Improving our health care will come from greater public investments, not private alternatives

I’m an emergency room physician in Ottawa. I may have even been working when CBC Opinion columnist Neil Macdonald presented for care, which he wrote about back in June. The scene he described of long wait times, fatigued staff, and bed shortages is, unfortunately, all too familiar to me.

I have great empathy for what he experienced. It is a terrifying thing to be in a hospital, in pain, and unsure of what is wrong. However, I question his conclusion that the answer to this problem is lies in privatization of Canadian health care services.

Universal health care is a defining trait of Canada, and one that we cannot take for granted. I take great pride in working in a system where everyone can get the care that they need, rather than only those who can afford it getting the care that they want.

Those “Code Blue, Code White, Code whatevers” that Macdonald so casually referenced in his column are all critical patient emergencies, which require emergency staff to drop everything and run to the patient’s side.

In those situations, every possible measure will be taken to provide every patient with the highest quality of care, regardless of income status. Whether you are a member of parliament or a single parent who is out of work, you will leave the hospital with your cardiac stent, or your emergency surgery, or whatever other treatment is required to get you back to your life and your loved ones. And you will do so without ever opening your wallet.

Health care spending

Universal health care also allows us access to primary care and preventative medicine to keep our population healthier and prevent those emergencies from developing in the first place. Much of the available evidence suggests that the failings in our health care system are due to a lack of sufficient public spending, not because there is not a private alternative.

In fact, the Scandinavian health care system that Macdonald touts in his column actually devotes a greater percentage of its annual health care spending toward its public systems than we do. According to the Canadian Institute for Health Information, Sweden devoted 84 per cent of its total health expenditure to its public sector in 2017, compared to only 70 per cent in Canada, while achieving higher average life expectancies and lower rates of mortality and morbidity in a population that is older than ours.

That’s not to say that our system doesn’t have problems. Wait times for non-emergency procedures, such as joint replacements, are too long. Hospitals are overcrowded. Family doctors are hard to find. I don’t deny any of this. But no Canadian will be denied time-sensitive or life-saving care because they can’t afford it. Nor will they wake up to a lifetime of crippling medical debt in exchange for the privilege of being alive.

Macdonald noted in his article that he received excellent care at an American public hospital that treats patients with private insurance, Medicare, and Medicaid. But more than one in 10 Americans don’t fall into any of those categories. These are the “working poor,” who are not poor enough to qualify for Medicare or Medicaid, but still too poor to afford private insurance. Almost 40 million of these Americans may not be able to access the care they need because they can’t afford it. That’s not a system that I’m willing to idolize.

In countries where mixed models of private and public health care exist, such as the two-tiered systems in the UK and Australia, higher wages and greater resources can incentivize specialists into private practice, resulting in a deterioration in the quality of care and resources available to the public sector. These systems have also demonstrated that as private health care spending increases, wait times in the parallel public sectors can also also increase, leaving those who can’t afford private care even further behind.

Yes, the Canadian health care system is flawed, and there is much room for improvement. So let’s work within the system we have to advocate for better access to primary care, better coordination of services, and more long-term care beds. Let’s be vocal against governments that want to make further cuts to an already overburdened health care system.

And to those who look at privately paid health care south of the border with rose-coloured glasses, I ask you to think about those who can’t afford to do so, and reassess your position. I’m glad Macdonald came forward with his experience. He sheds light on some critical gaps in our current system, which make being a patient an even harder experience than it already is. But we must have equal compassion for every patient’s journey, regardless of their ability to pay, and take a stand for universal health care.

Then we can take steps toward improving on the foundation of universal access, rather than talk about dismantling it.

source: https://www.cbc.ca/news/opinion/health-care-investment-1.5212828

 

Kemenkes Bahas Penghapusan dan Penarikan Alkes Bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

JAKARTA – Merkuri merupakan bahan berbahaya dan beracun yang menjadi isu internasional, karena potensi dampaknya yang sangat besar terutama dampak kesehatan.

Bentuk dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat terpajan oleh merkuri antara lain adalah kerusakan sistem saraf pusat, ginjal, paru-paru, khususnya dampak terhadap janin berupa kelumpuhan otak, gangguan ginjal, sistem syaraf, menurunnya kecerdasan, cacat mental, serta kebutaan.

Demikian disampaikan Dirjen Kesmas dr. Kirana Pritasari, MQIH pada acara Workshop Sinergi dan Kolaborasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan Penghapusan dan Penarikan Alat Kesehatan Bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Jakarta (30/7).

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri mengatur tata kelola merkuri yang harus dilakukan oleh negara pihak yang mengikuti Konvensi Minamata untuk melindungi kesehatan dan lingkungan.

Partisipasi aktif Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan peraturan ini adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019 tentang Pengurangan dan Penghapusan Merkuri baru saja dikeluarkan pada bulan April 2019.

Amanah untuk sektor kesehatan yang tertuang di dalam Peraturan Presiden tersebut adalah penghapusan merkuri di Pertambangan Emas Skala Kecil dan kesehatan.

Di Pertambangan Emas Skala Kecil, Kementerian kesehatan berperan sebagai sektor pendukung terutama dalam kampanye stop merkuri.

Sedangkan untuk bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan sebagai sektor utama dalam penghapusan merkuri yang diarahkan pada alat kesehatan bermerkuri dimana ditargetkan 100% fasilitas pelayanan kesehatan tidak lagi menggunakannya pada akhir tahun 2020.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam percepatan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah dengan melakukan workshop sinergi dan kolaborasi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri. Tujuan dari pertemuan ini adalah mewujudkan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada tahun 2020 sebagai salah satu upaya melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sedangkan tujuan khususnya yakni:

  1. Tersosialisasinya Peraturan Presiden nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM)
  2. Sinergitas dan kolaborasi para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan.
  3. Diperolehnya komitmen pemangku kepentingan dalam percepatan pelaksanaan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan
  4. Diperolehnya masukan terhadap rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang mekanisme penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan.

Peserta yang diundang dalam pertemuan ini berasal dari lintas program pada Kementerian kesehatan, Kementerian dan Lembaga lain, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota terpilih, Fasilitas Pelayanan Kesehatan (seperti rumah sakit,

Balai Besar Laboratorium Kesehatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, klinik), serta organisasi profesi, perguruan tinggi, perhimpunan dan asosiasi Rumah Sakit, Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati merkuri, serta media massa.

Dalam acara ini hadir sejumlah pembicara, yaitu Dirjen Kesehatan Masyarakat dan Direktur Fasyankes serta Sekretaris Ditjen Pengelolaan Sampah dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan tentang Kebijakan dan Strategi dalam Penghapusan dan penarikan Alat Kesehatan Bermerkuri di fasilitas pelayanan Kesehatan.

Menutup kegiatan ini dilakukan Komitmen Bersama dengan pemangku kepentingan dan pemasangan PIN penghapusan Alkes bermerkuri sebagai launching dimulainya pelaksanaan penghapusan alat kesehatan bermerkuri di fasilitas pelayanan kesehatan.

sumber: https://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/07/30/kemenkes-bahas-penghapusan-dan-penarikan-alkes-bermerkuri-di-fasilitas-pelayanan-kesehatan

 

 

The Trouble With Cambodia’s Health System

This month, the Cambodian government made clear that “fake news” about Prime Minister Hun Sen’s death on Facebook would be treated as a criminal matter, following yet another trip by him to Singapore for medical treatment. Seeking care overseas is common for some of the country’s wealthy elite. But for regular Cambodians, the country’s own healthcare system is the only choice they have to address their issues.

Amid the focus on many other headline developments, including Cambodia’s alignments with China and the United States, the state of the country’s healthcare system is often not explored in depth, particularly among international outlets. But periodic crises tend to point to the issues therein, and the most recent one is the ongoing dengue epidemic hitting Cambodia.

The director of Kantha Bopha Children’s Hospitals, a network of charitable hospitals, has said that as of July 1 his hospitals in Phnom Penh and Siem Reap have seen 30 children, out of more than 16,000 dengue fever patients, die from the virus this year. In more rural areas, hospitals are showing signs that they cannot handle the influx of patients. The Cambodian Red Cross had to set up tents around one referral hospital in Stung Treng province because of a shortage of beds. To the news of hospitals being unable to cope with the dengue crisis, Ou Virak, president of the Future Forum think-tank, tweeted: “Very alarming and a national emergency. Our health care system is broken and the poor are paying the heaviest price.”

“Broken” might be too strong, but the problems facing Cambodian healthcare are sure to become more daunting unless the government stumps up more money. The statistics make this clear. Cambodians still live, on average, some six years less than their neighbors in Thailand, and seven years less than the Vietnamese. On average, they only live 0.1 years longer than the people of Timor-Leste, the poorest nation in Southeast Asia, with an economy a tenth the size of Cambodia’s.

Cambodia has made clear strides in healthcare. In 1990 the average life expectancy from birth was just 53.6 years. But between 1997 and 2019 the average life expectancy from birth rose by 13 years, from 56.2 years to 69.3 years, according to United Nations Development Program’s data. Almost all other indicators point to similar progress over the last three decades. For instance, between 1990 and 2015 the maternal mortality ratio went from 1,020 deaths per 100,000 live births to 161, while the percentage of the population using improved sanitation facilities rose from 12.3 percent to 48.8 percent. Between 1990 and 2016 the mortality rate of infants (per 1,000 live births) decreased by 68.9 percent.

But look more closely at the numbers and one finds that progress is slowing. Take life expectancy, for instance. It rose by 4.8 years between 1990 and 2000, then almost double that rate (8.2 years) between 2000 and 2010, but afterwards slowed down and grew by only 2.7 years between 2010 and 2017, the latest year on record. Or take the infant mortality rate, which decreased 6.1 percent between 1990 and 2000, then more than halved between 2000 and 2010, before falling by just under a third between 2010 and 2016. For almost every indicator, the same pattern emerges: little progress in the 1990s, then a fundamental change at rapid rates during the 2000s, but much slower progress this decade.

In one sense, this is only to be expected. Cambodia began at a woefully low starting point, before a considerable injection of foreign aid and capital investment in the 2000s allowed for quick progress. But as standards rise, it becomes increasingly more difficult for the country to maintain progress without an equally audacious financial commitment from the state.

Sift through UNDP data and you find that the vast majority of countries have increased their spending on healthcare as a percentage of GDP over the last three decades. Thailand spent 3.2 percent in 2000 and 3.8 percent in 2015. China increased spending from 4.5 percent to 5.3 percent, while even Timor-Leste increased it from just 1.3 percent to 3.1 percent.

But the amount the Cambodian government spends on healthcare as a percentage of GDP is decreasing; from 6.4 percent in 2000 it rose to 7.5 percent in 2011 before dropping to just 6 percent in 2015. Government data show that government allocations to the health ministry as a percentage of the overall state budget also declined this decade, from 7.2 percent in 2013 to 6.6 percent in 2019. In fact, spending on healthcare fell in real terms by $30 million in this year’s budget compared to last year’s, down to $455 million.

Beyond those aggregate numbers, the government’s approach to healthcare is also worth noting. The government has been moving the costs onto either patients (through allowing the rapid expansion of the private healthcare sector, which is arguably larger and more competent than state clinics) or onto the private sector itself (with the National Social Security Fund, which workers and employers pay into).

What one finds, then, is that at a time when the government needs to pour increasing amounts into the healthcare system, it is putting on the brakes. And unless it is prepared to stump up more money, progress will slow down and public anger will grow, as the wealthy elite continue to travel abroad for treatment while most ordinary Cambodians struggle at underfunded local hospitals.

source: https://thediplomat.com/2019/07/the-trouble-with-cambodias-health-system/

 

Improving emergency healthcare services in Jordan

In partnership with the European Union (EU) and the Jordanian Ministry of Health, UNOPS will improve three public health facilities to better serve communities impacted by the Syrian crisis.

With over 663,000 registered Syrian refugees in Jordan, demand on the country’s already overextended social services has increased, significantly affecting livelihoods and access to quality public services in host communities.

As part of the EU’s Regional Trust Fund in Response to the Syrian Crisis, this €10 million project will improve Jamil Tutunji Hospital in the Sahab district of Amman, Ramtha Hospital in Irbid, and Ruweished Hospital in Mafraq.

“The EU will continue to assist the Ministry of Health in improving the health services provided to local communities and Syrian refugees by meeting their health needs, promoting resilience, and strengthening the national health system and services,” said the EU Ambassador to Jordan, H.E Andrea Matteo Fontana at an official launch held 17 July.

UNOPS will design and construct new emergency facilities at all three health facilities, and rehabilitate two existing emergency departments, in order to enable Jordan’s health sector to meet the increased demand. UNOPS will also deliver all necessary medical equipment and provide three fully-equipped ambulances. The facilities will be fitted with solar energy, wastewater treatment systems, external solar lights, and solar water heaters, to enhance sustainability as well as safety.

UNOPS is pleased to cooperate with the EU and Jordan in two of our areas of expertise: infrastructure and procurement. The project will substantially improve the quality of health services provided to those in need.

“UNOPS remains committed to continuing to support Jordan in its efforts to both deliver assistance to those most vulnerable and to help achieve the Sustainable Development Goals,” Ms. Kaloti added. Bana Kaloti – Director, Middle East Region

Currently, around 22 per cent of Jordan’s population face challenges accessing services while only 40 per cent of refugees living outside camps have access to healthcare services, leaving over 300,000 people without regular access to health services.

“It is unquestionable that the support offered by the European Union over the past years is a backing for Jordanian efforts to face health sector challenges imposed by the effects of the Syrian crisis,” said H.E. Dr. Saad Jaber, Jordan’s Minister of Health.

source: https://reliefweb.int/report/jordan/improving-emergency-healthcare-services-jordan

 

Bali Peringkat Tertinggi IPKM 2018

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI resmi mengeluarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2018 pada Senin, 15 Juli 2019. Provinsi Bali menduduki peringkat tertinggi.

Menurut Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, IKPM dikeluarkannya untuk melihat perkembangan status kesehatan masyarakat kabupaten dan kota di Indonesia. IKPM juga berfungsi mengetahui pencapaian kesehatan di suatu wilayah.

“Untuk mengetahui pencapaian pembangunan kesehatan, perlu adanya satu indikator kunci yang menggambarkan sampai tingkat kabupaten/kota. Untuk keperluan itulah, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) disusun dan dikembangkan,” ungkap Nila pada Senin, 15 Juli 2019.

Nila mengatakan data IPKM 2018 merupakan informasi yang dapat dimanfaatkan. Indikator-indikator penyusun IPKM juga mencerminkan capaian program dan sebagai potret capaian pembangunan kesehatan di suatu wilayah.

Misalnya saat Riskesdas dilakukan pada tahun 2007, 2013 dan 2018. Hasilnya sudah dimanfaatkan bersama untuk masukan perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan.

Kepala Badan Litbangkes, Siswanto, mengatakan IPKM 2018 disusun dengan memanfaatkan sumber data Riskesdas 2018, Susenas Maret 2018 terintegrasi Riskesdas 2018, dan pendataan Potensi Desa (Podes) 2018. Secara umum nilai IPKM tahun 2018 mengalami peningkatan dibandingkan IPKM tahun 2013.

“Meskipun mengalami peningkatan, namun pada sub indeks penyakit tidak menular mengalami penurunan,” ujarnya.

Dia melanjutkan, IPKM 2018 dihitung dengan menggunakan model IPKM yang dikembangkan tahun 2013. Indeks ini mengikutsertakan 30 indikator kesehatan yang dikelompokan menjadi 7 sub indeks.

IPKM 2018 juga menyajikan capaian IPKM Tahun 2013 dan 2018. Di buku itu juga disebutkan capaian sub indeks penyusun IPKM dan kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota dalam provinsi.

Sementara itu, Provinsi Bali menempati peringkat tertinggi IPKM 2018. Sementara peringkat terendahnya adalah Provinsi Papua.

Siswanto mengatakan, kesenjangan pada tahun 2018 terlihat lebar di Provinsi Papua. Hal ini, kata dia, harus menjadi perhatian karena selama periode lima tahun, Provinsi Papua tidak mengalami peningkatan bahkan kesenjangannya masih lebar.

Selin itu, diketahui juga 10 kabupaten/kota yang mencapai IPKM tertinggi yakni Gianyar, Solok, Kota Magelang, Tabanan, Kota Denpasar, Badung, Kota Salatiga, Sarolangun, Sleman, dan Kota Blitar. Sementara 10 kabupaten/kota yang mencapai IPKM terendah adalah Pegunungan Arfak, Deiyai, Yalimo, Mamberamo Raya, Puncak, Pegunungan Bintang, Nduga, Tolikara, Dogiyai, dan Paniai.

“Hasil tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah pusat untuk memberikan advokasi masalah spesifik ke pemerintah daerah. Sedangkan untuk pemerintah daerah bisa digunakan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan kinerja program dimasing-masing daerah,” tandasnya.

sumber: https://www.medcom.id/rona/kesehatan/GNGjqxLK-bali-tertinggi-di-indeks-pembangunan-kesehatan-masyarakat-ipkm-2018

 

Kemendagri Ingatkan Pemda Segera Terapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

JAKARTA— Kementerian Dalam Negeri mengingatkan pemerintah daerah supaya segera menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan aturan KTR di sekolah.

Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Muhammad Hudori menyatakan kewajiban Pemda menerapkan Kawasan Tanpa Rokok diatur dalam Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/Pb/I2011 Nomor 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Hudori menjelaskan konsumsi tembakau di Indonesia juga masih cenderung tinggi. Menurut data yang dilansir Tobbaco Control Support Center pada 2015, konsumsi rokok rata-rata per orang per hari sebanyak 12,3 batang atau 369 batang per bulan pada 2013.

“Konsumsi tembakau ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku merokok. Perilaku merokok berkaitan dengan kemiskinan lantaran karena untuk membeli rokok, seorang individu maupun keluarga harus mengurangi penggunaan sumber daya yang terbatas untuk keperluan lain yang lebih penting seperti pendidikan, makanan berkualitas, dan pelayanan kesehatan,” kata Hudori seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dirilis di laman Sekretariat Kabinet, Jumat (12/7/2019).

Lebih lanjut, Hudori menilai beban biaya yang berkaitan dengan penyakit akibat rokok akan lebih mahal dibandingkan dengan uang yang sudah dibelanjakan untuk rokok. Tidak hanya biaya pengobatan melainkan juga biaya hilangnya hari atau waktu produktivitas untuk bekerja bagi usia pekerja.

Berkaitan dengan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Hudori mengingatkan Pemerintah Daerah empat hal antara lain supaya Pemda menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang KTR baik berupa Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah serta menerapkan aturan KTR di sekolah.

Di samping itu, Hudori juga mengingatkan supaya Pemda memperkuat upaya promotif dan preventif melalui kegiatan penyuluhan dan edukasi secara berkelanjutan bagi anak-anak dan remaja usia sekolah berkaitan dengan dampak negatif akibat bahaya rokok. Pemda juga diharapkan melibatkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat setempat dalam mengkampanyekan kebijakan tentang KTR.

Pemda juga diharapkan menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar.

https://kabar24.bisnis.com/read/20190712/15/1123627/kemendagri-ingatkan-pemda-segera-terapkan-kebijakan-kawasan-tanpa-rokok

 

Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian

Jakarta: Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) meneliti produk tembakau alternatif, Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings. Penelitian ini diharap dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan mengenai produk tembakau alternatif.

Peneliti YPKP Amaliya berdasarkan sejumlah kajian ilmiah, produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi tersebut tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR. Dia menjelaskan masyarakat belum mengetahui adanya perbedaaan mendasar secara ilmiah antara produk tembakau alternatif dan rokok.

Menurutnya pada produk tembakau aternatif tidak ada proses pembakaran tembakau. Hal ini tentunya, berbanding terbalik dengan rokok, yang pada pembakarannya menghasilkan TAR.

“Produk tembakau alternatif dapat dikonsumsi dengan berbagai cara, seperti dikunyah, ditempel, dan dipanaskan. Proses yang tidak melewati pembakaran ini mengeliminasi kandungan senyawa kimia berbahaya seperti TAR, yang terbentuk dari hasil pembakaran,” kata Amaliya di Jakarta, Rabu, 10 Juli 2019.

Berdasarkan data National Cancer Institute Amerika Serikat, TAR mengandung berbagai senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker. Hampir dari 7.000 bahan kimia yang ada di dalam rokok, 2.000 di antaranya terdapat pada TAR. Amaliya menjelaskan ketika asap rokok dihirup TAR dapat membentuk lapisan lengket di bagian dalam paru-paru.

“Kondisi tersebut dapat merusak paru-paru, menyebabkan kanker, emfisema, atau masalah paru-paru lainnya. Menghirup asap tembakau yang dibakar juga menyebabkan jenis kanker lain, termasuk kanker mulut dan tenggorokan,” ujarnya.

Dengan tidak menghasilkan TAR, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Hal ini, kata Amaliya, diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris 2018 lalu yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018”.

“Produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan hingga 95 persen lebih rendah daripada rokok yang dibakar,” kata dia.

Pada tahun yang sama, Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) juga mempublikasikan hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, yaitu produk tembakau yang dipanaskan, yang menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran. Hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.

Dengan manfaat yang diberikan dari produk tembakau alternatif, Inggris, Jepang, Kanada, dan Selandia Baru kini menggunakannya sebagai salah satu alternatif untuk menekan angka prevalensi perokok. Amaliya mengajak pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan kajian terhadap produk tembakau alternatif.

Oleh karena itu pemerintah juga harus menyosialisasikan hasil kajian ilmiah tersebut kepada masyarakat. Sehingga nantinya, masyarakat mengetahui secara jelas perbedaan antara produk tembakau alternatif dan rokok. Dengan begitu, perokok dewasa diharapkan beralih ke produk tembakau alternatif karena lebih minim risiko kesehatan dibandingkan rokok.

“Pemerintah diharapkan untuk merumuskan kerangka peraturan berdasarkan bukti ilmiah yang spesifik dan sesuai dengan proporsi risiko untuk produk tembakau alternatif dan mendorong perokok yang tidak dapat atau tidak ingin berhenti merokok untuk beralih ke produk tembakau alternatif,” tutupnya.

sumber: https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/GNlYJd2b-kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian

 

Presiden Jokowi Teken Inpres Soal Kedaruratan Nuklir

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Intruksi Presiden tentang tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.

Inpres yang dipublikasikan oleh Sekretaris Kabinet (Setkab) pada Selasa (9/7/2019) ditandatangani oleh Presiden Jokowi 17 Juni 2019 lalu.

Dalam Inpres yang dimuat Setkab.go.id itu Presiden menginstruksikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengkaji dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang kesehatan.

Hal itu terkait peningkatan ketahanan kesehatan global serta dukungn pembiayaan.

“Tingkatkan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespon wabah penyakit, pendemi global, dan kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia,” bunyi diktum Pertama poin No. 9 Inpres Nomor 4 Tahun 2019 itu.

Presiden juga menginstruksikan Menkes untuk meningkatan kapasitas surveilans kesehatan.

Diharapkan Kemenkes yang mampu mengindentifikasi kejadian yang berpotensi menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Misalnya saja situasi di pintu keluar masuk negara, resistensi antimikroba, dan keamanan pangan.

Selain itu, Presiden juga menginstruksikan Menkes untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelaksanaan imunisasi, serta meningkatkan kapasitas dan memperkuat jejaring laboratorium yang mendukung identifikasi permasalahan kesehatan masyarakat.

Melalui Inpres tersebut, Presiden juga menginstruksikan kepada Menteri Perindustrian untuk meningkatkan surveilans kewaspadaan, deteksi potensi risiko, dan respons cepat penanggulangan keadaan darurat bahan kimia berbahaya yang bersumber dari berbagai industri kimia.

Seperti diberitakan Setkab Inpres tersebut ditujukan antara lain kepada Menko Polhukam, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menter Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM.

Inpres juga ditujukan pada Menteri Keuangan, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan, Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Komunikasi dan Informatikan serta Menteri Pertanian.

“Menetapkan kebijakan melalui evaluasi, kajian, dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintergrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam meningkatkan kemampuan mencegah, mendeteksi, dan merespon wabah penyakit, pandemi global, dan kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia, yang dapat berampak nasional dan/atau global,” bunyi diktum PERTAMA Inpres ini kepada para pejabat di atas.

sumber: https://wartakota.tribunnews.com/2019/07/09/presiden-jokowi-teken-inpres-soal-kedaruratan-nuklir

 

 

Dukung JKN-KIS, Pemda Diminta Terlibat Petakan Kelas RS

JAKARTA — Pemerintah daerah (Pemda) diminta terlibat dalam mendukung keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Peran Pemda antara lain ikut memetakan kelas Rumah Sakit (RS), khususnya yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, pemetaan kelas RS menjadi bagian dari delapan bauran kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. Pembenahan kelas RS diperlukan untuk menghindari overpaid dalam pengeluaraan pembiayaan kesehatan.

“Jadi kelas RS harus pas,” katanya saat ditemui usai rapat koordinasi tingkat menteri mengenai BPJS Kesehatan di Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di Jakarta, Senin (8/7) lalu.

Sebab, dia melanjutkan, adanya perbedaan kelas rumah sakit membuat adanya selisih harga dan efeknya BPJS Kesehatan harus mengganti klaim lebih besar. Dia mengakui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan penataan kelas RS. Sebab pihak yang berwenang menurunkan dan menaikkan kelas RS ialah Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah melalui dinas kesehatan.

“Sedangkan Pemda bisa bersama dengan Kemenkes ikut menata kelas RS ini karena daerah yang memiliki wewenang bekerja sama dengan rumah sakit di daerah. Oleh karena itu, perlu koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.

Di tempat yang sama, menteri kesehatan Nila F Moeloek menambahkan, pihaknya telah menyusun pemetaan kelas RS. Kebijakan ini merupakan bagian dari bauran kebijakan.

“Pemetaan kelas RS ini akan dilanjutkan,” ujarnya. N Rr Laeny Sulistyawati

 sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pucgya423/dukung-jknkis-pemda-diminta-terlibat-petakan-kelas-rs

 

10-year Punjab health sector strategy launched

LAHORE: Provincial Minister for Health Dr. Yasmin Rashid has announced a 10-year Punjab health sector strategy.

A ceremony was held in this regard at a local hotel here on Thursday, in which Federal Minister for Health Dr. Zafar Mirza, Provincial Minister Hashim Dogar, Adviser to Health Hanif Khan Patafi, Secretaries Momin Agha and Zahid Akhtar Zaman, representatives of WHO, UNICEF and international development agencies as well as officers of the Health Department were also present.

PSPU Programme Director Dr. Shugufta briefed the participants about the basic purpose of the strategy. Provincial Secretary Specialized Healthcare and Medical Education Momin Agha and Secretary Primary & Secondary Healthcare Zahid Akhtar Zaman briefed them about the initiatives taken for the betterment of the health sector in future and reforms introduced for the purpose.

Dr. Yasmin Rashid said that the objective of the strategy was to ensure the provision of international standard healthcare facilities to patients in public sector hospitals. “Targets in health governance and accountability, public-private partnership, human resources, measures taken for safeguarding mother and child, family planning, patients safety and availability of medicines in government hospitals is to be achieved through the strategy,” she added.

The minister lauded the services of both secretaries of health for discharging their duties honestly. She said the health sector was the top priority of Prime Minister Imran Khan. “We are trying to rectifying the wrong measures of the former corrupt government. The PTI government wants to provide relief to the people by introducing revolutionary measures in real sense in the health sector. Sehat Insaf Card is proving to be a game-changer in the health sector. Best healthcare facilities are the right of every citizen and the responsibility of the government,” she concluded.

Federal Minister Dr. Zafar Mirza congratulated Dr. Yasmin Rashid for announcing the strategy. He said the scope of the Sehat Sahulat Programme was being extended to every nook and corner of the country according to the vision of Prime Minister Imran Khan. “Sehat Insaf Cards are being distributed among special peoples as well,” he added. Provincial Minister Hashim Dogar said that appointing Dr. Yasmin Rashid as health minister was the best decision of Prime Minister Imran Khan.

Minister inaugurates lab: Punjab Minister Health Dr Yasmin Rashid inaugurated the largest diagnostic laboratory of Pakistan set up a private laboratory chain here on Jail Road on Thursday.

The minister said, “The laboratory network has an excellence and professionalism in its work which is inspiring. The Health Department of Punjab wishes to excel public-private partnership in the health sector to facilitate the public and the private lab network will play a role in hemophilia eradication across the Pakistan.”

Pakistan’s nuclear scientist Dr Abdul Qadeer Khan praised the distinctions and accomplishments earned by the lab network through utmost dedication and hard work.

prices: Commissioner Asif Bilal Lodhi said that price control and implementation of all initiatives must be the top priority of the administration.

Presiding over a meeting, he directed all DCs of Lahore division to keep an eye on the supply and standard of commodities in markets. He said there was no compromise on hoarding and artificial price hike in the markets.

source: https://www.thenews.com.pk/print/493907-10-year-punjab-health-sector-strategy-launched