Thousands of Indonesian workers protest for better conditions

JAKARTA : In Indonesia, thousands of workers took to the streets in five major cities including the nation’s capital Jakarta on Wednesday.

Those in Jakarta, who were mostly from the Federation of Metal Workers’ Union, made several demands including having universal healthcare and their right to protest.

They are demanding that President Susilo Bambang Yudhoyono issue a presidential decree that would lead to universal health insurance for all Indonesians by 2019.

This health insurance programme has been approved and will start as of 2014 but the Presidential decree required has yet to be issued.

Said Iqbal, President, Federation of Indonesian Metal Workers’ Union, said: “If a government regulation and Presidential decree, which was supposed to be issued last November, is not introduced then steps for universal healthcare cannot begin. That’s why the government is obliged to introduce the necessary regulations by late February, which includes guaranteeing that employers pay for their workers’ insurance premium fees and that the poor will be able to receive government’s healthcare.”

One of the other demands made is a guarantee for a pension fund for labour workers from 2015

The workers are also calling for the provincial government to raise the number of components in the reasonable cost index from around 60 to 80 components.

This index is used as a benchmark to determine minimum wage increases for next year.

The workers are also objecting to two bills on national security and social organisation being deliberated in Parliament

They claim that if these two bills are passed then it will curb their right to protest in the streets citing security reasons.

If their demands are not met, the next major rally will be on 26 February by the Indonesian Labour Workers Association, the biggest labour union in Indonesia.

The union has warned that if its demands are not met by the end of April, then there will be an all out labour rally across the nation on Labour Day, 1st May.

(source: www.channelnewsasia.com)

Kantong Darah PMI Kelak Dibayar BPJS

Jakarta-PKMK. Dengan beroperasinya Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) pada tahun 2014, kantong darah donor yang dipasok PMI akan dibayar oleh BPJS. ‘Karena biaya pengobatan pasien diganti oleh BPJS, demikian pula tentunya dengan biaya kantong darah tersebut,’ ucap Jusuf Kalla, Ketua Umum PMI, Rabu (6/2/2013).

Kalla menambahkan, dengan pembayaran oleh BPJS itu, PMI masih memberikan subsidi. Harga yang ditetapkan PMI sebesar Rp 250.000 per kantong sementara yang selama ini dibayarkan Pemerintah Indonesia masih dibawah itu. Dalam paparannya, Kalla menambahkan bahwa untuk kantong darah itu, istilah “harga” sebenarnya tidak terlalu tepat. “Lebih baik, istilah yang digunakan adalah ‘biaya pengganti,'” ucap mantan wakil presiden RI itu.

Jika ada yang menginginkan bahwa pasien miskin memperoleh kantong darah secara gratis, itu sebenarnya sudah terjadi. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia membayar kantong darah itu melalui pelayanan Jamkesmas ataupun nantinya melalui BPJS,” ucapnya.

Kantong darah sebaiknya tidak gratis, namun ada nilai tertentu yang harus dibayar. “Kalau kantong darah digratiskan, nanti permintaan bisa terlalu banyak. Sebentar-sebentar ada permintaan,” imbuhnya. Selain itu, sebaiknya aktivitas lembaga pemasok kantong darah seperti PMI, tetap tidak di bawah Pemerintah Indonesia. Itu untuk menghindari dampak negatif yang bisa timbul. “Misalnya, warga miskin banyak antre mendonorkan darah untuk mendapatkan uang. Belum lagi, muncul pula proyek-proyek terkait pengadaan darah,” ucap Kalla. Maka, sebaiknya PMI tetap sebagai sebuah lembaga masyarakat seperti halnya di negara lain Pemerintah Indonesia membantu apa yang diperlukan.

Ribka: Kesiapan Pemerintah Jalankan Jaminan Sosial Meragukan

Jakarta – Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning di Jakarta, Selasa, (5/2), masih meragukan kesiapan Kementerian Kesehatan (Kemkes) menjalankan program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Keraguan Ribka itu disampaikan, pasalnya, beberapa fasilitas penunjang program ini masih belum memadai. Pasca bencana banjir misalnya, Kemkes tidak punya kebijakan antsipasi pelayanan tempat tidur di rumah sakit (RS) pemerintah.

“Hampir semua RS penuh, disebabkan banyaknya rakyat yang terjangkit virus, bakteri, dan kuman lainnya. Dalam keadaan apa pun, seharusnya UGD RS tidak boleh menolak pasien, apapun alasannya, karena hal itu sudah tercantum dalam UU Rumah Sakit,” ungkap Ribka.

Menurutnya, baru menangani pasien akibat bencana banjir saja pemerintah gagal menyiapkan kebijakan darurat untuk mengadakan tempat tidur di RS, terutama bagi masyarakat peserta Jamkesmas, apalagi nanti jika program BPJS sudah berjalan pada 2014 yang menjamin kesehatan seluruh warga negara.

Seperti kita ketahui, kata Ribka, program pemerintah menerbitkan Jamkesmas atau Jamkesda dan diganti dengan BPJS pada 2014 mendatang, bertujuan untuk mebiayai pengobatan masyarakat agar mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa kecuali. Pasalnya, mendapatkan kesehatan yang layak merupakan hak seluruh warga negara yang dijamin konstitusi.

Namun dalam kenyataannya, ungkap Ribka, mengapa rakyat yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dikarenakan infrastruktur yang tidak memadai. “Pertanyaannya, untuk apakah dana yang sudah disiapkan tersebut kalau tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan medis secara gratis,” cetusnya.

Menurutnya, kejadian seperti ini membuat kita ragu akan keseriusan pemerintah pusat dalam melaksanakan program BPJS 2014. “Pemerintah tidak serius mempersiapkan membangun infrastruktur yang memadai guna memberikan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.(IS)

(sumber: www.gatra.com)

Third world is swamped with fake TB drugs: study

PARIS: Africa, India and other developing countries are awash in fake or sub-standard drugs for tuberculosis, fuelling the rise of treatment-resistant strains of TB, according to a survey published on Tuesday.

Investigators in the United States asked local people in 19 cities in 17 countries to purchase isoniazid and rifampicin, the frontline antibiotics for TB, from a private-sector pharmacy.

The samples were then examined by chromatography, a technique that detects chemical signature, for their active ingredient.

They were also tested for disintegration, to see if they properly broke up in water at body temperature within 30 minutes.

Out of 713 samples, 9.1 percent failed these basic quality control tests, according to the probe, published in the International Journal of Tuberculosis and Lung Disease.

Around half of the failed samples had zero active ingredients, “making them likely to contribute to drug resistance,” it said.

Resistance to TB drugs develops when treatment fails to kill the bacteria that causes it — either because the patient fails to follow their prescribed dosages or, as in this case, the drug doesn’t work.

It can also be contracted through rare forms of the disease that are directly transmissible from person to person.

Dud drugs were manufactured by legitimate companies and criminal fraudsters, said the report.

The pharmacies where the drugs were purchased were in Luanda, Angola; Sao Paulo, Brazil; Beijing, China; Lubumbashi, Democratic Republic of Congo; Cairo, Egypt; Addis Ababa, Ethiopia; Accra, Ghana; Chennai, Delhi and Kolkata, India; Nairobi, Kenya; Lagos, Nigeria; Moscow, Russia; Kigali, Rwanda; Dar-es-Salaam, Tanzania; Bangkok, Thailand; Istanbul, Turkey; Kampala, Uganda; and Lusaka, Zambia.

The failure rate was 16.6 percent in Africa, 10.1 percent in India and 3.9 percent in Brazil, China, Thailand, Turkey and Russia.

Nearly nine million people around the world have TB, including more than 400,000 with a multidrug-resistant form of the disease, according to estimates for 2011 compiled by the World Health Organisation (WHO).

TB is one of the world’s deadliest diseases. It is spread from person to person through the air and usually affects the lungs, but it can also affect other parts of the body such as the brain and kidneys.

Read more: http://www.dailystar.com.lb/News/Health/2013/Feb-05/205064-third-world-is-swamped-with-fake-tb-drugs-study.ashx#ixzz2K4wlmypt

(source: www.dailystar.com.lb)

Canada’s health care system isn’t as powerful as we think

This month the Health Council of Canada published the 2012 Commonwealth Fund International Health Policy Survey of Primary Care Doctors. This informative study is based on a survey of more than 2,000 primary health care workers across the country.

It focuses on how front liners perceive the system (Does it require minor or major change? Do patients get too much or too little care? Can they get diagnostic tests when they need them?) and how they themselves operate (Do they make home visits? Prescribe electronically? Monitor their own performance against targets?) It provides a fascinating insight not just into how we are doing, but also into how we are doing relative to other countries. Sadly, the answer is “not that well.”

Canada’s health system sits more or less in the middle of the pack on physicians’ perceptions of how much change is required: 40 per cent of respondents say the system needs “only minor changes” and our doctors themselves are happy (82 per cent say they are satisfied or very satisfied with practising medicine).

But does their happiness come at the expense of patient care? The disparity between physician satisfaction and the measures in the survey that would seem to translate directly into patient satisfaction, is telling.

As the report notes: “Compared to physicians in nine other countries, Canadian primary care physicians are the least likely to routinely provide same-day or next-day appointments (47 per cent). They are also among the least likely to make home visits (58 per cent) or have after-hours arrangements so that patients can see a doctor or nurse without going to a hospital emergency department (46 per cent).” But doctors themselves may be oblivious to this, because Canadian primary care physicians are also among the least likely to work in practices that regularly review clinical performance against targets (41 per cent average, varying between 62 per cent for B.C. and 19 per cent for Quebec).

Overall, then, this is not an uplifting survey. It finds that “In overall national performance, Canada shows no relative improvement in any areas of access to care … since 2006.”

Canadians are always wont to compare our system to the U.S. This makes sense, but only in geographic terms. There are numerous examples of mixed public-private systems around the world that exhibit substantially greater cost effectiveness and better medical outcomes than our own. None is perfect and all systems struggle to rein in costs, but should we not be learning from elsewhere? And isn’t the Health Council survey a good place to start identifying our deficiencies?

At Canada 2020, we have been gathering information on an alternative public-private hybrid model being tested in the U.K. (a country in which 95 per cent of primary care workers say their patients can get after-hours service outside a hospital emergency department and where 96 per cent of physicians regularly review clinical performance against targets).

In 2012, The Circle Partnership was awarded a 10-year contract to manage a publicly funded, full-service hospital in Huntingdonshire. The National Health Service continues to employ most of the hospital’s staff. Health care remains free and universal at the point of delivery, but private-sector incentives have been introduced. Doctors, nurses, and other Circle employees collectively own 49.9 per cent of the company, while the rest is owned by a group of hedge and venture capital funds.

The model is relatively simple: if efficiencies by Circle yield a surplus at Hinching-brooke Hospital, profits will be shared by the hospital, the NHS, and Circle. If the hospital continues to post a deficit under Circle’s management, Circle will earn nothing and has agreed in its contract to be responsible for the first $8 million of fresh debt.

It is too early to judge Circle’s success. On the one hand, the hospital’s emergency room, which regularly failed to meet targets in the past, was ranked first of 46 hospitals in eastern England after six months under Circle’s administration. Monthly targets for cancer treatment, which had last been met in June 2010, were being fulfilled every month and the length of a patient’s stay after hip or knee surgery fell from an average of 5.6 days to 2.6 days, allowing for faster turnaround of rooms. On the other hand, Circle has yet to demonstrate its ability to keep costs under control (although it is early days yet). The hospital’s losses reached $6.5 million within eight months, just over double the $3 million of debt that Circle had predicted for the hospital by that point.

Here in Canada, no legislation prevents the introduction of private health care administration. What’s more, our current system should lend itself well to the transition because Canadian primary-care doctors are already paid under a fee-for-service system, rather than earning a fixed salary.

It seems, though, that the largest roadblock to introducing a similar model to Canada lies in public resistance to change. Opposition to any linkage between the private sector and health care remains strong (back to that American comparison problem) and a number of Canadian facilities that have incorporated private incentives have been closed, despite their success (for example the Canadian Radiation Oncology Services clinic in Ontario and a private clinic at Montreal’s Sacré-Coeur Hospital).

But aren’t we Canadians open-minded people? Surely we can open our minds to alternative ways to deliver universally accessible publicly funded health services. The Circle model may not be the perfect solution, but it is well worth watching from our shores if only for the reason that health care improves most when the medical community does what it does best: experiments.

Diana Carney is vice-president of research at Canada 2020, an independent, progressive think-tank. Arianne Charlebois is a research intern with Canada 2020.

(source: www.faceoff.com)

1.000 Tanda Tangan Lawan Malpraktik

JAKARTA – Kasus dugaan malapraktik dan buruknya pelayanan rumah sakit yang cenderung mengedepankan materi tanpa mengedepankan profesionalitas dan rasa kemanusiaan semakin marak terjadi.

Menyikapi hal itu, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perhimpunan Pemuda Penegak Hukum (P3H) menggelar aksi galang 1.000 tanda tangan sebagai bagian dari bentuk keprihatinan dan kepedulian mereka.

“Gerakan 1.000 Tanda Tangan mengenai pelayanan di rumah sakit yang cenderung hanya mementingkan material tanpa mengedepankan profesionalitas dan rasa kemanusiaan yang tinggi, dan kita akan mendampingi bagi korban yang tersandung dalam masalah itu” kata lagi” kata Ketua Bidang Organisasi P3H Achmed kepada Okezone, di depan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (3/2/2013).

Kata dia, berdasarkan pantauan dari bergulirnya kasus-kasus tersebut minimal ada tiga kasus yang mencuat belakangan ini. Meskipun, dia yakin bahwa masih ada beberapa kasus yang tidak mencuat kepermukaan dikarenakan keluarga pasien sangat pesimis jika harus meminta pertanggung jawaban kepada pihak rumah sakit serta tim dokter yang menangani pasien untuk meminta keadilan dalam proses penegakan hukum.

“Meminta keadilan dalam proses penegakan hukum kearah yang lebih baik namun akhirnya tenggelam ditengah jalan dalam proses pencapaian keadilan bagi keluarga yang dirugikan,” katanya.

Dia juga telah meminta mediasi kepada Komisi IX DPR terkait dugaan kasus malapraktik yang sedang mencuat tersebut.

“Kita sudah ke Komisi IX DPR, untuk menjatuhkan saksi moril atau hukum kepada kepala tim medis terhadap kasus dugaan malpraktek, salah satunya kasus Raihan bocah 10 tahun yang diduga menjadi korban malpraktek Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta,” tuturnya.

“Tim RS Medika Permata Hijau yang menangani raihan yang awalnya divonis usus buntu yang akut, namun pasien yang bernama Raihan mengalami koma selama 32 hari di RS Permata Hijau dan henti jantung 15 menit,” pungkasnya.

(sumber: jakarta.okezone.com)

Transformasi BPJS Masih Dalam Persiapan

Menjelang pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kementerian terkait dan badan penyelenggara sampai saat ini masih sibuk menyiapkan berbagai hal yang dibutuhkan. Mulai dari peraturan pelaksana sampai hal teknis.

Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Wahyu Widodo mengatakan BPJS menjadi isu penting karena menyangkut hak warga negara atas jaminan pelayanan kesehatan.

Melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta orang, Wahyu memperkirakan pelaksanaan BPJS berpotensi berjalan baik. Pasalnya, semakin banyak peserta BPJS dan disiplin membayar iuran, maka pelaksanaan BPJS akan turut berjalan baik. Sebagai salah satu kementerian yang dilimpahi tanggung jawab untuk membentuk BPJS, khususnya BPJS Ketenagakerjaan, Wahyu menyebut Kemenakertrans telah menyelesaikan berbagai rancangan peraturan pelaksana.

Dia mencatat sedikitnya Kemenakertrans mengemban amanat untuk menyelesaikan sembilan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan. Sampai saat ini sebagian rancangan peraturan menurutnya sudah selesai. Namun, dia menyebut belum dapat mempublikasikan rancangan itu karena masih dalam proses pendalaman di Kemenakertrans. “Ada sembilan peraturan yang harus disiapkan untuk melaksanakan BPJS (Ketenagakerjaan,-red),” kata dia dalam seminar yang digelar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), di Jakarta, Kamis (31/1).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga PT Askes, Sri Endang Tidarwati, mengatakan sebagai badan penyelenggara BPJS Kesehatan, di tahun 2013 ini PT Askes sedang fokus melakukan proses pengalihan. Misalnya, proses pengalihan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) TNI/POLRI dan peserta Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan.

Mengingat beberapa peraturan pelaksana BPJS Kesehatan sudah diterbitkan, seperti Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan PP Penerima Bantuan Iuran (PBI), Endang menyebut PT Askes sedang melakukan persiapan internal. Seperti organisasi, akuntansi, investasi, operasional, bisnis proses dan teknologi. Walau dikategorikan sebagai badan penyelenggara BPJS, PT Askes tak melulu mempersiapkan hal teknis. Menurut Endang, PT Askes aktif menyampaikan rancangan peraturan kepada lembaga pemerintahan terkait.

Tak ketinggalan, Endang juga mengatakan berjalannya BPJS Kesehatan sangat dipengaruhi oleh SDM. Dalam menyiapkan SDM untuk mampu memberikan pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan, PT Askes mulai melakukan perekrutan. Tahun lalu jumlah orang yang berhasil dilatih dan direkrut untuk memberikan pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan mencapai 500 orang. Sedangkan awal tahun ini, PT Askes sudah merekrut lebih dari 1000 orang untuk memperkuat sektor SDM di BPJS Kesehatan. “Untuk kelancaran pelaksanaan BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Sementara, Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Informasi PT Jamsostek, Agus Supriyadi, mengatakan yang penting dilakukan badan penyelengara BPJS, tak terkecuali PT Jamsostek, adalah menyiapkan aspek teknis. Tentu saja hal teknis itu diselenggarakan selaras untuk mengimplementasikan amanat UU SJSN dan BPJS. Misalnya, dalam BPJS Ketenagakerjaan, hal teknis itu harus menjawab persoalan apakah semua pekerja dapat tercakup, benefitnya memadai dan melakukan pelayanan dengan baik. “Itu kunci dari tugas pokok yang harus dilakukan badan penyelenggara BPJS,” katanya.

Untuk menghadapi perubahan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2014 dan beroperasi 2015, Agus mengatakan PT Jamsostek sedang melakukan tiga langkah utama. Pertama, mengawal pembentukan dan pelaksanaan peraturan terkait. Bagi Agus, hal itu dilakukan agar penyelenggaraan pelayanan BPJS Ketenagakerjaan nanti tak dijumpai banyak masalah. Hal serupa juga dilakukan dalam teknis operasional. Dan melakukan sosialisasi masif, baik internal serta eksternal.

Kedua, PT Jamsostek sedang membangun landasan yang kokoh untuk penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan. Seperti meningkatkan kepesertaan, pelayanan, teknologi, investasi, keuangan dan SDM PT Jamsostek. Lagi-lagi, Agus menekankan langkah tersebut dijalankan untuk menyiapkan penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan.

Ketika kedua langkah itu sudah siap, berikutnya, PT Jamsostek akan mengharmonisasikan manfaat dan pelayanan prima. Misalnya, memberi pelayanan yang terbaik serta menggunakan sistem yang mengutamakan portabilitas seperti menggunakan mekanisme pendaftaran, pembayaran dan pengajuan klaim secara online. Untuk mendukung sistem portabilitas itu, Agus mengaku saat ini PT Jamsostek menjalin kerjasama dengan beberapa bank.

Kemudian, Agus menyoroti pentingnya masyarakat mendapat informasi yang cukup tentang BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, mengacu pasal 16 UU SJSN, yang intinya menyebut setiap peserta berhak memperoleh informasi penyelenggaraan jaminan sosial, maka PT Jamsostek akan memperluas jaringannya sampai ke tiap wilayah di Indonesia. Sejalan dengan itu, PT Jamsostek akan membuka kantor cabang dan representasi di tiap provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Hal itu akan dilakukan sesuai mandat pasal 8 UU BPJS.

Agus mengingatkan, dalam waktu dekat, JPK yang dikelola PT Jamsostek akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, PT Jamsostek dan PT Askes sudah melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pengalihan program pelayanan tersebut. Diharapkan, ketika BPJS Kesehatan berjalan di 2014, maka peserta JPK PT Jamsostek tak menemui kesulitan di lapangan. “Kami bekerjasama bagaimana agar program itu berpindah tanpa masalah,” urainya.

Keterlibatan Publik

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menekankan agar pembahasan rancangan peraturan pelaksana BPJS melibatkan pemangku kepentingan, terutama serikat pekerja. Timboel khawatir peraturan pelaksana itu akan diterbitkan tanpa memperhatikan banyak aspek, ujungnya, regulasi yang diterbitkan terkesan asal-asalan. Misalnya, dalam rancangan program Jaminan Hari Tua (JHT) dalam BPJS Ketenagakerjaan. Timboel melihat dalam ketentuan itu dimasukan syarat yang harus dipenuhi peserta jika ingin mengambil JHT.

Timboel mencatat sedikitnya ada empat syarat, yaitu peserta meninggal dunia, pensiun, pergi keluar negeri dan tak kembali serta cacat total. Baginya, berbagai persyaratan itu memberatkan pekerja. Karena, dalam situasi tertentu, pekerja sangat membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, pekerja diputus hubungan kerja (PHK). Kemudian, pekerja tersebut tak mendapat upah seperti biasa, sehingga dana yang tersimpan dalam program JHT akan diambil untuk digunakan.

Praktiknya, tindakan seperti itu kerap dilakukan pekerja dan peraturan yang berlaku saat ini dalam program JHT PT Jamsostek tergolong memberi kemudahan. Atas dasar itu, Timboel berharap agar persyaratan yang menguntungkan bagi peserta itu dimasukan dalam program serupa di BPJS Ketenagakerjaan. “Makanya, publik harus dilibatkan dalam membahas peraturan terkait BPJS,” tegasnya.

(sumber: www.hukumonline.com)

Africa-Asia Forum On Role of Health Insurance in Universal Coverage

Representatives from Ministries of Finance and Health, national health insurance authorities and development partners, as well as experts and practitioners from Asia and Africa are to meet in South Africa next month at a forum on the role of health insurance in achieving universal health coverage and social health protection.

The forum, entitled “Achieving Universal Coverage Through Health Financing Reform”, is organized by the African Development Bank (AfDB), in collaboration with the German International Cooperation (GTZ), the International Labour Organization (ILO) and the World Health Organization (WHO), and in close consultation with the Government of the Republic of South Africa.

The forum, which takes place from March 11-14, 2013 in Centurion, South Africa, is expected to attract an estimated 60 representatives from 16 African and four Asian countries. It aims to facilitate knowledge exchange between African and Asian countries on building coherent and sustainable health financing systems (prepayment, pooling and strategic spending) that are geared to achieving universal health coverage.

Focusing on the Southern African region, the forum will explore in particular the role of extending coverage of pooled financing mechanisms (often under the label of “health insurance”), for moving closer to universal health coverage. It will discuss key aspects, the potential as well as the challenges and limitations of different approaches to revenue contribution, pooling, and purchasing in closing healthcare coverage gaps.

At the July 2012 Conference on Value for Money Sustainability and Accountability, African Ministers of Finance and Health acknowledged that millions of Africans suffer severe economic consequences due to the need to pay for out-of-pocket healthcare. The financial strains on people due to out-of-pocket spending aggravate inequities and impede sustainable social and economic development. Furthermore, millions more do not even seek the care they need due to the high costs of accessing and using it.

The financial risks that out-of-pocket expenditure presents can be diminished through prepayment, pooling and strategic spending of resources. A number of countries in Sub-Saharan Africa are currently reforming their national health financing systems with a view to achieving universal health coverage and social protection for all.

The main outcome of the exchange will be a set of recommendations for country health financing reform as well as the identification of where development partners can support southern African countries in their efforts towards universal health coverage.

More South-South exchanges such as this one are expected as countries continue to collaborate and share experiences.

(source: allafrica.com)

BNN Selidiki Peredaran Narkotika Jenis Baru

JAKARTA — Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang menyelidiki peredaran narkotika yang dianggap jenis baru dan merupakan derivat atau turunan cathinone, alias katinona, suatu senyawa stimulan yang dapat menimbulkan daya rusak pada otak manusia. Narkotika tersebut ditemukan dalam penggerebekan dan penangkapan 17 orang di rumah aktor Raffi Ahmad Minggu (27/1).

Juru bicara BNN Komisaris Besar Polisi Sumirat Dwiyanto di Jakarta, Rabu (30/1) menjelaskan, narkotika jenis ini merupakan cathinone yang telah mengalami sintesa lebih lanjut dengan berbagai bentuk, salah satunya serbuk.

“Derivat cathinone ini memiliki kekuatan yang lebih kuat daripada senyawa asalnya dalam hal mempengaruhi susunan syaraf pusat. Sehingga bagi mereka yang menyalahgunakannya akan lebih terpengaruh susunan syaraf pusatnya. Yang lebih mengkhawatirkan, karena efeknya bersifat rekreasional dapat menimbulkan euforia yang berlebihan dan halusinasi. Dengan kekuatan yang lebih tinggi ini bisa membahayakan penggunanya,” ujar Sumirat.

Ia menambahkan bahwa cathinone ini belum diatur dalam undang-undang narkotika di Indonesia, namun di sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris, cathinone dilarang beredar bebas karena merupakan zat stimulan yang digolongkan narkotika, seperti amfetamin dan metamfetamin.

“Kita khawatir, sementara di Amerika saja sudah dilarang peredarannya, masa di Indonesia tidak. Selain itu, ke depannya, kalau masyarakat tidak mengetahui bahayanya zat ini dengan alasan berbagai macam seperti untuk menambah stamina dan sebagainya, padahal zat ini sangat berbahaya. Untuk itu harus kita cegah,” ujar Sumirat.

BNN, menurut Sumirat, saat ini tengah bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan serta para ahli untuk mengetahui sejauh mana peredaran zat ini di Indonesia. Langkah cepat ini, menurut Sumirat, perlu dilakukan untuk mencegah semakin luasnya peredaran zat ini di masyarakat.

Undang-Undang No. 35/2009 tentang narkotika sendiri telah memasukkan chatinone sebagai narkotika golongan I, yang disebutkan dalam tambahan lembaran negara Republik Indonesia No. 5062 Lampiran 1.

Juru bicara BPOM Budi Djanu Purwanto menegaskan chatinone sangat berbahaya dan dilarang keras untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan.

“Kalau sampai zat ini ada atau beredar, berarti ilegal. Kecuali dalam jumlah terbatas digunakan untuk kepentingan laboratorium dan diagnostik. Itupun pemasukan dan penggunaannya harus mendapat izin dari menteri kesehatan,” ujarnya.

Cathinone berasal dari tanaman Catha edulis atau Khat yang tumbuh di Afrika dan sebagian wilayah Arab. Di daerah asalnya, tanaman ini dikonsumsi langsung dengan cara dikunyah dan bukan diekstrak kandungan aktifnya yakni cathinone.

Meski tidak termasuk golongan amfetamin, cathinone memiliki efek yang kurang lebih sama, yakni membangkitkan stamina.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Didi Irawadi berharap BNN bisa lebih jeli dalam mengusut kasus ini. Dalam waktu dekat menurut Didi, Komisi III yang membidangi hukum ini, akan memanggil BNN untuk membahas masalah ini.

“Saya berharap BNN tidak terlalu pagi menyatakan tidak ada unsur itu sebelum memanggil seorang ahli yang sangat memahami persoalan ini, baru mengambil kesimpulan. Apalagi zat ini ternyata masuk dalam jenis narkotika golongan 1 di UU No. 35/2009. Kita akan panggil BNN untuk membahas masalah ini,” ujarnya.

Kasus penggunaan narkotika oleh artis Raffi Ahmad dan lainnya itu ternyata juga mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden meminta kepada pihak terkait agar terus diselidiki, apakah ada jaringan yang mengedarkan zat adiktif cathinone.

“Narkoba itu sangat berbahaya dan merugikan ya bagi kita khususnya masa depan generasi muda. Tentunya ini tidak boleh dibiarkan. Terus dicari apakah itu ada jaringan di sana. Hal ini menjadi keprihatinan Presiden,” ujarnya.

Sementara itu, dari 17 orang yang ditangkap di rumah Raffi pada Minggu(27/01), tujuh orang dibebaskan pada Selasa karena tidak terindikasi memakai narkotika. Lalu dari 10 orang yang masih diperiksa, lima orang dipastikan memakai narkotika jenis ganja, ekstasi dan cathinone, dua orang hanya memakai cathinone, lalu tiga orang lainnya belum terdeteksi menggunakan narkotika.

(sumber: www.voaindonesia.com)

Countries must boost global health measures to avoid repeat of bird flu outbreak – UN

29 January 2013 – The United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) today warned that the world is at risk of a repeat of the disastrous bird flu outbreak seen six years ago unless countries step up global health measures to monitor and control this and other dangerous animal diseases.

“The continuing international economic downturn means less money is available for prevention of H5N1 bird flu and other threats of animal origin. This is not only true for international organizations but also countries themselves,” said FAO Chief Veterinary Officer Juan Lubroth.

“Even though everyone knows that prevention is better than cure, I am worried because in the current climate governments are unable to keep up their guard.”

Since 2003, the H5N1 Highly Pathogenic Avian Influenza virus has killed or forced the culling of more than 400 million domestic poultry and caused an estimated $20 billion in economic damage. Although it does not infect humans often, about 60 per cent of those infected with the virus die. Between 2003 and 2011, it infected over 500 people and killed more than 300, according to the World Health Organization (WHO).

Large reservoirs of the H5N1 virus still exist in some countries in Asia and the Middle East, in which the disease has become endemic. Without adequate controls, it could easily spread as it did in 2006, when 63 countries were infected, FAO said in a news release.

“I see inaction in the face of very real threats to the health of animals and people,” Mr. Lubroth said, adding that in spite of budget restrictions, countries must invest in preventing the disease to avoid further economic damages.

Appropriate measures can completely eliminate H5N1 from the poultry sector. Domestic poultry are now virus-free in most of the places infected in 2006, including Turkey, Hong Kong, Thailand and Nigeria. In addition, substantial headway has been made against bird flu in Indonesia, after many years of work and international financial commitment.

FAO warned that another growing threat is Peste des Petits Ruminants, or PPR, a highly contagious disease that can decimate flocks of sheep and goats.

“It is currently expanding in sub-Saharan Africa – causing havoc in the Democratic Republic of Congo among other countries – and is just starting to spill over into southern Africa,” Mr. Lubroth said. “The irony is that a perfectly good vaccine exists for PPR, but few people are using it.”

Some of the reasons for not using the vaccine include tight finances, lack of political will, and poor planning and coordination. To address these, governments must invest in prevention means such as improving hygiene practices, market and border controls, and health security in farms and markets. Countries must also equip laboratories, train staff to diagnose the disease and respond to outbreaks, and organize efficient extension services to serve farmers’ needs.

“We need to come together to find ways to ensure the safety of the global food chain,” Mr. Lubroth said. “The costs – and the dangers – of not acting are just too high.”

(source: www.un.org)