Diskusi ke-15 UU Kesehatan: Dampak Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Pelayanan THT

Diskusi ke-15 UU Kesehatan
Jumat, 1 September 2023  |   Pukul: 13:00 – 15:00 WIB

Webinar ini membahas dampak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terhadap pelayanan THT. Webinar dipandu oleh dr. Mahatma Bawono, MSc, Sp.T.H.T.B.K.L (Ketua Komite Quality Control RSA UGM) selaku moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. yang menyampaikan peluang dan persiapan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terhadap pelayanan THT. Dalam UU ini, aturan mengenai kesehatan penglihatan dan pendengaran menjadi satu pada Bab V tentang upaya kesehatan bagian kesepuluh pasal 71-73. Meski demikian, pasal yang mengatur tentang upaya kesehatan pendengaran juga terkait dengan bagian lain yang mengatur tentang sistem informasi, SDM, pendanaan, dan obat serta dimana letak kolegium dan konsil. Ketika berbicara mengenai teori reformasi, transformasi kesehatan merupakan reformasi kesehatan sejati yang mengatur banyak tombol sistem kesehatan untuk mencapai tujuan pada populasi target. Dengan demikian, akan ada peluang untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan pendengaran dengan menggunakan prinsip transformasi kesehatan dengan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2023. Untuk memanfaatkan peluang ini, diharapkan ada tim tangguh yang berjalan jangka panjang untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah, termasuk untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan ini.

video

Moderator dr. Mahatma Bawono, MSc, Sp.T.H.T.B.K.L

dr. Mahatma Bawono, MSc, Sp.T.H.T.B.K.L (Ketua Komite Quality Control RSA UGM) selaku moderator menyampaikan bahwa setiap ada regulasi baru maka pasti ada implikasi yang mengikuti. Melalui diskusi ini diharapkan muncul berbagai sudut pandang terkait dengan muatan UU Kesehatan ini terkait dengan pelayanan THT.

Narasumber Utama dr. Agus Surono, MSc, PhD, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.B.E.(K)

Sesi pembahasan disampaikan oleh dr. Agus Surono, MSc, PhD, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.B.E.(K) yang mengawali pemaparan dengan menunjukkan berbagai beban penyakit bidang THT mulai dari gangguan pendengaran, ketulian, serumen, OMSK, tuli kongenital, GPAB, presbikusis, hingga ototoksik. Indonesia juga masih menghadapi masalah akses dan mutu pelayanan THT baik terkait dengan ketersediaan, distribusi, dan kompetensi SDM, maupun terkait dengan fasilitas kesehatan di bidang THT yang belum memadai. Selain itu masih ada beberapa tindakan medis yang belum dapat dilakukan di daerah yang disebabkan masih kurangnya SDM, fasilitas dan infrastruktur.
Sebelum UU Kesehatan ini, aturan tentang penanggulangan gangguan pendengaran diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2020 tentang penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran. Dalam Permenkes ini pada bab 4 pasal 8 diatur tentang penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran yang diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sementara dalam UU Kesehatan, ketentuan tentang penglihatan dan pendengaran terdapat di pasal 71-73. Meski demikian, terdapat pasal-pasal lain terkait upaya pendengaran antara lain dalam hal pendanaan kesehatan, SDM kesehatan (kolegium, konsil, task shifting, sister hospital), serta dalam hal pengembangan teknologi. Tantangan terkait UU Kesehatan ini antara lain bagaimana menyusun PP sebagai aturan turunan dan bagaimana kerjasama dengan kelompok pelayanan di bidang THT.

video   materi

Pembahas dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) dan dr. M. Arif Purnanta, M.Kes., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K)

dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) memberikan tanggapan dengan menggarisbawahi bahwa untuk mencapai tujuan meningkatkan derajat kesehatan dan menurunkan angka disabilitas, harus dipetakan terlebih dahulu berbagai permasalahan kesehatan pendengaran. Prioritas masalah kesehatan pendengaran adalah tuli kongenital dan infeksi kronik. Dengan demikian, perlu ada universal hearing screening yang melibatkan peran multidisiplin, tentunya dengan pendanaan yang mendukung. Kolaborasi yang intens juga dibutuhkan untuk mengatasi tidak meratanya fasilitas dan jumlah dokter THT. dr. M. Arif Purnanta, M.Kes., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) menambahkan tanggapan dengan memotret fenomena dari tempat kerja, bahwa masalah alat diagnostik masih jauh tertinggal dan masih menggunakan targeted hearing screening. Apabila screening dapat dilakukan sedini mungkin maka beban biaya untuk permasalahan gangguan pendengaran dapat berkurang.

video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi banyak dibahas mengenai universal hearing screening dengan melibatkan rumah sakit maupun PPK 1. Metode task shifting pada bidan juga dapat dipertimbangkan karena banyak proses kelahiran yang ditangani oleh bidan, sehingga universal screening dapat dilaksanakan sedini mungkin. Diskusi tentang dampak UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terhadap pelayanan THT diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 1 September 2023
Pukul 13:00 – 14:00 WIB

  Kegiatan

 

Moderator: dr. Mahatma Bawono, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L.


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video


Narasumber: dr. Agus Surono, M.Sc., Ph.D., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.B.E.(K)

video   materi


Penanggap 1: dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K)

video


Penanggap 2: dr. M. Arif Purnanta, M.Kes., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K)

video


Sesi Diskusi

video

Pengembangan Perawatan Palliative berlandaskan UU kesehatan 2023 : Rancangan Pendidikan, Pelayanan dan Penelitian

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan
Selasa, 12 September 2023  |   Pukul: 19:00 – 20:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-19 yang membahas potensi pengembangan perawatan paliatif dalam hal rancangan pendidikan, pelayanan, dan penelitian berlandaskan UU Kesehatan Omnibus Law. Webinar ini dipandu oleh Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

12septr 2Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengantar webinar dengan sejarah paliatif di Indonesia sejak 1992 hingga saat ini memasuki era UU Kesehatan. Terdapat berbagai pengembangan pelayanan paliatif mulai 1992 hingga 2022 di Indonesia, namun dalam tatanan regulasi, perawatan paliatif belum diatur dalam level Undang-Undang melainkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan saat ini telah mengatur sistem pelayanan kesehatan secara reformis, salah satunya adalah tentang paliatif sebagai bentuk pelayanan kesehatan: promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Namun bagaimana paliatif dikembangkan dalam pelayanan di lapangan termasuk pendanaannya? Bagaimana pendidikan untuk tenaga yang memberikan pelayanan paliatif, apakah dokter, perawat, atau social worker? Bagaimana penelitian-penelitian terkait pelayanan paliatif? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu didiskusikan sehingga pelayanan paliatif di masa mendatang akan semakin mantap dengan adanya UU Kesehatan.

Pembahasan oleh Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC

12septr 2Paparan yang disampaikan oleh Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC mengangkat topik rancangan pendidikan, pelayanan dan penelitian untuk pengembangan perawatan paliatif di Indonesia berlandaskan UU Kesehatan 2023. Indonesia sebagai anggota WHO merekomendasikan bahwa perawatan paliatif adalah bagian integral dalam tatalaksana penyakit yang dapat mengancam jiwa. Di Indonesia, kebutuhan perawatan paliatif sangat mendesak untuk mencapai hasil pengobatan yang efektif dan efisien, namun masih harus menghadapi berbagai kendala perawatan paliatif yang muncul dari dunia pendidikan, profesional, kebijakan pemerintah, dan masyarakat.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, paliatif termuat dalam pasal 1 ayat (2) bahwa upaya kesehatan adalah segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan/atau paliatif oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Dalam pasal 18 ayat (1) yang dimaksud dengan “upaya kesehatan perorangan yang bersifat paliatif” adalah upaya kesehatan yang ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya yang menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa. Berdasarkan UU ini, masyarakat diberikan wewenang untuk turut ambil peran dalam mengembangkan perawatan paliatif. Paliatif tidak hanya menjadi domain pemerintah pusat saja, melainkan juga pemerintah daerah dapat diberikan tanggung jawab. Interdisciplinary approach, koordinasi, SDM, dan kunjungan keluarga kini telah diatur dalam undang-undang.

12septr 2Muatan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 sangat mendukung pengembangan perawatan paliatif. Lahirnya UU ini menjadikan insan paliatif memiliki beban yang tidak ringan sehingga perlu memberikan masukan kepada pemerintah untuk peraturan turunan yang dapat diimplementasikan. Diperlukan peran aktif pratisi paliatif dan seluruh stakeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pendidikan, pelayanan dan penelitian. Diharapkan dalam turunan UU Nomor 17 Tahun 2023 terdapat ketentuan yang mengatur pelayanan paliatif yaitu terkait definisi, model, dan perawatan di level pelayanan kesehatan, SDM, akses perawatan paliatif, obat, support system, organisasi perawatan dengan referral system, dokumentasi, assessment tools dan guidelines, quality dan safety issue, sistem pelaporan, research policy, standard, akreditasi, dan resources.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, moderator memandu pembahasan terkait pendidikan paliatif untuk SDM Kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat primer, RS sekunder maupun tersier. Selain itu, perawatan paliatif juga berkaitan dengan pasal-pasal lain dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan seperti pendanaan kesehatan dari pemerintah pusat, daerah, atau BPJS sehingga diperlukan ahli pendanaan untuk menerjemahkan kebijakan pendanaan untuk menopang pelayanan paliatif di Indonesia.

Diskusi tentang potensi pengembangan perawatan paliatif dalam hal rancangan pendidikan, pelayanan, dan penelitian berlandaskan UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net  di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

NARASUMBER

Moderator: Dr. dr. Darwito, SH,Sp.B(K)Onk


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC

video   materi


Pembahas: dr. Agus Ali Fauzi, PGD Pall.Med (ECU)

video


Penutupan Diskusi

video

  Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 12 September 2023
Pukul 19:00 – 20:00 WIB

  Kegiatan

Moderator: Dr. dr. Darwito, SH,Sp.B(K)Onk


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC

video   materi


Pembahas: dr. Agus Ali Fauzi, PGD Pall.Med (ECU)

video


Penutupan Diskusi

video

Masa Depan Pelayanan Kesehatan Ibu dalam kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 14:00 – 15:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-21 yang membahas masa depan pelayanan kesehatan ibu dalam kerangka UU Kesehatan. Webinar ini dipandu oleh Monita Destiwi, MA sebagai pemantik diskusi dan moderator.

Pengantar oleh Shita Listya Dewi

Dalam pengantarnya, Shita Listya Dewi menegaskan bahwa diskusi dalam webinar hari ini merupakan diskusi yang sangat penting. Diskusi tidak hanya membahas pasal 40 mengenai kesehatan ibu, melainkan juga pasal-pasal lain yang mendukung pelayanan kesehatan ibu, salah satu diantaranya adalah pasal yang terkait dengan sumber daya.

Pemantik diskusi oleh Monita Destiwi, MA

Sebelum memasuki sesi pembahasan, Monita Destiwi, MA menyampaikan paparan sebagai pemantik diskusi. Pelayanan kesehatan ibu di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah, diantaranya tidak meratanya persebaran dokter spesialis, tingginya angka SC, kurangnya pelatihan atau peningkatan kompetensi tenaga kesehatan, serta tingginya AKI. Untuk mencapai target AKI, berbagai pihak harus ikut serta memastikan seluruh wanita memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, menyediakan perawatan untuk melahirkan, serta akses perawatan darurat yang tepat waktu pada ibu hamil ketika akan melahirkan. Berbagai tantangan juga masih dihadapi dalam pelayanan kesehatan ibu yaitu perlunya peningkatan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan untuk menunjang pelayanan kesehatan ibu, perlunya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta perlunya kebijakan pemerintah pusat yang mendukung hubungan antar berbagai profesi dan task shifting untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, pasal-pasal yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu termuat dalam Bab V bagian keempat. Undang-Undang ini menekankan upaya kesehatan ibu yang dilakukan pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Upaya kesehatan ibu ditetapkan menjadi tanggungjawab dan kewajiban bersama bagi keluarga, masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Upaya peningkatan kualitas pelayanan dan tenaga kesehatan termuat dalam UU Kesehatan bab VII pasal 197-311 yang mengatur bagaimana SDM kesehatan dalam memberikan pelayanan kebidanan dan kandungan. Perlu perhatian khusus terhadap standar kompetensi untuk menjamin mutu SDM yang kompeten yang diatur dalam pasal 258 agar pelayanan kesehatan ibu dapat optimal. Sementara, masalah pemerataan tenaga kesehatan termuat dalam bab VII mengenai SDM pada pasal 204 yang mengatur bagaimana merencanakan tenaga medis dan tenaga kesehatan agar sesuai dengan kebutuhan daerah serta mendukung upaya pemerataan tenaga kesehatan. Ketentuan lebih lanjut terkait pasal-pasal ini perlu diatur dengan PP. Di samping itu, penting untuk dilakukan sinkronisasi dengan peraturan-peraturan yang masih berlaku, peraturan pelaksanaan, peningkatan kualitas pelayanan dan kompetensi tenaga kesehatan serta melakukan kajian bersama dengan konsil dan kolegium.

Pembahasan oleh dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K), dr. Sandra Olivia Frans, MPH, dan dr. Jusi Febrianto, MPH

dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K) menyampaikan pandangan mengenai upaya antisipasi berbagai masalah dan tantangan pelayanan kesehatan ibu. Kemenkes sudah mengantisipasi dengan mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama mulai 2020. Baik PONED maupun PONEK harus dapat berfungsi dengan baik, sebab skrining dan tatalaksana awal memainkan peran penting yang tidak dapat dipisahkan dengan kualitas perawatan rujukan. Selain itu, perlu ada pengaturan dari pemerintah untuk mengatasi rasio dokter dan penduduk serta menyediakan sarana prasarana untuk pelayanan kesehatan ibu. Undang-Undang Kesehatan ini telah membuka jalan bagi penyelenggaraan program spesialis (hospital based), meski demikian, perlu perhatian lebih untuk mengatur kualitas dan menjamin pemenuhan spesialis di daerah.

dr. Jusi Febrianto, MPH menanggapi dengan menyampaikan pengalaman pelayanan kesehatan ibu di Kabupaten Purbalingga. Tingginya AKI disebabkan karena 3 terlambat (terlambat mendeteksi risiko tinggi, terlambat keputusan, terlambat penanganan), sementara di Kabupaten Purbalingga, 10 kematian ibu terjadi di RS yang disebabkan terlambatnya penanganan kedaruratan. Kondisi ini menuntut adanya evaluasi untuk perbaikan proses pelayanan kesehatan ibu, pembiayaan, serta sarana prasarana sehingga dapat menurunkan kematian maternal dan neonatal.

Pandangan tentang peluang peningkatan pelayanan kesehatan ibu melalui UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disampaikan oleh dr. Sandra Olivia Frans, MPH. Secara keseluruhan, tantangan pelayanan kesehatan ibu di Indonesia berkaitan erat dengan setiap blok dalam sistem kesehatan. Terdapat peluang untuk peningkatan pelayanan kesehatan ibu dalam UU yaitu dalam sistem kesehatan, kualitas pelayanan dan outcome kesehatan. Pelayanan primer kini tidak berdasarkan program, melainkan klaster ibu dan anak. Sehingga, fokus layanan kesehatan primer adalah ibu dan anak, tidak hanya di level puskesmas melainkan hingga level posyandu. UU Kesehatan 2023 juga telah mengatur sistem rujukan untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu.

Sesi Diskusi

Berbagai topik tentang masalah dalam pelayanan kesehatan ibu dibahas dalam sesi diskusi. Implementasi sistem rujukan untuk kasus KIA dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 antara satu daerah dengan daerah lain sangat bervariasi. Gagasan task shifting dalam pelayanan kesehatan ibu juga menjadi perhatian karena terkait dengan masalah pemerataan dokter spesialis di daerah. Penempatan residen di daerah yang tidak memiliki dokter spesialis obsgin perlu dipertimbangkan. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menyediakan sarana prasarana di daerah untuk pelayanan kesehatan ibu juga sangat penting.

Diskusi tentang masa depan pelayanan kesehatan ibu dalam kerangka UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait pelayanan kesehatan ibu. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Materi dan video

Pemantik Diskusi: Monita Destiwi, MPA

video   materi


Pembahas: dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K)

video


dr. Jusi Febrianto, MPH

video


dr. Sandra Olivia Frans, MPH

video


 

 

  Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 14 September 2023
Pukul 10:30 – 12:00 WIB

  Kegiatan

Pemantik Diskusi: Monita Destiwi, MPA

video   materi


Pembahas: dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K)

video


dr. Jusi Febrianto, MPH

video


dr. Sandra Olivia Frans, MPH

video


 

 

 

 

 

UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

uuno17

  Deskripsi Kegiatan dan Tujuan

Laman ini membahas perkembangan UU Kesehatan OBL yang telah disahkan pada tanggal 11 Juli 2023, Tujuan: 

  1. Membahas UU Kesehatan OBL dengan siklus kebijakan yang dinamis sehingga ada dokumentasi yang baik untuk dipergunakan segenap komponen bangsa.
  2. Menjadi sumber pengetahuan untuk lembaga-lembaga di sektor kesehatan yang mempraktekkan konsep Knowledge Management yang terkait dengan materi UU Kesehatan OBL.
  3. Menjadi sumber pengetahuan bagi Masyarakat-Masyarakat Praktisi yang ada dalam kaitannya dengan RUU Kesehatan OBL.

Proses penyusunan UU Kesehatan OBL ini berjalan dengan dinamika menarik. Pro dan kontra dalam masa penyusunan sebagai RUU berjalan di berbagai media dan media sosial. Sesuai dengan teori analisis stakeholder, terdapat pihak yang menentang dan yang mendukung dengan berbagai pandangan masing-masing. Proses penyusunan UU ini merupakan sebuah contoh riil siklus penyusunan kebijakan yang dimulai dari agenda setting.

Dinamika proses kebijakan ini yang akan dibahas dalam laman ini. Proses di dalam agenda setting, dinamika penyusunan sampai dengan perumusan UU ke aturan turunan akan dibahas. Sebagai sebuah perjalanan panjang, pelaksanaan UU Kesehatan akan dikaji dengan monitoring dan evaluasi yang diharapkan dapat membantu untuk perbaikan-perbaikan kebijakan di masa mendatang. Disamping itu akan dilakukan kegiatan Knowledge Management mengenai UU ini.

Pembahasan mengenai UU Kesehatan OBL ini sangat banyak dan akan dilakukan berbasis pada Bab-bab yang ada. Secara keseluruhan juga akan ada pembahasan secara konsepsual menggunakan pendekatan Reformasi Kesehatan.

  Referensi

 

  Manajemen Pengetahuan

Manajemen Pengetahuan (Knowledge management, KM) dikenalkan oleh Tom Davenport pada tahun 1994. Dinyatakan bahwa: “Manajemen Pengetahuan adalah proses menangkap, mendistribusikan, dan secara efektif menggunakan pengetahuan.” Setelah itu Grup Gartner membuat definisi lain tentang KM (Duhon, 1998): “Manajemen pengetahuan adalah disiplin yang mempromosikan pendekatan terpadu untuk mengidentifikasi, menangkap, mengevaluasi, mengambil, dan berbagi semua aset informasi organisasi. Aset ini dapat mencakup basis data, dokumen, kebijakan, prosedur, dan keahlian serta keahlian-pengalaman yang ada di individu. ” Definisi ini tidak hanya membahas mengenai pengetahuan dari dalam organisasi, namun juga pengetahuan yang relevan dari luar organisasi (Koenig, 2018).

Perspektif penggunaan Knowledge Management (KM) ada pada lembaga-lembaga yang akan mengadopsi praktek ini. Ada lembaga yang menggunakan KM dan sebagai suatu kegiatan yang penting, ada yang tidak. Knowledge management merupakan suatu proses yang menjadikan sebuah lembaga menjadi lebih baik. Prinsip-prinsip Knowledge management dapat mendorong sebuah lembaga mempunyai kemampuan-kemampuan untuk mengidentifikasi, meng-capture, mengevaluasi dan meninjau kembali serta sharing informasi dan pengetahuan yang berguna. Hal ini menunjukkan bahwa knowledge menjadi sebuah aset, bukan sebuah beban. Knowledge adalah sebuah aset yang dapat digunakan, termasuk bagaimana para staf mempunyai pengalaman-pengalaman yang menarik untuk dibahas.

  Tentang Masyarakat Praktisi

Masyarakat Praktisi (MP) atau Community of Practice (CoP) adalah sekelompok masyarakat yang secara aktif dan sengaja untuk duduk bersama membahas sesuatu dalam bidang yang sama-sama dikerjakan. Anggota CoP ini dapat dari Dosen Perguruan Tinggi, Peneliti, Organisasi Profesi, Kolegium, Pengambil Kebijakan, Konsultan / Technical Expert, Donor Agency, sampai pembelajar (mahasiswa dan sebagainya). Berikut ini berbagai Masyarakat Praktisi yang membahas kaitan UU Kesehatan dengan bidang mereka sehari-hari.

Ada beberapa kelompok MP:

1. Topik Upaya Kesehatan

  Bencana Kesehatan
  Upaya Kesehatan Masyarakat (Essential Public Health Service)

 

2. Topik yang menjadi pendukung Upaya Kesehatan

  Aspek Mutu dalam UU Kesehatan
  Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis
  Rencana Induk Kesehatan

 

3. Topik Hukum dan lain-lain

 

Terdapat beberapa pilihan kategori referensi yang dapat dipelajari seperti berikut

           ibuku

ibuku           

           

ibuku           

 

 

Pengelola

Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM,
Divisi Pengetahuan

Laman ini terbuka gratis untuk seluruh pengguna di dunia, tidak mempunyai password. Sumber dana berasal dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dan PKMK FK-KMK Universitas Gadjah Mada dan pihak-pihak lain yang tertarik dalam program ini, termasuk filantropi kesehatan.

Diharapkan ada organisasi-organisasi yang akan menjadi anggota dalam Knowledge Management system. Dengan menjadi anggota diharapkan organisasi yang ikut akan mempunyai manfaat :

  • Mendapatkan informasi terbaru yang dapat dipergunakan mengenai berbagai perkembangan UU Kesehatan.
  • Mendapatkan latihan mengenai Knowledge Management untuk lembaga secara periodik.
  • Membudayakan Knowledge Management di anggotanya.

Organisasi yang dapat menjadi anggota Knowledge Management adalah:

  • Kelompok Regulator: Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten-Kota, BPOM.
  • Kelompok Operator: RS, Puskesmas, FKTP swasta
  • Kelompok organisasi Pembiayaan
  • Organisasi-organisasi Profesi
  • Universitas

Penanggung Jawab: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Resources Person:

  1. Dr. Rimawati, S.H., M.Hum.
  2. Bu Shita Dewi, MPP
  3. Eurica Stefany Wijaya (Event)
  4. Valentina Lakshmi Prabandari (Event)
  5. Widarti (Referensi)
  6. Yulis Yuhiba (Web Uploader)
  7. Nila Munana (Sekretaris)