Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia Dibahas

JAKARTA – Tujuh asosiasi profesi dan institusi pendidikan tinggi kesehatan, termasuk mahasiswa, akan menggelar konferensi tahunan ke-3 High Professional Education Quality (HPEQ) Pendidikan Tinggi (Dikti) 2012, pada 7-8 November.

Tujuh organisasi yang dimaksud adalah Kedokteran, Kedokteran Gigi, Keperawatan, Kebidanan, Kefarmasian, Gizi, dan Kesehatan masyarakat.

Ketua Panitia HPEQ-Dikti 2012, Iwang Yusuf Hanafi, dalam siaran persnya, Selasa (6/11/2012), menjelaskan, konferensi HPEQ digelar secara video telewicara, dengan modalitas jaringan Indonesian Higher Education Network (Inherent) Dikti, Kemdikbud.

Selain itu, melalui kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi memanfaatkan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK), konferensi juga akan diikuti oleh pemangku kepentingan pendidikan tinggi kesehatan di pelosok negeri, hingga kecamatan.

Konferensi dirancang untuk mentradisikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dalam menjembatani komunikasi antarpemangku kepentingan kesehatan.

Konferensi juga memperkenalkan pentingnya Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) kesehatan, yang saat ini sedang dibenahi, dan segera diluncurkan sebagai basis penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan.

Selain itu, konferensi juga menjadi ajang konsultasi publik kebijakan penataan pendidikan tinggi kesehatan melalui pendirian Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes), dan Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) sebelum diluncurkan.

(sumber: nasional.kompas.com)

AS Dukung Pendidikan dan Kesehatan di Papua

JAYAPURA — Pemerintah Amerika Serikat mendukung penuh pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang sudah berlangsung selama 11 tahun, ujar Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel, usai bertemu dengan anggota DPR Papua, Senin (5/11) di Gedung DPRP, Jalan Samratulangi Jayapura. “AS selalu mendukung otonomi khusus Papua dan mengakui Papua bagian dari NKRI,” ujar Scot Marciel.

Marciel menjelaskan, kunjungan ke Papua kali ini adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi perhatian utama dalam pembangunan di wilayah itu. “Kita upayakan bagaimana terus bisa bekerja sama searah membangun diwilayah itu,” katanya.

Sementara itu Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda menyatakan, dalam pertemuan dengan jajaran Kedutaan Besar AS itu, Dubes AS juga ingin mengetahui sejauh mana pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Terutama terkait dengan penanganan pendidikan dan kesehatan. “Serta apa saja yang mereka bisa bantu untuk memajukannya,” tambahnya.

Yunus melanjutkan, Dubes Marciel menyatakan terkait pendidikan bagi anak Papua, Pemerintah AS siap membantu anak-anak Papua yang ingin bersekolah di negeri Barack Obama tersebut.

(sumber: www.harianterbit.com)

Saudis report third case of new coronavirus, but release few details

Saudi Arabia has reported another human infection with the new coronavirus that emerged earlier this year. The case is the third confirmed infection caused by the newly identified virus, which is from the same family as SARS.

The report of the new case comes at a sensitive time. The Hajj, the annual pilgrimage made by Muslims to the holy city of Mecca, concluded last week. The Hajj brings over two million Muslims from around the world to Saudi Arabia.

Those pilgrims will now be making their way back to their home countries. The Saudi Ministry of the Hajj website says the final day for Hajj pilgrims to depart Saudi Arabia is Nov. 29.

Dr. Ziad Memish, the Saudi deputy minister of health, reported the new case Sunday via ProMED, an Internet-based infectious diseases monitoring system closely watched by public health officials around the world.

Memish said the man, who lives in the capital city, Riyadh, had no links to the two earlier cases of infection with the new virus. The first known case was a Saudi man who died in June, the second a Qatari man who is in hospital in Britain. He became ill in early September.

Memish did not reveal when the newest case was spotted, but it was clearly not in the last day or two. The man, who was admitted to hospital with pneumonia, had been in intensive care but has now recovered to the point where he has been moved to a different ward.

As well, some work have already been done to see if any people who had contact with the man have been or are sick. If there were reports of illness among people with contact with the man, it would suggest the virus might be spreading person to person. But single cases are more suggestive of transmission from an animal source to humans.

“With regard to the patient’s current status, he is recovering and out of intensive care,” Memish said.

“We have done preliminary investigations of family members and contacts including health-care workers. There are no apparent secondary cases at this time, however these investigations are on-going.”

The man visited a farm about a week prior to becoming ill, Memish said in his dispatch. He did not say what types of animals were found on the farm.

It has been reported that the man from Qatar also had a farm where he kept camels and sheep.

Several teams of international experts, from the World Health Organization, the U.S. Centers for Disease Control and the Center for Infection and Immunity at Columbia University have spent time in Saudi Arabia looking for the possible source of the virus.

A study published last month in the New England Journal of Medicine hypothesized that the virus probably derives from pipistrellus bats, a conclusion drawn from comparing the genetic sequence of the virus to other known coronaviruses and the species that carry them.

But that report could not say whether the virus moved directly from bats to people — perhaps through exposure to bat guano or some other contact — or from a bat to another animal and from it to people.

Memish said the World Health Organization had been alerted to the new case, as required by the International Health Regulations. That treaty requires all countries to notify the WHO of disease outbreaks that could have international significance.

(sumber: www.timescolonist.com)

Program Internship Perbaiki Kualitas Kompetensi Dokter

JAKARTA — Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) menjadi harapan untuk perbaikan sistem kesehatan di Indonesia. Disamping bertujuan untuk menjaga kualitas kompetensi dokter, program dokter intership juga diproyeksikan untuk meratakan distribusi tenaga dokter hingga kedaerah-daerah terpencil dan daerah bermasalah kesehatan.

Dokter Intership merupakan suatu program “Pre-registration trainning sebelum mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bagi dokter yang baru menyelesaikan masa pendidikan profesi berbasis kompetensi.

Tujuannya untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.

Ketua Komite Intership Dokter Indonesia (KIDI) Prof Dr Mulyohadi Ali, dr., SpFK dihubungi Harian Terbit, belum lama ini mengatakan, mereka yang disebut sebagai peserta program Internsip, adalah dokter yang telah lulus program studi pendidikan dokter dan telah lulus uji kompetensi, namun belum mempunyai kewenangan untuk praktik mandiri.

“Jika peserta tidak mencapai kinerja selama menjalankan program internship ini, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan KKI No.1/2010, maka dokter tersebut tidak boleh berpraktik dalam profesi dokter. Mereka harus menambah waktu internsip sampai target kinerja dicapai,” kata Prof Dr Mulyohadi Ali.

TRANSPARAN DAN DIUNDI

Sejak program ini diluncurkan bulan Maret tahun 2010, hingga awal November 2012 sebanyak 5.830 dokter baru telah mengikuti program internsip dan ditempatkan di 25 propinsi didaerah-daerah yang membutuhkan, yang memiliki sarana pelayanan kesehatan primer minimal type C dan D.

Penempatannya sendiri, dilakukan secara transparan dengan cara diundi. “Sebelum ditempatkan, ke 25 provinsi tersebut dilakukan mapping terlebih dahulu untuk dilihat skala prioritasnya mana yang lebih membutuhkan dan kekurangan tenaga kesehatan. Namun, tentunya dilihat daerah mana yang memiliki sarana pelayanan kesehatan type C dan D,” jelasnya.

Proses pengundiannya, untuk wilayah DKI Jakarta dilakukan oleh KIDI pusat, namun untuk daerah dilakukan oleh KIDI provinsi melalui supervisi dari KIDI Pusat. Sedangkan, pada tahun 2013, pemilihan tempat direncanakan melalui sistem online, sehingga bisa dilakukan lebih transparan dan terintegrasi.

“Dengan sistem online, peserta program dokter internship juga dimungkinkan untuk memilih sendiri daerah yang diminatinya. Tapi tetap mengacu pada daftar daerah yang telah ditetapkan,’ ujarnya.

Dalam praktiknya, para dokter yang baru tamat ini akan didampingi oleh seorang dokter pendamping atau supervisor. Dimana satu dokter pendamping untuk5 dokter internsip yang ditempatkan. Pembiayaannya, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Mulai dari akomodasi, fasilitas tempat tinggal, hingga biaya hidup setiap bulannya sebesar Rp 1,2 juta.

DIBERI INSENTIF

Tak jarang, pemerintah daerah juga memberikan intensif kepada para dokter internship tersebut. Bahkan di Provinsi Kalimantan Timur, dokter internship yang berpraktik ditawarkan untuk menjadi pegawai negeri sipil. “Begitupun didaerah lain, ada juga pemerintah daerah yang memberikan fasilitas tambahan dan intensif bagi dokter-dokter yang berpraktik diwilayahnya,” tutur dia.

Jangka waktu praktik bagi dokter intership adalah satu tahun, yaitu 8 bulan berpraktik di RS type C atau D, dan 4 bulan di Puskesmas Kabupaten/Kota. “Dokter adalah pelayanan masyarakat, bukan elite tertentu yang hanya diam dikota. Hal ini harus disadari mulai sejak mereka menekuni dunia kedokteran,” tandasnya.

www.harianterbit.com)

TB CONTROL SUCCESS: World health report

20 million lives saved through TB investments in last two decades, says WHO, launching call for more progress

An estimated 20 million people are alive today due to mass TB (tuberculosis) programmes, reveals a WHO global TB report…

The health organisation is celebrating the role of leadership in endemic countries and international donor support, but appeals for increased efforts to break the disease…

“In the space of 17 years 51 million people have been successfully treated and cared for according to WHO recommendations…

“Without that treatment, 20 million people would have died…” said Dr Mario Raviglione, Director of the WHO Stop TB Department, following the release of the WHO Global Tuberculosis Report 2012.

“The momentum to break this disease is in real danger. We are now at a crossroads between TB elimination within our lifetime, and millions more TB deaths…” says Dr Raviglione.

Despite progress on TB elimination the health org’s report has identified a current funding gap of USD 1.4 billion for research, and a further USD 3 billion per year funding gap between 2013 and 2015, which if unmet could have severe consequences for TB control.

This gap threatens to hinder delivery of TB care to patients and weaken programmes that prevent and control TB spread, with those in low-income countries in most danger, says WHO.

While a continued decline in the number of people falling sick from TB has been reported the disease remains a major infectious killer with 8.7 million new cases identified in 2011.

WHO is calling for increased targeted international donor funding, and continued investments by countries where TB is endemic – to defend progress in recent years, and ensure continued development towards TB eradication.

90 per cent of financing for TB control is provided by the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, the global fundraising organisation.

To date, the non-profit organisation has dedicated USD 22.9 billion in 151 countries to support wide-scale prevention, treatment and care initiatives supporting disease eradication.

www.xperedon.com)

Warga Miskin Akan Diberi Asuransi Kesehatan

{phocadocumentation view=navigation|type=mpcn|top=some-id}

BANDUNG – Setiap Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di Kota Bandung akan diberi asuransi kesehatan mulai tahun 2013.

“Anggaran asuransi akan dialokasikan di APBD Murni 2013 sebesar Rp 50 miliar,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Achyani Raksanagara di Balai Kota, Rabu (31/10/2012).

Achyani mengatakan, model pembayaran premi asuransi dipilih untuk menghindari klaim Bawaku Sehat yang selalu membludak setiap tahunnya.

Menurut Achyani dengan asuransi, data RTM yang menjadi sasaran lebih jelas sehingga menghindari penerimaan dobel dengan Jamkesmas dari pemerintah pusat. Pembayaran premi asuransi diharapkan bisa memperbaiki mekanisme pembayaran klaim biaya berobat bagi RTM di Kota Bandung.

Achyani mengatakan dana untuk asuransi kesehatan sebesar Rp 50 miliar untuk pembayaran 323.070 jiwa. Menurut Achyani, dana untuk pembayaran asuransi lebih efisien dibandingkan dengan Bawaku Sehat yang klaimnya mencapai hampir Rp 90 miliar.

Namun sampai saat ini dia belum memastikan lembaga atau badan asuransi mana yang akan ditunjuk.

Menurut Achyani, penunjukannya bisa langsung sesuai dengan UU BPJS atau melalui lelang.

(sumber: www.tribunnews.com)

CLIMATE CHANGE: Mapping the health connection

JOHANNESBURG, 30 October 2012 (IRIN) – Countries could save countless lives and greatly reduce health costs if forewarned about climate-sensitive infectious disease outbreaks months in advance: and that is becoming a possibility, according to the Atlas of Health and Climate, a report mapping the links between climate and diseases like cholera, malaria, dengue fever and diarrhoea.

These diseases take the heaviest toll, according to the Atlas, a collaborative effort between the UN’s World Health Organization (WHO) and World Meteorological Organization (WMO), and real-time maps showing possible spread could help prevention and treatment efforts. Diarrhoea kills over two million people every year, for example, and malaria kills nearly a million; both are influenced by climate variability.

Data gathering

But the Atlas authors say they still have a long way to go to make such warnings global and reliable.

“We have good real-time weather data, but that is not the case with health data,” said Geoff Love, WMO’s director of weather and disaster risk reduction. Disease outbreak data in most developing countries is typically collected by hand and often updated weekly. “There are also issues of respecting the privacy of individuals,” Love said.

Yet with improvements in computer access, internet connectivity and digital media, health data collectors in deep rural interiors could contribute to regional and global datasets.

The agencies are currently focusing on the health impact of short-term changes in the climate, but the Atlas opens the door to long-term forecasts linked to climate change.

Modest global warming, starting in the 1970s, was causing over 150,000 excess deaths every year by 2000, according to a WHO study looking at the impact of climate-sensitive illnesses like diarrhoeal disease.

Countries, mostly in the developing world, could spend from US$6 million to $18 billion a year by 2030 managing the additional health costs resulting from climate change, a study based on the WHO assessment noted.

The Intergovernmental Panel on Climate Change, an international scientific body, said rising temperatures and the increasing frequency of extreme events could exacerbate malaria, cholera, Rift Valley fever and dengue fever in developing countries.

Raising awareness

Diarmid Campbell-Lendrum, who leads the climate change and health team at WHO and is an author of the Atlas said, “One of the functions that we illustrate through the Atlas is that we can correlate climate and health information in places where we have both, and use the climate data to make health predictions, either for places where we have climate but not health information, or for the future.”

Much of the information in the Atlas is not new, says Campbell-Lendrum, but “what we are doing is to connect it together, and make it as accessible and clear as possible to decision-makers, from heads of health and meteorological agencies to field staff in disease-control programmes.

“This also includes the general public, who we hope will become increasingly ‘climate-aware’ in regards to their health. This is going to become more important as issues such as heat waves become more frequent through climate change, and vulnerability to health impacts increases through ageing, chronic disease rates, etc.”

For example, according to the Atlas, heat extremes currently expected to occur only once every 20 years may, by the middle of this century, occur on average every 2 to 5 years. At the same time, the number of older people living in cities – one of the groups most vulnerable to heat stress – will nearly quadruple globally, from 380 million in 2010 to 1.4 billion in 2050. The Atlas also shows seasonal linkages between diseases like meningitis and an increase in dust concentration and reduction in humidity levels in sub-Saharan Africa.

These and other findings make the case for more computer-generated climate models for tropical and waterborne disease outbreaks, says Campbell-Lendrum. There are very few, if any regional or country-level climate-change projections of possible diseases in developing countries.

“We already have many research studies in this area, but very few are converted into early warning systems or risk maps that are actually used for health decision-making,” he added.

WMO’s Love said, “The Atlas is more of an advocacy document at this stage.”

(sumber: irinnews.org)

 

BPJS Kesehatan Harus Didukung Sistem TI

JAKARTA (Suara Karya): PT Askes (Persero) diingatkan untuk memperhatikan masalah data kepesertaan sebelum bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014, terutama terkait penerapan sistem data kepesertaan dan pelayanan yang berbasis teknologi informasi (TI).

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali H Situmorang mengatakan, sistem berbasis TI harus sudah diterapkan sebelum Askes bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini bertujuan agar program jaminan kesehatan untuk masyarakat luas bisa dilaksanakan dengan baik. Jika tidak didukung sistem berbasis TI, maka BPJS Kesehatan berpotensi mengalami kebangkrutan.

“Kami kerap mengingatkan kepada Askes agar TI diperhatikan, karena bisa terjadi peserta ganda, yang berarti pembayaran berlapis. Lama-lama masalah ini bisa membuat bangkrut BPJS Kesehatan,” kata Chazali di Jakarta, Senin (29/10) di sela workshop Harmonisasi Sistem Informasi Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam diskusi dibahas terkait kebutuhan Indonesia dan pengalaman internasional dalam pengelolaan data untuk pelaksanaan jaminan sosial.

Menurut Chazali, saat ini DJSN tengah mengharmonisasikan sistem informasi jaminan kesehatan nasional. Selama ini, data pelaksanaan program jaminan kesehatan di Indonesia belum terintegrasi. Data peserta di seluruh penyelenggara jaminan kesehatan belum terhimpun dengan baik.

Padahal bagian terpenting dalam manajemen dan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang efektif terkait sistem informasi yang terintegrasi. Sistem ini dapat mengharmonisasikan data peserta program jaminan kesehatan dengan data dari Kementerian Dalam Negeri yang berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK).

“Namun, NIK juga belum disinkronisasi sebagai identifikasi peserta untuk para peserta program jaminan kesehatan. Padahal sistem informasi jaminan kesehatan ini harus menjadi lokomotif pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) secara keseluruhan,” katanya.

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron memastikan, BPJS Kesehatan tetap akan beroperasi pada 1 Januari 2014 meski belum ada harmonisasi data dan sistem TI yang baku. Apalagi penerapan sistem TI tidak mudah, karena banyak model yang harus disesuaikan dengan kebutuhan. Apalagi sistem TI mencatat data dan transaski yang ada.

Dia lantas membantah bahwa akibat belum diharmonisasikannya sistem informasi pada saat BPJS Kesehatan, maka pelaksanaan program jaminan kesehatan bersifat uji coba (trial and error). Apalagi dalam masa transisi pasti membutuhkan penyesuaian, seperti dalam pelaksanaan e-KTP.

“E-KTP itu kan untuk dewasa, lalu bagaimana dengan anak-anak? Makanya akan dibuat ID tunggal dari data yang sama yang ada di Askes. Nantinya tinggal disinkronisasikan saja. Kita tengah membahas harmonisasi ini,” ujarnya saat membuka acara workshop tersebut.

Menurut Ali Gufron, sistem TI merupakan tulang punggung dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Karena itu harus menjadi prioritas. Apabila sistem ini sudah bisa dibangun, maka akan memudahkan pengintegrasian dengan program-program jaminan sosial lainnya, misalnya terkait masyarakat yang tergolong penerima besaran iuran (PBI) yang bisa berubah-ubah karena perubahan status sosial seseorang.

“Yang semula miskin, bisa saja suatu saat masuk dalam kelompok mampu. Atau, yang tadinya tidak miskin, karena sesuatu hal masuk dalam jurang kemiskinan. Jadi, dengan kata lain, PBI bisa siapa saja. Karenanya, harus ditopang dengan sistem IT agar PBI benar-benar sesuai sasaran,” ucapnya.

Dia menyebutkan, PBI 2014 sendiri tercatat sebanyak 86,4 juta orang miskin dan berpendapatan rendah. Artinya ada 40 persen masyarakat dengan penghasilan terendah hasil identifikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang masuk dalam catatan PBI. Data ini akan diperbarui tiga tahun sekali.

Sementara itu, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Informasi PT Jamsostek (Persero) Agus Supriyadi mengatakan, jika BPJS Kesehatan beroperasi 1 Januari 2014, maka tidak akan ada perbedaan apakah pesertanya berasal dari Askes, Jamsostek, atau Jamkesmas. “Semua akan dilayani,” katanya.

(sumber: www.suarakarya-online.com)

Climate change adding sting to mosquito bite, says WHO report

NEW DELHI: The warning is ominous — climate change and global warming will make vector-borne diseases like dengue and malaria – already causing havoc in the country more lethal.

A landmark report on climate change and health, published by the World Health Organization on Monday, said that in the last 100 years, the world has warmed by approximately 0.75 degree Celsius. Over the last 25 years, the rate of global warming has accelerated, at over 0.18 degree Celsius per decade.

Global health will suffer a loss of $2 billion-$4 billion per year by 2030 due to climate change.

Global warming, which has occurred since the 1970s, caused over 1.4 lakh excess deaths annually by 2004.

“Many of the major killers such as diarrhoeal diseases, malnutrition, malaria and dengue are highly climate-sensitive and are expected to worsen as the climate changes,” said WHO.

It added, “Malaria is strongly influenced by climate. Transmitted by Anopheles mosquitoes, malaria kills almost one million people every year. The Aedes mosquito vector of dengue is also highly sensitive to climate conditions. Studies suggest that climate change could expose an additional 2 billion people to dengue transmission by the 2080s.”

WHO said over the last century, the surface area on which malaria remains a risk has been reduced from half to a quarter of the earth’s landmass, but due to demographic changes the number of people exposed to malaria has increased substantially over the same period.

Estimates of cases and deaths differ greatly: the number of cases stands between 200 million and 500 million, while the death estimate is around one million per year.

Dengue has become the most rapidly spreading mosquito-borne viral disease in the world.

It is estimated to cause over 50 million infections and around 15,000 deaths annually in around 100 countries.

“Infection could range from a mild flu-like fever to the potentially fatal severe dengue, which particularly affects individuals who are exposed to one of the four different strains of the virus as a secondary infection. Heavy rainfall can cause standing water, while drought can encourage people to store more water around the home, both providing breeding sites for Aedes mosquitoes. Warm temperatures increase the development rates of both the mosquito vector and the virus, fuelling more intense transmission,” the report said.

Extreme high air temperatures contribute directly to deaths from cardiovascular and respiratory disease, particularly among senior citizens.

High temperatures also raise the levels of ozone and other pollutants in the air that exacerbate cardiovascular and respiratory disease. Urban air pollution causes about 1.2 million deaths every year.

Pollen and other aeroallergen levels are also higher in extreme heat.

These can trigger asthma, which affects around 300 million people. Ongoing temperature increases are expected to increase this burden.

WHO added that globally, the number of reported weather-related natural disasters has more than tripled since the 1960s.

Every year, these disasters result in over 60,000 deaths, mainly in developing countries, it says.

In 2011, 332 disasters from natural hazards were recorded in 101 countries, causing more than 30,770 deaths, and affecting over 244 million people.

Recorded damages amounted to more than $ 366.1 billion. “Over the past 30 years the proportion of the world’s popu-lation living in flood-prone river basins has increased by 114% and those living on cyclone-exposed coastlines by 192%. Reports of extreme weather events and disasters have more than tripled since the 1960s,” it added.

(sumber: economictimes.indiatimes.com)

Kota Batu Sepelekan Kesehatan

BATU – Layanan kesehatan untuk masyarakat kota Batu tampaknya, masih dipandang sebelah mata. Buktinya, anggaran pelayanan kesehatan kota itu hanya sekitar 2% dari total RAPBD 2013. Dinas Kesehatan (Dinkes) hanya mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 22,3 miliar dari total RAPBD 2013 sebesar Rp 451 miliar yang kini masih dibahas.

Kepala Dinkes Kota Batu, Endang Triningsih, mengakui, dengan anggaran yang minim itu pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk peningkatan pelayanan kesehatan di Kota Batu.

“Faktanya dana untuk kita memang minim, sulit untuk membuat inovasi kesehatan. Kita hanya bisa memenuhi pelayanan dasar kesehatan saja,” ujar Endang, Minggu (28/10).

Minimnya dana untuk layanan kesehatan di luar gaji pegawai ini sendiri, tidak sesuai dengan perundangan. Berdasarkan UU no 36/2009 tentang Kesehatan, pada pasal 171 ayat 2 disebutkan, besar anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten harus 10% dari total APBD di luar gaji pegawai.

“Jangankan sepuluh persen, kita tiga persen saja enggak sampai. Kami menuntut lebih tinggi lagi sejak tahun lalu ya tidak direspon dewan,” ujar Endang.

Jika total RAPBD 2013 Kota Batu sebesar Rp 451 miliar, maka anggaran kesehatan harusnya mendapat sekitar Rp 45 miliar. Faktanya, alokasi kesehatan Kota Batu hanya sebesar Rp 22,3 miliar dan sebagian besar adalah gaji pegawai.

Mengutip data dari Bagian Keuangan Pemkot Batu, rincian anggaran itu antara lain, untuk gaji pegawai sebesar Rp 11,4 miliar. Sisanya, Rp 5,9 miliar untuk belanja langsung atau kegiatan Dinkes. Selain itu, Rp 5 miliar untuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

“Untuk kegiatan langsung, bentuknya ya operasional rutin di seluruh Puskesmas dan kegiatan lain. Intinya, hanya mencukupi layanan dasar saja. Karena itu, anggaran yang ada ya dicukup-cukupkan,” ucap Endang.

Meski demikian, Endang bisa sedikit bernafas lega. Sebab, anggaran untuk program Jamkesda itu sudah meningkat. Awalnya hanya Rp 2,7 miliar saja. “Harapan kita penduduk Kota Batu yang mengajukan SPM terus berkurang. Dengan begitu anggaran untuk program Jamkesda tidak sampai melebihi Rp 5 miliar,” tandas Endang.

Terpisah, Kepala Bagian Keuangan Pemkot Batu, Julijanti Wahjuni, mengakui minimnya dana untuk layanan kesehatan di Kota Batu. “Seharusnya memang sepuluh persen dari APBD, tapi karena anggaran kita terbatas ya harus dibagi rata,” kata Julijanti.

Jika anggaran Dinkes diberi 10%, sambung dia, resikonya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang lain tidak kebagian anggaran. Alias mereka akan menganggur karena tidak ada pekerjaan fisik dan non fisik yang bisa dikerjakan dengan memanfaatkan APBD Kota Batu.

Meski demikian, ia berharap ada perubahan yang berujung pada penambahan dana kesehatan. Karena RAPBD 2013 masih dibahas lagi dengan legislative pada November nanti. “Semoga saja dewan menyetujui kalau diminta ada penambahan,” pungkas Julijanti. zar

(sumber: www.surabayapost.co.id)