Juli 2014

underline

Juli 2014

Ada dua regulasi penting yang disahkan bulan ini,

  1. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
    Sejatinya, PP ini mengatur Kesehatan Reproduksi secara komprehensif tetapi yang banyak disorot adalah Bagian IV Pasal 31-39 terkait aborsi.Banyak pro dan kontra yang berkembang di masyarakat terkait isu legalisasi aborsi. Situasi ini mendorong Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasi dan mengklarifikasi isu-isu yang muncul secara intensif.
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014
    Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

Regulasi selengkapnya yang disahkan bulan ini, silakan klik link berikut lampiran

 

 

 

 

 

 

Agustus 2014

underline

 

Pada bulan ini diselenggarakan 20th World Congress on Medical Law 2014 di Nusa Dua Bali, IndonesiaAugust 21th-24th, 2014

20th World Congress on Medical Law, yang diselenggarakan di Bali dari tanggal 21-24 Agustus 2014 berfokus pada pengembangan hukum kedokteran. Forum pertemuan internasional ini dilakukan setiap dua tahun sekali, even sebelumnya 19th World Congress On Medical Law diselenggarakan di Brazil. Forum WCML bertujuan untuk pertama, menjadi forum yang memfasilitasi kolaborasi, menghasilkan terobosan besar di lapangan terkait bidang hukum kedokteran. Kedua, WCML menjadi program ilmiah yang kaya dan beragam dengan topik-topik pembahasan terkini. Ketiga, WCML mampu menjadi platform penting untuk ajang mendiskusikan dan membahas solusi yang berbeda terhadap perlindungan kesehatan .

Forum ini berlangsung dalam dua bentuk, yaitu plenary session dan symposium. Tema besar dari pertemuan yang ke-20 ini adalah “Does Health Law Protect the Dignity and Save Lives?” Para pembicara berasal dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Jepang, Korea, Oman, China, Malaysia, USA, Australia dan Canada serta berbagai institusi (Center of Health, perguruan tinggi swasta, PTN serta International Organization).

kegiatan selengkapnya


Pada bulan ini juga diselenggarakan Lokakarya Nasional Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Tahun 2014 Jakarta, 27-29 Agustus 2014

Tema : “Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas SDM Kesehatan yang kompeten dan berdaya saing”
Sub Tema :

  1. Penguatan Pengembangan SDM Kesehatan melalui Kerjasama dan Sinergitas Pemangku Kepentingan.
  2. Peningkatan Mutu dan Daya Saing SDM Kesehatan melalui pembinaan dan pengawasan mutu SDM Kesehatan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan.
  3. Peningkatan Ketersediaan dan Pemerataan SDM Kesehatan.

kegiatan selengkap

Regulasi yang disahkan pada bulan Agustus 2014 dapat diklik pada link berikut lampiran

 

 

 

September 2014

underline

September 2014

Pada bulan ini banyak diselenggarakan kegiatan. Kegiatan pertama adalah Bedah Buku: Evidence-Based Practice, Menjembatani Kesenjangan antara Penelitian dan Praktik dalam Pelayanan Kesehatan . Buku ini merupakan karya Prof. dr. Moh. Hakimi, Sp.OG(K) PhD. Latar belakang penyusunan buku ini ialah penulis berharap dokter dapat memberikan bukti terbaik untuk pertanyaan klinis atau evidence based, pembahas: dr Mubasysyr Hasanbasri, MA.

Selengkapnya silakan simak melalui link berikut klik disini


Kegiatan kedua bulan ini adalah Seminar “Tantangan Pelaksanaan dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan Primer dan BPJS” yang diselenggarakan JEN, PDKMI dan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, di Jakarta, Sabtu 6 September 2014.

Tampil sebagai pembicara yaitu Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof Ali Ghufron Mukti dan anggota Komisi IX dari PDI-P, dr Surya Chandra Suropaty. Pelayanan kesehatan primer yang menitikberatkan pada promosi dan preventif dipertanyakan kalangan dokter muda.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan ketiga pada bulan ini adalah Lokakarya Penguatan Sistem Kesehatan Mental Masyarakat. Lokakarya terkait kesehatan mental diselenggarakan di Fakultas Psikologi, UGM pada 8-9 September 2014. Peserta yang hadir berasal dari berbagai pihak, antara lain dekan, pengajar di bidang psikiatri, kedokteran dan psikologi. Selain itu, hadir pula dokter, klinisi, psikolog, perawat dan lain-lain.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan keempat bulan ini adalah Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia di Bandung2014 Trans Luxury Hotel Bandung & UNPAD pada 24-26 September 2014. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah suatu jembatan penyambung berbagai pemangku kepentingan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Mereka yang bergabung : para peneliti, akademisi, pemerhati, praktisi kebijakan, kelompok masyarakat, wakil rakyat, birokrat, pengamat dari berbagai profesi dan lembaga. Forum ini telah 4 kali digelar, setiap tahun berturut-turut di Jakarta (UGM), Makasar (Unhas), Surabaya (Unair) dan Kupang (Universitas Nusa Cendana). Pada tahun 2014 ini kota Bandung mendapat giliran dengan Fakultas Kedokteran Unpad sebagai tuan rumah. Tahun 2014 merupakan tahun stratejik karena bertepatan dengan perubahan politik yang terjadi di negara ini.

Tema tahun ini adalah “Monitoring Pelaksanaan Kebijakan Jkn Di Tahun 2014 : Kendala, Manfaat Dan Harapannya”. Dengan sub tema: “Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan Kesehatan di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan dalam Pencapaian MDG 4, 5 dan 6”.

Kelompok-kelompok kebijakan kesehatan yang akan berkumpul merupakan kelompok yang sudah lebih dahulu berkembang dalam forum sebelumnya serta kelompok baru tahun ini : (1) Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak; (2). Kebijakan Pembiayaan Kesehatan; (3).Kebijakan HIV/ AIDS; (4). Kebijakan Kesehatan Jiwa; (5) Kebijakan lain–lain.

kegiatan selengkpanya


Kegiatan kelima bulan ini yang merupakan kegiatan internasional adalah Third Global Symposium on Health Systems Research, 30 September – 3 Oktober 2014Cape Town, Afrika Selatan. Beberapa hari setelah Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, di Cape Town Afrika Selatan, diselenggarakan Third Global Symposium on Health Systems Research. Pertemuan ini merupakan yang ketiga setelah di Montreux (2010), dan Beijing (2012). PKMK FK UGM terlibat selama tiga kali pertemuan dengan mengikuti secara aktif. Forum ini memang menjadi acuan utama kegiatan pengembangan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan di dunia. Misi Simposium Health Systems Global adalah untuk mengumpulkan peneliti, pengambil kebijakan, dan pelaksana kegiatan di seluruh dunia untuk mengembangkan penelitian sistem kesehatan dan menggunakan kapasitas bersama untuk menciptakan, berbagi, dan menerapkan pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan. Kegiatan ini diharapkan dapat mencapai visi dimana masyarakat, peneliti dan pengambil kebijakan global dapat saling terhubung sehingga dapat menyumbang ke status kesehatan yang lebih baik, keadilan yang lebih baik, dan juga kesejahteraan yang meningkat. Tema Simposium ke-3 adalah Science and practice of people-centred health system.

kegiatan selengkapnya

Ada empat regulasi yang disahkan pada bulan September 2014, silakan klik link berikut lampiran

 

 

 

Oktober 2014

underline

Oktober 2014

Pada bulan ini, ada tiga Undang-Undang penting yang disahkan. Dari aspek pemerintahan, telah dilakukan pelatikan menteri Kabinet Kerja termasuk Menteri Kesehatan, di samping beberapa kegiatan lain.

UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Akhirnya, setelah melalui proses panjang, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disahkan di saat injury time tanggal 2 Oktober 2014 menjelang berakhirnya masa tugas DPR periode 2009-2014. UU ini merupakan revisi dari UU No. 32 Tahun 2004. Yang menarik, sebagai “induk”, UU ini kalah cepat pengesahannya dengan “anaknya” yaitu UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Terkait dengan sektor kesehatan, status kelembagaan rumah sakit di daerah menjadi tidak jelas. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) tentang Perangkat Daerah, dan Pasal 219 tentang Badan, tidak jelas bagaimana status kelembagaan rumah sakit tersebut. Hal ini bisa menimbulkan permasalahan tersendiri.Selanjutnya, yang masih ditunggu adalah revisi PP No. 38 Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007 yang merupakan “turunan” penting dari UU No. 23 Tahun 2014 ini. Seharusnya, kedua PP tersebut bisa terbit dalam masa kepemrintahan SBY sebelum 20 Oktober 2014 mengingat pembahasan draft-nya dilakukan secara paralel dengan revisi UU tersebut.


Pelantikan Menteri Kesehatan baru 27 Oktober 2014

Presiden Joko Widodo “akhirnya” memilih Prof. dr. NilaDjuwita F. Moeloek, Sp.M sebagai Menteri Kesehatan RI yang baru menggantikan dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH. Disebut “akhirnya” karena Prof. Nila sempat ramai diberitakan sebagai calon kuat Menteri Kesehatan 5 tahun yang lalu tetapi batal pada detik-detik terakhir. Meski batal menjadi menteri kesehatan, Prof Nila diberi kepercayaan sebagai Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium Development Goals (MDGs) saat itu. Salah satu tantangan yang dihadapinya adalah menurunkan kasus HIV-AIDS dan angka kematian ibu dan anak.
Tempo mencatat ada 5 agenda penting yang akan dilakukan ( https://kebijakankesehatanindonesia.net/23-agenda/2022-harapan-untuk-menkes-baru ) yaitu:

 Pertama

Pembangunan kesehatan merupakan investasi negara dalam menopang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, orientasinya harus didorong pada aspek promotif dan preventif, tanpa melupakan aspek kuratif dan rehabilitatif.

 Kedua

Pendekatan pembangunan kesehatan pada ibu hamil, bayi dan balita, anak usia sekolah dan remaja, pasangan usia subur, serta usia lanjut. Khususnya, di daerah populasi tinggi, terpencil, perbatasan, kepulauan, dan rawan bencana.

 Ketiga

Perlunya keterlibatan aktif dari kalangan akademis, komunitas, pelaku usaha, dan pemerintah menjadi kesatuan tim kerja. Hal itu dilakukan agar Indonesia mampu bersaing dengan negara lain.

 Keempat

Mengubah pola pikir dari pasif menjadi aktif untuk merespons serta mengantisipasi dari berbagai persoalan yang muncul seperti mengubah intruksi menjadi kerja sama, individualism menjadi team work, dan serve menjadi care.

 Kelima

Peningkatan tata kelola program dan administrasi seperti siklus manajemen, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pertanggungjawaban administrasi melalui sinergitas pusat dan daerah.

Hal yang menarik, dalam Kabinet Kerja saat ini, jabatan Wakil Menteri Kesehatan dihapuskan. Sebelumnya posisi itu dijabat oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD dari Fakultas Kedokteran UGM. Salah satu tugas penting beliau saat itu adalah “mengawal” persiapan dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Di dalam konteks pemerintah Jokowi ada pernyataan politik yang diberi nama Nawacita. Ada sembilan tujuan pemerintahan Jokowi yang perlu disimak untuk sektor kesehatan yaitu:

C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
C2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia
C6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
C7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
C8. Melakukan revolusi karakter bangsa
C9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial indonesia


Mukernas IAKMI 2014

Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)IAKMI ketiga belas tahun 2014 digelar di Padang, Sumatera Barat. Mukernas ini mempertemukan para ahli kesehatan serta masyarakat dari seluruh Indonesia. Tema yang diangkat kali ini (27-29 Oktober 2014) ialah Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat dalam Pembangunan Kesehatan Bangsa di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

kegiatan selengkapnya


Dalam bulan ini, terbit Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014

Sejak awal, Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 ini banyak menimbulkan kontroversi. Pertama, kontroversi terkait “urutan” perundang-undangannya. Idealnya, landasan utamanya adalah Sistem Kesehatan Nasional (SKN), kemudian dijabarkan dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berangkat dari Undang-Undang tentang Kesehatan ini kemudian muncul Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Secara logis, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 ini menjadi “induk” dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Keperawatan.Terlihat di sini bahwa semua logika hukum tersebut menjadi berantakan. SKN yang seharusnya menjadi dasar “hanya” berlandaskan Peraturan Presiden dan baru diterbitkan pada tahun 2012 (Perpres No. 72 Tahun 2012) yaitu 3 tahun setelah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diundangkan. Dengan kata lain, lahir “anak” dahulu baru “ibu.” Kemudian, yang lebih ekstrim adalah UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan jauh sebelum “kakek-neneknya” lahir.

Kontroversi kedua terkait dengan sudah “terlanjurnya” UU No. 29 Tahun 2004 lahir lebih dahulu, kalangan dokter menganggap muatan dalam UU No. 36 Tahun 2014 ini banyak terjadi duplikasi karena khusus untuk tenaga medis sudah diatur lebih dahulu.Terlepas dari itu semua, UU No. 36 Tahun 2014 ini membuka peluang lagi untuk wajib kerja bagi tenaga kesehatan (Pasal 28) yang merupakan solusi masalah maldistribusi tenaga kesehatan di Indonesia khususnya di Indonesia bagian timur. Hal lain yang menarik adalah bagaimana implementasi UU ini untuk wilayah seperti Papua dan Papua Barat yang terbatas jumlah SDM Kesehatannya.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014. Akhirnya perjuangan para perawat yang cukup lama berhasil mendorong disahkannya Undang Undang Nomor 38 Tahun 2014 di saat-saat akhir masa tugas DPR dan pemerintah lama tahun 2009-2014. Kontroversi yang muncul mirip dengan apa yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 mulai dari “urutan” perundang-undangan hingga substansinya yang dinilai terjadi duplikasi.

Hal yang menarik dari UU ini adalah perawat dengan pendidikan di bawah D3 tidak akan diakui. Selama ini, klasifikasi perawat adalah yang paling rumit dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain yaitu mulai dari PKC, lulusan SPK atau SMK, D1, D3, D4, S1, S2, dan S3. Dengan UU ini, perawat dengan pendidikan di bawah D3, masih diberikan kewenangan melakukan praktik keperawatan selama 6 tahun terhitung UU ini diundangkan (Pasal 61). Dengan kata lain, jika tidak bisa meningkatkan jenjang pendidikannya, maka pada tahun 2021, mereka tidak berwenang lagi melaksanakan praktik keperawatan.
Hal terakhir ini akan berimplikasi besar dalam kebijakan peningkatan pendidikan perawat di bawah D3. Jumlah mereka cukup besar sehingga akan berdampak terhadap institusi pendidikan keperawatan baik SDM, fasilitas, sarana-prasarana, anggaran, dan lain-lain.

Ada empat regulasi penting yang disahkan pada bulan Oktober 2014. Silakan klik link berikut lampiran

 

 

 

November 2014

underline

November 2014

Pada bulan ini, ada dua kegiatan internasional penting yang diselenggarakan. Kegiatan pertama adalah Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan PengambilKebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR) Geneva, Swiss3 – 14 November 2014. Prof. Laksono Trisnantoro dan tim reporter yang merupakan konsultan dan peneliti dari FK UGM mengikuti kegiatan ini.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan kedua adalah NHCAA Annual Training Conference (ATC) 2014 (18 – 21 November 2014).
National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) Annual Training Conference (ATC) adalah forum anti fraud layanan kesehatan skala nasional yang diselenggarakan tahunan. Kali ini acara berlokasi di Hyatt Regency Hotel, Dallas, Texas, Amerika Serikat. Konferensi ini menghadirkan pembicara-pembicara dari berbagai institusi yang berpengalaman dalam upaya pemberantasan fraud layanan kesehatan.

Pelatihan ini terbagi dalam empat acara besar yaitu pre-conference, concurrent workshop, networking events, dan anti-fraud expo. Dalam acara pre-conference kita akan mendapatkan informasi dan berdiskusi lebih dalam tentang strategi anti-fraud layanan kesehatan. Berikut ini laporan dari PKMK (Puti Aulia Rahma).

kegiatan selengkapnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan Pengambil Kebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR)

lucy

Reporter: Prof. Laksono Trisnantoro

Bagian 1: Laporan Kegiatan

Sesi 1: Moderator Irene Agyepong

Pemetaan Pendidikan dan Pelatihan untuk HPSR.

Pembicara 1: Pengajaran dan pelatihan untuk HPSR. Presentasi Mapping Studies oleh Tara Tancred.
Pembicara 2: Pemetaan institusi-institusi dan jaringan kerja oleh Michelle Jiminez
Pembicara 3: Adnan Hyder, Pertemuan Baltimore dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health

Sesi 2: Round Table Discussion

Sesi ini membahas berbagai laporan dari negara-negara yang melakukan pengembangan Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan.

Sesi 3: Brainstorming Pengembangan Kapasitas

lucy

Setelah makan siang, dilakukan sesi 3 yaitu brainstorming mengenai arah pengembangan kapasitas HPSR dan peran Aliance. Brainstorming dipimpin oleh Prof Lucy Gilson dari University of Cape Town. Hasil brainstorming ada tiga yaitu:

A. Isu-isu pengembangan HPSR ke depan? Dalam brainstorming ini ada berbagai hal yanG masuk sebagai isu pengembangan untuk HPSR.

  • Apakah penting untuk membedakan fokus Health Policy and Health System? Hal ini menjadi kunci, karena metode penelitian berbeda. Dalam hal ini memang perlu dilihat ada riset kebijakan, ada riset sistem kesehatan, dan kombinasi keduanya.
  • Kelompok-kelompok mana yang perlu dilibatkan: dosen, peneliti, pengambil keputusan, civil society. Kemampuan perlu dikembangkan di dalam konteks perorangan, kelembagaan, serta jaringan.
  • Pengembangan harus dilakukan di level organisasi, National Level, Regional-Cross Regions.
  • Perlu perhatian mengenai politics and policy.
  • Apa gap dalam inisiasi saat ini?
  • Perlu Monitoring and Evaluation.
  • Perlu ada komunikasi yang lebih baik.
  • Tujuan HSPR bukan hanya untuk penelitian saja, melainkan juga untuk mengubah sistem.

Pihak yang terlibat antara lain perorangan, organisasi (PH, university, LSM, funders), kemudian two global bodies yaitu Alliance, dan Health System Global.

B. Beberapa pandangan ke depan:

  • Support the Young researchers
  • South-South partnership
  • Pub Health and Social-Scientist
  • Karir yang baik untuk mereka yang meneliti di kebijakan dan manajemen
  • Pengembangan Modul pendidikan dan pelatihan
  • Kemampuan mentoring perlu dikembangkan
  • Mutu Penelitian
  • Masalah kesulitan bahasa perlu diperhatikan termasuk bagaimana mind-set
  • Domestic Funding perlu dicari
  • Monev perlu diperhatikan termasuk efektifitas kebijakan
  • Perlunya pembahasan Value and Ethics dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

C. Peranan HPSR:

Dalam konteks global, Alliance mempunyai berbagai peran sebagai berikut:

  • Tenaga untuk mengumpulkan berbagai pihak (Convening Power) yang terkait.
  • Global Position for influencing many persons
  • Enabler what others are doing
  • Direct Support untuk pengembangan kapasitas.
  • Knowledge Management
  • Innovation
  • Act as a broker and entrepreneur.

Setelah brainstorming, kemudian dilakukan diskusi kelompok ke tiga unit

Hari ke-2 banyak membahas mengenai peran Alliance. Peran-peran ini masih akan terus dikembangkan dan dibahas dengan Dewan Alliance. Dalam pertemuan hari-2, para kontributor menyebutkan berbagai peran, antara lain:

  1. Repository (pelatihan, produk riset, ilmu pengetahuan dan lain-lain)
  2. Convening (mengumpulkan) orang-orang dan berbagai pihak
  3. Mengembangkan kapasitas Health System di daerah yang rentan (fragile), misal pada kasus Ebola.
  4. Mengembangkan sumber daya domestikuntuk penguatan kapasitas HSPR.
  5. Sebagai contoh untuk role Model, Procedures and Progress
  6. Networking with champions and existing institution

 

 

Bagian 2. Refleksi, Relevansi untuk Indonesia

 PENGANTAR

whobuildingPekerjaan sebagai tenaga ahli yang memberikan masukan-masukan bagi WHO tentunya tidak hanya terbatas memberikan. Selama pertemuan, sebagai tenaga ahli, dapat belajar dari berbagai negara dan juga dari pakar-pakar lainnya. Oleh karena itu, kesempatan selama dua hari di Geneva tidak hanya dalam konteks memberi masukan namun juga mengambil makna atau refleksi sebagai hasil observasi dan pembelajaran. Dalam hal ini, refleksi dilakukan dalam konteks Indonesia yang juga sedang mengembangkan kapasitas dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan.

Sebagaimana yang (sekarang ini) sedang dikembangkan dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia aktif mengembangkan kemampuan para dosen dan peneliti untuk melakukan penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, ada lebih dari 150 FKM, 70 FK, dan banyak Poltekkes yang membutuhkan kemampuan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. Setiap tahun, JKKI menyelenggarakan program pengembangan kapasitas penelitian.

Pertemuan di Geneva, ini menjadi sangat relevan dalam usaha ini. Ada berbagai pembelajaran yang dapat ditarik dari diskusi untuk keperluan Indonesia. Setelah mengikuti Workshop selama dua hari ini, di bawah ini refleksinya.

  Kebaruan isu dan masalah serta jenis penelitian

  • Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan merupakan hal yang baru di Indonesia. Dalam hal ini, ternyata di tingkat global juga masih dalam tahap pengembangan. Dengan demikian, pengembangan di Indonesia tidak terlalu tertinggal dibanding dengan pengembangan di global.
  • Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah: Apakah perlu memisahkan antara Health System dan Health Policy Research. Hal ini memang menarik, ada pragmatism dimana ada tiga kelompok yang tidak hitam putih.
    1. Kelompok Penelitian Kebijakan Kesehatan (Health Policy Research), yang muatannya banyak pada kebijakan.
    2. Kelompok Penelitian Sistem Kesehatan (Health System Research), yang banyak membahas sistem kesehatan, dan
    3. Kelompok Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Dalam hal ini, memang peneliti di Indonesia juga menggunakan pendekatan ketiga jenis ini yang tentunya saling terkait.

      gen18
  • Siapa yang perlu aktif? Dalam hal ini, tidak hanya dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat atau FK, namun juga dosen dari FISIPOL (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik). Dalam konteks Riset Kebijakan, berbagai metode penelitian yang dipergunakan di FISIPOL perlu dipergunakan dalam konteks kebijakan kesehatan (Health Policy Research).


  Apa makna Alliance untuk Indonesia?

  • Apakah penguatan HPSR untuk tujuan internasional atau nasional? Jawabannya adalah penguatan ini untuk kebijakan internasional dan domestik dalam sektor kesehatan atau saling melengkapi.Dalam hal ini, peranan network domestik seperti Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) dapat saling menguntungkan dala hubungannya dengan AHSPR.
  • Tujuan JKKI bekerja adalah men-support penyusunan kebijakan, termasuk penelitian-penelitian kebijakan dan sistem kesehatan. JKKI telah ditetapkan untuk sementara menggunakan model dimana kegiatan-kegiatan Jaringan dilakukan oleh anggota. Untuk sementara ada sistem koordinasi dari UGM sampai ada kemampuan untuk berjalannya Yayasan.
  • Apa peranan JKKI? Apakah mirip dengan Alliance?
    1. Repository yang merupakan tempat untuk menyimpan dan menyebarkan berbagai materi pelatihan, produk riset, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Saat ini kegiatan semacam ini dilakukan oleh UGM dengan berbagai web kebijakan dan manajemen.
    2. Fungsi mengumpulkan orang-orang dan pihak terkait, dilakukan secara besar dalam Forum Tahunan yang dikerjakan secara bergantian. Pada tahun 2015, akan diselenggarakan di Padang dengan penyelenggara Universitas Andalas. Kegiatan-kegiatan pertemuan ilmiah lain dapat dilakukan oleh tiap-tiap anggota.
    3. Mengembangkan kapasitas Health System di daerah terpencil, misal Papua dan NTT.
    4. Mengembangkan sumber dana untuk Riset Kebijakan dan Sistem Kesehatan. Kegiatan ini akan dilakukan oleh cikal bakal Yayasan Kebijakan Kesehatan.
    5. Melakukan kerjasama dengan jaringan serupa di negara lain.


  Bagaimana masalah sumber dana untuk Penelitian Sistem Kesehatan dan Penelitian Kebijakan Kesehatan?

  • Sumber dana berasal dari mana? Di level internasional, memang tergantung dari donor. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
  • Sebaiknya dari mana dana pengembangan dan pelaksanaan penelitian kebijakan? Dalam hal ini, perlu dipikirkan untuk mencari dana dalam negeri, yang diatur dengan peraturan. Misalnya untuk setiap program dan kebijakan kesehatan perlu ada anggaran 1% (sebagai gambaran) untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program-programnya. Dana ini bisa berasal dari pemerintah pusat ataupun daerah.

  Bagaimana Etika dalam Riset Kebijakan di Indonesia

Di Indonesia pasti akan mengalami berbagai masalah etika penelitian, misalnya:

  • Masalah Informed-consent
  • Melaporkan hasil buruk
  • Adanya sensor atau embargo hasil

  Bagaimana cara menyebarkan Metode Penelitian dan Modul?

Di Indonesia perlu dilakukan identifikasi lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian yang tertarik mengembangkan Riset Kebijakan dan Riset Sistem Keseahtan. Hal ini penting untuk mendukung kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan, serta pelaksanaan kebijakan-kebijakan besar nasional seperti Jaminan Kesehatan Nasional, AIDS, TB, Malaria, KIA dan berbagai hal lainnya.

Perlu mengembangkan teknologi penyebaran dan diseminasi yang tepat guna dan efisien. Dalam hal ini pilihan Blended Learning merupakan hal yang penting. Ada beberapa program pengembangan di tahun 2015 dengan menggunakan Blended Learning.

  • Mengembangkan materi untuk policy influence ke Pemerintahan yang baru di setiap Kelompok Kerja. Kegiatan ini akan dilakukan dalam tahun 2015.
    1. Pelatihan mengenai Stakeholders analysis
    2. Pelatihan proses policy Influence
    3. Pelatihan mengenai bagaimana mengarahkan hasil ke pengambil keputusan.
    4. Pelatihan teknik berdebat dan argumentasi.
  • Mengembangkan Modul-modul pelatihan dalam tahun 2015.

Dimulai di bulan Desember 2014. Akan diluncurkan pada bulan April 2015
Sebagai follow-up partisipasi ini, akan diteruskan dengan rapat kerja JKKI dan rencana kegiatan di tahun 2015. Agenda yang akan dilakukan di tahun 2015 antara lain:

  • Penelitian-penelitian
  • Pelatihan dan Workshop
  • Penyebaran ilmu
  • Penulisan Policy Brief
  • Seminar-seminar
  • Forum Nasional

Demikian refleksi kegiatan di Geneva.

 

{jcomments on} 

Reportase Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era JKN

giri

Sambutan dan Pembukaan

giriPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema “Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?”. Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.

Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.

Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.

 

SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

  Kementerian Kesehatan

bambang sMengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.

Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.

 

  Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)

budiMenanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.

 

  SESI DISKUSI

Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.

Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM

  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

hanibalMasih berkaitan dengan Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal, dr. Hanibal Hamidi, M.Kes dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengakui bahwa memang ada gap yang besar antara daerah maju dengan daerah tertinggal di Indonesia, termasuk gap dalam bidang pelayanan kesehatan.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Angka Kematian Ibu (AKI) di 28 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal sebagian besar masih jauh dari target MDG’s 2015 sebanyak 102 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2012. Demikian pula dengan Angka Kematian Bayi (AKB) maupun Angka Kematian Balita (AKABA), meski telah mencapai target MDG’s 2015 namun faktanya masih menjadi persoalan. Sementara itu untuk ketersediaan air minum layak di daerah tertinggal masih jauh dari target MDG’s yang sebesar 68, 87%, yakni hanya sebesar 41, 67% pada tahun 2011, demikian pula untuk status sanitasi layak. Menyusul masalah gizi buruk dan gizi kurang yang masih diatas 20% untuk daerah tertinggal. Adapun untuk ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan, terdapat 303 kecamatan yang belum punya puskesmas, 11.910 desa belum punya poskesdes, kekurangan sebanyak 2.448 dokter puskesmas, dan kekurangan sebanyak 1.897 bidan di daerah tertinggal.

 

  PKMK FK UGM

LT13desSementara itu menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM; pada tahun 2014 PKMK FK UGM bekerjasama dengan 10 Fakultas Kedokteran di Indonesia melakukan monitoring tahap awal pelaksanaan JKN. Monitoring ini merupakan tahap awal penelitian yang akan berlangsung hingga tahun 2019 mendatang, guna melihat efektifitas pelaksanaan JKN kaitannya dengan pencapaian Universal Health Coverage (UHC) 2019.

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level provinsi pada bulan April 2014, provinsi-provinsi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yakni : 1) Kelompok yang sudah maju dan 2) Kelompok yang belum maju. Pembagian ini berdasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung., dan faktanya terdapat perbedaan yang ekstrim dalam ketersediaan tenaga kesehatan ini diantara kedua kelompok tersebut. Skenario optimis tercapainya UHC 2019 diberikan oleh peneliti di wilayah DKI, DIY, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kota/kabupaten di Jawa Barat, sebagian kota di Jawa Tengah, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan skenario pesimis ringan hingga berat diberikan oleh peneliti di NTT, Kalimantan Timur, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Hasil dari skenario menunjukkan adanya potensi ketidakberhasilan pelaksanaan amanat UU SSJN, bahkan ada kecenderungan peningkatan kesenjangan dalam akses JKN antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Karena akses JKN di daerah tertinggal lebih banyak didominasi oleh kalangan masyarakat mampu, sehingga manfaat JKN minim diperoleh oleh masyarakat di daerah tertinggal.Sehingga solusinya adalah pemberian Dana Kompensasi sebagaimana tertuang dalam UU SSJN tahun 2004. Menurut Laksono, pemberian Dana Kompensasi ini wajib hukumnya bagi daerah-daerah yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai.Pengertian Dana Kompensasi diatur lebih lanjut dalam Permenkes No. 71 tahun 2013 yang isinya antara lain :

  1. Dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
  2. Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
  3. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk : penggantian uang tunai;pengiriman tenaga kesehatan; danpenyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
  4. Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
  5. Besaran penggantian atas biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetarakan dengan tarif Fasilitas Kesehatan di wilayah terdekat dengan memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan yang diberikan.
  6. Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.

 

  Pembahasan Materi (Kagama)

bondanMenanggapi materi seputar tema seminar, dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK dari Kagama Kedokteran lebih menyoroti tentang dilematis pemerintah terhadap risiko fiskal dari alokasi dana sektor kesehatan dengan kebutuhan utama pembangunan sektor kesehatan. Dimana berbagi permasalahan pembangunan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari masalah politik dan ekonomi negara.

Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan

Sesi ini lebih banyak membahas “Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM Kesehatan”. Sesi ini dimoderatori oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan sharing experience dari dr. R. Arian D (RS Panti Rapih) dan Diah Saminarsih (staf Ahli Kemkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara). Acara diawali dengan komunikasi langsung melalui webinar dengan RS Ende, dr. Surip Tintin mengungkapkan RS Ende masih kekurangan nakes hingga saat ini.

Kemudian, komunikasi berlanjut dengan RS Soe melalui sambungan telepon, dr. Karolina Ria Tahun menyampaikan, untuk dokter penyakit dalam tidak ada di Soe, hal ini menyebabkan banyak pasien yang dirujuk ke Kupang. Hal ini menjadi kekurangan RS Soe, karena pasiennya masih banyak yang dirujuk ke RS yang lebih tinggi. Beruntung, melalui program Sister Hospital (SH), saat ini RS Soe memiliki dokter kandungan, anak, anestesi, bedah, dan lain-lain. Sementara, untuk merujuk kasus bedah, Soe membutuhkan waktu sekitar 3 jam.

  Pengalaman Pencerah Nusantara

ari 13desPemaparan pertama disampaikan Diah Saminarsih, sebagai co-founder Pencerah Nusantara (PN), Diah menyampaikan bahwa awalnya PN merupakan gerakan sosial. Gerakan ini melibatkan pemerintah, masyarakat serta mass media. Jadi, sifatnya kolaboratif yaitu multi aktor dan lintas sektor. Beberapa hal yang diberikan PN pada masyarakat ialah penguatan layanan primer, infrastruktur dasar, info gaya hidup sehat dan sebagainya. PN bergerak di Sikakap (Mentawai), Pakis Jaya (Karawang), Lindu Obotua (Sulteng), Kelai (Kalbar), dan Tosari (Probolinggo).

Kegiatan PN merupakan bentuk penerjemahan framework ke real action. Informasi lebih jauh tentang PN dapat disimak di Youtube chanel Pencerah Nusantara. PN ini disponsori oleh funding atau hibah, gerakan semacam ini membutuhkan investasi skill dan financing, pesan utamanya ialah primary care ditangani sebagai sesuatu yang serius.

 

  Pengalaman RS Panti Rapih dalam SH NTT

ariandr. Arian langsung memaparkan pengalaman RS Panti Rapih selama mendampingi RS Ende (Pertengahan 2010-Maret 2015). RS Panti Rapih terlibat karena ada kontrak dengan SH NTT, kontrak ini yang mendorong RS Panti Rapih untuk pendampingan PONEK 24 jam RS Ende dan capacity building. Berkaca dari pengalaman tersebut, ada banyak catatan positif yang direkap Arian.

Pertama, dalam kolaborasi antar institusi dalam SH ini, RS swasta lain bisa bergabung jika bersedia. Kedua, pendampingan dalam SH NTT ini sejalan dengan misi RS Panti Rapih yaitu membantu yang berkekurangan dan masih tertinggal. Ketiga, RS Panti Rapih mampu bermitra dengan mitra baru, misalnya bersama dengan RS Panembahan Senopati RS Panti Rapih membantu menyusun Renstra RS Ende. Keempat, RS makin terkenal, hal ini tak dapat disangsikan lagi. Kelima, makin lama mengerjakan PONEK RS Ende, RS Panti Rapih makin baik. Mengapa hal ini terjadi? Mengejutkan, ketika RS Panti Rapih mengadakan Monev RS Ende per tiga bulan, RS Panti Rapih menemukan banyak kekurangan di internal RS-nya. Tantangan ke depan, RS Panti Rapih dan RS Ende akan mendorong Pemda NTT untuk mengalokasikan dana APBD dan BLUD untuk melanjutkan SH.

 

  Skema Pembiayaan

diah 13desSejauh ini, PN menjalankan skema pembiayaan yaitu budget payment system atau dibayarkan sebelum pelayanan kesehatan dilakukan. Dana ini berasal dari swasta atau sponsor dan hibah. Dari sisi pemerintah, terkait dana kompensasi, telah diatur melalui peraturan direktur BPJS. Jika tidak ada faskes- maka pembayaran via kompensasi atau bisa juga kirim tenaga. Hal ini disampaikan Ari, perwakilan dari BPJS.

Diah menegaskan, perlu verifikasi detail gerakan nasional ini, sehingga pembiayaannya sustainable. Harapannya, gerakan ini bisa diadopsi dengan catatan mana yang kurang dapat dibantu dan diperbaiki, jadi bisa direplikasi.

Prof. Laksono menggarisbawahi, Pencerah Nusantara/Panti Rapih/FK apakah bisa menjadi kontraktor untuk pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit ini? Kemudian, Ari menegaskan, ketersediaan faskes merupakan tugas Pemda, termasuk nakes sesuai UU No 32 Tahun 2002 tentang pelayanan.

dr. Hanibal Hamidi, MKes (perwakilan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) mengajukan pendapat, BPJS memiliki beban tinggi atas kinerja, yaitu menjaga kualitas. Sejauh ini BPJS mengemban tugas sesuai amanat UU, yaitu promotif dan preventif yang sifatnya UKP.

Poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah ialah bagaimana mengajak dokter-dokter agar mau mengabdi di daerah. Kesimpulannya, seluruh perubahan diawali dari gerakan sosial dengan motivasi tinggi untuk mengabdi di seluruh pelosok Indonesia (wid).

Gagasan ke depan:  Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.

rukmono 13desSesi 4 membahas mengenai Gagasan Ke Depan: Pengembangan pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit. dr. Rukmono Siswishanto, M. Kes, SpOG (K) mewakili RS Sardjito, dan dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS yang aktif terlibat di PPSDM Kemenkes RS.

Pengembangan residen ke daerah sulit ini menjadi poin penting karena tenaga kesehatan masih sangat terbatas di sejumlah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepualuan (DTPK). Perlu assessment, apa saja yang diibutuhkan di lokasi, misalnya sharing penganggaran. Melalui SH NTT ini, kami mendorong agar RS mampu menjadi lokomotif perbaikan klinis dan modern, ungkap dr. Rukmono. Hal yang menjadi catatan, pertama, program perbaikan mutu dan pemenuhan nakes ini masih ada yang kurang tepat. Misalnya, tugas belajar atau tubel kurang sustainable, karena tidak menjamin ketersediaan tenaga pasca program. Penilaian Mutu sebaiknya dilakukan oleh yang diberi pelayanan. Poin yang ingin disampaikan SH, ialah pemberdayaan melalui people and education. Para residen yang dikirim, umumnya diterjunkan dalam tim. Mengapa tim? Karena mereka lebih terorganisir dan lebih terarah jika bekerja secara tim.

andre 13desdr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS menyampaikan di Indonesia ada dua pembagian daerah, yaitu daerah masalah kesehatan dan non kesehatan serta daerah diminati dan kurang diminati. Problem yang dihadapi Indonesia ialah masih banyak daerah konflik, tidak diminati, terpencil, yang belum terjangkau akses pelayanan kesehatan. Maka, perlu kolaborasi antara health system dan health outcome untuk menyelesaikan hal ini.

DTPK dan Daerah Kurang Diminati (DKM) atau sering disebut dengan “daerah airmata” menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat untuk pemerataan layanan kesehatan. Pemda harus dominan untuk daerah fiskal tinggi seperti Kaltim dan Kepri, masalah pokok mereka ialah tidak ada SDM-nya karena visi kesehatannya tidak ada. Pemerintah Pusat harus mendorong daerah, apa saja yang harus dibangun? BPJS dan Kementrian Daerah Tertinggal harus bertemu dan duduk bersama menemukan solusinya, karena regulasi yang ada belum menyatukan lintas sektor.

Isu Penting: Sustainability

Bagaimana operasionalnya? Sistem perekrutan melalui PNS hanya bisa diterapkan di daerah normal. CPNS di DTPK, hasilnya nol karena banyak nakes yang tidak mau ditempatkan di DTPK. Permasalahan kekurangan nakes di DTPK dapat diatasi dengan beragam pendekatan, antara lain: flying doctors (pengalaman Australia), mobile grounting (praktek di Afrika Tengah), dan pelayanan antar pulau atau RS terapung (namun logistik masih menjadi masalah).

Maka, solusi yang ditawarkan ialah kontrak/privatisasi, bisa berdasarkan team, umum atau institusi (seperti program SH NTT). Kemudian, catatannya, apakah PTT yang ditempatkan mempunyai hak dan kewajiban seperti pegawai normal? Sayangnya, insurance di PPSDM tidak dibahas karena hal ini tidak diatur Permenkes.

Linda ( perwakilan dari Kemenkes) memaparkan, mobile doctors ini sudah dilaksanakan di tahun 2008 melalui program P2KTP (mobile klinik via pesawat dan speedboat). Tim yang terlibat dalam mobile ini antara lain, dokter, bidan, dan ahli gizi. Support dana banyak dari Bansos. Lalu, Bansos harus dikelola Kementrian Sosial, jadi terputus. Kemudian, program ini dilanjutkan di daerah Kepri, Aceh, Papua, Maluku dan NTT melalui dana dekonsentrasi. PTT membagi ilmu dengan dokter umum di daerah dan Pemda mendukung finansial untuk operasional mereka. Sustainability service, yang berarti pusat harus mendorong finansialnya. Maka, pengorganisasian yang harus diatur kembali.

Diskusi:

Pertanyaan pertama, Rudi (pegawai Puskesmas/Jatim) menanyakan di era JKN, BPJS telah melakukan tindakan promotif dan preventif namun masih sebatas obat. Hal lain tidak ter-cover BPJS. Lebih banyak ke UKP atau tergantung pimpinannya. Jadi, Puskesmas bisa maju bagaimana bisa terus berkembang?

Pertanyaan kedua, dari audiens yang berasal dari Kutai Timur, sustainability program mobile ini tidak ada, karena terkait dana. Mobile clinic sudah lebih dulu dilakukan Kutai Timur.

dr. Rukmono: jika ada kontrak, maka pembagian tugasnya jelas. Tenaga Puskesmas mirip di RS, namun dalam skala kecil. Namun sayangnya, saat ini, Puskesmas terpisah dengan RS.

dr. Andre, Jakarta sudah melakukan pemisahan, karena terjadi kelebihan nakes. Satu catatan terpenting yaitu inovasi daerah sering dilakukan, namun dokumen dan sharing experience sering terlewat untuk dilakukan. Jika keduanya teraasip dengan baik, maka inovasi tersebut akan mudah diikuti daerah lain.

Permasalahan daerah tertinggal atau yang berpotensi maju, jika tidak hati-hati maka akan semakin tertinggal, maka harus siap. Apa poin penting dalam hal ini? DTPK penting sekali, hal mendasar yang diperbaiki ialah masalah manajemen, termasuk kontrak yang jelas dan tidak dikorupsi. Lalu, PTT kontrak perorangan tidak bermanfaat untuk daerah terpencil. PTT yang diterjukan dalam tim akan bermanfaat di lapangan. Jadi, dana Kemkes bisa pindah ke program tim ini tidak? Atau melalui kontrak?, ungkap Prof. Laksono. Biaya investasi kesehatan (BIK) dapat berupa SDM, pelatihan dan lain-lain. Lalu, Siapa kontraktornya?

Pra Simposium 1, 29 September 2014

30sept-1

Transforming Health Workforce Education for Health Equity: Practical Tools and Approaches

30sept-1Kebutuhan tenaga kesehatan yang terlatih ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini juga dialami beberapa negara di dunia. Kekurangan tenaga kesehatan juga menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh di Sub Sahara Africa, ketidakadilan pelayanan kesehatan disebabkan; 1) lebih dari 50% kasus kelahiran tidak ditangani tenaga kesehatan terlatih, 2) lebih dari 10 penduduk hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses ART, 3) dan perkiraaan kurang dari 25% yang mengakses KB. Sehingga hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, dimana; 1) secara global masih kekurangan 7,2 juta dokter, perawat, dan bidan, 2) ketidak merataan distribusi tenaga kesehatan baik daerah pedesaan maupun perkotaan, 3) keahlian campuran antara jenis dan spesialisasi yang tidak dimiliki tenaga kesehatan yang dibutuhkan.

Hal-hal tersebut didukung oleh beberapa laporan yang menandai bukti-bukti dalam hal tantangan untuk tenaga kesehatan seperti; 1) laporan WHO dan rekomendasi (2006), rekomendasi peningkatan akses pendidikan bagi tenaga kesehatan didaerah pedesaan dan daerah terpencil (2010), transforming dan meningkatkan pendidikan profesional kesehatan dan pelatihan (2013), 2) Laporan di Jurnal Lancet (2010) mengenai komisi global untuk pendidikan profesional kesehatan, dimana merekomendasikan agar mereformasi instruksional dan institusional untuk menghasilkan tim tenaga kesehatan yang mampu menemukan kebutuhan kesehatan masyarakat dan merata dan efisien, 3) Konferensi Mahidol Awards di Thailand 2014, yang menjelaskan transformasi pembelajaran untuk pemerataan kesehatan, dan bagaimana reformasi bagi pendidikan pemimpin tenaga kesehatan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan pendidikan tenaga kesehatan memiliki tantangan tersendiri. Kebutuhan di lapangan dan proses pendidikan di tingkatan lembaga pendidikan tidak sama. Bahkan lulusan yang sudah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang banyak ditemui tidak dapat menyesuaikan kebutuhan daerah.

Untuk mengatasi hambatan pendidik tenaga kesehatan, muncul beberapa inovasi untuk membangun kapasitas institusi dalam sistem yang terhubung antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan. Inovasi ini dijalankan dengan beberapa tools atau pendekatan yang telah dijalankan beberapa negara seperti di Kenya yaitu BBB (Bottleneck and Best Buys). BBB tools ini merupakan suatu alat untuk mengkaji atau menilai sekolah kedokteran pda sembilan bagian seperti yang telah diidentifikasi oelh WHO dan WFME. Pada bagian ini proses sistemtik menggunakan cross sectional survey untuk pengambilan datanya dan informasi yang didapatkan akan digunakan untuk menemukan bottleneck dan mengembangkan keputusan investasi berbasis bukti. BBB ini telah direview dari berbagai tingkatan dan cocok digunakan di Kenya dan inovasinya juga diadopsi atau dipergunakan.

Beberapa inovasi berhasil menemukan bottleneck gap yang berhubungan antara misi institusi dan perencanaan dan pengawasan untuk keuangannya. Kemudian menemukan gap pada penyusunan kebijakan yang dibutuhkan dan implementasinya seperti isu gender, isu tentang petunjuk teknis klinis. Ditemukan juga gap pada pengembangan fakultas, gap pada instruktur klinis, investasi pada infrastruktur dan peralatan, gap pada pendukung akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.

Akhirnya aksi prioritas yang harus dijalankan untuk inovasi dalam mengatasi bottleneck adalah;

  1. Melakukan pengembangan kebijakan, mendiseminasikan kebijakan tersebut, dan melakukan advokasi,
  2. Pembangunan kapasitas manajemen dengan perencanaan stratejik, bisnis, dan investasi, serta juga memobilisasi sumber daya,
  3. Penguatan pada kurikulum pemerintah di tingkat nasional, sub nasional, dan institusi,
  4. Membangun kompetisi fakultas dan mengembangkannya, termasuk didalamnya yaitu instruksi klinis dan pengawasan khusus,
  5. Penguatan pendekatan OdeL,
  6. Pendekatan pada penguatan inovasi dan mobilisasi berbagai macam sumber daya dan manajemen yang ditransformasi ke sektor bisnis dan kerjasama
  7. Hubungan strategis dengan tingkat nasional dan sub-nasional.

Sebagai implementasi aksi untuk transformasi pendidikan kesehatan menuju keadilan kesehatan perlu dilakukan;

  1. mengaplikasikan pendekatan BBB,
  2. Meningkatkan program pendidikan bagi bidan,
  3. Mengadopsi pendidikan berbasis masyarakat,
  4. Melakukan penelusuran terhadap kelulusan mahasiswa atau alumni,
  5. Melakukan estimasi besarnya biaya untuk pendidikan kesehatan atau unit cost,
  6. Penguatan sekola melalui pembuatan keputusan berdasarkan data informasi.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

Primary Health Care Performace Inisiative: Measurement,Learning and Improvement

30sept-2

PKMK – Primary Health Care (PHC) yang dikenal sebagai Puskesmas di Indonesia menjadi topik yang menarik pada sesi ini sebagai bentuk kerjasama Bill & Melinda Gates Foundation dan World Bank Group serta bekerja sama dengan Ariadne Labs dan Development Institute. Inisiatif Penilaian Kinerja PHC menghasilkan informasi untuk membantu pengambil keputusan di negara yang berpebghasilan rendah dan menengah sebagai bagian untuk meningkatkan PHC dan mancapai tujuan masyarakat yang sehat.

Inisiatif kinerja ini berfungsi mengumpulkan informasi yang sistematik tentang batasan atas kinerja bagi sistem PHC, mengeksplorasi sistem dari perspektif indovidu dengan melihat apa yang terjadi dengan fasilitas kesehatan dan progam kesehatan masyarakatnya, bagaimana pengalama di berbagai negara dan apa yang bisa diberikan kepada pembuat keputusan dan manajer sistem kesehatan dapat mencapai cakupan secara efektif dan meningkatkan hasil pelayanan kesehatan.
Komponen Inisiatif Kinerja PHC yaitu:

Pengukuran (Measurement)

Inisiatif menjadi bagian penting dari berbgai negara dengan melihat adanya data yang diperoleh sebagai bagian dari penilaian atas kinerja PHC. Insiatif ini mengukur dan mengembangkan proses secara metrik melalui literatur dan mencontoh keberhasilan yang sudah ada untuk menghasilkan pemahaman tentang sistem kinerja yang tinggi, dimana bertujuan memperbaiki sistem kinerja bagi PHC. Dicontohkan pengukuran metrik dengan alat ukur Metrik versi 1.0 dan versi yang terakhir Metrik 2.0. Alat ini menjelaskan variasi yang ada untuk kinerja dan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang investasi, kebijakan, dan praktik di lapangan untuk menghasilkan sistem kinerja yang baik.

Pembelajaran (Learning)

Komponent pembelajaran merupakan usaha yang memfokuskan pada hasil/bukti yang ada di sistem kinerja PHC dan melakukan analisis variasi pada kinerja Metrik PHC untuk memahami faktor penentu kinerja. Inisiatif ini juga menelusur pengalaman beberapa negara pada implementasi kebijakan PHC, praktik, dan pelaksanaan progam dengan tujuan mengembangkan intervensi-intervensi yang dapat diukur dan di evaluasi.

Perbaikan (Improvement)

Hal yang terakhir, inisiatif perbaikan ini bertujuan untuk mendukung PHC meningkatkan usaha atau upayanya untuk mendiagnosa proses yang telah dilakukan. Gambarannya adalah tentang pengetahuan yang dimiliki, mengevalasi dan menilai praktek dan intervensi baru dengan menggunakan tes, evaluasi, dan adaptasi baru. Inisiatif ini juga bertujuan meningkatkan kerjasama di beberapa negara dan mengembangkan hubungkan kerjasama ini.

New Measurement Domains

Kompetensi Provider

Melihat kualitas klinis, kompetensi, produktivitas dan fasilitas, serta masyarakat berbasis provider.

Motivasi Provider

Berbasis karakteristik yang instrinsik dan berbasis lingkungan yang melihat dampak lingkungan dan kinerja fasilitas dan masyarakat berbasis provider

Keberlanjutan dan Koordinasi

Menggunakan sumber daya yang ada dan mengubungkan program-program dan kegiatan pelayanan kesehatan diantara berbagai provider.

Responsif

Persepsi masyarakat pada kualitas personal dan berbagai dimensi pelayanan yang mempengaruhi penggunaan layanan.

Penguatan di Masyarakat

Pengetahuan masyarakat tentang preventif dan promotif dan dukungan terhadap PHC dari tokoh masyarakat.

Sebagai bagian terakhir, pada kesempatan ini Indonesia yang di wakili oleh Pak Pungkas dari Bappenas menceritakan gambaran PHC (Puskesmas) di Indonesia. Sistem kesehatan untuk Puskesmas telah di bangun di Indonesia meskipun memang banyak tantangan di mana jumlah Puskesmas yang semakin bertambah dan adanya sistem kesehatan baru dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk membangun Puskesmas menjadi provider yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya dari sisi klinis tetapi juga penguatan pda sisi promotif dan preventif.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

Improving Recommendation for Policies and Practices to Strengthen People-Centered Health System: Is The State of Evidence Sufficient?

Sesi ini bertujuan untuk me-review standar bukti dalam program keluarga berencana dan bagaimana bukti serta pengetahuan disintesa untuk menginformasikan rekomendasi bagi perubahan kebijakan dan implementasi yang terpusat pada kebutuhan pengguna. Sesi yang dimoderatori oleh Laura Reichenbach dari Population Council ini didesain untuk menjadi sesi yang interaktif, dengan menyediakan waktu yang cukup untuk terjadinya diskusi antara peserta dengan para narasumber maupun antar-peserta. Diharapkan peserta dapat

  1. memilih dan mengkampanyekan adopsi kebijakan dan prakteknya yang berbasis pada bukti,
  2. mempertemukan antara peneliti dengan pelaksana kebijakan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan secara lebih baik,
  3. menentukan seberapa banyak bukti yang diperlukan untuk menyusun kebijakan yang berdampak luas dan
  4. memproduksi bukti yang dibentuk untuk mengkampanyekan perubahan kebijakan dan implementasinya.

askewPara pembicara berasal dari Population Council, USAID, WHO dan Ghana Health Service. Sementara, para peserta berasal dari berbagai institusi penelitian maupun pembuat kebijakan, dari Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Ian Askew dari Population Council sebagai pembicara pertama memaparkan tentang berbagai metode review yang dapat digunakan untuk mensintesa hasil-hasil penelitian, yaitu systematic review, realist review dan rigorous review. Ada beberapa referensi yang digunakan oleh pembicara untuk mendefinisikan systematic review, antara lain dari Cochrane, Institute of Medicine US National Academic of Sciences dan UK National Institute for Health and Clinical Excellence. Jika systematic review harus dimulai dengan pertanyaan yang jelas, menelusuri literatur hingga memperkirakan adanya risiko, maka rigorous review dimulai dari diskusi umum dan tidak selalu disertai dengan literatur. Realist review merupakan upaya untuk mengidentifikasi kausal utama yang kompleks dan menjelaskan bagaimana review ini bekerja dalam konteks spesifik untuk menghasilkan outcome tertentu.

 

3 nhan tranSalah satu contoh yang diangkat oleh Shawn Malarcher (USAID) sebagai pembicara selanjutnya adalah program HIP. Bedanya program HIP dengan program-program lain diantaranya adalah bukti-bukti direview, disintesa dan dikemas khusus untuk program manager, bukti-bukti yang digunakan rigorous namun realistis, serta dampak terhadap penggunaan kontrasepsi lebih luas, dapat direplikasi, jangka panjang hingga biayanya dapat ditekan.

Salah satu hal yang mendapat penekanan pada sesi ini adalah peran peneliti dan bagaimana menyatukan para peneliti dan pengambil kebijakan dalam satu proses pembelajaran. Menurut Nhan Tran (WHO) lesson learnt yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana mendukung proses peningkatan kapasitas pengguna hasil penelitian dan penelitiitu sendiri terhadap suatu program, bukan sekedar bagaimana mengaplikasikan hasil riset ke tahap implementasi. Isu-isu kedepan menurut Tran antara lain:

 

  • Bagaimana meningkatkan kapasitas dari sebuah program,,
  • Bagaimana meningkatkan kualiats data yang sudah ada untuk mendukung implementasi,
  • Bagaimana memberikan insentif untuk program-program yang lebih berorientasi pada praktek,
  • dan menyelaraskan berbagai pendanaan program penelitian untuk proses pembelajaran yang lebih melekat dan lebih intensif,

Contoh yang sudah pernah dilakukan oleh WHO dalam Alliance adalah bagaimana menggunakan data untuk pembuatan kebijakan, meningkatkan kualitas data, meningkatkan kemampuan analisis data, konsultasikan hambatan penggunaan data dan sebagainya. Kegiatan lain contohnya adalah bagaimana memfasiliitasi pengguna implementation research untuk mendukung pengambilan keputusan. Ada penelitian-penelitian dalam topik ini yang kemudian didanai oleh WHO. Monitoring dan evaluasi harus bisa menghasilkan bukti yang berkelanjutan. Hanya peneliti yang peduli dengan istilah “Monev” atau M&E, para pengambil kebijakan tidak peduli dengan istilah-istilah seperti itu. Hal yang dipentingkan adalah konten dan konteksnya. Jadi jangan memaksakan istilah-istilah dalam penelitian kepada para pengambil kebijakan.

karenJenis-jenis bukti yang bisa digunakan tidak selalu harus dalam bentuk publikasi atau literatur, melainkan bisa juga dalam bentuk pengetahuan, informasi, ide dan ketertarikan, politik bahkan ekonomi. Hal tersebut dipaparkan oleh Karen Hardee (Population Council). Ia mengangkat contoh pemberian penyuluhan dan terapi bagi para penderita HIV di India. Dokter bekerja dalam suatu sistem yang berbeda dengan para peneliti dan pelaksana progam HIV. Ini ynag menyebabkan banyak hal kurang selaras dalam menjalankan program HIV tersebut. Oleh karenanya, program manager HIV harus paham dengan lingkungan dimana program tersebut akan diimplementasikan agar lebih optimal.

Patrick Kuma Aboagye (Ghana Health Service) sebagai pengambil kebijakan di level district dan pelaksana kebijakan yang dibuat di level nasional. Ia memberi contoh kasus hasil penelitiannya mengenai pelaksanaan program KB khususnya pemasangan implan yang dilakukan oleh para kader kesehatan. Selain itu juga dapat meningkatkan efektivitas dan keselamatan pasien, karena beban bidan menjadi lebih ringan dengan adanya bantuan dari para kader. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kebutuhan akan pengendalian kelahiran. Dengan meningkatkan kemampuan dan peran kader, cakupan KB lebih tinggi, kesadaran masyarakat meningkat untuk mengendalikan kelahiran, tidak ada komplikasi dan angka drop out (removal) menurun. Namun para pengambil kebijakan tidak setuju dengan hal tersebut, karena dianggap bukti yang mendukung masih kurang.

Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang menarik dan hangat, dimana interaksi antara pembicara dengan peserta dan antar-peserta cukup intensif. Banyak poin penting dan pembelajaran yang dapat disimpulkan dari sesi ini, antara lain bahwa peneliti tidak bertugas untuk mengubah pembuat kebijakan menjadi peneliti juga, melainkan bagaimana menghasilkan feedback dari hasil penelitian pada para pembuat kebijakan tersebut.

Komponen penting dari pengambilan keputusan adalah:

  • value dari keputusan
  • karakter partisipatori dari pengambilan keputusan, yaitu ada fairness dan engagement di dalamnya.

Peneliti perlu terlibat dalam pengambilan keputusan dan sebaliknya pembuat kebijakan harus memiliki akses terhadap data yang baik.

Berbagai pertanyaan kunci perlu dilihat lagi, antara lain: pendekatan mana yang akan digunakan, konteks mana yang tepat dari sebuah bukti, bagaimana melibatkan para pelaksana kebijakan dalam agenda penelitian, bagaimana meng-handle ideologi, siapa mendengar siapa dan kebijakan apa untuk siapa. (pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

Implementation Research and Delivery Science Challenges for HIV/AIDS

Sesi ini diselenggarakan oleh UCSF dengan WHO. Sesi satelit ini dipimpin oleh Nancy Padian dari University of California San Fransisco, USA. Sesi ini dimulai dengan overview tentang apa yang telah dilakukan Alliance Health Services (AHS)- WHO dan bagaimana integrasi “implementation research” dalam HIV/AIDS program. Tantangan utama kesehatan masyarakat secara global adalah bagaimana mengambil “research evidences” untuk intervensi dan mengimplementasikannya dalam situasi nyata (bukan penelitian). Dalam presentasinya yang mengawali satellite meeting pada 29 September, Nhan Tran menyebutkan bahwa biasanya setelah mendapatkan research evidence dan kemudian akan diterapkan dalam suatu implementasi yang berskala luas, maka implementasi tersebut kacau. Skenario yang sempurna untuk implementasi program sudah dirancang tetapi hal tersebut hampir tidak pernah terjadi, karena desain dan proses yang terjadi berbeda dengan yang diharapkan.

Implementation research mensyaratkan bahwa penelitian sebaiknya menjadi bagian dari implementasi program, serta menggunakan desain dan pendekatan yang fleksibel dan “embedded” dalam program yang ada. Dengan demikian, dibutuhkan “enggangement” yang luas dengan seluruh stakeholders dan melibatkan semua disiplin untuk menjawab tantangan implementasi yang kompleks. Oleh karena implementation research merupakan usaha kolektif dan kolaboratif. Maka, sangat penting bahwa orang-orang yang bekerja di garis depan; baik yang sedang menjalankan suatu program yang spesifik maupun yang berada dalam sistem kesehatan harus memahami pentingnya kolaborasi dalam upaya “implementation research” (lihat http://www.who.int/alliance-hpsr/alliancehpsr_irpguide.pdf ).

Sesi-sesi selanjutnya dalam “satellite meeting” ini kemudian mempresentasikan pengalaman implementation research yang telah dilakukan oleh beberapa institusi dalam HIV/AIDS di Afrika. Meg Doherty dari WHO menekankan pada implementation research yang “clinically relevant” tetapi pada saat yang bersamaan juga harus “operationally relevant”. Kemudian Charles Holmes dari CIDRZ menekankan pada “learning while we go” yang mengembangkan inovasi untuk “scaling up” program yang dikerjakan di Zambia. Dengan jumlah 500 ribu pasien yang terdaftar dan ditangani dalam kliniknya, pengumpulan data yang bagus (namun seringkali bermasalah) dapat dilakukan untuk melihat outcome pasien. Di sini para dokter yang memeriksa pasien merupakan stakeholder yang sangat penting untuk menghasilkan data dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kaidah-kaidah dalam penelitian. Francois Venter, presenter berikutnya dari WITS mempresentasikan kondisi dalam memberikan pelayanan tetapi sekaligus melakukan penelitian, serta mengemukakan isu tentang bagaimana mengevaluasinya. Menurutnya, penelitian harus sangat fleksibel sehingga ketika ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan harus segera dapat disesuaikan. Francois mencontohkan adanya keluhan beberapa pasien/responden yang harus mengambil sendiri setiap kali ARV diperlukan; kemudian mengusulkan setiap enam orang penerima obat, hanya salah satu dari mereka yang akan mengambil obat. Dengan cara seperti ini, pasien lebih banyak bisa dijangkau dan program dapat berjalan dengan baik.

Reporter: Retna Siwi Padmawati