menggunakan teleradiologi sehingga dokter spesialis radiologi bisa membaca gambar pencitraan dari jarak jauh. Kemudian, sebuah rumah sakit besar milik Pemerintah Indonesia menggunakan teleradiologi dalam intranet. “Rumah sakit besar itu juga menggunakan teleradiologi dalam pendidikan kepada mahasiswa sebuah fakultas kedokteran di Kalimantan,” kata Johan.

Diaspora Indonesia usulkan pengembangan kota “livable”

Delft, Belanda – Komunitas Diaspora Indonesia yakni warga negara Indonesia yang berada dan menetap di luar negeri, mengusulkan program pengembangan “livable city” atau kota dengan konsep nyaman dihuni, kata salah satu anggota unit kerja “livable city” Diaspora Indonesia.

“Kota-kota di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang cukup serius seperti kurangnya ruang hijau, transportasi publik yang jumlah dan kualitasnya belum memenuhi kebutuhan masyarakat dan belum adanya langkah-langkah perlindungan sumberdaya alam,” kata Gemawang Swaribathoro di Delft, Selasa (26/3).

Dia menjelaskan program pengembangan kota nyaman huni tersebut melibatkan sejumlah ahli Indonesia di bidang perlindungan dan pemeliharaan warisan sejarah, perencanaan sumberdaya air and bentang alam serta ahli permukiman dan pembaruan wilayah kota.

“Unit kerja program ini ada 18 orang dan 39 kolaborator dari berbagai bidang,” kata Gemawang yang bekerja di bidang arsitektur di Rotterdam, Belanda.

Mewujudkan kota nyaman huni dapat dilakukan dengan menerapkan pembangunan yang memihak pada penjagaan sumberdaya sehingga tidak mengganggu keseimbangan alam. Selain itu perlindungan dan pemeliharaan warisan sejarah berupa bangunan bersejarah maupun kearifan lokal juga dinilai menjadi langkah menciptakan wilayah kota yang nyaman untuk didiami.

“Unit kerja ‘livable city’ juga mengembangkan gagasan perkotaan kreatif untuk masyarakat tidak mampu,” kata Gemawang.

Program ini diharapkan dapat mewujudkan kota-kota Indonesia yang berkembang pesat dengan tetap memperhatikan pemeliharaan kondisi alam, memiliki ruang hijau, mempunyai transportasi publik yang nyaman dan aman serta kota yang bebas dan siap menghadapi banjir, jelasnya.

Gemawang mengatakan pihak Diaspora Indonesia membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memberikan saran dan gagasan untuk menyukseskan program pengembangan kota nyaman huni ini.

Selain “livable city” Diaspora Indonesia juga tengah mengusulkan pengembangan pelayanan kesehatan medis yang terdiri dari tiga program yakni pelayanan dan penyembuhan kanker di Indonesia, pelayanan bagi lanjut usia serta pusat informasi kesehatan.

Berkaitan dengan program-program pelayanan kesehatan tersebut, Diaspora Indonesia di Belanda atau disebut dengan IDN-NL telah melakukan pendataan lembaga-lembaga swadaya masyarakt di bidang pelayanan kesehatan medis yang siap bekerja sama di masa mendatang.

(sumber: www.analisadaily.com)

Indonesia to override patents for live-saving medicines

The Indonesian government hopes to implement one of the largest ever examples of “compulsory licensing”, which will enable the generic manufacture of drugs still under patent.

Advocates of the move say the reduced drug costs achieved through compulsory licensing have been instrumental in reducing HIV mortality rates in Indonesia.

“One of the major reasons for decreased HIV mortality rates is the provision of anti-retroviral [ARV] treatment, and if [Indonesia] can’t afford the anti-retroviral treatment, the mortality rate will return” to the higher levels of previous years, Samsuridjal Djauzi, chairman of the Association of Indonesian Physicians Concerned about HIV/AIDS, told IRIN.

The latest use of compulsory licensing – Indonesia’s third to date – will allow the government to expand its access to the second-line ARVs, he said, including tenofovir, emtricitabine, and lopinavir/ritonavir.

Under the World Trade Organization’s Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), countries can override patents for public health purposes by issuing compulsory licenses that enable the generic manufacture of drugs still under patent.

“Urgent need”

In this latest move, a September 2012 presidential decree announced the government would procure generic equivalents of the international patents for seven HIV/AIDS and hepatitis B medicines, citing the “urgent need” to control these diseases.

“The implementation of the third compulsory licensing depends on the capability/readiness of the manufacturer [Kimia Farma]. I estimate efavirenz [another HIV medication on the list] will be available in the next three to six months. For other drugs, [we] will need more time,” Djauzi said.

According to UNAIDS, an estimated 380,000 people are living with HIV/AIDS in Indonesia. The number may not appear alarming considering that Indonesia is a developing country with nearly 250 million people, but the prevalence rate is now 25 percent higher than it was a decade ago.

The spread of HIV is attributed to low condom use and epidemic-level infection rates – 36.4 percent – among injecting drug users, experts say.

The cost of normal treatment is around US$90 per person per month, Usep Solehudin, who coordinates free distribution of ARVs for some 120 patients at a clinic in Jakarta called Yayasan Pelita Ilmu (YPI), told IRIN. This is beyond the means of most of his patients, whose incomes are generally $100 to $200 per month.

“The patients would not otherwise be able to buy it [the ARVs] because they cannot afford it,” he said. “They would just ignore their health.”

Jakarta first used compulsory licensing in 2004, ushering in increased medication access.

The number of Indonesians receiving ARVs has quadrupled since 2008, to 30,000 today, and the government is looking to maintain this rate of expansion, said Cho Kah Sin, country director of UNAIDS in Indonesia.

The latest government license focuses on second-line ARVs, which are prescribed to patients who have developed resistance to first-line treatment. Resistance in a population tends to develop within several years of a drug’s introduction. The government is therefore expecting that increasing numbers of Indonesians with HIV will require second-line treatment, said Cho Kah Sin.

Innovation at risk?

Critics of compulsory licensing say its usage undermines medical innovation.

“Systematic issuance of compulsory licenses sets a negative precedent and can reduce the incentive to invest in the research and development of new medicines that address unmet medical needs,” said Andrew Jenner, director of innovation, intellectual property and trade at the Switzerland-based International Federation of Pharmaceutical Manufacturers and Associations, in a written statement to IRIN.

“We believe that negotiated approaches, such as tiered pricing and voluntary licensing, are generally more effective and sustainable, both medically and economically,” said Jenner, whose organization represents four pharmaceutical companies whose medicines are to be generically replicated by Indonesia. Tiered pricing is the practice of setting different prices for different markets.

Others studies , however, argue there is no empirical evidence that patents increase innovation and productivity.

Peter Maybarduk, who directs the Global Access to Medicines Programme for Public Citizen, a US-based NGO, advocates wider use of “compulsory licensing” by developing countries. “We don’t think compulsory licensing should only be used in the most dire scenarios,” he said.

Switzerland-based Michelle Childs, who heads the Campaign for Access to Essential Medicine for Médecins Sans Frontières, agrees: “If there is a clash between access to [essential] medicines and patent rights… the primacy of access should be promoted,” she said.

Maura Linda Sitanggang, director-general of the pharmaceutical department at Indonesia’s Ministry of Health, did not respond to requests for an interview.

(source: gantdaily.com)