Menkes: 13 Daerah Di Aceh Bermasalah Kesehatan

Banda Aceh ( Beritasore ) : Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menyebutkan terdapat 13 dari sebanyak 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh masih bermasalah dengan kesehatan. “Kami berharap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat memberikan perhatian serius terhadap daerah-daerah yang bermasalah itu agar terjadi percepatan pembangunan kesehatan,” katanya di Banda Aceh, Rabu [25/07] .

Hal tersebut disampaikan di sela-sela membuka rapat kerja kesehatan daerah Provinsi Aceh dan pembinaan terpadu kementerian kesehatan. Dikatakannya peningkatan capaian persalinan oleh tenaga kesehatan belum diikuti peningkatan cakupan imunisasi dan angka kematian ibu di tahun 2011 di sejumlah kabupaten lebih besar dibanding kelahiran hidup.

Selanjutnya, sebaran tenaga kesehatan masih belum merata, terutama tenaga bidan di daerah terpencil dan sistem pencatatan serta pelaporan perlu ditingkatkan sehingga dapat memberiikan gambaran permasalahan sesungguhnya.

Karenanya, ia berharap para kepala daerah di Aceh agar meningkatkan alokasi anggaran melalui APBD dalam pembiayaan kesehatan menyusul semakin meningkatnya kemampuan daerah. “Peningkatan kemampuan daerah dalam pembiayaan kesehatan dapat ditingkatkan melalui APBD menyusul semakin berkurangnya kontribusi APBN,” katanya.

Disebutkannya, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk mendukung upaya pembangunan kesehatan di Aceh sebesar Rp 242,568 miliar. Adapun alokasi anggaran itu tersebar dalam beberapa bidang yakni dana tugas pembantuan bidang kesehatan, dekonsentrasi dan alokasi khusus (DAK).

Di pihak lain, Menkes menyebutkan program asuransi Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang bersifat lintas sosial ekonomi berpeluang menjadi contoh pengelolaan jaminan sosial yang dibutuhkan masyarakat.

Disebutkannya hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 Aceh mengalami peningkatan Indek Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dari 0,4 (2007) menjadi 0,55 2010. Prevalensi gizi buruk dan kurang menurun dari 25,51 persen menjadi 23,7 persen, cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan meningkat dari 76,9 persen menjadi 91,70 persen dan cakupan sanitasi terjadi peningkatan dari 33,06 persen menjadi 52,1 persen.

MDGs Terhambat Kasus HIV/AIDS

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) bagi Indonesia terhambat masalah penurunan kasus HIV/AIDS yang kasusnya terus meningkat.

“Sebenarnya beberapa bidang kesehatan kita masih bisa mencapai target MDGs pada 2015. Tapi yang membuat kita sulit dengan masih meningkatnya HIV/AIDS dan penyebarannya sudah seluruh wilayah,” katanya di Banda Aceh, Rabu.

Hal itu disampaikan Menkes Nafsiah Mboi seusai membuka rapat kerja kesehatan daerah se Provinsi Aceh dan pembinaan terpadu Kementerian Kesehatan.

Selain masalah HIV/AIDS, menteri juga menyebutkan kendala lain Indonesia untuk mencapai target MDGs 2015 masalah tingginya angka kematian ibu yang melahirkan. “Khusus AKI yang melahirkan, terutama bagi ibu-ibu di daerah terpencil dan di wilayah-wilayah kepulauan ke depan akan disediakan pelayanan melalui program jaminan persalinan. Dengan itu diharapkan di masa yang akan datang AKI bukan masalah lagi,” katanya menambahkan.

Menkes menjelaskan kesulitan menurunkan angka HIV/AIDS yakni adanya prilaku seks berisiko yang semakin meningkat, sebaliknya rendahnya penggunaan kondom. “Pencegahan penyebaran HIV/AIDS bagi pelaku seks berisiko tidak ada lain kecuali dengan penggunaan kondom. Jika penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik narkoba sudah mulai menurun dengan adanya jarum suntik steril,” kata dia menambahkan.

Akan tetapi, Nafsiah Mboi juga menjelaskan penyebab lain dari penyebaran kasus HIV/AIDS melalui peredaran obat-obatan penambah nafsu seks, akibatnya terjadi seks berisiko. “Sebagai penggantinya, sekarang dengan obat-obat perangsang seks berupa ‘ATL’ yang berkembang dimana-mana sehingga terjadi hubungan seks berisiko. Semuanya itu harus diantisipasi sendiri oleh masyarakat,” kata dia menambahkan.

Terkait dengan penuntasan penyakit malaria sebagai salah satu indikator capaian target MDGs, Nafsiah menyatakan hingga kini bukan lagi sebuah masalah bagi Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 201 kasus HIV/AIDS ditemukan di tahun 2001. Kemudian kasusnya terus meningkat dan menjadi 21.770 kasus di tahun 2010. Penyebaran kasus HIV/AIDS hampir terdapat di semua provinsi di Indonesia, namun yang cukup besar antara lain terdapat DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Papua, berdasarkan data 2010 itu.

The Global Perspective on HIV/AIDS and Mental Health

blog.aids.gov – As AIDS 2012 (the XIX International AIDS Conference) continues in Washington, DC, we are reminded of the numerous, multiple, and far-reaching impacts this epidemic has had in the past 30-plus years. The burden of being HIV positive, or caring for loved ones living with the disease, is not restricted to the physical toll. For many people, there are equally important mental health needs (PDF). We at HHS understand that addressing HIV means addressing the whole person.

Continue reading

HIV Tantangan Tersulit Indonesia Mencapai MDGs 2015

News.okezobe – ACEH ,Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan penularan HIV Aids di Tanah Air memasuki tahap serius. Hal ini menjadi tantangan tersulit dalam mencapai Millennium Development Goals (MDGs) 2015.

“Yang masih sulit sekali adalah HIV Aids,” kata Nafsiah kepada wartawan usai membuka Rapat Kerja Kesehatan Daerah Aceh di Hotel Hermes Palace, Band Aceh, Rabu (25/7/2012).

Masih tingginya angka kematian ibu melahirkan juga menjadi tantangan serius, di samping penularan virus Tuberculosis (TB), Demam Berdarah Degue dan Malaria. Permasalahan ini bisa diatasi dengan memperluas pelayanan kesehatan.

Nafsiah mengaku angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi terutama di daerah-daerah terpencil dan kepualauan, yang masih sulit mengakses layanan kesehatan medis. “Tetapi dengan adanya jaminan persalinan, maka insya Allah bisa dikejar,” ujarnya.

Sementara permasalahan HIV Aids masih sangat susah untuk diatasi, karena meningkatnya kecenderungan perilaku seks berisiko di tengah masyarakat, sedangkan kesadaran menggunakan kondom masih rendah. “Kalau sudah seks berisiko tidak ada jalan lain, kecuali penggunaan kondom,” sebut Nafsiah.

Dari tahun ke tahun, kasus HIV dan Aids terus meningkat. Dia mencotohkan Provinsi Aceh pada 2011 ditemukan 112 kasus HIV, angka ini meningkat dibanding pada 2010 yang hanya ditemukan 71 kasus dan pada 2009 dengan 49 kasus.

Penularan HIV saat ini, disebabkan perilaku seks berisiko, sementara penggunaan narkoba suntik dan heroin dinilai mulai menurun dengan adanya program-program layanan alat suntik steril dan terapi metadon.

Maraknya pergaulan bebas remaja yang sering diistilahkan Hubungan Tanpa Status (HTS) juga mendorong perilaku seks berisiko. Ditambah kecenderungan mengonsumsi obat perangsang nafsu seks sebagai pengganti narkoba. “Ini yang berkembang dimana-mana, sehingga terjadi hubungan seks yang berisiko,” sebut Menkes.

Obat Generik Berlogo Bukan Obat Orang Miskin

JAKARTA, KOMPAS.com – Banyak komentar beragam di masyarakat ketika bicara soal obat generik. Dalam survei kecil-kecilan yang dilakukan Kompas.com di sejumlah apotek di kawasan Jakarta Timur, 13 dari 20 orang menganggap obat generik sebagai obat kelas dua, dan kurang berkhasiat ketimbang obat bermerek atau branded.

“Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter”

Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto

Seperti diungkapkan Doni (24), yang ditemui saat hendak menebus obat di apotek untuk orangtuanya yang sedang sakit. Pria lajang ini mengatakan, “Ya lebih bagus obat bermerek lah, soalnya dia punya merek. Kalau generik kan nggak punya.”

Sikap berbeda ditunjukkan Gunawan (34), seorang karyawan bank swasta di Jakarta. Dengan mantap ia mengatakan tak ada perbedaan antara obat generik dan bermerek. “Sama saja. Malah kalau berobat saya minta biar diresepin obat generik. Udah murah, khasiatnya sama aja,” katanya.

Rini (23) seorang asisten apoteker yang bekerja di salah satu apotek di kawasan Pramuka, mengatakan bahwa obat generik saat ini sudah lebih banyak dicari ketimbang obat bermerek. Meski begitu, pihaknya tetap membatasi untuk menjual obat generik. Ia beralasan, keuntungan yang didapat dari menjual obat generik tidak sebesar jika menjual obat bermerek. “Ya mau gimana lagi, kita kan juga perlu untung mas,” katanya, saat ditemui beberapa waktu lalu.

Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, mitos yang berkembang bahwa obat generik adalah obat kelas dua dan tak berkualitas memang masih melekat. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Padahal, faktanya tidak demikian.

Minimnya informasi seputar obat adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Anggapan ini, kata Linda, tak hanya merugikan pemerintah, tetapi juga pasien karena pembiayaan obat tak efisien. Linda mengatakan, selisih harga obat generik dan bermerk bisa mencapai hampir 20-30 kali lipat. Hal ini tentu memberatkan pasien yang seharusnya bisa membeli obat dengan murah.

Berlogo dan bermerek

Masyarakat, lanjut Linda, perlu memahami bahwa di pasaran terdapat dua jenis obat generik, yaitu obat generik yang dijual tanpa merek biasa disebut Obat Generik Berlogo (OGB) dan obat generik bermerek. OGB merupakan program pemerintah yang diluncurkan pada 1989 dengan tujuan memberi alternatif bagi masyarakat, dengan kualitas terjamin, harga terjangkau, dan ketersediaan obat yang cukup.

Dinamakan OGB karena obat ini ditandai dengan logo lingkaran hijau bergaris putih dengan tulisan “generik” di bagian tengahnya. Dari sisi zat aktifnya atau komponen utama obat, antara obat generik (baik berlogo maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten.

Yang juga perlu dipahami adalah OGB dan obat generik bermerek hanya berbeda dari segi kemasan dan harga. “OGB cenderung murah karena tak memerlukan biaya promosi yang besar. Pengetahuan yang benar akan membuat masyarakat mendapatkan pengobatan yang murah dan bermutu,” jelasnya.

Sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerek adalah obat yang diberi merek dagang. Contoh, OGB untuk obat penurun kolesterol adalah Simvastatin, sedang obat generik bermerknya ada yang memiliki nama dagang Cholestat.

Linda menambahkan, struktur industri obat di beberapa negara maju hanya mengenal dua jenis obat, yaitu obat paten dan generik. Obat paten adalah obat originator yang dibuat produsen berdasarkan riset. Mereka mendapat hak paten dan produknya tidak boleh ditiru pihak lain. Masa paten obat biasanya hingga 15 tahun. Sedangkan obat generik berarti copy dari obat originator yang habis masa patennya. Kendati hanya meng-copy, kualitas kedua jenis obat harus sama. Namun di beberapa negara, termasuk Indonesia, selain obat paten dan generik, terdapat pula di antara keduanya obat generik bermerek yang dijual lebih mahal.

“Masyarakat maupun tenaga kesehatan tak perlu meragukan mutu obat generik berlogo (OGB), karena harganya yang murah. Anggapan bahwa OGB adalah obat orang miskin tidaklah benar,” katanya.

Menurut Linda, penjualan obat generik di Tanah Air masih sangat rendah ketimbang negara lain yang sudah bisa mencapai di atas 70 persen. Hal ini karena penggunaan obat generik di negara maju didukung kesadaran dokter, kuatnya posisi pemerintah terhadap dokter dan industri farmasi, serta tersedianya sistem pembiayaan kesehatan.

“Porsi penjualan obat generik baik bermerek dan berlogo mencapai 80 persen dan paten sekitar 20 persen. Namun obat generik berlogo hanya menyumbang sekitar 10 persen sedangkan obat bermerk secara nilai mewakili 70 persen dari total pasar farmasi nasional.” katanya.

Peran dokter

Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di masyarakat, salah satu faktor yang sangat berperan adalah dokter. Diakui Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto, dokter berpengaruh besar karena menuliskan resep obat. IDI, kata Slamet, selalu mengimbau kepada para anggotanya untuk meresepkan obat generik dan mengingatkan pada kode etik larangan menjalin kontrak dengan penyedia obat. Apabila terbukti ada anggotanya yang terlibat, maka akan diberikan sanksi berupa pembinaan.

“Tak dapat dipungkiri bahwa masih ada tenaga medis yang memberikan resep obat generik bermerek. Ke depan, hal-hal seperti ini diharapkan tidak lagi terjadi,” katanya.

Slamet menambahkan, sejauh ini IDI sudah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menyurati pemerintah agar semua obat bermerk diberikan logo obat generik. Dengan demikian, masyarakat mengetahui bahwa komposisi dan khasiat obat bermerek dan obat generik sama. “Ini disebabkan kesalahan pemerintah yang membedakan antara obat generik berlogo dengan obat generik bermerek, seharusnya obat ini tidak boleh dibedakan, karena kedua obat ini isi dan khasiatnya sama persis, yang beda hanyanya bungkusnya saja,” tegasnya.

Selain itu, peranan apoteker di instalasi farmasi juga sangat penting untuk bisa memberikan penerangan kepada masyarakat agar memilih obat generik serta berkonsultasi dengan dokter dan pasien untuk mengganti penggunaan obat paten dengan obat generik yang sepadan. “Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta untuk mendapatkan resep obat generik dari dokter. Masyarakat pun seharusnya bisa bertanya kepada apoteker untuk mendapatkan obat generik jika membeli obat atau menebus resep dari dokter,” jelasnya.

Hanya 20 persen di apotik

Slamet juga mengamati bahwa masih banyak apotek yang tidak menyediakan obat generik. Kondisi ini menurutnya harus mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat sudah ada Permenkes yang mengatur obat generik. “Apotek harus direformasi. Penyediaan obat generik di apotek cuma 10-20 persen,” katanya.

Seharusnya, kata Slamet, ketersediaan obat generik di apotek harus di atas 50 persen. Sementara untuk setiap rumah sakit, minimal harus menyediakan 80 persen obat generik, sehingga ketika dokter meresepkan obat generik, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkannya. “Ini juga kesalahan pemerintah yang tak membuat regulasi mengenai ketentuan di apotek, harusnya semua apotek diwajibkan minimal menyediakan obat generik minimal 70 persen. Produsen obat juga harus memproduksi minimal 70 persen obat generik,” ujarnya.

Namun hal itu disanggah oleh Linda. Menurutnya, pemerintah memang belum mengatur hal ini, tetai di beberapa daerah pemerintah telah menyediakan apotek khusus obat generik, meski jumlahnya masih sangat terbatas.

Linda menambahkan, pemerintah akan terus berupaya untuk menghilangkan stigma negatif tentang obat generik dengan melakukan revitalisasi dan reposisi OGB, dengan mengedepankan bahwa tak ada perbedaan antara OGB dan obat generik bermerek dengan kandungan zat aktif yang sama, dalam hal mutu, khasiat dan keamanan.

“Revitalisasi obat generik dilakukan dengan berbagai intervensi, dari hulu sampai ke hilir,” ujarnya

Di hulu atau dari sisi penyediaan, pemerintah mendorong industri farmasi di Indonesia memproduksi OGB melalui penetapan harga obat generik yang lebih akomodatif, pelaksanaan fast track registrasi obat generik, mendorong agar kemasan obat generik lebih attractive dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di sektor hilir, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penggunaan OGB, misalnya dengan menerbitkan Keputusan Menkes tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Kebijakan ini diharapkan menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat.

Breaking The Cycle Of HIV, Hunger and Poverty

trust.org – Hunger and malnutrition are significant obstacles to the global fight against the HIV virus. A growing consensus of experts at the International AIDS Conference in Washington DC (AIDS 2012) agreed that helping patients with HIV meet their nutritional needs can make the difference between life and death.

WASHINGTON DC — The connection between food and HIV treatment is not an obvious one, but for millions of people around the world, this connection is vital to both lives and livelihoods.

When high health care costs mean that a family can’t put food on the table, when malnutrition means an HIV patient has a greater risk of dying or when not having enough to eat means experiencing intolerable side effects from treatment, food and nutrition can make the difference between life and death.

“Fortunately, we’ve seen both scientifically and in our own programmes, that when we help people living with HIV overcome hunger and malnutrition, we also help them to fight off illness and regain their health and strength,” said WFP Chief of Nutrition and HIV Policy Martin Bloem.

AIDS 2012

At the International AIDS Conference in Washington DC (AIDS2012), Bloem moderated a discussion of health and policy experts from around the world to discuss the impact of food assistance in the fight against HIV.

“By providing a safety net for families that have lost a source of income and who face rising expenses, we encourage people to come to clinics to receive and stay on treatment,” he said.

Speaking at the event, which was co-hosted by Harvard Medical School and Partners In Health, Rwandan Minister of Health Agnes Binagwaho remarked on the situation in her country.

“Food is a human right. But most people living with HIV don’t have enough food, and they need more food. So the only thing to do is to give it to them.”

Case in point

One of the countries where WFP has been doing this for several years is Ethiopia. In a recent interview for WFP.org, Belaynish Dabe said that she used to struggle to provide for her family of eight.

When Belaynish and her husband, both of whom are HIV-positive, started receiving nutritious food from WFP, they felt healthier and were better able to adhere to their treatment.

Belaynish also participated in community activities, like urban gardening, to supplement her irregular income. Now, more than a year later, Belaynish and her husband are again strong enough to grow their own food and no longer rely on food assistance to survive.

In 2011, WFP provided food and nutrition support for 2.3 million people living with HIV and TB—the number one killer of people with HIV—moving one step closer to the goal of universal access to treatment.

Butuh Undang-undang Berkendara Bagi Penderita Epilepsi

surabayapost – Menurut medis, penderita epilepsi dilarang berkendara meskipun kondisinya sudah terkontrol. Sebab, pemicu kekambuhannya pun umum dirasakan orang normal, seperti stress, keletihan, menstruasi untuk penderita perempuan, hingga cahaya yang berkedip. Sayangnya, di kepolisian belum ada undang-udang yang mengatur ini. Penderita epilepsi masih gampang mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM).

OLEH: FEBY ADITYA KURNIAWAN – AMINULLAH

Berdasarkan data di RSU dr Soetomo penderita epilepsi di tahun 2011 berjumlah 225 pasien sementara di tahun 2012 ini hingga Bulan Juni pasien berjumlah 105 orang. Menurut dr Sonny Soebjanto, epilepsi dapat terkontrol asalkan minum Obat Anti Epilepsi (OAE) secara teratur. “Walaupun sudah terkontrol pasien epilepsi ini tetap belum sembuh 100 persen jadi seharusnya tetap dilarang untuk berkendara ataupun bekerja di tempat yang berbahaya,” ujar dokter yang berpraktek di Klinik Samaria.

“OAE hanya bisa mengobati penderita epilepsi sebesar 70 sampai 80 persen saja. Penderita epilepsi masih bisa kambuh, apalagi ketika usianya memasuki usia 60 tahun, frekuensinya bakal semakin sering,” imbuh alumnus Unair Surabaya itu.

Menurut dua, walau sudah meminum OAE rutin selama bertahun-tahun penderita epilepsi tetap dilarang aktivitas berkendara, kalaupun dirasa sudah dapat terkontrol, tetap harus ada yang mendampingi jika berkendara, apalagi di Indonesia ini masih belum ada standar yang mengatur berkendara untuk pasien epilepsi.

Sama halnya untuk masalah pekerjaan, penderita epilepsi terkontrol tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas lapangan yang membahayakan. Pekerjaan yang disarankan adalah pekerjaan yang di dalam ruangan dan di belakang meja.

Penyebab kekambuhan dari pasien epilepsi tersebut bisa bermacam-macam tergantung kondisi tertentu seperti stress, gangguan emosional, kelelahan, alcohol, obat-obatan, cahaya yang berkedip dan menstruasi. “Jika nekat berkendara bisa mengancam keselamatan penderita epilepsi itu sendiri ataupun orang lain di sekitarnya,” tandasnya.

“Penderita epilepsi jarang ada yang meninggal karena kambuh dan kejang yang berkepanjangan. Paling sering terjadi adalah penderita epilepsi yang kambuh ketika dia sedang beraktivitas seperti berkendara ataupun bekerja di tempat yang berbahaya sehingga menyebabkan kecelakaan dan mengakibatkan meninggal dunia,” tambah Sonny.

Lebih lanjut dijelaskannya, di Inggris penderita epilepsi dinyatakan boleh berkendara jika tidak mengalami serangan selama 2 tahun atau lebih, ketika berkendara muncul serangan maka akan langsung dilarang berkendara lagi selama 6-12 bulan ke depan. Pemberian SIM ketika penderita sudah 5 tahun tidak mengalami kejang, sementara di Indonesia belum ada aturan yang mengatur tentang berkendara bagi penderita epilepsy,” tandasnya.

Hal itu juga dibenarkan oleh Dr. dr. Kurnia Kusumastuti SpS (K), dokter spesialis di Divisi Epilepsi RSU dr Soetomo. Menurutnya, penderita epilepsi di dunia medis tetap dilarang untuk berkendara. Namun, tambahnya, yang berhak mengeluarkan SIM adalah kepolisian. Tapi di Indonesia belum ada undang-undang atau aturan khusus terkait pengendara epilepsi. “Mestinya ada aturan tentang ini,” tandasnya.

Sementara itu, penyebab seseorang menderita epilepsi bermacam-macam, bisa karena kelainan genetik, trauma kepala, infeksi dan tumor otak, reaksi obat yang berlebihan, stroke serta kelainan metabolisme tubuh. Orang bisa diindikasikan epilepsi jika mengalami kejang dua kali berturut-turut dalam waktu yang berdekatan namun harus dilakukan pemeriksaan EEG (alat perekam listrik di otak) untuk memastikannya.

Karena itu, penderita epilepsi dianjurkan untuk tetap minum obat meskipun puasa. Tapi cara minumnya diubah. “Misal dosis 3 obat satu hari bisa diminum 2 kali namun sekali minum 1,5 pil, dengan cara seperti itu tidak akan menggangu puasa dan tetap sehat. Juga hindari berpanasan di bulan puasa karena bisa dehidrasi dan menyebabkan kejang,” ujar Sonny kembali.

Sementara itu, Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas (Kanit Laka) Polrestabes Surabaya, AKP Dwi Agung membenarkan jika penderita epilepsi berbahaya untuk berkendara. “Di dalam undang-undang memang tidak diatur secara khusus, tapi ketika mengajukan permohonan SIM, kondisinya harus benar-benar sehat,” ujarya. Tapi, berdasarkan data selama ini, tambahnya, tidak ada kecelakaan yang dipicu akibat epilepsi.*

Fighting AIDS: US donates an extra $150 million

WASHINGTON (AP) — Science now has the tools to slash the spread of HIV even without a vaccine — and the U.S. is donating an extra $150 million to help poor countries put them in place, the Obama administration told the world’s largest AIDS conference Monday.

“We want to get to the end of AIDS,” declared the top U.S. HIV researcher, Dr. Anthony Fauci of the National Institutes of Health.

How long it takes depends on how quickly the world can adopt those tools, he said — including getting more of the millions of untreated people onto life-saving drugs that come with the bonus of keeping them from infecting others.

“No promises, no dates, but we know it can happen,” Fauci told the International AIDS Conference.

Part of the challenge will be overcoming the stigma that keeps high-risk populations from getting needed AIDS treatment and services.

“We have to replace the shame with love,” singer Elton John told the conference. “We have to replace the stigma with compassion. No one should be left behind.”

Some 34.2 million people worldwide are living with HIV, and 2.5 million were infected last year.

Secretary of State Hillary Rodham Clinton said the goal is an AIDS-free generation. That would mean no babies would be born infected, young people would have a much lower risk than today of becoming infected and people who already have HIV would receive life-saving drugs so they wouldn’t develop AIDS or spread the virus.

“I am here today to make it absolutely clear the U.S. is committed and will remain committed to achieving an AIDS-free generation,” Clinton told the more than 20,000 scientists, people living with HIV and policymakers assembled for the conference.

But it will require smart targeting of prevention tools where they can have the greatest effect. “If we want to save more lives, we need to go where the virus is,” she said.

First, Clinton said it’s possible to virtually eliminate the transmission of HIV from infected pregnant women to their babies by 2015, by getting the mothers onto anti-AIDS drugs. HIV-infected births are rare in the United States and are dropping steadily worldwide, although some 330,000 children became infected last year. Clinton said the U.S. has invested more than $1 billion toward that goal in recent years and is providing an extra $80 million to help poor countries finish the job.

Much of the AIDS conference is focused on how to get treatment to all people with HIV, because good treatment can cut by 96 percent their chances of spreading the virus to sexual partners. Fauci pointed to South Africa, where healthy people who live in a region that has increased medication now have a 38 percent lower risk of infection compared with neighbors in an area where HIV treatment is less common.

Drugs aren’t the only effective protection. Fauci said male circumcision is “stunningly successful,” too, at protecting men from becoming infected by a heterosexual partner. Clinton said the U.S. will provide $40 million to help South Africa reach its goal of providing voluntary circumcision to half a million boys and men this year.

A tougher issue is how best to reach particularly high-risk populations: gay and bisexual men, sex workers and injecting drug users. In many countries, stigma and laws that make their activities illegal drive those populations away from AIDS programs that could teach them how to reduce their risk of infection, Clinton said.

“If we’re going to beat AIDS, we can’t afford to avoid sensitive conversations, and we can’t afford not to reach the people who are at the highest risk,” she said.

So the U.S. will spend an additional $15 million on research to identify the best HIV prevention tools to reach those key populations in different countries, and then launch a $20 million challenge fund to support country-led efforts to implement that science.

Better prevention for gay and bisexual men is a huge issue in the U.S. as well — and a striking study presented Monday added evidence that those men are especially at risk if they’re young and black.

Government-funded researchers tracked black gay and bisexual men in six U.S. cities and found that 2.8 percent a year are becoming infected, a rate 50 percent higher than their white counterparts. Worse, the rate was nearly 6 percent a year in those men who are 30 or younger.

Ada Ruang Merokok, Ruang Menyusui Kenapa Tidak?

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyesalkan, hingga kini banyak fasilitas umum maupun gedung perkantoran yang belum memenuhi kewajiban menyediakan ruangan khusus ibu menyusui. Menurutnya sangat tidak rasional jika di tempat umum disediakan ruang khusus untuk merokok atau smoking area, tapi ruang khusus ibu menyusui tidak ada.

“Kenapa untuk orang merokok ada? Kenapa untuk orang menyusui tidak? Itu kan tidak rasional,” kata Arist di kantor Komnas Perlindungan Anak, Jakarta Timur, Senin (23/7/2012).

Dalam memperingati Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada hari ini, 23 Juli 2012, Arist meminta pada tempat-tempat kerja untuk dapat memenuhi peraturan tersebut. Hal tersebut guna memenuhi hak anak atas kesehatan. Seperti diketahui, Undang Undang Ketenagakerjaan mewajibkan industri atau tempat bekerja untuk menyediakan tempat bagi ibu untuk menyusui anaknya. Namun menurut Arist, penegakan hukum di lapangan masih sangat lemah.

“Banyak perusahaan yang tidak memenuhi, seperti yang ada pada Undang-undang Tenaga Kerja, terkait pada tempat kerja harus memberikan tempat menyusui untuk ibu, lalu bahkan tempat penitipan. Itu belum,” terangnya.

Selain itu, adanya tempat penitipan bayi juga belum banyak dipenuhi. Padahal, tempat tersebut agar anak-anak bisa terselamatkan dari ancaman penculikan, saat bayi ditinggal bekerja,

Penyediaan ruang menyusui bagi para ibu sangat penting dalam mewujudkan program pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif selama 6 bulan. Pemberian ASI secara eksklusif terbukti dapat berperan menurunkan angka kematian bayi. Pemerintah pun sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 33 tahun 2012 untuk menjamin ASI eksklusif. Tetapi menurut Arist, hal-hal yang mendukung peraturan tersebut pun belum terpenuhi.

International health panel says treat all HIV infections

(Reuters) – An international health panel has recommended for the first time that all HIV patients be treated with antiretroviral drugs, even when the virus’s impact on their immune system is shown to be small.

The nonprofit International Antiviral Society-USA cited new evidence that untreated infection with the human immunodeficiency virus that causes AIDS can also lead to a range of other conditions, including cardiovascular disease and kidney disease. In addition, data have shown that suppressing HIV reduces the risk of an infected person passing the virus to another person.

“We are no longer only focused on traditional AIDS-defining infections. We know that HIV is doing damage to the body all the time when it is not controlled,” said Dr. Melanie Thompson, principal investigator of the AIDS Research Consortium of Atlanta and a member of the Antiviral Society panel.

The recommendations are global, but mainly aimed at “resource-rich” countries who can cover the cost of the medications, she said. The guidelines were published in the Journal of the American Medical Association at the start of the International AIDS Society’s 2012 conference, which runs from Sunday through Friday in Washington, DC.

In addition to studies showing that treatment with antiretroviral drugs reduces the risk of HIV transmission, trials have shown a protective effect when the drugs are used by at-risk people who are not already infected with the virus.

U.S. health regulators earlier this month approved use of Gilead Sciences’ (GILD.O) Truvada for HIV-negative adults who are at risk of acquiring the virus. Like other antiretroviral drugs, the Gilead pill is designed to keep the virus that causes AIDS in check by suppressing viral replication in the blood.

“The drugs are convenient, have very little side effects and their benefits are becoming clearer and clearer — both for the infected person and from a public health standpoint,” said Dr. Paul Volberding, director of the Center for AIDS Research at the University of California, San Francisco and another member of the panel.

CHECKING WHITE BLOOD CELL LEVELS

The guidelines echo those issued in March by the U.S. Department of Health and Human Services, which also cited improved drugs and new studies showing patients benefit from treatment regardless of their level of infection-fighting white blood cells.

Previous recommendations called for antiretroviral drugs to be started for only patients whose CD4 cell counts had fallen below 500 per cubic millimeter of blood.

A normal CD4 count in a healthy adult varies between 500 and 1,200, according to HHS.

Earlier guidelines were based largely on the potential for health complications associated with initial antiretrovirals as well as concerns that patients without symptoms might not adhere to the therapy.

“The risk/benefit of the kinds of therapies we had available led us to be more restrictive in terms of when to start treatment,” Dr. Thompson said.

The availability of new multidrug combination pills has made it easier for patients to take them consistently and has lessened the risk of drug resistance, she said.

“We were really focusing on the treatment aspect of it and didn’t have the prevention data, which we now have,” Dr. Volberding said.

The United Nations estimates that around 34 million people are living with HIV, including more than 1.2 million Americans.

The World Health Organization recommends that people diagnosed with HIV start taking antiretroviral therapy when their CD4 cell count hits 350 or less. It said this week that it is reviewing recent studies pointing to the potential benefits of giving the drugs earlier, before the immune system starts to weaken.

(Reporting By Deena Beasley; Editing by Michele Gershberg and M.D. Golan)

TEKNOLOGI INFORMASI: Investasi Di Sektor Kesehatan Mulai Tumbuh

Jakarta (bisnis.com) – Investasi teknologi dan informasi sektor kesehatan di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan tumbuh karena dorongan investasi peralatan medis dan disusunnya eHealth.

Lembaga riset IDC menilai tingkat adopsi teknologi informasi (TI) sektor kesehatan di Indonesia saat ini berada di tahap baru lahir, dengan fokus utama investasi di peralatan medis.

Ketika itu berjalan, pemerintah berinisiatif meningkatkan daya saing global dengan cara menyusun eHealth.

“Dengan menghubungkan eGovernment ke eHealth yang dimulai dengan menyimpan data kesehatan pada kartu identitas elektronik untuk setiap warga negara, Indonesia telah mengambil langkah besar ke arah digitalisasi kesehatan,” kata Sash Mukherjee, Senior Market Analyst IDC Health Insights Asia Pasifik, dalam siaran pers yang diterima Bisnis, kamis (19/7/2012).

Menurut Mukherjeen, di Indonesia investasi di bidang infrastruktur dasar baru berada di tahap awal dan memiliki sedikit peninggalan infrastruktur.

“Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari investasi pada kemampuan canggih seperti repositori data sentral, pertukaran informasi kesehatan, dan analisis terpadu,” ujarnya.

Infrastruktur TI sektor kesehatan akan mendorong investasi TI kesehatan di Indonesia pada 2012 hingga 2013 dan meningkatkan kepuasan pasien.

Untuk mewujudkan perbaikan standar penyediaan layanan kesehatan, penting mempertahankan pasien dalam negeri agar dapat berkontribusi pada pendapatan negara dari kesehatan.

Pasien, bagaimanapun, akan terus berusaha mencari pengobatan di luar negeri, sampai mereka melihat perbaikan layanan kesehatan di dalam negeri.

Bila layanan kesehatan di Indonesia lebih baik, jumlah warga Indonesia yang mencari pengobatan di luar negeri dapat ditekan.