POLITIK ANGGARAN DI SEKTOR KESEHATAN

POLITIK ANGGARAN DI SEKTOR KESEHATAN

Dewi Marhaeni Diah Herawati1

1 Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Unpad


Abstrak

Permasalahan anggaran di sektor kesehatan saat ini masih menjadi permasalahan yang krusial baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Ketidak cukupan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor dan sangat kompleks. Salah satu faktor yang paling menonjol yang berperan adalah adanya politik anggaran.

Studi ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada tahun 2006-2007. Selanjutnya penulis melakukan pengamatan untuk kebijakan alokasi anggaran di Direktorat Anak pada tahun 2009 sampai dengan saat ini. Data yang digunakan merupakan data skunder dan data primer yang penulis peroleh dari hasil pertemuan dengan Direktorat Anak dan beberapa Direktorat di lingkungan Dirjen Bina Gizi, dan KIA.

Situasi di Pusat, politik anggaran di DPR terjadi pada saat penetapan pagu definitif, utamanya pada program yang bersifat fisik. Kemenkeu terlihat kurang memberikan dukungan pada sektor kesehatan, dimana anggaran sektor kesehatan baru mencapai sekitar 2, 5%. Dasar pembagian anggaran untuk unit dan subunit di lingkungan Kemenkes kurang jelas. Untuk situasi di daerah, politik anggaran terjadi baik di lingkungan legislatif maupun Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dampak negatif adanya politik anggaran adalah perolehan anggaran sektor kesehatan belum sesuai dengan amanat UU No 36 Tahun 2009 pasal 171 ayat 1 dan 2. Ketergantungan daerah terhadap anggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sangat tinggi.

Politik anggaran di makro organisasi seperti DPR terjadi karena memenuhi preferensi kelompok atau partai, sedang di mikro organisasi lebih banyak karena kepentingan individu.

Kata kunci: politik anggaran, sektor kesehatan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) DI PUSKESMAS KABUPATEN KUNINGAN TAHUN 2011—2012

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK)
DI PUSKESMAS KABUPATEN KUNINGAN TAHUN 2011—2012

Dudung Abdul Malik1 dan Dumilah Ayuningtyas2

1Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
2Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok


 Latar Belakang

Program BOK di Kabupaten Kuningan meningkatan dana operasional Puskesmas tahun 2011 dan 2012 menjadi 2 kali lipat, tetapi hal tersebut tidak berbanding positif dengan pencapaian cakupan indikator SPM bidang kesehatan. Ini mengindikasikan bahwa implementasi program BOK di Puskesmas Kabupaten Kuningan belum berjalan sesuai harapan.
 

 Tujuan

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan BOK di Puskesmas Kabupaten Kuningan berdasarkan variabel kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumber daya organisasi, serta karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana.
 

 Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan antara Bulan Maret—April 2013 di 4 Puskesmas dan Dinas Kesehatan dengan jumlah informan 23 orang.
 

 Hasil

Secara umum Puskesmas di Kabupaten Kuningan dalam melaksanakan program BOK tidak mengalami kendala yang berhubungan dengan sumberdaya. Pengalokasian anggaran kegiatan BOK sudah sesuai ketentuan dalam juknis dan mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana telah dilakukan melalui kegiatan verifikasi dari tim di Dinas Kesehatan. Dukungan pimpinan Puskesmas menjadi faktor penting dalam kegiatan yang dibiayai dana BOK. Komitmen seluruh elemen di Puskesmas terhadap program BOK sudah baik ditunjang dengan komunikasi internal yang berjalan dengan baik pula. Faktor kualitas pimpinan di Puskesmas Kabupaten Kuningan berdasarkan pendidikan sudah memenuhi standar dan kemampuan petugas dalam melaksanakan program/ kegiatan yang mendapat biaya dari BOK sudah baik.
 

 Kesimpulan

Pelaksanaan BOK di Kabupaten Kuningan memberikan banyak manfaat kepada Puskesmas khususnya untuk operasional kegiatan preventif dan promotif. Tetapi, ini tidak memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian SPM bidang kesehatan. SPM cenderung menurun dan item tidak mencapai target cenderung meningkat.
 

 Saran

Puskesmas agar memprioritaskan dana BOK untuk kegiatan yang bisa mendongkrak pencapaian cakupan program kesehatan. Dinas Kesehatan perlu mengupayakan pencairan dana BOK pada awal tahun bisa lebih awal dan mengintensifkan monitoring dan evaluasi disertai uji petik. Disamping itu perlu melakukan refresing kegiatan manajemen Puskesmas. Ke depan Program BOK masih layak dipertahankan, disertai perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaannya.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Puskesmas

Powerpoint 

ANTARA PERATURAN DAN REALITA: SUDAHKAH DITELAAH SEBAGAI RELATIVITAS? STUDI KASUS PROGRAM BIDAN DESA DI TINGKAT KABUPATEN

ANTARA PERATURAN DAN REALITA: SUDAHKAH DITELAAH SEBAGAI RELATIVITAS?
STUDI KASUS PROGRAM BIDAN DESA DI TINGKAT KABUPATEN

Lindawati Wibowo1 dan Markus Puthut Harmiko2

  1. SEAMEO-RECFON. Departemen Ilmu Gizi – Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
  2. World Vision Indonesia


 Latar Belakang

Berdasarkan dua laporan terakhir yang dirilis oleh UNDP (2011) dan Bappenas (2010) terkait status MDGs, Indonesia masih merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi dan masih jauh dari angka target yang diharapkan pada tahun 2015. Akan tetapi Program Bidan Desa (PBD) yang selama ini dijadikan salah satu program unggulan untuk akselerasi pencapaian target MDG no 4 ini pada kenyataannya masih jauh dari optimal dalam implementasinya. Adapun hal yang paling mendasar di dalam program, seperti fasilitas kesehatan beserta bidan desanya, juga masih dipertanyakan aksesibilitasnya sehingga perlu pembuktian secara objektif. Asumsinya adalah jika input utama program masih jauh dari standar dan kebutuhan, maka dapat dikatakan pula bahwa program secara keseluruhan juga belum berjalan secara optimal (berdasarkan konsep esensialitas dalam sebuah sistem kesehatan).
 

 Tujuan

Menelaah kebutuhan bidan dan fasilitas kesehatan sebagai input utama program bidan desa relatif terhadap peraturan yang terkait.
 

 Metode

Penelitian ini merupakan bagian dari studi formatif terkait program bidan desa yang dilakukan secara kolaboratif antara SEAMEO RECFON dan WVI ADP Nias. Studi dilakukan di wilayah layanan WVI yang berlokasi di 3 kecamatan dengan 32 desa di kabupaten Nias. Pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam proses pengumpulan data dari sumber yang berbeda-beda. Wawancara dengan bides (n-24) dilakukan dengan kuesioner terstruktur serta in-depth. Beberapa informan lain seperti kepala desa (n-=7), staff Puskesmas (n=5), dan staff Dinas Kesehatan (n=6) juga diwawancara secara mendalam untuk memperoleh gambaran tentang dukungan manajemen program di tingkat kabupaten ke bawah. Penelitian ini dilakukan atas persetujuan etik dari komite etik Fakultas Kedokteran UI dan ijin dari pemerintah setempat.
 

 Hasil

Mengacu pada faktor-faktor resiko AKI, program seperti desa siaga (Kemenkes, 2006) dan/atau jampersal (Kemenkes, 2011) ternyata belum cukup menjawab permasalahan terkait akses pelayanan kesehatan minimal seperti yang diuraikan dalam Permenkes no. 741/MENKES/PER/VII/2008. Di area studi masih ditemukan adanya keterbatasan infrastruktur yang memadai (contoh: Poskesdes dengan fasilitas minimum), keberadaan bidan di desa (hanya 28%), serta kemampuan bides dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tupoksi (Kemenkes, 2011; Kemenkes & Kemendagri, 2010; Kemenkes, 2008a; Kemenkes, 2008b). Meski hampir semua desa mempunyai bides (30 dari 32 desa), akan tetapi hanya 28% dari bidesnya yang tinggal di desa. Bidan yang tidak menetap di desa, sebagian besar juga jarang atau bahkan tidak pernah datang ke desa. Hasil wawancara mengindikasikan semua bides tidak mengetahui dan/atau mempunyai kapasitas memadai untuk menjalankan tupoksinya secara lengkap dan sesuai standar. Meski pembangunan Poskesdes telah diatur dalam Permen PU no. 45 (2007), akan tetapi masih ditemukan Poskesdes di beberapa desa yang tidak dapat difungsikan karena letaknya yang jauh dari pemukiman dan susah dijangkau, serta tidak dilengkapi dengan fasilitas minimal seperti air dan listrik. Lemahnya sistem monitoring di setiap tingkatan administratif menjadi penyebab sekaligus juga hasil dari kurangnya dukungan manajemen oleh sektor-sektor yang terkait, baik dari sektor kesehatan maupun dari sisi pemda.
 

 Kesimpulan

Secara garis besar, permasalahan yang mendasar sekalipun akan sulit untuk teridentifikasi dan direspon dengan cepat tepat terlepas dari banyaknya peraturan serta juknis yang mengaturnya.
 

 Saran

Hasil studi di kabupaten Nias ini tidak untuk digeneralisir sebagai keadaan yang terjadi di semua kabupaten di Indonesia. Akan tetapi esensi bahwa pendekatan yang cukup sederhana (rapid appraisal atau partial evaluation) dapat digunakan untuk menguji feasibilitas suatu peraturan dalam implementasinya. Sebagai langkah awal, diharapkan adanya proses capacity building untuk stakeholder program di tingkat kabupaten ke bawah untuk mampu melaksanakan evaluasi cepat guna menjawab permasalahan program atau memberikan asupan untuk telaah peraturan-peraturan yang ada.

Kata Kunci : program, bidan desa, aksesibilitas, PERMEN

powerpoint 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BY LAWS) DI RSUD PROF.DR.M.ALI HANAFIAH SM BATUSANGKAR PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BY LAWS)
DI RSUD PROF.DR.M.ALI HANAFIAH SM BATUSANGKAR PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

Indra Darmanto*Dumilah Ayuningtyas**

*Dinkes Tanah Datar Sumatera Barat**FKM UI


 Latar Belakang

Belum terdapatnya bentuk dokumen peraturan sesuai dengan kebijakan Kepmenkes nomor 772 Tahun 2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) dan Permenkes nomor 755 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit di RSUD Prof.dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan belum dilaksanakan secara optimal.
 

 Tujuan

Melakukan kajian Implementasi Kebijakan Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL), dan mengidentifikasi aspek hukum normatif di RSUD Prof.dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar tahun 2013.
 

 Metode

Desain penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif retrospektif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), studi literatur dan telaah dokumen. Wawancara dilakukan pada 11 orang informan kunci yang terkait topik penelitian. Studi literatur diperoleh dari buku bacaan, jurnal, artikel, dan hasil-hasil penelitian dari berbagai media, sedangkan telaah dokumen dilakukan dengan mempelajari dokumen peraturan yang ada.
 

 Hasil

Hasil penelitian menyebutkan bahwa komunikasi kebijakan HBL masih belum konsisten dan tersosialisasikan secara optimal, sumberdaya belum mendukung secara penuh dan komitmen implementasi kebijakan yang masih rendah serta struktur birokrasi yang belum jelas dalam koordinasi pelaksanaan HBL menjadi faktor berpengaruh dalam melaksanakan pembuatan HBL.
 

 Kesimpulan

Implementasi kebijakan HBL di RSUD Prof.dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar Provinsi Sumatera Barat tahun 2013 belum dilaksanakan dengan baik sehingga membutuhkan advokasi kebijakan lebih lanjut.
 

 Saran

Meningkatkan sosialisasi kebijakan HBL, meningkatkan upaya penegakkan hukum (law enforcement), meningkatkan kajian ilmiah dari segi hukum penyelenggaraan rumah sakit dan meningkatkan upaya menumbuhkan komitmen dari para penyelenggara rumah sakit untuk taat aturan hukum, serta melakukan kajian lebih lanjut mengenai Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL) menurut pedoman terkait implementasinya di rumah sakit.

Kata Kunci : Implementasi kebijakan, Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL).

Powerpoint 

INTERVENSI KEBIJAKAN YANG MEMILIKI DAMPAK JANGKA PANJANG TERHADAP RETENSI TENAGA KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL: SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS

INTERVENSI KEBIJAKAN YANG MEMILIKI DAMPAK JANGKA PANJANG
TERHADAP RETENSI TENAGA KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL:
SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS

Ferry Efendi

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya


 Latar Belakang

Salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan kesehatan adalah tersedianya akses terhadap tenaga kesehatan yang kompeten secara merata dan berkeadilan. Jumlah tenaga kesehatan yang tidak mencukupi khususnya di daerah terpencil akan menghambat pemberian layanan kesehatan, pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) dan menjadi tantangan dalam mewujudkan kesetaraan kesehatan. Selama ini pemerintah telah menjalankan program distribusi tenaga kesehatan yang mampu membuat mereka bertahan di daerah terpencil, tetapi program ini berjalan sesuai dengan kontrak yang harus mereka selesaikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya strategis untuk menarik dan mempertahankan tenaga kesehatan didaerah tersebut dalam jangka panjang.
 

 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis berbagai intervensi kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil.
 

 Metode

Tinjauan sistematis dilakukan dari artikel yang diterbitkan di science direct, proquest, pubmed, ebsco, dan google scholar, dengan kata kunci “retensi tenaga kesehatan” dan “daerah terpencil”. Kriteria artikel adalah artikel yang direview oleh mitra bestari dan intervensi yang dilakukan memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi tenaga kesehatan.
 

 Hasil

Didapatkan 10 referensi yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dari 300 referensi hasil pencarian. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kebijakan rekrutmen calon tenaga kesehatan dari daerah terpencil, perbaikan lingkungan kerja serta kejelasan jenjang karir merupakan pilihan kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi. Kesimpulan: Pendidikan adalah langkah awal dalam menciptakan tenaga kesehatan yang kompeten, oleh sebab itu mendapatkan calon tenaga kesehatan yang tepat harus terintegrasi dengan sistem penerimaan mahasiswa baru. Calon tenaga kesehatan yang berasal dari daerah terpencil memiliki preferensi yang lebih tinggi untuk kembali bekerja di daerah asal. Lingkungan kerja yang mendukung pengembangan diri serta jenjang karir yang jelas bagi tenaga kesehatan yang bekerja di daerah terpencil mampu membuat mereka bertahan dalam waktu yang lama.
 

 Saran

Mengingat kompleksnya faktor yang mempengaruhi retensi, intervensi ini bisa dilakukan melalui koordinasi antar kementerian terkait guna memenuhi kebutuhan masyarakat daerah terpencil akan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kata Kunci : retensi, tenaga kesehatan, daerah terpencil

powerpoint 

APLIKASI AGENCY THEORY DALAM INISIATIF INSTITUTION-BASED CONTRACTING OUT DI BERAU, NIAS, DAN NTT

APLIKASI AGENCY THEORY DALAM INISIATIF INSTITUTION-BASED
CONTRACTING OUT DI BERAU, NIAS, DAN NTT

Dwi Handono Sulistyo; Laksono Trisnantoro; Tjahjono Koentjoro

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM


 Latar Belakang

Meskipun institution-based contracting out telah banyak dilakukan di berbagai negara, tetapi kebijakan ini belum menjadi pilihan di Indonesia. Pemerintah masih menggunakan pendekatan individual-based contracting dan team-based contracting sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kelangkaan dan ketidakmerataan tenaga kesehatan khususnya di daerah DTPK meskipun kurang efektif. Dalam situasi ini di 3 daerah di Indonesia dilakukan inovasi institution-based contracting out (dengan pendekatan tim) pelayanan kesehatan tertentu sekaligus untuk mengatasi masalah kelangkaan tenaga kesehatan.
 

 Tujuan

Mendapatkan gambaran aplikasi Agency Theory dalam inisiatif institution-based contracting out (dengan pendekatan tim) yang dilakukan.
 

 Metode

Studi kasus dilakukan di Puskesmas Kelay, Berau (Kalimantan Timur), RSUD Gunungsitoli, Nias (Sumatera Utara), dan 6 RSUD Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan berbagai dokumen sekunder. Data dianalisis secara deskriptip.
 

 Hasil

Aplikasi Agency Theory sebelum kontrak di Berau berhasil dilakukan sehingga masalah adverse selection (provider yang tidak memenuhi persyaratan) bisa dihindari dengan konsekuensi program dibatalkan. Di Nias dan NTT, masalah adverse selection juga berhasil dihindari dengan melakukan upaya “jemput bola” dan pendekatan khusus untuk mendapatkan provider yang tepat; sedangkan masalah moral hazard saat kontrak berjalan dapat dikelola dengan baik. Baik di Nias dan NTT, inisiatif ini berhasil mengatasi kelangkaan tenaga kesehatan tertentu, serta meningkatkan akses dan kualitas pelayanan. Bahkan di NTT, jumlah kematian ibu dan neonatal serta jumlah IUFD berhasil diturunkan.
 

 Kesimpulan

Aplikasi Agency Theory berhasil dilakukan di semua inisiatif institution-based contracting out (dengan pendekatan tim) baik sebelum kontrak maupun saat kontrak dilakukan. Keberhasilan aplikasi teori tersebut dapat menjelaskan mengapa inisiatif di Berau gagal sedangkan di Nias dan NTT berhasil.
 

 Saran

Agency Theory perlu digunakan sebagai landasan teori dalam mengelola inisiatif institution-based contracting out (dengan pendekatan tim). Inisiatif ini akan lebih efektif jika diterapkan dengan pendekatan Performance-Based Contracting.

Kata Kunci: Institution-based Contracting Out; Agency Theory; Performance-Based Contracting; Berau; Nias; NTT

Powerpoint 

STUDI EFEKTIVITAS PENERAPAN KEBIJAKAN PERDA KOTA TENTANG KAWASAN (KTR) DALAM UPAYA MENURUNKAN PEROKOK AKTIF DI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

STUDI EFEKTIVITAS PENERAPAN KEBIJAKAN PERDA KOTA TENTANG KAWASAN (KTR)
DALAM UPAYA MENURUNKAN PEROKOK AKTIF DI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

Nizwardi Azkha

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang


 Latar Belakang

Kawasan yang bebas dari asap rokok merupakan satu-satunya cara efektif dan murah untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok orang lain. di Sumatera Barat telah ada dua kota yang memiliki Perda KTR yaitu Kota Padang Panjang, dan Kota Payakumbuh sedangkan Kota Padang berupa Peraturan Wali Kota, namun dalam kenyataannya belum dapat menurunkan perokok aktif.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kebijakan KTR dalam upaya menurunkan perokok aktif di Sumatera Barat.
 

 Metode

Penelitian ini dilakukan dengan mix method yaitu berupa penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan design explanatory. Pengumpulan data dilakukan di Kota Padang, Kota Padang panjang dan Kota Payakumbuh. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan FGD, data didapatkan melalui telaah dokumen yang terkait pelaksanaan KTR. Analisis data kuantitatif melalui univariat dan kualitatif menggunakan content analysis.
 

 Hasil

Berdasarkan data kuantitatif dapat dilihat bahwa di Sumatera Barat perokok 59%. Di Padang Panjang ada penurunan perokok karena adanya komitmen dari Walikota dan DPR, Tidak ditemukan lagi iklan rokok serta adanya sanksi bagi perokok terutama bagi pegawai yang merokok dikantor atau di sekolah berdasarkan Perda no. 8 Tahun 2009, dana yang tersedia untuk sosialisasi dan pengawasan KTR berjumlah Rp. 24.000.000 dari APBD dan Rp. 75.000.000 dari cukai rokok. Di Kota Payakumbuh juga adanya komitmen dari Walikota dan dukungan dari Dinas Kesehatan berdasarkan Perda KTR No. 15 tahun 2011. Dibentuknya Tim Pengawas KTR dengan dialokasikan dana untuk sosialisasi dan pengawasan sebesar Rp. 341.278.129,-. Kota Padang belum ada perobahan seperti mengenai iklan rokok, sudah ada penentuan lokasi KTR tapi belum terlaksana dengan baik, belum ada sanksi bagi perokok. Peraturan baru berupa Peraturan Walikota (Perwali) KTR sudah ada No. 14 tahun 2011 dengan dana yang disediakan Rp. 85.000.000,-.

Pendapat masyarakat tentang penerapan KTR, sebagian besar (40%) belum mendukung diterapkannya KTR, 51% masyarakat mengatakan KTR cukup efektif untuk mengurangi perkok aktif, responden berpendapat lebih separuh (80%) mengatakan bahwa sebaiknya KTR diterapkan pada kantor pemerintahan. Pendapat responden terhadap perokok ditempat umum lebih separuh (58%) diberikan sanksi. Di Padang Panjang melalui SMS dan telepon dilayani pelapor sehingga Walikota dapat memberikan sanksi, begitu juga di Payakumbuh melalui laporan dan inspeksi mendadak dan bila ketahuan diberikan sanksi oleh walikota sedangkan di Kota Padang masih pada tingkat sosialisasi KTR..

Peranan pemerintah daerah dalam melarang iklan, promosi rokok hanya dapat dilaksanakan pada dua kota yaitu Kota Padang Panjang dan Kota Payakumbuh, faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KTR adalah tergantung dari komitmen Kepala Daerah dan Peran dari Dinas Kesehatan, serta perlu adanya pemberdayaan masyarakat.
 

 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa KTR tanpa adanya komitmen dan dukungan dari semua pihak sulit untuk penerapan KTR ini.
 

 Saran

Untuk itu diharapkan Walikota, DPR dapat menentukan lokasi KTR dengan diterapkannya dan diberlakukan sanksi bagi yang melanggarnya.

Kata Kunci : Efektif – Kebijakan KTR – Penurunan Perokok Aktif

Powerpoint 

PERTEMPURAN PESAN DI RUANG PUBLIK DAN PERLUNYA PEMBATASAN INFORMASI PRODUK ROKOK PADA MASYARAKAT

PERTEMPURAN PESAN DI RUANG PUBLIK DAN PERLUNYA
PEMBATASAN INFORMASI PRODUK ROKOK PADA MASYARAKAT

Alfarabi

Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Bengkulu


 Latar Belakang

Informasi tidak berada pada ruang hampa. Ada kepentingan dibalik pesan yang disampaikan, khususnya pesan yang ditujukan kepada khalayak ramai. Tujuan dari pesan komunikasi sendiri dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan, yaitu perubahan persepsi, perubahan sikap dan perubahan prilaku. Dengan demikian pesan yang diterima itu sebenarnya berkerja dalam mempengaruhi otak manusia. Kondisi tersebut betul-betul dipahami oleh perusahaan dalam memasarkan produk mereka, termasuk didalamnya adalah rokok. Alih-alih menangkal pesan dari bidang kesehatan yang memberi label buruk, perusahaan rokok justru menunjukan citra lain untuk ditangkap oleh masyarakat umum. Ditenggarai strategi perusahaan rokok ini membimbing masyarakat untuk menjadi konsumen dan setia terhadap produk yang ditawarkan. Di sisi lain kelompok yang kontra terhadap rokok juga tidak tinggal diam dan terus gencar menginformasikan bahaya rokok pada masyarakat. Sehingga pada saat yang hampir bersamaan masyarakat menerima pesan dari dua sudut pandang yang berbeda. Kedua pesan tersebut berkepentingan untuk mempengaruhi masyarakat.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan membandingkan pesan yang disampaikan oleh perusahaan rokok dengan pesan yang disampaikan oleh kelompok kesehatan. Kedua pesan dari dua sudut pandang itu juga digunakan untuk melihat sejauh mana pesan tersebut diterima dan mempengaruhi masyarakat, khususnya remaja.
 

 Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana wawancara mendalam dan observasi menjadi tehnik pengumpulan data. Pendekatan kualitatif menghasilkan data secara mendalam karena berada dalam kondisi natural setting dengan tehnik analisis data yang bersifat sirkuler.
 

 Hasil

Hasil penelitian menemukan bahwa faktor kedekatan menjadi kunci dalam penyampaian pesan. Realitas dan pesan yang diterima difilterisasi dan dipilih sesuai dengan apa yang paling dianggap rasional. Pesan dalam iklan produk rokok dianggap lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, baik budaya ataupun lingkungan sosial. Selain itu frekuensi pesan iklan rokok di ruang public jauh lebih tinggi menerpa masyarakat dibandingkan informasi kesehatan. Terpaan pesan yang tinggi diakui informan mampu merekam pesan iklan rokok dalam memori mereka. Sementara itu pesan kesehatan masih terkendala dengan brand mewah. Kesehatan juga diidentikan dengan biaya, pendidikan tinggi dan ekonomi kuat. Hal inilah yang menghambat pesan-pesan kesehatan diterima dengan baik oleh masyarakat khususnya remaja. selain itu tidak bisa dipungkiri bahwa pesan-pesan produk rokok lebih kreatif dalam mempersuasi masyarakat dibandingkan pesan kesehatan.
 

 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Pertempuran pesan perusahaan rokok dengan kelompok kesehatan terjadi di ruang publik dengan target sasaran yang sama yaitu masyarakat, khususnya remaja.
  2. Terpaan pesan perusahaan rokok di ruang public lebih tinggi jika dibanding pesan yang dikeluarkan kelompok kesehatan. Tingginya terpaan pesan ternyata berpengaruh kepada rekaman pesan pada memori remaja.
  3. Pesan dari perusahaan rokok lebih mudah diterima karena dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan pesan dari kelompok kesehatan dipahami secara berbeda karena brand kesehatan lebih dekat dengan pendidikan tinggi, biaya mahal, dan ekonomi kuat.
  4. Pesan perusahaan rokok lebih mudah diingat oleh remaja dibandingkan dengan pesan dari kelompok kesehatan. Kondisi ini muncul karena pesan perusahaan rokok dianggap lebih kreatif dalam mempersuasi remaja.

 Saran

Berdasarkan hasil kajian lapangan maka diperlukan strategi komunikasi ke dalam dan keluar bagi kelompok kesehatan.

  1. Ke luar : Pentingnya mendorong pemangku kebijakan untuk membatasi pesan-pesan perusahaan rokok di ruang publik.
  2. Ke dalam : Dibutuhkan kajian secara mendalam untuk membuat pesan kesehatan yang kreatif dan menarik serta dekat dengan kehidupan remaja.

Kata Kunci : pesan, iklan, rokok, brand, terpaan

Powerpoint 

TINGKAT PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN MASYARAKAT DIY TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK

TINGKAT PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN MASYARAKAT DIY
TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK

Didik Joko Nugroho & Tutik Istiyani

Center for Bioethics and Medical Humanities, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada


 Latar Belakang

Upaya perlindungan terhadap paparan asap rokok sudah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, masalah bahaya asap rokok ini sudah diatur oleh Pemerintah DIY, dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang salah satu pasalnya mengamanatkan Kawasan Dilarang Merokok. Berdasarkan amanat Pasal tersebut, maka ditetapkanlah Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Studi ini ingin melihat sejauhmana pengetahuan dan tingkat kepatuhan masyarakat DIY terhadap Pergub nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tingkat pengetahuan dan kepatuhan masyarakat DIY terhadap Pergub Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok di wilayah Provinsi DIY

 

 Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan mixed methodology, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Total responden yang diambil adalah 1032 responden (Puskesmas, terminal, stasiun KA, arena bermain anak, dan tempat ibadah). Sedangkan untuk indepth interview sebanyak 14 informan dan 4 kelompok FGD.
 

 Hasil

Sebagian besar responden manyatakan bahwa sudah mengetahui apabila di DIY ada peraturan tentang larangan merokok tetapi tidak tahu jenis peraturannya. Tingkat pengetahuan responden tentang Pergub ini sangat beragam, ada yang tahu secara detail, ada yang hanya mengetahui substansinya saja, dan ada juga yang tidak tahu sama sekali. Untuk tingkat kepatuhan masyarakat ternyata masih ditemui perokok di 7 kawasan yang dinyatakan sebagai Kawasan Dilarang Merokok. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa Pergub ini belum dipatuhi oleh masyarakat DIY.

 Kesimpulan

Masyarakat DIY belum begitu tahu tentang Pergub nomor 42 Tahun 2009 yang mengatur Kawasan Dilarang Merokok. Berdasarkan data juga dapat dinyatakan bahwa kawasan dilarang merokok yang mencakup 7 kawasan belum dipatuhi oleh masyarakat DIY. Masih ada perokok yang merokok di Kawasan Dilarang Merokok.
 

 Saran

Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang peraturan ini maka diperlukan adanya sosialisasi yang lebih gencar disemua kalangan masyarakat. Sosialisasi diharapkan juga dilakukan sejak dini melalui pendidikan anak usia dini (PAUD) sehingga dapat menimbulkan kesadaran sejak awal. Selain itu diperlukan adanya peraturan yang lebih tegas untuk mengatur perilaku merokok masyarakat DIY. Hal ini karena Pergub nomor 42 Tahun 2009 tidak memuat sanksi yang tegas.

Kata Kunci : Tingkat pengetahuan, kepatuhan, peraturan gubernur, kawasan dilarang merokok

Powerpoint 

KAJIAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT TIDAK MENULAR (HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS) DI KABUPATEN TANA TORAJA TAHUN 2011

KAJIAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT TIDAK MENULAR
(HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS) DI KABUPATEN TANA TORAJA TAHUN 2011

Rini Anggraeni, Yohana P.

Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Kelas I Makassar


 Latar Belakang

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular (PTM) yang mendapat perhatian dari semua kalangan masyarakat. Hipertensi adalah penyebab kematian 7,1 juta orang di dunia karena hipertensi merupakan risiko utama penyakit stroke, gagal jantung dan ginjal. Kasus diabetes mellitus dari hasil SKRT tahun 2003 oleh Badan Pusat Statistik sebesar 14,7% di perkotaan dan 7,2% di pedesaan. Dengan demikian diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius di masa mendatang dan perlu penanganan yang lebih komprehensif dan multidisiplin. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan gaya hidup masyarakat akibat urbanisasi, modernisasi dan globalisasi.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari faktor risiko hipertensi dan Diabetes Mellitus di Kab. Tana Toraja berdasarkan umur, jenis kelamin, obesitas, riwayat keluarga, pola makan/diet, dan konsumsi alcohol pada Pegawai Negeri Sipil di Kab. Tana Toraja.
 

 Metode

Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan sampel pegawai Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling dan diperoleh 100 sampel. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program SPSS for window.
 

 Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pemeriksaan tekanan darah, diperoleh 72% responden dikategorikan normal, 11% prehipertensi, 12% hipertensi tingkat I dan 5% hipertensi tingkat II. Responden yang masuk kategori hipertensi sebanyak 17 orang (17%), dimana ditemukan 70,59% berumur > 40 tahun, 58,82% adalah laki-laki, 58,82% obesitas, 52,94% responden tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga, 70,59% tidak menyukai makanan asin, dan 76,47% tidak mempunyai kebiasaan mengonsumsi alkohol. Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar Gula Darah Sewaktu (GDS), diperoleh bahwa 56% responden bukan DM, 42% belum tentu DM dan hanya 2% menderita DM. Responden yang masuk kategori diabetes mellitus sebanyak 2 orang (2%), dimana ditemukan 50% berumur <40 tahun ( > 40 tahun), 50% adalah laki-laki, 100% tidak obesitas, 100% responden tidak mempunyai riwayat DM dalam keluarga, 50% tidak menyukai makanan manis, dan 50% tidak mempunyai kebiasaan mengonsumsi alkohol.
 

 Kesimpulan

Variabel yang tinggi pada penderita hipertensi dan DM adalah umur dan obesitas untuk hipertensi dan untuk Dm hanya pada variable umur.
 

 Saran

Melakukanscreening dalam usaha pengendalian factor risiko terhadap penyakit hipertensi dan DM, perlunya pencegahan terjadinya penyakit hipertensi dan DM sedini mungkin terutama pada masyarakat yang memiliki faktor risiko untuk terjadinya penyakit tersebut, Perlunya kebijakan untuk lebih menggalakkan program promosi kesehatan mengenai faktor-faktor risiko dari kejadian hipertensi dan DM mengingat angka kejadian penyakit tidak menular semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Kata Kunci : Faktor risiko PTM, hipertensi dan diabetes mellitus

Powerpoint