Workshop, 26 Agustus 2015

26ags-pb

hari 1   hari 2   jadwal

Penyusunan Policy Brief untuk Sistem Kontrak di Pelayanan Kesehatan Indonesia (Termasuk Kebijakan JKN dan BOK)

26ags-pb

Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia (FKKI) VI telah berlangsung tiga hari dan di hari ketiga ini (26 Agustus 2015) FKKI menyelenggarakan beberapa sesi workshop yang salah satunya mengenai kebijakan JKN dan dana BOK. Gambaran umum mengenai sistem kontrak di pelayanan kesehatan mengawali sesi workshop kebijakan JKN dan BOK. Selaku pembicara, Dwi Handono menyampaikan bahwa sistem kontrak bukan hanya terbatas pada tenaga medis, melainkan juga SDM manajemen dan institusi. Salah satu yang paket yang pernah menggunakan sistem kontrak tersebut adalah program sister hospital di NTT. Dalam menjelaskan perbedaan contracting out dan outsourching, Dwi juga memaparkan mengenai beberapa regulasi yang mendukung mekanisme sistem kontrak.

Bukan hanya PT dan CV karena organisasi profesi pun dapat berpotensi dalam menyediakan provider yang akan dikontrak penyedia dana. Menurut Prof. Laksono, kontrak secara perorangan seringkali diikuti beberapa permasalahan sehingga perlu ada atas nama lembaga, terutama terkait paket pelayanan yang akan ditawarkan. Dalam sesi diskusi, Budi (UNICEF) juga menekankan bahwa sistem kontrak tidak sesederhana transaksi jual beli sehingga perlu ada keterlibatan berbagai pihak yang bekerja sama dalam mencapai tujuan. Perlunya dukungan regulasi dalam proses perencanaan dan penganggaran public-private partnership juga dijelaskan oleh Dwi Handono.

Pada sesi kedua, Dwi Handono kembali menjelaskan mengenai agency theory yang diterapkan dalam sistem kontrak, dimana ada dua komponen utama yaitu : principal (penyandang dana) dan agen (lembaga/provider). Beberapa permasalahan dan alternatif solusi yang berpotensi terjadi pada saat pra kontrak, saat kontrak, dan pasca kontrak juga dijelaskan secara rinci oleh beliau. Materi dilanjutkan diskusi yang mencoba membahas lebih dalam mengenai adanya kontrak dua level dan kemudian ditutup dengan contoh implementasi penyelenggaraan sistem kontrak (agency theory) melalui program sister hospital di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prof. Laksono menambahkan bahwa sistem kontrak bukanlah suatu paksaan, sehingga dari sisi principal dan agen harus saling membutuhkan dan mengukur kebutuhan spesifik masing-masing daerah.

Faozi melanjutkan materi dengan pemaparan yang lebih memfokuskan pada kenaikan anggaran 5% di tahun 2016. Reformasi sarana dan prasarana yang disertai dengan perbaikan manajemen sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di era JKN. Alur dana kesehatan saat ini dinilai masih rumit sehingga berbagai instansi diharapkan dapat saling mendukung, termasuk terkait dengan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Materi Presentasi

Prof. Laksono Trisnantoro

sesi 1  sesi 2  sesi 3

Dr. Dwi Handwon, M.kes sesi 1  sesi 2  sesi 3

Faozi Kurniawan
sesi 1  sesi 2  sesi 3

 

Reporter : BES dan ES 

Implementation Research

26ags-yodiIndonesia kebanjiran hasil penelitian. Hasil penelitian dibuat sebagai syarat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi, menaikkan pangkat, maupun syarat lainnya. Puluhan ribu hasil penelitian yang dihasilkan setiap tahun, dicetak dan dipajang di perpustakaan bahkan dipublikasikan secara online.

Pertanyaannya, apakah hasil penelitian ini dapat melakukan perbaikan? dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD memperkenalkan konsep implementation research pada workshop Implementation research and contracting out di Hotel Bumi Minang, 26 Agustus 2015. Implementation research merupakan jenis penelitian untuk perbaikan. Jenis penelitian ini diperlukan di dunia kesehatan karena adanya variasi dampak dari beragam konteks dan implementasi dari kebijakan yang telah diberlakukan.
Kebijakan nasional yang telah diberlakukan di Indonesia selalu tidak bisa berjalan dengan baik karena berbagai kendala dalam proses implementasi. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan dana penelitian, namun proporsinya diarahkan untuk pengembangan teknologi vaksin dan obat bukan untuk implementation research.
Riset implementasi adalah bagian dari health system research untuk mencari faktor-faktor yang dapat meningkatkan implementasi dari intervensi yang ada. Riset implementasi menggali kendala pelaksanaan implementasi dengan metode apapun asal bisa menjawab pertanyaan implementasi ” The question is king”.

26ags-mubaFaktanya saat ini, telah banyak regulasi yang mengatur semua program yang harus diawasi. Pegawasan atau controling merupakan komponen penting dalam implementasi. Controling digunakan untuk mencari penyimpangan dan mengatasi penyimpangan. Dr. dr. Mubasyir Hasanbasri, MA sebagai narasumber workshop ini, mengungkapkan bahwa program tidak efektif karena penyimpangan tidak pernah terdeteksi, program pengawasan yang efektif adalah yang terjun langsung melihat kenyataan.

Pemahaman peserta workshop tentang implementation research and contracting out dikuatkan dengan penyajian materi oleh Ari Natalia Probandari dr.,MPH, PhD. Dosen berkaca mata ini memaparkan metodologi implementasi riset. Metode yang sering digunakan pada implementasi riset yakni: 1) Pragmatic trials, digunakan pada produk; 2) effectiveness implementation hybrid trials, digunakan pada setting pelayanan kesehatan; 3) mixed methods, desain penelitian yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif; 4) participatory action research, intervensi dilakukan berdasarkan kesepakatan yang meneliti dan diteliti; 5) quality improvement studies, menggunakan siklus PDCA dimana ada kaidah riset ilmiah yang digunakan. Untuk penelitian kebiijakan, metodologi penelitian yang sering digunakan adalah participatory action research dan mixed methods.

Materi presentasi

Implementation research and contracting out
 dr. Yodi Mahendradhata

materi

Proses pengembangan dan implementasi kebijakan
Mubasysyir Hasanbasri 
materi 

Metode riset implementasi
Ari Natalia Probandari
materi 

 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH

Kebijakan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi, dan pengalaman menggunakan Sistem Kontrak;

26ags-kia

Kebijakan publik pada tahun 2016 untuk sektor kesehatan akan memberlakukan peningkatan anggaran menuju sekitar 5% dari yang ada saat ini. Sistem jaminan pembiayaan kesehatan era JKN saat ini mempengaruhi banyak sektor kesehatan, salah satunya sektor Kesehatan Ibu dan Anak serta Kesehatan Reproduksi. Pengembangan pendekatan Contracting Out pelayanan kesehatan diharapkan menjadi salah satu upaya promosi KIA dan reproduksi dalam membantu pemerataan kesehatan. Harapannya penggunaan alokasi dana yang efektif, efisien, dan seoptimal mungkin.

Pada sesi ini diawali dengan presentasi best practice pelaksanaan pendekatan Contracting Out yang pernah dilaksananakan di berbagai tempat. Pertama, disampaikan oleh Indah Deviyanti dari UNICEF Indonesia yang membahas tentang inisiatif Integrated Micro Planning (IMP) di Provinsi Papua dalam pengembangan perencanaan tingkat puskesmas. Tujuan dari program ini memberikan penguatan kapasitas kepada puskesmas untuk perencanaan, penganggaran, dan monitoring KIA berbasis bukti. IMP ini mulai dilaksanakan pada tahun 2014 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura dengan keluarnya SK untuk penggunaan hasil dari IMP dalam perencanaan kegiatan. Kemudian di tahun 2015, program ini juga telah dilaksanakan di Kabupaten Biak Numfor, Jayawijaya, Sorong, Fakfak, dan Manokwari. Praktek contracting di negara lain kepada pihak non pemerintah juga dicontohkan seperti program Peoples Primary Healthcare Initiative (PPHI) di Pakistan pada tahun 2014 dan District Health Technical Advisory Team (DHTAT) di Kamboja pada tahun 2010.

Kedua, pemaparan oleh Erma Satriani dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK) tentang program kerjasama LKBK dengan USAID-EMAS dan UNICEF dalam kegiatan yang bersifat gerakan penyelamatan ibu dan bayi baru lahir. Kegiatan ini dilaksanakan sedikitnya di 11 kabupaten/kota yang tersebar seluruh Indonesia. Program EMAS ini kerjasama dengan JHPIEGO, Muhammadiyah dan Aisyiah, Save The Children, dan RTI International. Intervensi yang diberikan berupa beberapa pendampingan ke Rumah Sakit dan Puskesmas untuk peningkatan kualitas pelayanan KIA yang efisien dan efektifitas dari sistem rujukan. Ketiga, prensentasi terakhir oleh Dwi Handono Sulistyo dari PKMK FK UGM yang memaparkan Contracting Out di level pelayanan kesehatan bidang KIA dan reproduksi berupa program Sister Hospital di NTT. Kegiatan ini merupakan kemitraan antara rumah sakit besar di luar NTT dengan rumah sakit umum daerah Kabupaten di NTT untuk mengatasi kelangkaan dokter spesialis dan tenaga kesehatan pendukung lainnya secara jangka pendek dalam pelayanan PONEK 24 jam. Diharapkan rumah sakit umum daerah menjadi rujukan terakhir pasien dalam proses pelayanan kesehatan.

Pada sesi selanjutnya pembahasan dari Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan yakni Jehedkiel Panjaitan dan Asteria Unik Prawati yang memberikan tanggapan dari hasil presentasi. Ada beberapa hal yang disampaikan dan dipertanyakan berhubungan dengan sistem Contracting Out, antara lain: 1) Sistem ini lebih bersifat kerja sama yang perlu ada batasan dan harus ada kejelasan siapa yang melanjutkan program tersebut setelah selesai demi kelangsungannya kedepan; 2) Sebaiknya bagaimana lebih mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang ada di daerah; 3) Pada prinsipnya Kemenkes mendukung program yang berasal dari luar untuk mendukung pemerintah yang bersifat penguatan, harus sinergis dengan program yang sudah ada; 4) Harus jelas ikatan dalam sistem contracting out ini, apa hak dan kewajiban masing-masing serta bagaimana dengan mekanisme penyaluran dananya.

Kemudian pada sesi diskusi, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD memberikan tanggapannya bahwa perlu adanya semacam deklarasi kebutuhan dari daerah terkait permasalahan kesehatan mereka masing-masing. Sistem kontraknya itu tergantung kebutuhan dan perlu lebih spesifik kebutuhannya dan ada integrasi didalamnya. Hal ini senada juga dengan pendapat dari peserta lain yang menegaskan bahwa untuk keberhasilan program ini perlu adanya kesadaran profesi kesehatan yang didukung komitmen dari pemerintah setempat. Kesimpulannya bahwa Contracting Out ini sifatnya mensuplementasi kegiatan bukan mereplikasi hingga adanya penumpukan kegiatan. Semangat yang dibangun adalah partnership, bukan kompetisi. Prinsipnya bagaimana memberikan solusi jangka pendek untuk memutus rantai panjang masalah sambil melakukan solusi jangka panjang.

Materi presentasi

Contracting Out di Level Pelayanan Kesehatan Bidang KIA dan Reproduksi:
kasus Sister Hospital – Dwi Handono

materi

Kerjasama Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK) dengan
USAID-EMAS dan UNICEF dalam Bidang Kesehatan Ibu & Bayi Baru Lahir

materi 

Peran serta Organisasi non-pemerintah dalam Penguatan Kapasitas Puskesmas untuk peningkatan efektifitas Perencanaan, pendanaan dan pemantauan kesehatan ibu dan anak – UNICEF materi 

Reportase: Surahmansah Said

Konsep & Strategi Pembiayaan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyediaan Layanan Kesehatan
Melalui Mekanisme Contracting Out

Konsep contracting out atau disebut dengan PPP (Public Private Partnership) sebenarnya sudah dipakai selama ini dalam membangun kerjasama baik antara pemerintah dan swasta. Bentuk kemitraan dalam berbagai bentuk baik dana, tenaga dan waktu.

Konsep contracting out tidak selalu pemerintah sebagai pemberi dana & swasta sebagai pelaksananya, namun dapat juga sebaliknya. Swasta perlu dilibatkan, mengingat peran swasta dalam bidang kesehatan sudah cukup luas dan banyak, dibandingkan pemerintah dan swasta (ormas) dapat menjangkau kelompok khusus yg tidak dapat dijangakau oleh pemerintah.

Sumber dana pelaksanaan PPP dapat bersumber dana pemerintah, pemerintah daerah dan sumber lain. Namun permasalahannya, swasta dalam hal ini organisasi kemasyarakatan yang selama ini mendapat dana dari pemerintah, belum ada mekanisme yang jelas mengatur hubungan kerjasama dan kemitraan tersebut. Selain itu, juga perlu pengaturan kedepan bahwa organisasi kemasyarakatan perlu dilakukan akreditasi atau memiliki badan hukum yang jelas sehingga mekanisme kerjasama dan kemitraannya menjadi jelas. Jika belajar dari pemerintah Australia dan Malaysia dimana mereka memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab mengatur dan mengelola dana pemerintah maupun donor untuk organisasi kemasyarakatan, maka Indonesia dapat mencontoh, namun perlu disesuaikan dengan situasi dan latar belakang budaya serta kebutuhan masyarakat Indonesia.

Pelaksanaan kemitraan pemerintah dan swasta juga didukung dengan payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan baik kepada pemerintah pusat maupun daerah. Saat ini sudah lebih dari 27 aturan atau undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan, namun pelaksanaannya terhambat karena perlu didukung dengan peraturan pemerintah daerah untuk memperkuat dan menunjukkan komitmen pemerintah daerah. Organisasi kemasyarakatan juga perlu dibangun kemandirian sehingga tidak terlalu bergantung kepada dana dari pihak luar baik pemerintah maupun dari pihak donor asing saja. Oleh karenanya ormas perlu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dengan berbagai model baik model “daun”, “batang” dan model “akar” sehingga permasalahan kesehatan dalam hal ini HIV dan AIDS perlu menjadi musuh bersama semua elemen masyarakat. Selain itu, perlu dipersiapkan mekanisme yang jelas dan harmonisasi antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan (swasta) untuk membangun kemitraan dalam system contracting out ini, baik untuk jangka pendek, jangka menengah da jangka panjang.

Sesi 6

10.30 – 12.00

Konsep dan Strategi Pembiayaan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyediaan Layanan Kesehatan melalui mekanisme Contracting Out

  1. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS (Bappenas)  |  materi
  2. Budi Prasetyo, SH, MM (Kementerian Dalam Negeri)  |  materi
  3. DR. Bahtiar (Kementerian Dalam Negeri)  |  materi

Moderator : Hersumpana, MA

12.00 – 13.00

Rehat Siang

Sesi 7

13.00 – 15.00

Kasus: Kontrak Pelayanan Kesehatan kepada LSM

  1. dr. Cristina Widaningrum, M. Kes (Sub Dit TB – Kementerian Kesehatan RI)  |  materi
  2. Dra. Rohana Manggala, M.Si (KPAP DKI)  |  materi
  3. Husen Basalamah (Kios Atma Jaya)  |  materi
  4. Yakub Gunawan (Red Institute)  |  materi

Moderator : Chrysant Lily, MA

15.00 – 15.50

Rehat Sore

Sesi 8

13.00 – 15.00

Diskusi: Peluang Pendanaan APBN Program AIDS kepada LSM

  1. dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid (Sub Dit AIDS – Kementerian Kesehatan RI)  |  materi
  2. dr. Krishnajaya, MS (Adinkes)  |  materi
  3. Dra. Rohana Manggala, M.Si (KPAP DKI)
  4. Husen Basalamah (Kios Atma Jaya)

Fasilitator : dr. Yanri Subronto, Sp.PD, PhD

 

Sesi Paralel, 24 September 2014

icon bdg

icon bdg   Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan


24sept par1Salah satu sesi paralel dalam Fornas V JKKI yaitu mengenai kebijakan pembiayaan yang dimoderatori oleh Bapak Prawira. Sesi pertama kebijakan pembiayaan diawali dengan bahasan mengenai studi hambatan dalam pendanaan kesehatan di Puskesmas. Pada bahasan ini, M. Faozi Kurniawan (PKMK FK UGM) menjelaskan berbagai hambatan dalam fund-channelling beserta solusi alternatif yang kerap dilakukan Puskesmas. dr. Azhar Jaya, SKM, MARS selaku pembahas juga menegaskan bahwa kapasitas fiskal daerah perlu diperhatikan. Menurut beliau, kapasitas fiskal lebih cocok untuk mekanisme DAK. Ketersediaan SDM administrasi juga sangat diperlukan dalam penyesuaian kaidah keuangan di Puskesmas.

Sesi paralel kebijakan pembiayaan ini disertai beberapa presentasi oral. Analisis peran pemerintah dalam implementasi JKN oleh Putu Astri Dewi Miranti mengawali sesi presentasi oral tersebut. Putu menyimpulkan bahwa pemerintah belum melaksanakan peran dan tugas sesuai regulasi dalam implementasi JKN sampai dengan pelaksanaan bulan April 2014. Paper ini diikuti oleh pemaparan mengenai potensi peran lembaga sosial dalam sistem kesehatan di era JKN oleh Hilmi Sulaiman Rathomi.

Menurut Hilmi, lembaga yang berafiliasi dengan agama, cenderung lebih sustainable. Organisasi sosial di negara maju pun mulai bergeser dari fokus pelayanan menjadi penyusun kebijakan. Fasilitas kesehatan primer memiliki jumlah paling besar dalam organisasi sosial. Di akhir penjelasan, Hilmi kembali menegaskan bahwa peran lembaga sosial dapat sebagai fasilitas kesehatan, membantu pembiayaan masyarakat miskin non PBI, penguatan promosi dan preventif, dan upaya pemberdayaan masyarakat.

Faisal Mansur menyusul sesi paper mengenai layanan gratis pun ditolak masyarakat miskin. Kajian tersebut dilakukan di NTT dan Jatim yang berkesimpulan bahwa masyarakat miskin yang memiliki jamkesmas yang tidak memanfaatkan jamkesmas, cenderung lebih banyak di Jatim dibandingkan NTT. Adapun penyebabnya, diantaranya : administrasi ribet, kekhawatiran adanya perbedaan pelayanan, dan masyarakat yang masih merasa penyakit yang diderita adalah ringan.

Berbeda dengan penyaji sebelumnya, Vini Aristianti lebih menjelaskan mengenai analisis kebijakan dan hubungan purchaser dengan provider dalam era JKN. Vini menilai bahwa hubungan antara pembeli dan pemberi layanan belum dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang ada. Adanya mobil khusus sosialisasi JKN menjadi salah satu saran yang dikemukakan Vini dalam meningkatkan hubungan tersebut.
Advokasi keberlanjutan program JKN dengan pendekatan economic lost (studi kasus di provinsi Sulawesi Barat) oleh Kasman Makkasau melanjutkan sesi berikutnya. Hal ini juga dilengkapi dengan paper dari Haerawati Idris mengenai utilisasi jaminan kesehatan wilayah timur Indonesia yang dianalisis berdasarkan IFLS 2012. Berdasarkan kajian, peserta askeskin paling banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Haerawati menjelaskan bahwa sekitar 17% dana askeskin justru dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.

Pada sesi diskusi, komitmen 10% APBD dan 5% APBN di luar gaji dipertanyakan. Bapak Azhar membenarkan adanya tantangan besar, bahkan hampir terjadi pada semua wilayah di Indonesia. Ibu Via dari Dinkes Bandung mengutarakan rendahnya BOK akibat kebijakan keuangan yang seringkali berubah dan terkadang berbenturan dengan juknik BOK. Bapak Fauzi menilai bahwa kendala birokrasi tersebut juga sering dialami Puskesmas di daerah lainnya. Menurut beliau, setidaknya juknis berusaha diterbitkan lebih awal, tetapi tetap menunggu DIPA keluar. Pada akhirnya dana internal pun digunakan untuk membiayai operasional Puskesmas.

Ibu Selly dari konsorsium perempuan Sumatera mengungkapkan pendataan yang masih belum akurat dalam menentukan penerima manfaat jaminan bahkan masih rumitnya birokrasi sering mengganggu pelayanan kesehatan. Bapak Azhar setuju dengan hal tersebut dan menegaskan bahwa mulai saat ini fee atau jasa pelayanan dokter sudah disesuaikan per tindakan, bukan berdasarkan kelas perawatan.

Sesi Paralel 1 : Kebijakan Pembiayaan

Analisis Peran Pemerintah dalam Implementasi JKN 

Putu Astri Dewi Miranti
  Materi 

Analisis Kebijakan dan Hubungan Purchaser dengan Providers dalam Era JKN di Indonesia tahun 2014

Vini Aristianti, dkk
  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak


Sesi I Paralel KIA

24septsesi1Sesi Pertama Kebijakan Ibu dan Anak dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ini dimoderatori adalah Prof. Dr. dr. Alimin Mahidin, MPH. Paparan pertama dalam Sesi ini disampaikan oleh Dr Stefanus Bria Seran, MD, MPH, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur yang menyajikan hasil kegiatan Sister Hospital di Propinsi NTT. Program Sister Hospital merupakan bagian dari Kebijakan Revolusi KIA yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi NTT, dalam rangka percepatan penurunan angka kematian Ibu, Bayi dan Balita. Revolusi KIA, pada intinya memaksa para ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan, terutama di Puskesmas dan Rumah Sakit. Program Sister Hospital ini menitikberatkan kepada penyediaan pelayanan rujukan untuk komplikasi medis spesialistik. Sampai saat ini program ini mampu menurunkan angka kematian ibu di NTT secara signifikan, tetapi belum berdampak kepada angka kematian bayi dan balita.

Dalam paparan berikutnya, oleh Dr. Juanita Abubakar, SE, M. Kes menyatakan bahwa determinan penyebab kematian ibu di kabupaten Labuhan Batu Utara, Propinsi Sumatera Utara dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah determinan Non-medis, se;erti keputusan merujuk serta keterlambatan merujuk. Penyebab kematian terbesar kedua, adalah determinan pelayanan kesehatannya, seperti akses ke pelayanan oleh masyarakat, penanganan yang adekuat, serta kompetensi sumber daya kesehatan yang melayani. Melalui hasil penelitian tersebut, disarankan kebijakan untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM Kesehatan yang ada, terutama bidan di puskesmas, peningkatan standar mutu pelayanan, serta perbaikan akses transportasi dan kemudahanan akses ke pelayanan. Opsi kebijakan yang bisa diambi adalah penguatan program Desa Siaga.

Terkait dengan penelitan Dr. Juanita, disampaikan pula tentang pentingnya data dan informasi terkat dengan registrasi kehamilan dan kematian ibu. Dr. Siti Nurul Qomariah, PhD menyatakan bahwa data registrasi yang baik dan benar merupakan dasar penting penggalian informasi tentang penyebab kematian ibu dan anak. Sehingga dengan diketahuikan penyebab kematian, akan mudah bagi pengambil kebijakan untuk menentukan strategi yang tepat. Selanjutnya, Dr. Dra. Atik Tri Ratnawati, MA menyampaikan hasil penelitian mengenai analisis pencarian pelayanan kesehatan (Health Seeking Behaviour) di 8 Kabupaten, di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan fakta menarik, bahwa faktor sosial budaya merupakan determinan yang paling menonjol bagi penyebab kematian ibu dan anak. Preferensi untuk menggunakan penolong persalinan tradisional, masih merupakan penyebab utama tingginya AKI dan AKB, khususnya masyarakat miskin, di wilayah yang disebut sebagai daerah tapal kuda di Propinsi Jawa Timur. Demikian halnya dengan masyarakat miskin NTT, yang mempunyai preferensi untuk melahirkan di rumah oleh tenaga persalinan tradisional (dukun).

Dalam kesempatan terakhir disajikan hasil kegiatan yang didanai donor USAID, yaitu Program EMAS, oleh Dr. Hartanto Hardjono, MMedSc, mantan Kepala Dinas Propinsi Jawa Tengah dan Program KINERJA, yang disampaikan oleh Dr Marcia Soumoukil, MPH. Program EMAS dan Program KINERJA, memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk memudahkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Perbedaannya adalah, EMAS berfokus kepada penyediaan layanan (sisi suplai) dengan memperbaiki manajemen rujukan bagi kasus kehamilan resiko tinggi, sedangkan KINERJA menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, melalui keterlibatan komunitas dalam memperbaiki akses pelayanan bagi ibu hami. Hasil nyata sudah diperlihatkan oleh masing-masing program, yaitu penurunan angka kematian ibu, akibat kehamilan resiko tinggi di Jawa Tengah dan Papua.

 

Sesi II Paralel KIA

bagioSesi Paralel dua dimulai dengan presentasi dari Bapak Ir. Agustinus Bagio, M. MT (Bappeda Provinsi Papua). Beliau menyampaikan paparan berjudul Perencanaan Berbasis Bukti untuk Sektor KIA di Provinsi Papua. Pemaparan ini menjadi starting point untuk penyampaian materi selanjutnya. Pemaparan selanjutnya merupakan bentuk pembelajaran dari inisiatif perencanaan dan penganggran untuk sektor KIA. Materi tersebut antara lain District Team Problem Solving (DTPS) Nasional (Lukas C. Hermawan, M.Kes) dan Kota Kupang (Agustinus Hake), Integrated Microplanning untuk KIA di Provinsi Papua (dr. Agnes Ang), ASIA (Analisa Situasi Ibu dan Anak) (Hikmah, ST, Msi) dan ditutup dengan Dr. Arum Atmawikarta, MPH yang menyampaikan Millenium Acceleration Framework (MAF) UNDP.

 

 

azharASIA menjadi salah satu bentuk pencapaian upaya perbaikan perencanaan. Tidak serta merta menyelesaikan masalah tetapi adanya ASIA dapat menajamkan kebijakan program implementasi yang lebih tepat sasaran. Hal ini sangat membantu Pemerintah Daerah dalam menentukan program kerja untuk penanganan masalah kesehatan. Setiap materi pemaparan pada sesi ini sangat menarik. Bahkan hingga di akhir sesi diskusi justru makin seru dengan respon dari para pembahas. Salah satu Pembahas yaitu dr. Azhar Jaya, SKM, MARS menyampaikan pendapatnya terkait Pekerjaan Rumah (PR) Penurunan AKI dan AKB seharusnya bukan menjadi tanggung jawab Kemenkes.

Sesi ini dimoderatori oleh dr. Tiara Marthias, MPH dari PKMK FK UGM. Beliau menyampaikan kesimpulan bahwa perencanaan yang baik, pemanfaatan data dengan maksimal dan yang terpenting yaitu monitoring dan evaluasi (monev) menjadi salah satu fokus utama dari hampir semua metode yang disampaikan pemateri sesi ini. Peran fasilitator dalam mengawal perencanaan hingga melakukan monev menjadi sangat crucial dan lebih efektif dilakukan oleh pihak eksternal. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Prof. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD pada sesi pembukaan terkait perlunya monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Isu ini akan menjadi salah satu topik yang akan dibahas pada penyusunan Policy Brief, Jumat 26 September 2014. Sesi Paralel 2 ini telah mampu menghasilkan trigger kuat bagi penyusunan Policy Brief yang sarat akan evidence based dan menjawab kebutuhan.

Sesi I

Penelitian Health Seeking Behavior pada Masayrakat Miskin dan Hampir Miskin di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi NTT – Atik Triratnawati

  Materi

Opsi Sistem Pengukuran Kematian Ibu dalam mendukung Evidence-based Policy Making
Dr. Siti Nurul Qomariyah

  Materi
Determinan Kematian Ibu di Kabupaten Labuhan Batu Utara Propinsi Sumatera Utara – Juanita   Materi
Sister Hospital di Provinsi NTT – Dr. Stefanus Bria Seran, MPH    Materi
Capaian Program EMAS Jawa Tengah Q3Y3 – Hartanto Hardjono   Materi
Peningkatan Pelayanan KIA melalui Tata Kelola Kesehatan/Health Governance : studi kasus Kinerja Papua –  Dr. Marcia Soumokil, MPH   Materi
Pembahas: Maternal and child health policy development – dr. Elizabeth jane soepardi, MPH, DSc   Materi

Sesi II 

Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti Untuk di Provinsi Papua – Agustunus Bagio

  Materi

Perencanaan Program Kesehatan Ibu, Bayi baru Lahir dan Anak (KIBBLA) melalui District Team Problem Solving (DTPS) – Dr . Gita Maya Koemara S, MHA (Direktur Bina Kesehatan Ibu)

  Materi
Lesson Learned Implementasi DTPS KIBBLA di Kota Kupang – Lucas C  Hermawan, M.Kes (Direktorat Kesehatan Anak)   Materi
Integrated Micro Planning (IMP) – dr. Agnes Ang   Materi
Implementasi Pengembangan Asia Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat tahun 2009-2103 – Hikmah   Materi
Implementasi Metodologi MDGs Acceleration Framework (MAF) dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak – dr. Arum Atmawikarta, MPH   Materi
Pembahas: Bahasan pembelajaran dari Inisiatif perencanaan dan penganggaran untuk sektor KIA – dr. Azhar Jaya, SKM, MARS    Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan HIV / AIDS


Launching Kajian Kebijakan AIDS di Indonesia

launchaidsLaunching hasil kajian kebijakan AIDS ini mengambil bagian klaster paralel diskusi oleh Pokja Kebijakan AIDS pada forum nasional jaringan peneliti kebijakan dan Kesehatan Indonesia ke-5 pada 24 September 2014. Hasil Kajian Kebijakan AIDS di Indonesia oleh PKMK FK UGM merupakan upaya untuk memetakan upaya penanggulangan AIDS selama 25 tahun terakhir. Penelitian ini mengambil 5 Kabupaten/kota sebagai fokus area yakni Sumatera Utara, Surabaya, Bali, Makasar dan Papua. Muhammad Suharni. MA mempresentasikan hasil kajian dengan pembahas oleh Prof. Dr. Irwanto (Atmajaya), Dr. Irwan Julianto (Wartawan Senior Kompas), dan dr. Nadia Tarmizi, M.Epid dari Subdit Kemenkes.

Kajian ini merespon penanggulangan HIV yang belum efektif sebagai bagian integral dalam sistem kesehatan di Indonesia. Metode analisis menggunakan analisis historis dengan pendekatan sensemaking. Kajian ini merupakan bagian dari penelitian utama Integrasi Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan” oleh PKMK FK UGM dengan dukungan dari Department of foreign Affair and Trade, Australia.

Temuan Pokok Kajian Kebijakan

Kontek kebijakan terdapat Kesenjangan produk kebijakan dengan Implementasi. Evolusi upaya penanggulangan HIV dan AIDS sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Bali tahun 1987, pemerintah Indonesia telah mengembangkan sejumlah 66 kebijakan nasional dan sekitar 55 kebijakan lokal seperti Perda/Pergub/Perbub. Secara umum ditemukan bahwa ada kesenjangan besar antara maraknya produk hukum dengan implementasi di lapangan. Titik lemah dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini terletak pada penjabaran operasional di lapangan yang diikuti dengan alokasi sumberdaya baik dari tenaga yang kompeten, alokasi dana yang cukup dan pengembangan program di tingkat masyarakat basis.

Kesenjangan ini sebagai akibat dari kontestasi antar lintas sektor maupun program. Dominasi pusat dengan pendekatan vertikal masih menjadi pola dalam inter relasi antar sektor maupun internal. Sehingga belum terjadi integrasi secara struktural, ego sektor cenderung menjadi faktor penentu terjadinya fragmentasi dan tidak terintegrasinya kebijakan di semua tingkatan, nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Lahirnya kebijakan banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik ekonomi global terhadap Indonesia. Seperti pembentukan komisi HIV dan AIDS di depkes karena pengaruh PBB dan WHO meskipun kasus AIDS belum banyak. Kebijakan desentralisasi menjadi momentum pengembangan berbagai kebijakan di tingkat lokal (Permendagri no. 20 tahun 2007). PP 30 tahun 2007 tentang pembagian tugas dan peran pemerinta pusat, prov, kabupaten menyebabkan banyak kebijakan sehingga masalah HIV semakin rumit.

Konteks epidemiologi HIV dan AIDS Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan infeksi baru. Data IBBS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi di kalangan Pria risti, Ibu rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja semakin meningkat dibandingkan dengan WPS dan Penasun. Meningkatnya prevalensi penderita HIV dan AIDS ini menandakan ketidakberhasilan dari program upaya penangulangan AIDS.

Pada aspek intervensi layanan masing-masing sektor bermain sendiri dengan intevensi yang berbeda-beda dan belum semua aspek sistem kesehatan dicover. Monitoring masih bersifat parsial dan lebih memenuhi kepentingan proyek daripada kebutuhan pemanfaat. Fokus cenderung dominan pada upaya treatment dan mengabaikan pada pencegahan. Skema pembiayaan dalam SRAN persentasenya adalah promosi 50 %, PDP 28 %, mitigasi dampak 13 %. Partisipasi masyarakat dimanipulasi dalam kerangka legitimasi dan sangat tergantung donor. Partisipasi sebagai bagian dari upaya prasyarat bagi keberhasilan proyek secara efektif dan efisien.

Pembahasan dan masukan

Kemenkes mencatat perlu elaborasi lanjut kerangka pikir integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan terjadi. Bagaimana integrasi kebijakan AIDS dengan sistem kesehatan dan sistem-sistem yang lain seperti sistem keamanan, sistem pendidikan dan seterusnya. Desentralisasi bukan suatu masalah, justru sebaliknya. Hasil kesimpulan masih bersifat deskriptif, sistem kesehatan belum terlihat dalam literature review, masih butuh analisis mendalam.

Sistem kesehatan dalam kacamata kementrian kesehatan terdiri dari 7 pilar. Jika bicara sistem nasional, respon kesehatan terahdap HIV tidak independen, karena masih ada suprasistem. Keberadaan KPA diperlukan karena ada suprasistem yang membutuhkan intervensi. Kebijakan kesehatan dalam konteks disain di luar sistem kesehatan nasional. Mereka berinteraksi dengan sistem kesehatan, sistem penganggaran,dst. Review masih belum seimbang, terlalu fokus pada KPA, kementrian kesehatan dan dinas kesehatan kurang tereksplorasi.

Sementara KPA, memberikan catatan hasil penelitian sudah kelihatan, ini merupakan proses kerja yang tidak mudah karena merupakan hasil kerjasama 9 Universitas, di delapan provinsi. Keterbatasannya, review ini belum berhasil menangkap perkembangan di lapangan terjadi dari kinerja KPA nasional, daerah, dinas dan LSM. Perkembangan sudah banyak dan perbaikan sudah terjadi antara 2011- 2013. Integrasi kebijakan AIDS dalam sisetm kesehatan belum tercermin, sangat fokus pada kajian dokumen dan literatur yang sudah ada. Analisis mendalam belum kelihatan. Paparan banyak memberikan masukan ke KPA tetapi mengatasnamakan sistem kesehatan nasional, Kemkes, dan KPA Nasional.

Terkait desentralisasi sudah ada studi dari Ausaid bahwa desentralisasi merupakan konsekwensi pilihan, jika desentralisasi dipandang sebagai hambatan kurang pas. Perlu pembahasan lanjut terkait dengan peran daerah lebih detail, rincian peran empiris untuk peran tersebut yang kurang digali seperti pembiayaan yang akan banyak dari APBD. Pembacaan terhadap aktor terutama GF ini perlu lebih jelas, karena GF bekerja melalui KPA dan Kemenkes tidak secara langsung. Tampaknya memang pemerintah Indonesia tidak memprioritaskan isu HIV AIDS, Bahkan ketua Bappenas hanya menyebut MDGs goal 6, dimana sesungguhnya posisi HIV apakah menjadi isu kenegaraan? Atau dikesampingkan? Pendanaan APBD masih kurang, bagaimana komitmen pemerintah nasional dengan isu ini? Terkait integrasi sejak sejak 2008 belum tercermin dalam proses integras. Integrasi merupakan persoalan global. Proses continuum bukan fragmentasi.

Prof. Dr. Irwanto memberikan apresiasi secara keseluruhan sudah baik, meskipun perlu diperbaiki.Beberapa hal yang cocok dengan cara berpikirnya dalam melihat permasalahan seperti banyaknya kebijakan perlu didukung aparat yang kompeten dan lingkungan yang mendukung.

Ada kesenjangan antara kebijakan, kesiapan implementasi, dan lingkungan mendukung. Yang terjadi kita keteteran sejak awal dalam mencapai target MDGs. Hubungan pusat dan daerah bukan hanya sebagai pemerintahan vertical. Kontestasi, berbeda pandangan, tidak jarang didasarkan atas hal-hal yang bersifat empirik, data tidak digunakan untuk argumen, melainkan pandangan moral. Argumen daerah merdasarkan moral banyak di daerah. Pemahaman HIV dan AIDS terkait dengan moral, politik dan ekonomi.

Kontestasi ada banyak sekali, KPA dan Depkes luar biasa, kontestasi donor dan pemerintah. Kontestasi mashab, power dan politik ekonomi. Kebijakan donor ada agenda yang bukan nasional harus diterima. Hasilnya sebagian akan berpengaruh pada implementasi. Bagaimana policy maker di Jakarta berusaha memahami masalah yang ada di daerah. Sedangkan proses-proses dalam pengambilan keputusan untuk daerah berdasarkan Jakarta atau pusat. Keputusan seringkali diambil tanpa pemahaman situasi lokal. Jakarta sebagai omnipotens, kapitasi kekuatan global, kekuasaan dan uang. Yang pada akhirnya menyebabkan bias, seperti soal resiko, tetapi tidak dibahas secara tuntas.

Yang tidak nyambung, terjadi karena screen yang digunakan probability penyebab penyebaran, tetapi malah moralitas sehingga resiko menjadi kabur. Pada aspek ini terjadi karena besarnya permainan structural, dan kekuasaan dalam menentukan agenda nasional. Yang perlu di analisis adalah hubungan antara nasional dan daerah. Ketidaksinambungan sebuah policy dengan apparatus, kapasitas SDM dan lembaga menjadi lambat karena kontestasi moral. Untuk menjalankan program harm reduction, narkotika nilai-nilai masyarakat perlu diadvokasi supaya mendukung. Hambatan banyak sekali karena tidak ada dukungan lintas sektor dan antar sektor. Sektor pendidikan terhadap kondom tidak ramah.

Advokasi berpusat pada kesehatan. Stigma dan diskriminasi tidak dilakukan dengan baik. Masih kuat sekali budaya keeping out people. Akses masih tumpul karena kurangnya kerjasama dengan isu terkait, seperti kusta, disabilitas, dan gender. Aparatus sibuk dengan keeping out, daripada bekerjasama. Sibuk dgn menjaga sumberdaya untuk kepentingan terbanyak bagi diri nya sendiri. Perlu analisis tajam untuk pengaruh struktural terhadap pandangan tersebut.

Pembahas terakhir Pak Irwan memberikan masukan dengan menjelaskan fakta-fakta historis pandangan masyarakat terkait epidemi HIV dari kliping kompas. Sejak awal dari sisi komunikasi memang ada persoalan dalam memandang HIV dan AIDS. Ada kepanikan karena AIDS. Harm reduction menjadi penting. Dalam penggunaan WTS supply demad, demand reduction selalu dibentukan dengan harm reduction. Akan tetapi mengurangi supply tidak akan mengurangi permintaan. Ketiganya harus bersinergi. Persoalan moral sangat mendominasi pandangan masyarakat, membutuhkan edukasi yang serius agar pemahaman dan pengetahuan terkait HIV dan AIDs yang benar lebih dominan. Ilustrasi dengan kwadran halal, haram, aman, aman tidak haram yang pernah dikembangkan oleh seorang kyai ternyata masih belum diterima masyarakat.

Beberapa Catatan untuk Kajian Dokumen Kebijakan HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia – Irwan Julianto

  Materi

Masalah dalam Policy Apparatus & Environment – Irwanto (PPH Unika Atmajaya)

  Materi

Kajian Dokumen: Kebijakan HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia (PKMK FK UGM)

  Materi

Sense Making

  Materi

 

Sesi Paralel 2 : Kebijakan HIV /AIDS

 

Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia – Aang Sutrisna

  Materi

Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk Mencapai UC Masukan bidang kesehatan – dr Siti Nadia M Epid

  Materi

Pembiayaan Program HIV/AIDS : Analisis NASA 2009-2010 – Amila Megraini, Mardiati Nadjib

  Materi

Strategi Penanggulangan AIDS dalam Konteks Otonomi Khusus Di Provinsi Papua – Dr . Silwanus A Sumule, SpOG (K )

  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat


Kebijakan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan

Bandung, Permasalahan gizi masih menjadi PR besar. Padahal, pengeluaran kesehatan per kapita masyarakat Indonesia saat ini meningkat. Begitu pula dengan pengeluaran anggaran kesehatan nasional yang selalu meningkat. Rupanya faktor pendukung tersebut tidak berbanding lurus dengan pencapaian kinerja gizi.

abdul“Masalah stunting dan underweight di Indonesia cenderung naik di tahun 2013. Di saat Vietnam dan Thailand sudah melewati masalah tersebut, Indonesia masih belum bisa mengatasinya. Permasalahan terkait kematian neonatal, jumlah bayi meninggal juga cenderung meningkat. Belum lagi penyakit-penyakit tidak menular yang juga ikut meningkat” ujar Prof Abdul Razak Thaha.

Kinerja gizi yang cenderung tidak mengalami perbaikan ini karena ada masalah 1000 hari pertama kehidupan. Prof Abdul Razak Thaha juga menyebutkan gen memang berperan, namun nutrisi dan faktor penyebab setelah bayi lahir sangat mempengaruhi munculnya masalah gizi. Tentunya, masyarakat yang jauh dari masalah gizi akan menghemat pembiayaan JKN di masa yang akan datang.

 

 

 

doddyPerhatian terhadap gizi pada 1000 hari pertama kehidupan juga mendapat dukungan dari Ir. Doddy izwardy, M.A, yang membawakan tentang Tantangan Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN. Mewujudkan generasi bebas masalah gizi, apalagi sejak 1000 hari pertama tentu bukan pekerjaan ahli gizi saja. Namun, perlu ada dukungan lintas profesi. Partisipasi perguruan tinggi dan sektor lain akan membantu intervensi sensitif untuk melengkapi intervensi spesifik yang sudah dilakukan.

“Membedakan program gizi ini dengan program yang sebelumnya karena mengacu pada tiga prinsip national platform yang dikenal three ones. program gizi berhasil, maka JKN berhasil.” tutup Direktur Bina Gizi Kementrian Kesehatan ini.

 

 

 

dewiSesi terakhir pada panel kebijakan gizi ini dibawakan oleh Dr. Dewi MDH, drg., Msi, membahas Analisis Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN. Tidak hanya memaparkan masalah gizi di tingkat masyarakat, namun juga memaparkan masalah gizi di RS. Masalah malnutrisi pada pasien rupanya berdampak pada peningkatan keparahan penyakit.

“Malnutrisi seringkali terjadi pada penderita gagal ginjal. Bayangkan 400 milyar dana JKN yang diperlukan untuk membantu hemodialisa pasien tersebut” ,ujar dosen di FK UNPAD ini.

Masalah gizi di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, seperti ketidak tepatan formulasi PMT,belum optimalnya dukungan pemerintah. RS perlu menurunkan angka kejadian malnutrisi, misalnya mengevaluasi kapasitas SDM untuk pelayanan gizi, kebijakan outsourching. Rekomendasi di tingkat masyarakat salah satunya dengan perbaikan aksesibilitas pangan. 

 

 

Analisis Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN 
Dr. Dewi Marhaeni Diah Herawawati

  Materi

1000 Hari Pertama Kehidupan yang Menentukan Masa depan Bangsa
Prof. Abdul Razak Thaha

  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Jiwa Masyarakat


24septkeswaForum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan di Trans Luxury Hotel Bandung untuk sesi paralel 1 Kebijakan Kesehatan Jiwa Masyarakat diawali dengan presentasi free paper oleh Sekar Ayu Paramita tentang survey kapasitas SDM yankeswa di setting non-spesialis di Provinsi Jawa Barat. Hanya 1.600 Puskesmas di Indonesia yang dapat menangani gangguan mental. Hal ini berhubungan dengan tingkat kapabilitas tenaga kesehatannya. Untuk itu dilakukan suatu penelitian di 11 kabupaten di Jawa Barat. Metodologinya yakni deskriptif dengan menyebarkan 1.008 kuesioner ke dokter dan perawat di Puskesmas. Hasilnya diketahui bahwa 77% responden merasa sudah mendapatkan pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa, namun hanya 30% yang kompeten menangani gangguan jiwa. Selain itu, penatalaksanaan pengobatan gangguan jiwa sudah banyak, namun persediaan obat masih sangat kurang. Dokter spesialis jiwa pun di rumah sakit masih sangat kurang. Sementara dokter primer yang ada masih kurang pengetahuannya tentang penanganan gangguan jiwa dan sistem rujukan untuk penanganan gangguan jiwa pun masih buruk.

Presentasi kedua oleh Taufik Hidayat tentang manajemen kasus gangguan jiwa studi kasus di desa siaga sehat jiwa Sindangbarang, Bogor dan Desa Pangauban Bandung Barat. Beliau memaparkan bahwa permasalahan kesehatan tidak hanya berhubungan dengan fisik, namun masih banyak juga untuk permasalahan dalam kejiwaan. Selama ini sistem pelayanan di Indonesia masih berbasis hospital based dan begitu banyaknya pasien yang dirawat hingga melebihi kapasitas dari rumah sakit. Oleh karena itu pendekatan penelitian ini dipilih dengan menggunakan studi kasus, dimana melihat pasien selama masih di rumah sakit bersama keluarga dan dilakukan wawancara, diikuti hingga pasien kembali pulang. Lokasi penelitian dipilih di daerah yang telah memiliki empowerment. Penelitian ini menyimpulkan bahwa manajemen kasus diperlukan dalam pelayanan gangguan jiwa dengan melakukan kerjasama lintas sektor.

Gambaran pasien dengan depresi, anxietras dan somatisasi yang datang ke Puskesmas di Sumedang dipaparkan oleh Virama Indraswari dimana depresi dan somatisasi merupakan suatu diagnosa yang sangat sering terjadi. Bahkan terkadang seorang dokter harus berulang-ulang melakukan pemeriksaan untuk mengetahui diagnosa dari pasien yang datang kepada dokter tersebut. Penelitian ini menggunakan responden terbanyak yaitu perempuan dimana perbandingan dengan laki-laki yaitu 3:1. Responden tersebut belum pernah menjalani perawatan untuk gangguan jiwa. Kesimpulan yang dapat diambil yakni somatisasi merupakan diagnosa terbanyak yang terjadi di Puskesmas kemudian diikuti dengan diagnosa depresi dan cemas.
Kemudian presentasi dilanjutkan oleh Tini Sugiharti dengan kejadian gangguan jiwa dan permasalahan saat bekerja yang dialami tenaga kerja wanita, pembantu rumah tangga asal Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu. Indonesia memiliki jumlah TKW yang sangat tinggi dan mayoritas berpendidikan rendah. TKW tersebut dianggap oleh negara tempat mereka bekerja bukan sebagai tenaga professional, maka TKW memiliki akses yang sangat minim untuk informasi, pelayanan kesehatana, perlindungan diri, dll. Begitu banyaknya stresor yang didapat TKW tersebut pada saat bekerja di luar negri menyebabkan mereka sangat beresiko untuk terjadinya gangguan jiwa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan jiwa pada TKW dengan menggunakan alat Mini ICD 10 dan dilakukan wawancara dengan TKW yang baru pulang dari luar negeri. Hasil yang didapat yaitu diagnosa terbanyak yang dialami oleh para TKW yaitu depresi.

Persepsi, Pengetahuan dan sikap petugas kesehatan terkait pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang terletak di wilayah sumedang – Bintang Arroyantri P

  Materi

Gambaran gangguan cemas, depresi dan somatisasi pada pasien yang berobat ke puskesmas di wilayah Kabupaten Sumedang

  Materi

Manajemen Kasus Gangguan Jiwa di Desa Siaga sehat Jiwa, Studi Kasus di Desa Sindangbarang Kab. Bogor dan Desa Pangauban Kab. Bandung Barat – M. Taufik Hidayat

  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan


Pada sesi 1 Pokja Yankes membahas mengenai rujukan yang ada di beberapa provinsi dan kabupaten. Pemaparan 1 diutarakan oleh Bupati Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mengenai pengembangan pelaksanaan rujukan di kabupaten TTU sangatlah penting. Hal ini disebabkan oleh angka AKI dan AKB di Kabupaten TTU sangat tinggi sehingga diperlukan pengembangan rujukan untuk menurunkan angka tersebut. Pengembangan pelaksanaan rujukan mengalami berbagai macam kendala, antara lain; faktor budaya, geografis, transportasi roda 4 yang langka, dan biaya rujukan ditanggung pasien dan rujukan. Untuk mengatisipasi kendala tersebut maka dikeluarkan dengan keputusan Bupati No 16 tahun 2014 mengenai beberapa terobosan dalam pengembangan rujukan. Terobosan tersebut, antara lain; penyediaan beasiswa, menyediakan anggaran untuk obat-obatan.

Pengembangan rujukan juga terkendala dalam regionalisasi rujukan seperti yang dipaparkan oleh Elsa P Seiawi dari IKM FK Unpad. Elsa memaparkan bahwa regionalisasi menjadi kendala dikarenakan jumlah atau penyebaran rumah sakit yang menjadi tempat rujukan di tingkat kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat. Selain ketersediaan rumah sakit rujukan hal yang perlu diperhatikan juga mengenai persiapan SDM, persiapan sarana prasaran, keterlibatan pemda untuk peningkatan kualitas SDM.

Pengembangan SDM dan kesiapan sarana prasana menjadi tantangan juga dalam pelaksanaan JKN. Hal ini dipaparkan oleh Sharon Gondodiputro dari FK Unpad. Sharon memaparkan kesiapan sarana dan SDM merupakan suatu hal yang penting dipersiapkan dalam pelaksanaan JKN di Provinsi Jawa Barat. Kendala pelaksanaan JKN di provinsi Jawa Barat, antara lain kuantitas puskesmas belum cukup untuk beberapa kabupaten di provinsi Jawa Barat, jumlah ketersedaiaan dokter tidak merata (terdapat beberapa kabupaten kekurangan dokter tetapi ada kabupaten yang kelebihan tenaga dokter).

Kendala dalam pelaksanaan JKN juga terjadi ketika pelaksanaan jamkesmas. Salah satu penelitian mengenai Analisis Bottom-up proses perencanaan pelayanan kesehatan masyarakat di Provinsi Jatim dan NTT yang dipaparkan oleh dr. Tiara Martias, MPH. Tiara memaparkan bahwa puskesmas sebagai pelaksana tekhnis dan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat, serta bagian terpenting dalam sistem kesehatan, mendapatkan sumber pendanaan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Namun sebagai ujung tombak puskesmas selalu menerima keterlambatan dalam penerimaan dana. Oleh karena itu diperlukan study untuk mengindetifikasi hambatan pelayanan kesehatan di level puskesmas dengan melihat skema perencanaan / mekanisme penganggaran. Hambatan terjadi dikarenakan timing perencanaan dana BOK yang tidak selaras dengan perencanaan daerah, keterbatasan SDM dan kompetensi di bidang administratif dan terjadinya sistem reimbursement oleh staf puskesmas. Evaluasi BOK ditikberatkan pada serapan dana buka pada kualitas layanan dan capainan program.

Dalam pelaksanaan programpun harus hati-hati dikarenakan akan terjadi korupsi yang tidak diduga. Hal ini dipaparkan oleh Puti Aulia Rahma. Dalam sesi ini dipaparkan mengenai mengapa terjadi fraud. Hal ini dikarenakan banyak keluhan dari berbagai pihak karena rendahnya tarif, hal inilah yang dapat mendorong fraud dalam era JKN. Salah satu hal yang bisa dilakukan dengan perlunya sistem pencegahan dan deteksi potensi fraud di RS dan pengawasan di RS.

Reporter: Harumanto Sapardi

Pokja Pelayanan Kesehatan

 

Analisis Regionalisasi Rujukan di Jawa Barat – Elsa P Setiawati

  Materi

Bentuk-Bentuk Fraud dalam Layanan Kesehatan di Indonesia – Puti Aulia Rahma

  Materi

Monitoring dan Evaluasi Program Performance Management & Leadership Provinsi NTT – Putu Eka Andayani

  Materi

Analisis Bottom-up Proses Perencanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Timur dan NTT – Tiara Marthias

  Materi

PPK Primer sebagai Gate keeper JKN, Siapkah ? Studi di Provinsi Jawa Barat – Sharon Gondodiputro

  Materi

Evaluasi Pelaksanaan JKN ditinjau dari aspek Pelanggan – Henni Djuhaeni

  Materi

 

World Congress on Medical Law – 22 Agustus 2014

22ags

22ags

Opening ceremony 20th WCML 2014 Nusa Dua Bali Indonesia dibuka oleh Thomas Noguchi, President of The WAML Executive Committe dan dilanjutkan sambutan oleh Vice President Forum 20th WCML yaitu Nasser Muhammad. Kegiatan WCML ke-20 ini terbagi dalam 3 simposium. Simposium hari pertama sesi pukul 09.30-11.30 WIB memuat topik antara lain:

  • Simposium 1: Medical Negligence and Doctors Autonomy (Room Nusa Dua I)
  • Simposium 2: Right to Die Right to Life (Room Nusa Dua II)
  • Simposium 3: Medikocal Ethics Research (Room Uluwatu I)

Symposium I


menghadirkan beberapa pembicara, antara lain:

Poin penting paparan Jery:
Jery mengangkat topik presentasi bertolak dari kasus dr. Ayu dkk, dimana ada peninjauan kembali dan novum untuk membebaskan dr. Ayu. Novum dibutuhkan sebagai bentuk adanya penolakan dari putusan yang sudah ada. Di Indonesi,a institusi yang berwenang dalam membuat Peninjauan Kembali (PK) terletak pada kewenangan Supreme Court (MA). Selama ini, perbuatan kelalaian yang dilakukan olh praktisi kesehatan selalu didasarkan pada KUHP, terutama dengan melihat dasarnya pada Pasal 359 KUHP. Perbuatan malpraktik medis selalu digolongkan ke dalam perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur kelalaian atau kesengajaan.

Peristilahan Task shifting berbeda dengan delegasi. Berdasarkan Netherlands regulation, delegasi hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada perawat. Sedangkan task shifting hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada practionare nurse untuk melakukan medical task sejauh kewenangan yang diberikan. Tiga poin kunci yang disampaikan pembicara ialah physician are moderately positive about task, physicians seem to be more conservative than nurse practionarers dan 1/3 of phycisian think the legal framework is not adequate.

Pembicara kedua yaitu Andres, University of Sam Ratulangi, Indonesia dengan judul presentasi “The Autonomy versus Autonomy: What Medical Doctor Standpoint“.

Presentasi selanjutnya berjudul Medical Negligence is Tort or Crime oleh Prof. Norchaya, Ph.D, Taylor’s University. Prof Norchaya melihat bahwa tort (kesalahan-Red) dan crime adalah dua hal yang berbeda. Tort dapat didefinisikan sebagai:

  1. Residual category of wrongful conduct outside of contract and crime.
  2. Kategori tort adalah tetap dan tidak ada standar jelas.

Sedangkan crime merupakan public wrongfull that has regulated in regulation. Jadi crime merupakan suatu perbuatan yang sudah jelas unsur-unsur dan kategori suatu perbuatan tersebut apakah crime atau bukan. Tetapi tort belum dapat dikatakan sebagai tort juga belum ditelaah lebih lanjut. Untuk melihat suatu kelalaian medik tergolong tort atau crime kita kembali kepada filosofi dari etika kedokteran. Seorang dokter ataupun tenaga kesehatan akan lebih memahami dan menjalankan tugasnya dalam melakukan pelayanan kesehatan berdasarkan etika kedokteran. Filosofi dari etika kesehatan itu berbeda dengan hukum kesehatan. Hukum merupakan suatu pengaturan yang sifatnya memaksa atau enforce setiap orang untuk mematuhinya. Hal ini berbeda dengan etika.

 

Symposium III


  • Legal and Ethical Issues of Clinical Research in Japan

Presenter:
Prof Mitsuyasu Kurosu, Tokyo Medical University

Di Jepang, uji klinis diatur dalam the Pharmaceutical Affairs Act dan Good Clinical Practice. Jenis penelitian lain diatur berdasarkan Deklarasi Helsinki. Misalnya pedoman etis untuk penelitian epidemiologi klinis, lalu human genome and gene research, dan penelitian klinis untuk stem cell manusia. Penelitian-penelitian tersebut dikelola oleh dokter, kecuali penelitian yang merupakan project pemerintah, dan dibiayai oleh perusahaan farmasi. Beberapa faktor utama yang menyebabkan permasalahan antara lain, pertama bahwa banyak penelitian yang sangat tergantung pada pendanaan perusahaan farmasi. Kedua, kekurangan jumlah ahli statistic. Ketiga, jika terjadi conflict of interest, manajemennya tidak baik. Keempat, cross check tidak dilakukan oleh peneliti mitra lainnya. Kelima, kesibukan peneliti itu sendiri.

Oleh karena itu hukum tentang penelitian klinis harus segera diberlakukan untuk melindungi subject penelitian manusia. Harus ada staf khusus yang mengelola penelitian klinis di bawah pengawasan langsung dari kepala institute. Meskipun begitu, memperbaiki sistem pendidikan tentang hukum dan etika dalam melakukan uji klinis lebih penting daripada membuat hukum tentang uji klinis karena banyak peneliti yang lebih hanya mengikuti aturan tanpa memikirkan mengapa mereka mengikuti aturan tersebut.

  • Law and Regulation for The Protection of Human Subject in Health Research in Indonesia

Dr. Suriadi Gunawan DPH
National Health Research Ethics Commission

Pengembangan etika penelitian kesehatan dimulai tahun 1975 dengan dikeluarkannya pernyataan IDI bahwa dokter harus mengikuti Deklarasi Helsinki. Kemudian, UU No 23 Tahun 1992 Pasal 69 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa penelitian kesehatan harus menghormati etika, budaya dan norma agama dan nilai nilai dalam masyarakat. UU ini digantikan dengan UU No 36 Tahun 2009 Pasal 44 yang menyatakan bahwa eksperimen atau penelitian yang melibatkan manusia harus seijin yang menjadi eksperimen dan tidak merugikan baik pada manusia maupun hewan.

Manusia yang terlibat dalam penelitian harus memberikan informed consent, harus dijaga kesehatan dan keselamatannya. Penelitian juga harus berdasarkan pada prinsip prinsip etika.
Penelitian kesehatan diatur lagi dalam PP No 39 tahun 1995 yang mengatur tentang standar profesional peneliti, informed consent, pelibatan anak anak, orang dengan gangguan jiwa, dan orang-orang dengan keterbatasan/kelemahan lainnya, transfer spesimen biologis dan kolaborasi penelitian antara pemerintah, institusi pendidikan dan swasta.

Komisi Etik Nasional untuk Penelitian Kesehatan dibentuk dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/2002 dan diperbarui dengan Kepmenkes nomor 562/2007. Komisi ini terdiri dari 25 ahli yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Tugasnya antara lain: mempromosikan etika penelitian, menyiapkan pedoman nasional etika penelitian, meningkatkan kapasitas review etika penelitian, mengembangkan jejaring antar ahli/komite etika penelitian, mengorganisasi proses konsultasi terkait masalah etika kesehatan dan melaporkan kegiatan secara rutin setahun sekali ke Kemenkes.

Selain itu juga telah ada aturan tentang pelaksanaan Good Clinical Practice. Dalam aturan ini disebutkan bahwa Clinical Trials (CT) terdaftar dan mendapatkan persetujuan dari komite etik dan BPPOM. Obat untuk penelitian harus mendapatkan persetujuan dari BPPOM. Adverse event harus dilaporkan dalam jangka waktu 15 hari kepada BPPOM dan BPPOM bisa menghentikan CT jika dirasa ada masalah keamanan. Sementara CT untuk kepentingan pendidikan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari BPPOM. Sistem akreditasi untuk komite etik direncanakan akan dimulai pada tahun 2015.

Reporter: Trisasi Lestari

{jcomments on}

 

 

Reportase 23 Agustus 2014

23ags

23ags

Symposium 36


Kajian Sosiologi Hukum terhadap Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kelalaian Medis di RS

Musakkir
Univ. Hasanudin

Sesi ini membahas tentang pasal-pasal pidana yang bisa dikenakan pada tenaga kesehatan. Tanggung jawab bersama/tanggungrenteng yang bisa dibebankan pada RS dan dokter tidak berlaku pada pasal-pasal pidana. Pada hukum pidana tanggungjawab dibebankan pada individu.
Sosiologi hukum memandang hukum sebagai kenyataan dan mencakup fenomena fenomena sosial di masyarakat.

Contoh tindakan yang dapat mendapatkan sangsi hukum pidana antara lain: kejahatan terhadap kesusilaa, penyalahgunaan kedudukan untuk berbuat cabul, tindak pidana penipuan, kejahatan terhadap kekuasaan pemerintahan dan pelanggaran terhadap kekuasaan hokum, kejahatan terhadap asal usul, kejahatan terhadap kesusilaan (pornografi), meninggalkan orang yang perlu ditolong, kejahatan terhadap nyawa dan tubuh orang lain (euthanasia), tindak pidana pemalsuan, kejahatan mengenai kesopanan (menggugurkan kandungan), membuka rahasia kedokteran.

Pembuktian pasal pidana sangat sulit, terutama jika merupakan kelalaian. Dibutuhkan kerja keras, determinasi untuk membuktikan, keterbukaan, kejujuran, dan kemauan dari lembaga atau pranata yang terkait dengan dunia kesehatan untuk membuktikannya. Hal yang biasanya dapat dilakukan ialah meminta keterangan ahli dari dokter untuk dokter yang yang diduga melakukan kesalahan cukup sulit. Kebaikan yang terorganisir akan selalu dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.

 

Symposium 38


Dugaan Malpraktik dan Mediasi Kesehatan

Drg. Suryono SH, MM PhD

Profesi dokter rawan terhadap pembunuhan karakter. Belum diputus oleh pengadilan tetapi sudah mendapatkan sanksi moral dari masyarakat sudah sangat luar biasa. Malpraktik tidak selalu mendapatkan tuntutan, tetapi praktek yang baik tidak menjamin tidak ada sengketa yang muncul. Praktek yang baik dapat meminimalisir terjadinya medis. Sengketa kesehatan adalah konflik yang timbul antara pemberi dan penerima layanan kesehatan. Komunikasi, karakter pasien, dan kompetensi tenaga kesehatan menjadi faktor utama terjadinya sengketa medis. Konflik muncul karena pasien ingin mendapatkan kesembuhan dengan membayar sejumlah uang, sementara dokter hanya bisa mengupayakan kesembuhan. Dokter tidak bisa menjamin kesembuhan 100%. Perbedaan persepsi ini harus dikomunikasikan dengan pasien bahwa pada dasarnya dokter atau tenaga kesehatan dalam memberikan upaya kesehatan tidak ada motivasi mencelakakan, membuat penderitaan atau menghilangkan nyawa pasien.

Dalam UU BPJS dan di UU Praktek Kesehatan, mediasi menjadi pendekatan yang dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa medis melalui mediator bersertifikat. Mediasi wajib dilakukan sebelum.proses persidangan (UU No 36/2009) (Perma 1/2008). Pada dasarnya konflik dokter-pasien bersifat keperdataan. Hasil mediasi bisa gagal, atau mendapat nota perdamaian atau selesai sepenuhnya.

 

{jcomments on}

Reportase 24 Agustus 2014

Symposium 19


Understanding medical practice law in Indonesia

Gunawan Widjaja

Tidak ada definisi yang jelas mengenai medical malpractice (MM). Hal yang mendasari hukum kesehatan di Indonesia adalah prinsip bioetik, patient safety dan informed consent.

Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan kontekstual yang didasarkan pada informed consent. Oleh karena itu, hukum yang terkait adalah hukum yang terkait dengan hubungan kontraktual. Kesalahan yang sering terjadi adalah malpraktek dianggap sebagai kasus kriminal.
Fiduciary duty mengharuskan dokter utk memiliki kompetensi dan mengikuti standar pelayanan medis dan memberikan komunikasi yang baik.
Penyelesaian sengketa medis akibat malpractice bisa dilakukan diluar sidang dengan mediasi atau arbitrasi.

 

Symposium 23


Hak Reproduksi Perempuan dan Kebijakan Pengendalian Populasi

Dr Fasli Djalal

Populasi dunia akan terus bertambah namun diperkirakan kecepatan pertumbuhan indonesia akan melambat. Sebelum ada program KB, diperkirakan pada tahun 2010 penduduk indonesia akan menjadi 340 juta, tetapi sensus tahun 2010 menunjukkan hanya terdapat 238 juta penduduk. Melihat perkembangan ini, program KB ternyata bisa menurunkan pertambahan penduduk sampai 100 juta lebih. Diperkirakan jika program KB terus berhasil, maka pada tahun 2035 diperkirakan penduduk indonesia akan menjadi 305 juta jiwa. Jika tidak berhasil, maka akan menjadi 345 juta jiwa, rasio ketergantungan penduduk juga akan berkurang. Diperkirakan pada tahun 2020-2030 angka ketergantungan penduduk akan mencapai di bawah 50 (44) yang disebut dengan bonus ketergantungan penduduk / windows of opportunity yang biasanya berlangsung selama 10 tahun. Namun, sayangnya karena diperkirakan program KB tidak akan berhasil, maka periode bonus demografi ini hanya berlangsung selama empat tahun.

 

Untuk menghadapi hal ini kita harus meningkatkan kesehatan remaja. Mengapa ini penting? Kecenderungannya karena semakin banyak remaja muda yang sudah hamil dan mempunyai anak. Survei pada remaja lulusan SD, 97% menyebutkan bahwa hubungan seksual jika hanya satu kali saja tidak akan menyebabkan kehamilan. Kabar lainnya ialah angka kematian ibu (AKI) sempat menurun sampai 228 tetapi naik lagi sampai ke 358 pada survei SDKI terakhir. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan lagi edukasi dan perlindungan terhadap12 hak reproduksi kepada anak anak muda kita.

 

 

Symposium 40


Aspek hukum dalam tindakan medik dalam praktik keperawatan

Dr M. Fakih, SH, MH

 

Di RS yang paling sibuk adalah perawat, dan seringkali sulit dibedakan antara perawat dan dokter. Peran perawat sudah bergeser karena sekarang perawat dapat memberikan pengobatan.
Permasalahan dalam praktik keperawatan:
Jumlah tenaga dokter yang terbatas di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas. Faktor geografis dan penyebaran tenaga medis juga mempengaruhi. Di daerah, perawat bisa melayani pasien yang sangat banyak, bisa memasang plang praktek dan memberikan tindakan medik. Perawat diijinkan untuk melakukan tindakan medik dengan syarat dalam keadaan darurat untuk.menyelamatkan nyawa pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian. Dalam melaksanakan yankes di luar kewenangan harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kegawatdaruratan dan harus dipertimbangkan untuk.dirujuk ke faskes lain.

 

Tindakan perawat di RS perlu arahan dokter untuk menangani diagnosis medis, dan sebagai peserta dalam transaksi terapetik dokter-pasien. Dalam hal.ini, perawat tidak bisa dituntut. Informed consent seharusnya dilakukan oleh dokter, dan seringkali diserahkan pada perawat, padahal perawat fungsinya hanya sebagai saksi.

 

Dalam Permenkes 2052/2011 dokter dapat melakukan pelimpahan medis pada perawat. Tindakan pelimpahan tersebut tetap di bawah pengawasan dokter dan tidak termasuk pengambilan keputusan klinis. Perawat di RS pemerintah diatur dalam.UU Pemerintahan dan Perawat diatur dengan UU Perdata.

 

Kedudukan dokter dan perawat dalam medik tidak seimbang, tetapi dalam hukum kedudukan dokter dan perawat seimbang.

 

 

Symposium 40


Masalah Mens Rea Dalam Tindak Pidana Medik

Kealpaan/kelalaian adalah tindakan medis yang dilakukan tidak sesuai standar profesi medis dan harus merupakan culpa lata atau kelalaian yang sangat berat atau ada hubungannya dengan kematian.
Alat bukti dalam hukum acara pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Polisi bekerja dengan presumption of guilty sehingga sulit dilakukan mediasi. Kesalahan kedua, definisi penyidikan adalah membuat terang tindak pidana, tetapi pada prosesnya ada proses pembuktian yang dilakukan oleh polisi. Oleh karena itu, biasanya berkas acara pemeriksaan (BAP) itu sangat tebal. Seharusnya proses pembuktian dilakukan dalam pengadilan dan hakim membuktikan, tidak perlu dibuktikan oleh polisi. Karena beban kerjanya berat, akibatnya angka penyelesaian masalah oleh polisi rendah, sekitar 40-50%.

 

Kealpaan tidak memerlukan mens rea kecuali tindak pidana yang dilakukan dengan kesengajaan. Dibutuhkan SDM kepolisian yang memiliki pendidikan medical law, saksi ahli yang fair dan independen. Untuk itu, diperlukan pembaharuan Undang-Undang dan ini merupakan proses yang rumit dan panjang. Mungkin yang lebih mudah dan cepat adalah mendorong kepolisian untuk memberikan sertifikasi medical law pada polisi.
Kesimpulannya, mens rea tidak diperlukan dalam pembuktian tindakan hukum medic.

 

 

Symposium 41


Peranan Media Massa dalam Penanganan Sengketa Media.

Drs. Edi Saputra Hasibuan, SH

 

Fakta yang sering terjadi, paparan media massa tentang laporan sengketa dengan pasien sering tidak akurat padahal beritanya sangat mempengaruhi opini publik dan mempengaruhi citra rumah sakit. Hal unik yang mungkin belum diketahui masyarakat ialah prinsip media massa bad news is a good news. Seringkali pengaduan masyarakat dipublikasikan tanpa konfirmasi dan tanpa didukung informasi yang berimbang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencegah pemberitaan yang salah oleh media supaya tidak ada pihak yang dirugikan.

Kasus malpraktek yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya sampai 2014 ada 490 kasus, namun sayang tidak jelas berapa yang diselesaikan. Mungkin karena sebagian besar diselesaikan secara mediasi, dan memang sebaiknya RS berusaha untuk menyelesaikan secara mediasi. Kesulitan dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi adalah masalah pembuktian. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih sering melaporkan ke kantor polisi dan bukannya ke MKEK.

 

{jcomments on}

Kesimpulan Diskusi dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM

Secara keseluruhan penyaji (Anjari Umarjianto) menyatakan bahwa Menteri Kesehatan yang baru sebaiknya kompeten dalam mengelola sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Di sisi lain para pembahas menekankan mengenai kenyataan bahwa Menteri Kesehatan merupakan jabatan politis yang tentunya ditentukan oleh Presiden terpilih. Berdasarkan masukan pembahas, diharapkan Menteri Kesehatan mendatang sebaiknya:

  1. Mempunyai kompetensi yang normative seperti layaknya seorang Menteri di kabinet;
  2. Kompeten dalam memadukan kesehatan masyarakat dan kesehatan perorangan menjadi sebuah gerakan yang sinergi dan saling membantu;
  3. Kompeten dalam memimpin Kementerian Kesehatan sebagai kementerian yang mampu mempengaruhi berbagai lembaga negara lain (termasuk DPR), pemerintah daerah, dan masyarakat untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat;
  4. Mempunyai sifat “mendengarkan” dan menggunakan berbagai bukti ilmiah dalam menetapkan keputusan besar dan strategis seperti Jaminan Kesehatan Nasional dan segala peraturannya.

Mengenai asal usul Menteri Kesehatan, dalam diskusi dibahas bahwa tidak masalah berasal dari partai politik, perguruan tinggi, birokrasi pemerintah, kalangan swasta, ataupun dari militer. Sebagai konsekuensi bahwa Menteri Kesehatan merupakan jabatan politis, maka harus ada penyeimbang dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan.

Untuk penyeimbangan, diperlukan peran perguruan tinggi dan lembaga riset independen yang mampu mengkritisi dan memberi masukan konstruktif untuk kebijakan Menteri Kesehatan dan kebijakan pemerintah baru dalam hal kesehatan. Dengan keseimbangan yang baik, pengalaman buruk di masa lalu dimana bukti ilmiah tidak banyak dipergunakan dalam keputusan Menteri Kesehatan, diharapkan dapat berkurang. Oleh karena itu diharapkan sebagian akademisi tetap berada di perguruan tinggi untuk menjadi mitra penyeimbang kekuasaan pemerintah.

Silahkan memberi komentar:

{jcomments on}

Diskusi Isu-isu seputar Kesehatan

  PENGANTAR

Di website www.kebijakankesehatanindonesia.net ada rubrik baru dengan judul Diskusi. Para pengguna Web dapat membaca isi diskusi yang berisikan Isu-Isu baru dan/atau hangat (new and/or hot-issues) di sektor kesehatan. Setelah membaca dapat memberikan komentar di bawahnya.

Untuk Diskusi 1, topiknya adalah Calon Menteri Kesehatan

 

 VIDEO PRESENTASI

Diskusi: Berbagai Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam Mencari
Menteri Kesehatan untuk Indonesia yang lebih Sehat

15 Agustus 2014

Anjari Umarjianto
(Ahli kesehatan Masyarakat)

Hanna Permana
(Konsultan Manajemen Rumahsakit) 

Umar Wahid
(mantan anggota DPR)

Laksono Trisnantoro
(Akademisi) 

Slamet Yuwono
( Pengurus ARSADA Pusat)

   Diskusi Part 1

Diskusi Part 2   

 

 

Kesimpulan Diskusi dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM

 

 

 

Diskusi: Calon Menteri Kesehatan

Diskusi:

Siapa Calon Menteri Kesehatan

Diskusi dimulai dari artikel yang menarik dari Yaslis Ilyas tentang siapa calon Menteri Kesehatan dari Kompasiana. Silahkan anda tinggalkan komentar di bawah ini dan ikuti diskusi dengan aktif.

Siapa Menkes Jokowee? Dr. Ribka Tjiptaning?

Oleh Yaslis Ilyas

Hiruk pikuk opini tentang tentang calon Menkes pada kabinet Jokowee mendatang sangat heboh digunjingkan pada sosial media. Tampak, adanya antipati profesional kesehatan kemungkinan terpilihnya dr. Ribka Tjiptaning, poitisi PDIP, sebagai Menkes RI. Sampai2, ada petisi khusus untuk menolak dr. Ribka sebagai kandidat. Penulis sempat membuka situs petisi, begitu banyak alasan yang disampaikan, tetapi umumnya bersifat personal yang kadang diskriminatif contoh: ” Dia kan anak PKI”. Tidak ada anak manusia bisa milih bapaknya, bung! Kalau itu sudah takdirnya, memang kenapa? Ada juga alasan yang lebih rasional disampaikan informan, seperti: ” Yg saya tahu.. Ribka itu.. pernyataannya tidak menyejukkan kalangan praktisi kes terutama dokter.. terlepas dari track record beliau yg saya tdk tahu pasti.. tapi komentar2nya provokatif.. padahal sebagai pejabat sangat penting menjaga ucapan karena masyarakat menilai” Rasanya, yang paling ditolak oleh komunitas kesehatan adalah ” Janji Ribka apabila ditunjuk Menkes oleh Jokowee” Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien yang sakit. Hal itu akan dilakukannya jika Jokowee resmi menjadi presiden dan dirinya ditunjuk menjadi Menkes. Ribka akan membuat PP yang kaitannya dengan Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dapat dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Sebenarnya, PP ini sesuatu yang diperintahkan UU, tetapi ter-abaikan oleh Menkes saat ini. Tentunya, tidak mudah membuat kebijakan yang tidak populis. Inilah, yang akan dikerjakan oleh dr. Ribka. Sebenarnya, sah sah saja asal untuk kepentingan publik. Hanya cara penyampaian dr. Ribka yang lugas dan ceplas-ceplos, yang menimbulkan efek kejut pada profesional kesehatan. Sebenarnya yang paling penting adalah rekam jejak kandidat itu sendiri!

Bagaimana kriteria Menkes Jokowee?

Lupakan siapa kandidat Menkes! Lebih baik mendiskusikan kriteria Menkes yang dapat disarankan untuk Jokowee. Agar tidak terjadi bias personal, saya broadcast kepada 1200 teman di BB dan WA dengan pertanyaan sebagai berikut: ” Apa karakteristik kandidat Menkes RI era Jokowee?”

Inilah rangkuman jawaban informan tentang karakteristik kandidat Menkes:

  1. Gender tidak harus ditekankan wanita
  2. Usia msh dibawah 55 thn
  3. Pendidikan S2- S3 bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat
  4. Dokter atau dokter gigi
  5. Jujur
  6. Pekerja keras
  7. Administrator yg baik
  8. Profesional non partai
  9. Punya pengalaman di kelas internasional.
  10. Track record baik tdk korupsi, kolusi dll

Disamping kriteria diatas ada penilaian kualitatif kandidat Menkes yaitu:

  1. Mau blusukan kontrol kondisi lapangan kayak Jokowee
  2. Memahami tentang jaminan kesehatan atau managed care karena era JKN-SJSN
  3. Punya kemampuan lobby unt networking/ koordinasi
  4. Tidak akan jadi sapi perah manapun termasuk partai manapun.
  5. Berpengetahuan luas mengenai stakeholder
  6. Mempunyai pengalaman mengelola RS pemerintah dan swasta
  7. Faham kebutuhan masyarakat tanpa merugikan para pelaku layanan kesehatan kesehatan di Indonesia dan dibuktikan dengan pengalaman praktis nya punya ilmu manajemen tentang kesehatan, RS, pelayanan kesehatan dan lingkungan kesehatan.
  8. Mengenal betul masalah kesehatan di Indonesia sehingga bs merangkum semuanya dan membuat terobosan dan solusi utk Indonesia
  9. Mampu menggabungkan fungsi RS-puskesmas-klinik-asuransi-kesehatan sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sehat dan menerima pelayanan tanpa harus pusing2 memikirkan dana dan segala macam tetek bengeknya.
  10. Penguasaan planning dan eksekusi, berpengalaman, bersih dan gigih.
  11. Mampu dan memastikan program di eksekusi tepat waktu dan tepat harga.
  12. Mempunyai kompetensi yg luas bukan saja di sektor kes apalagi cuma orientasi kuratif
  13. Mampu mendorong sektor lain utk health in all policy development
  14. Kinerja output oriented yg terukur

Menkes = Profesional Kesehatan Masyarakat, apa alasannya?

Kalau melihat kriteria kandidat Menkes tersebut, tidak lah mudah menemukan Manusia Super yang akan memimpin Kementerian Kesehatan RI 5 tahun mendatang. Sudah puluhan tahun Kemenkes dipimpin dokter klinikus tampaknya indikator kesehatan utama seperti: Angka Kematian Bayi (IMR) 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup di periode 2008-2012., Angka Kematian ibu (MMR) masih tinggi 359 per 100 ribu kelahiran hidup, Balita kurang gizi, Prevalensi Penyakit Menular hampir2 tidak bergeming! Indikator kesehatan menurun dengan lambat dan ada indikator (MMR) malahan naik! Saat ini indikator kesehatan kita sudah tertinggal oleh Vietnam, negara yang hancur akibat perang. Menyedihkan bukan! Ini artinya, program kesehatan masyarakat kita belum berjalan semestinya. Konsep dan program relatif bagus, tetapi implementasinya dan kontrol lapangan lemah! Perlu perubahan program lapangan bukan sekedar dikerjakan, tapi betul2 dilaksanakan dengan orientasi kinerja ouput yang terukur.

Sudah saatnya, Kemenkes RI dipimpin oleh kandidat dengan berlatar belakang Profesional Kesehatan Masyarakat. Kenapa? Ini alasannya: 1. masalah double burden penyakit masih on state. 2 JKN – Universal Health Coverage menjadi prioritas presiden Jokowee, 3. Program kesehatan adalah unsur langsung kesejahteraan rakyat sehingga lebih baik non partai (steril dari kepentingan politik). 4. Perlu mengembangkan public – private partnership bidang kesehatan. 5.Perlu ada koordinasi yang lebih baik antara pusat dan daerah dalam program kesehatan di era otonom ini ( saat ini kurang nyambung). 6. Usaha Kesehatan Perorangan sudah diatur via JKN maka program Usaha Kesehatan Masyarakat harus lebih di kembangkan dengan Public Health Approach. Dengan demikian, program utama kesehatan Kemenkes adalah upaya promotif dan preventif. Yang pasti, kandidat Menkes tersebut harus mampu sukseskan JKN sesuai dengan program Jokowee tentang Kartu Indonesia Sehat buat seluruh rakyat Indonesia!

sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/08/07/siapa-menkes-jokowee-dr-ribka-tjiptaning-678575.html

 

 

Diskusi: Calon Menteri Kesehatan

Diskusi:

Calon Menteri Kesehatan

 

Diskusi dimulai oleh Anjari Umarjianto dengan memasukkan bahan berupa kliping dari Kompas.com yang berisi janji Ibu Ribka Ciptaning kalau jadi Menteri. Masukan ini dibahas oleh banyak pihak. Silahkan mengikuti:

Anjari Umarjianto: Ini Janji Ribka jika Ditunjuk Jadi Menteri Kesehatan oleh Jokowi

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi IX DPR sekaligus salah satu kandidat Menteri Kesehatan, Ribka Tjiptaning, berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien yang sakit. Hal itu akan dilakukannya jika Joko Widodo resmi menjadi presiden dan dirinya ditunjuk menjadi Menkes.

“Pasal 32 Undang-Undang (Nomor 36 Tahun 2009 tentang) Kesehatan itu sudah mengatur kedaulatan rakyat, pidana kepada yang menolak melayani pasien. Tapi belum ada PP-nya. Itu yang membedakan kita nanti,” ujar Ribka di Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), Jakarta Pusat, Selasa (29/7/2014).

Ia mengatakan, UU yang ada saat ini sudah cukup mengatur hak rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan, di lembaga pelayanan kesehatan mana pun. Namun, kata dia, belum ada peraturan pelaksana yang mendukung UU tersebut untuk menjamin penegakan hukumnya.

Oleh karena itu, rumah sakit (RS) atau tenaga kesehatan masih abai pada pelayanan pasien. Ia mengatakan, jika ada PP soal pemidanaan penolakan pasien, maka tidak ada lagi RS atau tenaga kesehatan yang berani menolak pasien meski tidak punya uang untuk biaya RS.

“Kalau ada sanksi, ada efek jera, tidak ada lagi yang berani menolak. Karena tenaga kesehatan itu sumpahnya mengedepankan kemanusiaan,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur, RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. 

 

Tanggapan Achmad Haryadi

Dear all,
Dengan statemen tsb kita jadi tahu bahwa kalau beliau jadi Menteri Kesehatan, akan fokus pada UKP (upaya kes perorangan). Padahal menkes yang akan datang diharapkan memberikan perhatian lebih pd pengembangan UKM (upaya kes masyarakat).  Ada 34 daerah provinsi dan sekitar 500 daerah kab/kota. Sebagai daerah otonom, mereka butuh pedoman dan pembinaan dalam implementasi otonomi kes di Daerah. Yang baru disediakan adalah pembagian urusan antara pusat dan daerah, belum tentang bagaimana urusan pemerintah yang dibagikan tersebut di proses menjadi wewenang daerah, bagaimana organisasi penyelenggaraannya, bagaimana sistem operasinya, serta bagaimana tenaga dan pembiayaannya. Hal ini jadi penting utk penggerakkan UKM pada 34 kesehatan provinsi dan 500 kesehatan kab/kota. Bagaimana dinkes sebagai penanggung jawab penyelenggaraan otonomi kesehataan daerah akan mengembangkan UKM secara terintegrasi dan mengalokasikan pembiayaan UKM.
Pada akhirnya urusan pembinaan bidang kesehatan adalah tanggung jawab menkes (walaupun diselenggarakan secara otonomi). Disisi lain, kemampuan daerah tidak sama, sehingga perlu kebijakan khusus tentang bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat (DAK, TP, HIBAH dll) untuk UKM dalam setting tersebut (bahwa urusan kesehatan tanggung jawab presiden melalui menkes).
Karena pengelolaan keu Daerah sudah di atur oleh Kemdagri, pengelolaan organisasi Daerah juga sudah diatur oleh KemPAN, maka menkes perlu memahami hal tsb dan membangun kerjasama erat dg kedua kementerian tsb.
Walhasil, banyak PR yg perlu di kerjakan bersama 5 tahun kedepan untuk mengefektifkan implementasi UKM di Daerah. Welcome Menkes yang UKM oriented.
Salam…

Tanggapan balik Pak Anjari

Sepakat dg pak ahmad hariyadi jika Bu Ribka itu UKP banget.. Contohnya krmarin ketika ditanya bagaimana atas tingginya angka kematin ibu bayi? Beliau jawab, akses RS yg kurang makanya dia akan bangun RS Pratama hingga tingkat kecamatan..

Sepanjang saya mengikuti sidang-sidang komisi 9, bu ribka juga sering ungkapkan upayanya bangun rs kelas 3 dan gratis…

Ya tetapi kembali pd asas dasar, siapa saja yg jd Menkes itu hak prerogatif presiden… 😉

Tanggapan Heru Aryadi

Dear all,

Bagi politisi, UKP itu sesuatu banget dan seksi banget

Bagi profesional, UKM itu sesuatu banget dan seksi banget

So, kita tunggu siapa yang bakal jadi Menkes

Tanggapan Laksono Trisnantoro

Pengamatan saya mengenai posisi menteri di bidang kesehatan selama 15 tahun ini memang merupakan posisi politik. Suka2nya Presiden terpilih dan orang-orang di sekitarnya. Jadi setiap 5 tahun sekali, memang ada perjudian besar. Menteri yang terpilih bisa baik bisa buruk. Untuk mengurangi dampak buruk perjudian ini ada sedikit analisis saya sebagai berikut:

  1. Di sektor kesehatan belum ada semacam kekuatan penyeimbang untuk Menteri Kesehatan. Memang ada DPR, namun isinya juga perjudian.
  2. Para peneliti dan pemberi masukan kebijakan kesehatan masih lemah. Para peneliti kita masih belum independen dan belum dapat memposisikan diri sebagai pemberi masukan kebijakan.
  3. Anggaran untuk penelitian kebijakan masih rendah.
  4. Sebagian peneliti kebijakan “menyeberang” ke pengambil kebijakan yang akhirnya menjadi pejabat dengan peran yang membingungkan.

Oleh karena itu perlu penguatan para peneliti dan pemberi masukan kebijakan kesehatan yang independen. Hal ini yang perlu kita perkuat. Jadi siapapun Menterinya, kelompok independen di sektor kesehatan harus memperkuat diri, dan tidak perlu ikut-ikutan “ngotot” memberikan masukan siapa Menterinya. No body is perfect dan bisa menjadi faktor yang membikin tidak independen.

Saya pernah memberi masukan nama untuk Menteri Kesehatan karena diminta lingkaran dalam Presiden terpilih. Setelah Menteri terpilih saya berusaha menjaga jarak agar tidak terjadi bias. Hal ini penting, kecuali kalau kita kemudian ditunjuk menjadi Penasehat Menteri dan kita bersedia. Posisi penasehat ini memang tidak independen. Saya berfikir bahwa Indonesia masih butuh banyak peneliti kebijakan yang independen.

Demikian komentar saya. Jadi mari kita cermati proses pembentukan kabinet dan siapkan materi untuk masukan kebijakan serta kekuatan untuk memberi masukan.

Website Kebijakan Kesehatan Indonesia akan terus dipacu untuk forum kebijakan kesehatan. Silahkan menggunakannya.
Salam

Tanggapan Heru Ariyadi

Sependapat prof Laksono.
Ijin share pendapat ini, karena sdh ada petisi yg kalimatnya mengandung rasa benci sebagian dan sebagian memang obyektif (paling tidak menurut saya )

Salam Keselamatan Pasien

Tanggapan Hanna Permana

Setuju…pak Laksono….. apa yang kita bisa dan mampu harus kita kerjakan….dan jika ada yang baik..serta perlu kebijakan kita berupaya memberikan masukan ke pembuat kebijakan… dengan alasan yang kuat kita harapkan pengkayaan dibidang kesehatan  khusunya kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat… setuju pak Laksono…siapapun menterinya ya harus didukung…oleh profesional dibidang  kesehatan

Tanggapan Anjari Umari

Terima kasih prof atas tanggapan dan pendapatnya. Mencerahnya dan patut jadi pegangan…

Iseng-iseng saya nulis di blog pribadi :

Biarkan Jokowi Mengangkat Menteri Pilihannya

http://anjaris.me/biarkan-jokowi-mengangkat-menteri-pilihannya/

Saya ikut mengisi nama yang diusulkan sebagai calon Menteri Kesehatan dalam “Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)” yang diinisiasi oleh kelompok relawan “Jokowi Center”. Harapan saya sih sederhana saja, siapa tahu nama yang saya usulkan benar menjadi Menkes. Saya punya keyakinan, haqul yaqin, orang yang saya usulkan mampu mengemban tugas dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Alasannya sih (lagi-lagi) sederhana, saya tahu kelayakan dan kepantasan (fit & proper) yang bersangkutan.

Seketika tuntas mengisi KAUR, rasa puas berubah menjadi gamang. Apa hak saya ikut-ikutan memberi usulan kepada Jokowi-JK melalui Jokowi Center? Jangan-jangan kelompok relawan atau non relawan Jokowi-JK juga punya usulan dan proposal calon Menteri. Jika dalam KAUR saja ada ribuan orang usul, bagaimana ditambah dengan usulan lain. Weladalah, tak berselang waktu lama beredar nama calon Menteri ( termasuk Menkes) dari kelompok-kelompok lain yang konon dekat dengan Jokowi-JK. Kalau saya kumpulkan, banyak sekali nama-nama yang berterbangan sebagai calon Menkes. Muncul pikiran nakal saya, dari nama-nama yang muncul ini siapa ya yang ada dalam benak Jokowi? Sama nggak yang ada di pikiran JK? Atau jangan-jangan mereka punya nama selain yang diedarkan ini.

Diantara keriuhan nama-nama calon Menkes, suara “tolak si anu jadi Menkes” semakin kencang. Saya bisa rasakan penolakan itu secara langsung, juga melalui media sosial. Bahkan ada petisi “menolak si anu jadi menkes” yang nampaknya banyak disuarakan dari kalangan dokter.

Rasa gamang saat ikut mengusulkan KAUR tadi semakin menjadi rasa bersalah. Jangan-jangan saya sudah keluar dari batas hak semestinya. Jangan-jangan melalui usulan tadi terselubung maksud “menyodorkan dengan memaksa” Jokowi-JK memilih usulan itu. Tapi kan usulan itu boleh diterima atau ditolak. Nah, di posisi ini saya menjadi tenang. Sepanjang hanya usul, tidak bermaksud mendesak, memaksa kehendak apalagi menyetir kepada Jokowi-JK, rasanya sih asik-asik saja.

Saya yakin bahwa setiap orang yang punya usul calon Menteri tahu bahwa mengangkat Menteri (termasuk Menkes) itu hak prerogatif presiden. Jadi ya biarkan saja secara merdeka bebas pemaksaan kehendak, Presiden nantinya menggunakan hak prerogatifnya. Biarkan, beri kesempatan, Jokowi mengangkat Menteri pilihannya. Bukankah sewaktu mencoblos Jokowi karena percaya Jokowi memiliki kapasitas sebagai Presiden, termasuk mengangkat Menteri?

Dengan membiarkan Jokowi (-JK) mengangkat Menteri pilihannya secara bebas mandiri berarti memberi kesempatan pasangan ini membuktikan janji dan kapasitasnya nya kepada rakyat. Dengan kata lain, Kabinet Jokowi-JK adalah batu uji pertama pasangan presiden/wakil presiden pilihan rakyat. Dengan begitu rakyat bisa ngomong,”ini lho kabinet pilihan presiden kita”. Jadi, Pak Jokowi, Pak JK, tolong abaikan saja usulan nama calon Menkes dari saya. Nanti jika sudah resmi sebagai Presiden/Wapres, monggo gunakan hak prerogatif secara bebas merdeka tanpa paksaan kehendak dari saya untuk tentukan pilihan yang menjadi Menkes. Toh, siapa saya ini. Nanti saya malah bingung njawab kalau Pak Jokowi nanya,”apa sampean nyoblos saya?” ;))

Hingga tulisan iseng ini saya posting, masih gegap gempita orang, termasuk kawan saya, mempetisikan “tolak di anu jadi Menkes”. Disamping itu sibuk pula mempromosikan calonnya untuk jadi Menkes. Alasan kegigihannya menolak dan mengusulkan calon menkes, karena dia nyoblos Jokowi-JK. Dia dulu juga turut mengkampanyekan agar pilih Jokowi-JK. Jadi saat ini dia “merasa berhak” bersuara menolak calon menkes yang tidak kredibel dan juga memberi saran/usul calon Menkes. Saya jadi kepikiran begini; jika satu orang yang dulu mencoblos Jokowi-JK merasa berhak memberi usul/saran calon Menteri, bagaimana lagi dengan sponsor/donatur Jokowi-JK ya?

Ahh, sudahlah. Ayo biarkan Jokowi-JK mengangkat Menteri (termasuk Menkes ya) pilihannya. Ini ujian pertama!

Tanggapan Laksono Trisnantoro

Mantap pak Anjari. Klop benar dengan pendapat saya. Mari kita hadapi segala kemungkinan. Kalau pas dapat baik… mari bersyukur. Kalau pas dapat yang jelek…mari kita tekan untuk menjadi baik. DI sektor lain banyak think-tank yang berani menekan Menteri. Misal di sektor perhubungan, ada berbagai kelompok peneliti yang memberi masukan (bisa disebut juga tekanan) agar Menteri Perhubungan membikin kebijakan tertentu. DI Luar Negeri hal ini sangat jamak sehingga ada kontrol dan penyeimbangan. Oleh karena itu  mari kita perkuat Check and Balance di sektor kesehatan. Siapapun Menteri Kesehatannya.

ARSADA, ADINKES, PERSI, UGM, UI dll  harus siap2. Siapapun Menterinya…kita harus tegakkan logika. Jangan sampai sektor kesehatan menjadi sektor yang tidak logis, gara-gara perilaku Menteri dan Staffnya…

 {jcomments on}

Manajemen Pengetahuan untuk Pembuatan Kebijakan di Lintas Sektor dan Lintas Program Kesehatan

Diskusi bulanan yang keempat dilaksanakan pada Kamis (22/5/2014) dan diawali dengan review dari diskusi sebelumnya. Pada Januari atau diskusi bulanan pertama, telah dibahas manfaat Knowledge Management (KM) untuk lingkungan di luar organiasi yang mengadakan KM (policy making). Hasil riset ini bisa digunakan untuk pembuatan kebijakan di lokal, pusat, dan unit-unit. Hal ini biasanya digunakan oleh para praktisi, ketika penelitian tersebut ada hasilnya maka digunakan organisasi profesi dan akan digunakan untuk mempengaruhi pembuat keputusan. Diskusi kedua membahas tentang mencegah kehilangan pengetahuan, meningkatkan daya saing, reorganisasi, dan lain-lain.

Bulan ketiga, diskusi bulanan membahas tentang produksi dan difusi pengetahuan yaitu penelitian lalu publikasi penelitian diikuti telaah sistematik dan telaah TS lalu baru EBDM. Kali ini, atau minggu keempat mengambil tema produksi dan diseminasi pengetahuan. Pengambilan keputusan berdasarkan bukti dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu literature review, systematic review (ada sistem untuk menjaring masalah-critical appraisal-sintesa-disimpulkan), state wide survey (survey seluruh negara bagian) dan key information review.

Diskusi kali ini akan banyak membahas tentang diseminasi. Diseminasi yang dimaksud sifatnya lebih aktif. Sementara, difusi bersifat secara pasif menyediakan pengetahuan dan siapa saja dipersilakan menggunakan hasil penelitian. Manfaat diseminasi antara lain: meningkatkan kemampuan menemukan, membangkitkan budaya EBDM dalam organisasi-organisasi Pemda (berbasis bukti), dan lain-lain.

Jika melihat kasus Indonesia, hal yang harus disadari ialah penyakit tidak bisa hilang, dan penyakit tidak berhubungan langsung dengan kemiskinan. Melalui penyakit terabaikan (neglected) program lintas sektoral dan lintas program dapat mulai dilakukan. Mengapa yang terabaikan? Pertama, karena tidak diperhatikan oleh yang berwenang, misalnya cacingan, lepra, trachoma (daftar ini bukan penyakit prioritas). Penyakit terabaikan berkembang di lingkungan yang buruk atau perumahan kumuh. Alasan kedua, pencegahan primordial dan primernya sama. Kegiatan yang terintegrasi seperti apa? Harapannya, kegiatan yang terintegrasi lebih terbatas atau terarah. Hal yang dilakukan ialah systematic review, proyek-proyek menganggap laporannya rahasia. Ada survey yang melibatkan Pemda untuk melihat kebutuhan setempat. Sektoral Dinkes Yogya dan PMPK pernah memiliki ruang pembuatan keputusan untuk fasilitasi hasil surveilans. Namun hal tersebut kurang dimanfaatkan dengan baik.

DISKUSI

Deni Harbianto menyampaikan menurut pengalaman kami sebagai konsultan, riset yang cukup bagus, namun ketika dibawa ke Kemkes ada semacam blocking dari mereka karena menganggap pemerintah memiliki data yang lebih bagus. Namun hal ini tanpa disebutkan surveilans yang valid atau tidak dan data the best-nya di-keep oleh stakeholder. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Kemudian Rossi Sanusi memberikan pendapatnya, dampak riset lebih tampak di level lokal. Hal yang sering terjadi, pusat akan lebih resist pada penelitian semacam ini. Ke depannya, telaah sistematik akan lebih banyak dilihat. Jika hasil penelitian sudah dijaring, maka tidak ada alasan untuk menolak. Misalnya dilakukan penapisan yang meliputi: laporan 10 tahun terakhir, negara berkembang dan ditulis dalam bahasa Inggris. Laporan kemudian di-critical appraisal, disintesa dan ditarik kesimpulannya. Bukti penelitiannya lemah/kuat akan dipengaruhi organisasi yang besar misal Mac Master. Ada satu cara untuk melacak hal ini, yaitu masuk ke situs Search Engine dan cari dengan kata kunci ‘Systematic Review Website’. Ada semacam review, intervensi ini gamblang/tidak, atau apa yang sebaiknya dilakukan. Jika mengusulkan intervensi, apa bukti sebelumnya? Jadi tidak mulai dari 0 dan ada perlindungan legal. Sayangnya, budaya kita mengingat, bukan membaca. Hal ini terkait dengan kemampuan menerima pendapat orang lain. Maka, harus belajar toleransi yaitu budaya berbeda pendapat sejak kecil.

dr. Sutjipto menyampaikan pertanyaannya yaitu kemampuan Dinkes untuk melakukan interpretasi dan menggunakan data lemah, apa yang bisa disarankan akademisi atau Pusat Studi? Lalu, bagaimana untuk meningkatkan kemmapuan advokasi dan negosiasinya. Menganalisa hasil surveilans-mulai dai pengumpulan data baik surveilans kasus maupun surveilans sindromik. Bagaimana melibatkan orang setempat. Menganalisa dan membuat keputusan. Perlu membuat intervensi apa? Misal bakteria bachi uji coba di Sleman, lalu ada pengurus RT/RW yang ragu. Maka, seharusnya diisodorkan bukti jika hal tersebut aman/tidak di dunia? Dewan riset yang sudah ada seharusnya menyediakan info dengan mengumpulkan dan mengolah.

Digna Purwaningrum menyampaikan pengalamannya yaitu ia pernah terlibat dalam penyusunan keputusan berbasis bukti hasil penelitian di Jogja. Dari segi pengambil kebijakan, sangat membutuhkan hal tersebut. Apakah PT bisa memberikan bentuk data yang lebih mudah, tidak banyak yang bisa mengartikan data. Usulan dari Pemda: ada website khusus tentang hal ini, ada update tentang data yang diolah dari Pusat Studi/kajian dan aparat pemda. Tanggapan dari dr. Rossi Sanusi, evaluator harus dilibatkan dari awal menyusun proyek. Saran untuk PKMK yaitu struktur mengikuti fungsi, yaitu menghasilkan penelitian dan diolah (hasil penelitian Indonesia dan dunia).