Nilai PBI BPJS Masih Menjadi Polemik

JK-26mar13

JK-26mar13Depok, PKMK-Polemik tentang nilai Penerima Bantuan Iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (PBI BPJS) Kesehatan sebaiknya jangan terlalu lama. Sebab, masyarakat Indonesia harus cepat memperoleh kepastian tentang nilai yang menjadi haknya itu. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Bambang Wispriyono, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Depok (26/3/2013).

Pihak-pihak yang berpolemik seperti Kementerian Keuangan RI, Kementerian Kesehatan RI, Komisi IX DPR RI, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional, harus sering duduk bersama, tambah Bambang. “Standar menjadi polemik, saya kira itu hal yang wajar. Seperti halnya standar minimal luas lantai rumah sederhana yang belum lama ini jadi polemik, ‘kan,” ucap Bambang. Pihak-pihak tersebut harus mencari perbedaan yang terjadi. Jika perbedaan itu sudah diperoleh, semua pihak harus saling memahami. “Jika ternyata didapati bahwa nilai Rp 15.483 per orang per bulan yang diusulkan Kementerian Keuangan RI tidak memadai, ya bisa dinaikkan,” katanya.

Sebaliknya, jika standar maksimal yang dipasang pihak lain terlalu tinggi, ya nilainya bisa diturunkan. “Jadi, standar minimal yang layak disepakati bersama tanpa merugikan stakeholder seperti RS dan Puskesmas,” katanya. Bagaimana bila pada akhirnya nilai yang dipakai Rp 15.483 per orang per bulan yang diasumsikan terlalu rendah? Hal itu sebenarnya tidaklah menjadi persoalan. Sebab, jika dalam pelaksanaan ternyata nilai itu terlalu rendah, revisi bisa dilakukan. “Undang-undang pun bisa diubah, terlebih lagi aturan tentang nilai PBI itu,” ungkapnya. Hal yang pasti semua kalkulasi harus berdasarkan rasionalitas dan kajian-kajian yang tepat. Universitas Indonesia sendiri selama ini sudah banyak memberi masukan tentang BPJS Kesehatan.

DPR: Program Menkes Tidak Tepat Sasaran

Sasaran-sasaran strategis dinilai semu.

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi harusnya memprioritaskan sasaran strategis program kesehatan sebagaimana dalam Rencana Keegiatan Program Kementerian. Misalnya, tambah Poempida, persiapan menyambut BPJS yang tidak boleh diremehkan oleh Menkes.

“Sasaran strategis yang mestinya mengakomodasi arah kebijakan justru tidak ada,” ujar Poempida dalam rilis yang diterima Jaringnews.com hari ini.

Poempida mencontohkan sasaran strategis untuk peningkatan ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, jaminan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat, alat kesehatan, dan makanan serta daya saing produk dalam negeri adalah meningkatnya ketersediaan dan pengawasan obat dan makanan.

“Kesannya arah kebijakan kok bisa lebih detail dari sasaran? Sasaran sangat tidak mengakomodasi arah kebijakan,” ujar dia.

Poempida juga mempertanyakan sasaran-sasaran strategis lain yang dinilai semu. “Mana sasaran dari arah kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan? Mana sasaran untuk peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier? Mana sasaran untuk peningkatan kualitas manajemen pembangunan kesehatan, sistem Informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi Kesehatan?” tanya Poempida.

“Menkes semestinya benar-benar serius memperhatikan kebutuhan kesehatan rakyat,” kritik politikus Golkar ini.

(sumber: jaringnews.com)

Health Ministry to wipe out TB by 2050

KUALA LUMPUR: The Health Ministry is committed to eliminating tuberculosis (TB) by 2050 as envisaged under the Strategic Plan for TB Control 2011-2015.

Director-general of Health Datuk Dr Noor Hisham Abdullah said the TB detection rate had surpassed dengue, putting the disease at the top of the infectious disease list in the country.

“Controlling and eliminating TB is our main agenda as it has become the most common infectious disease with the highest number of deaths.”

He said this at the launching of the Clinical Practice Guidelines on Management of Tuberculosis (3rd Edition) and World TB Day 2013 with the theme “Stop TB in my lifetime”.

The World Health Organisation Global Tuberculosis Report 2012 reported that there were 8.7 million new TB cases, 1.4 million deaths because of the disease in 2011 and 500,000 new cases with 64,000 deaths among children around the globe.

In Malaysia last year, 22,710 cases were detected and treated, with an increase in case detection from 81 per cent in 2010 to 98 per cent last year.

It was reported that there were about 1,600 deaths last year because of this infection.

Selangor, Sarawak and Sabah recorded the highest number of cases.

Noor Hisham said the plan would strengthen the TB control programme with new approaches, such as providing TB drugs in private healthcare facilities for free.

“We want to ensure TB patients get access to treatment easier and nearer to their homes.”

He added that other strategies, such as education and creating awareness of TB in health facilities, were ongoing.

He said the ministry was committed to controlling TB.

March 24 is celebrated every year as World TB Day.

It was when the germ causing TB was announced to the world by Dr Robert Koch in Berlin, Germany.

(source: www.nst.com.my)

Askes akan Hentikan Penjaminan DSA Stroke

25mar-kki

25mar-kkiJakarta-PKMK. PT Asuransi Kesehatan (Askes) merencanakan menghentikan sementara penjaminan terhadap pengobatan stroke dengan cara Digital Substraction Angiography (DSA). Sebab, berdasarkan sejumlah rekomendasi dari pakar ataupun tim dokter menteri, DSA bukanlah tindakan terapi, tetapi tindakan diagnostik. “Akan tetapi, jika dalam kelanjutannya ada rekomendasi bahwa DSA adalah tindakan terapi, tentu Askes akan menjamin klaim terhadap hal itu,” kata Dr. dr. Fahmi Idris, Direktur Utama PT Askes, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta (Senin, 25/3/2013).

Fahmi mengatakan, pihaknya berharap bahwa Komisi IX DPR RI segera mendorong penyelesaian debat tentang posisi DSA tersebut. Askes sebelumnya telah meminta masukan dari banyak pihak terkait posisi DSA. “9 Januari 2013, Profesor Yusuf Misbah menyatakan bahwa DSA tidak pernah dilakukan di Indonesia. Tidak ada literatur tentang DSA.” Kemudian, 17 Januari 2013, ada pendapat perorangan yang menyatakan bahwa DSA itu tindakan terapi. “Selanjutnya, 28 Januari, ada kesimpulan para ahli yang menyatakan bahwa DSA adalah tindakan diagnostik,” ujar dia.

Bila nantinya Konsil Kedokteran Indonesia dan Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa DSA adalah tindakan terapi, tentu Askes akan menjamin biaya untuk itu. “Kalau DSA terbukti mampu mencegah stroke, ya mengapa pula tidak dijamin,” kata Fahmi. Sementara, dalam rapat yang sama, dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad., mengatakan bahwa kini yang perlu dilakukan adalah deteksi dini terhadap penyakit stroke. Itu sering tidak dirasakan oleh penderita sehingga ia tiba-tiba sakit. “Hal Yyang sangat menakutkan adalah stroke yang silent,” kata dokter yang menjalankan pengobatan DSA bersama timnya di RSPAD Gatot Subroto. Dalam mendeteksi stroke, pihaknya menggelar langkah komprehensif bersama sejumlah dokter ahli mata, neurologi, penyakit dalam, dan lain-lain. “Melalui alat imaging, kami bisa mengetahui bahwa seseorang berpotensi kena stroke ataupun pernah terkena penyakit itu,” kata Terawan.

Menkeu Baru Harus Naikkan Nilai PBI BPJS

irgan

irganJakarta-PKMK. Kemungkinan pergantian menteri keuangan RI dalam waktu dekat ini tidak boleh mengubah komitmen terhadap penentuan nilai penerima bantuan iuran (PBI) di Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Siapapun menteri keuangan yang baru, harus berkomitmen untuk menaikkan nilai PBI tersebut, ungkap Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, mengatakan hal tersebut di Jakarta (Senin, 25/3). Komitmen menaikkan nilai PBI tidak terkait figur menteri keuangan. Tapi, hal ini menyangkut kesiapan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan BPJS Kesehatan dengan tepat.

Nilai PBI sebesar Rp 15.483 per orang per bulan yang diusulkan Kementerian Keuangan RI, terlalu kecil, ungkap Irgan. “Pemerintah Indonesia seharusnya bisa mengalokasikan nilai yang lebih besar. Kalau untuk alokasi anggaran lain bisa lebih besar, kenapa untuk PBI tidak bisa?” kata legislator dari Partai Persatuan Pembangunan itu. Ia pun menambahkan, usulan nilai PBI dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) lebih besar. Demikian pula usulan nilai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Maka, Pemerintah Indonesia harus menaikkan besaran nilai PBI agar pelayanan kesehatan masyarakat bisa ter-cover dengan baik. Pada prinsipnya, Komisi IX telah sepakat dengan DJSN dan IDI tentang kenaikan nilai itu,” tambah Irgan.

Apakah Komisi IX DPR RI akan menyampaikan interpelasi kepada Pemerintah Indonesia terkait hal itu? “Saya kira belum sampai ke tahap interpelasi. Pada pertemuan berikutnya dengan Menteri Keuangan RI dan Menteri Kesehatan RI, kami akan menanyakan lagi soal nilai PBI yang terlalu kecil itu.” Kemudian, ia mengatakan bahwa pertemuan tersebut akan berlangsung secepatnya. Sebisa mungkin, sebelum Sidang Paripurna DPR RI di April 2013 pertemuan tersebut sudah berlangsung. “Lebih cepat, lebih baik dan sekali lagi, belum sampai tahap interpelasi karena Pemerintah Indonesia juga masih mengalkulasi nilai PBI itu,” ujarnya.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terancam Class Action

Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan (RUU Pertembakauan) dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok sebagaimana diwartakan beberapa media dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap DPR.

“Menkes berburuk sangka dan melecehkan DPR. Seolah anggota DPR tenaga upahan/pabrikan,” tegas anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno di Jakarta, seperti yang tertulis dalam keterangan pers yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Minggu (24/2/2013).

Hendrawan mempertanyakan logika yang dipakai Menkes. “Apakah logika yang sama dipakai Menkes, bahwa PP No. 109 Tahun 2012 terbit karena Menkes dapat bantuan dana dari asing? Apakah Menkes menjadi kekuatan komprador asing?,” tanyanya.

Menanggapi pernyataan Menkes, anggota Baleg lain, Poempida Hidayatulloh mengingatkan agar Menkes hati-hati dalam mengkritisi DPR, karena DPR mempunyai imunitas dalam berpendapat. Sebaliknya, pernyataan seorang menteri yang salah dapat berdampak masalah hukum. “Yang jelas kebijakan Menkes adalah titipan asing,” tegas Poempida.

Menkes, lanjut Poempida seyogianya mempunyai visi yang seimbang dalam membuat kebijakan. Karena jika kebijakan dilandasi ketidakadilan, kebijakan tersebut dapat dikategorikan inkonstitusional.

“Dalam konteks ini, Menkes harus berhenti berwacana dan segera menyelesaikan berbagai masalah pelayanan kesehatan yang menjadi sorotan akhir-akhir ini,” ungkapnya.

Ketika ditanya apakah ada kemungkinan DPR melakukan langkah-langkah untuk mengingatkan Menkes?

Poempida menjawab jika sikap Menkes tidak juga berubah dan tidak menunjukan sikapnya sebagai negarawati yang mengutamakan kepentingan masyarakat berdasarkan azaz keadilan, DPR tidak akan segan-segan melakukan class action.”DPR bisa lakukan class action untuk ingatkan Menkes!,” ujar politisi Partai Golkar ini.

(sumber: www.tribunnews.com)

Watch out, TB-HIV coinfection on the rise

Paper Edition | Page: 4

For Indonesia, World Tuberculosis Day, which falls on March 24, is an event of great relevance due to the fact that the country ranks fifth on the list of 22 high-burden Tuberculosis (TB) countries in the world.

According to the World Health Organization’s (WHO) Global Tuberculosis Control Report in 2012, an estimated 528,063 new TB cases or approximately 256 cases per 100,000 of the population were found in Indonesia in 2010. Based on WHO disability-adjusted life-year (DALY) calculations, TB alone is responsible for 6.3 percent of the total disease burden in Indonesia, almost twice the figure in Southeast Asia.

In addition, as in many other developing countries, coinfection or co-morbidity of TB and HIV is a common phenonemenon in Indonesia. Put differently, in many places in developing and low-income countries, including Indonesia, the TB epidemic has become intertwined with the HIV epidemic. On the one hand, HIV infection greatly increases the risk of TB infection; on the other hand, TB infection exacerbates the suffering of people living with HIV. Therefore, the current world TB commemoration once again empahasizes the urgent need to combat not just TB but also TB-HIV coinfection.

The Health Ministry states that as of March 2012 there were 20,564 reported cases of people living with HIV in the country. Considering the tendency of underreporting of HIV cases in Indonesia, the Indonesian National AIDS Commission (2010) estimates the number of people living with HIV and AIDS in the country ranges from 200,000 to 270,000. The United Nations Joint Commission on AIDS (UNAIDS) has identified a shift of HIV epidemics in Indonesia since early 2000 from “low prevalence” to “concentrated prevalence”, implying that HIV prevalence is less than 1 percent in the general population but more than 5 percent among vulnerable groups such as injecting drug users, female sex workers and their clients, as well as homosexuals.

TB-HIV coinfection is common among these HIV high-risk groups, In addition, it is noteworthy that these high-risk groups tend to be socially and economically marginalized. They usually suffer from the so called cluster of disadvantages e.g. generally having low educational attainment, low levels of skill and employability, low levels of income, low food and nutrition intake, low levels of physical fitness and immunity, and live with poor housing and sanitation.

Moreover, many of them are involved in high-risk behavior such as smoking, alcohol and drug abuse, as well as high-risk sexual practices. In these circumstances, it is not surprising that many of them are susceptible to infectious diseases, including TB and HIV.

Abundant studies indicate that because of their social and economic marginalization the presence of ignorance, lay beliefs and misconceptions about TB and TB/HIV coinfection are common among these high-risk groups. These beliefs and misconceptions influence their health-seeking behavior and frequently hinder their access to adequate treatment.

Moreover, the stigma and discrimination commonly attached to TB and HIV as well as to people living with TB and HIV further exacerbates their suffering and hinders their access to adequate medical treatment. As an example, the level of adherence to TB medication among the members of the above groups who suffer from TB is so low as to render them susceptible to TB multi-drug resistance.

Numerous studies indicate that to control TB-HIV coinfection, concerted efforts (not limited to biomedical and public health interventions) are needed. In other words, while educating people, particularly vulnerable groups, about the risks and the ways to prevent TB and HIV infection is necessary, it is not sufficient to reduce TB-HIV coinfection if they continue to live with high-risk factors such as poor housing, poor sanitation and poor nutrition.

An increasing number of studies maintain that there is a strong link between poverty, economic inequality and TB, HIV and TB-HIV coinfections. On the one hand, poverty and economic inequality lead to people living with TB-related high-risk factors (poor housing, poor sanitation and poor nutrition) as well as indulging in HIV-related high-risk behavior (having multiple sex partners, low levels of condom use and the sharing of needles and other injecting equipment).TB and HIV coinfection further exacerbate poverty, economic inequality, individual as well as social suffering among the members of these vulnerable groups.

Therefore, concerted efforts in the forms of increased access by vulnerable groups to knowledge and prevention skills, access to TB-HIV medication as well as social and economic interventions to improve access to sufficient educational attainment, employability, income, housing and nutrition are urgently needed. However, many of the above requirements are beyond the control of health authorities.

Thus, active engagement by multiple government agencies, not limited to the health sector, as well as the involvement of the community and civil society is crucial.

(source: www.thejakartapost.com)

US Lauds Indonesia for Success in Fighting Tuberculosis

Indonesia has been awarded with an achievement award from the US Agency for International Development (USAID)’s Global Health unit for its successful campaign in tuberculosis management, amid growing success fighting the disease throughout Southeast Asia.

“On March 20, we received the achievement award from USAID for our program in tuberculosis management which has been appreciated internationally,” director general of disease control and environmental health to the Ministry of Health, Tjandra Yoga Aditama, said on Thursday.

The award was received by Dino Patti Djalal, Indonesia’s ambassador to the United States, in Washington DC.

Tjandra said based on data from 1990 to 2010, Indonesia has been able to decrease the incidences, prevalence and deaths related to tuberculosis.

“We managed to decrease the incidence rate from 343 per 100,000 in 1990 to 189 per 100,000 people in 2010, and we also reduced the death because of TB by 71 percent from 92 deaths per 100,000 population to 27 out 100,000, which means we have achieved the target set by the Millennium Development Goals,” he said.

Despite the significant progress in reducing deaths from tuberculosis, Tjandra said the disease remained a very serious health issue because of the massive number of patients and deaths, along with more complicated health implications.

“There are many new challenges such as the high number of co-infection between TB and HIV/AIDS and the growing number of multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) even though we reduced the number but the sufferers and the deaths because of TB remain really high,” he said.

Tjandra said the government has been trying to set up several new programs, including advancing treatment standards at hospitals and installing more Gen Experts — medical devices that can detect tuberculosis and MDR-TB quickly and accurately.

Meanwhile the World Health Organization said on Thursday that significantly fewer people are dying of tuberculosis in Southeast Asia in the modern day, compared with 1990.

The death rate due to the disease has decreased by more than 40 percent in the past 13 years because of greater public awareness of the disease, an increased number of cases being detected and greater access to adequate treatment, a WHO statement said.

Samlee Plianbangchang, regional director of WHO in the Southeast Asia region, emphasized that eliminating tuberculosis is a social and public health responsibility.

“To successfully eliminate TB, we must pay attention to the underlying causes of the spread of the disease, such as poverty, the environment and nutrition.” Pliangbangchang said. “TB detection and treatment facilities must be made accessible and affordable to the hard-to-reach and unreached populations at the primary health centers.”

As access to tuberculosis care has expanded substantially, the number of people with tuberculosis has also declined by a fourth in the region, compared with 1990.

All 11 member countries of the region — Bangladesh, Bhutan, South Korea, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand and Timor-Leste — have adopted the WHO Stop TB Strategy.

More than 88 percent of tuberculosis patients in the region have been successfully treated. In Indonesia, 90 percent of patients were successfully treated.

However, absolute numbers are still high, the WHO statement said.

There were an estimated 5 million tuberculosis patients in the region in 2011, of which 500,000 died that year. There were also an estimated 90,000 cases of MDR-TB in 2011. This is nearly a third of the estimated number of people with MDR-TB in the world.

Substantial challenges remain, the WHO statement said. An estimated one third of tuberculosis cases continues to remain unreported. Such cases are of concern as they unknowingly help spread the disease in the community and pose a serious risk of drug-resistant tuberculosis.

There is a need to increase technical and managerial capacity within national programs, provide additional funding for treatment programs, extend community-based care and improve laboratory capacity to better diagnose and more effectively treat patients, the WHO said.

Tuberculosis elimination cannot be achieved by the health sector alone and requires coordinated efforts by other sectors, such as environment, infection control, water and sanitation.

The Health Ministry estimated that there are 450,000 new tuberculosis cases in Indonesia every year, putting the country behind only India, China and South Africa in terms of prevalence. The ministry also reported that the disease kills at least 65,000 Indonesians annually, making it the number one killer among communicable diseases in Indonesia.

More than 6,500 people have developed resistance to tuberculosis drugs because of the low adherence to the rigorous and lengthy treatment regime to treat the infection.

(source: www.thejakartaglobe.com)

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terbujuk Bisikan Asing Soal Tembakau?

Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok beberapa hari lalu ditanggapi Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Menurut Sekjen Gappri, Hasan Aoni Aziz US, pernyataan Menkes tersebut mengecilkan arti tembakau bagi petani.

“Menkes mungkin sedang flanking (berkelit) untuk tidak berhadap-hadapan dengan petani, sehingga paling mudah ya kritik pengusaha,” katanya, seperti yang tercantum dalam rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Kamis (21/3/2013).

Hasan mengingatkan bahwa ini tahun politik, jadi jangan kompori hal-hal yang bisa menjadikan kondisi tidak stabil. Kalau pernyataan Menkes terus-menerus seperti itu, nanti kalau petani datang ke Jakarta jangan salahkan mereka.

“Kami khawatir, pernyataan Menkes yang sangat anti tembakau itu bisa mendorong ribuan petani berduyun-duyun datang ke Jakarta dan protes,”imbaunya.

Tembakau bagi petani adalah hak hidup, hak ekonomi untuk memilih tanaman apa yang bebas dipilih mereka. Hasan mempertanyakan apa bisa dijamin jika tembakau tidak ditanam lalu petani akan lebih sejahtera? Apa bisa dijamin jika menanam tanaman lain lalu harga jadi lebih baik? Apa juga bisa dijamin jika tidak ada asap rokok dari tembakau itu, lalu tidak akan ada asap lain yang jauh lebih berbahaya?

“Soal bahaya asap rokok kan sudah diatur. Tetapi tembakaunya sebagai tanaman belum diatur. Petani meminta hak ini,” tegasnya.

Jadi, upaya Menkes melarang dan mendrop RUU Pertembakauan adalah sikap yang tidak arif sebagai seorang pejabat bahkan cenderung semena-mena.

“Apa Menkes akan manut saja dengan bisikan dari asing? Apa Menkes memang memusuhi petani tembakau dan menganakemaskan pengusaha farmasi?,” tanyanya.

Hasan menilai kritik yang dilakukan Menkes sebetulnya seperti peribahasa “menepuk air didulang, terpercik muka sendiri”. Dengan program kesehatan yang didukung dana farmasi asing, sama halnya Menkes tengah mempertahankan bisnis obat-obatan farmasi melalui rumah sakit.

Kita tahu banyak dokter binaan Menkes yang hidupnya dari fee obat-obatan farmasi yang dirujuknya. Bahkan, sampai obat dan biaya rumah sakit jadi mahal dan rakyat miskin dilarang sakit. Banyak pihak menduga karena kong-kalingkong ini.

“Ini sudah common sense. Saya kira ini yang harusnya diurus Menkes. Jangan sampai nanti LSM anti korupsi dan KPK memeriksa Menkes dan seluruh jajarannya karena hal itu,” ungkapnya.

Lebih lanjut Hasan mengungkapkan, industri farmasi asing setelah menghajar tembakau dan rokok di berbagai negara, sekarang menjual obat-obatan pengganti nikotin (nicotine replacement therapy) dengan nilai ratusan juta dolar. Dalam hal ini kecurigaan Wanda Hamilton, dosen dan penulis di Amerika Serikat terhadap peran farmasi dalam gerakan anti-tembakau benar adanya.

“Kami justru curiga, jangan-jangan komentar Menkes ini adalah upaya pengalihan isu karena gagal dalam menangani pasien di rumah sakit. Kan banyak kematian bayi dan orang miskin karena rumah sakit terbatas palayanannya,” ujarnya.

Terkait RUU Pertembakauan, RUU ini memberikan ruang kebebasan bagi petani untuk berusaha. Jika melihat laporan Baleg DPR, ada banyak naskah akademik (NA) dari berbagai perguruan tinggi untuk RUU ini.

Hasan menyarankan jika Menkes mempunyai usulan sebaiknya sampaikan melalui saluran yang ada. Sehingga, diharapkan suatu UU kelak akan mengakomodir semua pihak secara proporsional dan bertanggung jawab.

“Kami sarankan mari kita slow down, tidak memicu kegaduhan politik di tengah kesulitan petani dalam mempertahankan hak hidupnya, juga di tengah rakyat akhir-akhir ini meminta hak mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak.

(sumber: www.tribunnews.com)

Program Internship Dokter Masih Pro dan Kontra

JAKARTA – DPR RI membentuk Panja terhadap Program Internship Dokter Indonesia dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hal itu mengemuka dalam Raker Komisi IX DPR RI bersama Kemenkes, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Ikatan Senat Kedokteran di Gedung DPR RI, Senayan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Aditya Anugrah Moha yang akrab disapa ADM mengatakan ada pro dan kontra terhadap persoalan tersebut. “Program itu, ada menolak dan menerima dari para dokter itu sendiri,” kata ADM usai Raker, Selasa (19/3/2013).

Politisi Golkar dari dapil Sulut ini mengaku, mendapat masukan dari IDI, ada kejanggalan baik dari pendaftaran dan hasilnya terhadap uji Kompetensi, karena ada kaitannya dengan program Internship.

“Ada inkoneksitas. Kita menekankan untuk evaluasi menyeluruh. Internship dan Kompetensi, jangan sampai menyulitkan gelar dokter yang sudah susah payah di dapatnya,” katanya.

Politisi dari Golkar dapil Sulut ini menilai, konsep sudah bagus. Namun pelaksanaannya ada kejanggalan. Harus telisik ada keterkaitan menyangkut kesetaraan kewenangan Dirjen Dikti dan pelayanan di Depkes.

Terkait intensif sebesar Rp 1,2 juta per bulan bagi setiap Dokter, Partainya mendorong ada penambahan dalam APBNP 2013.

Sedangkan anggota Fraksi Demokrat, Prof Dina Mahdi menganalogikan program tersebut, kepala dilepas ekor di pegang. Sehingga perlu dibahas bersama.

Okky Asokawati dari fraksi PPP menegaskan, program Interhensif berada di pendidikan atau pelayanan.

“Kalau pelayanan domainnya Kemenkes,” katanya.

(sumber: www.tribunnews.com)