Pemerintah Melupakan Fungsi Apoteker

Jakarta – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai, pemerintah telah melupakan peran penting apoteker, terutama dalam menyusun kerangka infrastruktur ke arah pelayanan kesehatan semesta seperti diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Dalam Rakernas yang digelar di Jakarta pada tanggal 15-16 Februari dan diikuti oleh apoteker dari seluruh Indonesia, IAI memberikan beberapa catatan kritis atas kinerja apoteker dalam dunia kesehatan belakangan ini. Dan salah satu kesimpulan penting dari Rakernas ini adalah perlunya dilakukan dialog dengan pemerintah untuk memastikan peranan apoteker di dalam perangkat penunjang keberhasilan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Semesta mendapatkan porsi yang layak.

“Saat ini, apoteker masih dilihat hanya sebagai penjual obat, atau bahkan pembantu penjual obat. Padahal, apoteker merupakan profesi kesehatan yang penting dalam mendukung pemerintah melaksanakan amanat UU SJSN, maka dari itu peranan dan fungsinya dalam tatanan SJSN pun harus dipertimbangkan. Bukan sekedar dilihat hanya sebagai penjual obat,” ungkap Dani melalui siaran persnya di Jakarta, Senin (25/2/2013).

“Saat ini, kami apoteker belum dilihat sebagai salah satu mitra profesi kesehatan di dalam SJSN,” tambah Dani.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Dani menjelaskan, yang dihitung dalam proporsi reimbursement yang dilakukan oleh BPJS terhadap klaim dari pelayanan kesehatan hanyalah porsi harga obat, penggunaan alat medis dan jasa dokter saja.

“Jasa apoteker tidak diperhitungkan di dalamnya,” ujarnya.

Padahal, berdasarkan pasal 108 UU No.36/2009 tentang Kesehatan, segala pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker. Dani juga menjelaskan bahwa secara profesi, apoteker dapat menunjang hasil diagnosa dari dokter dengan memberikan pendapat dari segi efektifitas pengobatan dan kinerja dari obat itu sendiri.

“Seringkali dokter kurang memahami mengenai reaksi obat yang satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan materi yang dikuasai oleh seorang apoteker. Dengan adanya dialog interaktif antara dokter dengan apoteker, tentunya masyarakatlah yang akan lebih diuntungkan. Rumah sakit juga bisa lebih efektif dalam menyusun budget pembelian obatnya,” jelas Dani lagi.

Perlu sinergi

Dani juga mengemukakan pentingnya sinergi antara apoteker dan dokter. Menurutnya, profesi apoteker menguasai berbagai hal yang terkait dengan reaksi obat, molekul dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan obat. Sedangkan bidang kedokteran mempelajari anatomi tubuh manusia beserta penyakitnya. Komunikasi yang efektif antara kedua profesi ini dapat memberikan masyarakat kepastian akan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, tidak hanya dalam diagnosanya saja tetapi juga molekul obat yang cocok untuk dirinya.

“Bila saja ada sinergi antara dokter yang melakukan diagnosa atas penyakit dan apotekernya mengenai obat yang kiranya cocok untuk kesehatan pasien, tentunya akan sangat membantu masyarakat,” jelas Dani.

Selain itu, tingkat rasionalitas penggunaan obat pun akan meningkat. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli berbagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan. Kemudian akan ada mekanisme check and balance antara dokter dan apoteker untuk mencari obat yang cocok.

“Jadi bukan sekedar mengakomodasi pesan sponsor dari perusahaan farmasi, seperti yang sudah sering disinyalir,” tutur Dani.

Dani menjelaskan, jika profesi apoteker diberi peranan yang memadai dalam kerangka SJSN, apoteker dapat membantu penghematan pengeluaran rumah sakit dalam hal pembelian dan pengadaan obat. “Apoteker adalah profesi yang mempelajari mengenai obat-obatan. Kelebihan dan kekurangan suatu molekul obat merupakan bidang yang dikuasai oleh apoteker. Karena itu, jika apoteker diberi peran konsultatif dalam penatalaksanaan penyakit, kami akan dapat melakukan penyortiran dari molekul-molekul obat yang lebih dibutuhkan oleh RS dengan mempelajari demografi pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut dan jenis penyakit yang sering ditangani oleh RS tersebut,” papar Dani.

(sumber: health.kompas.com)

Putin signs law to curb smoking, tobacco sales in Russia

MOSCOW (Reuters) – Russian President Vladimir Putin has signed a law that will ban smoking in most public places and restrict cigarette sales in the world’s second-largest tobacco market after China.

The law will ban smoking in some public places such as subways and schools from June 1, and come into force a year later in other places including restaurants and cafes.

It will also ban sales of tobacco products at street kiosks from June 1, 2014, restrict advertising and set minimum prices for cigarettes which now cost 50 to 60 roubles a pack (less than $2).

Putin, who started a new six-year term in 2012 and has promoted healthy lifestyles, hopes the law will help undermine an entrenched cigarette culture and reverse a decline in Russia’s population since the collapse of the Soviet Union.

Advocating the law in a video blog before it was submitted to parliament last year, Prime Minister Dmitry Medvedev said nearly one in three Russians were hooked on smoking, and almost 400,000 die each year from smoking-related causes.

The Kremlin said Putin had signed the law on Saturday but did not announce it until Monday. It said the law was intended to bring Russia into line with a World Health Organization tobacco control treaty that Moscow ratified in 2008.

The law faced opposition from foreign tobacco companies that dominate a cigarette market estimated to be worth $22 billion in 2011 by Euromonitor International, a market research company.

Russia’s population fell from 148.6 million in 1991, the year the Soviet Union collapsed, to 141.9 million in 2011, according to World Bank figures.

(source: thestar.com.my)

Wamenkes : Nilai Iuran PBI Belum Ditetapkan

Jakarta-PKMK. Nilai Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk warga miskin peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum ditetapkan sampai saat ini. Nilai tersebut akan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Keputusan Presiden (Keppres) ke depannya. “Jadi, tidak mungkin cuma berbentuk Surat Edaran Menteri Keuangan seperti yang dikatakan di sebagian kalangan,” ungkap Prof. Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan RI, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (25/2/2013).

Kementerian Kesehatan terus berkoordinasi dengan lembaga pemerintah yang lain seperti Kementerian Keuangan untuk penentuan nilai PBI itu. Pihaknya bisa memastikan bahwa nilai tersebut belum ditetapkan secara resmi hingga saat ini. “Surat dari Menteri Keuangan yang menyebutkan bahwa nilai PBI sebesar Rp 15.500-an per orang per bulan, merupakan jawaban dari Menteri Keuangan terhadap pertanyaan dari Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). “Bukan keputusan resmi dari Pemerintah Indonesia,” ucap mantan wakil dekan FK UGM tersebut. Ghufron menambahkan, Kementerian Kesehatan mengusulkan nilai BPI sebesar Rp 22.201 per orang per bulan. Jadi harapannya besaran biayanya bukan Rp 15.500 per orang per bulan.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa pengusulan nilai Rp 22.201 per orang per bulan itu didasari sejumlah hal. Misalnya agar terjadi penguatan pelayanan kesehatan berbagai tingkatan dan sistem rujukan. Pun, dengan nilai tersebut, diharapkan bahwa kesinambungan program BPJS terjadi. “Kenaikan jumlah pasien pasti terjadi akibat terselenggaranya BPJS,” ucapnya.Kebutuhan anggaran untuk PBI di tahun 2014 sebesar Rp 25,68 triliun. Hal ini berarti 1,57 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.

Indonesia Akan Buat Pusat Hati Pertama

Jakarta – Banyaknya kasus penyakit hati yang ada di Indonesia dan belum ada penanganan terpadunya, tercetus ide untuk membuat Pusat Hati pertama.

“Rencananya di bulan April, kami sudah buka center of liver,” ujar Direktur Operasional Rumah Sakit Petramedika Sentul City, Kamelia Faisal yang ditemui di Hotel Indonesia, Sabtu (23/2). Tapi operasional pusat layanan hati baru aktif total mulai September 2013.

Ide memiliki pusat layanan hati, Kamelia menjelaskan, adalah dengan melihat jumlah populasi penderita hati di Indonesia. Ia tidak bisa mengingat angka tepatnya, tapi berdasar data dari Kementerian Kesehatan penyaki ini menempati diderita 15 persen penduduk Indonesia. “Tiga persennya, hepatitis (B & C), tumor dan Sirosis (pengerasan) hati.” Dari pengalaman Kamelia sendiri pun, di keluarganya ada dua orang yang menderita gangguan hati.

Kamalia menuturkan, penderita hati sering mendapatkan salah deteksi dari awal. Jadi mereka digiring ke dokter penyakit dalam (internis). Ketika ternyata dirawat tidak sembuh, baru ketahuan ada gangguan hati yang tentunya stadiumnya sudah bertambah buruk. Akibatnya perawatannya pun jadi lebih mahal dan berat.

Dengan adanya pusat layanan hati ini, diharapkan bisa deteksi dini sehingga bisa diselamatkan dari awal. Saat ini, di RS Pertamedika sudah tersedia 10 dokter yang khusus menangani di pusat layanan hati, para dokter itu pun secara bertahap akan mendapat pelatihan dengan pusat Hati dari Kobe Jepang.

(sumber: www.suaramerdeka.com)

Health Ministry mulls incentives for opening community pharmacies

PETALING JAYA: The Health Ministry is considering providing incentives to encourage the private sector to set up community pharmacies in rural areas.

Health Minister Datuk Seri Liow Tiong Lai said such incentives was necessary to overcome a shortage of pharmacies in rural areas.

“The Ministry views the situation (lack of pharmacies in rural areas) seriously as many such pharmacies are only mushrooming in the city and concentrated in certain regions,” he told reporters after opening the 100th Cosway Pharmacy outlet in Damansara, near here, on Sunday.

Liow in his speech text that was read by the Health Ministry’s Pharmaceutical services division senior director Datuk Eisah A Rahman, said according to the ministry’s statistics, there were 10,006 registered pharmacies and 1,834 community pharmacies throughout the country.

The concentration of community pharmacies is in Selangor (where there are 433 pharmacies), Penang (213), Kuala Lumpur (201) and Johor (157).

Realising the lack of pharmacies in rural areas and the inequitable distribution, the Health Ministry was looking into a zoning system to distribute pharmacies accordingly in urban and rural areas so that the people would not be deprived of such facilities, Liow said.

To ensure an equitable distribution of pharmacies in the country, the ministry and the Malaysian Pharmacy Association had developed the Malaysian Healthcare Providers Mapping Service.

Currently, the ratio of pharmacists to the population in Malaysia is 1:2,947 people and by 2016 it is expected to reach the optimum ratio of 1:2,000 people set by the World Health Organisation.

(source: thestar.com.my)

Langkah Pemerintah Makin Mantap dalam Memerangi HIV-AIDS

Yogyakarta, Pemerintah memiliki target agar Indonesia terbebas dari kasus baru HIV-AIDS di tahun 2015. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan berbagai sarana informasi dan fasilitas kesehatan yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia.

HIV merupakan kependekan dari Human Immunodeficiency Virus, sedangkan AIDS adalah kependekan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, dimana keduanya merupakan penyakit yang terjadi karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus.

Jika tidak segera ditangani, pasien dengan HIV akan mengembangkan AIDS dan akhirnya meninggal dunia karena daya tahan tubuhnya semakin menurun. Semakin dini diagnosa terhadap HIV, maka pengobatan akan lebih cepat diberikan sebelum HIV berkembang menjadi AIDS.

Sayangnya, masih banyak orang yang berisiko tinggi terhadap HIV-AIDS dan belum memeriksakan dirinya ke dokter untuk memastikan apakah positif terinfeksi atau tidak. Alasannya, mungkin disebabkan karena kurangnya informasi tentang bagaimana seseorang dikatakan berisiko atau rasa takut jika benar-benar dinyatakan positif mengidap HIV-AIDS.

HIV-AIDS dapat ditularkan melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi HIV oleh pemakai narkoba atau perawatan kesehatan, transfusi darah, kehamilan (ibu kepada bayinya), dan terjadinya luka akibat pemakaian benda yang telah digunakan oleh pasien AIDS.

Menurut data dari Kementrian Kesehatan, jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai 15372 kasus dan AIDS sebanyak 3541 kasus. Jumlah ini bersifat kumulatif sejak tahun 1987 hingga tahun 2012, karena orang yang telah terinfeksi virus ini tidak dapat disembuhkan dan kasusnya akan terus tercatat dan terakumulasi.

“Sehingga adanya peningkatan jumlah kasus HIV-AIDS dapat dijadikan indikator keberhasilan pihak pemerintah dalam mensosialisasikan informasi tentang HIV-AIDS dan menyadarkan orang yang berisiko tinggi untuk melakukan uji HIV-AIDS,” kata Drs. A. Riswanto, M.Si, sekretaris KPA provinsi Yogyakarta, dalam acara temu media di Yogyakarta, Kamis (21/2/2013).

Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menanggulangi HIV-AIDS dengan meningkatkan informasi untuk mencegah perilaku berisiko HIV-AIDS. Selain itu, pemerintah juga berharap bahwa tidak akan muncul lagi kasus-kasus HIV-AIDS yang baru ke depannya.

Riswanto menyatakan bahwa pemerintah telah meningkatkan potensi dan fasilitas beberapa rumah sakit di kabupaten atau kota agar mampu merawat dan mengobati kasus AIDS. Di kota Yogyakarta sendiri contohnya, telah ada 7 rumah sakit yang mampu menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan terhadap HIV-AIDS, seperti RSUP Dr. Sardjito, RSU Panti rapih, RSU Bethesda, dan lain sebagainya.

Selain itu, dinas kesehatan juga memberikan pelatihan terhadap tenaga medis di rumah sakit lain, puskesmas, dan bahkan klinik kesehatan agar mampu mengidentifikasi HIV-AIDS dan merujuk pasien ke rumah sakit pusat untuk mendapatkan diagnosa yang lebih akurat.

Adanya kerja sama yang baik dari berbagai instansi kesehatan ini dapat mempermudah langkah pemerintah dalam mengentaskan kasus HIV-AIDS dan mewujudkan misi untuk membebaskan Indonesia dari kasus baru HIV-AIDS.

(sumber: health.detik.com)

WHO urges careful testing as threat of new coronavirus still not understood

A newly identified virus that comes from the same family as SARS has many worried that the world could be facing a threatening new pandemic. But it’s still unclear how much of a danger this new virus presents.

The virus has been dubbed EMC, after the Erasmus Medical Centre where it was first identified, or sometimes just NCoV, for “novel coronavirus.”

It was first identified in September, when the World Health Organization issued an international alert saying a completely new virus had infected a Qatari man from Britain who had recently travelled to Saudi Arabia.

Since then, 12 cases have been identified, including a cluster of cases reported last week in a British family.

While there have so far been only a handful of known cases, half of those have resulted in death. That’s led many to worry about how virulent this new virus might be.

On Wednesday, the World Health Organization (WHO) encouraged countries around the world to keep a close eye on any cases of acute respiratory infections within their borders, asking them to carefully review any unusual patterns.

Specifically, the global health body suggested testing for the new coronavirus should be considered in patients with unexplained pneumonias, as well as those with unexplained or complicated respiratory illness who aren’t responding to treatment.

The new coronavirus appears to cause severe pneumonia and sometimes kidney failure. While most of the cases have been related to travel to the Middle East, two family members of a man who just died in Britain appeared to pick up their infections through person-to-person contact.

That’s why health officials around the world are tracking the virus carefully, trying to understand how it spreads and how dangerous it is.

On Wednesday, the Public Health Agency of Canada said it “continues to monitor the situation” and any suspect cases will be sent to the National Microbiology Laboratory for examination.

However, the agency warned that “the risk to Canadians is low.

“Evidence suggests that the novel coronavirus is not efficiently transmissible between humans and has greater effects on people with pre-existing medical conditions,” the agency said in an email statement to CTV News, noting that the number of worldwide cases has been “very limited” since it was first detected.

On Tuesday, European scientists revealed the new virus easily infects the cells of the airways of the human lung. In fact, the virus is as adept at infecting the cells of the upper airways as the one that caused SARS and one that causes common colds – which are also from the coronavirus family.

At this point, though, it’s still not known how easily it spreads and how virulently it causes illness.

“What we need to be watching for are any signs that this virus gains the ability to transmit efficiently from human to human,” the WHO’s Gregory Hartl told reporters this week. “So far, we have seen no signs of efficient transmission in humans.”

So far, it seems, the virus does not cause illness very easily, and that has infectious diseases experts, such as Dr. Neil Rau, reassured.

“I don’t think it is a big cause for concern at this stage,” he told CTV News. “…I think we need a lot more info on whether this is a rarely encountered virus that often kills, or quite widespread but rarely can kill people.”

Rau says there is a lot of interest in this virus because it comes from the same family as SARS. But so far it doesn’t appear to be anything like SARS, which affected more than 8,000 patients within months of its emergence in China and caused more than 700 deaths.

“I think the great deal of interest in this virus is that it is from the same family as the SARS virus but the overall pattern of disease is very, very different and very, very reassuring,” Rau said.

Volker Thiel, one of the immunobiologists who released this week’s research, says he was surprised at how easily the virus could infect cells. But he cautioned that doesn’t mean the virus can easily pass from person to person.

“We have shown that the airway cells can easily be infected. But this does not mean that the virus can easily be transmitted,” he told The Canadian Press. “I think this distinction is important.”

(source: www.ctvnews.ca)

Sistem Gawat Darurat Jakarta Perlu Diupayakan Online

Jakarta-PKMK. Sistem Gawat Darurat Terpadu untuk rujukan RS ke Jakarta akan diupayakan bisa diakses online. Dengan demikian, proses rujukan pasien bisa lebih cepat dan efektif, ungkap Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI di Jakarta (21/2/2013). Ia menambahkan, Kementerian Kesehatan menerima saran dari Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, untuk menambah jumlah fasilitas NICU (neonatal intensive care unit) di RS. Kini, di Jakarta ada 146 rumah sakit dengan fasilitas MICU. “Sementara, total jumlah tempat tidur NICU kini ada 143 unit,” katanya.

Dengan demikian, jumlah tersebut memang perlu ditingkatkan. “Idealnya, di Jakarta ada 150 sampai 300 buah tempat tidur NICU.” Katanya, saat ini Kementerian Kesehatan tengah meneliti penyebab jumlah fasilitas NICU itu tidak cukup. “Yang jadi perhatian kami adalah mengurangi jumlah pasien yang perlu dirawat dengan fasilitas NICU,” jelas Nafsiah. Di samping penambahan fasilitas NICU, ia berkata, kondisi sumber daya medis yang mengoperasikan juga perlu diperhatikan.

Nafsiah menegaskan, pihaknya tidak menyetujui usulan dari Komisi IX DPR RI untuk mengadakan tempat tidur NICU di Puskesmas di Jakarta. Sebab, Puskesmas pada prinsipnya bukan tempat untuk upaya kuratif penanganan kesehatan. “Kementerian Kesehatan kini sedang fokus agar Puskesmas menjadi tempat upaya promotif dan preventif kesehatan masyarakat,” tutup Nafsiah.

Pemerintah Wujudkan Universal Health Coverage Walau Terkendala Geografis

Ungkit penduduk miskin dan hampir miskin dengan pembentukan basis data terpadu

Jakarta – Penyediaan Universal Health Coverage (UHC) kepada seluruh rakyat Indonesia memerlukan proses dan waktu, terutama mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia serta kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau. Namun demikian, berbagai tantangan tersebut tidak akan menyurutkan kebijakan Pemerintah dalam meneruskan langkah-langkah menuju tercapainya UHC.

Demikian pernyataan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat menjadi salah satu panelis utama pada salah satu Roundtable Discussion pada kegiatan Ministerial-level Meeting on Universal Health Coverage yang bertema “Country Experiences with Health Financing Reforms for Universal Health Coverage”. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO) bekerjasama dengan World Bank, bertempat di Markas Besar WHO, Jenewa, Swiss (18/2).

“Pemerintah RI terus mengambil berbagai kebijakan yang diperlukan dalam rangka memberikan “Universal Health Coverage” kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia”, ujar Ali Ghufron.

Ali Ghufron menerangkan, cakupan jaminan kesehatan di Indonesia pada saat ini telah mencapai 86,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin. Kedepannya, 5 buah skema asuransi kesehatan yang ada diharapkan akan dapat digabungkan (merged) pada tahun 2014 untuk mempermudah seluruh lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dari penerapan UHC di Indonesia.

Menurut Ali Ghufron, salah satu inisiatif yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah RI dalam meningkatkan daya ungkit penduduk miskin dan hampir miskin adalah pembentukan basis data terpadu, yang dilakukan di bawah koordinasi kantor Wakil Presiden RI, yaitu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

“Dengan adanya unifikasi data tersebut penyaluran bantuan terkait program kemiskinan, termasuk penyediaan UHC, akan memiliki dampak yang lebih maksimal”, kata Ali Ghufron.

Ali Ghufron berpandangan bahwa penerapan UHC memerlukan political will yang kuat dari seluruh komponen di Pemerintahan, khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.

Kegiatan yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan dari sekitar 30 negara ini merupakan forum tukar pengalaman serta pemikiran di antara Negara-negara anggota WHO dalam mengimplementasikan jaminan kesehatan di negaranya masing-masing. Diharapkan para delegasi juga dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama oleh masyarakat internasional dalam memajukan UHC di seluruh Negara. Kegiatan ini berlangsung hingga 19 Februari 2013.

(sumber: jaringnews.com)

WHO and Stop TB Partnership hold landmark TB meeting in Geneva

A group of experts recently participated in a workshop organized by the World Health Organization and the Stop TB Partnership to propose goals to guide the world’s fight against tuberculosis after 2015.

Thirty-one experts participated in the meeting including modeling experts, epidemiologists, civil society advocates, research and development entities, development and technical agencies, and representatives from high burden tuberculosis countries. The group shared the aspirational goal of zero TB deaths, zero TB disease and zero suffering.

The experts broadly agreed on a set of interim targets for 2025, including the reduction of TB deaths by 75 percent by 2025 compared with 2015. The achievement of the goal would drop worldwide TB deaths from a projected 1.2 million in 2015 to 300,000 in 2025.

A closely related second goal is the reduction of the TB incidence rate by 40 percent by 2025 when compared to 2015. A third goal was related to universal health coverage, a potential prominent feature in the broad post-2015 development agency.

To achieve the proposed interim targets, the experts said that a dramatic scale up of TB diagnosis and treatment will be required, in addition to further universal health coverage advancement, poverty reduction, economic development, substantial research and development research, and widespread uptake of new tools.

The participants agreed that even bolder targets should be created for 2030 and 2040.

The World Health Assembly will discuss the new TB elimination strategy and targets in 2014, which will be at the core of the next global TB elimination plan by the Stop TB Partnership.

(source: vaccinenewsdaily.com)