Draf RPP BJPS telah dikirimkan ke Istana

JAKARTA – Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah dikirimkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berharap pembahasannya selesai pada 25 November mendatang atau sesuai dengan tenggat waktunya.

“Draf RPP BPJS sudah kami berikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diharmonisasi dan dari situ sudah dikirim ke Kemenkokesra untuk dilaporkan ke Presiden bahwa harmonisasi sudah selesai dilaksanakan,” ujarnya, Selasa (16/10).

Nafsiah menyatakan, draf tersebut juga sudah dikoordinasi dengan lembaga negara lainnya sehingga sudah hampir rampung secara keseluruhan. Dia menyatakan, pembahasannya tak perlu menunggu hingga akhir tahun.

Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pihak Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk menepati tenggat waktu RPP BPJS. Namun ia mengatakan paling lambat RPP BPJS tersebut selesai pada akhir tahun 2012, mengingat penerapan BPJS Kesehatan baru dilakukan pada tahun 2014 mendatang.

(sumber: nasional.kontan.co.id)

HEALTH: New TB vaccine on the horizon

LONDON, 16 October 2012 (PlusNews) – A research team at Oxford University in the UK is very close to determining the efficacy of their new tuberculosis (TB) vaccine. If current clinical trials are successful, it will be the first new TB vaccine in almost a century.

The urgent need for a new vaccine is emphasised by research showing that extensively drug-resistant (XDR) forms of the disease are rapidly spreading.

Today, most babies in the world are immunized with the old Bacille Calmette-Guerin (BCG) vaccine, first used in 1921. The leader of the Oxford research team, Helen McShane, says it saves children’s lives, but beyond infancy its effects are limited.

“We know that when BCG is given at birth, it does work well to protect against tubercular meningitis and the disseminated disease that has spread outside the lungs… What we also know is that BCG is very variable in protecting against lung disease, which is where the burden of the disease is, particularly in adults and adolescents,” she said.

Oxford’s vaccine, known as MVA85A, is designed to boost the effects of BCG. “It’s that efficacy against severe disease which is the rationale behind keeping BCG and making it better,” McShane said.

Clinical trials are taking place in South Africa, following 3,000 babies, all of whom received BCG; half of them also received the new booster vaccine. Trials of the vaccine’s effectiveness in adults are taking place in both South Africa and Senegal, with results expected in the first quarter of 2013.

Boosting immune response

The vaccine is designed to stimulate an immune response known as cell-mediated immunity. “This is different from all the vaccines we have licensed today – with the exception of BCG – which work by the production of antibodies,” McShane said.

“Because TB is very good at hiding within cells, we need T-cells [a kind of white blood cell] to protect against TB. And indeed that’s the reason why HIV-infected people are more susceptible to TB – because HIV damages your T-cells. So the vaccine that we have developed works by boosting the T-cells which are induced by BCG.”

TB is a major cause of death among the HIV-positive. Asked whether this kind of vaccine could prevent TB in people living with HIV, McShane said that it might – but only for those with immune systems strengthened by antiretroviral medications. “I do think that’s going to be crucial for these vaccines to work, [but] I think it would be very hard for it to work in HIV-positive individuals with very low CD4 counts [a measure of immune health].”

Market consideration

After decades of neglect, the world is seeing a flurry of activity around the development of new TB vaccines, reflecting increased interest and funding from donors such as the Bill and Melinda Gates Foundation and the British and Dutch governments. Added pressure comes from the emergence, first, of multi-drug resistant TB, and, more recently, of XDR-TB, which can be nearly impossible to treat.

MVA85A is the front-runner among the vaccines in development, but there are others on the way. Some use virus vectors, like the Oxford vaccine, which uses an adenovirus, from the family of organisms that cause the common cold. Others use peptides, and one, says McShane, is a recombinant form of BCG, modified to express more antigens and to make it safer for use in people living with HIV.

Some researchers are working on improved TB treatments to address the disease’s growing drug resistance, but the process of bringing new drugs to market is slow, and few new treatments have even started clinical trials. Vaccines may be a better bet and, given the market, may be easier to put into production.

The problem is that TB is a disease of poverty: According to the World Health Organization, over 95 percent of cases and deaths are in developing countries, where sufferers often cannot afford treatments. This makes the expensive process of developing new TB medications unattractive to drug companies. Most of the current research is publicly funded.

“It’s been hard to make a convincing market argument for TB drugs,” Ann Ginsberg, vice president of scientific affairs at Aeras, a non-profit organization working on TB vaccines, told PlusNews. “The reality is that the vast majority of companies working on TB drugs do not expect to make any profit from it. They are in it because they think it is the right thing to do. They hope not to lose money in the process, but they don’t expect to make any,” she said.

“But because of global vaccination, you are talking about so many people who would ideally be vaccinated that there’s probably a reasonable profit to be made there.”

(sumber: plusnews.org)

IDI Dukung Pembatasan Fakultas Kedokteran

MATARAM -Program pemerintah untuk membatasi pendirian Fakultas Kedokteran didukung Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pusat. Bahkan tidak hanya membatasi pendirian Fakultas Kedokteran baru, IDI memandang bila perlu Fakultas Kedokteran yang sudah ada dan tidak berkualitas ditutup saja.

”Sekarang banyak Fakultas Kedokteran yang akreditasi C. Mau tidak mau bukan hanya dibatasi tetapi yang sudah berdiri kalau tidak berkualitas ditutup saja,” kata dr Slamet Budiarto SH M.Kes, Sekjen PB IDI kepada Lombok Post (Grup JPNN), Minggu (14/10) di Mataram.

Hal itu dimaksudkan agar dokter yang dihasilkan dari fakultas kedokteran benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya dan memiliki kompetensi yang baik. ”Hasil uji kompetensi terhadap dokter, ada beberapa Fakultas Kedokteran yang lulusannya tidak kompeten. Baik dari Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta. Itu harus dibantu kalau tidak ditutup,” ujarnya.

Menurut dr Slamet, perbandingan jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah dokter anggota IDI sebenarnya sudah memadai. Munculnya fakultas-fakultas kedokteran yang baru dikhawatirkan hanya menambah jumlah lulusan tetapi mutunya kurang terjamin. Jumlah dokter anggota IDI saat ini sudah mencapai 110.000 orang. Terdiri dari 85 ribu dokter umum dan 25 ribu dokter spesialis. Ratio kebutuhan dokter terhadap jumlah penduduk adalah 1:3.000. Artinya satu dokter melayani 3.000 penduduk.

”Kalau penduduk Indonesia 230 juta jiwa, berarti kebutuhan dokter sudah cukup. Cuma penyebarannya yang belum merata,” kata dr Slamet.

Ia mengharapkan pemerintah untuk memperhatikan tenaga dokter dengan memberi reward dan penghargaan. Memperhatikan jenjang karier mereka yang bertugas di daerah terpencil atau di desa-desa. Kalau tidak, dokter akan tetap enggan ke desa, karena dari segi financial tinggal di kota jauh lebih menjanjikan.

dr Slamet datang ke Mataram untuk melantik pengurus Cabang IDI se-NTB sekaligus menghadiri pembukaan seminar ilmiah dalam rangka Hari Bhakti Dokter Indonesia ke-104 dan HUT IDI ke-62 oleh Pengurus IDI Wilayah NTB. Pelantikan dan seminar berlangsung di Hotel Grand Legi Mataram.

Kepada pengurus yang baru dilantik, dr Slamet mengharapkan agar mengoptimalkan fungsi organisasi IDI yaitu melindungi masyarakat dan dokter serta tenaga kesehatan lain dalam hal profesionalisme dan kesejahteraan. Sekaligus juga mengawasi dokter-dokter yang ada.

”Kalau ada kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, IDI harus protes. Misalnya pelayanan kesehatan yang tidak profesional, membeda-bedakan si miskin dan si kaya. Sebab dokter dilahirkan tidak untuk membeda-bedakan pasien dalam hal pelayanan kesehatan,” katanya.

Dikatakan, setiap lulusan Fakultas Kedokteran secara otomatis akan menjadi anggota IDI. Rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Bhakti Dokter Indonesia ke-104 dan HUT IDI ke-62 oleh Pengurus IDI Wilayah NTB telah dilaksanakan berbagai kegiatan. Diantaranya pemilihan dokter kecil award 2012, seminar untuk umum dengan topik mengenal stroke dan permasalahannya, senam sehat bersama PT Askes dan terakhir kemarin pelantikan pengurus IDI Cabang dan Seminar Ilmiah serta bhakti sosial donor darah

(sumber :jpnn.com)

One person goes blind every minute in Indonesia

A lack of knowledge about eye health is the main reason behind the high blindness rate in Indonesia, a health practitioner has said.

The director of the Cicendo Eye Hospital and National Eye Center, Hikmat Wangsaatmadja, said that Indonesia had the highest number of blindness cases in the world, after Ethiopia.

“In fact, 80 percent of blindness can be cured,” Hikmat told the World Sight Day forum in Bandung, West Java, recently.

Hikmat, an ophthalmologist, said that most cases of blindness in Indonesia were caused by cataracts.

The high occurrence of blindness in the country, according to Hikmat, could be attributed to the fact that most people in Indonesia were reluctant to undergo eye operations, especially for cataracts, which are a clouding of the transparent lens of the eye.

Many people, according to Hikmat, did not know that cataracts could be treated through surgery. Because of such reluctance to undergo operations, he added, one person would go blind every minute in Indonesia from cataracts.

Hikmat said that the incidence of cataracts in Indonesia reached 240,000 annually, while the numberof cataract operations performed in the nation numbered only 100,000.

Deputy Health Minister Ali Gufron Mukti expressed hope that more people would have their eyes checked to prevent blindness.

World Sight Day 2012 in Bandung was marked with the launch of an audio book, Skenario Indah dari Tuhan (A Beautiful Scenario from God).

The book presents the works of 12 people with vision problems, ranging from poor vision to total blindness, and included students, teachers and therapists.

The one-hour audio book describes the feelings, hopes and experiences of people with low vision and the blind.

“We try to help and facilitate the sufferers to become independent and productive personalities,” said the chairperson of the Syamsi Dhuha Foundation, Dian Syarief, who also has vision problems.

At Syamsi Dhuha, the responsibility for low vision and blind patients has been given to its low vision

division.

Apart from giving motivation to those with vision problems, the division also provides training and certification for those with vision problems on shiatsu massage, computer use and writing.

“The audio book is one of the division’s works,’ Dian said.

Dian also underlined the important role of the community in improving low vision and permanent blindness sufferers’ productivity, arguing that blindness was not just a public health problem, but was also a social problem.

Hikmat concurred, saying that a blind person who did not receive help could cause two other persons to be unemployed.

“This is because a blind person sometimes needs the help of two people and this is not productive,” he said.

Globally, 135 million people have vision problems, 90 percent of whom are from developing countries.

“The economic losses because of the cases is US$28 billion a year. This accounts for why this has to be a concern for all of us,” he said.

(sumber : thejakartapost.com)

Wamenkes Optimistis BPJS Rampung Akhir 2012

YOGYAKARTA – Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan dimulai per 1 Januari 2014 mendatang. Pemerintah melalui kementerian kesehatan maupun kementerian lainnya telah melakukan upaya persiapan untuk pelaksanaan program jaminan kesehatan tersebut.

Persiapan yang terus dilakukan itu dimulai dari peraturan perundangan, Sumber Daya Manusia (tenaga medis), fasilitas kesehatan, sistem pelayanan dan sistem jaminan termasuk besaran iuran.

“Kita optimistis akhir 2012 persiapan dari sisi perundangan sudah selesai, sehingga harapannya nanti pada 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan sudah terbentuk dan beroperasional,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti, di Yogyakarta, Kamis (11/10/2012).

Hal itu disampaikan Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu saat membuka acara The 1 st Regional Symposium on Health Reseach an Development, ‘Toward Universal Health Coverage and Equity’ di Yogyakarta.

“Planing yang disepakai adalah Rp22.200 untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) per orang perbulan. Untuk pekerja penerima upah diusulkan 5 persen, 3 persen dibayarkan pemberi kerja dan dua persen dibayar pekerja,” jelasnya.

Jumlah sasaran masyarakat PBI yang masuk dalam program jamkesmas pada 2012 sebanyak 76,4 juta jiwa. Memasuki tahun 2013 nanti ditarget 86,4 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2014 nanti ditarget ada 96,4 juta jiwa. “Harapan pemerintah kedepan nantinya supaya serempak masyarakat Indonesia mendapatkan jaminan kesehatan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah sedang mempersiapkan implementasi Univeral Health Coverage (UHC) secara bertahap sesuai amanat UU No 40 tahun 2004. UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS menyampaikan bahwa program jaminan sosial akan diselenggarakan oleh dua BPJS, yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

(sumber : economy.okezone.com)

WHO: People in low-income states highly vulnerable to blindness

THE World Health Organization (WHO) yesterday warned low-income countries they are more vulnerable to blindness and visual impairment, thus making it more necessary to improve access to quality eye care services.

In a statement on the World Sight Day, the WHO lamented the lack of sufficient eye care in low-income countries as one of the main reasons for widespread blindness.

“Surveys indicate that globally, 90 percent of people with blindness or low vision live in low-income countries,” said the WHO-Western Pacific Region.

Worldwide, the WHO said, there are 39 million people who are blind and another 246 million people with poor vision.

Of this number, 10 million blind people and 79 million with poor vision live in the Western Pacific Region.

The leading cause of blindness in the world and in the Western Pacific Region is cataract, which is a clouding of the lens, a natural process that usually comes with age.

Other main causes of blindness in the Western Pacific Region include glaucoma and diabetic retinopathy.

Because of this, the WHO urged member-states to implement programs that will provide ample eye care, especially in poor communities.

“The WHO program is supporting low- and middle-income countries in their efforts to improve quality access to eye care services, especially for poor people. Activities include the support of human resource development and of increased access to eye health services for rural and poor populations,” said the WHO.

(sumber : malaya.com.ph)

 

 

Industri Farmasi Diprediksi Tumbuh 17%

PASURUAN – Pasar industri farmasi nasional diperkirakan bisa tumbuh hingga 17% pada tahun ini. Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasar industri farmasi tahun lalu yang hanya naik 11-12%.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Linda Sitanggang mengatakan, pertumbuhan pasar industri farmasi Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. “Pasar industri farmasi di Indonesia didorong oleh bertambahnya penduduk yang berusia 65 tahun ke atas dan juga dalam rangka menyambut SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Saat ini ada sekitar 208 perusahaan farmasi di Indonesia,” ujar Linda seusai peresmian perluasan pabrik Merck Sharp and Dohme (MSD) di Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur,kemarin.

Dia berharap,investasi di industri farmasi bisa lebih gencar dilakukan di sektor hulunya. Sehingga, akan semakin banyak riset yang dilakukan untuk memperkuat sektor hulu industri farmasi. Sementara, Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Farah Ratnadewi Indriani mengatakan, pembebasan bea masuk untuk bahan baku impor diharapkan bisa didapatkan oleh pelaku usaha farmasi di Indonesia sehingga bisa memacu arus investasi.

“Investasi pada tahun depan diharapkan bisa mencapai sekitar Rp300 triliun,sehingga peluang investasi di dalam negeri masih sangat bagus,”ujarnya. Sebelumnya Gabungan Pengusaha Farmasi memperkirakan, penjualan industri farmasi nasional bisa mencapai USD4,9 miliar.Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Kedrariadi Suhanda mengatakan, berdasarkan kontribusi, perusahaan multinasional diperkirakan bisa mencapai sekitar 23–24% dari USD4,9 miliar. “Pangsa pasar industri farmasi Indonesia pada tahun ini diperkirakan sekitar USD4,7–4,9 miliar atau 0,4–0,5% dibandingkan pangsa pasar dunia yang mencapai USD800 miliar,” jelasnya.

Merck Incar Tiga Besar

Perusahaan farmasi,Merck Sharp and Dohme (MSD), menargetkan bisa menjadi pemain farmasi ketiga terbesar di Indonesia dalam 4–5 tahun mendatang. President MSD Asia Pasifik Patrick Bergstedt mengatakan, target itu akan tercapai apabila empat langkah utama bisa segera dilakukan. Adapun, empat langkah tersebut adalah memperkuat pasar yang sudah ada, mengeluarkan produk baru, memperpanjang masa registrasi produk-produk yang sudah ada dan menjalin kerja sama dengan pemerintah serta mitra lokal.

“Saat ini,MSD adalah perusahaan farmasi ketiga terbesar di dunia dan kelima di Asia Pasifik,” kata Patrick. MSD, kata dia, percaya inovasi dan komitmen untuk melakukan riset dan pengembangan akan mendukung industri farmasi di Indonesia. Dia menjelaskan, saat ini MSD mempunyai pabrik di Australia, Indonesia, Singapura, Jepang, dan China. “Dalam waktu dekat, pabrik di Australia akan ditutup lalu semuanya dipindah ke Indonesia,”jelasnya.

Patrick menegaskan, perpindahan pabrik dari Australia ke Indonesia dilakukan bukan karena terjadi perlambatan ekonomi global, tapi karena pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik, termasuk Indonesia yang cukup pesat. President and Managing Director MSD Indonesia Chris Tan mengatakan, pabrik pengemasan baru yang senilai USD21 juta di Pandaan rencananya mulai beroperasi pada akhir tahun ini. Dari kapasitas produksi di Indonesia, sekitar 25% akan dilepas di pasar domestik dan 75% untuk ekspor, terutama ke Asia Pasifik.

Porsi yang sebesar 25% tersebut adalah rencana jangka pendek dan ditargetkan akan terus meningkat di masa mendatang apabila SDM sudah sukses di Indonesia. Fasilitas pengemasan baru di Pandaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap produk MSD dari segi ukuran dan pengemasan terbaik sesuai dengan kebutuhan pasien di pasar regional.

“MSD adalah perusahaan berskala menengah besar yang ingin meningkatkan investasi dan juga mendapatkan keuntungan hingga mencapai dua digit,”kata Chris.

(sumber : seputar-indonesia.com)

 

Menkes Tuding Keengganan Pakai Kondom Picu Peningkatan HIV/AIDS

Terjadi peningkatan penderita HIV/AIDS di hampir seluruh daerah di Indonesia. Menurut Menkes, salah satu pemicunya adalah rendahnya kesadaran menggunakan kondom.

Riauterkini-PEKANBARU- Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Salah satu faktor utamanya menurut Menteri Kesehatan RI Dr Nafsiah Mboi adalah penggunaan kondom dalam berhubungan seks masih sangat rendah dan ditambah prilaku seks beresiko cukup tinggi.

“Penderita HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan. Disebabkan prilaku sek beresiko masih cukup tinggi dan penggunaan kondom saat melakukan hubungan seks masih rendah,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi kepada wartawan, Senin (8/10/12) di RSUD Arifin Achmad saat memberikan ucapan selamat ditetapkanya RSUD Arifin Achamd sebagai rumah sakit pendidikan.

Untuk menanggulangi dan meminimalisir penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya ini, pihaknya telah melakukan pendekatan dari sektor hulu. Seperti pendidikan, agama, moral dan penyuluhan-penyuluhan dan lain-lain.

“Karena pendekatan yang kita gunakan dari hulu, makanya kita lebih gencar lagi menanggulangi penyakit HIV/AIDS ini dengan berbagai cara, seperti pendekatan agama, moral dan penyuluha-penyuluhan terutama bahaya Narkoba bagi anak dan usia produktif,” jelasnya.

Disamping itu juga, tambah Menkes untuk menanggulangi dan meminimalisir pertambahan penderita HIV/AIDS yang terus meningkat. Semua pusat kesehatan dasar di Indonesia, mulai dari Puskesmas sampai rumah sakit rujukan bisa memberikan pelayanan dan bantuan kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS.

“Prilaku sehat di masyarakat sampai saat ini masih rendah. Makanya, nanti kita integrasi dari pelayanan terkecil sampai rujukan akan kita buat dan promosi prilaku sehat harus terus ditingkatkan melaui penyuluhan agama, pendidikan,” ujarnya.

(sumber : riauterkini.com)

Europe: Fears of new health epidemics worsened by vaccination cost

Delegates at the Gastein Health Forum have been told that measles and rubella are “raging” throughout Europe, with a lack of funding making the situation worse.

The Gastein Health Forum (EHFG) is the leading health policy event in the EU, which takes place annually.

During a workshop at the policymakers’ forum on 5 October, Austrian MEP Karin Kadenbach said that “measles and rubella are once again raging in Europe”.

As a result, the World Health Organization (WHO) has had to put back its goal of conquering these diseases to 2015, five years later than previously hoped.

The struggle to curtail the spread of these diseases is due to vaccination rates falling short in the 53 countries of the WHO European region. According to Kadenbach’s estimation, measles viruses could be prevented from circulating if 95% of the population were inoculated.

Instead, recent studies show that the number of measles cases in the EU has risen by a factor of four between 2010 and 2011.

Costs are also proving a factor in preventing many from getting vaccinated, as the example of flu vaccinations has shown. Countries which spent the least on subsidising seasonal flu vaccination also had the lowest coverage rates. Austria, the Czech Republic, and Poland had the lowest coverage in Europe.

The internet is also proving to be a hindrance to vaccinations, with misinformation regarding the safety of vaccinations spreading via social media.

World Bank health expert Armin Fidler told delegates that there is evidence which shows that immunisations are among the most cost-effective public health interventions, but falling healthcare budgets are challenging them.

Fidler recommended an approach to vaccinations seen in many developing countries. “Even in many low-to-middle-income countries, those responsible for public budgets are not only prepared to waive contributions to immunisation, they literally pay people to take part in order to boost the vaccination rate,” he said.

In countries like Brazil, Mexico, and Turkey, some social services such as school-fees are linked to vaccinations. Fidler advises that if such programmes “pay off”, they should be encouraged elsewhere.

Kadenbach has called for a joint European initiative that brings in health experts and decision-makers to give more political support for vaccination programmes

(sumber : egovmonitor.com)

Kemenkes Desak Kemenlu Ratifikasi KK Pengendalian Tembakau

Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemkes) mendesak Kementerian Luar Negeri agar Indonesia segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

“Saya sudah kirim surat ke Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa agar Indonesia segera ikut meratifikasi FCTC. Ini penting untuk mengendalikan peredaran rokok di tanah air,” ungkap Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di Jakarta, Minggu.

Menurut Nafsiah, pengendalian merokok adalah upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mencegah penyakit yang diakibatkan konsumsi tembakau, melindungi hak asasi manusia untuk hidup sehat serta melindungi bangsa dan negara dari kerugian ekonomi yang lebih besar.

“Kita semua mengetahui FCTC merupakan kerangka kerja internasional dalam pengendalian tembakau yang mengikat secara hukum. Pokok-pokok isi FCTC antara lain: mengatur konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak; iklan, sponsorship, dan promosi; pemberian label dalam kemasan rokok (peringatan kesehatan); dan mengatur dalam penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur.

FCTC telah diratifikasi oleh 175 negara anggota WHO pada 2003. Namun, hingga saat ini Indonesia belum menandatangani bersama 10 negara lain. Negara yang telah menandatangani sebelum tanggal 29 Juni 2004 disebut ‘telah meratifikasi’ FCTC. Sedangkan negara yang menyetujui setelah batas waktu yang telah ditentukan disebut ‘telah melakukan aksesi’ FCTC. Aksesi mempunyai hak yang sama dengan ratifikasi.

“Padahal sebenarnya Indonesia dapat dikatakan sangat berperan dalam penyusunan FCTC. Pemerintah Indonesia telah berpartisipasi secara penuh sebagai anggota Drafting Committee. Delegasi Indonesia saat itu terdiri dari Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, serta Kementerian Luar Negeri,” kata Menkes.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pengendalian produk tembakau, antara lain menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, serta upaya aksesi atau ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Mengenai RPP Tembakau, dalam proses untuk penetapannya, saat ini sudah ada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok yang diikuti oleh surat Menteri Dalam Negeri tentang pelaksanaan Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok.

Untuk dapat melakukan aksesi FCTC, pada tahun 2005 Kementerian Kesehatan menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau. Pada 15 Januari 2010, Menteri Kesehatan RI pada waktu itu telah menyampaikan surat izin prakarsa Undang-Undang tentang Pengesahan FCTC kepada Presiden RI.

“Mengingat pentingnya Aksesi FCTC, Kementerian Kesehatan telah membentuk Tim Kerja Aksesi FCTC pada 2012”, tambah Menkes.

Menkes sangat mengharapkan agar aksesi FCTC dapat segera dilaksanakan dan pembahasan RPP Tembakau dapat segera selesai, sehingga dapat segera diberlakukan agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh hak untuk hidup sehat, produktif dan harmonis dengan lingkungannya, guna memenuhi kesinambungan pengembangan sumber daya manusia.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama menambahkan, kebiasaan merokok menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di dunia dengan lebih dari 4.000 jenis racun pada tiap batang.

Daftar penyakit yang dipicu dari kandungan nikotinnya, di antaranya kanker paru-paru, hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, infertilitas pria dan juga disfungsi ereksi alias impotensi.

Di dalam tiap batang rokok, menurut Tjandra Yoga, terdapat 90 persen tembakau dan 1,5 persen bahan tambahan serta bahan lain seperti kertas, lem, filter dan senyawa lain. “Rokok mengandung nikotin yang menimbulkan adiksi. Asap rokok masuk ke paru-paru lalu masuk pembuluh darah dan pergi ke jantung, otak dan lain-lainnya,” katanya.

Pemerintah juga memiliki satu cara untuk mencegah bahaya rokok ini, di tiap bungkus rokok terdapat kalimat-kalimat panjang peringatan bahaya merokok. Akan tetapi di Belanda, peringatan itu cuma tiga kata saja: “Rokken is doodelijk” setara dengan “Merokok Itu Mematikan”.

(sumber : poskotanews.com)