Thailand vaccine trial edges closer to dengue vaccine

bangkok – Scientists have edged closer to a dengue vaccine following trials in Thailand, where dengue fever is endemic, that have shown a vaccine candidate to be safe and effective, although more evidence is needed to prove its effectiveness.

The results of the clinical phase II trial, showing the vaccine to be 30 per cent effective in protecting from dengue, were published in The Lancet last week (11 September). The vaccine CYD-TDV, which was developed by the drug company Sanofi Pasteur, has been tested on 4,000 children aged four to 11 from 57 schools in Thailand’s Muang District.

Dengue fever is the world’s most widespread mosquito-borne viral disease with around half of the global population at risk. There is no vaccine to protect against it, although there are several being developed.

It is difficult to develop an effective vaccine because dengue fever is caused by four different strains of virus — known as DENV 1, 2, 3 and 4. The challenge is to develop a vaccine that can protect against all types of dengue virus.

“The results of this trial show that the vaccine can protect against dengue fever caused by three virus types [DENV 1, 3 and 4],” said Pascal Barollier, a Sanofi Pasteur spokesperson. “The vaccine was well tolerated and safe, with no serious effects on those who received it.”

But scientists not involved with the study say there is not enough data to prove the vaccine’s effectiveness against severe dengue disease, and urged for further, larger trials.

Scott Halstead, a physician at the International Vaccine Institute in Seoul, Republic of Korea, said the result was both “surprising and disappointing”, pointing out that the vaccine does not protect against DENV 2, “the most common type in Thailand”.

He said it is too early to draw any conclusions about the vaccine’s safety.

Sutee Yoksan, director of the Center for Vaccine Development at Mahidol University in Thailand, shared Halstead’s concerns, and called for further investigations.

According to Barollier, phase III clinical studies involving 31,000 children and adolescents are ongoing in Latin America (Brazil, Columbia, Honduras, Mexico and Puerto Rico) and in five Asian countries (Indonesia, Malaysia, the Philippines, Thailand and Vietnam) where dengue is endemic.

These trial results are expected in 2014. If successful the vaccine could be available in 2015 in countries where dengue is a public health priority.

(Scidev.net)

Industri Tembakau Nonrokok

BELUM reda keresahan petani tembakau menghadapi kejatuhan harga, World Tobacco menunjuk Indonesia menjadi tuan rumah World Tobacco Asia 2012 yang diagendakan digelar di Balai Sidang Jakarta Convention Centre mulai hari ini hingga Jumat lusa. Ini untuk kali kedua kita menjadi tuan rumah pertemuan perusahaan tembakau bertaraf internasional, sekaligus ajang peringatan ke-40 industri tembakau sedunia.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai produsen tembakau dengan kapasitas rata-rata produksi 165 ribu ton per tahun. Adapun China merupakan produsen sekaligus pasar rokok terbesar di dunia. Untuk negara berkembang, Indonesia menjadi negara paling pesat pertumbuhan jumlah perokok. Saat ini jumlah perokok di Indonesia 57 juta orang, 36% dari jumlah penduduk.

Data di Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok perempuan dan anak-anak di Indonesia mengalami kenaikan signifikan, mencapai angka 6% atau hampir empat kali lipat dibanding data survei nasional 2007 dengan kisaran angka 1-1,5%.

Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO) Margareth Chan mengecam keras perusahaan rokok sebagai industri yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik tetapi merusak kesehatan, bahkan bisa menjadi pembunuh bagi konsumen mereka. Chan meminta semua negara terus menekan perusahaan rokok yang mencoba melunakkan gerakan antimerokok yang dikampanyekan lembaganya.

Melalui peraturan pemerintah tentang perlindungan terhadap zat adiktif dalam tembakau, yang lebih dikenal dengan RPP tentang Tembakau, pemerintah kita berupaya merespons positif kampanya antimerokok yang disuarakan WHO. Peraturan yang berisi 8 bab dalam 65 pasal, secara lengkap mengatur dari bahan, produksi, distribusi, larangan iklan, pengenaan cukai yang tinggi, hingga pengaturan kawasan bebas asap rokok.

Namun kalangan industri tembakau menganggap peraturan itu sebagai pesanan pihak luar yang ingin mematikan industri rokok di Tanah Air. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta pemerintah lebih bijak dengan cukup memberi tahu akibat buruk merokok tanpa harus mematikan industrinya. Hal itu mengingat hingga saat ini sektor tembakau dan ikutannya menyokong 10-15% pendapatan nasional.

Paparan itu sekaligus menggambarkan betapa tembakau menghadirkan dilema. Di satu sisi kita tidak ingin industri rokok gulung tikar karena berarti menambah angka pengangguran, tetapi di sisi lain kita khawatir melihat pertumbuhan jumlah perokok yang meningkat tajam dalam lima tahun terakhir, terutama perempuan dan anak-anak.

Menyalahkan petani tembakau pun justru makin menjauhkan kita dari akar permasalahan. Dalam kasus kejatuhan harga tembakau saat ini, persoalannya adalah bagaimana hasil panen yang berlimpah itu bisa terserap oleh pasar. Taruhlah industri rokok sudah jenuh maka perlu mencarikan solusi, seperti membuka pasar nonrokok. Artinya, diperlukan cara penyelesaian out of the box atau keluar dari cara yang selama ini biasa dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Industri Nonrokok

Selama ini kita terpaku bahwa daun tembakau hanya untuk bahan rokok, padahal masih terbuka lebar pemanfaatan untuk produk lain. Menurut Deputi III Kemenko Kesra Bidang Koordinasi Kependudukan dan Kesejahteraan KB Emil Agustiano, daun tembakau bisa digunakan untuk bahan pestisida, kosmetika, obat bius lokal, atau pengencang kulit (MI,12/07/12).

Kita bisa menggarisbawahi salah satu amanat RPP tentang Tembakau yang menyatakan pemerintah diminta mendorong upaya diversifikasi tembakau. Artinya, petani masih bisa menanam tembakau namun pemanfaatannya tidak harus untuk bahan rokok. Peluang itu sekaligus memupus kegalauan manakala industri rokok tidak lagi bisa menampung hasil panen petani maka industri lain seperti perusahaan farmasi, kimia, atau pupuk dapat menjadi pasar alternatif.

Mengaitkan dengan RPP tentang Tembakau, ada tiga isu penting yang harus disuarakan Indonesia dalam World Tobacco Asia 2012, sebagai konsepsi jalan tengah menghadapi dilema tembakau. Pertama; kita harus mampu memamerkan hasil produk tembakau nonrokok, seperti kosmetik, pupuk, atau obat bius yang sedang dan akan dikembangkan.

Kelebihan dan kekurangan produk alternatif tersebut harus dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah ada tetapi dari bahan lain.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Kementrian Perindustrian bisa menjadi fasilitator pertumbuhan industri ini. Kedua; kita harus memberikan jaminan kepada WHO bahwa pemerintah akan secara bertahap menurunkan jumlah perokok, terutama perempuan dan anak-anak. Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengambil peran lebih besar untuk menurunkan angka 6% menjadi zero growth.

Ketiga; luas lahan tanam tembakau tetap akan dikendalikan. Melalui pendekatan persuasif, petani harus mendapat keuntungan sebanding bila menanam nontembakau. Upaya ini ditujukan terutama di sentra produksi tembakau, minimal jangan sampai terjadi perluasan lahan tanam secara berlebihan sehingga hasil panen melimpah melebihi kebutuhan pasar. Kementerian Pertanian harus menjamin hal ini agar tidak terjadi “keter-kejutan” tatkala panen melimpah pada musim tembakau, dan kemudian kita menyalahkan petani.

Perlu ketegasan pemerintah untuk menghadapi dilema tembakau mengingat kita memiliki banyak kepentingan dengan tembakau, tidak saja untuk rokok tetapi juga industri nonrokok.

Ketegasan itu mutlak diperlukan dengan mendasarkan tembakau tetap akan menjadi komoditas yang diperbolehkan ditanam di Indonesia.

(Suaramerdeka.com)

Health Ministry Wants Rp 1.8 Billion to Kill Cockroaches

The Health Ministry is under fire for allocating Rp 1.8 billion ($190,000) to kill cockroaches and flies in its own offices, with one lawmaker wondering aloud whether the ministry staff is aware of proper sanitary habits.

Poempida Hidayatullah, a member of House of Representatives Commission IX, overseeing financial affairs, said that he had no strident objections to the plan, but still found it curious that the Health Ministry would allocate funds for it.

He added that one obvious key to a pest-free environment was preventative cleaning.

“I’m not going to make a fuss about the program to extinguish flies and cockroaches,” Poempida said on the sidelines of a meeting with the Health Ministry in Jakarta on Monday. “I see the benefit that it will make the Health Ministry office more hygienic. But is this because they are filthy?

“I’m just going to think positively. Maybe the cockroaches and the flies appeared because the health program failed.”

But the $190,000 plan to kill insects wasn’t the only Health Ministry budget item that raised eyebrows on Monday.

Poempida also voiced suspicions over a plan to spend Rp 80 billion for certification for 2,500 health lecturers.

That would mean a budget expenditure of over Rp 30 million per certification, an amount the lawmaker said was absurd.

“Rp 30 million for certification training doesn’t make sense. It should only cost Rp 2 million to Rp 3 million. That amount just doesn’t make any sense,” Poempida said.

Rieke Diah Pitaloka, another member of Commission IX, added her own suspicions, singling out a vague budget request for an unnamed number of vehicles for the ministry.

“There was a budget request for a vehicle worth Rp 700 million per unit, which is still not clear yet,” Rieke said.

She also harshly criticized the ministry’s plan to allocate more money for bureaucracy than for public health services in next year’s state budget.

Rieke, a former actress turned outspoken politician, said that the ministry allocated about 49 percent of their total budget, or Rp 15.3 trillion, for public health services, and almost 51 percent, or Rp 15.8 trillion, for bureaucracy.

Out of the 51 percent allocated for bureaucracy, the ministry is allocating 22.7 percent for office maintenance and supplies and 17 percent for monitoring and evaluation activities.

“What good does it do if the state budget is used for bureaucratic needs?” Rieke said. “We should focus more of the budget on public health services.”

In response to the criticism, Health Minister Nafsiah Mboi argued that the bureaucratic expenditures included salaries for vital medical staff, such as paramedics.

“This doesn’t mean that bureaucracy is more important, but this is for the paramedics. Who’s going to serve the public if no paramedics are available? We need many paramedics.”

Nafsiah claimed that she had reduced office costs and that most of the bureaucratic budget would be used to assist paramedics on a regional level.

“You must look at the details of the budget,” she said. “In this meeting we are talking about the macro aspects. Please discuss the micro aspects with my staff from Echelon I,” she said, referring to top-level ministry officials.

Also on Monday, the Indonesian Forum for Budget Transparency (Fitra) criticized the Rp 23 trillion allocated in next year’s draft budget for official travel expenses for ministries and government institutions.

A Fitra spokesperson said the amount was too high and prone to graft.

Finance Minister Agus Martowardojo said he is continuing to evaluate the amount budgeted for official travel expenses.

(Thejakartaglobe.com)

Demo Tolak WTA Conference Terjadi di Mana-mana

Jakarta – Demo menolak penyelenggaraan World Tobacco Asia (WTA) Conference 2012 yang digelar di Jakarta pada 19-21 September terus berlanjut. Demo bahkan terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia, Sabtu dan Minggu pagi.

Gelombang protes muncul dari seluruh daerah di Indonesia. Unjukrasa di Jakarta dipusatkan di kawasan Monas dan Bundaran HI Jakpus. Demo terjadi di Bali, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, Makassar, Banten, Lampung, Palembang, Kalimantan Timur, Manado, dan Papua.

Demo di Monas dan HI dimotori Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Kami bersama LSM Perempuan Pemerhati Anti Tembakau, pelajar SMP dan SMA, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan elemen mahasiswa menggelar orasi dan membentangkan puluhan poster di sini, mulai Pkl. 06:00 WIB,” ujar Humas Kemenkes, Busroni, Minggu kepada Pos Kota.

Pada kesempatan sama, Ketua Koalisi Profesi Kesehatan Anti Rokok (KPK-Anti Rokok), dr. Adang Bachtiar, MPH, Sc.D, Minggu, mendesak pemerintah membatalkan izin WTA Conference 2012 yang berisi pameran dan diskusi produk rokok karena merendahkan martabat bangsa dan negara Indonesia.

KPK-Anti Rokok juga menuntut pemerintah segera membatalkan izin yang telah diberikan untuk menggelar acara yang berisi pameran dan diskusi produk rokok yang berkembang di seluruh dunia.

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau dr Prijo Sidipratomo Sp.Rad.(K) juga menyesalkan sikap pemerintah yang memberi izin penyelenggaraan WTA 2012 untuk kali kedua di Ibukota. Padahal elemen bangsa lainnya tengah gencar melawan perkembangan rokok.

“Kenapa pemerintah tega-teganya memberikan izin penyelenggaraan pameran dan diskusi rokok. Padahal jelas-jelas rokok telah membunuh 521 jiwa rakyat Indonesia setiap harinya. Angka tersebut jauh lebih besar dari korban kematian akibat bencana yang sering menimpa negeri ini,” tutur dr Prijo di Jakarta, ketika dihubungi Minggu.

Prijo mengaku sedih dengan alasan penyelenggaraan WTA yang menulis dalam website resminya bahwa Indonesia memiliki potensi konsumen rokok yang bagus. Alasan semacam ini, lanjutnya, jelas menunjukan pemerintah Indonesia sangat mendukung industri rokok. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai pasar rokok yang sangat dinamis tanpa kebijakan pengendalian yang tegas.

Bukti tentang tingginya konsumsi rokok dapat dilihat dari angka prevalensi perokok laki-laki Indonesia yang tergolong tertinggi di dunia, yaitu 67,4 persen pada tahun 2011. Kondisi tersebut sangat kontras dengan negara tetangga ASEAN lainnya yang telah melakukan upaya pengendalian konsumsi rokok.

Menurut dr Prijo, digelarnya WTA conference 2012 di Jakarta ini akan berimplikasi pada buruknya citra Indonesia di mata dunia internasional. Indonesia juga akan dianggap tidak beradab karena mendukung kematian jutaan manusia yang diakibatkan asap racun rokok.

Seperti diketahui, World Tobacco Asia (WTA) Conference 2012, adalah forum internasional industri tembakau di seluruh dunia. Dalam event akbar berskala internasional tersebut, pengusaha-pengusaha industri rokok seluruh dunia berkumpul, mendiskusikan berbagai isu terkait kemajuan industri rokok secara global. Pada acara surganya perokok itu juga diramaikan oleh eksibisi produk tembakau, terutama rokok, dari negara-negara di Asia Pasifik, dan terutama, Indonesia.

Pihak promotor WTA Conference 2012 berdalih pemenangan tenderisasi WTA oleh Indonesia berdampak positif secara signifikan bagi perekonomian dan pariwisata. Tetapi panitia mengabaikan dampak buruk rokok terhadap kesehatan bangsa.

(poskotanews.com)

Health Ministry: 175 1Malaysia clinics by end of the year

Kuala Lumpur – The Health Ministry plans to have 175 1Malaysia clinics by year-end due to the high demand, said Minister Datuk Seri Liow Tiong Lai.

“The clinics have benefited some five million patients so far. The response has been very encouraging.

“There are currently 119 1Malaysia clinics in operation nationwide while 56 more are in various stages of implementation,” he said at the launch of the 1Malaysia clinic at the Danau Kota flats here yesterday.

Liow said they planned to expand the clinics’ services to include healthcare for mothers and children beginning next year.

The 1Malaysia clinics, he said, would make it easier for patients to seek treatment as they were open from 10am to 10pm and located near residences.

Patients, he said, could seek treatment at the community-based clinics but needed to go to a hospital for serious ailments.

The clinics offer treatment for minor ailments such as cough, flu and fever, basic dressings, sugar and urine tests as well as health advice, among others.

Liow later attended the Hari Raya open house organised by Wangsa Maju MCA division chief Datuk Yew Teong Look’s service centre. Yew was formerly the Wangsa Maju MP.

(Asiaone.com)

Indonesia Belum Berhasil Eradikasi Penyakit Kusta

Jakarta — Indonesia belum bisa benar-benar melakukan eradikasi atau menghentikan penularan penyakit kusta, meskipun telah berhasil mencapai tahap eliminasi penyakit tersebut, kata pejabat Kementerian Kesehatan.

“Kami sudah berhasil mencapai tahap eliminasi kusta sejak 12 tahun lalu, tapi belum berhasil melakukan eradikasi. Memang pada dasarnya, kalau jumlah kasus tidak lagi terlalu besar, upaya menghilangkannya sama sekali bukanlah tugas yang ringan, bahkan lebih berat dari upaya menurunkan jumah kasus dari besar sekali menjadi sedikit,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Kamis (13/9)

Dalam Pertemuan Nasional 25 tahun Penanggulangan Kusta di Indonesia yang berlangsung Rabu (12/9) di Bali, Tjandra mengatakan program penanggulangan penyakit kusta di Indonesia telah mengalami perkembangan seperti adanya komitmen pemerintah yang memasukkan kusta sebagai salah satu program prioritas.

Selain itu, pemerintah disebut Tjandra juga telah menyediakan SDM secara konsisten dan memiliki keahlian memadai dan didukung dengan pelatihan berkala, begitu juga dengan terbentuknya Aliansi Nasional Eliminasi Kusta (ANEK) tingkat provinsi dan juga Aliansi Daerah Eliminasi Kusta (ADEK) tingkat kabupaten/kota.

Ia mengakui penanggulangan kusta masih akan membutuhkan kerjasama lintas program kesehatan, kerjasama lintas sektor dalam ruang lingkup Koordinator Kesejahteraan Rakyat maupun inovasi baru seperti program profilaksis yang sedang dilakukan di Sampang, Madura.

(harianterbit.com)

Health, education ministries launch online course for field epidemiologists

The Health Ministry has launched an online distance-learning course for field epidemiologists to help them improve their knowledge about epidemiological investigations, which might be useful when dealing with unexpected public health crises.

The 2012 Field Epidemiologist Training Program (PAEL) offers participants a unique online training methodology in which they can study from anywhere in the country.

“Many health workers have limited chances to attend training courses as they live in remote areas, precisely those places that are classified as areas with serious health problems,” Sulistiono, the Health Ministry’s human resources, learning and training center head, said on Friday.

Field epidemiologists have the responsibility of investigating unexpected health problems that need immediate intervention.

Some 140 epidemiology field assistants are currently attending the online PAEL pilot program in seven provinces: Central Java, East Java, Jakarta, North Sumatra, South Sulawesi, South Sumatra and West Java.

The program, developed by the ministry in collaboration with the Education and Culture Ministry’s Information and Communications Technology Center (Pustekkom), began on Sept.11 and will run for the next 31 days.

Sulistiono hopes that such trainings would be developed further in the future. “The e-learning can be done from home, which means we can be more efficient in our spending,” he said.

(Thejakartapost.com)

DPR Dorong Pembentukan Timwas BPJS

Jakarta – DPR mendorong pembentukan tim pengawas (timwas) implementasi Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Timwas ini untuk menyikapi berbagai masalah yang masih terjadi.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan, DPR memiliki fungsi pengawasan dan tanggung jawab moral dalam memastikan undang-undang (UU) yang telah dihasilkan benar-benar terlaksana sesuai dengan tujuan awal dibentuk. Implementasi BPJS Kesehatan yang ditargetkan beroperasi awal Januari 2014 ternyata masih banyak masalah.”Inilah salah satu alasan yang mendasari pentingnya dibentuk timwas pelaksanaan UU BPJS,” ungkap Rieke saat dihubungi SINDOkemarin.

Menurut dia, berbagai permasalahan yang terjadi dalam persiapan pelaksanaan BPJS perlu segera disikapi seperti lambatnya pembuatan aturan turunan UU BPJS,polemik penentuan besaran iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI), serta karut-marut data penduduk miskin yang diusulkan menjadi PBI. Sejumlah masalah tersebut tidak cukup hanya disikapi Komisi IX, tapi perlu melibatkan lintas komisi melalui pembentukan timwas.”Ada banyak masalah yang perlu disikapi,”ujarnya.

Rieke menjelaskan, dalam UU BPJS diamanatkan bahwa pemerintah harus menerbitkan aturan turunan setahun sejak UU BPJS diundangkan. Dia menyebutkan,secara keseluruhan aturan turunan UU SJSN dan UU BPJS yang harus dituntaskan sekitar 25,dengan rincian 19 peraturan pemerintah (PP),15 peraturan presiden (perpres), dan 1 keputusan presiden (keppres). “Khusus aturan jaminan kesehatan nasional, per 25 November 2012 sudah harus selesai.Tapi, sampai sekarang belum ada yang selesai,”ungkapnya.

Selain itu, dia juga menekankan pentingnya pembentukan timwas untuk menyikapi karut-marut data penduduk miskin yang diusulkan menjadi peserta PBI.Persoalan data penduduk serta akurasi dalam menentukan warga yang berhak mendapatkan bantuan iuran BPJS dinilai dapat berimplikasi langsung pada pelaksanaan BPJS. “Persoalan data penduduk ini perlu segera disikapi bersama,”kata dia.

Anggota Komisi IX dari Fraksi PAN Riski Sadiq mengatakan, masih akan melihat urgensi pembentukan timwas tersebut. Hingga saat ini pelaksanaan UU BPJS terkait lintas komisi dan kementerian, pengawasan cukup dilakukan melalui Komisi IX DPR. Namun, pihaknya tidak menampik pentingnya pembentukan timwas jika sampai akhir 2012 tidak ada kemajuan yang signifikan dalam persiapan pelaksanaan BPJS.”Kita lihat dulu hingga akhir tahun,” kata Riski.

Menurut dia, usul pembentukan timwas pelaksanaan UU BPJS penting dijadikan peringatan bagi pemerintah agar lebih serius menyiapkan berbagai kebutuhan pelaksanaan BPJS. Riski mengkritisi lambatnya persiapan infrastruktur kesehatan di daerah, khususnya di daerah terpencil dan kawasan perbatasan.

Sementara itu, anggota Komisi IX dari Fraksi Demokrat Dian Agrileoda Syahkroza mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan perlu dan tidaknya pembentukan timwas pelaksanaan UU BPJS karena masih akan dibicarakan terlebih dulu di internal fraksi.Namun, pihaknya mengakui masih ada banyak permasalahan dalam persiapan pelaksanaan BPJS yang perlu segera disikapi. (Seputar-indonesia.com)

Study of U.S. Health Care System Finds Both Waste and Opportunity to Improve

WASHINGTON — The American medical system squanders 30 cents of every dollar spent on health care, according to new calculations by the respected Institute of Medicine. But in all that waste and misuse, policy experts and economists see a significant opportunity — a way to curb runaway health spending, to improve medical outcomes and even to put the economy on sounder footing.

“Everybody from Paul Krugman to Paul Ryan agrees it is essential to restrain costs,” said Dr. Mark D. Smith, the president of the California HealthCare Foundation and the chairman of the committee that wrote the report, referring to the liberal economist and Op-Ed columnist for The New York Times, and the conservative Wisconsin congressman who is Mitt Romney’s vice-presidential running mate. “The health care industry agrees, too.”

The Institute of Medicine report — its research led by 18 best-of-class clinicians, policy experts and business leaders — details how the American medical system wastes an estimated $750 billion a year while failing to deliver reliable, top-notch care. That is roughly equivalent to the annual cost of health coverage for 150 million workers, or the budget of the Defense Department, or the 2008 bank bailout.

The institute’s analysis of 2009 data shows $210 billion spent on unnecessary services, like repeated tests, and $130 billion spent on inefficiently delivered services, like a scan performed in a hospital rather than an outpatient center.

It also shows the health care system wasting $75 billion a year on fraud, $55 billion on missed prevention opportunities and a whopping $190 billion on paperwork and unnecessary administrative costs. The Institute of Medicine is an independent adviser to the government and the public, and part of the National Academy of Sciences.

The report depicts a system that saves lives in miraculous fashion, but is also expensive and outmoded and in some cases downright Kafkaesque.

“If banking were like health care, automated teller machine transactions would take not seconds but perhaps days or longer as a result of unavailable or misplaced records,” the report said. “If home building were like health care, carpenters, electricians and plumbers each would work with different blueprints, with very little coordination.”

Along with the squandered money there is a human toll, the report said, as medical errors and inefficiencies mean that doctors fail to deliver the best and most timely care to patients.

“If the care in every state were of the quality delivered by the highest-performing state, an estimated 75,000 fewer deaths would have occurred across the country in 2005,” the report said.

But the report — and independent health care experts and economists analyzing it — identified an opportunity in that $750 billion of wasted health spending. If hospitals, doctors and insurers could wring even a fraction of that money out, it would help to bend the so-called cost curve of runaway health inflation while improving patient outcomes.

The point of the report is that “Americans should expect to get and should demand to get better value for their health care dollar,” Dr. Smith said.

“That money is not only not buying anything,” said David Cutler, the Harvard health economist. “It is actually a sign of poor care. A lot of cost reductions, if we do them the right way, would mean improved health, not worse health.”

Professor Cutler gave as an example rules to make sure that doctors do not perform inductions for otherwise healthy pregnant women before 39 weeks of gestation. It would both save money and improve health outcomes by reducing the rate of Caesarean sections, he said.

The report gives recommendations intended to reduce spending and improve care: ensuring doctors work in teams and share information; making prices and costs transparent to consumers; rewarding doctors for outcomes, not procedures; ensuring all doctors use the best-tested practices, and identifying and correcting errors among them.

The report also detailed instances of health care providers offering such smarter care: hospitals preventing re-hospitalizations, upgrading their records systems and cutting out ineffective therapies, for example.

Some health economists and policy experts believe that political changes and financial pressure have already spurred insurers and health care providers to start squeezing out costs, contributing to the slowdown in health spending growth seen in the past few years.

“We’re starting to see some very early results,” said Wendy Everett, the president of NEHI, a health care research group based in Cambridge, Mass.

She said she expected to see more and more adoption of best practices in the next few years, spurred by President Obama’s Affordable Care Act, other changes to Medicare and Medicaid and a recognition among doctors and insurers that the current trajectory of health care spending is unsustainable.

“This train’s coming much faster than we thought,” Ms. Everett said. She guessed that within a decade providers being paid for the quality, not quantity, of care would be “the norm.”

(www.Nytimes.com)

Indonesia Targetkan Bebas Perilaku Buang Air Besar Sembarangan 2014

Pemerintah menargetkan tidak akan ada lagi penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan pada 2014.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan perkiraan sekitar 109 juta orang di Indonesia yang belum mendapatkan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan air bersih. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada Senin (10/9) mengatakan bahwa tidak adanya akses tersebut antara lain karena rendahnya tingkat pengetahuan dan karena tingkat ekonomi masyarakat yang tidak mampu untuk membangun fasilitas sanitasi.

Padahal sanitasi dan perilaku hidup sehat akan mengurangi kejadian penyakit yang menular melalui air, serta memberikan manfaat sosial, lingkungan, dan ekonomi yang signifikan, ujar Nafsiah pada Konferensi Tingkat Menteri Asia Timur mengenai sanitasi dan kebersihan di Nusa Dua, Bali.

“Coba saja kalau semua orang buang air besar di tempat yang seharusnya sehingga tidak menyebarkan kuman-kuman, berapa persen diare bisa dikurangi? Jika penanganan air dan sanitasi komprehensif, itu bisa menurunkan hingga 90 persen. Berarti dana untuk mengobati bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih produktif,” tutur Nafsiah.

Dormaringan H. Saragih, staf bidang air perkotaan, sanitasi dan kebersihan dari badan PBB yang mengurus anak-anak (UNICEF) Indonesia menyatakan di Indonesia terdapat sekitar 40 juta orang yang masih buang air besar sembarangan, tidak hanya di daerah pedesaan tetapi juga di daerah perkotaan

“Justru di kota, terutama di kawasan kumuh itu jauh lebih kompleks. Mereka bukan warga tetap, pemukimannya sangat padat dan segala macam. Akhirnya ada dari mereka kemudian sambil mau pergi kerja contohnya, kemudian dia buang air besar di rumah, sambil di jalan dibungkus plastik kemudian dibuang ke selokan atau tempat sampah. Kalau di desa dia akan pergi ke kebun,” ujarnya.

Berdasarkan penelitian Bank Dunia, dampak sanitasi yang buruk terhadap ekonomi di Asia Tenggara menyebabkan kerugian ekonomi minimal US$9 miliar per tahun. Sementara laporan pemantauan bersama antara badan kesehatan dunia (WHO) dan UNICEF pada 2012 menyebutkan lebih dari 2 miliar orang di dunia memperoleh akses ke sumber-sumber air yang lebih baik selama 1990 hingga 2010.

(voaindonesia.com)