PELAJARAN DARI GEBRAKAN JOKO WIDODO DALAM MEMECAHKAN MASALAH PELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA? SEBUAH CONTENT ANALYSIS

PELAJARAN DARI GEBRAKAN JOKO WIDODO DALAM MEMECAHKAN MASALAH
PELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA? SEBUAH CONTENT ANALYSIS

Mubasysyir Hasanbasri

Health Management and Policy Program, Gadjah Mada University


 Latar Belakang

Pembuat kebijakan memegang prinsip komprehensif agar bisa memperoleh efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Meski pihak-pihak berupaya mendukung pendekatan yang komprehensif, pembuat kebijakan hanya bisa melakukan perubahan-perubahan minimalis dan berskala kecil. Haruskah kita tetap bekerja atas dasar pendekatan komprehensif atau memprioritaskan perubahan skala kecil yang paling mungkin? Joko Widodo baru menjabat sebagai gubernur kurang dari setahun. Ia menemukan banyak masalah-masalah pelayanan kesehatan dan memberikan respon yang cepat. Banyak dari responnya mendapat perhatian publik: beberapa mengkritisi dan yang lain mengiyakan dalam hal cara ia menyelesaikan masalah.
 

 Tujuan

Paper ini mempelajari respon dari Jokowi tentang masalah kesehatan dan reaksi masyarakat terhadap mereka. Ia ingin berpendapat bahwa pada setting yang kompleks, dengan multidimensional problems, small scale strategies merupakan aksi lebih cocok.
 

 Metode

Studi ini menggunakan content analysis dari berita online – Kompas, Tempo, VIvanews, Detik dalam kurun waktu Jokowi menjadi gubernur antara Maret-Juli 2013.
 

 Hasil

Penelitian ini menemukan Jokowi menggunakan dua ciri dalam pemecahan masalah kesehatan. Pertama, mereka menggunakan klien yang berada dalam situasi krisis sebagai starting point. Mereka memfokuskan masalah-masalah yang mendesak dari masyarakat miskin seperti asuran untuk akses layanan kesehatan dan perumahan. Kedua, mereka merespon dengan cara mencari strategi implementasi yang lebih baik. Mereka berusaha bermain dalam peraturan yang sudah ada. Mereka mencari terobosan untuk hal-hal berskala kecil, yang tidak memerlukan perubahan di tingkat peraturan.

Paper ini lebih lanjut mendiskusikan situasi-situasi mana comprehensive atau small changes reforms lebih cocok untuk diterapkan dalam policy making process. Bagaimana pembuatan kebijakan harus dibangun di masa depan merupakan hal yang menarik didiskusikan: apakah gubernur akan terus menggunakan strategi ini? Untuk konteks perkotaan yang kompleks, kapan seorang gubernur harus membuat perencanaan komprehensif?
 

 Kesimpulan

Jokowi-Ahok menunjukkan bahwa small scale changes adalah kunci dalam reformasi kesehatan untuk kota yang sangat kompleks seperti Jakarta.
 

 Saran

Mahasiswa MPH Kebijakan dan Manajemen atau Administrasi Kesehtan perlu mendapat bahan yang memadai tentang non-rational policy making dan implementasinya di lapangan. Bekal itu akan membantu mereka menjadi analis dan pembuat kebijakan yang sesuai dengan konteks Indonesia yang sangat kompleks dan tidak mungkin menerapkan pendekatan rasional.

Kata Kunci : non-rational versus comprehensive policy making process, policy implementation, the arts of possible, politik kesehatan

Powerpoint 

PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK PADA KONTEN, KONTEKS DAN AKTOR DALAM PROSES PENYUSUNAN RUU KEPERAWATAN

PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK PADA KONTEN, KONTEKS DAN AKTOR
DALAM PROSES PENYUSUNAN RUU KEPERAWATAN

Dumilah Ayuningtyas*
Candra Dewi Purnamasari*

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia


 Latar Belakang

Pembahasan RUU keperawatan di DPR berlangsung berkepanjangan bahkan sempat tertunda oleh adanya pengajuan RUU Tenaga Kesehatan. Prioritas antara RUU tenaga kesehatan dan RUU keperawatan menjadi polemik yang mengundang berbagai pro dan kontra. Perspektif ekonomi politik diyakini melekat pada lingkup segitiga kebijakan, konten-konteks dan aktor yang terlibat dalam penyusunan RUU ini
 

 Tujuan

Melihat dinamika dan perspektif ekonomi politik pembahasan RUU Keperawatan dengan analisis konten, konteks dan aktor yang terlibat dalam penyusunannya
 

 Metode

Penelitiaan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data primer dikumpulkan dengan wawancara mendalam (indepth interviews) kepada anggota DPR yang terlibat, PPRNI, Pakar, dokter, Departemen Kesehatan dan perawat, juga dilakukan penelusuran kepustakaan. Validitas data diupayakan dengan strategi triangulasi yakni triangulasi sumber, triangulasi metode dan triangulasi analisis. Analisis difokuskan pada proses politik perumusan dan pembahasan RUU Keperawatan pada tahap penentuan agenda dengan melakukan identifikasi dari permasalahan, lalu formulasi pilihan pengambilan keputusan dan kesiapan implementasi kebijakan dengan pertimbangan ekonomi politik
 

 Hasil

Proses perumusan RUU Keperawatan tertunda sekian lama karena undang-undang ini tidak menjadi prioritas utama DPR dalam Prolegnas, kurangnya dukungan dan advokasi masyarakat dan kalangan profesi serta pertarungan kepentingan elit kebijakan antara Kementrian Kesehatan, PPRNI, dokter dan aktor politik di DPR. Ada konteks peran politik aktor (individu) sistem dan kelembagaan serta kultur dan kekuatan politik lain yang mempengaruhi penetapan kebijakan.
 

 Kesimpulan

Perspektif dan pertimbangan ekonomi politik mewarnai berlarut-larutnya proses perumusan dan pengesahan RUU Keperawatan dalam konten, konteks maupun aktor yang terlibat. Kajian peran dan beban negara jika kebijakan ini telah diterapkan serta pertimbangan mampu laksana mengambil porsi signifikan pada dinamika proses penyusunan, interaksi kepentingan antar elit strategis termasuk profesi juga cukup tajam terjadi sehingga menurunkan prioritas penunaian kewajiban perlindungan tenaga kesehatan dan pula penjaminan standar dan mutu layanan kesehatan bagi masyarakat.
 

 Saran

Penguatan sistem kesehatan untuk menjamin tersedianya tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan bermutu di seluruh negeri ini semestinya menjadi prioritas dan tuntutan bagi peran negara mengalahkan pertimbangan kepentingan dan politik ekonomi sekalipun.

Kata Kunci : Politik ekonomi, RUU Keperawatan, Konten, Konteks, Aktor, Proses Politik, Kebijakan

Powerpoint 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) DI KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2011

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK)

DI KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2011

Rita Nurcahyani1, Dewi Marhaeni DH2,, Nita Arisanti2

Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat1, Universitas Padjadjaran2


cenn  Latar Belakang

Kebijakan BOK melalui fund chanelling Tugas Pembantuan (TP) merupakan hal baru bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat dan puskesmas sehingga aturan dan tata cara pengelolaannya belum dipahami oleh tim pengelola BOK di kabupaten. Hal ini berdampak pada terjadinya keterlambatan pencairan dana BOK ke kabupaten dan puskesmas sehingga menyebabkan rendahnya tingkat penyerapan realisasi dana BOK di akhir tahun 2011.

 

cenn  Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran dan faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan BOK serta mengetahui dampaknya terhadap peningkatan cakupan program puskesmas.                                                                                      

 

cenn  Metode

Desain penelitian yang digunakan adalah mixed method dengan strategi konkuren embedded. Rancangan kualitatif menggunakan strategi pragmatism dan kuantitatif menggunakan strategi observasional cross sectional. Sampel untuk rancangan kualitatif menggunakan purposive sampling dan untuk kuantitatif menggunakan total sampling sebanyak 31 puskesmas. Analisis kuantitatif dengan paired sample t-test.

 

cenn  Hasil

Faktor yang sangat memengaruhi implementasi kebijakan BOK adalah faktor sumber daya. Ketidaksiapan sumber daya manusia berdampak pada tahapan proses yang mengakibatkan fungsi manajemen tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Disposisi/sikap para pelaksana kebijakan BOK menunjukkan keseriusan tetapi hanya bersifat formalitas untuk memenuhi aspek administrasi keuangan sehingga mengabaikan tujuan utama kebijakan BOK. Cakupan program puskesmas yang dibiayai dana BOK tidak menunjukan peningkatan yang signifikan (p<0,05) antara sebelum dan sesudah ada dana BOK. Terjadinya kendala dan permasalahan dalam koordinasi, komunikasi dan birokrasi dari agen pelaksana (KPPN) mengakibatkan kebijakan BOK dirasakan memberatkan puskesmas dan tim BOK kabupaten.

 

cenn  Kesimpulan

Kebijakan BOK termasuk good policy, hal ini dapat dilihat dari tujuan dan ukuran kebijakan tersebut realistis dan berada di tingkat pelaksana kebijakan, tetapi dalam implementasinya termasuk dalam unsuccesfull implementation karena tidak berdampak pada peningkatan cakupan program puskesmas secara signifikan.

 

cenn  Saran

Perlu dilakukan peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia/tenaga serta peningkatan fungsi-fungsi manajemen. Kebijakan BOK melalui fund chanelling TP perlu dikaji ulang, dan dilakukan penelitian evaluasi kebijakan BOK untuk menjawab keberlangsungan kebijakan di masa datang.

 

Kata Kunci : Bantuan Operasional Kesehatan, Implementasi, Kebijakan, Puskesmas

Powerpoint  

MONITORING PELAKSANAAN KEBIJAKAN BOK DI DAERAH TERPENCIL, PERBATASAN DAN KEPULAUAN

MONITORING PELAKSANAAN KEBIJAKAN BOK DI DAERAH TERPENCIL, PERBATASAN DAN KEPULAUAN

 Dominirsep Ovidius Dodo

Minat Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana


cenn  Latar belakang

Saat ini, pembangunan kesehatan terfokus pada upaya pencapaian target MDGs melaluibeberapa program prioritas sepertiperluasan jaminan kesehatan;pemerataan akses terhadap pelayanan kesehatan di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK); peningkatanupaya promotif-preventif;dan penanggulangan penyakit.Salah satu langkah strategis yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan itu yakni dengan Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi kenaikan anggaran kesehatan di tingkat pusat. Kenaikan tersebut di satu sisi belum mencapai ukuran 5% dari APBN namun di sisi lain penyerapan anggaran yang sedikit tersebut ternyata tidak mencapai 100% bahkan sebagian besar dari total alokasi anggaran lebih banyak diserap pada kuartal terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa ada problem serius dalam pelaksanaan sistem kesehatan yakni inefisiensi. Fenomena ini juga terjadi dalam implementasi kebijakan BOK. Proporsi dana BOK dalam beberapa tahun terakhir makin meningkat namun jumlah yang diserap tidak mencapai 100%. Hal ini tentunya secara kumulatif akan sangat mempengaruhi pencapaian kinerja sistem kesehatan.

 

cenn  Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pelaksanaan kebijakan BOK di tingkat puskesmas terkait faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pelaksanaan kebijakan BOK sekaligus menilai efektivitas dari kebijakan BOK dalam pencapaian target SPM bidang kesehatan.

 

cenn  Metode

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan strategi penelitian studi kasus. Lokasinya di Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan waktu penelitian selama ± 3 bulan yakni dari Bulan Juni sampai Bulan Agustus tahun 2013.

 

cenn  Hasil

Dana BOK adalah satu-satunya sumber dana yang membiayai pelaksanaan program promotif dan preventif di tingkat puskesmas karena tidak ada alokasi dari dana APBD. Keterbatasan dana daerah menjadi satu-satunya alasan untuk tidak dialokasikannya dana dari APBD untuk pelaksanaan program preventif promotif di puskesmas. Penelitian ini menemukan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penggunaan dana BOK di daerah DTPK antara lain keterbatasan jumlah dan kualitas sumber daya manusia untuk menjalankan program-program puskesmas sehingga terjadi rangkap tugas yang berimplikasi pada tingginya beban kerja (pelayanan dan administrasi); keterlambatan Juknis BOK dan sosialisasinya dari pemerintah pusat dan kabupaten kepada puskesmas terkait pemanfaatan dana BOK; lemahnya kapasitas manajemen dinas kesehatan dalam mengelola manajemen pelaksanaan dana BOK karena adanya variasi pemahaman secara internal tentang peruntukan dana BOK; kurangnya penggunaan data atau evidence dalam penyusunan rencana kegiatan; dan keterlambatan pencairan dana yakni sering menumpuk pada kuartal ke-4 (akhir tahun). Temuan lainnya juga menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang cukup berarti dalam hal cakupan pelayanan dan program di tingkat puskesmas jika dibandingkan dengan target SPM secara nasional.

 

cenn  Kesimpulan

Pelaksanaan kebijakan BOK di Daerah DTPK belum menghasilkan dampak yang signifikan bagi peningkatan kinerja sistem kesehatan di daerah. Di tingkat pusat, diperlukan adanya evaluasi secara mendalam dan sistematis terkait mekanisme pengalokasian dana BOK ke daerah. Di tingkat daerah, diperlukan perbaikan yang signifikan pada sisi input, proses perencanaan dan mekanisme pengawasan untuk puskesmas dan dinas kesehatan – yang sifatnya integratif -sehingga implementasi kebijakan BOK ini nantinya dapat memberi dampak berarti bagi peningkatan kinerja sistem kesehatan daerah.

Kata Kunci: Kebijakan, BOK, Inefisiensi, Kinerja, Puskesmas, Sistem Kesehatan.

Powerpoint  

MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESDA DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS YANG BERADA DALAM LINGKUP PEMBINAAN DINAS KESEHATAN

MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESDA
DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS
YANG BERADA DALAM LINGKUP PEMBINAAN DINAS KESEHATAN KOTA BANJAR

Felix Kasim, Cynthia Winarto, May’Ira Sopha

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha


 Latar Belakang

Pada tahun 2005 pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan dalam mekanisme asuransi kesehatan yang dikenal dengan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin/ Askeskin. Atas pertimbangan pengendalian biaya kesehatan ,peningkatan mutu, transparansi, dan akuntabilitas dilakukan perubahan mekanisme pada tahun 2007 yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Daerah
 

 Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan Jamkesda di pelayanan kesehatan dasar yaitu di Puskesmas-Puskesmas di Kota Banjar
 

 Metode

Peneliti menggunakan metode kualitatif untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam, focus grup discussion, dan observasi partisipasif.
 

 Hasil penelitian

Manfaat program Jamkesda di Kota Banjar dirasakan masih kurang oleh masyarakat karena secara khusus Jamkesda lebih terasa manfaatnya di RS, namun secara umum manfaatnya sebagai jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, manfaat untuk persalinan, dapat membantu pelaksanaan program puskesmas, serta dapat mendeteksi dini kasus penyakit. Kendala program Jamkesda di Kota Banjar adanya database yang tidak tepat sasaran, manlak dan juknis yang belum jelas, alokasi dana belum lancar dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang Jamkesda. Upaya program Jamkesda di Kota Banjar sudah adanya bantuan pemerintah daerah, kerja sama lintas sektoral, dan diadakan sosialisasi kepada masyarakat. Harapan program Jamkesda di Kota Banjar adalah adanya manlak dan juknis yang jelas, diberikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan, adanya pengelola pihak ketiga, dan adanya pembayaran premi.
 

 Kesimpulan

Pelaksanaan program Jamkesda di pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dirasakan masih kurang oleh masyarakat. Namun masih diperlukan perbaikan data sasaran, sehingga masyarakat miskin benar-benar dapat merasakan manfaatnya, dan perluasaan pemanfaatan dananya sehingga penyerapan dana lebih optimal.
 

 Saran

Masyarakat dapat memberikan respon yang lebih baik dan mendukung keberlangsungan program ini, dengan aktif berkomunikasi melalui kader kesehatan dan menggunakann hak sesuai peruntukkannya, disamping mendorong peran Puskesmas memberikan pelayanan yang lebih baik ddiukung regulasi yang jelas dan transparan dari pihak terkait yang melakukan supervise dan pembinaan yaitu Dinas Kesehatan Kota Banjar.

Kata kunci : Jamkesda, monitoring, evaluasi, pelayanan kesehatan dasar, Puskesmas

Powerpoint 

KEMAUAN DAN KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS TEMINDUNG DI KOTA SAMARINDA

KEMAUAN DAN KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT
TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN
DI PUSKESMAS TEMINDUNG DI KOTA SAMARINDA

Subirman,1

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, Samarinda


cenn  Latar Belakang

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 2009, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, diupayakan melalui penggalangan dana aktif oleh masyarakat itu sendiri, dan dana tersebut akan berbentuk asuransi atau jaminan kesehatan. Jelas terlihat bahwa masyarakat pun mempunyai tanggung jawab dalam pembiayaan kesehatan bukan hanya menjadi tanggung jawan pemerintah saja. Sehingga perlu kajian untuk mengetahui kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas Temindung

 

cenn  Tujuan

Studi ini adalah untuk mengetahui kemampuan dan kemauan untuk membayar pelayanan kesehatan masyarakat di Puskesmas Temindung Samarinda.

 

cenn  Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi adalah semua pasien yang berkunjung ke Puskesmas Temindung. Sampel adalah 198 responden dengan pendekatan accidental sampling.

 

cenn  Hasil

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 34,8% responden mampu membayar biaya pelayanan kesehatan yakni antara Rp.40.001 – Rp.60.000, dan 40,4% responden bersedia membayar untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas Temindung Kota Samarinda antara Rp.15.001-Rp.30.000

 

cenn  Kesimpulan

Responden memiliki potensi untuk membayar secara mandiri biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas tanpa subsidi dari pemerintah

 

cenn  Saran

Disarankan kepada Pemerintah Kota Samarinda perlu mempertimbangkan anggaran pembiayaan kesehatan untuk pelayanan kuratif, dengan mengurangi subsidi secara bertahap menuju pembiayaan kesehatan secara mandiri di tingkat Puskesmas pada pelayanan kesehatan rawat jalan.

Kata kunci: Kemampuan, Kemauan, Membayar Pelayanan Kesehatan

Powerpoint  

KELEMAHAN DALAM PELAKSANAAN PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK

KELEMAHAN DALAM PELAKSANAAN PEMANTAUAN
WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK

Yusni Zainal1, Mubasysyir Hasanbasri2, Guardian Yoki Sanjaya3
1Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan

2Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, Yogyakarta
3Sistem Infomasi Manajemen Kesehatan, FK UGM, Yogyakarta


 Latar belakang

Dinas kesehatan memiliki program pemantauan khusus terhadap kesehatan ibu dan anak dengan tujuan deteksi dini terhadap kemungkinan situasi buruk yang mengancam. Kegiatan ini berawal dari proses pencatatan rutin dan pengumpulan data berkala, sehingga dapat melakukan analisis terhadap situasi untuk ditindak lanjuti. Mengapa kesehatan ibu dan anak masih masih menjadi masalah? Mengapa kegiatan PWS KIA seperti tidak memiliki kontribusi pada permasalahan ibu dan anak yang ada hingga saat ini? Apa yang salah dari proses siklus informasi yang dilakukan?
 

 Tujuan

Penelitian ini mengkaji desain dan pelaksanaan pengumpulan data dan praktik pemantauan dalam PWS KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai.
 

 Metode

Penelitian ini mewawancara pejabat dan pelaksana di Dinas Kesehatan dan Puskesmas yang berkaitan dengan pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Analisis difokuskan pada kebutuhan tindak lanjut masalah-masalah KIA dan sistem informasi dan pengambilan keputusan yang terkait.
 

 Hasil

Petugas melakukan pencatatan, pengumpulan, dan analisis data PWS KIA lebih untuk kepentingan perencanaan dan evaluasi program KIA daripada untuk melakukan monitoring situasi yang harus ditindaklanjuti secara cepat. Penelitian ini menemukan kurangnya pengorganisasian dan keterbatasan data yang mendukung kegiatan pemantauan kasus dalam upaya menyelamatkan ibu dan anak di lapangan. Pelaksana bidang kesehatan ibu dan anak memiliki pola kerja rutin yang tidak sesuai dengan kebutuhan pemantauan tersebut. Dinas Kesehatan dan Puskesmas memiliki organisasi yang kurang sesuai dengan kebutuhan problem-problem lapangan akut.
 

 Kesimpulan

Dinas Kesehatan tidak melakukan pemantauan situasi yang harus ditindaklanjuti. Jenis dan manajemen data harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan berbagai aktor pelayanan kesehatan sehingga situasi yang membutuhkan tindak lanjut cepat dapat dilakukan secara lebih tepat. Kasus-kasus yang harus ditindaklanjuti cepat justru tidak masuk dalam prioritas pencatatan
 

 Saran

Dinas Kesehatan membutuhkan sistem pemantauan yang dikelola lebih serius berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang bisa diakses oleh semua pihak. Lebih penting dari itu, Dinas Kesehatan harus membuat koordinator program KIA lebih sebagai sebuah task force yang dikontrak secara khusus.

Kata kunci : Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) KIA, Monitoring KIA, Sistem Informasi Kesehatan

Powerpoint 

DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENUTUPAN TEMPAT LAYANAN SOSIAL TRANSISI UNTUK PSK DAN PENUTUPAN PROSTITUSI TERHADAP PROGRAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS

DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENUTUPAN TEMPAT LAYANAN SOSIAL TRANSISI UNTUK PSK DAN PENUTUPAN PROSTITUSI TERHADAP PROGRAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS

 Dewi Rokhmah, Khoiron*

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember


 

cenn  Latar Belakang :

Adanya SK Bupati Nomor 188.45/ 39 /012/2007 tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten Jember berdampak merugikan dalam pelaksanaan program pencegahan HIV/AIDS khususnya melalui pencegahan penularan transmisi seksual.

 

cenn  Tujuan :

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak implementasi kebijakan layanan transisi social untuk PSK dan Penutupan Prostitusi terhadap program penanggulangan HIV /AIDS

 

cenn  Metode :

Penelitian ini menggunakan metode analisis dengan menggunakan data sekunder dari hasil program HIV/AIDS di Kabupaten Jember pada tahun 2012. Pengumpulan Data dianalisa secara deskriptif dengan table dan narasi.

 

cenn  Hasil:

Dampak dari adanya Surat Keputusan Bupati Kabupaten Jember meliputi : (1)Penutupan prostitusi akan menyebabkan jumlah tempat layanan sosial transisi untuk pekerja seks komersial ilegal bertambah dan menyebar di wilayah Kabupaten Jember, (2)Pembinaan layanan kesehatan dan upaya komunikasi perubahan perilaku terhadap PSK menjadi sulit, (3) Jumlah kasus HIV/AIDS setiap tahun makin bertambah. Pada tahun 2004 jumlah kasus HIV/AIDS sebesar 1, dan terus meningkat setiap tahun hingga tahun 2012 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jember sudah mencapai 822 kasus. Dari data jumlah penderita HIV/AIDS menurut faktor risiko yang paling tinggi adalah penularan melalui heteroseksual sebesar 685 kasus (83,3%). Hal ini menunjukkan bahwa penularan terjadi dari PSK kepada pelanggan dan sebaliknya. Sehingga penularan kepada ibu rumah tangga terus meningkat diikuti dengan peningkatan penularan dari ibu ke bayi.

cenn  Kesimpulan:

Pemerintah Kabupeten Jember perlu melakukan peninjauan ulang terkait SK Bupati Nomor 188.45/39/012/2007 Tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten Jember yang sudah ditetapkan.

 

cenn  Saran:

Untuk itu sangat dibutuhkan pertemuan antar pemangku kebijakan, Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jember, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dan SKPD atau lembaga terkait untuk meninjau ulang Surat Keputusan Bupati tersebut.

 

Kata Kunci: Dampak, Implementasi, Kebijakan penutupan prostitusi, HIV/AIDS

Powerpoint  

EVALUASI KEBIJAKAN PENYEDIAAN PPD TEST DENGAN PEMBIAYAAN APBD II DALAM KASUS TB ANAK DI DINAS KESEHATAN KOTA TARAKAN

EVALUASI KEBIJAKAN PENYEDIAAN PPD TEST DENGAN PEMBIAYAAN APBD II
DALAM KASUS TB ANAK DI DINAS KESEHATAN KOTA TARAKAN

Tri Astuti Sugiyatmi

Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kalimantan Utara


 Latar Belakang

TB anak masih menjadi salah satu tantangan yang berat pada permasalahan TB di Indonesia, selain TB-MDR dan TB-HIV. Sayangnya, perhatian pihak terkait terhadap TB anak tidaklah sebesar pada TB dewasa. Padahal kasus TB anak berat seperti TB milier dan meningitis TB menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang sering pada anak. Dengan gejala yang tidak khas menyebabkan adanya tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam mendiagnosa TB anak. Kejadian underdiagnosis di satu sisi atau justru overdiagnosis di sisi lain cukup sering terjadi. Pemanfaatan skoring dari IDAI yang didalamnya terdapat tuberkulin tes menjadi pilihan rasional untuk menegakkan diagnosa. Ketidaktersediaan tuberkulin test menjadi salah satu kendala dalam penegakan diagnosa TB anak. Kebijakan penyediaan tuberkulin test (PPD test) oleh kabupaten/kota menjadi salah satu cara untuk mengatasinya.
 

 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kebijakan penyediaan PPD test dengan pembiayaan APBD II
 

 Metode

Jenis penelitian ini adalah studi kasus. Unit analisisnya adalah program TB anak di puskesmas di Kota Tarakan tahun 2011-2012.
 

 Hasil

Ketersediaan tuberkulin test tanpa perencanaan matang menyebabkan pemanfaatannya menjadi tidak maksimal (adanya barang kedaluarsa di dalam gudang penyimpanan, sementara di sisi lain sebenarnya dibutuhkan). Adanya beberapa kasus ketidaktepatan dalam pemanfaatan PPD test (pemakaian mencapai 3 bulan dari tanggal pembukaan vial) menyebabkan hasil test yang ada menjadi dipertanyakan validitasnya. Hal ini sejalan dengan kisaran proporsi TB anak dibanding Tb dewasa selama tersedianya PPD test mencapai 22% (melebihi angka > 15 % pada beberapa triwulan) menunjukkan masih adanya “masalah” dalam mendiagnosa. Indeks pemakaian PPD test yang secara umum sangat rendah menyebabkan biaya per pasiennya menjadi sangat tinggi.
 

 Kesimpulan

Kebijakan penyediaan Tuberkulin test dengan APBDII harus juga dibarengi dengan peningkatan kapasitas SDM yang ada. Banyaknya pitfalls dalam diagnosa dan terapi TB Anak menyebabkan perlunya pertimbangan ulang mendiagnosa kasus sulit TB anak di layanan primer.
 

 Saran

Perlunya perencanaan yang baik dalam penyediaan PPD test terutama dalam hal SDM, jenis dan lokasi faskes penyedia layanan serta jadwal pembukaannya vial.

Perlunya mempertimbangkan kembali pemanfaatan PPD test pada layanan primer di daerah dengan akses RS / tenaga ahli yang relatif mudah

Perlunya dukungan dari pengambil kebijakan di tingkat yang lebih tinggi untuk menjamin sustainabilitas program.

Kata Kunci : TB Anak, PPD/mantoux test, skoring TB, Evaluasi Kebijakan, efisiensi

Powerpoint 

POLA DAN KINERJA KEBIJAKAN ANGGARAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS : STUDI KASUS KOTA YOGYAKARTA, KABUPATEN SLEMAN, DAN KABUPATEN BANTUL TAHUN 2010 s.d. 2012

POLA DAN KINERJA KEBIJAKAN ANGGARAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS :
STUDI KASUS KOTA YOGYAKARTA, KABUPATEN SLEMAN,
DAN KABUPATEN BANTUL TAHUN 2010 s.d. 2012
 

Valentina Sri Wijiyati, Triwahyuni Suci Wulandari, Enik Maslahah, Romna Dwi Utami

Perkumpulan IDEA


cenn  Latar Belakang :

Penelitian ini berlatar butir-butir sbb. :

  1. negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia; anggaran merupakan instrumen konkrit perwujudan kewajiban tersebut,
  2. kajian atas APBN (2007-2010) dan APBD DKI Jakarta (2008-2009) menunjukkan anggaran HIV dan AIDS masih tertutup, sangat diskriminatif, prosesnya tidak aspiratif-partisipatif, dan sebagian besar alokasi untuk memenuhi kebutuhan birokrasi pemerintahan (Seknas Fitra, 2010),
  3. ada dua peraturan baru yang perlu ditilik manfaatnya : UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; Perda Provinsi DIY No. 12 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS),
  4. penanggulangan HIV dan AIDS merupakan bagian Tujuan Pembangunan Milenium di mana Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan,
  5. di antara 33 provinsi Indonesia, DIY menduduki peringkat ke-9 jumlah kasus HIV dan AIDS, (f) Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul merupakan tiga besar DIY dalam jumlah kasus HIV dan AIDS (data http://aidsyogya.or.id/2010/data-HIV dan AIDS/HIV dan AIDS-diy-juni-2011/ diakses Sabtu, 7 Januari 2012).

 

cenn  Tujuan :

Penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian proses perencanaan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul tahun 2010 s.d. 2012 dengan instrumen HAM melalui keterlibatan kelompok kunci dalam siklus perencanaan penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS.

 

cenn  Metode :

Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan potong lintang. Data penelitian dikumpulkan dengan (1) analisis dokumen perencanaan penganggaran daerah di aspek akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat,

(2) wawancara mendalam untuk mengumpulkan informasi pengalaman informan tentang proses perencanaan penganggaran. Informan mencakup tiga kategori : masyarakat sipil (populasi kunci, ornop), eksekutif , dan legislatif.

 

cenn  Hasil :

Penelitian menunjukkan bahwa terkait penanggulangan HIV dan AIDS, akses masyarakat sipil atas daur perencanaan penganggaran serta dokumen di dalamnya di ketiga daerah penelitian masih rendah. Sebagian besar informanbelum memiliki pengetahuan yang benar tentang peraturan perundang-undangan yang menjamin hak asasi manusia atas informasi, partisipasi, dan kesehatan.Implikasinya adalah rendahnya partisipasi dan kontrol masyarakat sipil. Rendahnya kinerja aspek akses, partisipasi, dan kontrol mengakibatkan rendahnya manfaat perencanaan penganggaran bagi pemangku hak. Dalam beberapa kasus, kebijakan yang diambil justru meningkatkan kerentanan masyarakat sipil. Aspek-aspek upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) belum mendapatkan alokasi proporsional dalam kebijakan anggaran di tiga daerah penelitian. Pengalaman klasik ketegangan antara alokasi untuk aparat birokrasi dan alokasi untuk pemenuhan hak warga masih terjadi.

 

cenn  Kesimpulan:

Tiga daerah penelitian menunjukkan kinerja kebijakan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS yang belum optimal terkait HAM. Aspek manfaat menunjukkan kinerja terbaik relatif dibandingkan aspek akses, partisipasi, dan kontrol.

 

cenn  Saran :

Temuan penelitian memunculkan rekomendasi :

  1. penguatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat sipil untuk mengakses dan berpartisipasi dalam proses perencanaan penganggaran (terutama perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan),
  2. penguatan pengetahuan dan ketrampilan aparat badan publik negara tentang kewajiban negara menghormati, melindungi, dan memenuhi (a) hak asasi manusia atas informasi dan partisipasi, (b) hak asasi manusia atas kesehatan, utamanya terkait penanggulangan HIV dan AIDS agar kebijakan yang diambil sungguh mengurangi risiko serta bukan menguatkan ancaman dan menambah kerentanan,
  3. pengembangan bentuk-bentuk partisipasi yang ramah populasi kunci; pilihan yang mengemuka adalah metode partisipasi khusus dalam perencanaan (tidak melalui Musrenbang) dan audit sosial untuk pengawasan, serta
  4. penguatan sinergi badan publik negara dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

 

Kata Kunci : HIV dan AIDS, kebijakan anggaran, akses, partisipasi, kontrol, manfaat, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul.  

 

Powerpoint