Jangan Berobat ke Luar Negeri!

Oleh Wimpie Pangkahila

Presiden SBY baru- baru ini menyatakan ketidaksenangannya terhadap warga bangsa yang sering berobat ke luar negeri.

Meski memicu banyak gugatan, pernyataan ini sebenarnya bisa menjadi momentum introspektif terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.

Kenyataannya memang tidak hanya warga biasa yang berobat ke luar negeri. Banyak pejabat pusat dan daerah beserta keluarganya juga melakukannya. Maka, imbauan menjadi wajar, apalagi jika disertai teladan untuk berobat di negeri sendiri.

Ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia senang berobat ke luar negeri. Pertama, tidak dapat dilakukan di Indonesia. Kedua, pelayanan kesehatan di luar negeri dianggap lebih profesional. Ketiga, gengsi.

Alasan pertama tentu kita sangat mengerti. Memang ada pelayanan kesehatan tertentu yang saat ini belum diterapkan di Indonesia, tetapi barangkali ini pelayanan yang sangat spesifik. Soal gengsi berobat di luar negeri, juga sangat personal urusannya.

Akan tetapi, kalau alasannya karena pelayanan kesehatan di Indonesia dianggap tidak profesional, apalagi biaya lebih mahal, tentu ini menjadi tanggung jawab sekaligus tantangan bagi pemerintah dan kita semua.

Secara umum, kesan masyarakat luas terhadap pelayanan kesehatan, terutama milik pemerintah, tidak memuaskan. Mutu pelayanan kesehatan bergantung pada dua faktor. Pertama, sistem dan peraturan. Kedua, sumber daya manusia.

Pembiaran

Pemerintah menjadi kunci dengan membuat peraturan yang komprehensif dan berlaku universal. Salah satu yang harus segera diperbaiki adalah sikap pemerintah terhadap iklan yang menawarkan berbagai pelayanan kesehatan yang tidak ilmiah dan tidak profesional. Misalnya, iklan klinik yang menjanjikan “kanker sembuh dalam sekian bulan hanya dengan obat herbal”.

Ada juga iklan herbal “HIV/ AIDS sembuh dalam 3 bulan” dan herbal “untuk gangguan seks pria”. Ketika obat herbal untuk disfungsi seksual itu saya teliti, ternyata ada kandungan bahan kimia obat yang memang efektif mengobati itu.

Namun, sampai saat ini obat herbal itu masih beredar, demikian pula dengan bahan baku herbal dari luar negeri yang sudah dicampur bahan kimia obat. Padahal, ada peraturan pemerintah yang menyebutkan bahwa jamu atau obat herbal tidak boleh dicampur dengan bahan kimia obat. Pencampuran bisa berdampak negatif, dari menurunkan efektivitas obat sampai memperburuk kesehatan.

Demikian pula halnya dengan iklan. Jamu tidak boleh diiklankan sebagai obat karena fungsinya lebih ke suplemen kesehatan. Kenyataannya, banyak iklan yang membodohi dan merugikan masyarakat tetap beredar dan dibiarkan saja, seolah kita tidak punya peraturan.

Tidak semua yang berbau luar negeri baik. Tidak sedikit produk luar negeri dipasarkan di Indonesia karena di negara asalnya tidak laku. Saat manusia Indonesia menjadi korban bisnis liar, di mana pemerintah?

Moralitas tinggi

Mengenai sumber daya manusia, khususnya dokter dan paramedis, tentu tidak terlepas dari lembaga pendidikan. Bagaimana pemerintah memfasilitasi fakultas kedokteran agar selalu meningkatkan kualitasnya.

Namun, apa yang terjadi sekarang? Ada fakultas kedokteran yang sebenarnya tidak layak disebut berkualitas, tetapi ternyata terakreditasi. Mengapa ini terjadi? Tiba-tiba saya teringat kata- kata almarhum Adam Malik, “Semua bisa diatur.” Dapat dibayangkan bagaimana kualitas dokter yang dihasilkan.

Di sisi lain, tentu saja dokter dan paramedis dituntut punya moralitas tinggi dalam menjalankan profesinya. Apakah moralitas tenaga medik Indonesia lebih buruk dibandingkan sejawat mereka di luar negeri, saya tidak yakin.

Walaupun dokter dan paramedis kita adalah bagian dari bangsa yang sedang sakit ini, saya yakin masih sangat banyak dokter dan paramedis kita yang tetap memiliki integritas dalam melayani kesehatan masyarakat.

Selanjutnya, bagaimana meningkatkan kualitas teknis dokter dan paramedis dengan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini ataupun kemampuan komunikasinya. Tanpa upaya ini, mereka hanya akan menjadi tukang.

Keluhan pasien yang beralih berobat ke luar negeri umumnya memang masalah komunikasi. Komunikasi sebagai inti pekerjaan dokter—kepandaian nomor dua—justru belum banyak dipraktikkan. Padahal, 60 persen pasien sebenarnya hanya mengalami kelainan fungsional dan hanya 40 persen yang benar-benar sakit. Itu pun 20 persen bisa sembuh sendiri.

Berkaitan dengan biaya, percaya atau tidak, ternyata ada biaya pelayanan kesehatan tertentu di Malaysia yang lebih murah daripada di Jakarta. Ini sudah termasuk biaya transpor dan hotel selama di sana. Saya tidak mengerti, mengapa ini terjadi. Tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat memilih berobat ke Malaysia saja.

Saya yakin, kalau sistem pelayanan kesehatan kita diatur secara tegas, komprehensif, dan universal, kita akan mampu bersaing atau menyamai pelayanan kesehatan di luar negeri.

Secara paralel, perbaikan pelayanan kesehatan di dalam negeri harus dibarengi dengan teladan para pemimpin untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia di negeri sendiri. (Health.kompas.com)

Wimpie Pangkahila Dokter Spesialis dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Bird flu claims 9th victim in Indonesia this year

The Health Ministry says bird flu has killed a 37-year-old man in central Indonesia, marking the country’s ninth fatality this year.

The Ministry’s website said Monday that the man died July 30 in Yogyakarta province after being hospitalized for five days.

It confirmed that the man who lived near a chicken slaughterhouse was infected with the H5N1 virus after apparently coming into contact with sick birds.

The virus, which began ravaging poultry across Asia in 2003, remains entrenched in Indonesia. Experts fear it could mutate into a form that passes easily among people, potentially sparking a pandemic. But most human cases have been linked to contact with sick birds.

The World Health Organization says 359 people have died from it worldwide. Indonesia remains the hardest-hit country, accounting for 159 deaths. (Thejakartapost.com)

Pemerintah Ajak Masyarakat Turunkan Kemiskinan

Cilacap – Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Agung Laksono, mengajak masyarakat, termasuk di Cilacap, Jawa Tengah, untuk bersama-sama menurunkan angka kemiskinan.

“Angka kemiskinan sebenarnya telah turun sejak 2004. Namun, di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah secara nasional menargetkan angka kemiskinan turun hingga di bawah 10 persen. Posisi Maret kemarin 11,9 persen,” katanya di Cilacap, Sabtu (11/8).

Menko Kesra mengatakan hal itu saat memberikan sambutan dalam Safari Ramadan di Pendopo Kecamatan Cilacap Utara, Cilacap.

Menurut dia, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai target tersebut, antara lain upaya meningkatkan pendapatan masyarakat, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dan akses pendidikan.

“Dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat, pemerintah tidak lagi hanya memberikan bantuan, tetapi bantuan-bantuan itu diberikan dalam rangka pemberdayaan masyarakat,” katanya.

Agung mengatakan, salah satu bantuan yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Menurut dia, tingkat kebocoran PNPM sangat kecil karena masyarakat sendiri yang merancang dan melaksanakan proyek yang didanai bantuan tersebut.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga telah mengalokasikan dana sebesar Rp100 triliun untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

“Namun, secara nasional, KUR yang terserap baru sekitar Rp70 triliun,” katanya. Oleh karena itu, dia mengharapkan, perbankan untuk lebih berperan aktif dalam meningkatkan penyerapan KUR oleh masyarakat.

Dalam aspek pelayanan kesehatan, ia mengatakan, hal itu perlu didukung dengan adanya pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai.

Program Jaminan Sosial

Menurut Agung, pemerintah mulai Januari 2014 akan menyelenggarakan program Jaminan Sosial yang wajib diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu mengatakan, program Jaminan Sosial layaknya asuransi sehingga masyarakat harus membayar premi agar bisa memperoleh layanan kesehatan atau manfaat lainnya.

“Untuk masyarakat miskin, preminya ditanggung negara, sedangkan masyarakat mampu preminya bayar sendiri,” katanya. Ia juga mengatakan, pendidikan merupakan salah satu aspek untuk mengurangi angka kemiskinan.

Menurut dia, bangunan sekolah yang rusak dapat menambah tingkat kebodohan sebanyak 1-2 persen.

Oleh karena itu, dia mengharapkan, bangunan sekolah dalam kondisi bagus sehingga nyaman untuk belajar.

“Sebentar lagi kita akan melaksanan program wajib belajar 12 tahun. Program ini juga untuk mengurangi kemiskinan,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Menko Kesra menyerahkan bantuan pemerintah untuk Kabupaten Cilacap secara simbolis kepada Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji.

Bantuan tersebut di antaranya berupa PNPM Perdesaan Tahun 2012 sebesar Rp45,85 miliar, bantuan alat kontrasepsi senilai Rp4,84 miliar, alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp40 miliar, dan empat foto Cilacap dari Arsip Nasional.

Sementara itu, Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji mengatakan, angka kemiskinan di kabupaten ini cenderung menurun sejak 2008.

“Berdasarkan Survei Nasional Kemiskinan, angka kemiskinan di tahun 2008 sebanyak 343.900 jiwa atau 21,4 persen, 2009 sebanyak 318.800 jiwa atau 19,88 persen, dan 2010 sebanyaj 297.200 jiwa atau 18,11 persen,” katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan, angka kemiskinan tersebut masih di atas rata-rata angka kemiskinan di Jateng yang sebesar 16,56 persen di tahun 2010.

Bahkan, kata dia, angka kemiskinan di Cilacap menempati peringkat 10 se-Jateng. “Kami akan terus berupaya agar angka kemiskinan ini mengalami penurunan,” katanya. (Analisadaily.com)

DPR Pertanyakan Dana JHT Jamsostek yang Belum Diklaim

Agar tidak menghambat persiapan pelaksanaan BPJS, kami membutuhkan data dan keterangan secara tertulis yang menjelaskan tentang latar belakang penitipan dana itu

Rencana PT Jamsostek untuk menyerahkan pengelolaan dana masyarakat pada program Jaminan Hari Tua (JHT) kepada Balai Harta Peninggalan (BHP) dipertanyakan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi masalah ketenagakerjaan dan kesehatan.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar, Poempida Hidayatullah, menyatakan dirinya meminta Direktur Utama PT. Jamsostek untuk segera memberi penjelasan soal rencana itu.

Dia mengaku mendengar informasi bahwa dalam rangka mempersiapkan diri dalam pelaksanaan fungsi BPJS, PT Jamsostek akan menitipkan dana JHT pekerja yang belum diklaim kepada Balai Harta Peninggalan (BHP).

“Agar tidak menghambat persiapan pelaksanaan BPJS, kami membutuhkan data dan keterangan secara tertulis yang menjelaskan tentang latar belakang penitipan dana itu, proses penitipan dana, dan berapa jumlah dana yang akan dititipkan,” kata Poempida di Jakarta, hari ini.

Dia mendesak perusahaan negara itu bisa segera menginformasikan serta menyerahkan keterangan tersebut secara tertulis untuk dijadikan bahan kajian dan pertimbangan dalam menentukan sikap DPR.

Sebelumnya, Jamsostek menginformasikan dana yang belum diklaim pekerja tersebut, sebagaimana hasil audit BPK, sekitar Rp1,8 triliun. Dana tersebut tidak diklaim pekerja karena berbagai alasan.

PT Jamsostek menduga sebagian pekerja tidak tahu bahwa mereka adalah peserta Jamsostek karena minimnya informasi dari perusahaan sehingga saat berhenti bekerja mereka alpa mengajukan klaim.

Sebelumnya BUMN tersebut sudah melakukan imbauan dan membuat iklan di sejumlah media agar pekerja berhak mengajukan dengan membawa bukti kepesertaan.

Setelah jangka waktu tertentu angkanya menyusut menjadi Rp1,8 triliun karena sejumlah pekerja mengajukan klaim atas haknya.

Pemindahan dana tersebut dilakukan secara bertahap dan pada waktunya pekerja dapat mengajukan klaim ke BHP. (Beritasatu.com)

UK doctors must prepare for the rise of the ‘ePatient’

Doctors and other healthcare professionals must prepare for the rise of ‘ePatients’ in the coming years and keep apace with the evolving digital landscape.

This is according to the 2012 version of ‘Learning to manage Health Information’, a clinical education guide that has been running since 1999.

Its aim is to understand the digital world and healthcare professionals’ working requirements within it.

This year’s focus is on the rise of the ePatients, who come to surgeries armed with information found on the internet about their condition – and are often more digitally aware than their doctor.

The guide says that in the near future, clinicians will be dealing more and more with the ePatient, adding that: “today, such patients need not be mere recipients of care and can become key decision-makers in their treatment process.”

It adds: “Self-management programmes can be designed specifically to reduce the severity of symptoms […], whilst online communities of patients, sharing knowledge and information about specific conditions or providing mutual support are increasingly common.”

This will also see patients work in partnership with their health and social care providers, meaning they can be given greater control over their health and lives – messages pharma is also keen to deliver.

The guide says that a good example of this is Renal PatientView, which provides online information about renal patients’ diagnosis, treatment, and their latest test results.

There is a potential opportunity here for pharma, as the ePatient can be informed by the industry and may be looking on pharma websites – or industry-sponsored disease awareness campaigns – for information.

Things like the Renal PatientView are already being done by firms in the guise of smartphone/tablet apps, and will be familiar to pharma.

So there could room for the industry and the more digitally savvy healthcare professionals to work on digital campaigns together, as a way of delivering more information to the patient, and for both to learn from each other on what works, and what doesn’t.

This could create a new relationship between pharma, patient and doctor – all within the regulations of European law and the ABPI Code, of course.

This is also a good indicator of how patients are using digital, with the guide seeing this as changing the relationship between doctor and patient, where “the power of knowledge is held as much by patients as by their clinicians”, such is the strength of digital.

Pharma could learn much by how patients are using this sort of information, and arm patients with more information, whilst also increasing marketing opportunities.

Digitally savvy?

But pharma shouldn’t get too giddy about these opportunities, as the guide does not paint the picture of an aspiring digital culture coming from today’s healthcare professionals.

Its rather glum conclusion states: “Many healthcare professionals continue to have limited or no education in informatics and yet the expectations of them to manage information effectively is a current and increasing requirement”.

Furthermore, one of the educational courses for healthcare professionals set out in this year’s guide will raise some eyebrows.

Headed under ‘NHS Elite’, those who have completed this course must be able to “restore and empty files from the Recycle Bin” and be able to ‘access help’ – perhaps the most important one to learn if you’re struggling to delete a file successfully.

And this is the ‘elite’ level of training – one wonders what the basic level might entail.

Writing for the Guardian’s Healthcare Network, Dick Vinegar (a pseudonym, of course), a specialist in health and IT, says: “I get the impression that although [the team who write the guide] was set up in 1999 and has been bashing away relentlessly, it has not made much progress in educating the lumpen mass of clinicians to make them ready for the digital age.”

He said that many of them still have not got their heads around simple systems like ‘Choose and Book’, e-prescribing and Summary Care records.

“Assuming that most clinicians have achieved some keyboard skills over the years and can write emails and manipulate spreadsheets, doesn’t mean they have a real understanding of what they ought to know about IT or how it can improve the care they provide to patients and make their own lives easier.

“What is scary is how much there is for them [clinicians] to learn,” he concludes.

Younger doctors and other healthcare workers coming through the ranks will be more digitally aware than those educated in the 1960s and 1970s, the guide adds, but it seems that both patients and pharma may have to wait a little bit longer for the ‘eDoctor’. (inpharm.com)

SBY Naikkan Anggaran Kesehatan Rakyat Rp25 Triliun

JAKARTA – Pemerintah SBY berencana akan menaikkan anggaran Rp25 Triliun untuk anggaran jaminan kesehatan masyarakat bagi 250 juta jiwa. Niat SBY untuk menaikkan anggaran ini diharapkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari harus diawasi ketat. Pasalnya anggaran besar ini dapat membebaskan pembiayaan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.

Dengan tersedianya anggaran yang besar ini pula praktis pemerintah sudah tidak perlu lagi menarik iuran sepeserpun dari rakyat. “Tidak perlu lagi adanya iuran karena dananya sudah disediakan untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan yang miskin maupun yang kaya. Tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk berobat baik di puskesmas maupun rumah-rumah sakit pemerintah di kelas 3. Jadi pemerintah sudah memenuhi kewajibannya, bukannya berbisnis seperti Badan Penanggulangan Jaminan Sosial (BPJS) yang direncanakan,” tegas Fadilah, Rabu (8/8).

Menurutnya, sistim Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) secara nyata sudah berhasil berjalan selama 3 tahun untuk 76,4 Juta rakyat Indonesia yang miskin dan tidak mampu. Dengan dana tersebut berarti pemerintah sudah melaksanakan perlindungan kesehatan masyarakat. Cukup hanya dengan KTP setiap orang akan gratis berobat, rawat jalan atau rawat inap.

Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini, pembebasan biaya dapat berlaku bagi semua jenis penyakit termasuk jantung, kanker, cuci darah, semua konsultasi dokter dan tindakan medis. Dan dengan dana Rp25 triliun, pemerintah dapat membayar premi Rp8.000 per orang per bulan dalam satu tahun. Sehingga seluruh rakyat dijamin biaya kesehatannya.

“Jamkesmas dengan premi Rp 5.000 saja masih sisa, apalagi dengan Rp8.000. Kan nggak seluruh rakyat jatuh sakit dalam setahun,” serunya. Dalam sistim Jamkesmas, lanjut Fadilah, semua rumah sakit pemerintah menerima uang muka dan jika kurang bisa mengklaim pada kementerian kesehatan. Sebab itulah, supaya uang tidak hilang, uangnya ditaruh di kas Negara.

Bukan di kementerian dan dikelola secara transparan. Setelah verifikasi, kementerian bisa meminta kas negara untuk membayarkan klaim tagihan rumah sakit. Namun jika Rp25 triliun diserahkan ke BPJS maka hanya 86 juta rakyat yang dijamin kesehatannya. Karena BPJS yang menggunakan sistim asuransi sosial masih mewajibkan sebagian rakyat termasuk buruh, PNS dan TNI/Polri membayar iuran setiap bulan dengan jalan potongan gaji.

“Padahal tidak semua penyakit akan ditanggung dan pemberlakuan sistim rujukan berjenjang bertujuan agar dana di BPJS dari iuran masyarakat ditambah Rp25 Triliun tersebut dapat di investasikan dibidang yang lain untuk mencari keuntungan,” jelasnya.

Sementara itu pimpinan Konggres Aliansi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KASBI), Parto menjelaskan bahwa kaum buruh menuntut agar tidak ada diskriminasi dalam jaminan sosial karena presiden akan menyediakan Rp25 triliun untuk jaminan kesehatan.

“Kaum buruh, TNI/Polri dan PNS bekerja membangun negeri dan menjaga keamanan dan pertahanan, kok gajinya dipotong untuk membayar asuransi BPJS nya. Kami akan melawan,” tegasnya. Ketua DKR Papua-Papua Barat, Donad Haipon menyatakan bahwa asuransi sosial yang dianut dalam BPJS memaksa rakyat ikut asuransi, padahal kesertaan asuransi murni adalah sukarela.

“Ini negara memeras rakyatnya selain bayar pajak, bayar iuran BPJS dan kalau sakit tetap bayar karena tidak ditanggung semuanya,” tegasnya (Harianterbit.com)

GlobalData Report: Telehealth will Change Healthcare World Forever

Over the years, there have been many instances when healthcare changed forever. The polio vaccine, which eradicated this dreaded disease and the use of chemotherapy, beginning in the early 20th century, are just two examples.

But nothing may change it – and the way it’s practiced – more than telehealth, which holds the promise of medical care dispensed remotely to allow patients more freedom and convenience, and to lower healthcare costs, according to a new report by healthcare sector experts, GlobalData.

The way it works is that doctors fit patients with monitors which transmit data remotely to healthcare providers, giving a picture of patients’ vital signs, glucose levels and other important readings, thereby keeping them out of the hospital but still under physician care, for intervention at any point. It also brings specialists to rural areas through the use of video conferencing.

It’s catching on so much that late last year, the U.S. Department of Agriculture (USDA) recently announced that it will provide 34 states and one territory with funds from its Distance Learning and Telemedicine (DLT) program to improve access to healthcare and education, USDA Secretary Tom Vilsack announced in December.

The GlobalData study revealed that the telehealth market was valued at $13.2 billion in 2011, but will almost triple, soaring to $32.5 billion, by 2018, a compound annual growth rate (CAGR) of 14 percent.

And it’s not just here in the U.S. In Asia it’s a rapidly growing market, as well. “Growth in the Asia-Pacific region is expected to be driven by improved awareness of the model’s potential for expanding the penetration of affordable medical care to the wider population, with the governments of India and China rapidly adopting and pushing telehealth to cater to the needs of the huge rural patient population,” the report asserted.

According to GlobalData, the need to increase the reach of quality medical care to remote locations, reduce healthcare costs and enable the optimal usage of limited provider resources are all driving the growth of this marketplace.

And the accelerated growth of telecommunication technologies, increased adoption of related healthcare IT solutions and the readiness of companies and governments to invest are also reasons for its skyrocketing growth, the study noted. (Healthtechzone.com)

VIDEO: Kemenkes Dukung Imbauan Presiden Soal Berobat di Dalam Negeri

Guna merealisasikan hal tersebut, Kemenkes berjanji segera membenahi birokrasi dan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Kementerian Kesehatan menyambut baik pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal imbauan berobat di dalam negeri. Apalagi, selama ini banyak masyarakat yang harus menanggung biaya karena terpaksa berobat ke luar negeri.

Guna merealisasikan hal tersebut, Kemenkes berjanji segera membenahi birokrasi dan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Menurut Wakil Menteri Kesehatan, Ali Gufron, meski Indonesia baru memiliki sembilan rumah sakit yang memenuhi persyaratan dan akreditasi internasional, namun dari segi sumber daya sudah mulai diberlakukan aturan ketat.

Seperti uji kompetensi bagi para dokter lulusan baru, dan adanya akreditasi internasional bagi tenaga kesehatan. Klik disini untuk melihat video.

(Beritasatu.com)

Security concerns of WHO staffers propel government into action

Prime Minister Raja Pervaiz Ashraf has instructed the Ministry of Interior to provide protection to all vaccinators working for the polio eradication initiative in Pakistan in a bid to restore their confidence.

The instruction was given in response to concerns expressed by the regional director of the World Health Organization (WHO) Dr. Ala Alwan, who was on a brief trip to Islamabad to attend a meeting of the National Task Force on Polio Eradication here Tuesday.

Dr. Alwan is reported to have expressed utter dissatisfaction over the pace of investigations into the Karachi shooting incident targeting polio staff of WHO. He urged the PM and the President to personally look into the matter and requested that security be provided to WHO staffers in the country. The fact that a joint investigation team was not constituted even after 10 days of the incident also aroused concern.

Dr. Alwan underscored the need to vaccinate the over 160,000 children who are being missed in Bara since September 2009 and requested the government’s support to reach them with polio drops. Several other participants also pointed out that the threat to vaccinators is maligning the government’s efforts, and that special protective cover should be provided to women vaccinators in particular.

The meeting was chaired by the PM and attended by top officials including chief ministers, governor of Khyber-Pakhtunkhwa, Prime Minister of AJK, minister for Inter-Provincial Coordination, Special Assistant to the Prime Minister Shahnaz Wazir Ali, Dr. Azra Fazal Pechuho, Polio Ambassador Aseefa Bhutto Zardari and members of the parliament.

“We are not just saving a life but entire humanity by implementing the polio eradication initiative. Saving the vulnerable and healing the ailing is in line with the teachings of our great religion Islam,” the PM is reported to have said during the meeting. He directed the polio programme to redoubled its efforts to achieve the desired results.

The National Task Force met to discuss key challenges that need to be addressed in eradicating polio. The meeting started with Shahnaz presenting an overview of the polio situation. Pakistan has reported 27 cases so far in 2012 as against 71 during the same period last year.

The PM expressed serious concern over ban on polio immunisation by certain. He asked all district ‘khateebs’ to become active part of the initiative. “The government is fully committed; no religion on earth opposes polio campaign,” he said. He also directed the governor of KP to ensure that polio campaigns are held without hindrance in all parts of Fata.

Aseefa said, the challenge of inaccessibility needs to be overcome with appropriate strategies; this is the responsibility of not only the communities but the state as well. “The number of children being missed as a result of ban on polio campaigns in North and South Waziristan and other parts of Fata is indeed alarming,” she added. We need to continue to garner the support of religious scholars and fire-walling of areas with transit teams so that all children entering or exiting the area and moving to areas not affected by polio are protected with polio vaccine,” Aseefa added. (Thenews.com.pk)

Partisipasi Asuransi Kesehatan Rendah Karena Pengawasan Lemah

Rendahnya jumlah pekerja yang terlindungi jaminan atau asuransi bukan karena beban iuran terlalu berat bagi pemberi kerja, tetapi karena fungsi pengawasan pemerintah lemah

Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menilai lemahnya mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan oleh pemerintah terhadap pengusaha menyebabkan angka partisipasi terhadap iuran jaminan kesehatan menjadi rendah.

“Rendahnya jumlah pekerja yang terlindungi jaminan atau asuransi bukan karena beban iuran terlalu berat bagi pemberi kerja, tetapi karena fungsi pengawasan pemerintah lemah, sehingga mereka bisa kucing-kucingan tidak membayar,” ujar presiden KAJS Said Iqbal, hari ini.

Sebelumnya wakil menteri kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengatakan di Indonesia masih sedikit sekali pekerja yang terlindungi jaminan kesehatan karena pengusaha merasa terbebani harus membayari iuran sepenuhnya.

Oleh karena itu dalam pelaksanaan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 1 Januari mendatang, Kemenkes mengusulkan pembayaran premi dibagi tiga persen dari pemberi kerja dan dua persen dari gaji pekerja.

Said mengatakan KAJS tetap menolak usulan tersebut karena selama ini pengusaha sudah membayar penuh premi sebanyak tiga persen bagi pekerja lajang dan enam persen bagi pekerja yang telah berkeluarga.

“Saya paham bahwa pembayaran premi harus mengikuti sistem co-sharing seperti amanah Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional,” ujarnya.

Menurut Said dengan skema pembayaran yang diusung pemerintah sekarang, sama saja dengan membuat pekerja menanggung premi 100 persen.

“Bagian yang dibayarkan pengusaha itu juga didapat dari tenaga pekerja alias labor cost, kalau setelah memberi tenaga pekerja masih harus dipotong gajinya sama saja mereka menanggung semuanya,” ujarnya.

Said juga membantah kalau pengusaha akan terbebani kalau mereka harus menanggung pembayaran premi secara penuh.

“Buktinya sekarang banyak pengusaha yang membayar premi yang bahkan lebih besar dari enam persen,” tukasnya. (Beritasatu.com)