PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS PADAT SEBAGAI BENTUK TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT DALAM PERLINDUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN PADA RSUD. PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG.

PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS PADAT SEBAGAI BENTUK TANGGUNG JAWAB
RUMAH SAKIT DALAM PERLINDUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PADA RSUD. PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG.

Appolonaris Tomas Berkanis

RSUD Prof. Dr. Z. Johannes Kupang


 Latar Belakang

Penyelenggaraan rumah sakit merupakan salah satu bentuk pembangunan di bidang kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit. Rumah sakit dikenal dengan trias padat (tenaga, modal dan masalah). Penelitan Depkes RI, (2006) baru 26,43% rumah sakit di Indonesia telah melaksanakan manajemen pengelolaan limbah padat medis dengan baik.Pantauan koran Timor Expres tanggal 16 Juli 2009 menggambarkan pengelolaan limbah rumah sakit di Kota Kupang masih jauh dari yang diharapkan.
 

 Tujuan

Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan Pengelolaan Limbah Medis Padat Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Rumah Sakit dalam Perlindungan Kesehatan Lingkungan Pada RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
 

 Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis dengan spesifikasi deskriptif analitis.
 

 Hasil

Pelaksanaan pengelolaan limbah medis sudah sesuai dengan Perda Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup dan Pergub Nusa Tenggara Timur Nomor : 04 Tahun 2010 tentang Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Hambatan dalam pelaksanaan pengelolaan limbah adalah belum ada regulasi khusus tentang pengelolaan limbah rumah sakit; petugas belum maksimal melakukan pemilahan limbah medis; perlindungan kepada petugas kebersihan belum maksimal khususnya kelengkapan kerja; penyediaan kantong plastik limbah masih kurang; dan pengangkutan limbah ke TPA menggunakan truk sampah yang terbuka, memungkinan limbah rumah sakit bisa tercecer di jalan.
 

 Kesimpulan dan Saran

Perlu segera menyusun Perda atau Pergub tentang pegelolaan limbah rumah sakit, Manajemen RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang perlu memberikan reward dan sanksi bagi petugas serta ruangan yang memproduksi limbah khususnya limbah medis.

Kata Kunci : Limbah Medis Padat, Tanggung Jawab Rumah Sakit, Kesehatan Lingkungan.

powerpoint 

FAKTOR-FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN OBESITAS PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI INDONESIA: STUDI KASUS DARI INDONESIA FAMILY LIFE SURVEY (IFLS)

FAKTOR-FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN OBESITAS PADA LAKI-LAKI
DAN PEREMPUAN DI INDONESIA:
STUDI KASUS DARI INDONESIA FAMILY LIFE SURVEY (IFLS)

Nursuci Arnashanti1, Edy Purwanto1, Jeffrey A. Sine2,

Asal peneliti: SurveyMETER, Yogyakarta
                       2RTI International, Jakarta


 Latar Belakang

Berdasarkan temuan beberapa penelitian yang dilakukan, peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Biasanya, peningkatan obesitas diikuti dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes mellitus, dan hipertensi yang beresiko kematian.
 

 Tujuan

Dengan latar belakang tersebut, kami melakukan studi analisis dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan obesitas pada laki-laki dan perempuan. Dengan analisis ini diharapkan dapat ditemukan metode-metode dan solusi untuk mengurangi faktor-faktor resiko terjadinya obesitas.
 

 Metode

Analisis studi ini menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2007. Responden dalam analisis ini berumur 15 tahun keatas berjumlah 29.183 terdiri dari 13.812 laki-laki dan 15.371 perempuan. Sebagai variabel dependent utama untuk mengukur obesitas adalah berat badan, tinggi badan dan lingkar pinggang. Untuk variabel independent digunakan karakteristik individu seperti umur, status perkawinan, pendapatan, pendidikan, suku, status kota-desa dan pola hidup responden seperti kebiasaan makan, merokok, kebahagiaan dan stress. Selanjutnya, untuk mengetahui ukuran risiko atau kecenderungan mengalami obesitas digunakan metode analisis regresi logistik.
 

 Hasil

Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik individu dan pola hidup diatas, resiko tinggi obesitas terjadi pada beberapa kelompok responden, yaitu umur 30-54 tahun, perempuan menikah, tinggal di wilayah perkotaan, Suku Batak, perempuan Suku Betawi, berpendapatan tinggi, perempuan dengan pendidikan sampai SD, laki-laki dengan pendidikan jenjang SMP keatas, pengonsumsi makanan berkualitas rendah, pekerja dengan aktivitas sedikit, dan perempuan yang merasa bahagia. Sedangkan resiko rendah obesitas terjadi pada perempuan bermigrasi, pengonsumsi makanan berkualitas tinggi, dan perokok aktif.
 

 Kesimpulan

Peningkatan pendidikan pada responden laki-laki yang dibarengi dengan peningkatan prevalensi obesitas menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang tidak menjamin pengetahuan serta perilaku orang tersebut akan gizi dan kesehatan juga baik. Hal ini berlaku juga bagi yang berpenghasilan tinggi (quantil 5). Peningkatan konsumsi makanan berkualitas rendah juga akan meningkatkan resiko obesitas dengan signifikan. Berbeda dengan mengkonsumsi makanan berkualitas tinggi, adanya peningkatan konsumsi tidak menimbulkan perbedaan signifikan terhadap resiko obesitas. Penurunan resiko obesitas secara signifikan terjadi pada responden yang mempunyai aktifitas fisik dalam pekerjaan.
 

 Saran

Dengan melihat hasil analisis tersebut, rekomendasi yang dapat kami sampaikan antara lain, pertama, menciptakan program untuk mengurangi resiko obesitas dikalangan usia 30-54 tahun seperti aktifitas fisik di kantor-kantor maupun di lingkungan masyarakat. Kedua, di wilayah perkotaan perlu dibangun lebih banyak fasilitas untuk berjalan kaki sehingga merangsang warga kota untuk lebih banyak bergerak. Ketiga, perlu adanya pendidikan pola hidup sehat di kalangan institusi pendidikan termasuk di dalamnya Suku Batak. Keempat, pihak berwenang seperti dinas perdagangan dapat mendorong pihak retail seperti supermarket ataupun minimarket untuk lebih mempromosikan makanan berkualitas tinggi misalnya dengan memajang buah, salad, atau yogurt di etalase dekat kasir dibanding memajang junk food sejenis permen atau cokelat.

Kata Kunci Faktor Resiko, Obesitas, IFLS, OLS

Data Peneliti Utama / Presenter : Nur Suci Arnashanti
Alamat email                            : [email protected]
Telepon                                   : (0274)4477464, 08156888476

 

Powerpoint 

Desentralisasi dan Pengambilan Keputusan Kebijakan Peningkatan Gizi Balita: Studi Kasus Kota Depok dan Kota Bogor

Desentralisasi dan Pengambilan Keputusan Kebijakan Peningkatan Gizi Balita:
Studi Kasus Kota Depok dan Kota Bogor

Candra Dewi Purnamasari, Dumilah Ayuningtyas, Riastuti Kusumawardhani

Universitas Indonesia


 Latar Belakang

Desentralisasi dalam sistem kesehatan dapat dikatakan berhasil bila mencapai tujuan yang diharapkan yaitu mewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintah lokal dan kemampuan pemerintah daerah merespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk dalam bidang pelayanan kesehatan. Selama perjalanan desentralisasi di Indonesia bisa dikatakan bahwa tujuan desentralisasi belum tercapai. Heywood dan Choi (2010) dalam studinya menemukan bahwa secara umum hanya terjadi sedikit peningkatan kinerja sistem kesehatan pasca desentralisasi.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan menggambarkan kisaran decision space, kapasitas institusi dan akuntabilitas dalam program Peningkatan gizi Balita di Kota Depok dan Kota Bogor Propinsi jawa Barat
 

 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pemahaman secara mendalam mengenai pengambilan keputusan pada penyusunan kebijakan kesehatan pada era desentralisasi akan ditelusuri dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview).
 

 Hasil

Terdapat peningkatan kisaran Decision space, kapasitas institusional dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan kebijakan Peningkatan Gizi Balita di Kota Bogor setelah desentralisasi. Proses pengambilan keputusan Kebijakan Kota Depok menggunakan decision space yang lebih besar dan memiliki akuntabilitas yang lebih besar yang dilihat dari peran kepala daerah dan masyarakat dan non state actor(universitas, LSM) mendorong keberhasilan Kota Depok menghapus kasus gizi Buruk. Sementara itu Kota Bogor menjadi salah satu daerah rawan Gizi buruk karena proses pengambilan keputusan kebijakan yang tidak tepat sasaran yang disebabkan karena rendahnya decision space yang dimanfaatkan dan rendahnya akuntabilitas pengambilan kebijakan. Kota Depok dan Kota Bogor mengharapkan Decision space dalam bidang sumberdaya manusia dan pembiayaan yang lebih besar.
 

 Kesimpulan

Desentralisasi memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan kebijakan. Namun diskresi yang diberikan seringkali tidak ditunjang oleh sumberdaya yang dialokasikan. Kapasitas Pemerintah daerah yang rendah dalam menyusun kebijakan dan mengimplementasikannya, rendahnya tata kelola dan rendahnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan menyebabkan kebijakan yang tidak tepat. local democratic structure dan civil society dalam pengambilan keputusan akan menghasilkan pelayanan yang disampaikan kepada masyarakat menjadi lebih responsive terhadap kebutuhan kesehatan di daerah dan mengurangi risiko penyalahgunaan kewenangan oleh sekelompok elit

Kata Kunci: Desentralisasi, Decision Space, Akuntabilitas, Kapasitas Institusi

powerpoint 

MANFAAT PROGRAM PRO IBU DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GIZI KELUARGA DI KECAMATAN PONDOK MELATI KOTA BEKASI TAHUN 2013

MANFAAT PROGRAM PRO IBU DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GIZI KELUARGA
DI KECAMATAN PONDOK MELATI KOTA BEKASI TAHUN 2013

Siti Masyitah

Universitas Respati Indonesia Jakarta


 Latar Belakang

Keterpurukan ekonomi yang ditandai dengan adanya ketidak mampuan mengelola sumber daya ekonomi dan atau rendahnya akses kontrol masyarakat terhadap sumber–sumber keuangan/permodalan niscaya berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan, kesehatan dan gizi serta mutu perumahan atau lingkungan. Lembaga keuangan mikro sebagai salah satu lembaga yang telah diakui memiliki metode yang efektif untuk menjangkau dan membuka akses permodalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah secara massif tetapi aman. Program ini dinamakan Pro IBU (Program Indonesia Berdaya Ukhuwah ) yaitu sebuah program pemberdayaan ekonomi keluarga miskin di daerah perkotaan dengan pola pendekatan berbasis kelompok atau komunitas.
 

 Tujuan

Mengetahui manfaat program Pro Ibu terhadap peningkatan kualitas gizi keluarga
 

 Metode

Rancangan penelitian ini menggunakan desain cross sectional, yang dilakukan setelah program berjalan selama 6 bulan pada tahun 2013. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memenuhi kriteria keluarga miskin dan menjadi peserta program Pro Ibu yang tinggal di wilayah Kecamatan Pondok Melati Kota Bekasi yaitu sebanyak 298 orang yang terbagi dalam 25 himpunan. Dengan metode purposif memilih didapatkan 5 himpunan, masing-masing 25 orang/himpunan sehingga total sampel dibutuhkan 125 orang. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.
 

 Hasil

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara program Pro Ibu dengan peningkatan kualitas gizi keluarga. Terdapat peningkatan kualitas gizi keluarga dari sebelum mengikuti program pro Ibu hanya 30,9% responden, dibandingkan setelah mengikuti program pro Ibu menjadi 59,3%, dengan perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah ikut Pro Ibu 0,285 dengan standar deviasi 0,538 dan nilai p = 0,000. Selisih peningkatan kualitas gizi keluarga cukup signufikan yaitu sebesar 28,4%, artinya program Pro Ibu dapat meningkatkan kualitas gizi keluarga sebesar 28,4%.
 

 Kesimpulan

Ada hubungan antara Program Pro Ibu dengan peningkatan kualitas gizi keluarga dimana Pro Ibu dapat meningkatkan kualitas gizi keluarga sebesar 28,4%.
 

 Saran

Pro Ibu diharapkan dapat terus berjalan dengan jangkauan wilayah yang lebih luas.

Kata kunci: keluarga miskin perkotaan, Pro Ibu, kualitas gizi keluarga.

Powerpoint 

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH

Rezqi Handayani1, Sulanto Saleh Danu2, Rustamadji2,Nunung Priyatni2

  1. PascaSarjana Program Degrre Kesehatan Masyarakat, Minat Manajemen Kebijakan Obat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.
  2. Program Kesehatan Masyarakat, Minat Manajemen Kebijakan Obat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.

 


 Latar Belakang:

Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah yang cukup serius dalam pelayanan kesehatan karena dampaknya yang sangat luas. Penggunaan obat yang tidak rasional tidak hanya ditemukan pada pasien dewasa tetapi juga sering ditemukan pada pasien anak. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di 5 Rumah sakit di Eropa dari 624 pasien anak dengan jumlah resep 2262, 1036 resep atau 46% diketahui terjadi penggunaan obat yang tidak rasional. Rumah sakit umum daerah dr. Doris Sylvanus merupakan rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan salah satu spesialisasi pelayanan kesehatan adalah klinik anak yang dibagi menjadi dua poli yaitu poli anak dan tumbuh kembang anak. Penelitian untuk mengetahui dampak penggunaan obat yang tidak rasional pada anak masih sedikit dilakukan, oleh karena itu mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi penggunaan obat pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Doris Sylvanus.

 

 Tujuan

Mengetahui gambaran penggunaan obat pasien anak rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Doris Sylvanus dengan menggunakan Indikator WHO 1993.
 

 Metode

Penelitian dengan rancangan case study. Metode pengumpulan data yaitu observasi dokumen, serta didukung dengan wawancara mendalam.
 

 Hasil

Gambaran penggunaan obat di poli anak RSUD dr.Dorys Sylvanus adalah rata-rata item obat perlembar resep pasien umum adalah 3,2 dan pasien JAMKESMAS 2,5. Persentase persepan obat generik pasien umum sebesar 31,5% sedangkan untuk pasien JAMKESMAS sebesar 90,5%. Persentase peresepan antibiotik untuk pasien umum diperoleh hasil yaitu 18,3% sedangkan untuk pasien JAMKESMAS sebesar 33,1%. Rata-rata waktu dispensing obat adalah 10 menit. Persentase obat yang diserahkan kepada pasien sebesar 95,6%. Persentase ketepatan pemberian label obat sebesar 100%. Ketersediaan obat esensial anak sebesar 60%. Rata-rata harga obat tiap lembar resep untuk pasien umum adalah sebesar Rp.98.437.,
 

 Kesimpulan

Penggunaan obat di RSUD dr. Doris Sylvanus belum dapat dikatakan rasional baik pada pasien umum maupun pasien JAMKESMAS, hal ini terlihat pada hasil yang didapat untuk persentase peresepan generik, kesesuaian dengan DOEN masih berada dibawah standar yang ada, serta masih tingginya nilai persentase peresepan antibiotik. Selain itu untuk ketersediaan obat-obat esensial untuk anak masih cukup rendah sehingga hal ini dapat menganggu akses terhadap obat yang dibutuhkan.
 

 Saran

Perlu dilakukan pelatihan dan sosilisasi penggunaan obat generik dan peresepan sesuai DOEN melalui seminar atau diskusi kelompok kecil kepada prescriber serta dispenser dan dilakukannya evaluasi setiap akhir kegiatan untuk meningkatkan peresepan obat generik dan kesesuaian obat dengan DOEN. Serta perlu adanya pembuatan buku saku formularium anak untuk memudahkan prescriber dalam melakukan peresepan obat.

Kata Kunci :

powerpoint 

KEBIJAKAN SISTEM MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (SMK3) DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

KEBIJAKAN SISTEM MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
(SMK3) DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

Krispinus Duma

Lab. IKM Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarma, Samarinda


 Latar Belakang

Kebijakan pemerintah melalui PP RI No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam berbagai aspek termasuk kesehatan. Kebijakan Sistem Manajemen kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) perlu kesiapan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk menghadapi pemberlakuan SJSN 2014 dan arus globalisasi pasar bebas dunia pada tahun 2020. Kebijakan SMK3 di tingkat pusat yang berlaku umum di Indonesia dapat dilihat dari adanya PP RI No 50 tahun 2012, perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi di daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Gubernur. Propinsi Kalimantan Timur merupakan daerah yang memiliki perusahaan-perusahaan bertaraf internasional, nasional dan lokal perlu kesiapan kebijakan SMK3 sesuai peraturan pusat dan menuntun perkembangan kebijakan SMK3 di tingkat kabupaten/kota seKalimantan Timur.
 

 Tujuan

Penelitian untuk mengetahui kebijakan SMK3 Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur di era otonomisasi daerah dalam menyongsong pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2014 dan globalisasi pasar bebas 2020.
 

 Metode

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode pendekatan triangulasi yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber-sumber di institusi legislatif, eksekutif maupun instansi pelaksana kebijakan sistem kesehatan dan SMK3.
 

 Hasil

Beberapa Kebijakan keputusan gubernur yang berhubungan dengan kesehatan, namun hanya yang berkaitan retribusi pendapatan dan belanja daerah di bidang kesehatan. Penerapan Kebijakan SMK3 oleh Instansi Dinas Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja atau instansi lainnya di Propinsi Kaltim masih berpedoman pada undang-undang dan peraturan pusat. Kebijakan kesehatan baru dimulai melalui Perda 20 tahun 2008 tentang sistem kesehatan propinsi Kaltim, namun belum menyentuh SMK3. Sampai saat ini belum ada Perda atau Keputusan Gubernur Kaltim yang berkaitan dengan kebijakan SMK3.
 

 Kesimpulan

Kebijakan SMK3 dalam bentuk perda atau keputusan gubernur belum tersedia secara khusus di Propinsi Kaltim dalam menghadapi pemberlakuan SJSN 2014 dan arus globalisasi pasar bebas 2020.
 

 Saran

Diperlukan komitmen serius dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di Propinsi Kaltim untuk mewujudkan kebijakan SMK3 yang lebih konkrit dan nyata dalam bentuk perda atau Keputusan Gubernur.

Kata Kunci : Kebijakan, SMK3, Perda.

Powerpoint 

EFEKTIFITAS PENERAPAN MODEL COMMUNITY MENTAL HEALTH NURSING TERHADAP KEMAMPUAN HIDUP PASIEN GANGGUAN JIWA DAN KELUARGANYA DI WILAYAH DKI JAKARTA

EFEKTIFITAS PENERAPAN MODEL COMMUNITY MENTAL HEALTH NURSING
TERHADAP KEMAMPUAN HIDUP PASIEN GANGGUAN JIWA
DAN KELUARGANYA DI WILAYAH DKI JAKARTA

Budi Anna Keliat1, Made Riasmini2, Novy Helena, C.D.3

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia


 Latar Belakang

Hasil riset kesehatan dasar nasional (2007), menggambarkan prevalensi gangguan jiwa berat lebih tinggi dari angka dunia. DKI Jakarta mempunyai prevalensi tertinggi untuk gangguan jiwa berat (2.03%) dan belum mendapat penanganan (treatment gap), karena tidak ada pelayanan kesehatan jiwa yang diberikan di puskesmas
 

 Tujuan

Memperoleh gambaran tentang efektifitas penerapan model community mental health nursing (CMHN) dalam meningkatkan kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta.
 

 Metode

Desain penelitian menggunakan “Quasi experimental pre-post test with control group” dengan intervensi CMHN. Sampel penelitian menggunakan total sampling yaitu keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa di 22 puskesmas wilayah DKI Jakarta. Jumlah sampel sampai akhir penelitian sebanyak 98 responden kelompok intervensi dan 95 responden kelompok kontrol.Analisis data menggunakan uji statistik independent t-test, uji Anova, uji korelasi Pearson, uji chi-square dan paired t-test
 

 Hasil

Hasil penelitian diperoleh kemampuan hidup (kemandirian dan waktu produktif) pasien meningkat secara bermakna setelah penerapan model CMHN, serta berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup pasien. Kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga meningkat secara bermakna , beban keluarga dalam merawat pasien menurun secara bermakna pada kelompok intervensi, serta kemampuan psikomotor berhubungan secara bermakna dengan kepuasan keluarga merawat pasien (p-value≤0.05).
 

 Kesimpulan

Penerapan model community mental health nursing (CMHN) dengan 12 kali kunjungan rumah meningkatkan kemampuan hidup (kemandirian dan waktu produktif) pasien gangguan jiwa dan kemampuan keluarganya merawat pasien di wilayah DKI Jakarta.
 

 Saran

Penerapan CMHN di pelayanan primer (Puskesmas) sehingga pasien gangguan jiwa mendapatkan pelayanan yang memungkinkan mereka mandiri dan produktif.

Kata Kunci : CMHN, Pasien, Keluarga, Kemampuan hidup pasien, Kemampuan merawat keluarga

Powerpoint  

KEBIJAKAN KESEHATAN JIWA PASKA BENCANA: TERAPI PEMERDAYAAN DIRI SECARA KELOMPOK SEBAGAI SEBUAH ALTERNATIF

KEBIJAKAN KESEHATAN JIWA PASKA BENCANA:
TERAPI PEMERDAYAAN DIRI SECARA KELOMPOK SEBAGAI SEBUAH ALTERNATIF

Ni Wayan Suriastini1, Bondan Sikoki1, Nur Suci Arnashanti1

1 SurveyMETER


 Latar Belakang

Di Saat bencana, masyarakat tidak hanya mengalami kerusakan fisik tetapi juga mengalami penurunan kondisi mental dan emosional. Upaya pemulihan setelah bencana sering memberikan perhatian lebih untuk pemulihan kerusakan fisik dan perhatian yang rendah diberikan pada upaya pemulihan keadaan mental dan emosional. Paska erupsi Gunung Merapi 2010 banyak organisasi non pemerintah yang terlibat pada program pemulihan awal. Salah satu organisasi tersebut adalah Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) yang melakukan program pemulihan stres dan trauma (PPSTK) secara intensif di sebuah dusun yang terletak hanya 7 km dari puncak Merapi. Program Terapi Pemberdayaan Diri ini dilakukan selama 10 minggu, dengan 5 kali sesi terapi kelompok, setiap dua minggu.
 

 Tujuan

Memaparkan pengaruh program pemulihan kesehatan mental dengan metode terapi kelompok pada masyarakat di daerah yang mendapatkan program dengan membandingkan perubahan sebelum dan setelah program, dengan keadaan masyarakat di daerah kontrol.
 

 Metode

Data individu responden dikumpulkan sebelum program pemulihan dilakukan pada bulan Desember 2010 sebagai data dasar dan responden yang sama diwawancarai kembali setelah program pemulihan selesai dilakukan pada Bulan Maret 2011. Status kesehatan mental diamati melalui check list PSTD dan skala Depresi dari Pusat Studi Epidemiologis (CES-D). Analisis menggunakan pendekatan difference and difference.
 

 Hasil

Pada kedua daerah baik yang mendapatkan program pemulihan stres dan trauma maupun yang tidak, expose masyarakat terhadap stressor sangat tinggi, lebih dari 90 persen masyarakat melaporkan bahwa mereka mendengar gemuruh suara erupsi, merasakan hujan pasir, hujan abu dan bau belerang selama erupsi Merapi. Sekitar 76% masyarakat di daerah yang mendapatkan program pemulihan trauma dan stres PPSTK menyatakan berpartisipasi dalam program, 65% diantaranya melaporkan mempraktekkan latihan rata-rata dua kali. Analisis difference and difference antara data masyarakat yang mendapatkan program dan masyarakat di daerah kontrol menunjukkan bahwa program trauma healing PPSTK yang diberikan dengan terapi pemerdayaan diri kelompok secara signifikan mengurangi 11 dari 17 gejala PSTD, yang mencapai 7% -19% pengurangan. Program ini memiliki pengaruh yang baik pada peningkatan kepercayaan diri termasuk: merasa sama baiknya dengan orang lain (28%) dan penuh harapan tentang masa depan (15%).
 

 Kesimpulan

Terapi Kelompok Pemberdayaan diri berpengaruh positif pada pemulihan kesehatan mental paska erupsi Merapi 2010. Manfaat dari program ini tidak hanya dalam mengurangi gangguan pasca trauma dan mengelola stres, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui peningkatan rasa percaya diri.
 

 Saran

Sebagai terapi kelompok, Teknik Pemberdayaan Diri memiliki peluang lebih besar untuk melayani korban bencana terkait dengan trauma. Indonesia merupakan wilayah rawan bencana, sehingga teknik ini dapat digunakan secara luas untuk memenuhi kebutuhan akan respon terhadap trauma mental pasca bencana di Indonesia.

Kata Kunci : PTSD, Merapi, Kesehatan Jiwa, Terapi Kelompok

Powerpoint 

PENILAIAN KEPATUHAN TERHADAP STANDAR KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK PELAYANAN KESEHATAN LANSIA DI YOGYAKARTA: PUSKESMAS SANTUN LANJUT USIA

PENILAIAN KEPATUHAN TERHADAP STANDAR KEBIJAKAN NASIONAL
UNTUK PELAYANAN KESEHATAN LANSIA DI YOGYAKARTA:
PUSKESMAS SANTUN LANJUT USIA

Sunar Indriati*, Dwi Oktarina*, Kawandiyono Santoso*,
Bondan S. Sikoki*, Jeffrey J. Sine**

SurveyMETER*; RTI International**


 Latar Belakang

Sensus penduduk tahun 2010 melaporkan jumlah lanjut usia mencapai 7,6% dari total populasi. Angka ini akan meningkat menjadi 13,9% pada 2030. Hal ini berdampak penting pada sistem karena lansia mengalami beban penyakit tidak menular yang tinggi yang membutuhkan perawatan yang mahal. Untuk meningkatkan pelayanan kepada lansia, Pemerintah mencanangkan kebijakan Puskesmas Santun Lanjut Usia, sebuah standar untuk puskesmas.
 

 Tujuan

Penelitian ini mendokumentasikan kinerja puskesmas terhadap standar tersebut di Provinsi D.I.Y.
 

 Metode

Kami merancang instrumen survei untuk menilai kinerja puskesmas menggunakan 5 dimensi dalam standar kebijakan: kualitas pelayanan; kemudahan pelayanan; pendidikan lansia; keringanan biaya; penjangkauan. Kami juga menambah dukungan lingkungan untuk mengukur dukungan kebijakan pemerintah daerah. Kami mewawancarai staf manajemen dan klinis puskesmas di 121 puskesmas di DIY. Kami membuat skor pembobotan untuk setiap dimensi, membandingkan rata-rata keseluruhan dan skor tiap dimensi untuk semua kabupaten/kota, dan puskesmas dengan program dan tanpa program.
 

 Hasil

52% puskesmas melaksanakan program pelayanan lansia. Skor rata-rata untuk semua puskesmas adalah 56,5 dari 100 poin. Kabupaten Sleman menunjukkan kinerja terbaik (skor rata-rata 59,2); Kabupaten Gunung Kidul memiliki kinerja terendah (skor rata-rata 51). Puskesmas dengan program pelayanan lansia memperlihatkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak (skor rata-rata 56.5 vs. 46.3). Kinerja Puskesmas paling bagus pada kualitas pelayanan dan terburuk pada keringanan biaya.
 

 Kesimpulan

Setengah dari puskesmas tidak mempunyai program pelayanan lansia secara formal; puskesmas menunjukkan kinerja yang lebih buruk ketika dinilai berdasarkan standar kebijakan nasional. Bahkan diantara program formal lainnya, masih ada bagian penting yang perlu ditingkatkan. Bagian terbesar yang perlu ditingkatkan adalah akses biaya dan fisik fasilitas. Mengatasi tantangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan lansia akan semakin penting sejalan dengan meningkatnya jumlah pasien lansia dan berkembangnya beban penyakit tidak menular.
 

 Saran

Berdasarkan instrumen penilaian yang kami susun, program Puskesmas Santun Lanjut Usia di DIY secara keseluruhan terbukti memberikan dampak positif pada pelayanan kesehatan bagi lanjut usia. Hal ini ditunjukkan dengan lebih baiknya kinerja puskesmas dengan program santun lansia dibandingkan dengan puskesmas tanpa program santun lansia. Oleh karena itu, penerapan kebijakan ini perlu diteruskan untuk semua puskesmas dan dan ditingkatkan kualitas pelaksanaannya.. Namun demikian, kami juga menyarankan agar buku pedoman Puskesmas Santun Lanjut Usia dapat memberikan panduan yang jelas tentang indikator apa saja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja Puskesmas dalam menjalankan program ini.

Kata kunci : Penyakit tidak menular, kebijakan kesehatan lansia, Puskesmas, pelayanan kesehatan, lansia, Puskesmas Santun Lanjut Usia

Powerpoint 

PENDEKATAN POSITIVE DEVIANCE DALAM PENGGUNAAN KONDOM SEBAGAI ALAT KONTRASEPSI IDEAL

PENDEKATAN POSITIVE DEVIANCE DALAM PENGGUNAAN KONDOM
SEBAGAI ALAT KONTRASEPSI IDEAL

Nurfadhilah, Dwidjo Susilo, Triana Srisantyorini

Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


 Latar Belakang

Kondom merupakan alat kontrasepsi ideal karena efektivitasnya yang tinggi dan tanpa efek samping namun penggunaannya di Indonesia sangat rendah.
 

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang perilaku spesifik yang dijalankan suami dan istri yang berhasil dalam penggunaan kondom. Target khusus yang akan dicapai yaitu peningkatan peran laki-laki untuk menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi. Kondom yang dimaksud ialah kondom laki-laki.
 

 Metode

Metode yang dipakai ialah pendekatan kualitatif, yaitu studi fenomenologi. Pengumpulan data awal dilakukan terhadap 162 orang yang 16 di antaranya merupakan pengguna kondom secara konsisten paling sedikit dalam 8 bulan terakhir. Selanjutnya dilakukan juga FGD terhadap kelompok istri pengguna, istri non pengguna, dan suami/non pengguna kondom; dan WM terhadap ketiga kelompok informan.
 

 Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan Theory of Reasoned Action, keberhasilan penggunaan kondom lebih banyak dikarenakan niat berperilaku menggunakan kondom tinggi. Factor internal yang mempengaruhinya ialah sikap suami terhadap perilaku penggunaan kondom positif dan factor eksternal yaitu norma social yang dipersepsi positif (dukungan istri dan anjuran petugas kesehatan).
 

 Kesimpulan

Pengggunaan kondom pada praktiknya tidak sulit karena petunjuk pemakaian jelas tertera pada kemasannya, motivasi suami dan dukungan social cukup berperan dalam hal ini.
 

 Saran

Selanjutnya dibutuhkan kerja keras untuk melakukan edukasi kepada pasangan, baik yang baru maupun yang sudah lama menikah, bahkan jika diperlukan juga kepada calon pengantin tentang berbagai pilihan alkon dan pilihan bijaksana untuk menggunakannya. Peran petugas kesehatan juga diperlukan untuk dapat memberikan informasi yang komprehensif tentang penggunaan berbagai jenis alkon, manfaat dan kemungkinan efek yang ditimbulkannya.

Kata Kunci : kesehatan reproduksi, alat kontrasepsi, kondom

Powerpoint