Nigeria: NHIs Still Nigeria’s Best Option to Improved Healthcare

The three tiers of government in the country have been advised to enroll their citizens into the National Health Insurance Scheme (NHIS) as a means of improving access to quality care in hospital, Senator Isa Zarewa, chairman of a health organization has said.

Senator Isa Zarewa, chairman of the International United Health Care, a Health Maintenance Organisation (HMO) told Daily Trust that most developed countries who are presently medical tourist centres and raking in millions for their countries are able to attend such status because they have well established health insurances.

Speaking during a training organized by the organization to update its staff on best practices abroad on how to provide better services to their client at the Reiz Hotel, Zarewa said that the HMO was looking at cascading into community health insurances to assist those at the rural areas.

He added that if the NHIS is adequate financed by the government, or even people it would go along way to do away with out of pocket spending, which is gradually collapsing the system

He however warned that the HMO would always put their client’s health first and deal with hospitals that fail to compel with the terms of agreement and mis management the needs of the patients.

Earlier the managing director of International United Health Care, Dr Kolawole Owoka said that though the health sector is fragmented, with the rich travelling abroad for medical treatment, with the poor making do with what the country has to provide, NHIS according to him can bridge the wide gap in accessing health care.

He added that the organization is bracing up to assist the government achieve universal coverage which he said would improve the health indices.

He advised that to achieve universal coverage, Nigeria as a developing nation has to borrow a leaf out of great developed countries and look at how they operate their health insurances, with minority group subsiding the bills of the majority.

(source: allafrica.com)

Jumlah Perokok Indonesia Semakin Besar

Bandung – Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Barat drg. Yus Ruseno M.Sc. Ph.d mengatakan jumlah perokok di Indonesia terus bertambah dengan umur perokok pemula yang semakin muda.

Diharapkan apa yang dilakukan Universitas Kristen Maranatha (UKM) dapat menjadi contoh yang lainnya untuk mengimplementasikan PP 109/2012.

“Dalam pasal 50 pasal 1 dikatakan tempat proses belajar mengajar harus menetapkan KTR. Pada ayat 4 dikatakan pimpinan harus menetapkan KTR,” katanya dalam Sosialisasi UKM adalah Kawasan Tanpa Rokok di Ruang Theater GAP, Kampus UKM, Jln. Surya Sumantri, Kota Bandung, Selasa (12/2/13).

Sementara itu, Koordinator Quit Tabacco Indonesia Dra. Ray.Yayi Suryo Prabandari. M.Si. Ph.D mengatakan kebijakan kampus bebas rokok dinilai cukup efektif untuk mengurangi jumlah perokok di kampus, meskipun penurunannya tidak begitu signifikan. Hal ini seperti yang dilakukan di Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Kawasan tanpa rokok di FK UGM sejak 2004 dan di UGM sejak 2008 ada penurunan walaupun tidak terlalu bermakna. Ini perlu pengawasan lagi, setelah agak lama kita suka kecolongan,” katanya. (A-208/A-88)

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Kemenkes Optimistis Laporan Keuangan Tahun 2012 ‘Bersih’

Jakarta – – Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti optimistis kalau laporan keuangan kementeriannya di 2012 bebas dari korupsi. Ghufron yakin pada 2012 anggarannya akan mendapat status wajar tanpa pengecualian (WTP). Berbeda dengan tahun lalu.

“Ada kasus sedikit yang anda tahu itu, flu burung itu, kalau tidak ada kasus itu mungkin sudah WTP kita,” ujar Ali ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (11/2/2013).

Sebelumnya, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) menilai ada kasus dugaan korupsi yang lebih dahsyat dari kasus korupsi proyek Hambalang. Kasus itu ialah kasus pengadaan vaksin flu burung. Dari kasus tersebut, tercatat kerugian negara mencapai Rp 600 miliar.

Sementara itu, untuk anggaran tahun 2013, Ali yakin tidak ada lagi anggaran yang ditahan Kementerian Keuangan karena tidak lengkapnya dokumen dan Term of Reference (ToR). Pasalnya, waktu yang disediakan untuk mengurusi kelengkapan dokumen tersebut cukup panjang sehingga tidak ada anggaran yang tertahan seperti pada tahun 2012, yaitu anggaran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BJPS) sebesar Rp 1 triliun.

“Yang tahun 2012 itu tahunya sudah akhir tapi diluncurkan kembali di 2013, ditambah jadi Rp 3 triliun tapi tidak semua untuk BPJS. Itu untuk macam-macam, ada perbaikan perbaikan Puskesmas, infrastruktur, SDM, dukungan untuk BPJS yang lain,” pungkasnya.

(sumber: news.detik.com)

Indonesia Akan Tes 1,5 Juta Orang Rentan Infeksi HIV

JAKARTA, (PRLM).- Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pihaknya akan melakukan tes terhadap 1,5 juta orang yang memiliki rentan terinfeksi HIV sebagai upaya untuk menekan jumlah infeksi baru di Indonesia.

Menurut Nafsiah, tes yang dilakukan tahun ini akan diadakan di lokasi-lokasi yang terdapat perilaku berisiko, di antaranya terhadap pekerja seks maupun pelanggannya. Tes dilakukan baru terhadap 1,5 juta orang karena terbatasnya dana yang ada, ujar Nafsiah.

Selain melakukan tes, pemerintah juga melakukan pendekatan edukatif dan persuasif sehingga masyarakat semakin mengetahui tentang HIV dan AIDS.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 1 Januari 2012 hingga 30 September 2012, jumlah orang dengan HIV di Indonesia mencapai 15.372 orang, sedangkan orang dengan AIDS berjumlah 3.541 orang.

Pola penularan tertinggi yaitu melalui transmisi seksual sebesar 81,8 persen dan penularan akibat penggunaan alat suntik tidak steril 12,4 persen. “Jadi dalam prevalensi 0,3 persen, populasi kunci 80 persen coba kita jangkau. Semua yang membutuhkan [obat antiretroviral] ARV kita berikan ARV dan sekarang kita berusaha untuk tes untuk mereka yang sangat rawan. Insya Allah infeksi baru akan menurun,” ujar Nafsiah.

Ketua Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Zubairi Djoerban mengatakan, jumlah ideal yang seharusnya bisa dijangkau oleh tes HIV yang dilakukan pemerintah adalah 30 juta orang.

Menurut dia, semakin banyak orang yang dapat dideteksi maka akan sangat baik. “Ternyata dari banyak penelitian, kalau hanya populasi kunci saja tidak banyak berhasil karena selain risiko tinggi, semua ibu hamil dan masyarakat umum ini dari banyak penelitian memang perlu tes begitu banyak. Kalau kita mengobati maka orang minum ARV dalam waktu tiga sampai enam bulan tidak lagi menular. Artinya kalau kita mengobati kita bisa menekan penularan sampai 0, itu yang utamanya,” ujar Zubairi.(voa/A-147)

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Activists Launch Interactive HIV/AIDS Website

A website providing a directory of medical services and other resources for people living with HIV/AIDS in Indonesia was recently set up to help patients more easily access treatment and information about the disease.

“We decided to set up this portal and mobile application we call ‘AIDS Digital’ because there has not been a comprehensive service that could facilitate the AIDS-affected community or the public in general who want to know more about HIV testing, antiretroviral [therapy and drugs], reference hospitals or any other sexual transmitted disease,” Aditya Wardhana, the executive director of the Indonesia AIDS Coalition, told the Jakarta Globe on Saturday.

Aditya said even with the growth of the Internet and access to it, proper information about HIV/AIDS in Indonesia was scarce. Even those able to access the information found it difficult to ask further questions because few websites providing information about HIV/AIDS were interactive.

Users are able to submit questions about HIV/AIDS and receive responses via the website.

“Most of the time the dissemination of information about HIV/AIDS was done from mouth to mouth,” Aditya said. “This method has failed to break the negative stigma and taboo surrounding the infection itself.”

AIDS Digital, which can be accessed at www.aidsdigital.net, offers directories of health facilities providing sterile needles, methadone therapy and antiretroviral drugs, as well as the addresses of reference hospitals and nongovernmental organizations that provide counseling and advocacy for HIV/AIDS patients. It also contains comprehensive information about HIV/AIDS, prevention programs and discussions aimed at debunking myths about the disease.

The website also allows users to rate the services provided by health facilities.

“With the satisfaction survey, we hope we can push the health service in Indonesia to improve,” Aditya said.

“We hope AIDS Digital can be a private space for the AIDS-affected community so they can access the service they need without having to be burdened by shame or fear of people finding out about their status,” he added.

The number of Indonesians living with HIV was around 370,000 in 2011, according to UNAIDS.

About $69 million was spent in 2010 to prevent and treat AIDS in Indonesia, according to the National AIDS Commission, an increase of around $13 million since 2006. More than half of that comes from international sources of funding.

(source; www.thejakartaglobe.com)

Indonesia Perlu Tingkatkan Riset Tanaman Obat

Jakarta, PKMK-Indonesia masih perlu lebih mengintensifkan riset terhadap tanaman obat. Sebab, saat ini kuantitas riset tersebut masih sedikit. “Dalam setahun, sebuah lembaga di Jawa Tengah hanya menghasilkan dua penelitian. Itu karena keterbatasan anggaran,” ucap Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, di Jakarta (8/2/2013).

Menteri Nafsiah mengatakan, mengatasi hal itu, ada baiknya dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan besar, diarahkan untuk membiayai riset tersebut. “Kita punya banyak kekayaan tanaman obat. Tentu saja harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kini ada ribuan jenis tanaman obat yang belum diteliti,” kata dia.

Walau begitu, ia menambahkan, saat ini teknik produksi jamu yang bahan bakunya dari tanaman tersebut, sudah semakin baik. Maka, konsumen jamu semakin luas, tidak hanya masyarakat di Pulau Jawa. Jamu mengingatkan masyarakat Indonesia terhadap kekayaan tanaman obat di Indonesia. Maka, kata dia, jamu harus terus dilestarikan. Nafsiah menambahkan, dengan menyertifikasi dan mengawasi produk jamu, Pemerintah Indonesia sekaligus meningkatkan upaya preventif terhadap kemunculan penyakit.

“Sertifikasi jamu adalah penelitian yang berbasis pelayanan terhadap masyarakat. Penelitian tersebut untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang khasiat jamu,” ucap Menteri Nafsiah. Satu hal yang masih memprihatinkan, kini jamu banyak dipatenkan oleh pihak di luar negeri. Untuk mencegah hal seperti itu terjadi lagi, tentu menjadi tugas semua masyarakat Indonesia.

Dapatkan Anggaran Rp1,4 T, Kemenkes Minta Tambahan 500 M

Dana tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan pembangunan proyek flu burung.

Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar ngebet ingin melanjutkan proyek pembangunan pabrik vaksin flu burung yang diduga dikorupsi ratusan miliar rupiah.

Dalam rapat dengan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/2), Wamenkes Ali Ghufron Mukti menyampaikan pihaknya sudah membentuk tim untuk melakukan studi due diligence terhadap proyek itu.

Tim itu diisi sejumlah ahli dari luar kementerian yang ditugaskan membuat penilaian.

Dari hasil kerja mereka didapatkan rekomendasi agar proyek itu dilanjutkan dengan meminta tambahan pembiayaan sampai dengan Rp500 miliar. Padahal uang negara yang sudah dihabiskan untuk proyek itu sebesar Rp1,2 triliun sampai Rp1,4 triliun.

Angka uang yang sudah dihabiskan itu memang berbeda dari angka uang negara keluar untuk proyek itu yang pernah disampaikan Menkes Nafsiah Mboy, yakni sekitar Rp900 miliar. Namun, terlepas hal itu, Ghufron menegaskan pihaknya melihat proyek harus tetap dilanjutkan.

“Karena kalau tak dilanjutkan, nanti akan jadi kerugian semuanya itu. Sayang uang yang sudah dikeluarkan negara hilang begitu saja,” kata Ghufron.

Sayangnya, dia enggan berpendapat ketika ditanya berapa sebenarnya uang negara yang keluar murni untuk proyek, dan berapa yang dikorupsi.

BPK, lewat audit investigasinya, menemukan kerugian keuangan negara akibat proyek itu berpotensi hingga angka sekitar Rp600 miliar.

Ghufron melanjutkan pihaknya menganggap proyek pabrik vaksin itu penting sebagai antisipasi pandemi dan endemi flu burung.

“Kalau saya ditanya dulu mungkin ini tak perlu. Tapi karena sudah terlanjur uang negara keluar, ya mending dilanjutkan,” ujar Ghufron.

Pihaknya juga yakin kepolisian akan segera menyelesaikan penyelidikan kasus hukum terkait dugaan korupsi proyek itu, sehingga proses pembangunan bisa langsung dilanjutkan.

“Kita dorong agar kepolisian bisa segera menyelesaikan proyeknya,” kata dia.

Sesuai temuan audit BPK, proyek itu dikerjakan oleh PT.Anugerah Nusantara yang dimiliki oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Ditemukan juga bahwa Kementerian Kesehatan tak pernah memasukkan pembangunan pabrik itu dalam rancangan program Kementerian. Proyek terlaksana setelah diarahkan oleh PT Anugrah Nusantara, dibantu oknum di sejumlah kementerian.

(sumber: www.beritasatu.com)

WTO, WHO, WIPO Examine Intersection of Public Health, Intellectual Property, Trade

More coherence is needed between public health, intellectual property (IP), and trade policies in order to advance innovation and improve access to medicines, according to a joint report released by the WTO, the World Health Organization (WHO) and the World Intellectual Property Organization (WIPO) on Tuesday.

The study, entitled “Promoting Access to Medical Technologies and Innovation: Intersections between Public Health, Intellectual Property, and Trade,” was designed to bring together the three organisations’ respective areas of expertise with the goal of better informing policy-making decisions, especially in developing countries.

Coherence is key, WTO, WIPO, WHO chiefs say

In recent years, the role of the IP system in fostering medical innovation and its potential impact on medicines’ availability have been the subject of extensive discussions – and controversy – at the different organisations.

“The IP system is not an isolated specialist domain, nor yet a monolithic barrier to public health; instead, IP is an element of a complex set of policy tools required to resolve global problems,” WTO Director-General Pascal Lamy explained.

Coherence between health policies, IP rules, and trade policy is therefore “key” toward ensuring that sustainable solutions are found for issues involving access to medicines and medical technologies, the WTO chief added. Along with medicines, medical technologies can also include vaccines and medical devices.

Indeed, the mission of IP is to find an equilibrium point among all interests that surround the process of knowledge production and distribution, as well as “translating intellectual assets into productive assets,” WIPO Director-General Francis Gurry told the audience.

Developed countries have traditionally argued that making patent laws less stringent could hinder innovation on developing medicines and medical technologies; meanwhile, developing countries have long called for more flexibilities and exceptions to have more policy options available in this area.

The study therefore calls for appropriate and creative patent licensing strategies to ensure that drugs and medical technologies are made both affordable and available in poorer countries. While the study also points out the importance of the patent system for the pharmaceutical sector, it identifies alternative incentive mechanisms that seek to enable the development of new products for treating neglected diseases.

The organisations also list various flexibilities aimed at safeguarding the public interest that are already available in the international IP regime. In this regard, WHO Director-General Margaret Chan indicated the need to discuss ways to promote drug availability for treating non-communicable diseases – such as anti-cancer medicines – specifically mentioning the recent trend of issuing compulsory licenses to allow the production of life-saving generics. Chan stressed that generics must be brought quickly into the market, as delaying their entry “hurts public health.”

She also suggested that attention should be given to the request by least developed countries (LDCs) to extend the transition period for applying the WTO’s Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), which is set to expire in July 2013. (See Bridges Weekly, 14 November 2012)

“I fully respect the sovereignty of the multilateral systems in WTO and WIPO. From a public health perspective, an extension of the transition period is worth consideration,” Chan said.

Impact of trade policies on access to medicines

The study also highlights trends in trade of health-related products, and how certain trade policies can help or hinder access to medicines. For instance, high tariffs in some countries can have negative implications for this area.

The study also considers competition and procurement policies that could be beneficial in promoting innovation and availability of medical technologies. For instance, competition policies “can serve as a corrective tool if and when IP rights hinder competition and thus constitute a potential barrier to innovation and access.”

With regard to procurement policies, the study indicates that open and competitive tendering – such as what the WTO’s plurilateral Government Procurement Agreement aims to ensure among its parties – is particularly important in increasing access to medical technologies at a time when governments are facing intense budget constraints.

(source: ictsd.org)

Panja BPJS Diperkirakan Terbentuk Bulan Depan

Jakarta-PKMK. Panitia Kerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Panja BPJS) yang saat ini tengah dirumuskan oleh Komisi IX DPR RI, diperkirakan terbentuk Maret 2013. Dengan Panja BPJS itu, diharapkan nantinya berbagai peraturan teknis yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, lebih cepat diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Poempida Hidayatulloh, Anggota Komisi IX DPR RI (Rabu, 6/2/2013).

Poempida menambahkan, penerbitan peraturan-peraturan tersebut memang tidak seperti yang diperkirakan. “Pengeluaran peraturan-peraturan tersebut memang sangat lambat. Peraturan Pemerintah (PP) tentang nilai premi BPJS, itu seharusnya keluar November tahun 2012. Tapi sampai sekarang belum keluar, ‘kan?” kata Poempida.

Dalam draft PP tentang premi BPJS yang diperoleh Poempida, memang nilai premi itu belum ada. Yang ideal, nilai premi dihitung berdasarkan lingkup coverage. Biaya coverage dihitung, lantas dijadikan konteks premi yang berbasis konteks risiko. Jadi, seperti cara perhitungan di asuransi kesehatan konvensional. Dalam hal ini, nilai premi harus sama karena tidak ada pengelompokan berdasarkan kelas. Hanya saja, nilai premi yang harus dibayar warga mampu dengan yang miskin, berbeda.

Warga yang miskin mendapatkan bantuan premi dari Pemerintah Indonesia. Sementara, warga yang mampu dan ingin memperoleh fasilitas pelayanan yang lebih premium, bisa masuk ke rumah sakit swasta yang tidak ikut ke program ke BPJS. ‘Jadi, dalam hal ini, bisnis rumah sakit swasta itu berjalan seperti biasa. Sama halnya seperti sekarang, kan rumah sakit swasta ada yang tidak ikut program Jamkesmas,” kata Poempida. Kemudian, bagaimana bila BPJS belum berjalan di 1 Januari 2014 seperti yang direncanakan? “Yang jelas, itu ya keteledoran Pemerintah,” jawab dia.

Sambut Jamkesnas, Depkes Tambah 16.500 Tempat Tidur

Jakarta – Untuk menyambut akan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) mulai 1 Januari 2014, Departemen Kesehatan berencana menambah 16.500 tempat tidur di rumah sakit dan puskesmas pada 2013. Upaya pemenuhan dilakukan dengan menimbang tingkat utilitas rumah sakit di suatu daerah atau bed occupancy ratio (BOR).

“Jika BOR di satu kabupaten atau kota masih rendah, maka ia belum menjadi prioritas walaupun menurut perhitungan masih ada kekurangan,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam rapat evaluasi persiapan pelaksanaan Jamkesnas yang dipimpin Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Rabu (6/2).

Menurut Nafsiah, setelah ada tambahan 16.500 tempat tidur itupun, pada 2013 pemerintah menghitung masih ada kekurangan 70.421 tempat tidur. Kekurangan ini rencananya akan dipenuhi pada 2014.

Menanggapi hal ini, Wapres meminta Kemenkes menyusun sebuah sistem informasi terpadu yang secara online terus memperbarui basis data terperinci tentang pusat-pusat layanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas. “Saya harapkan sistem ini selesai pada 2013, agar bisa kita pakai untuk mengambil keputusan,” ujarnya.

Sistem informasi kesehatan itu berisi data yang terperinci mengenai jumlah dokter, tenaga medis, persediaan obat, kapasitas, maupun lokasi yang dilengkapi dengan koordinat geospasial dan foto terakhir.

Selain itu, Boediono juga mengingatkan agar Kemenkes bersama-sama Kemendagri merumuskan pembagian peran dengan pemerintah daerah secara lebih jelas. “Harus benar-benar ada garis batas yang jelas. Ini penting karena nanti akan ada integrasi antara Jaminan kesehatan secara nasional dan jaminan kesehatan yang diselenggarakan daerah,” sambungnya.

Sebelumnya Wapres menekankan pada pentingnya persiapan sisi pasokan (supply) yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pasokan ini termasuk dokter, tenaga medis, infrastruktur, obat-obatan, aturan dan ketentuan, termasuk juga persiapan pembiayaannya.

“Ini aspek-aspek penting yang harus kita selesaikan. Saya minta semua kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab di bidang kesehatan mengambil langkah-langkah dan rencana aksi yang konkrit,” tutur Wapres.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyampaikan, ada beberapa hal yang memang memerlukan perhatian. Untuk mengatasinya, Kemenkes membutuhkan dukungan kerja sama dengan kementerian maupun lembaga lain. Misalnya, untuk memenuhi jumlah dokter dan tenaga kesehatan atau meningkatkan kapasitas rumah sakit.

(sumber: www.suaramerdeka.com)