World Health Organization Fails In Its Effort To Defend Mercury In Vaccines Before United Nations

marketwatch – PUNTA del ESTE, Uruguay, July 12, 2012 /PRNewswire via COMTEX/ — Bows to Pressure from CoMeD

Bowing to pressure from the Coalition for Mercury-free Drugs (CoMeD, Inc.) and other organizations, the World Health Organization (WHO) revealed its 2004 guidelines on eliminating, reducing, and replacing Thimerosal in vaccines to public health officials worldwide.

WHO made its disclosure before the United Nations Environment Programme (UNEP) where it met unprecedented resistance to its defense of the use of neurotoxic mercury in vaccines. “This is a huge development,” says CoMeD’s Vice President, David Geier, while speaking at UNEP’s INC4 meeting.

INC4 met June 27-July 2 in Uruguay, to negotiate a global treaty on mercury. CoMeD and other nongovernmental organizations who participated strongly opposed the use of mercury in human medicines. More importantly, entire continents and many individual nations expressed their desire for mercury-free vaccines.

Moreover, CoMeD is putting intense pressure on the World Health Organization by actively assisting nations in banning Thimerosal-preserved vaccines. One of these nations, Chile, became the first developing country to stop this use of mercury in 2012.

Cristina Girardi, a member of the Chamber of Deputies of Chile, addressed the opening session of INC4 gathering. While speaking, she warned, “… to keep the mercury in vaccines is to endanger the vaccine program in a misguided effort to protect a known neurotoxin.”

Rev. Lisa K. Sykes, CoMeD’s President, brought the danger vaccine mercury represents to a historic level of understanding. Rev. Sykes counseled, “The de facto, economic prioritization of mercury-free vaccines … constitutes a double standard in vaccine safety. This disparity must be corrected rapidly … and preference … must shift to mercury-free vaccines globally, if we hope to avoid accusations of discrimination … in regard to global immunization policy.”

Sykes also cited the support of the global United Methodist Church, representing 11.5 million, and the U.S. National Health Freedom Coalition, representing 20 million. Both these groups support a ban on the use of mercury in vaccines and uphold the right of informed consent for all persons.

The objective of this treaty on mercury is to “to protect human health and the global environment from the release of mercury and its compounds by minimizing and, where feasible, ultimately eliminating global, anthropogenic mercury releases to air, water and land.”

Kementerian Kesehatan RI: Waspadai Penyakit Misterius dari Kamboja

Voaindonesia – Kementerian Kesehatan RI telah membuat surat edaran kepada seluruh kepala dinas kesehatan dan kepala kantor kesehatan pelabuhan di seluruh Indonesia untuk melakukan antisipasi sehubungan dengan penyakit misterius yang telah menewaskan 61 anak di Kamboja.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Toga Aditama kepada VOA Rabu (11/7) menjelaskan pihaknya saat ini terus melakukan koordinasi dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Kamboja sehubungan dengan penyakit tersebut.

Menurut Tjandra, Penyakit misterius yang menyerang anak-anak di Kamboja itu ditandai dengan gejala demam tinggi, yang diikuti dengan gangguan pernafasan parah yang berlangsung cepat. Tjandra menambahkan Kementerian Kesehatan akan terus melakukan antisipasi terkait dengan penyakit tersebut.

“Pertama, agar semua pihak mengetahui penyakit ini. Yang kedua agar mewaspadai kalau ada sejumlah anak yang sakit terutama usia di bawah lima tahun dengan gejala atau keluhan yang serupa,” kata Tjandra.

“Kalau ada kematian, dalam surat edaran itu diberikan juga nomor telfon dimana mereka harus melaporkan kalau ada kejadian-kejadian yang tidak biasa yang ditemui pada masyarakat di daerah masing-masing. Kita pantau dari waktu ke waktu bagaimana penyakit itu dan bagaimana perkembangannya,” tambahnya.

Menurut data WHO, dari 62 anak berusia tiga bulan hingga 11 tahun yang dirawat karena penyakit misterius yang merebak sejak tiga bulan terakhir ini, hanya satu orang yang berhasil diselamatkan.

Tjandra Yoga menambahkan pihak WHO dan Kementerian Kesehatan Kamboja belum berhasil mendiagnosis penyakit misterius tersebut. Hal itu disebabkan keseluruhan data tentang penyakit itu belum terkumpul.

Berdasarkan informasi yang dari Kementerian Kesehatan Kamboja tidak semua sampel laboratorium ada karena sebagian korban meninggal sebelum sempat diperiksa. Dari kasus yang diperiksa, sebagian penderita positif terinveksi virus yang terkait dengan penyakit tangan, kaki dan mulut atau yang lebih dikenal sebagai Enterovirus EV-71.

“Sebagian besar kasus (di Kamboja) tidak bisa periksa di laboratorium karena katanya (pasien) keburu meninggal dunia. Tapi dari pasien yang berhasil diperiksa itu, sebagian besar (tekena) enterovirus 71 , walaupun ada juga (yang) penyebabnya (terkena) demam berdarah,” jelas Tjandra. “Ada juga yang namanya streptococcus Suis. Jadi dia masih mempertimbangkan beberapa kemungkinan, walaupun memang cukup besar presentasenya yang (terinfeksi) enterovirus 71,” imbuhnya.

Masyarakat Jakarta yang ditemui VOA merasa khawatir tentang adanya penyakit misterius yang terjadi di Kamboja. Mereka berharap pemerintah lebih mensosialisasikan kepada masyarakat terkait penyakit, tersebut agar masyarakat dapat mewaspadainya.

“Saya juga denger soal penyakit itu dan ngeri juga karena belum ketahuan penyakit apa. Harusnya pemerintah mengumpuli warga di tiap-tiap RT, dikasih tahu, ciri penyakit misterius seperti ini. Jadi warga juga tahu. (Umi) Seharusnya pemerintah antisipasi karena kita tahu penyakit apa yang sebenarnya,” kata Ahmad, warga Jakarta.

Tahun lalu, penyakit dengan gejala yang sama telah menyebabkan 166 orang meninggal di Vietnam. Sebagian besar diantaranya adalah anak-anak.

WHO to announce: Mix of pathogens caused mystery illness in Cambodia, doctors say

Phnom Penh, Cambodia (CNN) – The World Health Organization, in conjunction with the Cambodian Ministry of Health, will conclude that a combination of pathogens is to blame for the mysterious illness that has claimed the lives of more than 60 children in Cambodia, medical doctors familiar with the investigation told CNN on Wednesday.

The pathogens include enterovirus 71, streptococcus suis and dengue, the medical sources said. Additionally, the inappropriate use of steroids, which can suppress the immune system, worsened the illness in a majority of the patients, they said.

The sources did not want to be identified because the results of the health organization’s investigation have not yet been made public.

Dr. Beat Richner, head of Kantha Bopha Children’s Hospitals – which cared for 66 patients affected by the illness, 64 of whom died – said that no new cases had been confirmed since last Saturday.

FULL STORY

DPR Pertanyakan Serapan Jamkesmas dan Jampersal

Jpnn.com – Anggota Komisi IX DPR, Herlini Amran memertanyakan tingginya serapan layanan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan persalinan (Jampersal) yang sudah mendekati angka 100 persen. Pasalnya, di lapangan banyak masyarakat miskin maupun wanita hamil tidak bisa menikmati kedua program tersebut.

“Ini data dari Kemenkes menyebutkan realisasi anggaran tahun 2011 untuk Jamkesmas dan Jampersal mencapai Rp6,29 triliun dari target Rp6,3 triliun. Kok bisa, sementara di lapangan tidak seperti itu,” kata Herlini Amran dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, Senin (9/7).

Dia menduga, capaian realisasi itu tidak tersalur tepat sasaran. Mengingat, banyak masyarakat miskin dan wanita hamil yang mengaku tidak mendapatkan fasilitas tersebut. “Kemenkes jangan seneng dulu. Bisa saja angka itu tidak riil di lapangan. Yang penting dana habis, entah itu tersalur tepat sasaran atau tidak,” ujarnya.

Kritikan serupa diungkapkan Rieke Dyah Pitaloka. Tingginya serapan anggaran itu diduga hanya fiktit saja. Pasalnya, peserta Jamkesmas tidak didasarkan pada data sebenarnya.

“Di lapangan, yang menerima dana Jamkesmas tidak hanya yang memiliki kartu, tapi juga non kartu. Alhasil warga miskin yang harusnya dapat layanan gratis malah tidak kebagian karena terserap ke non kartu. Karena itu pemerintah harus memisahkan antara warga yang punya kartu dan non kartu agar jelas terlihat berapa penyerapan dananya,” beber Rieke

Indonesia Still Struggling With Too Many Pre-Term Births

jakartaglobe – Linda Rullis sold her motorcycle and borrowed money from relatives to cover neo-natal treatment for her daughter, who was born after only 24 weeks of pregnancy, barely weeks within the threshold of survival. The baby girl is now one year old and weighs 5.1kg.

“I insisted on taking her home after she had been treated for four months because I couldn’t afford the treatment anymore,” Rullis, 30, told IRIN. “When she was born she weighed only 690g, but luckily she seems to be doing just fine now.”

The World Health Organization defines any birth before 37 weeks (259 days) of pregnancy as pre-term, while a full-term pregnancy is anywhere from 37 to 41 weeks.

A recent multi-agency report ranked Indonesia among 10 countries worldwide with the highest number of pre-term births, where 15.5 babies out of every 100 live births are born too early — about 676,000 babies annually.

Globally some 15 million infants — more than one in 10 births — are born too early each year, and more than one million die shortly after birth. Countless others suffer some type of lifelong physical, neurological, or educational disability, according to the report.

Indonesia’s rank in the ninth position puts it above Pakistan and below Mauritania. Belarus, Ecuador, Latvia and Finland have among the lowest rates of too-early births among countries that provided the UN data.

“The dominant cause of pre-term births in Indonesia is infections, including vaginal and renal infections,” said Ali Sungkar, an obstetrician-gynaecologist and lecturer at the medical school of the University of Indonesia in Jakarta, the capital.

“Most of those mothers who give birth to pre-term babies come from low socio-economic backgrounds. They have low body mass index and suffer from anaemia,” he told IRIN.

Smoking, alcohol consumption and depression also contribute to pre-term births, and once a woman delivers an infant prematurely, she is more likely to do so again Sungkar said.

He estimated that such births cost the state 10 times more per child than full-term deliveries, and “the government won’t have the money to cover all the costs,” but added that there was little research available on this.

Indonesia has no universal health insurance, but poor people can get free medical treatment if they present the necessary documents. Patients usually cover around 73 percent of their health costs out of their own pockets, according to government data reported to WHO in 2009.

20 million vulnerable

More than 76 million of Indonesia’s 240 million people are covered by Jamkesmas, a health-fee waiver for the poor, but a legislator recently told local media that an estimated 20 million poor people are not covered because their data cannot be verified.

The government has said it will increase the number of people eligible for Jamkesmas to 86.4 million in 2013, in line with updated data collected by the Central Bureau of Statistics. An amount of 7.4 trillion rupiah (US$791 million) has been allocated to health subsidies for 2012, with each qualified family entitled to up to 2.5 million rupiah ($266).

Sungkar said antenatal care played a key role in preventing pre-term births and more training should be given to midwives and clinic personnel. The Indonesia Health Profile 2010 noted that four out of 10 pregnant women do not make the recommended four antenatal visits.

Ivan Sini, an obstetrician-gynaecologist who practices in a private hospital in Jakarta, said a lack of financial resources and poor healthcare infrastructure were among the obstacles to curbing pre-term births.

“Puskesmas [government-run community health clinics] and referral health systems are not evenly available throughout the country,” Sini pointed out. “Even with limited budgets, the government should be able to expand the reach of these peripheral services.”

In 2007 the country had less than 23 health workers per 10,000 residents, the minimum number needed to provide life-saving care, according to WHO.

A Health Ministry expert in health financing, Triono Soendoro, recently told state media that Indonesia’s health system was facing challenges in reforming health management, improving infrastructure, and reaching people living in the more remote parts of the far-flung archipelago.

Penyakit Misterius di Kamboja, Kemenkes Berkoordinasi dengan WHO

Newsdetik – Jakarta Penyakit misterius yang melanda Kamboja sejauh ini telah menewaskan 60 anak-anak dalam tiga bulan terakhir. Kemenkes mengambil langkah berkoordinasi dengan World Health Organization (WHO) menyangkut penyakit misterius ini.

“Sehubungan kasus penyakit pada anak di Kamboja, saya telah berkoordinasi dengan WHO dan Kemenkes Kamboja. Membuat surat edaran ke seluruh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) seluruh Indonesia, dan terus memantau perkembangan situasi yang ada,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Tjandra Yoga Aditama, kepada detikcom, Minggu (8/7/2012).

Menurut Tjandra, belum semua data terkumpul oleh Kemenkes Kamboja dan WHO, sehingga masih digunakan istilah undiagnosed syndrome dan juga neuro-respiratory syndrome.

“Jumlah kasus di Kamboja sampai hari ini (sejak April) adalah 59 anak usia berkisar antara 3 bulan sampai 11 tahun. 52 anak berumur dibawah 5 tahun, male to female rasio adalah 1,3. Sampel laboratorium tidak semua ada karena sebagian besar kasus meninggal sebelum sempat diperiksa. Dari kasus yang diperiksa, sebagian (+) Enterovirus EV-71. Pada sebagian kasus lain ditemukan Dengue dan Streptococcus Suis – semua sampel (-) H5N1 dan (-) juga virus influenza, SARS, dan Nipah. WHO tidak mengeluarkan restriksi transportasi dari dan ke Kamboja,” paparnya.

Penyakit misterius yang melanda Kamboja sejauh ini telah menewaskan 60 bocah dalam tiga bulan terakhir. Belum diketahui penyebab penyakit yang tengah mewabah di Kamboja tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia alias WHO tengah berupaya keras untuk mengidentifikasi penyebab penyakit mematikan itu. Anak-anak yang diserang penyakit tak dikenal ini mengalami gejala demam tinggi dan tanda-tanda peradangan pada otak atau gangguan pernafasan, atau keduanya. Sebagian besar anak yang terinfeksi penyakit ini meninggal hanya dalam waktu 24 jam setelah dirawat di rumah sakit.

Otoritas Filipina meningkatkan pemeriksaan di bandara-bandara internasional di negeri itu, khususnya di area kedatangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit misterius yang tengah menjangkiti Kamboja.

Philippines steps up screening at airports

Gulfnews – Manila: The Government has enforced screening procedures at the country’s international airports following reports of an outbreak of a fatal disease in neighbouring Cambodia.

Presidential Spokesperson Edwin Lacierda, in an interview aired on the government-run dzRB on Saturday said that the Department of Health, through the National Epidemiology Centre (NEC), is currently monitoring the possible entry into the country of a fatal respiratory disease that has killed at least 60 children in Cambodia under seven years old.

“Arriving passengers can expect tighter screening at the airports,” Lacierda said, adding that experts are still trying to determine the nature of this mysterious disease.

He said Health Secretary Enrique Ona had already issued instructions to the Bureau of Quarantine to be more vigilant in carrying out routine screening procedures at all international airports.

No let-up

The Philippines has several gateways to the country, these include the primary entry point, the three-terminal Ninoy Aquino International Airport, the Clark in Pampanga, Laoag International Airport in the north, as well as the Cebu, Iloilo, Kalibo International Airport and the Bangoy International Airport in Davao.

The World Health Organisation (WHO) informed the Philippines about the disease after Cambodia reported several dozen deaths traced to the disease.

“Although a causative agent remains to be formally identified, all [available] samples were found negative for H5N1 and other influenza viruses, Sars, and Nipah virus,” the WHO report said. No sign of illness were reported among hospital staff who took care of the patients.

“We are more vigilant in screening passengers at the country’s international airports because of this latest news and there will be no let-up until this has been contained,” Ona said.

Praktisi Kesehatan Dukung RPP Garam, Gula dan Lemak

JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam waktu dekat, Kementerian Kesehatan akan mengeluarkan RPP Garam, Gula dan Lemak. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menurunkan tingginya angka kejadian penyakit tidak menular di Indonesia.

Terkait rencana tersebut, Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr. Inge Permadhi SpGK angkat bicara dan menyatakan mendukung sepenuhnya rancangan kebijakan tersebut. Menurutnya, aturan itu memang sudah seharusnya dibuat untuk menekan konsumsi garam, gula dan lemak di masyarakat yang saat ini sudah tidak terkontrol.

“Hampir semua makanan yang kita makan adalah makanan yang gurih, karena tinggi lemak dan garam,” katanya saat bincang-bincang terkait obesitas, Rabu, (4/2/2012), di Jakarta.

Inge mengungkapkan, saat ini tingkat konsumsi garam masyarakat Indonesia sudah sangat tinggi. Jika dibiarkan, hal ini akan memicu peningkatan berbagai masalah penyakit degeneratif seperti hipertensi, stroke dan jantung. Rekomendasi saat ini saat menganjurkan bahwa maksimal konsumsi garam per hari adalah 6 gram dapur atau 2.400 mg natrium.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, jumlah penderita hipertensi di seluruh Indonesia mencapai 13,7 persen. Hipertensi juga menjadi penyebab kematian sebesar 6,8 persen. Sedangkan stroke menjadi penyumbang kematian terbesar di Indonesia dengan 15,4 persen.

“Makanan yang gurih itu tinggi lemak dan garam. Makanan ini sangat tinggi kandungan kalorinya, yang merupakan salah satu faktor pemicu obesitas,” terangnya.

Inge optimis, penerapan kebijakan tersebut akan meringankan beban ekonomi negara terkait makin meningkatnya penyakit-penyakit degeneratif. Saat ini, kata Inge, banyak generasi muda yang menderita berbagai macam penyakit degeneratif, yang berakibat pada turunnya fungsi organ.

“Kalau degenerasi itu terjadi saat orang masih muda, kualitas hidupnya sama seperti orang tua sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian yang pada akhirnya menjadi beban negara,” jelasnya.

Inge berharap, aturan ini nantinya dapat didukung oleh para pelaku industri makanan, yang secara tidak langsung akan terkena imbasnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan berkualitas.

“Industri memang harus untung tapi juga harus bisa memberikan kontribusi yang menyehatkan masyarakat. Dengan menyehatkan masyarakat beban negara juga akan turun,” tutupnya.

Wamenkes: RPP Tembakau Hanya Pengendalian

JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Prof. Ali Gufron Mukti, membantah RPP Tembakau berdampak petani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Menurutnya, RPP tersebut hanya sebagai bentuk pengendalian.

Hal tersebut dikatakannya, berkaitan dengan terancamnya jutaan orang yang akan kehilangan lapangan pekerjaan, apabila disahkannya RPP tersebut.

“Saya kira tidak begitu, kalau RPP inikan tentang pengendalian tembakau, bukan larangan menanam atau memproduksi, ini tujuannya kan untuk generasi muda, untuk melindungi anak-anak, atau untuk Ibu yang sedang hamil,” kata Gufron, saat dihubungi Kompas.com, via telepon, Selasa (3/7/2012) malam.

Menurutnya hal ini berkaitan dengan bahaya dari rokok itu sendiri. Ia mengatakan salah satu bentuk pengendaliannya adalah dengan pemuatan gambar tentang bahaya rokok, pada setiap bungkus rokok.

“Sederhananya kan ini hanya mengatur, mengendalikan. Bentuknya adalah pemuatan 50 persen gambar tentang bahaya rokok pada bungkus rokok,” terang Gufron.

Sementara itu, hal berbeda diungkapkan, Agus Setiawan, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Ia mengatakan jika RPP Tembakau disahkan, ini akan berakibat jutaan petani tembakau kehilangan lapangan pekerjaan.

“Kalau Berdasarkan data dari Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK), jika RPP ini disahkan maka ada jutaan orang akan mengganggur. Ini jumlah yang berkaiatan dengan industeri tembakau dan cengkeh dari hulu hingga hilir di seluruh Indonesia. Kalau petani tembakau sendiri jumlahnya ada 2,1 juta di seluruh Indonesia,” ujar Agus.

Menurutnya, jumlah buruh yang bekerja diperusahaan rokok, banyak yang menggantungkan penghasilan dari usaha yang berkaitan dengan tembakau.

“Indonesia punya buruh rokok, buruh tembakau, jadi semua punya kepentingan dan ada kaitannya. Apalagi mereka itu kaitannya langsung dengan masalah perut (lapangan pekerjaan), ada buruh tembakau, buruh cengkeh, pekerja rajang, buruh rokok, pengecer dan masih banyak,” terang Agus.

Untuk menolak RPP ini, ribuan petani tembakau melakukan aksi di beberapa kantor pemerintahan di Jakarta, diantaranya di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan di Tugu Monumen Nasional. Massa yang diturunkan berasal dari enam propinsi yakni Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan NTB.

Estimasi jumlah massa menurutnya sekitar 10 ribu orang, dari gabungan berbagai aliansi. Sementara dalam rencana aksi di Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), pada sore hari ini, di tunda pada esok hari, Rabu (4/7/2012), yang rencananya akan berlangsung pukul 09.00 WIB.

Massa akan beristirahat dengan menginap di Masjid Istiqal, Jakarta, untuk melanjutkan aksinya besok.

Thailand Hosts ASEAN Health Ministers Meeting

Zambotimes – PHUKET, 3 July 2012 – The Thailand Ministry of Public Health is hosting the 11th ASEAN Health Minister Meetings (11th AHMM) and related meetings from 2-6 July 2012 in Phuket. Joined by 13 countries, the meeting this year emphasizes five main topics, namely: global severe problem on Chronic Non-Communicable Diseases Control and Prevention; Building Universal Health Coverage; Tobacco Control; AIDS in Urban area; and Emergency Disaster Management.

The following main topics will be discussed in three main meetings: 1) ASEAN Health Ministers Meeting (AHMM) of 10 ASEAN Member States; 2) the 5th ASEAN Plus Three (China, Japan, and South Korea) Health Ministers Meeting; and 3) the 4th ASEAN Plus China Health Ministers Meeting.

H.E. Mr. Wittaya Buranasiri, Minister of Public Health, stated that the theme this year would be “ASEAN Community 2015: Opportunities and Challenges to Health.” The series of meetings aim to seek strategies to increase positive and reduce negative health effects that could happen after the implementation of ASEAN Community, including the cooperation with China, Japan, and South Korea.

Dr. Paijit Warachit, Permanent Secretary of the Ministry of Public Health, advised that the meeting will consist of two parts; the Senior Officials Meeting (SOM) and the AHMM. Recommendations from SOM will be considered and endorsed to be assigned as ASEAN policies to solve prioritised public health issues.

“There will also be a Retreat Session among 10 ASEAN Health Ministers to make acquaintances for future informal communication channel,” said Dr. Suwit Wibulpolprasert, Senior Advisor on Disease Control. The session will be held in three small groups discussing the issues of Non-Communicable Diseases (NCD): diabetes, hypertension, cancer, and heart disease, which are ASEAN and world’s major problems.

Dr. Sopon Mekthon, Deputy Permanent Secretary of the Ministry of Public Health, Thailand, stated that aside from meetings about policies, there will be side meetings of professionals and academics on crucial issues such as: Field Epidemiology Training Network of ASEAN plus Three, universal health coverage for the success of universal health coverage system building in ASEAN, and an AIDS problem-solving meeting to achieve 3 ASEAN Declaration of Commitments: Getting to Zero New HIV Infections, Zero Discrimination, and Zero AIDS-Related Deaths.

Expected participants of these meetings include: Health Ministers, Permanent Secretary of the Ministry of Public Health, executive staff, and high level academics from ASEAN Member States plus China, Japan, and South Korea.