Kelompok Kerja Pembiayaan Kesehatan Indonesia

  PENDAHULUAN

Jaminan Kesehatan Nasional sebagai amanat UU No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah terselenggara di Indonesia pada awal 1 Januari 2014. Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menyebabkan reformasi pembiayaan kesehatan di Indonesia. Tujuan JKN yaitu tercapainya keadilan pelayanan kesehatan. Kebijakan JKN ini untuk mendorong terpenuhinya ketidakmerataan di berbagai wilayah di Indonesia terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan akses pelayanan kesehatan karena kondisi geografis yang berbeda. Di lain pihak, UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan mengatur besaran anggaran kesehatan pusat yaitu 5 persen dari APBN di luar gaji, sedangkan APBD Propinsi dan Kab/Kota adalah 10 persen di luar gaji, dengan peruntukannya 2/3 untuk pelayanan publik. Hal yang menarik adalah anggaran pemerintah pusat dari tahun ke tahun yang rawan akan pemotongan anggaran karena keterbatasan celah fiskal.

Sumber pembiayaan di Indonesia (2005-2011) dari data NHA 2013 (Soewondo et. al. 2013) mengalami dinamika yang menarik. Peningkatan sumber anggaran ini terutama diarahkan untuk biaya pengobatan (kuratif), namun bagaimana dengan anggaran untuk program promotif dan preventif. Penelitian di berbagai propinsi menunjukkan bahwa pembiayaan untuk pelayanan kesehatan preventif dan promotif masih rendah (data dari studi PHCFBS dan PBB). Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah menganggap bahwa pelayanan kesehatan preventif dan promotif di tingkat primer merupakan tanggung jawab pusat. Akibatnya di berbagai daerah, APBD untuk operasional Puskesmas hampir tidak ada.

Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang dinamis ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia yang dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 memberikan andil yang besar terhadap reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. JKN diharapkan secara bertahap menjadi tulang punggung untuk mencapai Universal Health Coverage di tahun 2019 sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Beberapa isu penting pada pembiayaan JKN ini yaitu apakah manfaat JKN dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah dan apakah anggaran investasi kesehatan meningkat baik di level k-Kementrian k-Kesehatan maupun di pemerintah daerah. Investasi kesehatan yang dimaksud adalah infrastruktur, peralatan, dan investasi sumber daya manusia. Situasi ini akan dibahas dalam sesi-sesi khusus untuk Monitoring Jaminan Kesehatan Nasional dengan pertanyaan kritis: Apakah JKN akan memperburuk situasi pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia?

Untuk mendukung rekomendasi kebijakan pembiayaan kesehatan dapat disosialisasikan dengan baik, forum JKKI ini juga mengagendakan penyusunan policy brief pada hari ke-3. Tujuan pelatihan ini adalah menghasilkan berbagai policy brief untuk pemerintahan yang baru.

Peran pemerintah, akademisi, peneliti, pemerhati kesehatan, dan masyarakat saat ini sangat dibutuhkan untuk mendukung berjalannya JKN di Indonesia serta membantu penyempurnaan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. Akselerasi antara pusat dan daerah dalam strategi pemerataan dan keadilan pelayanan kesehatan di Indonesia harus diwujudkan. Melalui Fornas JKKI ke V ini selain pemaparan evaluasi JKN dan rumusan rekomendasi program dan kebijakan pembiayaan kesehatan, forum ini diharapkan dapat membangun jaringan peneliti dan pengamat kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia yang saling berkoordinasi.

  TUJUAN

  1. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan di Indonesia
    1. Hasil-hasil penelitian pembiayaan kesehatan di Indonesia, termasuk NHA dan berbagai studi lainnya.
    2. Monitoring dan Evaluasi JKN: Studi awal Pelaksanaan di awal tahun 2014
  2. Mengidentifikasi permasalahan pembiayaan kesehatan di Indonesia
  3. Mengusulkan rekomendasi yang bisa dihasilkan untuk penyusun kebijakan pembiayaan kesehatan
  4. Membangun jaringan peneliti dan pengamat kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan monitoring kebijakan sistem pembiayaan kesehatan Indonesia.

tempat  WAKTU DAN TEMPAT

Kegiatan ini akan dilaksanakan bersamaan dengan Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan.

Hari, tanggal :Rabu – Jumat, 24 – 26 September 2014
Tempat         :Komplek Trans Studio, Bandung

 

  Agenda Kegiatan:

Waktu

Keterangan Acara dan Ruangan

 

24 September 2014

Ruangan: Tentative

 

07.30 – 08.00

Registrasi Peserta Forum Nasional

 

08.00 – 09.00

Laporan Ketua Panitia

Laporan Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Pembukaan oleh Rektor Universitas Padjajaran

Dr. dr. Deni K Sunjaya, DESS

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA

09.00 – 10.00

Keynote speech:

Kendala Pencapaian MDGs di Indonesia

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas)

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Sesi Pleno 1Pencapaian MDGs

Moderator: Irvan Afriandi, dr., MPH.,DrPH

Studi Komparatif Pencapaian MDGs dan Universal Coverage Antar Negara di Kawasan ASEAN

Tantangan Kebijakan Pasca MDGs 2015

Perspektif Interdependensi Global Agenda Pasca MDGs 2015

Sesi Pleno 2Penguatan sistem kesehatan dalam Pencapaian MDGs

Moderator: Ilsa Nelwan, dr., MPH.

Critical Issues in Strengthening Health System: a Health Sector Review

Current Evidences in Indonesian Health Systems Strengthening

Regulasi Penguatan Sistem Kesehatan di Indonesia

Transformasi Pendidikan Tinggi Kesehatan dalam Memperkuat Sistem Kesehatan untuk Akselerasi Percepatan Pencapaian MDGs

Speaker:

Dr. Deni K Sunjaya, dr., DESS (Fakultas Kedokteran Unpad)

Dr. Anung Sugihantono,dr.,M.Kes (Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemkes RI

Prof. Dr. Nila Moeloek, dr., SpM (Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs)

 

 

 

 

 

Dr. Nina Sardjunani,dra.,MA (Deputi Menneg PPN/Kepala Bappenas Bid. SDM & Kebudayaan)

John Leigh (Australia-Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening)

Sekretaris Jenderal Kemkes RI

Dr.Elsa P Setiawati, dr.,MM (Fakultas Kedokteran Unpad)

12.00 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 14.15

   

Sesi Paralel 1 : Kebijakan Pembiayaan

Ruangan: Tentative

 

Primary Health Care Financing and Expenditure Bottleneck Study (20′)

Moderator : Dr.Dumillah Ayuningtyas, dra.,MARS

Speaker

M. Faozi Kurniawan, SE., Akt ., MPH

Pembahas:

Drg. Tini Suryanti Suhandi
Kepala Biro Perencanaan Kemenkes RI

Diskusi (25’)

 

14.15– 15.00

Analisis Peran Pemerintah dalam Implementasi JKN

Putu Astri Dewi Miranti 

Potensi Peran Lembaga Sosial dalam Sistem Kesehatan di Era JKN

Hilmi Sulaiman Rathomi

Kajian Media: Analisis Awal Penyelenggaraan JKN

Budi Eko Siswoyo

Analisis Kebijakan dan Hubungan Purchaser dengan Providers dalam Era JKN di Indonesia tahun 2014

Vini Aristianti, dkk

Advokasi Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan dengan Pendekatan Ekonomic Lost (Studi Kasus Keberlanjutan Program JPKMU dalam BPJS Kesehatan di Provinsi Sulawesi Barat)

Kasman Makassau

Utilisasi Jaminan Kesehatan Di Wilayah Timur Indonesia Analisis Berdasarkan IFLS 2012

Haerawati Idris 
 

Diskusi

 

15.00 – 15.30

Coffe Break

 

15.30 – 16.15

Sesi Paralel 2 : Kebijakan Pembiayaan Kesehatan

Ruangan : Tentative

 

Pembelajaran dari Hasil Penelitian Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Studi NHA di Indonesia (20′)

Speaker

Prastuti Soewondo, SE, MPH, PhD

Marianus Sae (Bupati Ngada)

Diskusi

Diskusi (25’)

 

Moderator: 

Sharon Gondodiputro, dr., MARS., MH

16.15-17.00

Public Health Insurance in Eastern Indonesia: Is It True Benefit? (Analysis of Indonesian Family Life Survey Data East 2012)

Isak Iskandar 

 

Gambaran JKN di Kalimantan Timur Menuju UHC

Rahmat Bakhtiar dan Krispinus Duma 

Perbandingan Sistem Pembiayaan Sebelum dan Sesudah JKN di Kabupaten Kuningan tahun 2014

Cecep Heriana

Masyarakat Meragukan Mutu Layanan Kesehatan Gratis: Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Jaminan Kesehatan Masyarakat di Jawa Timur

Nurul Jannatul F

Tantangan dan Skenario Pelaksanaan Kebijakan JKN di Wilayah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (Studi Kasus di Wilayah Provinsi NTT

 

Dominirsep O Dodo

Pelaksanaan Program BPJS Kesehatan di Puskesmas Martapura

Fauzie Rahman, dkk 

 

25 September 2014

   

07.30 – 08.30

Resume Hari 1

 

08.30 – 10.00

Sesi Pleno 3  – Diskusi Panel Monitoring dan Evaluasi JKN

Moderator: Prof.Dr.HM. Alimin Maidin, dr., MPH

Pembicara:

Donald Pardede, dr., MPPM (Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kemkes RI)

Dr. Fachmi Idris, dr., M.Kes (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan)

Dr. Chazali H Situmorang, Apt., M.Sc.PH (Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional)

 

Pembahas:

Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD (UGM)

Dr. Henni Djuhaeni, dr., MARS (UNPAD)

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Sesi Pleno 4Universal Coverage Lesson Learnt from Several Countries

Achieving Universal Coverage: Lesson Learnt

Achieving Universal Coverage: Lesson Learnt from Thailand

Implementation of Universal Coverage in Indonesia: Space for Improvement

Speaker:

John L (Wordl Bank)

Viroj Tangcharoensathien

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., DrPH

12.00 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 15.00

Sesi Pleno 5 – Diskusi Panel Lesson Learnt: Pelaksanaan JKN di berbagai daerah di Indonesia

Studi Kasus di Jabar

Studi Kasus di Prov NTT

Studi Kasus di DKI Jakarta

Studi Kasus di Kab. Bintuni Papua Barat

Speaker:

Tim Dept IKM FK UNPAD dan DInkes Prop Jabar

Tim IKM FKM UNDANA

Ka Dinkes Prop. DKI Jakarta

Ka Dinkes Kab Bintuni/Eka Suraji, dr., PhD

15.00 – 15.30

Rencana Kegiatan Fornas JKKI Selanjutnya

15.30 – 16.00

Coffee Break

 

16.00 – 16.55

Sesi Paralel  3 Kebijakan Pembiayaan Kesehatan

Ruangan : Tentative

 

Free Paper 7

 

Free Paper 8

 

Free Paper 9

 

17.00-17.30

Resume Akhir

 

17.30 – Selesai

Penutupan

 

26 September 2014

Ruangan: Tentative

 

08.00 – 15.00

Pelatihan Penulisan Policy Brief:

(Tim Pokja Pembiayaan Kesehatan mengikuti workshop)

 

15.00 – 16.00

Penutupan Forum Nasional

 

 

  PESERTA

Forum ini mengundang para para pengambil kebijakan, akademisi (dosen, staf pengajar), peneliti, praktisi kebijakan kesehatan, atau semua pihak yang tertarik dengan kebijakan Pembiayaan Keseghatan di Indonesia untuk mengikuti kegiatan ini.

 

  Keterangan lebih lanjut:

Wisnu Firmansyah
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, FakultasKedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile :+62 812 15182789
Email :[email protected]; [email protected];
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net  

 

 

Diskusi Bulanan Kedelapan: Pembelajaran Online dan Program Family Planning

siwi

siwiPKMK kembali menggelar Diskusi Bulanan untuk para peneliti dan konsultannya. Kali ini, diskusi yang diangkat terkait dengan upaya pembelajaran online dan program KB. Diskusi diawali dengan sedikit gambaran dari dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD. Pertemuan kedua, KM ialah cara menyampaikan info yang tepat pada waktu yang tepat. Supaya mempunyai daya saing yang lebih unggul. Melalui pelatihan, mentoring, wawancara untuk menggali orang yang lebih tahu.

Banyak langkah yang dilakukan untuk menyebarluaskan KM ini. Beberapa diantaranya: Mekanisme sederhana (lokakarya, magang dan sebagainya), melalui teknologi informasi (TI), process mapping dan conceptual frameworks serta communities of practices (COP). Apa yang dimaksud dengan COP? Seperti dijelaskan oleh Jean Lave dan Etiene Wanger, komunitas ini merupakan kelompok yang bekerja dalam suatu keahlian. Kemudian secara alami mereka tumbuh karena minat yang sama, atau khusus dibentuk untuk menambah pengetahuan, melalui berbagi informasi, dan pengalaman bersama.

Ini merupakan contoh best practice yang didanai USAID di bidang nurses, nursing dan mid wivery. dra. Retna Siwi Padmawati, MA kemudian memaparkan, program untuk pendidikan pekerja kesehatan yang fokus pada pengetahuan, bergantung pada resources dan pada materi yang tidak mudah diterapkan.

Poin penting yang digali oleh tema ini antara lain,

  1. Apa kompetensi family training dan kompetensi?
  2. Stratistik struktur grup.
  3. Pergantian dan tantangan yang ada hubungannya dengan family planning.

Retna Siwi menyatakan usulan untuk pengembangan tema ini, tema family planning terlalu sederhana, maka harus diintegrasikan pada yang lebih besar dan agar tujuan pembelajaran yang terukur. Analisis selanjutnya, dunia kedokteran masih membutuhkan kompetensi non klinik misalnya: supply, logistik, manajemen dan lain-lain. Lalu diperlukan integrasi antar subjek dan tahun penelitian. Kadang apa yang disiapkan saat belajar tidak sesuai dengan kebutuhan saat kerja.

Preview penelitian ini 273 individu dan 65%-nya dari Asia, Afrika dan Amerika Tengah. Hampir pada seluruh kasus HIV/AIDS, tidak ada hubungan antara teori dan praktek, banyak instructor yang tidak menyediakan clinical services. Karena keterbatasan akses, kita bisa gunakan gateaway/internet.

Diskusi:

Trisasi (MMR UGM) menanyakan KB masih dipersepsikan berbeda, edukasinya: caranya bagaimana? Artikel ini 49 negara dengan 273 individu: partisipan ini sedikit, apakah ini mewakili keberhasilan program KB di negara masing-masing? KB ini banyak menyangkut faktor social agama yang mempengaruhi. Masalah sosial apa yang dihadapi para educator di beda benua.
Retna Siwi menjelaskan, jadi yang diteliti atau educator disini seperti mendaftar secara volunteer. Mereka tertarik dengan tema pendidikan online family planning. Riset ini mengikuti John Hopkins, karena terjadi ilmiah, maka siapapun bisa berkomentar. Educators nya juga belum jelas. Maka, ketika dicermati, penelitian ini untuk sharing (perilaku, cara berkomunikasi dan lain-lain) atau training (dari pengajar). Lebih jauh dalam artikel dikatakan bahwa penelitian ini lebih banyak ke sharing hasil diberlakukannya family planning.
Selengkapnya, silakan simak di sini:

Sharing best practices through online communities of practice: a case studyAnnamma Thomas, Grace P Fried, Peter Johnson, Barbara J Stilwell Human Resources for Health 2010, 8:25 (12 November 2010) Abstract | Full text | PDF

 

 

 

Workshop, 26 Agustus 2015

26ags-pb

hari 1   hari 2   jadwal

Penyusunan Policy Brief untuk Sistem Kontrak di Pelayanan Kesehatan Indonesia (Termasuk Kebijakan JKN dan BOK)

26ags-pb

Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia (FKKI) VI telah berlangsung tiga hari dan di hari ketiga ini (26 Agustus 2015) FKKI menyelenggarakan beberapa sesi workshop yang salah satunya mengenai kebijakan JKN dan dana BOK. Gambaran umum mengenai sistem kontrak di pelayanan kesehatan mengawali sesi workshop kebijakan JKN dan BOK. Selaku pembicara, Dwi Handono menyampaikan bahwa sistem kontrak bukan hanya terbatas pada tenaga medis, melainkan juga SDM manajemen dan institusi. Salah satu yang paket yang pernah menggunakan sistem kontrak tersebut adalah program sister hospital di NTT. Dalam menjelaskan perbedaan contracting out dan outsourching, Dwi juga memaparkan mengenai beberapa regulasi yang mendukung mekanisme sistem kontrak.

Bukan hanya PT dan CV karena organisasi profesi pun dapat berpotensi dalam menyediakan provider yang akan dikontrak penyedia dana. Menurut Prof. Laksono, kontrak secara perorangan seringkali diikuti beberapa permasalahan sehingga perlu ada atas nama lembaga, terutama terkait paket pelayanan yang akan ditawarkan. Dalam sesi diskusi, Budi (UNICEF) juga menekankan bahwa sistem kontrak tidak sesederhana transaksi jual beli sehingga perlu ada keterlibatan berbagai pihak yang bekerja sama dalam mencapai tujuan. Perlunya dukungan regulasi dalam proses perencanaan dan penganggaran public-private partnership juga dijelaskan oleh Dwi Handono.

Pada sesi kedua, Dwi Handono kembali menjelaskan mengenai agency theory yang diterapkan dalam sistem kontrak, dimana ada dua komponen utama yaitu : principal (penyandang dana) dan agen (lembaga/provider). Beberapa permasalahan dan alternatif solusi yang berpotensi terjadi pada saat pra kontrak, saat kontrak, dan pasca kontrak juga dijelaskan secara rinci oleh beliau. Materi dilanjutkan diskusi yang mencoba membahas lebih dalam mengenai adanya kontrak dua level dan kemudian ditutup dengan contoh implementasi penyelenggaraan sistem kontrak (agency theory) melalui program sister hospital di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prof. Laksono menambahkan bahwa sistem kontrak bukanlah suatu paksaan, sehingga dari sisi principal dan agen harus saling membutuhkan dan mengukur kebutuhan spesifik masing-masing daerah.

Faozi melanjutkan materi dengan pemaparan yang lebih memfokuskan pada kenaikan anggaran 5% di tahun 2016. Reformasi sarana dan prasarana yang disertai dengan perbaikan manajemen sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di era JKN. Alur dana kesehatan saat ini dinilai masih rumit sehingga berbagai instansi diharapkan dapat saling mendukung, termasuk terkait dengan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Materi Presentasi

Prof. Laksono Trisnantoro

sesi 1  sesi 2  sesi 3

Dr. Dwi Handwon, M.kes sesi 1  sesi 2  sesi 3

Faozi Kurniawan
sesi 1  sesi 2  sesi 3

 

Reporter : BES dan ES 

Implementation Research

26ags-yodiIndonesia kebanjiran hasil penelitian. Hasil penelitian dibuat sebagai syarat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi, menaikkan pangkat, maupun syarat lainnya. Puluhan ribu hasil penelitian yang dihasilkan setiap tahun, dicetak dan dipajang di perpustakaan bahkan dipublikasikan secara online.

Pertanyaannya, apakah hasil penelitian ini dapat melakukan perbaikan? dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD memperkenalkan konsep implementation research pada workshop Implementation research and contracting out di Hotel Bumi Minang, 26 Agustus 2015. Implementation research merupakan jenis penelitian untuk perbaikan. Jenis penelitian ini diperlukan di dunia kesehatan karena adanya variasi dampak dari beragam konteks dan implementasi dari kebijakan yang telah diberlakukan.
Kebijakan nasional yang telah diberlakukan di Indonesia selalu tidak bisa berjalan dengan baik karena berbagai kendala dalam proses implementasi. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan dana penelitian, namun proporsinya diarahkan untuk pengembangan teknologi vaksin dan obat bukan untuk implementation research.
Riset implementasi adalah bagian dari health system research untuk mencari faktor-faktor yang dapat meningkatkan implementasi dari intervensi yang ada. Riset implementasi menggali kendala pelaksanaan implementasi dengan metode apapun asal bisa menjawab pertanyaan implementasi ” The question is king”.

26ags-mubaFaktanya saat ini, telah banyak regulasi yang mengatur semua program yang harus diawasi. Pegawasan atau controling merupakan komponen penting dalam implementasi. Controling digunakan untuk mencari penyimpangan dan mengatasi penyimpangan. Dr. dr. Mubasyir Hasanbasri, MA sebagai narasumber workshop ini, mengungkapkan bahwa program tidak efektif karena penyimpangan tidak pernah terdeteksi, program pengawasan yang efektif adalah yang terjun langsung melihat kenyataan.

Pemahaman peserta workshop tentang implementation research and contracting out dikuatkan dengan penyajian materi oleh Ari Natalia Probandari dr.,MPH, PhD. Dosen berkaca mata ini memaparkan metodologi implementasi riset. Metode yang sering digunakan pada implementasi riset yakni: 1) Pragmatic trials, digunakan pada produk; 2) effectiveness implementation hybrid trials, digunakan pada setting pelayanan kesehatan; 3) mixed methods, desain penelitian yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif; 4) participatory action research, intervensi dilakukan berdasarkan kesepakatan yang meneliti dan diteliti; 5) quality improvement studies, menggunakan siklus PDCA dimana ada kaidah riset ilmiah yang digunakan. Untuk penelitian kebiijakan, metodologi penelitian yang sering digunakan adalah participatory action research dan mixed methods.

Materi presentasi

Implementation research and contracting out
 dr. Yodi Mahendradhata

materi

Proses pengembangan dan implementasi kebijakan
Mubasysyir Hasanbasri 
materi 

Metode riset implementasi
Ari Natalia Probandari
materi 

 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH

Kebijakan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi, dan pengalaman menggunakan Sistem Kontrak;

26ags-kia

Kebijakan publik pada tahun 2016 untuk sektor kesehatan akan memberlakukan peningkatan anggaran menuju sekitar 5% dari yang ada saat ini. Sistem jaminan pembiayaan kesehatan era JKN saat ini mempengaruhi banyak sektor kesehatan, salah satunya sektor Kesehatan Ibu dan Anak serta Kesehatan Reproduksi. Pengembangan pendekatan Contracting Out pelayanan kesehatan diharapkan menjadi salah satu upaya promosi KIA dan reproduksi dalam membantu pemerataan kesehatan. Harapannya penggunaan alokasi dana yang efektif, efisien, dan seoptimal mungkin.

Pada sesi ini diawali dengan presentasi best practice pelaksanaan pendekatan Contracting Out yang pernah dilaksananakan di berbagai tempat. Pertama, disampaikan oleh Indah Deviyanti dari UNICEF Indonesia yang membahas tentang inisiatif Integrated Micro Planning (IMP) di Provinsi Papua dalam pengembangan perencanaan tingkat puskesmas. Tujuan dari program ini memberikan penguatan kapasitas kepada puskesmas untuk perencanaan, penganggaran, dan monitoring KIA berbasis bukti. IMP ini mulai dilaksanakan pada tahun 2014 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura dengan keluarnya SK untuk penggunaan hasil dari IMP dalam perencanaan kegiatan. Kemudian di tahun 2015, program ini juga telah dilaksanakan di Kabupaten Biak Numfor, Jayawijaya, Sorong, Fakfak, dan Manokwari. Praktek contracting di negara lain kepada pihak non pemerintah juga dicontohkan seperti program Peoples Primary Healthcare Initiative (PPHI) di Pakistan pada tahun 2014 dan District Health Technical Advisory Team (DHTAT) di Kamboja pada tahun 2010.

Kedua, pemaparan oleh Erma Satriani dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK) tentang program kerjasama LKBK dengan USAID-EMAS dan UNICEF dalam kegiatan yang bersifat gerakan penyelamatan ibu dan bayi baru lahir. Kegiatan ini dilaksanakan sedikitnya di 11 kabupaten/kota yang tersebar seluruh Indonesia. Program EMAS ini kerjasama dengan JHPIEGO, Muhammadiyah dan Aisyiah, Save The Children, dan RTI International. Intervensi yang diberikan berupa beberapa pendampingan ke Rumah Sakit dan Puskesmas untuk peningkatan kualitas pelayanan KIA yang efisien dan efektifitas dari sistem rujukan. Ketiga, prensentasi terakhir oleh Dwi Handono Sulistyo dari PKMK FK UGM yang memaparkan Contracting Out di level pelayanan kesehatan bidang KIA dan reproduksi berupa program Sister Hospital di NTT. Kegiatan ini merupakan kemitraan antara rumah sakit besar di luar NTT dengan rumah sakit umum daerah Kabupaten di NTT untuk mengatasi kelangkaan dokter spesialis dan tenaga kesehatan pendukung lainnya secara jangka pendek dalam pelayanan PONEK 24 jam. Diharapkan rumah sakit umum daerah menjadi rujukan terakhir pasien dalam proses pelayanan kesehatan.

Pada sesi selanjutnya pembahasan dari Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan yakni Jehedkiel Panjaitan dan Asteria Unik Prawati yang memberikan tanggapan dari hasil presentasi. Ada beberapa hal yang disampaikan dan dipertanyakan berhubungan dengan sistem Contracting Out, antara lain: 1) Sistem ini lebih bersifat kerja sama yang perlu ada batasan dan harus ada kejelasan siapa yang melanjutkan program tersebut setelah selesai demi kelangsungannya kedepan; 2) Sebaiknya bagaimana lebih mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang ada di daerah; 3) Pada prinsipnya Kemenkes mendukung program yang berasal dari luar untuk mendukung pemerintah yang bersifat penguatan, harus sinergis dengan program yang sudah ada; 4) Harus jelas ikatan dalam sistem contracting out ini, apa hak dan kewajiban masing-masing serta bagaimana dengan mekanisme penyaluran dananya.

Kemudian pada sesi diskusi, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD memberikan tanggapannya bahwa perlu adanya semacam deklarasi kebutuhan dari daerah terkait permasalahan kesehatan mereka masing-masing. Sistem kontraknya itu tergantung kebutuhan dan perlu lebih spesifik kebutuhannya dan ada integrasi didalamnya. Hal ini senada juga dengan pendapat dari peserta lain yang menegaskan bahwa untuk keberhasilan program ini perlu adanya kesadaran profesi kesehatan yang didukung komitmen dari pemerintah setempat. Kesimpulannya bahwa Contracting Out ini sifatnya mensuplementasi kegiatan bukan mereplikasi hingga adanya penumpukan kegiatan. Semangat yang dibangun adalah partnership, bukan kompetisi. Prinsipnya bagaimana memberikan solusi jangka pendek untuk memutus rantai panjang masalah sambil melakukan solusi jangka panjang.

Materi presentasi

Contracting Out di Level Pelayanan Kesehatan Bidang KIA dan Reproduksi:
kasus Sister Hospital – Dwi Handono

materi

Kerjasama Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK) dengan
USAID-EMAS dan UNICEF dalam Bidang Kesehatan Ibu & Bayi Baru Lahir

materi 

Peran serta Organisasi non-pemerintah dalam Penguatan Kapasitas Puskesmas untuk peningkatan efektifitas Perencanaan, pendanaan dan pemantauan kesehatan ibu dan anak – UNICEF materi 

Reportase: Surahmansah Said

Konsep & Strategi Pembiayaan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyediaan Layanan Kesehatan
Melalui Mekanisme Contracting Out

Konsep contracting out atau disebut dengan PPP (Public Private Partnership) sebenarnya sudah dipakai selama ini dalam membangun kerjasama baik antara pemerintah dan swasta. Bentuk kemitraan dalam berbagai bentuk baik dana, tenaga dan waktu.

Konsep contracting out tidak selalu pemerintah sebagai pemberi dana & swasta sebagai pelaksananya, namun dapat juga sebaliknya. Swasta perlu dilibatkan, mengingat peran swasta dalam bidang kesehatan sudah cukup luas dan banyak, dibandingkan pemerintah dan swasta (ormas) dapat menjangkau kelompok khusus yg tidak dapat dijangakau oleh pemerintah.

Sumber dana pelaksanaan PPP dapat bersumber dana pemerintah, pemerintah daerah dan sumber lain. Namun permasalahannya, swasta dalam hal ini organisasi kemasyarakatan yang selama ini mendapat dana dari pemerintah, belum ada mekanisme yang jelas mengatur hubungan kerjasama dan kemitraan tersebut. Selain itu, juga perlu pengaturan kedepan bahwa organisasi kemasyarakatan perlu dilakukan akreditasi atau memiliki badan hukum yang jelas sehingga mekanisme kerjasama dan kemitraannya menjadi jelas. Jika belajar dari pemerintah Australia dan Malaysia dimana mereka memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab mengatur dan mengelola dana pemerintah maupun donor untuk organisasi kemasyarakatan, maka Indonesia dapat mencontoh, namun perlu disesuaikan dengan situasi dan latar belakang budaya serta kebutuhan masyarakat Indonesia.

Pelaksanaan kemitraan pemerintah dan swasta juga didukung dengan payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan baik kepada pemerintah pusat maupun daerah. Saat ini sudah lebih dari 27 aturan atau undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan, namun pelaksanaannya terhambat karena perlu didukung dengan peraturan pemerintah daerah untuk memperkuat dan menunjukkan komitmen pemerintah daerah. Organisasi kemasyarakatan juga perlu dibangun kemandirian sehingga tidak terlalu bergantung kepada dana dari pihak luar baik pemerintah maupun dari pihak donor asing saja. Oleh karenanya ormas perlu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dengan berbagai model baik model “daun”, “batang” dan model “akar” sehingga permasalahan kesehatan dalam hal ini HIV dan AIDS perlu menjadi musuh bersama semua elemen masyarakat. Selain itu, perlu dipersiapkan mekanisme yang jelas dan harmonisasi antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan (swasta) untuk membangun kemitraan dalam system contracting out ini, baik untuk jangka pendek, jangka menengah da jangka panjang.

Sesi 6

10.30 – 12.00

Konsep dan Strategi Pembiayaan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyediaan Layanan Kesehatan melalui mekanisme Contracting Out

  1. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS (Bappenas)  |  materi
  2. Budi Prasetyo, SH, MM (Kementerian Dalam Negeri)  |  materi
  3. DR. Bahtiar (Kementerian Dalam Negeri)  |  materi

Moderator : Hersumpana, MA

12.00 – 13.00

Rehat Siang

Sesi 7

13.00 – 15.00

Kasus: Kontrak Pelayanan Kesehatan kepada LSM

  1. dr. Cristina Widaningrum, M. Kes (Sub Dit TB – Kementerian Kesehatan RI)  |  materi
  2. Dra. Rohana Manggala, M.Si (KPAP DKI)  |  materi
  3. Husen Basalamah (Kios Atma Jaya)  |  materi
  4. Yakub Gunawan (Red Institute)  |  materi

Moderator : Chrysant Lily, MA

15.00 – 15.50

Rehat Sore

Sesi 8

13.00 – 15.00

Diskusi: Peluang Pendanaan APBN Program AIDS kepada LSM

  1. dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid (Sub Dit AIDS – Kementerian Kesehatan RI)  |  materi
  2. dr. Krishnajaya, MS (Adinkes)  |  materi
  3. Dra. Rohana Manggala, M.Si (KPAP DKI)
  4. Husen Basalamah (Kios Atma Jaya)

Fasilitator : dr. Yanri Subronto, Sp.PD, PhD

 

Sesi Paralel, 24 September 2014

icon bdg

icon bdg   Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan


24sept par1Salah satu sesi paralel dalam Fornas V JKKI yaitu mengenai kebijakan pembiayaan yang dimoderatori oleh Bapak Prawira. Sesi pertama kebijakan pembiayaan diawali dengan bahasan mengenai studi hambatan dalam pendanaan kesehatan di Puskesmas. Pada bahasan ini, M. Faozi Kurniawan (PKMK FK UGM) menjelaskan berbagai hambatan dalam fund-channelling beserta solusi alternatif yang kerap dilakukan Puskesmas. dr. Azhar Jaya, SKM, MARS selaku pembahas juga menegaskan bahwa kapasitas fiskal daerah perlu diperhatikan. Menurut beliau, kapasitas fiskal lebih cocok untuk mekanisme DAK. Ketersediaan SDM administrasi juga sangat diperlukan dalam penyesuaian kaidah keuangan di Puskesmas.

Sesi paralel kebijakan pembiayaan ini disertai beberapa presentasi oral. Analisis peran pemerintah dalam implementasi JKN oleh Putu Astri Dewi Miranti mengawali sesi presentasi oral tersebut. Putu menyimpulkan bahwa pemerintah belum melaksanakan peran dan tugas sesuai regulasi dalam implementasi JKN sampai dengan pelaksanaan bulan April 2014. Paper ini diikuti oleh pemaparan mengenai potensi peran lembaga sosial dalam sistem kesehatan di era JKN oleh Hilmi Sulaiman Rathomi.

Menurut Hilmi, lembaga yang berafiliasi dengan agama, cenderung lebih sustainable. Organisasi sosial di negara maju pun mulai bergeser dari fokus pelayanan menjadi penyusun kebijakan. Fasilitas kesehatan primer memiliki jumlah paling besar dalam organisasi sosial. Di akhir penjelasan, Hilmi kembali menegaskan bahwa peran lembaga sosial dapat sebagai fasilitas kesehatan, membantu pembiayaan masyarakat miskin non PBI, penguatan promosi dan preventif, dan upaya pemberdayaan masyarakat.

Faisal Mansur menyusul sesi paper mengenai layanan gratis pun ditolak masyarakat miskin. Kajian tersebut dilakukan di NTT dan Jatim yang berkesimpulan bahwa masyarakat miskin yang memiliki jamkesmas yang tidak memanfaatkan jamkesmas, cenderung lebih banyak di Jatim dibandingkan NTT. Adapun penyebabnya, diantaranya : administrasi ribet, kekhawatiran adanya perbedaan pelayanan, dan masyarakat yang masih merasa penyakit yang diderita adalah ringan.

Berbeda dengan penyaji sebelumnya, Vini Aristianti lebih menjelaskan mengenai analisis kebijakan dan hubungan purchaser dengan provider dalam era JKN. Vini menilai bahwa hubungan antara pembeli dan pemberi layanan belum dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang ada. Adanya mobil khusus sosialisasi JKN menjadi salah satu saran yang dikemukakan Vini dalam meningkatkan hubungan tersebut.
Advokasi keberlanjutan program JKN dengan pendekatan economic lost (studi kasus di provinsi Sulawesi Barat) oleh Kasman Makkasau melanjutkan sesi berikutnya. Hal ini juga dilengkapi dengan paper dari Haerawati Idris mengenai utilisasi jaminan kesehatan wilayah timur Indonesia yang dianalisis berdasarkan IFLS 2012. Berdasarkan kajian, peserta askeskin paling banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Haerawati menjelaskan bahwa sekitar 17% dana askeskin justru dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.

Pada sesi diskusi, komitmen 10% APBD dan 5% APBN di luar gaji dipertanyakan. Bapak Azhar membenarkan adanya tantangan besar, bahkan hampir terjadi pada semua wilayah di Indonesia. Ibu Via dari Dinkes Bandung mengutarakan rendahnya BOK akibat kebijakan keuangan yang seringkali berubah dan terkadang berbenturan dengan juknik BOK. Bapak Fauzi menilai bahwa kendala birokrasi tersebut juga sering dialami Puskesmas di daerah lainnya. Menurut beliau, setidaknya juknis berusaha diterbitkan lebih awal, tetapi tetap menunggu DIPA keluar. Pada akhirnya dana internal pun digunakan untuk membiayai operasional Puskesmas.

Ibu Selly dari konsorsium perempuan Sumatera mengungkapkan pendataan yang masih belum akurat dalam menentukan penerima manfaat jaminan bahkan masih rumitnya birokrasi sering mengganggu pelayanan kesehatan. Bapak Azhar setuju dengan hal tersebut dan menegaskan bahwa mulai saat ini fee atau jasa pelayanan dokter sudah disesuaikan per tindakan, bukan berdasarkan kelas perawatan.

Sesi Paralel 1 : Kebijakan Pembiayaan

Analisis Peran Pemerintah dalam Implementasi JKN 

Putu Astri Dewi Miranti
  Materi 

Analisis Kebijakan dan Hubungan Purchaser dengan Providers dalam Era JKN di Indonesia tahun 2014

Vini Aristianti, dkk
  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak


Sesi I Paralel KIA

24septsesi1Sesi Pertama Kebijakan Ibu dan Anak dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ini dimoderatori adalah Prof. Dr. dr. Alimin Mahidin, MPH. Paparan pertama dalam Sesi ini disampaikan oleh Dr Stefanus Bria Seran, MD, MPH, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur yang menyajikan hasil kegiatan Sister Hospital di Propinsi NTT. Program Sister Hospital merupakan bagian dari Kebijakan Revolusi KIA yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi NTT, dalam rangka percepatan penurunan angka kematian Ibu, Bayi dan Balita. Revolusi KIA, pada intinya memaksa para ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan, terutama di Puskesmas dan Rumah Sakit. Program Sister Hospital ini menitikberatkan kepada penyediaan pelayanan rujukan untuk komplikasi medis spesialistik. Sampai saat ini program ini mampu menurunkan angka kematian ibu di NTT secara signifikan, tetapi belum berdampak kepada angka kematian bayi dan balita.

Dalam paparan berikutnya, oleh Dr. Juanita Abubakar, SE, M. Kes menyatakan bahwa determinan penyebab kematian ibu di kabupaten Labuhan Batu Utara, Propinsi Sumatera Utara dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah determinan Non-medis, se;erti keputusan merujuk serta keterlambatan merujuk. Penyebab kematian terbesar kedua, adalah determinan pelayanan kesehatannya, seperti akses ke pelayanan oleh masyarakat, penanganan yang adekuat, serta kompetensi sumber daya kesehatan yang melayani. Melalui hasil penelitian tersebut, disarankan kebijakan untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM Kesehatan yang ada, terutama bidan di puskesmas, peningkatan standar mutu pelayanan, serta perbaikan akses transportasi dan kemudahanan akses ke pelayanan. Opsi kebijakan yang bisa diambi adalah penguatan program Desa Siaga.

Terkait dengan penelitan Dr. Juanita, disampaikan pula tentang pentingnya data dan informasi terkat dengan registrasi kehamilan dan kematian ibu. Dr. Siti Nurul Qomariah, PhD menyatakan bahwa data registrasi yang baik dan benar merupakan dasar penting penggalian informasi tentang penyebab kematian ibu dan anak. Sehingga dengan diketahuikan penyebab kematian, akan mudah bagi pengambil kebijakan untuk menentukan strategi yang tepat. Selanjutnya, Dr. Dra. Atik Tri Ratnawati, MA menyampaikan hasil penelitian mengenai analisis pencarian pelayanan kesehatan (Health Seeking Behaviour) di 8 Kabupaten, di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan fakta menarik, bahwa faktor sosial budaya merupakan determinan yang paling menonjol bagi penyebab kematian ibu dan anak. Preferensi untuk menggunakan penolong persalinan tradisional, masih merupakan penyebab utama tingginya AKI dan AKB, khususnya masyarakat miskin, di wilayah yang disebut sebagai daerah tapal kuda di Propinsi Jawa Timur. Demikian halnya dengan masyarakat miskin NTT, yang mempunyai preferensi untuk melahirkan di rumah oleh tenaga persalinan tradisional (dukun).

Dalam kesempatan terakhir disajikan hasil kegiatan yang didanai donor USAID, yaitu Program EMAS, oleh Dr. Hartanto Hardjono, MMedSc, mantan Kepala Dinas Propinsi Jawa Tengah dan Program KINERJA, yang disampaikan oleh Dr Marcia Soumoukil, MPH. Program EMAS dan Program KINERJA, memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk memudahkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Perbedaannya adalah, EMAS berfokus kepada penyediaan layanan (sisi suplai) dengan memperbaiki manajemen rujukan bagi kasus kehamilan resiko tinggi, sedangkan KINERJA menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, melalui keterlibatan komunitas dalam memperbaiki akses pelayanan bagi ibu hami. Hasil nyata sudah diperlihatkan oleh masing-masing program, yaitu penurunan angka kematian ibu, akibat kehamilan resiko tinggi di Jawa Tengah dan Papua.

 

Sesi II Paralel KIA

bagioSesi Paralel dua dimulai dengan presentasi dari Bapak Ir. Agustinus Bagio, M. MT (Bappeda Provinsi Papua). Beliau menyampaikan paparan berjudul Perencanaan Berbasis Bukti untuk Sektor KIA di Provinsi Papua. Pemaparan ini menjadi starting point untuk penyampaian materi selanjutnya. Pemaparan selanjutnya merupakan bentuk pembelajaran dari inisiatif perencanaan dan penganggran untuk sektor KIA. Materi tersebut antara lain District Team Problem Solving (DTPS) Nasional (Lukas C. Hermawan, M.Kes) dan Kota Kupang (Agustinus Hake), Integrated Microplanning untuk KIA di Provinsi Papua (dr. Agnes Ang), ASIA (Analisa Situasi Ibu dan Anak) (Hikmah, ST, Msi) dan ditutup dengan Dr. Arum Atmawikarta, MPH yang menyampaikan Millenium Acceleration Framework (MAF) UNDP.

 

 

azharASIA menjadi salah satu bentuk pencapaian upaya perbaikan perencanaan. Tidak serta merta menyelesaikan masalah tetapi adanya ASIA dapat menajamkan kebijakan program implementasi yang lebih tepat sasaran. Hal ini sangat membantu Pemerintah Daerah dalam menentukan program kerja untuk penanganan masalah kesehatan. Setiap materi pemaparan pada sesi ini sangat menarik. Bahkan hingga di akhir sesi diskusi justru makin seru dengan respon dari para pembahas. Salah satu Pembahas yaitu dr. Azhar Jaya, SKM, MARS menyampaikan pendapatnya terkait Pekerjaan Rumah (PR) Penurunan AKI dan AKB seharusnya bukan menjadi tanggung jawab Kemenkes.

Sesi ini dimoderatori oleh dr. Tiara Marthias, MPH dari PKMK FK UGM. Beliau menyampaikan kesimpulan bahwa perencanaan yang baik, pemanfaatan data dengan maksimal dan yang terpenting yaitu monitoring dan evaluasi (monev) menjadi salah satu fokus utama dari hampir semua metode yang disampaikan pemateri sesi ini. Peran fasilitator dalam mengawal perencanaan hingga melakukan monev menjadi sangat crucial dan lebih efektif dilakukan oleh pihak eksternal. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Prof. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD pada sesi pembukaan terkait perlunya monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Isu ini akan menjadi salah satu topik yang akan dibahas pada penyusunan Policy Brief, Jumat 26 September 2014. Sesi Paralel 2 ini telah mampu menghasilkan trigger kuat bagi penyusunan Policy Brief yang sarat akan evidence based dan menjawab kebutuhan.

Sesi I

Penelitian Health Seeking Behavior pada Masayrakat Miskin dan Hampir Miskin di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi NTT – Atik Triratnawati

  Materi

Opsi Sistem Pengukuran Kematian Ibu dalam mendukung Evidence-based Policy Making
Dr. Siti Nurul Qomariyah

  Materi
Determinan Kematian Ibu di Kabupaten Labuhan Batu Utara Propinsi Sumatera Utara – Juanita   Materi
Sister Hospital di Provinsi NTT – Dr. Stefanus Bria Seran, MPH    Materi
Capaian Program EMAS Jawa Tengah Q3Y3 – Hartanto Hardjono   Materi
Peningkatan Pelayanan KIA melalui Tata Kelola Kesehatan/Health Governance : studi kasus Kinerja Papua –  Dr. Marcia Soumokil, MPH   Materi
Pembahas: Maternal and child health policy development – dr. Elizabeth jane soepardi, MPH, DSc   Materi

Sesi II 

Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti Untuk di Provinsi Papua – Agustunus Bagio

  Materi

Perencanaan Program Kesehatan Ibu, Bayi baru Lahir dan Anak (KIBBLA) melalui District Team Problem Solving (DTPS) – Dr . Gita Maya Koemara S, MHA (Direktur Bina Kesehatan Ibu)

  Materi
Lesson Learned Implementasi DTPS KIBBLA di Kota Kupang – Lucas C  Hermawan, M.Kes (Direktorat Kesehatan Anak)   Materi
Integrated Micro Planning (IMP) – dr. Agnes Ang   Materi
Implementasi Pengembangan Asia Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat tahun 2009-2103 – Hikmah   Materi
Implementasi Metodologi MDGs Acceleration Framework (MAF) dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak – dr. Arum Atmawikarta, MPH   Materi
Pembahas: Bahasan pembelajaran dari Inisiatif perencanaan dan penganggaran untuk sektor KIA – dr. Azhar Jaya, SKM, MARS    Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan HIV / AIDS


Launching Kajian Kebijakan AIDS di Indonesia

launchaidsLaunching hasil kajian kebijakan AIDS ini mengambil bagian klaster paralel diskusi oleh Pokja Kebijakan AIDS pada forum nasional jaringan peneliti kebijakan dan Kesehatan Indonesia ke-5 pada 24 September 2014. Hasil Kajian Kebijakan AIDS di Indonesia oleh PKMK FK UGM merupakan upaya untuk memetakan upaya penanggulangan AIDS selama 25 tahun terakhir. Penelitian ini mengambil 5 Kabupaten/kota sebagai fokus area yakni Sumatera Utara, Surabaya, Bali, Makasar dan Papua. Muhammad Suharni. MA mempresentasikan hasil kajian dengan pembahas oleh Prof. Dr. Irwanto (Atmajaya), Dr. Irwan Julianto (Wartawan Senior Kompas), dan dr. Nadia Tarmizi, M.Epid dari Subdit Kemenkes.

Kajian ini merespon penanggulangan HIV yang belum efektif sebagai bagian integral dalam sistem kesehatan di Indonesia. Metode analisis menggunakan analisis historis dengan pendekatan sensemaking. Kajian ini merupakan bagian dari penelitian utama Integrasi Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan” oleh PKMK FK UGM dengan dukungan dari Department of foreign Affair and Trade, Australia.

Temuan Pokok Kajian Kebijakan

Kontek kebijakan terdapat Kesenjangan produk kebijakan dengan Implementasi. Evolusi upaya penanggulangan HIV dan AIDS sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Bali tahun 1987, pemerintah Indonesia telah mengembangkan sejumlah 66 kebijakan nasional dan sekitar 55 kebijakan lokal seperti Perda/Pergub/Perbub. Secara umum ditemukan bahwa ada kesenjangan besar antara maraknya produk hukum dengan implementasi di lapangan. Titik lemah dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini terletak pada penjabaran operasional di lapangan yang diikuti dengan alokasi sumberdaya baik dari tenaga yang kompeten, alokasi dana yang cukup dan pengembangan program di tingkat masyarakat basis.

Kesenjangan ini sebagai akibat dari kontestasi antar lintas sektor maupun program. Dominasi pusat dengan pendekatan vertikal masih menjadi pola dalam inter relasi antar sektor maupun internal. Sehingga belum terjadi integrasi secara struktural, ego sektor cenderung menjadi faktor penentu terjadinya fragmentasi dan tidak terintegrasinya kebijakan di semua tingkatan, nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Lahirnya kebijakan banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik ekonomi global terhadap Indonesia. Seperti pembentukan komisi HIV dan AIDS di depkes karena pengaruh PBB dan WHO meskipun kasus AIDS belum banyak. Kebijakan desentralisasi menjadi momentum pengembangan berbagai kebijakan di tingkat lokal (Permendagri no. 20 tahun 2007). PP 30 tahun 2007 tentang pembagian tugas dan peran pemerinta pusat, prov, kabupaten menyebabkan banyak kebijakan sehingga masalah HIV semakin rumit.

Konteks epidemiologi HIV dan AIDS Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan infeksi baru. Data IBBS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi di kalangan Pria risti, Ibu rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja semakin meningkat dibandingkan dengan WPS dan Penasun. Meningkatnya prevalensi penderita HIV dan AIDS ini menandakan ketidakberhasilan dari program upaya penangulangan AIDS.

Pada aspek intervensi layanan masing-masing sektor bermain sendiri dengan intevensi yang berbeda-beda dan belum semua aspek sistem kesehatan dicover. Monitoring masih bersifat parsial dan lebih memenuhi kepentingan proyek daripada kebutuhan pemanfaat. Fokus cenderung dominan pada upaya treatment dan mengabaikan pada pencegahan. Skema pembiayaan dalam SRAN persentasenya adalah promosi 50 %, PDP 28 %, mitigasi dampak 13 %. Partisipasi masyarakat dimanipulasi dalam kerangka legitimasi dan sangat tergantung donor. Partisipasi sebagai bagian dari upaya prasyarat bagi keberhasilan proyek secara efektif dan efisien.

Pembahasan dan masukan

Kemenkes mencatat perlu elaborasi lanjut kerangka pikir integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan terjadi. Bagaimana integrasi kebijakan AIDS dengan sistem kesehatan dan sistem-sistem yang lain seperti sistem keamanan, sistem pendidikan dan seterusnya. Desentralisasi bukan suatu masalah, justru sebaliknya. Hasil kesimpulan masih bersifat deskriptif, sistem kesehatan belum terlihat dalam literature review, masih butuh analisis mendalam.

Sistem kesehatan dalam kacamata kementrian kesehatan terdiri dari 7 pilar. Jika bicara sistem nasional, respon kesehatan terahdap HIV tidak independen, karena masih ada suprasistem. Keberadaan KPA diperlukan karena ada suprasistem yang membutuhkan intervensi. Kebijakan kesehatan dalam konteks disain di luar sistem kesehatan nasional. Mereka berinteraksi dengan sistem kesehatan, sistem penganggaran,dst. Review masih belum seimbang, terlalu fokus pada KPA, kementrian kesehatan dan dinas kesehatan kurang tereksplorasi.

Sementara KPA, memberikan catatan hasil penelitian sudah kelihatan, ini merupakan proses kerja yang tidak mudah karena merupakan hasil kerjasama 9 Universitas, di delapan provinsi. Keterbatasannya, review ini belum berhasil menangkap perkembangan di lapangan terjadi dari kinerja KPA nasional, daerah, dinas dan LSM. Perkembangan sudah banyak dan perbaikan sudah terjadi antara 2011- 2013. Integrasi kebijakan AIDS dalam sisetm kesehatan belum tercermin, sangat fokus pada kajian dokumen dan literatur yang sudah ada. Analisis mendalam belum kelihatan. Paparan banyak memberikan masukan ke KPA tetapi mengatasnamakan sistem kesehatan nasional, Kemkes, dan KPA Nasional.

Terkait desentralisasi sudah ada studi dari Ausaid bahwa desentralisasi merupakan konsekwensi pilihan, jika desentralisasi dipandang sebagai hambatan kurang pas. Perlu pembahasan lanjut terkait dengan peran daerah lebih detail, rincian peran empiris untuk peran tersebut yang kurang digali seperti pembiayaan yang akan banyak dari APBD. Pembacaan terhadap aktor terutama GF ini perlu lebih jelas, karena GF bekerja melalui KPA dan Kemenkes tidak secara langsung. Tampaknya memang pemerintah Indonesia tidak memprioritaskan isu HIV AIDS, Bahkan ketua Bappenas hanya menyebut MDGs goal 6, dimana sesungguhnya posisi HIV apakah menjadi isu kenegaraan? Atau dikesampingkan? Pendanaan APBD masih kurang, bagaimana komitmen pemerintah nasional dengan isu ini? Terkait integrasi sejak sejak 2008 belum tercermin dalam proses integras. Integrasi merupakan persoalan global. Proses continuum bukan fragmentasi.

Prof. Dr. Irwanto memberikan apresiasi secara keseluruhan sudah baik, meskipun perlu diperbaiki.Beberapa hal yang cocok dengan cara berpikirnya dalam melihat permasalahan seperti banyaknya kebijakan perlu didukung aparat yang kompeten dan lingkungan yang mendukung.

Ada kesenjangan antara kebijakan, kesiapan implementasi, dan lingkungan mendukung. Yang terjadi kita keteteran sejak awal dalam mencapai target MDGs. Hubungan pusat dan daerah bukan hanya sebagai pemerintahan vertical. Kontestasi, berbeda pandangan, tidak jarang didasarkan atas hal-hal yang bersifat empirik, data tidak digunakan untuk argumen, melainkan pandangan moral. Argumen daerah merdasarkan moral banyak di daerah. Pemahaman HIV dan AIDS terkait dengan moral, politik dan ekonomi.

Kontestasi ada banyak sekali, KPA dan Depkes luar biasa, kontestasi donor dan pemerintah. Kontestasi mashab, power dan politik ekonomi. Kebijakan donor ada agenda yang bukan nasional harus diterima. Hasilnya sebagian akan berpengaruh pada implementasi. Bagaimana policy maker di Jakarta berusaha memahami masalah yang ada di daerah. Sedangkan proses-proses dalam pengambilan keputusan untuk daerah berdasarkan Jakarta atau pusat. Keputusan seringkali diambil tanpa pemahaman situasi lokal. Jakarta sebagai omnipotens, kapitasi kekuatan global, kekuasaan dan uang. Yang pada akhirnya menyebabkan bias, seperti soal resiko, tetapi tidak dibahas secara tuntas.

Yang tidak nyambung, terjadi karena screen yang digunakan probability penyebab penyebaran, tetapi malah moralitas sehingga resiko menjadi kabur. Pada aspek ini terjadi karena besarnya permainan structural, dan kekuasaan dalam menentukan agenda nasional. Yang perlu di analisis adalah hubungan antara nasional dan daerah. Ketidaksinambungan sebuah policy dengan apparatus, kapasitas SDM dan lembaga menjadi lambat karena kontestasi moral. Untuk menjalankan program harm reduction, narkotika nilai-nilai masyarakat perlu diadvokasi supaya mendukung. Hambatan banyak sekali karena tidak ada dukungan lintas sektor dan antar sektor. Sektor pendidikan terhadap kondom tidak ramah.

Advokasi berpusat pada kesehatan. Stigma dan diskriminasi tidak dilakukan dengan baik. Masih kuat sekali budaya keeping out people. Akses masih tumpul karena kurangnya kerjasama dengan isu terkait, seperti kusta, disabilitas, dan gender. Aparatus sibuk dengan keeping out, daripada bekerjasama. Sibuk dgn menjaga sumberdaya untuk kepentingan terbanyak bagi diri nya sendiri. Perlu analisis tajam untuk pengaruh struktural terhadap pandangan tersebut.

Pembahas terakhir Pak Irwan memberikan masukan dengan menjelaskan fakta-fakta historis pandangan masyarakat terkait epidemi HIV dari kliping kompas. Sejak awal dari sisi komunikasi memang ada persoalan dalam memandang HIV dan AIDS. Ada kepanikan karena AIDS. Harm reduction menjadi penting. Dalam penggunaan WTS supply demad, demand reduction selalu dibentukan dengan harm reduction. Akan tetapi mengurangi supply tidak akan mengurangi permintaan. Ketiganya harus bersinergi. Persoalan moral sangat mendominasi pandangan masyarakat, membutuhkan edukasi yang serius agar pemahaman dan pengetahuan terkait HIV dan AIDs yang benar lebih dominan. Ilustrasi dengan kwadran halal, haram, aman, aman tidak haram yang pernah dikembangkan oleh seorang kyai ternyata masih belum diterima masyarakat.

Beberapa Catatan untuk Kajian Dokumen Kebijakan HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia – Irwan Julianto

  Materi

Masalah dalam Policy Apparatus & Environment – Irwanto (PPH Unika Atmajaya)

  Materi

Kajian Dokumen: Kebijakan HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia (PKMK FK UGM)

  Materi

Sense Making

  Materi

 

Sesi Paralel 2 : Kebijakan HIV /AIDS

 

Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia – Aang Sutrisna

  Materi

Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk Mencapai UC Masukan bidang kesehatan – dr Siti Nadia M Epid

  Materi

Pembiayaan Program HIV/AIDS : Analisis NASA 2009-2010 – Amila Megraini, Mardiati Nadjib

  Materi

Strategi Penanggulangan AIDS dalam Konteks Otonomi Khusus Di Provinsi Papua – Dr . Silwanus A Sumule, SpOG (K )

  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat


Kebijakan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan

Bandung, Permasalahan gizi masih menjadi PR besar. Padahal, pengeluaran kesehatan per kapita masyarakat Indonesia saat ini meningkat. Begitu pula dengan pengeluaran anggaran kesehatan nasional yang selalu meningkat. Rupanya faktor pendukung tersebut tidak berbanding lurus dengan pencapaian kinerja gizi.

abdul“Masalah stunting dan underweight di Indonesia cenderung naik di tahun 2013. Di saat Vietnam dan Thailand sudah melewati masalah tersebut, Indonesia masih belum bisa mengatasinya. Permasalahan terkait kematian neonatal, jumlah bayi meninggal juga cenderung meningkat. Belum lagi penyakit-penyakit tidak menular yang juga ikut meningkat” ujar Prof Abdul Razak Thaha.

Kinerja gizi yang cenderung tidak mengalami perbaikan ini karena ada masalah 1000 hari pertama kehidupan. Prof Abdul Razak Thaha juga menyebutkan gen memang berperan, namun nutrisi dan faktor penyebab setelah bayi lahir sangat mempengaruhi munculnya masalah gizi. Tentunya, masyarakat yang jauh dari masalah gizi akan menghemat pembiayaan JKN di masa yang akan datang.

 

 

 

doddyPerhatian terhadap gizi pada 1000 hari pertama kehidupan juga mendapat dukungan dari Ir. Doddy izwardy, M.A, yang membawakan tentang Tantangan Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN. Mewujudkan generasi bebas masalah gizi, apalagi sejak 1000 hari pertama tentu bukan pekerjaan ahli gizi saja. Namun, perlu ada dukungan lintas profesi. Partisipasi perguruan tinggi dan sektor lain akan membantu intervensi sensitif untuk melengkapi intervensi spesifik yang sudah dilakukan.

“Membedakan program gizi ini dengan program yang sebelumnya karena mengacu pada tiga prinsip national platform yang dikenal three ones. program gizi berhasil, maka JKN berhasil.” tutup Direktur Bina Gizi Kementrian Kesehatan ini.

 

 

 

dewiSesi terakhir pada panel kebijakan gizi ini dibawakan oleh Dr. Dewi MDH, drg., Msi, membahas Analisis Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN. Tidak hanya memaparkan masalah gizi di tingkat masyarakat, namun juga memaparkan masalah gizi di RS. Masalah malnutrisi pada pasien rupanya berdampak pada peningkatan keparahan penyakit.

“Malnutrisi seringkali terjadi pada penderita gagal ginjal. Bayangkan 400 milyar dana JKN yang diperlukan untuk membantu hemodialisa pasien tersebut” ,ujar dosen di FK UNPAD ini.

Masalah gizi di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, seperti ketidak tepatan formulasi PMT,belum optimalnya dukungan pemerintah. RS perlu menurunkan angka kejadian malnutrisi, misalnya mengevaluasi kapasitas SDM untuk pelayanan gizi, kebijakan outsourching. Rekomendasi di tingkat masyarakat salah satunya dengan perbaikan aksesibilitas pangan. 

 

 

Analisis Kebijakan Gizi di Indonesia pada Era JKN 
Dr. Dewi Marhaeni Diah Herawawati

  Materi

1000 Hari Pertama Kehidupan yang Menentukan Masa depan Bangsa
Prof. Abdul Razak Thaha

  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Jiwa Masyarakat


24septkeswaForum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan di Trans Luxury Hotel Bandung untuk sesi paralel 1 Kebijakan Kesehatan Jiwa Masyarakat diawali dengan presentasi free paper oleh Sekar Ayu Paramita tentang survey kapasitas SDM yankeswa di setting non-spesialis di Provinsi Jawa Barat. Hanya 1.600 Puskesmas di Indonesia yang dapat menangani gangguan mental. Hal ini berhubungan dengan tingkat kapabilitas tenaga kesehatannya. Untuk itu dilakukan suatu penelitian di 11 kabupaten di Jawa Barat. Metodologinya yakni deskriptif dengan menyebarkan 1.008 kuesioner ke dokter dan perawat di Puskesmas. Hasilnya diketahui bahwa 77% responden merasa sudah mendapatkan pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa, namun hanya 30% yang kompeten menangani gangguan jiwa. Selain itu, penatalaksanaan pengobatan gangguan jiwa sudah banyak, namun persediaan obat masih sangat kurang. Dokter spesialis jiwa pun di rumah sakit masih sangat kurang. Sementara dokter primer yang ada masih kurang pengetahuannya tentang penanganan gangguan jiwa dan sistem rujukan untuk penanganan gangguan jiwa pun masih buruk.

Presentasi kedua oleh Taufik Hidayat tentang manajemen kasus gangguan jiwa studi kasus di desa siaga sehat jiwa Sindangbarang, Bogor dan Desa Pangauban Bandung Barat. Beliau memaparkan bahwa permasalahan kesehatan tidak hanya berhubungan dengan fisik, namun masih banyak juga untuk permasalahan dalam kejiwaan. Selama ini sistem pelayanan di Indonesia masih berbasis hospital based dan begitu banyaknya pasien yang dirawat hingga melebihi kapasitas dari rumah sakit. Oleh karena itu pendekatan penelitian ini dipilih dengan menggunakan studi kasus, dimana melihat pasien selama masih di rumah sakit bersama keluarga dan dilakukan wawancara, diikuti hingga pasien kembali pulang. Lokasi penelitian dipilih di daerah yang telah memiliki empowerment. Penelitian ini menyimpulkan bahwa manajemen kasus diperlukan dalam pelayanan gangguan jiwa dengan melakukan kerjasama lintas sektor.

Gambaran pasien dengan depresi, anxietras dan somatisasi yang datang ke Puskesmas di Sumedang dipaparkan oleh Virama Indraswari dimana depresi dan somatisasi merupakan suatu diagnosa yang sangat sering terjadi. Bahkan terkadang seorang dokter harus berulang-ulang melakukan pemeriksaan untuk mengetahui diagnosa dari pasien yang datang kepada dokter tersebut. Penelitian ini menggunakan responden terbanyak yaitu perempuan dimana perbandingan dengan laki-laki yaitu 3:1. Responden tersebut belum pernah menjalani perawatan untuk gangguan jiwa. Kesimpulan yang dapat diambil yakni somatisasi merupakan diagnosa terbanyak yang terjadi di Puskesmas kemudian diikuti dengan diagnosa depresi dan cemas.
Kemudian presentasi dilanjutkan oleh Tini Sugiharti dengan kejadian gangguan jiwa dan permasalahan saat bekerja yang dialami tenaga kerja wanita, pembantu rumah tangga asal Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu. Indonesia memiliki jumlah TKW yang sangat tinggi dan mayoritas berpendidikan rendah. TKW tersebut dianggap oleh negara tempat mereka bekerja bukan sebagai tenaga professional, maka TKW memiliki akses yang sangat minim untuk informasi, pelayanan kesehatana, perlindungan diri, dll. Begitu banyaknya stresor yang didapat TKW tersebut pada saat bekerja di luar negri menyebabkan mereka sangat beresiko untuk terjadinya gangguan jiwa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan jiwa pada TKW dengan menggunakan alat Mini ICD 10 dan dilakukan wawancara dengan TKW yang baru pulang dari luar negeri. Hasil yang didapat yaitu diagnosa terbanyak yang dialami oleh para TKW yaitu depresi.

Persepsi, Pengetahuan dan sikap petugas kesehatan terkait pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang terletak di wilayah sumedang – Bintang Arroyantri P

  Materi

Gambaran gangguan cemas, depresi dan somatisasi pada pasien yang berobat ke puskesmas di wilayah Kabupaten Sumedang

  Materi

Manajemen Kasus Gangguan Jiwa di Desa Siaga sehat Jiwa, Studi Kasus di Desa Sindangbarang Kab. Bogor dan Desa Pangauban Kab. Bandung Barat – M. Taufik Hidayat

  Materi

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan


Pada sesi 1 Pokja Yankes membahas mengenai rujukan yang ada di beberapa provinsi dan kabupaten. Pemaparan 1 diutarakan oleh Bupati Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mengenai pengembangan pelaksanaan rujukan di kabupaten TTU sangatlah penting. Hal ini disebabkan oleh angka AKI dan AKB di Kabupaten TTU sangat tinggi sehingga diperlukan pengembangan rujukan untuk menurunkan angka tersebut. Pengembangan pelaksanaan rujukan mengalami berbagai macam kendala, antara lain; faktor budaya, geografis, transportasi roda 4 yang langka, dan biaya rujukan ditanggung pasien dan rujukan. Untuk mengatisipasi kendala tersebut maka dikeluarkan dengan keputusan Bupati No 16 tahun 2014 mengenai beberapa terobosan dalam pengembangan rujukan. Terobosan tersebut, antara lain; penyediaan beasiswa, menyediakan anggaran untuk obat-obatan.

Pengembangan rujukan juga terkendala dalam regionalisasi rujukan seperti yang dipaparkan oleh Elsa P Seiawi dari IKM FK Unpad. Elsa memaparkan bahwa regionalisasi menjadi kendala dikarenakan jumlah atau penyebaran rumah sakit yang menjadi tempat rujukan di tingkat kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat. Selain ketersediaan rumah sakit rujukan hal yang perlu diperhatikan juga mengenai persiapan SDM, persiapan sarana prasaran, keterlibatan pemda untuk peningkatan kualitas SDM.

Pengembangan SDM dan kesiapan sarana prasana menjadi tantangan juga dalam pelaksanaan JKN. Hal ini dipaparkan oleh Sharon Gondodiputro dari FK Unpad. Sharon memaparkan kesiapan sarana dan SDM merupakan suatu hal yang penting dipersiapkan dalam pelaksanaan JKN di Provinsi Jawa Barat. Kendala pelaksanaan JKN di provinsi Jawa Barat, antara lain kuantitas puskesmas belum cukup untuk beberapa kabupaten di provinsi Jawa Barat, jumlah ketersedaiaan dokter tidak merata (terdapat beberapa kabupaten kekurangan dokter tetapi ada kabupaten yang kelebihan tenaga dokter).

Kendala dalam pelaksanaan JKN juga terjadi ketika pelaksanaan jamkesmas. Salah satu penelitian mengenai Analisis Bottom-up proses perencanaan pelayanan kesehatan masyarakat di Provinsi Jatim dan NTT yang dipaparkan oleh dr. Tiara Martias, MPH. Tiara memaparkan bahwa puskesmas sebagai pelaksana tekhnis dan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat, serta bagian terpenting dalam sistem kesehatan, mendapatkan sumber pendanaan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Namun sebagai ujung tombak puskesmas selalu menerima keterlambatan dalam penerimaan dana. Oleh karena itu diperlukan study untuk mengindetifikasi hambatan pelayanan kesehatan di level puskesmas dengan melihat skema perencanaan / mekanisme penganggaran. Hambatan terjadi dikarenakan timing perencanaan dana BOK yang tidak selaras dengan perencanaan daerah, keterbatasan SDM dan kompetensi di bidang administratif dan terjadinya sistem reimbursement oleh staf puskesmas. Evaluasi BOK ditikberatkan pada serapan dana buka pada kualitas layanan dan capainan program.

Dalam pelaksanaan programpun harus hati-hati dikarenakan akan terjadi korupsi yang tidak diduga. Hal ini dipaparkan oleh Puti Aulia Rahma. Dalam sesi ini dipaparkan mengenai mengapa terjadi fraud. Hal ini dikarenakan banyak keluhan dari berbagai pihak karena rendahnya tarif, hal inilah yang dapat mendorong fraud dalam era JKN. Salah satu hal yang bisa dilakukan dengan perlunya sistem pencegahan dan deteksi potensi fraud di RS dan pengawasan di RS.

Reporter: Harumanto Sapardi

Pokja Pelayanan Kesehatan

 

Analisis Regionalisasi Rujukan di Jawa Barat – Elsa P Setiawati

  Materi

Bentuk-Bentuk Fraud dalam Layanan Kesehatan di Indonesia – Puti Aulia Rahma

  Materi

Monitoring dan Evaluasi Program Performance Management & Leadership Provinsi NTT – Putu Eka Andayani

  Materi

Analisis Bottom-up Proses Perencanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Provinsi Jawa Timur dan NTT – Tiara Marthias

  Materi

PPK Primer sebagai Gate keeper JKN, Siapkah ? Studi di Provinsi Jawa Barat – Sharon Gondodiputro

  Materi

Evaluasi Pelaksanaan JKN ditinjau dari aspek Pelanggan – Henni Djuhaeni

  Materi

 

Sesi Paralel, 25 September 2014

icon bdg

 

 {tab kesehatan Ibu & Anak|red} 

icon bdg   Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak


25septkiaPemaparan pokja KIA pada sesi ini memfokuskan pada program penurunan AKI, AKB dan AKABA. Beberapa langkah telah diilakukan, salah satunya melalui kerja sama dengan perusahaan. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Dwi Endah, MPH. Menurut Dwi kerjasama dengan CSR dengan pengadaan program mobil sehat sebagai suatu implementasi untuk menurunkan AKI, AKB dan persalinan nakes di daerah dengan akses sulit. Dengan adanya program ini cakupan persalinan nakes mencapai 100%. Selain dengan program mobil sehat penurunan AKI dan AKB dapat dilakukan dengan cara prediksi kematian neonatal dengan data rekam medik yang dipaparkan oleh Herlin Priscila Pay. Herlin memaparkan dengan rekam data medik dapat memprediksikan bagaimana resiko kematian ibu dan anak oada waktu persalinan.

Penurunan AKI dan AKB dapat juga dilakukan dengan pengembangan pengetahuan dan sikap dalam kondisi resiko tinggi. Hal ini dikarenakan masih banyak ibu hamil yang belum mengetahui bahwa dirinya mempunyai resiko tinggi. Oleh karena itu menurut Esti Hitatami perlu adanya sosialsasi yang aktif mengenai resiko tinggi dengan memanfaatkan layanan pesan singkat. Capaian yang dihasilkan dengan metode ini meningkatkan pengetahuan tentang kehamilan dan resiko-resiko tinggi yang terdapat dalam ibu hamil.

Pemerintah daerah turut andil dalam penurunan AKI dan AKB seperti yang dipaparkan oleh Deni Harbianto. Deni memaparkan bahwa Perencanaan dan pelayanan KIA merupakan persan daerah dan membutuhkan tanggung jawab bersama antar lintas sektor, namun yang terjadi sekarang terjadi tumpang tindih program di pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya perencanaan yang berbasis bukti dan menempatkan Bappeda sebagai koordinator utama dalam perencanaan daerah.

Sementara ini, jarang program penurunan AKI dan AKB dengan memanfaatkan faktor sosial budaya. Menurut Dr. Marten Sagrim, penurunan AKI dan AKB dapat dilakukan dengan pelatihan kader kesehatan dan ibu adat dalam persalinan, menyekolahkan orang daerah menjadi bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya dan promosi media kesehatan. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat tidak mau dibantu kelahirannya oleh orang lain yang bukan berasal dari komunitas sendiri.

 

Sesi Paralel 3 : Kebijakan KIA

Tantangan dalam Perencanaan dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Papua
Deni Harbianto, et al.

  Materi

Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kehamilan Risiko Tinggi Melalui Layanan Pesan Singkat terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil – Esti Hitatami dkk

  Materi

Model Integratif Kemitraan Kader Kesehatan, Ibu adat, dan Petugas Kesehatan dalam Pertolongan Persalinan pada Perempuan Suku Taburta di Kawasan Adat Terpencil (KAT) Kabupaten Mamberamo Tengah Propinsi Papua – Dr. Marthen Sagrim

  Materi

Prediksi Kematian Neonatal Menurut Penyebab Kematian dengan Model ARIMA Box Jenkins Tahun 2008-2013 di RSUD Prof DR. W. Z. Johannes Kupang – Herlin Pricilia Pay

  Materi

Kontribusi Program CSR Perusahaan dalam KIA (Studi Implementasi Mobil Sehat di Daerah Sulit)
Dwi Endah, SKM

  Materi

 

{tab Pembiayaan kesehatan|green} 

icon bdg   Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan


25septpokjabiayaHari kedua Fornas V JKKI memiliki 3 pleno besar yang kemudian diikuti oleh sesi-sesi paralel di setiap kelompok kerja. Pokja pembiayaan kesehatan mengawalinya melalui sesi paralel 3 kebijakan pembiayaan yang dimoderatori oleh Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes. Presentasi pertama menjelaskan tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan SJKN oleh BPJS di provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014. Menurut Rini Anggraeni, peningkatan peserta mandiri lebih dari 100% dan diikuti adanya kolaborasi antara fasilitas kesehatan primer milik pemerintah dan swasta. Faskes tingkat lanjut justru sudah mencukupi tetapi tidak disertai dengan ketersediaan obat yang memadai. Upaya yang Rini usulkan antara lain : menambah faskes tingkat pertama, redistribusi peserta terdaftar, dan mengurangi workload rumah sakit. Dukungan dari asosiasi faskes memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan penyelenggaraan JKN.

Pemaparan berikutnya juga menyangkut faskes tetapi lebih menitikberatkan pada ketidakadilan dalam pelaksanaan JKN di wilayah eks karesidenan Surakarta Jawa Tengah. Topik yang disampaikan oleh Rusdiana Khasanah ini membahas inequity dari beberapa sudut pandang. Sosialisasi merupakan salah satu aspek yang juga ditekankan dalam sesi ini. Di lain sisi, Atik Triratnawati menyampaikan bahwa program BPJS masih terlalu mahal bagi warga Madura. Hal tersebut berkaitan dengan kebudayaan dan minimnya sosialisasi pada keluarga miskin. Ibu Atik juga mengemukakan bahwa masyarakat lebih memilih untuk membayar jasa dokter secara langsung daripada dengan membayar iuran asuransi atau jaminan kesehatan.

Determinan keberlanjutan pembayaran premi non PBI mandiri pada JKN di wilayah pedesaan kabupaten Purbalingga oleh Arih Diyaning Intiasari menjelaskan mengenai adverse selection dan sosialisasi sistem autodebet secara lintas sektor. Beberapa kendala JKN juga disampaikan oleh Budi Eko Siswoyo dalam kajian media : analisis awal penyelenggaraan JKN. Media tingkat nasional dan lokal pun dilibatkan untuk menggambarkan kondisi spesifik dan perubahan isu di daerah. Menyikapi hal tersebut, materi analisis ketersediaan fasilitas dan pembiayaan kesehatan pada penyelenggaraan JKN di provinsi Bengkulu disampaikan oleh Yandrizal. Berdasarkan hasil studi, masih banyak Puskesmas yang menerima kapitasi sebsar Rp 4.500,- yaitu sekitar 38,33 % dari jumlah Puskesmas di Bengkulu.

Penelitian Tri Astuti Sugiyatmi tentang gambaran asuransi kesehatan pada era JKN pada wanita pekerja seksual di lokalisasi kota Tarakan, Kalimantan Utara makin melengkapi sesi paralel 3 ini. Walaupun sekitar 77% WPS memiliki gaji melebihi UMR dan 83,8% sudah cukup mengetahui informasi kesehatan, tetapi penelitian ini justru menunjukkan bahwa pasca JKN mengurangi kepemilikan asuransi kesehatan. Setelah paparan ini, moderator membuka diskusi untuk menyikapi paparan semua penelitian di sesi paralel 3 kebijakan pembiayaan.

Hilmi dari Universitas Padjajaran mempertanyakan perbedaan PBI dan non PBI yang memicu equity dalam JKN. Akses terhadap informasi merupakan salah satu indikasi equity, sehingga Puskesmas diharapkan lebih aktif karena menurut Ibu Septi, seringkali informasi berhenti di tingkat kecamatan. Adapun beberapa harapan dari forum antara lain : adanya penelitian besar yang mengakomodir semua tujuan monitoring dan evaluasi, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah lebih memperhatikan aspek equity, adanya perbaikan sistem rujukan dan tarif INA-CBG, ketersediaan fasilitas kesehatan yang merata, perbaikan data pendukung JKN, dan mengoptimalkan strategi pemasaran sosial.

 

Sesi Paralel 3 : Kebijakan Pembiayaan

Moderator: Dr. Felix Kasim, dr., Mkes

 

Ketidakadlian dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Wilayah Eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah 

Rusdiana Khasanah

Determinan Keberlanjutan Pembayaran Premi Non-PBI Mandiri pada JKN di Wilayah Pedesaan Kab. Purbalingga 

Arih Diyaning Intiasari

Layanan Gratis pun Ditolak Masyarakat Miskin: Pemanfaatan Kartu Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Daerah di Provinsi Jawa Timur dan Nusa

Faisal Mansur dkk

Analisis Ketersediaan Fasilitas dan Pembiayaan Kesehatan pada Pelaksanaan JKN di Provinsi Bengkulu

Yandrizal

Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan SJKN oleh BPJS di Provinsi Sulawesi Selatan

Rini Anggraeni

Gambaran Asuransi Kesehatan pada Era JKN pada Wanita Pekerja Seksual di Lokalisasi Kota Tarakan, Kalimantan Utara

Tri Astuti Sugiyatmi

Penyelenggaraan Program JKN di RSUD Kota Tangerang Selatan Tahun 2014

Riastuti Kusuma Wardani

Program BPJS: Terlalu Mahal bagi Orang Madura

Atik Triratnawati

 

{tab HIV / AIDS|orange}

icon bdg   Pokja Kebijakan HIV / AIDS


Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019

fornasaidsPada hari kedua Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia 2014 diselenggarakan sesi paralel dari Pokja Kebijakan HIV/AIDS, dengan tema Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019. Dr. Suriadi Gunawan, MPH mewakili Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menyampaikan materi dengan judul “Strategi dan Rencana Aksi Nasional dalam Rangka Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia”. Para pembahas materi tersebut, terdiri dari Setia Perdana dari GWL-Ina, Aldo Napitupulu dari OPSI, Dr. Trijoko Yudopuspito MSc.PH dari Subdit AIDS Kemenkes dan Hersumpana, MA dari PKMK FK UGM.

SRAN Penanggulangan AIDS 2015-2019: Tantangan dan Perbaikan?

Berdasarkan kajian paruh waktu SRAN 2010-2014, strategi penanggulangan HIV dan AIDS lebih memfokuskan pada populasi kunci pada area Pencegahan, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP), mitigasi dampak dan lingkungan kondusif. Dari sisi pembiayaannya, sejumlah KPA Kabupaten/Kota mayoritas didanai oleh donor asing seperti Global Fund (GF). Sistem pembiayaan ini perlu dipertimbangkan kembali khususnya GF, mengingat pendanaan ini akan berakhir pada pertengahan tahun 2015. Di sisi lain, alokasi APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk pengadaan ARV hampir 80 % lebih sudah didanai oleh APBN.

Hasil kajian paruh waktu juga menunjukkan perubahan perkembangan epidemi HIV dimana terjadi peningkatan prevalensi pada kelompok populasi kunci LSL dan LBT serta ibu rumah tangga sedangkan pada kelompok populasi kunci lainnya cenderung menurun. Dalam monitoring dan evaluasi, pada masa akhir SRAN 2010-2014 sesuai indikator kinerjanya disimpulkan bahwa sejauh ini program telah berhasil menahan laju epidemi HIV, dimana perkembangan jumlah infeksi baru telah melambat. Dengan latar belakang kajian tersebut berbagai pilihan strategi untuk penanggulangan HIV dan AIDS dipilih dan dielaborasi sebagai masukan dalam penyusunan draft SRAN 2015-2019. Draft SRAN 2015-2019 tersebut diharapkan akan selesai akhir tahun ini dimana tantangan yang perlu dipertimbangkan ke depan meliputi komitmen pimpinan daerah, alokasi dana APBN dan APBD serta mobilisasi dana CSR, perluasan cakupan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, keberlanjutan program dan pencegahan HIV di kalangan LSL dan LBT. Sumber daya manusia yang kompeten harus dapat dimanfaatkan, petugas kesehatan, pelibatan komunitas, ketersediaan dan kebutuhan sumber daya.

Berbagai masukan dalam pembahasan sesi ini mengemuka sebagai strategi yang akan datang, antara lain tentang pentingnya penekanan peran komunitas kelompok/populasi kunci dalam SRAN yang akan datang. Peran komunitas yang dimaksud meliputi program outreach, monitoring program, dan advokasi. Penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening) melalui penguatan sistem komunitas serta penguatan sistem pendanaan lokal, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan draft SRAN tersebut. Harapannya strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini wajib menurunkan epidemi HIV, tidak sekedar mampu menahan laju epidemi HIV seperti pada periode SRAN sebelumnya.

Pembahasan dari PKMK UGM menyatakan masalah integrasi merupakan masalah yang krusial dalam penyusunan SRAN ini. Bentuk-bentuk integrasi yang direkomendasikan dalam SRAN 2015-2019 antara lain meliputi integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasional dan operasional, integrasi pembiayaan dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah (APBD), integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial, integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnostik ke dalam sistem pengadaan logistik yang ada di setiap level pemerintahan dan integrasi sistem informasi HIV ke dalam sistem informasi kesehatan. Namun tetap disadari adanya berbagai tantangan dalam integrasi tersebut seperti fragmentasi kelembagaan, pendanaan yang bersifat project-oriented, tarik menarik kepentingan politik ekonomi dengan data epidemiologi HIV dan keterbatasan SDM. Tantangan ini tentunya juga harus dipertimbangkan dalam SRAN tersebut. Berbagai bentuk integrasi tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang.

PENUTUP

Beberapa masukan untuk SRAN 2015-2019 antara lain; pelibatan dan penguatan populasi kunci sejak dalam perencanaan hingga implementasi penanggulangan HIV dan AIDS. Pelibatan perlu dikembangkan kepada kelompok non populasi kunci, mengingat data menunjukkan peningkatan HIV pada kelompok non populasi kunci seperti pada ibu rumah tangga dan bayi. Masalah integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional juga hal yang penting untuk direkomendasikan dalam penyusunan SRAN tersebut. Diharapkan strategi-strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini dapat menurunkan epidemi HIV sejalan dengan tujuan dari penanggulangan AIDS itu sendiri yaitu menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru, menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS, meniadakan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang dikenal dengan Three Zero, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

Penulis : dr. Juliandi Harahap, MA 

Paralel 3

Integrasi Penanggulangan HIV / AIDS dalam Sistem Kesehatan pada SRAN 2015-2019

  Materi

Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) dalam rangka Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia

  Materi

Trijoko

  Materi 

 

Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS

Pengantar

Pada hari kedua Forum Nasional JKKI Bandung, 25 September 2014, Pokja Kebijakan HIV & AIDS mengangkat isu penting, yaitu Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Tujuan dari sesi ini untuk menyajikan hasil penelitian dan pengalaman lapangan terkait dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia. Penyelenggaraan program penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan tata kelola yang baik dan kuat di tingkat nasional maupun di daerah. Hal ini mencakup kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, dan kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana. Penyelenggaraan aksi penanggulangan HIV dan AIDS ini menganut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana prinsip dan strategi yang dituangkan dalam SRAN 2015 -2019.

Prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia meliputi hal-hal berikut: 1) Akuntabilitas penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dalam segala bidang dan di semua tingkat, 2) Terlaksananya upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dengan melibatkan masyarakat khususnya penerima manfaat layanan, 3) Kepekaan dan daya tanggap para penyelenggara upaya penanggulangan AIDS terhadap hal-hal yang berkembang dan mempengaruhi jalannya penyelenggaraan upaya termasuk aspirasi kelompok-kelompok masyarakat tanpa kecuali, 4) Profesionalisme dalam upaya penanggulangan AIDS memiliki kemampuan dan keterampilan serta sifat bertanggung jawab dalam memberi pelayanan yang mudah, cepat dan tepat dengan biaya terjangkau serta bersahabat, 5) Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab, 6) Transparansi dalam penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS sehingga tercipta kepercayaan timbal balik antar berbagai pihak yang berperan aktif, 7) Kesetaraan dengan memberi peluang yang sama bagi setiap orang untuk berperan sebesar-besarnya dalam upaya penanggulangan AIDS, dan mendorong peran aktif mereka, 8) Wawasan ke depan (visioner); melakukan pengelolaan upaya penanggulangan AIDS berdasarkan visi yang jelas yang telah disepakati, 9) Penegakan hukum mewujudkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS

Dalam sesi ini dipaparkan tujuh makalah dari para peneliti universitas dan pegiat HIV dan AIDS yang berfokus pada tema Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Presentasi dari pemakalah menunjukkan bahwa sejauh ini, tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan efektivitas serta penegakan hukum. Hasil riset dari Asa Simplexius menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda tentang HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidakefektifan suatu Perda HIV dan AIDS. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi pra legislasi yaitu sejak suatu Perda dirancang, sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi isi (content) dan struktur materi, serta sosialisasi kontinuum/ reguler dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada efek culture of law yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontinuum terhadap suatu perda.

Hasil riset yang lain dari Esthi Susanti menegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Hal ini kemudian menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat dalam merespon suatu program penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS. Hasil riset Sewdas Ranu, dkk, menyatakan bahwa keterlibatan peran publik begitu penting dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional tidak dilibatkan dalam Musrenbang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta yang aktual.

Riset yang dilakukan Siregar Y.M. Adiatma menunjukkan bahwa prinsip tata kelola mengenai efisiensi dan efektivitas perlu diperhatikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan penyelenggara penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya, sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 Cell counts yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan perawatan infeksi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ARV, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasien dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses terhadap ARV harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya transportasi. Kurniawan Rachmadi menyatakan bahwa peran ARV sekarang ini sangat penting dan terbukti bermanfaat. Namun tidak semua ‘gold standart’ sebuah pedoman pengobatan dapat lansung diterapkan. Menurutnya efek samping sebuah kebijakan dapat terjadi. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyusun dan menerapkan kebijakan obat ARV dan perlu komunikasi yang transparan tentang efek samping suatu kebijakan antar stakeholder.

Hasil riset yang lain dari Riziyani Shanti, dkk menyoroti posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun ketua KPA Provinsi adalah gubernur, namun KPA Provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah. Sebagai anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah (dianalogikan sebagai anak kandung) untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian penguatan posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif. Hasil riset yang dilakukan oleh Okta Siradj pada tahun 2013 menyoroti pelaksanaan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS dari aspek penegakan hukum. Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi terhadap 18 Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan HIV di Indonesia, di samping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiliki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.

Penutup
Penerapan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik akan menjamin keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional. Berdasarkan seminar pada forum nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke V di Bandung ini telah menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota implementasi prinsip ini pada kenyataannya masih bervariasi. Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Berbagai upaya dan peran kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana masih sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya prinsip tata kelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada semua tingkatan.

Penulis : Afia Tahoba, SP.,M.Si, UNIPA, Papua Barat

Paralel 4

Costs of treatment of HIV and AIDS in Indonesia: an empirical analysis – Adiatma Y. M Siregear

  Materi

Dokter yang masih resepkan Stavudine diberi sanksi

  Materi

Efek Samping Pelaksanaan Kebijakan Penarikan Obat d4T – Kurniawan Rachmadi

  Materi

Refleksi Pengalaman Implementasi dan Advokasi Kebijakan HIV / AIDS selama 22 tahun – Dra. ESTHI SUSANTI HUDIONO, M.Si   Materi
Anak Kandung Mengatur Anak Tiri: Hambatan KPA Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam Upaya Penanggulangan HIV-AIDS   Materi
Forensik HIV: Prakondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional – Siradj Okta, SH., LL.M   Materi
Urgensi Sosialisasi dalam Pembentukan dan Penerapan Perda HIV & AIDS   Materi

Paralel 5

Layanan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia – Anindita Gabriella

  Materi

Hasil Penelitian: “Kajian Perlunya Peningkatan Peran Bidan dalam Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin” (Kerjasama HCPI & SaHIVa USU) – Lita Sri Andayani, SKM, Mkes , Dr. Linda T Maas, MPH

  Materi

Barriers to integrating HIV and AIDS related services into community health centre in Bali Province, Indonesia – Nyoman Sutarsa (1), Simon Barraglough (2)

  Materi

AFR-MCDA dalam Penentuan Prioritas Program HIV-AIDS di Jawa Barat, Indonesia – Rozar Prawiranegara,   Materi
Peran dan Dilema Pendampingan dalam Mengadvokasi Pengurangan Perlakuan Diskriminatif yang dialami ODHA dalam Mengakses layanan HIV-AIDS di Kota Makassar   Materi
Implikasi Mobilitas Penduduk dan Gaya Hidup Seksual Terhadap Penulisan HIV/AIDS di Kabupaten Jember – Dewi Rokhmah   Materi

 

{tab Gizi Masyarakat|grey}

icon bdg   Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat


25septgzPada hari kedua ini, sesi paralel pokja gizi lebih banyak menyoroti tentang gizi pada anak, meskipun ada juga topik lain yang cukup menarik seperti penggunaan teknologi untuk mengukur asupan gizi. Sesi pertama membahas mengenai pengambilan keputusan dalam pengaturan pemberian makan saat anak diare. Sesuai dengan standar pemberian makanan pada anak diare tetap dilakukan bahkan dengan frekuensi tambah dengan memberi nasi dan asupan makanan bergizi lainnya. Namun faktanya malah bertolak belakang dimana para ibu kurang berusaha untuk memberi makanan saat anak diare karena anak sulit untuk makan sehingga hanya diberi ASI dan snack sehingga asupan gizi menjadi berkurang.

Kemudian pokja gizi juga menyoroti tentang tingginya angka kematian bayi dan angka kurang gizi yang terjadi di pemukiman kumuh. Disini posyandu seharusnya mempunyai peran aktif dalam kegiatan promotif dan kader-kader psoyandi dapat memberi edukasi kepada masyarakat. Namun faktanya bahwa edukasi terhadap masyarakat tidak berjalan optimal, kader kurang menggali masalah, dan tidak semua kader mempunyai motivasi. Hal ini memerlukan dukungan dan supervisi dari Puskesmas untuk mengedukasi dan memotivasi para kader posyandu tersebut sehingga kegiatan promotif dapat berjalan lebih baik. Di sisi lain partisipasi masyarakat juga berpengaruh terhadap efektivitas program yang dijalankan posyandu. Semakin tinggi dukungan dari tokoh masyarakat, petugas kesehatan, ibu PKK, dan pejabat desa maka semakin efektif program yang dijalankan oleh posyandu.

Praktik pemberian makanan pada anak juga mempengaruhi tingkat nutrisi pada anak. Pengaruh urbanisasi, ketidakpercayaan diri ibu terhadap ASI nya sendiri, dan pengaruh keluarga membuat kebanyakan ibu memberi makanan instan pada anaknnya. Selain itu terdapat pembahasan mengenai selenium organik dan non organik yang berpengaruh menurunkan diabetes tipe 2 pada kelompok dengan baseline yang adekuat. Pada sesi paralel ini terdapat topik yang cukup menarik yaitu penggunaan teknologi smartphone android untuk mengukur asupan gizi. Namun teknologi ini masih dalam tahapan penyempurnaan dan nantinya akan dapat diunduh di playstore android.

Bahasan berikutnya mengenai food outlet yang mempengaruhi obesitas. Penelitian menunjukkan anak laki-laki mempunyai kemungkinan obesitas 2.7 kali dibanding anak perempuan. Beberapa makanan seperti ayam goreng, kentang goreng, dan juga gula berpengaruh tinggi terhadap kesehatan. Dan ternyata pedagang kaki lima sebagai food service di sekolah mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap obesitas anak karena mereka mengkonsumsi makanan dari pedagang tersebut saat istirahat dan pulang sekolah. Dan topik yang tidak kalah menarik adalah kecenderungan fad diet pada remaja putri dimana fad diet lebih mementingkan penampilan daripada kesehatan. Para remaja putri tersebut berdiet dengan berbagai alasan seperti untuk kesehatan, supaya menarik dan cantik. Pengaruh tersebut lebih banyak dari hubungan teman sebaya daripada pengaruh media teknologi seperti internet yang sedang marak saat ini. Sebagai kesimpulan asupan gizi sangatlah penting untuk anak maupun remaja yang sedang dalam pertumbuhan dan hal ini membutuhkan perhatian serta kesadaran orang tua untuk memperhatikan asupan gizi bagi anak-anaknya.

 

{tab Jiwa Masyarakat|orange}

icon bdg   Pokja Kebijakan Jiwa Masyarakat


Tantangan Sosialisasi dan Implementasi Undang-Undang Sistem kesehatan Jiwa

Indonesia telah membangun sistem kesehatan jiwa yang baru. Pengesahan Undang-undang kesehatan jiwa yang disahkan tanggal 8 Juli 2014 menjadi buktinya . Perjuangan ini diinisiasi oleh dr. Nova Riyanti yusuf, SpKJ pada 3 Novemer 2009. “Indonesia pernah menjadi cover majalah time tahun 2003 sebagai negara yang memiliki layanan kesehatan jiwa terendah di ASIA” kata anggota DPR RI ini ketika mengisi sesi paralel FORNAS JKKI di POKJA Kesehatan Jiwa Masyarakat. Hal ini wajar karena minimntya tenaga psikiater dan psikolog di Indonesia.

25septji1Lain halnya dengan dr. Nova, dr. Eka Viora SpKJ menyorot hubungankesehatn jiwa dengan penyakit. Gangguan jiwa sumbangan terbesar beban penyakit. Ada warning dari WHO bahwa depresi adalah krisis global. Sehingga perlu perhatian terhadap kesehatan jiwa agar depresi tidak mempengaruhi sistem kesehatan. dalam MDG’s 4 dan 5 tahun 2009-2015 kurang diperhatikan kesehatan jiwa karena secara langsung tidak berpengaruh terhadap penurunan angka kematian ibu dan bayi. Sementara di lain tempat, hasil penelitian di Cina, India menunjukkan adanya hubunga kesehatan jiwa dengan angkan kematian ibu dan bayi.

Rumah sakit Jiwa diharapkan ada disetiap provinsi, saat ini rumah sakit jiwa telah ada di 27 provisni. Diharapkan dengan adanya rumah sakit jiwa tidak ada pasung karena beberapa penderita gangguan jiwa diperkosa ketika dipasung. Bagi anggota keluarga yang memasung penderita gangguan jiwa dikenai hukuman penjara selama 12 tahun.

 

25septji2Ir. Hadadi dari ASDA III memberikan fakta spesifik tentang masalah kesehatan Jiwa di Indonesia khususnya di bandung. Pemerintah kota telah bekerja sama dengan perguruan tinggi UNPAD untuk meningkatkan layanan kesehatn Jiwa. Berbagai kegiatan untuk pengembangan kesehatan jiwa seperti Revitasiasi SDM. Jumlah SDM kesehatan jiwa diharapkan ada mulai layanan primer sehingga usaha promotif dan preventif bisa dilakukan.


Oleh; Eva Tirtabayu hasri S.Kep.,MPH

 

 

{tab Pelayanan Kesehatan|green}

icon bdg   Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan


Paper pertama berjusul Upaya Penataan Tenaga Kesehatan Melalui Perda No . 7 Tahun 2014, Tentang Tenaga Kesehatan dan dibawakan Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim. Melalui pemaparan ini, terungkap beberapa fakta di lapangan, masih ada ketimpangan jumlah nakes, tidak meratanya dokter spesialais, belum terpenuhinya tenaga kesehatan saat pemberlakukan JKN serta mutasi yang terlalu cepat. Kemungkinan solusi yaitu terbitnya Perda yang mengatur hal terasebut.

Proses penyusunan Perda tersebut, didahului penyusunan anlisa situasi nakes dengan FGD, dialog informal dengan Dinkes Provinsi, kabupaten dan kota. Bantuan tahap akhir dari AIPHSS.
Hal yang diatur: perencanaan berjenjang, pendayaguianaan nakes secara umum dan khusus, POSKESDES dan nakes asing. Keterlibatan stake holder ini untuk menimbulkan senses of belongingsehingga pelaksanaan Perda lebih mudah, keterlibatan stake holder pula yang membuat permasalahan terungkap dan diketahui solusinya. Rencana Tindak Lanjut dari Perda ini, pertama, sosialisasi pada stae holder di seluruh tingklatan. Kedua, akan disusuyn Peraturan Gubernur yang akan mengelola pendayagunaan nmakes secara khusus. Ketiga, akan dibentuk Pokja-pokja yang akan menyukseskan pelaksanaan Perda ini.

Paper kedua ialah Tantangan dan Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berorientasi pada Penguatan Sistwm Kesehatan di Era JKN yang disampaikan oleh Crezena H. Soejono. Peran RS Pendidikan yaitu pelayanan, pendidsikan dan penelitian. Sistrm JKN mendoeong RS untuk lebih efisien, namun bukan berarti merreduksi pelayanan. Tantangan yang dihadapi antara lain, harus membangun jaringan, harus ada transfer knowledge, mencegah fraud dan sebagainya.

 

Rujukan kegawatdaruratan Maternal dan Bayi baru lahir di Kab. Karwang
dr. H. Asep Hidayat Lukman, Kadinkes Kabupaten Karawang

  Materi

Pengembangan regionalisasi sistem Rujukan di Jatim berdasarkan hasil Assesment kemampuan dan kapasitas rumahsakit

  Materi

Hubungan antara tingkat pengetahuan keterjangkauan dan sikap petugas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan program JKN PBI Masyarakat Tihi-Tihi Puskesmas Bontang Lestari di Kota Bontang – Ratno Adrianto

  Materi
Faktor Sosial Budaya dan Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Primer oleh Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin – Harumanto Sapardi, Digna Purwaningrum    Materi

Kajian implementasi kebijakan perubahan status kelembagaan rumahsakit terhadap kualitas pelayanan
( Studi Kasus di RSU X ) – Dadang Kusnadi

  Materi
Audit Mutu Rujukan Layanan Primer di Provinsi DKI Jakarta – Hanevi Djasri   Materi
Pro­‐Kontra Diskursus Rokok dalam Media Sosial YouTube – Agung Dwi Laksono, dkk.   Materi
Persepsi Korupsi Kecil pada Pegawai Pemerintah di Sektor Kesehatan – Faisal Mansur, Mubasyisyir, Sigit riarto   Materi

 

 

{tab SDM Kesehatan|grey}

icon bdg   Pokja Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan


25septsdmParalel Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan dipimpin oleh moderator Sari Puspa Dewi, dr., MPHE. Membuka sesi ini, moderator menekankan bahwa pokja SDM Kesehatan adalah pokja yang baru terbentuk sehingga diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap tenaga kesehatan sehingga tidak akan terjadi “pelayanan kesehatan jelek karena tenaga kesehatan jelek”.

Pembicara pertama adalah Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Timur, Himawan dengan latar belakang dosen hukum UNAIR. Topik yang dibawakan adalah Upaya Penataan Tenaga Kesehatan melalui penyusunan Perda Prov. Jatim Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan mendapat apresiasi dari peserta karenadibawakan dengan menarik. Perda nomor 7 tahun 2014 ini lahir melalui tahapan regulasi selama 6 bulan dengan latar belakang nakes yang timpang di Jatim karena terkumpul di kota, masih ada faskes yang tanpa nakes, mutasi tenaga kesehatan cepat atau istilahnya “kepindahan nakes berdasarkan agama dan kecepatannya masing-masing” karena memang tidak ada peraturan dan tidak kalah menariknya adalah alasan lainnya dari Perda ini adalah antisipasi terhadap masuknya tenaga kesehatan asing saat MEA 2015. Perda ini mengatur distribusi nakes, kompetensi, syarat nakes asing bila bekerja di Jawa Timur dan keharusan seluruh nakes mengikuti Perda ini. Pada intinya Perda ini mengingatkan semua bahwa masalah kesehatan bukan hanya menjadi urusan dinas kesehatan.

Prof. Czeresna H. Soejono, Direktur Utama RSCM menyampaikan mengenai Tantangan dan Peluang Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis Berorientasi pada Penguatan Sistem Kesehatan di Era JKN. Sejak 1 januari sampai dengan 30 Juni 2014, utilisasi di RSCM meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2013. Disisi lain kecepatan penambahan sarana prasarana juga dituntut agar tidak terjadi antrean yang panjang untuk tindakan operasi dan ini mengancam standar medis dan standar keperawatan sehingga menurunkan mutu. RSCM telah berusaha melakukan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan di era JKN maka ditemukan bahwa diagnosa yang ditangani oleh RSCM hanya 15% dengan severity level 3 dan sisanya severity 1 dan 2 yang seharusnya bisa ditangani RSUD. Sehingga RSCM harus melakukan transfer knowledge kepada RSUD untuk menangani pasien sulit sehingga tidak perlu dirujuk bila sudah bisa ditangani. Tantangan RSCM menyambut UHC tahun 2019 adalah remunerasi tenaga kesehatan agar menjamin bahwa dokter tersebut hanya berada 1 tempat sehingga waktu lebih banyak kepada pasien dan mengawasi residen (PPDS) sehingga dapat menjaga mutu layanan, mengisi rekam medis tepat waktu sampai dengan mengurangi kesalahan koding diagnosA INA CBGS.

dr. Nita Arisanti, staf departemen IKM UNPAD membawakan materi Pengembangan Pendidikan Kedokteran Berbasis Komunitas dalam rangka Penguatan Sistem Kesehatan. Disampaikan bahwa SDKI tahun 2012 mengamatkan lulusan FK mampu mengatasi pasien sebagai individu yang utuh, bagian keluarga dan masayarakat, pencegahan penyakit dan keadaan sakit, melaksanakan pendidikan kesehatan, promosi kesehatan dan pendekatan kedokteran keluarga. Sehingga UNPAD sejak 2012 memulai pendidikan kedokteran berbasis masyarakat di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat upaya penyelaraasan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Mata kuliah Family Medicine diberikan 7 SKS dengan 2 rotasi, yaitu dalam studi IKM dan profesi dokter. Praktek lapangan dilakukan di puskesmas dan klinik atau praktek swasta.

Kusman Ibrahim, PhD menyampaikan Tantangan dan Peluang Pendidikan Keperawatan Berorientasi pada Penguatan Sistem Kesehatan di Era JKN. Jaman kolonial sampai dengan hari ini telah disahkan UU Keperawatan di Jakarta. Masalah profesi perawat di era JKN adalah bahwa pada PMK No. 71 tahun 2013 tidak ada yang menyebutkan dimana tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan sehingga menimbulkan kebingungan. Sedangkan regulasi mengenai tanggung jawab perawat sudah dijelaskan baik di UU Kesehatan maupun peraturan lainnya. Peluang pendidikan keperawatan adalah model pelayanan nursing home, home care dengan integrated care yang sudah populer di luar negeri namun belum dilaksanakan di Indonesia.

Ridwan Roy, Kepala Subdit Pembelajaran Dikti sebagai pembahas menyampaikan review mengenai Regulasi kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan seperti, UU No. 12 Tahun 2012, UU No. 20 Tahun 2013 dan UU Keperawatan yang baru diketok palu hari ini.

Dalam diskusi ada pertanyaan dari dr. Nida yang menanyakan isu yang terjadi saat ini mengenai pendidikan layanan primer, yang ditanggapi dr. Nita dari UNPAD bahwa DLP ini merupakan konsep dokter keluarga dan sesuai regulasi setara PPDS. UNPAD dan perguruan lain telah diberikan kesempatan bersama-sama kementerian untuk menyusun kurikulum pendidikan DLP dengan inisiasi awal membentuk kolegium DLP.

 

 {/tabs}

 

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak


25septkiaPemaparan pokja KIA pada sesi ini memfokuskan pada program penurunan AKI, AKB dan AKABA. Beberapa langkah telah diilakukan, salah satunya melalui kerja sama dengan perusahaan. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Dwi Endah, MPH. Menurut Dwi kerjasama dengan CSR dengan pengadaan program mobil sehat sebagai suatu implementasi untuk menurunkan AKI, AKB dan persalinan nakes di daerah dengan akses sulit. Dengan adanya program ini cakupan persalinan nakes mencapai 100%. Selain dengan program mobil sehat penurunan AKI dan AKB dapat dilakukan dengan cara prediksi kematian neonatal dengan data rekam medik yang dipaparkan oleh Herlin Priscila Pay. Herlin memaparkan dengan rekam data medik dapat memprediksikan bagaimana resiko kematian ibu dan anak oada waktu persalinan.

Penurunan AKI dan AKB dapat juga dilakukan dengan pengembangan pengetahuan dan sikap dalam kondisi resiko tinggi. Hal ini dikarenakan masih banyak ibu hamil yang belum mengetahui bahwa dirinya mempunyai resiko tinggi. Oleh karena itu menurut Esti Hitatami perlu adanya sosialsasi yang aktif mengenai resiko tinggi dengan memanfaatkan layanan pesan singkat. Capaian yang dihasilkan dengan metode ini meningkatkan pengetahuan tentang kehamilan dan resiko-resiko tinggi yang terdapat dalam ibu hamil.

Pemerintah daerah turut andil dalam penurunan AKI dan AKB seperti yang dipaparkan oleh Deni Harbianto. Deni memaparkan bahwa Perencanaan dan pelayanan KIA merupakan persan daerah dan membutuhkan tanggung jawab bersama antar lintas sektor, namun yang terjadi sekarang terjadi tumpang tindih program di pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya perencanaan yang berbasis bukti dan menempatkan Bappeda sebagai koordinator utama dalam perencanaan daerah.

Sementara ini, jarang program penurunan AKI dan AKB dengan memanfaatkan faktor sosial budaya. Menurut Dr. Marten Sagrim, penurunan AKI dan AKB dapat dilakukan dengan pelatihan kader kesehatan dan ibu adat dalam persalinan, menyekolahkan orang daerah menjadi bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya dan promosi media kesehatan. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat tidak mau dibantu kelahirannya oleh orang lain yang bukan berasal dari komunitas sendiri.

 

Sesi Paralel 3 : Kebijakan KIA

Tantangan dalam Perencanaan dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Papua
Deni Harbianto, et al.

  Materi

Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kehamilan Risiko Tinggi Melalui Layanan Pesan Singkat terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil – Esti Hitatami dkk

  Materi

Model Integratif Kemitraan Kader Kesehatan, Ibu adat, dan Petugas Kesehatan dalam Pertolongan Persalinan pada Perempuan Suku Taburta di Kawasan Adat Terpencil (KAT) Kabupaten Mamberamo Tengah Propinsi Papua – Dr. Marthen Sagrim

  Materi

Prediksi Kematian Neonatal Menurut Penyebab Kematian dengan Model ARIMA Box Jenkins Tahun 2008-2013 di RSUD Prof DR. W. Z. Johannes Kupang – Herlin Pricilia Pay

  Materi

Kontribusi Program CSR Perusahaan dalam KIA (Studi Implementasi Mobil Sehat di Daerah Sulit)
Dwi Endah, SKM

  Materi

 

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan


25septpokjabiayaHari kedua Fornas V JKKI memiliki 3 pleno besar yang kemudian diikuti oleh sesi-sesi paralel di setiap kelompok kerja. Pokja pembiayaan kesehatan mengawalinya melalui sesi paralel 3 kebijakan pembiayaan yang dimoderatori oleh Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes. Presentasi pertama menjelaskan tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan SJKN oleh BPJS di provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014. Menurut Rini Anggraeni, peningkatan peserta mandiri lebih dari 100% dan diikuti adanya kolaborasi antara fasilitas kesehatan primer milik pemerintah dan swasta. Faskes tingkat lanjut justru sudah mencukupi tetapi tidak disertai dengan ketersediaan obat yang memadai. Upaya yang Rini usulkan antara lain : menambah faskes tingkat pertama, redistribusi peserta terdaftar, dan mengurangi workload rumah sakit. Dukungan dari asosiasi faskes memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan penyelenggaraan JKN.

Pemaparan berikutnya juga menyangkut faskes tetapi lebih menitikberatkan pada ketidakadilan dalam pelaksanaan JKN di wilayah eks karesidenan Surakarta Jawa Tengah. Topik yang disampaikan oleh Rusdiana Khasanah ini membahas inequity dari beberapa sudut pandang. Sosialisasi merupakan salah satu aspek yang juga ditekankan dalam sesi ini. Di lain sisi, Atik Triratnawati menyampaikan bahwa program BPJS masih terlalu mahal bagi warga Madura. Hal tersebut berkaitan dengan kebudayaan dan minimnya sosialisasi pada keluarga miskin. Ibu Atik juga mengemukakan bahwa masyarakat lebih memilih untuk membayar jasa dokter secara langsung daripada dengan membayar iuran asuransi atau jaminan kesehatan.

Determinan keberlanjutan pembayaran premi non PBI mandiri pada JKN di wilayah pedesaan kabupaten Purbalingga oleh Arih Diyaning Intiasari menjelaskan mengenai adverse selection dan sosialisasi sistem autodebet secara lintas sektor. Beberapa kendala JKN juga disampaikan oleh Budi Eko Siswoyo dalam kajian media : analisis awal penyelenggaraan JKN. Media tingkat nasional dan lokal pun dilibatkan untuk menggambarkan kondisi spesifik dan perubahan isu di daerah. Menyikapi hal tersebut, materi analisis ketersediaan fasilitas dan pembiayaan kesehatan pada penyelenggaraan JKN di provinsi Bengkulu disampaikan oleh Yandrizal. Berdasarkan hasil studi, masih banyak Puskesmas yang menerima kapitasi sebsar Rp 4.500,- yaitu sekitar 38,33 % dari jumlah Puskesmas di Bengkulu.

Penelitian Tri Astuti Sugiyatmi tentang gambaran asuransi kesehatan pada era JKN pada wanita pekerja seksual di lokalisasi kota Tarakan, Kalimantan Utara makin melengkapi sesi paralel 3 ini. Walaupun sekitar 77% WPS memiliki gaji melebihi UMR dan 83,8% sudah cukup mengetahui informasi kesehatan, tetapi penelitian ini justru menunjukkan bahwa pasca JKN mengurangi kepemilikan asuransi kesehatan. Setelah paparan ini, moderator membuka diskusi untuk menyikapi paparan semua penelitian di sesi paralel 3 kebijakan pembiayaan.

Hilmi dari Universitas Padjajaran mempertanyakan perbedaan PBI dan non PBI yang memicu equity dalam JKN. Akses terhadap informasi merupakan salah satu indikasi equity, sehingga Puskesmas diharapkan lebih aktif karena menurut Ibu Septi, seringkali informasi berhenti di tingkat kecamatan. Adapun beberapa harapan dari forum antara lain : adanya penelitian besar yang mengakomodir semua tujuan monitoring dan evaluasi, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah lebih memperhatikan aspek equity, adanya perbaikan sistem rujukan dan tarif INA-CBG, ketersediaan fasilitas kesehatan yang merata, perbaikan data pendukung JKN, dan mengoptimalkan strategi pemasaran sosial.

 

Sesi Paralel 3 : Kebijakan Pembiayaan

Moderator: Dr. Felix Kasim, dr., Mkes

 

Ketidakadlian dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Wilayah Eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah 

Rusdiana Khasanah

Determinan Keberlanjutan Pembayaran Premi Non-PBI Mandiri pada JKN di Wilayah Pedesaan Kab. Purbalingga 

Arih Diyaning Intiasari

Layanan Gratis pun Ditolak Masyarakat Miskin: Pemanfaatan Kartu Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Daerah di Provinsi Jawa Timur dan Nusa

Faisal Mansur dkk

Analisis Ketersediaan Fasilitas dan Pembiayaan Kesehatan pada Pelaksanaan JKN di Provinsi Bengkulu

Yandrizal

Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan SJKN oleh BPJS di Provinsi Sulawesi Selatan

Rini Anggraeni

Gambaran Asuransi Kesehatan pada Era JKN pada Wanita Pekerja Seksual di Lokalisasi Kota Tarakan, Kalimantan Utara

Tri Astuti Sugiyatmi

Penyelenggaraan Program JKN di RSUD Kota Tangerang Selatan Tahun 2014

Riastuti Kusuma Wardani

Program BPJS: Terlalu Mahal bagi Orang Madura

Atik Triratnawati

 

 

icon bdg   Pokja Kebijakan HIV / AIDS


Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019

fornasaidsPada hari kedua Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia 2014 diselenggarakan sesi paralel dari Pokja Kebijakan HIV/AIDS, dengan tema Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019. Dr. Suriadi Gunawan, MPH mewakili Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menyampaikan materi dengan judul “Strategi dan Rencana Aksi Nasional dalam Rangka Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia”. Para pembahas materi tersebut, terdiri dari Setia Perdana dari GWL-Ina, Aldo Napitupulu dari OPSI, Dr. Trijoko Yudopuspito MSc.PH dari Subdit AIDS Kemenkes dan Hersumpana, MA dari PKMK FK UGM.

SRAN Penanggulangan AIDS 2015-2019: Tantangan dan Perbaikan?

Berdasarkan kajian paruh waktu SRAN 2010-2014, strategi penanggulangan HIV dan AIDS lebih memfokuskan pada populasi kunci pada area Pencegahan, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP), mitigasi dampak dan lingkungan kondusif. Dari sisi pembiayaannya, sejumlah KPA Kabupaten/Kota mayoritas didanai oleh donor asing seperti Global Fund (GF). Sistem pembiayaan ini perlu dipertimbangkan kembali khususnya GF, mengingat pendanaan ini akan berakhir pada pertengahan tahun 2015. Di sisi lain, alokasi APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk pengadaan ARV hampir 80 % lebih sudah didanai oleh APBN.

Hasil kajian paruh waktu juga menunjukkan perubahan perkembangan epidemi HIV dimana terjadi peningkatan prevalensi pada kelompok populasi kunci LSL dan LBT serta ibu rumah tangga sedangkan pada kelompok populasi kunci lainnya cenderung menurun. Dalam monitoring dan evaluasi, pada masa akhir SRAN 2010-2014 sesuai indikator kinerjanya disimpulkan bahwa sejauh ini program telah berhasil menahan laju epidemi HIV, dimana perkembangan jumlah infeksi baru telah melambat. Dengan latar belakang kajian tersebut berbagai pilihan strategi untuk penanggulangan HIV dan AIDS dipilih dan dielaborasi sebagai masukan dalam penyusunan draft SRAN 2015-2019. Draft SRAN 2015-2019 tersebut diharapkan akan selesai akhir tahun ini dimana tantangan yang perlu dipertimbangkan ke depan meliputi komitmen pimpinan daerah, alokasi dana APBN dan APBD serta mobilisasi dana CSR, perluasan cakupan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, keberlanjutan program dan pencegahan HIV di kalangan LSL dan LBT. Sumber daya manusia yang kompeten harus dapat dimanfaatkan, petugas kesehatan, pelibatan komunitas, ketersediaan dan kebutuhan sumber daya.

Berbagai masukan dalam pembahasan sesi ini mengemuka sebagai strategi yang akan datang, antara lain tentang pentingnya penekanan peran komunitas kelompok/populasi kunci dalam SRAN yang akan datang. Peran komunitas yang dimaksud meliputi program outreach, monitoring program, dan advokasi. Penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening) melalui penguatan sistem komunitas serta penguatan sistem pendanaan lokal, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan draft SRAN tersebut. Harapannya strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini wajib menurunkan epidemi HIV, tidak sekedar mampu menahan laju epidemi HIV seperti pada periode SRAN sebelumnya.

Pembahasan dari PKMK UGM menyatakan masalah integrasi merupakan masalah yang krusial dalam penyusunan SRAN ini. Bentuk-bentuk integrasi yang direkomendasikan dalam SRAN 2015-2019 antara lain meliputi integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasional dan operasional, integrasi pembiayaan dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah (APBD), integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial, integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnostik ke dalam sistem pengadaan logistik yang ada di setiap level pemerintahan dan integrasi sistem informasi HIV ke dalam sistem informasi kesehatan. Namun tetap disadari adanya berbagai tantangan dalam integrasi tersebut seperti fragmentasi kelembagaan, pendanaan yang bersifat project-oriented, tarik menarik kepentingan politik ekonomi dengan data epidemiologi HIV dan keterbatasan SDM. Tantangan ini tentunya juga harus dipertimbangkan dalam SRAN tersebut. Berbagai bentuk integrasi tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang.

PENUTUP

Beberapa masukan untuk SRAN 2015-2019 antara lain; pelibatan dan penguatan populasi kunci sejak dalam perencanaan hingga implementasi penanggulangan HIV dan AIDS. Pelibatan perlu dikembangkan kepada kelompok non populasi kunci, mengingat data menunjukkan peningkatan HIV pada kelompok non populasi kunci seperti pada ibu rumah tangga dan bayi. Masalah integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional juga hal yang penting untuk direkomendasikan dalam penyusunan SRAN tersebut. Diharapkan strategi-strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini dapat menurunkan epidemi HIV sejalan dengan tujuan dari penanggulangan AIDS itu sendiri yaitu menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru, menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS, meniadakan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang dikenal dengan Three Zero, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

Penulis : dr. Juliandi Harahap, MA 

Paralel 3

Integrasi Penanggulangan HIV / AIDS dalam Sistem Kesehatan pada SRAN 2015-2019

  Materi

Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) dalam rangka Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia

  Materi

Trijoko

  Materi 

 

Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS

Pengantar

Pada hari kedua Forum Nasional JKKI Bandung, 25 September 2014, Pokja Kebijakan HIV & AIDS mengangkat isu penting, yaitu Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Tujuan dari sesi ini untuk menyajikan hasil penelitian dan pengalaman lapangan terkait dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia. Penyelenggaraan program penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan tata kelola yang baik dan kuat di tingkat nasional maupun di daerah. Hal ini mencakup kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, dan kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana. Penyelenggaraan aksi penanggulangan HIV dan AIDS ini menganut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana prinsip dan strategi yang dituangkan dalam SRAN 2015 -2019.

Prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia meliputi hal-hal berikut: 1) Akuntabilitas penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dalam segala bidang dan di semua tingkat, 2) Terlaksananya upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dengan melibatkan masyarakat khususnya penerima manfaat layanan, 3) Kepekaan dan daya tanggap para penyelenggara upaya penanggulangan AIDS terhadap hal-hal yang berkembang dan mempengaruhi jalannya penyelenggaraan upaya termasuk aspirasi kelompok-kelompok masyarakat tanpa kecuali, 4) Profesionalisme dalam upaya penanggulangan AIDS memiliki kemampuan dan keterampilan serta sifat bertanggung jawab dalam memberi pelayanan yang mudah, cepat dan tepat dengan biaya terjangkau serta bersahabat, 5) Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab, 6) Transparansi dalam penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS sehingga tercipta kepercayaan timbal balik antar berbagai pihak yang berperan aktif, 7) Kesetaraan dengan memberi peluang yang sama bagi setiap orang untuk berperan sebesar-besarnya dalam upaya penanggulangan AIDS, dan mendorong peran aktif mereka, 8) Wawasan ke depan (visioner); melakukan pengelolaan upaya penanggulangan AIDS berdasarkan visi yang jelas yang telah disepakati, 9) Penegakan hukum mewujudkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS

Dalam sesi ini dipaparkan tujuh makalah dari para peneliti universitas dan pegiat HIV dan AIDS yang berfokus pada tema Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Presentasi dari pemakalah menunjukkan bahwa sejauh ini, tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan efektivitas serta penegakan hukum. Hasil riset dari Asa Simplexius menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda tentang HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidakefektifan suatu Perda HIV dan AIDS. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi pra legislasi yaitu sejak suatu Perda dirancang, sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi isi (content) dan struktur materi, serta sosialisasi kontinuum/ reguler dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada efek culture of law yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontinuum terhadap suatu perda.

Hasil riset yang lain dari Esthi Susanti menegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Hal ini kemudian menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat dalam merespon suatu program penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS. Hasil riset Sewdas Ranu, dkk, menyatakan bahwa keterlibatan peran publik begitu penting dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional tidak dilibatkan dalam Musrenbang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta yang aktual.

Riset yang dilakukan Siregar Y.M. Adiatma menunjukkan bahwa prinsip tata kelola mengenai efisiensi dan efektivitas perlu diperhatikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan penyelenggara penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya, sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 Cell counts yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan perawatan infeksi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ARV, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasien dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses terhadap ARV harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya transportasi. Kurniawan Rachmadi menyatakan bahwa peran ARV sekarang ini sangat penting dan terbukti bermanfaat. Namun tidak semua ‘gold standart’ sebuah pedoman pengobatan dapat lansung diterapkan. Menurutnya efek samping sebuah kebijakan dapat terjadi. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyusun dan menerapkan kebijakan obat ARV dan perlu komunikasi yang transparan tentang efek samping suatu kebijakan antar stakeholder.

Hasil riset yang lain dari Riziyani Shanti, dkk menyoroti posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun ketua KPA Provinsi adalah gubernur, namun KPA Provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah. Sebagai anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah (dianalogikan sebagai anak kandung) untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian penguatan posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif. Hasil riset yang dilakukan oleh Okta Siradj pada tahun 2013 menyoroti pelaksanaan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS dari aspek penegakan hukum. Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi terhadap 18 Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan HIV di Indonesia, di samping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiliki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.

Penutup
Penerapan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik akan menjamin keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional. Berdasarkan seminar pada forum nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke V di Bandung ini telah menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota implementasi prinsip ini pada kenyataannya masih bervariasi. Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Berbagai upaya dan peran kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana masih sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya prinsip tata kelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada semua tingkatan.

Penulis : Afia Tahoba, SP.,M.Si, UNIPA, Papua Barat

Paralel 4

Costs of treatment of HIV and AIDS in Indonesia: an empirical analysis – Adiatma Y. M Siregear

  Materi

Dokter yang masih resepkan Stavudine diberi sanksi

  Materi

Efek Samping Pelaksanaan Kebijakan Penarikan Obat d4T – Kurniawan Rachmadi

  Materi

Refleksi Pengalaman Implementasi dan Advokasi Kebijakan HIV / AIDS selama 22 tahun – Dra. ESTHI SUSANTI HUDIONO, M.Si   Materi
Anak Kandung Mengatur Anak Tiri: Hambatan KPA Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam Upaya Penanggulangan HIV-AIDS   Materi
Forensik HIV: Prakondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional – Siradj Okta, SH., LL.M   Materi
Urgensi Sosialisasi dalam Pembentukan dan Penerapan Perda HIV & AIDS   Materi

Paralel 5

Layanan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia – Anindita Gabriella

  Materi

Hasil Penelitian: “Kajian Perlunya Peningkatan Peran Bidan dalam Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin” (Kerjasama HCPI & SaHIVa USU) – Lita Sri Andayani, SKM, Mkes , Dr. Linda T Maas, MPH

  Materi

Barriers to integrating HIV and AIDS related services into community health centre in Bali Province, Indonesia – Nyoman Sutarsa (1), Simon Barraglough (2)

  Materi

AFR-MCDA dalam Penentuan Prioritas Program HIV-AIDS di Jawa Barat, Indonesia – Rozar Prawiranegara,   Materi
Peran dan Dilema Pendampingan dalam Mengadvokasi Pengurangan Perlakuan Diskriminatif yang dialami ODHA dalam Mengakses layanan HIV-AIDS di Kota Makassar   Materi
Implikasi Mobilitas Penduduk dan Gaya Hidup Seksual Terhadap Penulisan HIV/AIDS di Kabupaten Jember – Dewi Rokhmah   Materi

 

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat


25septgzPada hari kedua ini, sesi paralel pokja gizi lebih banyak menyoroti tentang gizi pada anak, meskipun ada juga topik lain yang cukup menarik seperti penggunaan teknologi untuk mengukur asupan gizi. Sesi pertama membahas mengenai pengambilan keputusan dalam pengaturan pemberian makan saat anak diare. Sesuai dengan standar pemberian makanan pada anak diare tetap dilakukan bahkan dengan frekuensi tambah dengan memberi nasi dan asupan makanan bergizi lainnya. Namun faktanya malah bertolak belakang dimana para ibu kurang berusaha untuk memberi makanan saat anak diare karena anak sulit untuk makan sehingga hanya diberi ASI dan snack sehingga asupan gizi menjadi berkurang.

Kemudian pokja gizi juga menyoroti tentang tingginya angka kematian bayi dan angka kurang gizi yang terjadi di pemukiman kumuh. Disini posyandu seharusnya mempunyai peran aktif dalam kegiatan promotif dan kader-kader psoyandi dapat memberi edukasi kepada masyarakat. Namun faktanya bahwa edukasi terhadap masyarakat tidak berjalan optimal, kader kurang menggali masalah, dan tidak semua kader mempunyai motivasi. Hal ini memerlukan dukungan dan supervisi dari Puskesmas untuk mengedukasi dan memotivasi para kader posyandu tersebut sehingga kegiatan promotif dapat berjalan lebih baik. Di sisi lain partisipasi masyarakat juga berpengaruh terhadap efektivitas program yang dijalankan posyandu. Semakin tinggi dukungan dari tokoh masyarakat, petugas kesehatan, ibu PKK, dan pejabat desa maka semakin efektif program yang dijalankan oleh posyandu.

Praktik pemberian makanan pada anak juga mempengaruhi tingkat nutrisi pada anak. Pengaruh urbanisasi, ketidakpercayaan diri ibu terhadap ASI nya sendiri, dan pengaruh keluarga membuat kebanyakan ibu memberi makanan instan pada anaknnya. Selain itu terdapat pembahasan mengenai selenium organik dan non organik yang berpengaruh menurunkan diabetes tipe 2 pada kelompok dengan baseline yang adekuat. Pada sesi paralel ini terdapat topik yang cukup menarik yaitu penggunaan teknologi smartphone android untuk mengukur asupan gizi. Namun teknologi ini masih dalam tahapan penyempurnaan dan nantinya akan dapat diunduh di playstore android.

Bahasan berikutnya mengenai food outlet yang mempengaruhi obesitas. Penelitian menunjukkan anak laki-laki mempunyai kemungkinan obesitas 2.7 kali dibanding anak perempuan. Beberapa makanan seperti ayam goreng, kentang goreng, dan juga gula berpengaruh tinggi terhadap kesehatan. Dan ternyata pedagang kaki lima sebagai food service di sekolah mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap obesitas anak karena mereka mengkonsumsi makanan dari pedagang tersebut saat istirahat dan pulang sekolah. Dan topik yang tidak kalah menarik adalah kecenderungan fad diet pada remaja putri dimana fad diet lebih mementingkan penampilan daripada kesehatan. Para remaja putri tersebut berdiet dengan berbagai alasan seperti untuk kesehatan, supaya menarik dan cantik. Pengaruh tersebut lebih banyak dari hubungan teman sebaya daripada pengaruh media teknologi seperti internet yang sedang marak saat ini. Sebagai kesimpulan asupan gizi sangatlah penting untuk anak maupun remaja yang sedang dalam pertumbuhan dan hal ini membutuhkan perhatian serta kesadaran orang tua untuk memperhatikan asupan gizi bagi anak-anaknya.

 

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Jiwa Masyarakat


Tantangan Sosialisasi dan Implementasi Undang-Undang Sistem kesehatan Jiwa

Indonesia telah membangun sistem kesehatan jiwa yang baru. Pengesahan Undang-undang kesehatan jiwa yang disahkan tanggal 8 Juli 2014 menjadi buktinya . Perjuangan ini diinisiasi oleh dr. Nova Riyanti yusuf, SpKJ pada 3 Novemer 2009. “Indonesia pernah menjadi cover majalah time tahun 2003 sebagai negara yang memiliki layanan kesehatan jiwa terendah di ASIA” kata anggota DPR RI ini ketika mengisi sesi paralel FORNAS JKKI di POKJA Kesehatan Jiwa Masyarakat. Hal ini wajar karena minimntya tenaga psikiater dan psikolog di Indonesia.

25septji1Lain halnya dengan dr. Nova, dr. Eka Viora SpKJ menyorot hubungankesehatn jiwa dengan penyakit. Gangguan jiwa sumbangan terbesar beban penyakit. Ada warning dari WHO bahwa depresi adalah krisis global. Sehingga perlu perhatian terhadap kesehatan jiwa agar depresi tidak mempengaruhi sistem kesehatan. dalam MDG’s 4 dan 5 tahun 2009-2015 kurang diperhatikan kesehatan jiwa karena secara langsung tidak berpengaruh terhadap penurunan angka kematian ibu dan bayi. Sementara di lain tempat, hasil penelitian di Cina, India menunjukkan adanya hubunga kesehatan jiwa dengan angkan kematian ibu dan bayi.

Rumah sakit Jiwa diharapkan ada disetiap provinsi, saat ini rumah sakit jiwa telah ada di 27 provisni. Diharapkan dengan adanya rumah sakit jiwa tidak ada pasung karena beberapa penderita gangguan jiwa diperkosa ketika dipasung. Bagi anggota keluarga yang memasung penderita gangguan jiwa dikenai hukuman penjara selama 12 tahun.

 

25septji2Ir. Hadadi dari ASDA III memberikan fakta spesifik tentang masalah kesehatan Jiwa di Indonesia khususnya di bandung. Pemerintah kota telah bekerja sama dengan perguruan tinggi UNPAD untuk meningkatkan layanan kesehatn Jiwa. Berbagai kegiatan untuk pengembangan kesehatan jiwa seperti Revitasiasi SDM. Jumlah SDM kesehatan jiwa diharapkan ada mulai layanan primer sehingga usaha promotif dan preventif bisa dilakukan.


Oleh; Eva Tirtabayu hasri S.Kep.,MPH

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan


Paper pertama berjusul Upaya Penataan Tenaga Kesehatan Melalui Perda No . 7 Tahun 2014, Tentang Tenaga Kesehatan dan dibawakan Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim. Melalui pemaparan ini, terungkap beberapa fakta di lapangan, masih ada ketimpangan jumlah nakes, tidak meratanya dokter spesialais, belum terpenuhinya tenaga kesehatan saat pemberlakukan JKN serta mutasi yang terlalu cepat. Kemungkinan solusi yaitu terbitnya Perda yang mengatur hal terasebut.

Proses penyusunan Perda tersebut, didahului penyusunan anlisa situasi nakes dengan FGD, dialog informal dengan Dinkes Provinsi, kabupaten dan kota. Bantuan tahap akhir dari AIPHSS.
Hal yang diatur: perencanaan berjenjang, pendayaguianaan nakes secara umum dan khusus, POSKESDES dan nakes asing. Keterlibatan stake holder ini untuk menimbulkan senses of belongingsehingga pelaksanaan Perda lebih mudah, keterlibatan stake holder pula yang membuat permasalahan terungkap dan diketahui solusinya. Rencana Tindak Lanjut dari Perda ini, pertama, sosialisasi pada stae holder di seluruh tingklatan. Kedua, akan disusuyn Peraturan Gubernur yang akan mengelola pendayagunaan nmakes secara khusus. Ketiga, akan dibentuk Pokja-pokja yang akan menyukseskan pelaksanaan Perda ini.

Paper kedua ialah Tantangan dan Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berorientasi pada Penguatan Sistwm Kesehatan di Era JKN yang disampaikan oleh Crezena H. Soejono. Peran RS Pendidikan yaitu pelayanan, pendidsikan dan penelitian. Sistrm JKN mendoeong RS untuk lebih efisien, namun bukan berarti merreduksi pelayanan. Tantangan yang dihadapi antara lain, harus membangun jaringan, harus ada transfer knowledge, mencegah fraud dan sebagainya.

 

Rujukan kegawatdaruratan Maternal dan Bayi baru lahir di Kab. Karwang
dr. H. Asep Hidayat Lukman, Kadinkes Kabupaten Karawang

  Materi

Pengembangan regionalisasi sistem Rujukan di Jatim berdasarkan hasil Assesment kemampuan dan kapasitas rumahsakit

  Materi

Hubungan antara tingkat pengetahuan keterjangkauan dan sikap petugas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan program JKN PBI Masyarakat Tihi-Tihi Puskesmas Bontang Lestari di Kota Bontang – Ratno Adrianto

  Materi
Faktor Sosial Budaya dan Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Primer oleh Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin – Harumanto Sapardi, Digna Purwaningrum    Materi

Kajian implementasi kebijakan perubahan status kelembagaan rumahsakit terhadap kualitas pelayanan
( Studi Kasus di RSU X ) – Dadang Kusnadi

  Materi
Audit Mutu Rujukan Layanan Primer di Provinsi DKI Jakarta – Hanevi Djasri   Materi
Pro­‐Kontra Diskursus Rokok dalam Media Sosial YouTube – Agung Dwi Laksono, dkk.   Materi
Persepsi Korupsi Kecil pada Pegawai Pemerintah di Sektor Kesehatan – Faisal Mansur, Mubasyisyir, Sigit riarto   Materi

 

 

icon bdg   Pokja Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan


25septsdmParalel Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan dipimpin oleh moderator Sari Puspa Dewi, dr., MPHE. Membuka sesi ini, moderator menekankan bahwa pokja SDM Kesehatan adalah pokja yang baru terbentuk sehingga diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap tenaga kesehatan sehingga tidak akan terjadi “pelayanan kesehatan jelek karena tenaga kesehatan jelek”.

Pembicara pertama adalah Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Timur, Himawan dengan latar belakang dosen hukum UNAIR. Topik yang dibawakan adalah Upaya Penataan Tenaga Kesehatan melalui penyusunan Perda Prov. Jatim Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan mendapat apresiasi dari peserta karenadibawakan dengan menarik. Perda nomor 7 tahun 2014 ini lahir melalui tahapan regulasi selama 6 bulan dengan latar belakang nakes yang timpang di Jatim karena terkumpul di kota, masih ada faskes yang tanpa nakes, mutasi tenaga kesehatan cepat atau istilahnya “kepindahan nakes berdasarkan agama dan kecepatannya masing-masing” karena memang tidak ada peraturan dan tidak kalah menariknya adalah alasan lainnya dari Perda ini adalah antisipasi terhadap masuknya tenaga kesehatan asing saat MEA 2015. Perda ini mengatur distribusi nakes, kompetensi, syarat nakes asing bila bekerja di Jawa Timur dan keharusan seluruh nakes mengikuti Perda ini. Pada intinya Perda ini mengingatkan semua bahwa masalah kesehatan bukan hanya menjadi urusan dinas kesehatan.

Prof. Czeresna H. Soejono, Direktur Utama RSCM menyampaikan mengenai Tantangan dan Peluang Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis Berorientasi pada Penguatan Sistem Kesehatan di Era JKN. Sejak 1 januari sampai dengan 30 Juni 2014, utilisasi di RSCM meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2013. Disisi lain kecepatan penambahan sarana prasarana juga dituntut agar tidak terjadi antrean yang panjang untuk tindakan operasi dan ini mengancam standar medis dan standar keperawatan sehingga menurunkan mutu. RSCM telah berusaha melakukan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan di era JKN maka ditemukan bahwa diagnosa yang ditangani oleh RSCM hanya 15% dengan severity level 3 dan sisanya severity 1 dan 2 yang seharusnya bisa ditangani RSUD. Sehingga RSCM harus melakukan transfer knowledge kepada RSUD untuk menangani pasien sulit sehingga tidak perlu dirujuk bila sudah bisa ditangani. Tantangan RSCM menyambut UHC tahun 2019 adalah remunerasi tenaga kesehatan agar menjamin bahwa dokter tersebut hanya berada 1 tempat sehingga waktu lebih banyak kepada pasien dan mengawasi residen (PPDS) sehingga dapat menjaga mutu layanan, mengisi rekam medis tepat waktu sampai dengan mengurangi kesalahan koding diagnosA INA CBGS.

dr. Nita Arisanti, staf departemen IKM UNPAD membawakan materi Pengembangan Pendidikan Kedokteran Berbasis Komunitas dalam rangka Penguatan Sistem Kesehatan. Disampaikan bahwa SDKI tahun 2012 mengamatkan lulusan FK mampu mengatasi pasien sebagai individu yang utuh, bagian keluarga dan masayarakat, pencegahan penyakit dan keadaan sakit, melaksanakan pendidikan kesehatan, promosi kesehatan dan pendekatan kedokteran keluarga. Sehingga UNPAD sejak 2012 memulai pendidikan kedokteran berbasis masyarakat di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat upaya penyelaraasan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Mata kuliah Family Medicine diberikan 7 SKS dengan 2 rotasi, yaitu dalam studi IKM dan profesi dokter. Praktek lapangan dilakukan di puskesmas dan klinik atau praktek swasta.

Kusman Ibrahim, PhD menyampaikan Tantangan dan Peluang Pendidikan Keperawatan Berorientasi pada Penguatan Sistem Kesehatan di Era JKN. Jaman kolonial sampai dengan hari ini telah disahkan UU Keperawatan di Jakarta. Masalah profesi perawat di era JKN adalah bahwa pada PMK No. 71 tahun 2013 tidak ada yang menyebutkan dimana tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan sehingga menimbulkan kebingungan. Sedangkan regulasi mengenai tanggung jawab perawat sudah dijelaskan baik di UU Kesehatan maupun peraturan lainnya. Peluang pendidikan keperawatan adalah model pelayanan nursing home, home care dengan integrated care yang sudah populer di luar negeri namun belum dilaksanakan di Indonesia.

Ridwan Roy, Kepala Subdit Pembelajaran Dikti sebagai pembahas menyampaikan review mengenai Regulasi kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan seperti, UU No. 12 Tahun 2012, UU No. 20 Tahun 2013 dan UU Keperawatan yang baru diketok palu hari ini.

Dalam diskusi ada pertanyaan dari dr. Nida yang menanyakan isu yang terjadi saat ini mengenai pendidikan layanan primer, yang ditanggapi dr. Nita dari UNPAD bahwa DLP ini merupakan konsep dokter keluarga dan sesuai regulasi setara PPDS. UNPAD dan perguruan lain telah diberikan kesempatan bersama-sama kementerian untuk menyusun kurikulum pendidikan DLP dengan inisiasi awal membentuk kolegium DLP.

Sesi Paralel, 24 Agustus 2015

24ags-kelmutu

Kesehatan Ibu dan Anak


Salah satu bidang yang sangat diutamakan Indonesia ialah kesehatan terutama masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Fokus pemerintah untuk memenuhi target MDGs dalam bidang ini ialah dengan menekan angka kematian ibu dan anak (AKI). Dalam sesi paralel pokja Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) akan membahas beberapa policy brief yang sudah dikirimkan oleh peserta. Moderator diskusi siang ini adalah Dr. dr Hafni bachtiar, MPH dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Diskusi pertama dibawakan dari Balitbangkes Jawa Barat dengan tema “Program Pendampingan Persalinan oleh Tenaga Bidan Sebagai Upaya Pendekatan Etnis Baduy Dalam”. Penelitian ini merupakan penelitian etnografi yang dilaksanakan di suku Baduy. Latar belakangnya yaitu ada beberapa budaya daerah yang masih membahayakan kesehatan ibu anak. Di suku Baduy ibu melahirkan secara mandiri, dan tenaga kesehatan hanya membantu pada saat setelah melahirkan. Dampak dari budaya tersebut yaitu tidak sedikit bayi baru lahir hanya bertahan 0-48 jam. Oleh karena itu, diharapkan bidan bisa menjadi barisan terdepan dalam membantu proses persalinan di suku Baduy.

Selanjutnya diskusi dibawakan oleh perwakilan dari Fakultas Kedokteran UGM. Dengan tema Pengembangan Kebijakan Manual Rujukan Khusus KIA di Tingkat Kabupaten/Kota” . Tujuan dibuatnya manual rujukan yaitu untuk menolong persalinan pada ibu baik normal maupun dengan kasus kegawatan dengan sedini mungkin. Manual rujukan juga merupakan salah satu cara untuk menekan angka kematian ibu dan anak. Ada 10 langkah dalam menyusun manual rujukan KIA, semuanya melibatkan para tenaga kesehatan untuk saling berkolaborasi. Dengan adanya manual rujukan diharapkan Rumah Sakit menyiapkan jejaring PONEK 24 jam.

Reporter : Elisa Sulistyaningrum. 

List Presentasi dan Policy Brief

Kelompok JKN


Sesi diskusi paralel pertama pada pokja JKN terbagi menjadi aspek evaluasi dan aspek penggunaan.Pada aspek evaluasi, materi diawali dengan topik mengenai analisis ketersediaan fasilitas kesehatan dan pencapaian JKN se- Provinsi Bengkulu yang dibawakan oleh Bapak Yandrizal.Beliau menjelaskan beberapa penyebab ketidakmerataan akses dan mutu pelayanan yang juga dikaitkan dengan kompensasi baik yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan BPJS Kesehatan.

Pentingnya konsep pemasaran sosial dalam sosialisasi JKN kepada masyarakat menjadi salah satu fokus materi yang disampaikan oleh Ibu Siti Kadijah Nasution.Dalam menganalisis implementasi program pelayanan kesehatan ibu di kab. Mandailing Natal, beliau menilai bahwa pelaksanaan sistem rujukan belum optimal. Bukan hanya terkait kuantitas, karena kualitas bidan desa pun sangatlah minim.Program-program seperti Posyandu dan desa siaga diharapkan lebih dapat melibatkan organisasi informal di masyarakat.

Diskusi paralel aspek evaluasi JKN ditutup dengan materi dari Bapak Ambo Sakka (FKM Universitas Halu Oleo) mengenai implementasi JKN di Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut beliau, sosialisasi JKN telah dilakukan, namun masyarakat belum sepenuhnya memahami program JKN. Fasilitas kesehatan yang selalu dihandalkan hanya RS milik pemerintah dan Puskesmas. Komitmen dalam meningkatkan infrastruktur kesehatan akan mendukung kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Sebagai audiens, Bapak Deni dari Dinkes Lima Puluh Kota menambahkan beberapa masukan pada sesi diskusi.Salah satunya terkait dengan penerapan tunjangan daerah bahkan peran sistem pembayaran dokter spesialis per hari untuk mendukung ketersediaan tenaga medis di daerah.Kendala administrasi dalam penyelenggaraan JKN juga menjadi topik utama yang dibahas bersama-sama dalam sesi paralel ini.

Diskusi paralel aspek evaluasi dilanjutkan dengan bahasan mengenai aspek penggunaan dalam program JKN. Topik pertama disampaikan oleh Bapak Kasman Makkasau dari RSUD Provinsi Sulawesi Barat mengenai advokasi keberlanjutan program JKN dengan pendekatan economic lost. Menurut beliau, strategi yang telah direkomedasikan World Bank ini berhasil membawa program JPKMU terintegrasi dengan JKN, bahkan disertai bantuan iuran 70% dari pemerintah daerah dan 30% dari pemerintah provinsi.

Gambaran penyerapan klaim INA-CBG’s dan kebijakan pemanfaatan dana sisa atas pelaksanaan JKN di NTT melengkapi kajian monev JKN di sesi paralel JKN sore itu. Mayoritas penggunaan dana JKN yang dilakukan oleh peserta non PBI menjadi indikasi tidak meratanya akses pelayanan kesehatan. Komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan investasi dan BPJS Kesehatan dalam mengoptimalkan dana kompensasi sangat penting dalam penyelenggaraan JKN.
Kajian yang menelusuri faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan PBI di Puskesmas Sambutan Samarinda dibawakan oleh Ibu Nur Rohmah.Salah satu temuan yang unik adanya kecenderungansikap baik masyarakat pada JKN justru mendorong masyarakat tidak memanfaatkan layanan.Beliau menilai bahwa sosialisasi perlu dioptimalkan kembali dan diiringi dengan peningkatan kapasitas SDM kesehatan di daerah.

Salah satu topik yang didiskusikan bersama adalah keberhasilan pendekatan economic lost yang memang tidak lepas dari komitmen pemerintah dan adanya koordinasi lintas sektor, misalnya dengan TNP2K dalam penentuan masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi iuran atau penerima bantuan iuran dari sharing dana pemerintah provinsi dan kab/ kota. Walaupun masuk dalam mekanisme APBD, selama pemerintah berkomitmen maka tertib administrasi dalam membayar iuran peserta ke BPJS Kesehatan pun tidak akan menunggak.

List presentasi dan Policy brief

Reporter : BES

Kelompok Mutu Pelayanan Kesehatan


24ags-kelmutuMutu kesehatan dalam era JKN menjadi isu hangat yang selalu diperbincangkan oleh peneliti. Tiga peneliti daru UNHAS dan dua peneliti dari UGM menyajikan hasil penelitian tentang mutu kesehatan pada Forum kebijakan kesehatan Indonesia yang ke-6 yang diselenggarakan di hotel Bumi Minang. Kelima peneliti berhasil memancing peneliti dari berbagai universitas lain di Indonesia untuk berdiskusi agar dicapai rekomendasi-rekomendasi mauoun saran untuk perbaikan penelitian lebih lanjut.

Hasil penelitian telah dipublikasikan dalam bentuk policy brief dengan harapan hasil penelitian dapat dibaca oleh pengambil kebujjakan secara cepat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kelemahan sistem pada era JKN. Seperti masalah yang timbul saat ini yakni tentang mutu pelayanan dianggap turun karena sistem pembayaran INA CBG,s. Sering terjadi perbedaan persepsi antara verifikator BPJS dengan dokter di rumah sakit tentang standar prosedur yang diberikan pada pasien.

Pada sesi paralel dengan pokja MUTU, dua peneliti yakni Eva Tirtabayu hasri dan Nur Arifah membahas tentang fraud dalam layanan kesehatan. Fridawaty Rivai membahas tentang keselamatan pasien yang dihubungkan dengan kepemimpinan, komunikasi, dan supervisi. Noer Bahry Noor membahas tentang kepuasan pasien di RS Stella Maris Makassar dan Muhammad Hardantio membahas tentang sistem rujukan di DKI.
Hasil penelitian kelima peneliiti mengidentifikasi adanya continous quality improvement yang dilakukan pada sistem JKN di Indonesia, ini adalah angin segar bagi pemerintah bahwa peneiiti Indonesia peduli dan mendukung tercapainya universal health coverage tahun 2019.

List presentasi dan policy brief

reporter: Elisa Sulistyaningrum

Gizi, Kebijakan Rokok, dan Penyakit tidak menular


Perbaikan Gizi ibu dan anak dalam pencapaian target MDGs 4 dan MDGs 5

Gizi dalam siklus kehidupan memegang peranan penting, terutama dalam menekan angka kematian ibu dan bayi. Gizi yang baik selama kehamilan akan berpengaruh kepada pertumbuhan janin dan bayi setelah lahir. Gizi salah selama kehamilan akan memberikan pengaruh negatif bahkan konsekuensi jangka panjang terhadap bayi yang dilahirkan. Apabila gizi ibu selama kehamilan baik, maka akan membantu dalam menekan angka kematian ibu dan bayi dan bisa membantu pencapaian target MDGs 4 dan 5.

Ada tiga policy brief yang di presentasikan dalam pokja gizi masyarakat. Dua presntator dari Fakultas Kedokteran UGM dan satu dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Moderator dalam diskusi ini yaitu Prof. Dr. dr Indrawati Liputa, Sp Gk, Phd. Dalam presentasi dan diskusi ini dibahas beberapa tema diantaranya yaitu hubungan obesitas prakehamilan dengan kejadian preklampsia pada ibu hamil. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari rekam medis rumah sakit dan menanyakan langsung berat badan serta tinggi badan kepada responden. Hasilnya angka kematian ibu di daerah magelang masih tergolong tinggi, dengan sebagian kasud adalah preeklampsia.

Selanjutnya presentator kedua menyampaikan presentasi mengenai hubungan sisa makan pasien dengan pembiayaan rawat inap. Pengukuran sisa makanan dilakuka dengan metode penimbangan sisa makanan. Semakin banyak sisa makanan pasien, mengakibatkan Lama rawat inap semakin bertambah dan kerugian pun akan terjadi pada rumah sakit dan pasien tersebut.

Pada akhir sesi ini ditutup dengan penyampaian materi mengenai penggunaan data AMP untuk penguatan kebijakan gizi di Kabupaten Sumba Timur. Angka kematian ibu dan bayi di kabupaten Sumba Timur tergolong tinggi. Penyebab kematian tertinggi neonatus di Kabupaten Sumba Timur adalah Berat Badan lahir rendah (BBLR) dan asfiksia (70,7%), dengan kematian tertinggi terjadi pada 0-48 jam pasca persalinan. Bila dtelusur ternyata penyebabnya adalah karena status gizi ibu kurang selama kehamilan. Berat badan sebagai salah satu komponen status gizi yang berkorelasi linier dengan status gizi ibu (berdasarkan IMT) merupakan faktor prenatal yang sangat menentukan status gizi bayi. Kejadian ini mengharapkan pemerintah pusat dan daerah lebih memperhatikan kepada peningkatan gizi ibu hamil. Guna menekan angka kematian ibu dan bayi serta untuk membantu pencapaian target MDGs 4 dan 5.

List presentasi dan policy brief

Reporter : Elisa Sulistyaningrum

Kelompok Penanggulangan Bencana


24ags-bcnTahun 2015 ini, untuk pertama kalinya Pokja Penanggulangan Bencana membuka kajian dalam forum Kebijakan Kesehatan Indonesia. Pada kelas paralel Pokja Penanggulangan Bencana ini membahas tentang kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Pada sesi ini menghadirkan 3 pembicara yaitu dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, UNFPA dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat.

Pembicara pertama pada sesi ini adalah dr Indro Murwoko, Kepala Bidang Tanggap Darurat dan Pemulihan, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Dalam pemaparannya dr. Indro menyampaikan bahwa ada perubahan paradigma dalam manajemen bencana di Indonesia yang semula fokus pada tanggap darurat, sekarang ini sudah menitikberatkan pada pengurangan risiko bencana pada fase pra bencana. Untuk mengurangi risiko bencana, maka perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan kebijakan. Kelembagaan dan kebijakan dalam penanggulangan bencana dilaksanakan melalui pembuatan perda terkait penanggulangan bencana, pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana, seperti dibentuknya pusat penanggulangan krisis kesehatan regional , mengintegrasikan penanggulangan bencana dalam pembangunan daerah, serta penganggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.

Pembicara kedua pada sesi ini adalah dr. Rosilawati Anggraini dari UNFPA. Beliau membahas tentang kebijakan dan implementasi kesehatan reproduksi pada saat bencana. Dalam pemaparannya dr. yang akrab disapa dr. Rosi ini menyampaikan pentingnya isu kesehatan reprosuksi pada saat bencana. Saat ini, belum banyak yang memberikan perhatian pada kesehatan reproduksi pada saat bencana. Mengapa kesehatan reproduksi menjadi penting pada saat bencana? Pertama adanya peningkatan kekerasan seksual akibat situasi krisis, adanya risiko peningkatan penularan HIV pada kepadatan penduduk yang tinggi dan kurangnya layananan keluarga berencana dapat meningkatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Implementasi pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana dilaksanakan melalui paket pelayanan awal minimum (PPAM) kesehatan reproduksi pada saat awal bencana.

Sesi ke 3 Dr. dr Irene, MKM, menyampaikan tentang kebijakan dan pengalaman penanggulangan bencana krisis kesehatan di Provinsi Sumatera Barat. Beliau menyampaikan Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang rawan bencana. Kebijakan Penanggulangan Bencana di Provinsi Sumatera Barat dilaksanakan dengan mengerahkan semua sumber daya yang ada, mengkoordinasikan kegiatan penanganan bencana yang dilakukan berbagai lembaga pemerintah, swasta dan relawan, merealisasikan prosedur tetap yang dibuat sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami dan manajemen bantuan satu pintu. Pemerintah Daerah sudah membuat koordinasi lintas sektor. Dr Irene menceritakan bagaimana pengalaman penanggulangan bencana di Mentawai. Pada saat itu, hampir semua fasilitas layanan kesehatan hancur. Dinkes Provinsi Sumbar menetapkan 3 rumah sakit rujukan, RSUD Tuapejat, RS dr. M Jamil dan RSUD Muko-muko. Akan tetapi Rumah sakit rujukan tersebut tidak bisa berjalan dikarenakan masalah operasional, maka disinilah pentingnya fungsi komando dan pada saat itu dan dibuatlah rumah sakit lapangan untuk mengatasi masalah tersebut.

list presentasi dan policy brief

Reporter : Oktomi Wijaya

Kelompok HIV / AIDS


Sesi I dari Pokja HIV dan AIDS kali ini membahas tentang ‘Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan untuk Mendukung Pencapaian UHC 2019’. Sesi ini dipimpin oleh dr. Juliandi Harahap sebagai moderator dan tiga materi terkait tema diatas akan dibawakan oleh tim peneliti dari PKMK UGM yaitu M. Suharni, Ign.Hersumpana dan Chrysant Lily. Sesi I ini dihadiri sekitar 47 peserta dengan latar belakang yang cukup bervariasi mulai dari perwakilan LSM local, pemangku kepentingan dan juga dari akademisi.

Sesi ini dibagi menjadi dua dimana 45 menit pertama adalah sesi presentasi oleh para pemateri dan sesi berikutnya selama 45 menit dilanjutkan dengan diskusi. Presentasi pertama oleh M. Suharni dengan topik ‘Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional’ yang menyampaikan hasil penelitian kerjasama antara PKMK FK UGM dengan DFAT yang merupakan penelitian multi center melibatkan 10 universitas di enam provinsi. Penelitian ini membahas tentang bagaimana integrasi antara program HIV dan AIDS dengan sistem kesehatan yang berjalan saat ini dan seperti apa efektifitasnya. Hasil yang ditunjukkan adalah tingkat integrasi belum menunjukkan hubungan yang kuat dengan efektifitas, hal ini dikarenakan integrasi sistem kesehatan sangat komplek dan dipengaruhi oleh banyak factor.

Topik kedua adalah ‘Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV – IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang’ yang disampaikan oleh Ign. Hersumpana. Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara PKMK FK UGM dengan Kemenkes yang dimaksudkan untuk melihat bagaimana pelaksanaan LKB di kedua kota serta bagaimana intervensi dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan LKB di kedua kota tersebut. Hasil menunjukkan adanya perubahan kearah yang lebih baik di keduan kota tersebut setelah dilakukan intervensi (peningkatan koordinasi dan kapasitas teknis). Penelitian ini menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan LKB.

Topik terakhir disampaikan oleh Chrysant Lily yang membahas tentang ‘Tinjauan Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Disini dibahas pemetaan dari OMS/OBK yang bekerja di penanggulangan HIV dan AIDS serta bagaimana efektifitas kerja dari OMS/OBK ini. Disampaikan juga beberapa rekomendasi untuk meningkatkan optimalisasi kerja sektor komunitas untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Ketiga topik yang disampaikan pada dasarnya saling berkaitan mulai dari bagaimana integrasi kebijakan sampai pada implementasi pelayanan di lapangan baik di sektor komunitas maupun layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit.

Sesi diskusi berjalan cukup menarik dilihat dari respon dari peserta yang cukup banyak, meskipun tidak bisa semua pertanyaan dapat dibahas dan didiskusikan karena keterbatasan waktu. Pertanyaan yang diajukan meliputi ketiga topik yang dibahas dan dikaitkan dengan kondisi lapangan yang di hadapi oleh para peserta. Beberapa alternatif dan solusi juga didiskusikan dalam sesi ini. Diharapkan diskusi ini dapat memberika n tambahan wawasan khususnya terkait dengan upaya mendukung UHC 2019 (ip).

List presentasi

 

 

Sesi Paralel, 25 Agustus 2015

25ags-fktp

Kelompok Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


25ags-fktp

Fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan sistem kesehatan di negeri ini. Perannya menjadi sangat sentral di masyarakat dalam menciptakan masyarakat yang sehat dan mandiri. Bukan hanya upaya kuratif dan rehabilitatif yang terus dilakukan namun juga upaya promotif dan preventif juga harus terus didorong untuk dikesinambungkan.

Pada pembicara pertama di sesi ini oleh Mariati Rahmat, SKM., MPH memaparkan hasil penelitiannya yang dilaksanakan di Kab. Sinjai Pov. Sulawesi Selatan tentang peran Posbindu di Desa dalam pengendalian faktor resiko penyakit tidak menular dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahannya. Beliau memberikan penekanan bahwa ada penghematan anggaran yang jauh lebih murah pada proses intervensi di Posbindu daripada biaya yang mesti dikeluarkan setelah terpapar penyakit tidak menular.

Pembicara selanjutnya oleh Tri Astuti Sugiyatmi membahas tentang perlunya evaluasi kebijakan pemerintah tentang layanan puskesmas 24 jam di Kota Tarakan Prov. Kalimantan Utara. Di wilayah tersebut terdapat 3 dari 7 puskesmas yang telah memberikan layanan 24 jam dengan berbagai variasi. Layanan ini bukan hanya untuk UGD namun juga berlaku bagi poliklinik. Pelayanan 24 jam ini sangat menyita waktu para tenaga kesehatan ke program-program UKP sehingga upaya promotif dan preventif cenderung terabaikan. Dalam sesi diskusi tersampaikan bahwa kebijakan layanan puskesmas 24 jam ini lebih cocok di perkotaan namun dipertanyakan bagaimana sisi keadilannya di pedesaan.

dr. Suryani Yulianti, M.Kes melanjutkan topik tentang gambaran pelaksanaan pelayanan BPJS kesehatan di FKTP Kota Semarang Prov. Jawa Tengah. Pengumpulan data diambil melalui proses observasi dan wawancara terhadap 20 dokter dan 100 pasien yang sedang memeriksakan dirinya atau keluarganya di FKTP. Hasilnya menegaskan bahwa pelaksanaan BPJS kesehatan oleh FKTP sudah dilaksanakan secara komprehensive dan sesuai ketentuan serta dianggap memberikan manfaat baik bagi pasien maupun dokter pemberi layanan.

Pembicara terakhir oleh Budi Eko Siswoyo, SKM., MPH membahas tentang alokasi dan pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas perawatan dan non perawatan di Kab. Ngada Prov. Nusa Tenggara Timur. Disampaikan bahwa alokasi kapitasi puskesmas perawatan lebih besar dari puskesmas non perawatan dengan rerata pemanfaatan jasa pelayanan sebesar 60% dan belanja modal justru menjadi biaya operasional paling tinggi. Studi ini menemukan adanya subsidi silang antar puskesmas dalam pemanfaatan dana kapitasi namun belum terlihat indikasi subsidi terbalik dalam pola utilisasi di puskesmas, hal ini memerlukan kajian lebih lanjut. Harapannya peningkatan dana kapitasi diiringi dengan tidak menurunnya anggaran kesehatan daerah dan dukungan regulasi dari daerah dalam perencanaan dan penganggaran sesuai kebutuhan.

list presentasi dan policy brief

 

Reportase: Surahmansah Said

Kelompok JKN


25ags-nuzulSelain terdapat pokja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pada Forum Kebijakan Kesehatan Nasional (FKKI) VI tahun 2015 kali ini terdapat kelompok kerja yang berfokus pada pembiayaan kesehatan.Diskusi paralel pokja yang diselenggarakan sore di hari kedua ini (25 Agustus 2015) diisi oleh dua pemateri yang masing-masing memiliki topik spesifik.

Materi pertama adalah penelitian normatif terhadap Permenkes 11/ 2015 yang dinilai kurang sinergis dengan Permenkes 75/ 2014 dalam penggunaan bantuan operasional kesehatan (BOK) untuk kegiatan kesehatan gigi berbasis masyarakat. Penurunan capaian indikator status kesehatan gigi (Riskesdas 2007-2013) dinilai belum menjadi urgensi dalam pembiayaan kesehatan.Menurut beliau, adanya asas Lex Posterior Derogat Legi Priori secara hukum membuat peraturan lama secara otomatis tidak berlaku.

Sebagai pemateri kedua, Ibu Nuzulul Kusuma Putri (FKM Unair) menganalisis inefisiensi pengeluaran kesehatan keluarga mahasiswa di era JKN.Keengganan mahasiswa yang menjadi peserta JKN untuk pindah FKTP menunjukkan risiko out of pocket, sementara pihak universitas hanya menanggung biaya rawat jalan yang ditangani di klinik universitas. Salah satu alternatif solusi yang beliau sarankan adalah memperbaiki mekanisme portabilitas dalam program JKN.

25ags-yanuPada sesi diskusi, Bapak Deni dari Dinas Kesehatan Lima Puluh Kota menyatakan bahwa kurang optimalnya pembiayaan untuk kegiatan kesehatan gigi kemungkinan karena program ini dinilai kurang prioritas diantara program promosi dan pelayanan kesehatan dasar yang lainnya. Prof. Laksono juga menegaskan bahwa kesehatan gigi memang sangat erat kaitannya dengan perilaku kesehatan masing-masing individu. Peran advokasi, terutama PDGI sanngat penting dalam menyuarakan pentingnya dukungan pembiayaan pada program kesehatan gigi berbasis masyarakat. Sependapat dengan pendapat beliau, ibu Erna juga menambahkan bahwa adanya Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat menjadi wadah kelompok kerja untuk advokasi, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

list presentasi dan policy brief

 

Reporter : BES

Kelompok Kesehatan Ibu dan Anak


25ags-kia

Sesi paralel POKJA KIA ke-2 ini dimoderatori oleh Prof. DR. dr. Menkher Manjas SpB, SpBO, FICS dari Universitas Andalas. Di dalam sesi ini terdapat empat presentasi yang disampaikan, yaitu:

  1. Perluasan Kemitraan Menuju Pengembangan Kebijakan dan Program Kesehatan Berkeadilan oleh UNICEF yang diwakili Budi Setiawan.
    Bahasan ini menyoroti tentang masalah Angka Kematian Anak (AKA) yang mengalami stagnasi cakupan intervensi. Hal ini disebabkan karena intervensi yang tidak menyasar kepada pihak yang membutuhkan. Intervensi yang dilakukan terbukti hanya berhasil sebesar 50% dan masih ada isyu yang tidak menjadi perhatian seperti indoor polusi. Permasalahan ini membuat UNICEF melakukan upaya perbaikan di level outcome. Level perubahan yang ditawarkan yaitu melalui dikembangkannya budaya penggunaan data yang masih belum banyak terjadi, akuntabilitas dalam hasilnya karena belum pernah ada kepala daerah yang dipecat karena AKB di daerahnya mengalami peningkatan, dan implementasi yang lebih ditingkatkan karena masih jarang adanya hasil implementasi antara stakeholder. Di dalam level perubahan ini diharapkan akademisi berpartisipasi untuk melaksanakan program dan melakukan evaluasinya. UNICEF juga melihat bahwa otonomi daerah yang sering disalahkan bisa dijadikan titik terang untuk dijadikan sebagai alat pembuatankebijakan di daerah. Keterlibatan akademisi untuk melakukan advokasi dan keterlibatan aktif pemangku kebijakan juga diperlukan disini. Maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah adanya dukungan pengembangan program yang dimulai dari evaluasi, penyederhanaan tujuan kebijakan yang kompleks agar mudah dipahami dan adanya promoteownership.
  2. Tata Kelola Kemitraan Bidan dan Dukun di Aceh Singkil oleh USAID yang diwakili Dr. Marcia Soumokil, MPH
    Diawali dari fakta bahwa masyarakat lebih mempercayai dukun dibandingkan dengan bidan di Aceh Singkil. Selain itu, gap yang terjadi adalah asal bidan yang tidak berasal dari Aceh sehingga masyarakat sulit memahami penjelasan yang diberikan. Walaupun program ini memang sudah pernah diinisiasi oleh UNICEF dan Kemenkes tetapi program yang dilakukan oleh USAID ini terdapat perbedaan. Perbedaannya yaitu, USAID mendorong Peraturan Bupatisebagai payung hukum untuk persalinan aman. Kegiatan ini juga mengajak stakeholder lain, seperti camat dan kepala desa.Selain itu, juga didorong adanya sistem intensif yang kuat dan memadai. Hal ini dilakukan agar dukun mau terlibat secara aktif dan tidak kehilangan pekerjaannya. Intensif yang diberikan berasal dari desa dan bidan. Desa memberikan uang sebesar 50.000 per tahun yang diambil dari ADD dan bidan memberikan uang sebesar 50.000 untuk setiap kasus yang dirujuk oleh dukun yang diambil dari uang BPJSnya . Kegiatan kemitraan antara bidan dan dukung ini akan diawasi oleh komite kesehatan di kecamatan. Program ini pun memperlihatkan efek yang positif, yaitu tingkat kepercayaan antara bidan dan dukun meningkat, kerjasama dan pembagian tugas yang jelas, bidan cepat mengetahui kasus kehamilan baru, dan kesadaran masyarakat terhadap persalinan yang aman semakin tinggi. Satu hal yang menarik adalah angka kematian ibu yang meningkat. Hal ini diduga karena sistem yang berjalan membuat pelaporan datanya menjadi lebih bagus sehingga data yang dicatat menjadi lebih banyak dan akurasinya menjadi meningkat.
  3. Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Bidan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Revolusi KIA di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Elizabeth E. Wungouw
    Permasalahan yang terjadi adalah munculnya PERGU No.42 tentang Revolusi KIA. Salah satu kegiatan di revolusi KIA ini adalah mengharuskan semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan perlu diketahuinya tingkat pengetahuan dan keterampilan bidan, khususnya bidan koordinator yang menjadi tumpuan dalam pelaksanaan persalinan ini. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan pre test dan post test. Hasil dari penelitian ini adalah pengetahuan yang dimiliki mengalami peningkatan sedangkan keterampilan tidak mengalami perubahan yang berarti. Padahal hasil yang diharapkan adalah pengetahuan dan keterampilan bidan koordinator bisa meningkat sehingga bisa ditularkan pada bidan yang ada. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah adanya reevaluasi pengetahuan dan keterampilan bidan koordinator, perlu adanya pelatihan, dan regular seleksi, kriteria, dan penunjukkan bidan koordinator.
  4. Penguatan Sistem Monitoring Desentralisasi untuk Proyek Program Keluarga Berencana di Indonesia: Hasil dari Penilaian Awal oleh Tiara Marthias
    Diawali dari permasalahan angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR) yang tidak mengalami perubahan dan angka Total Fertility Rate (TFR) yang meningkat. Selain itu, ditambah dengan adanya sistem desentralisasi yang mempengaruhi sistem kerja BKKBN. Maka penelitian ini bertujuan untuk memperkuat sistem evaluasi dan monitoring program KB di era desentralisasi. Program ini akan dilaksanakan dari tahun 2015 – 2017 dan dilakukan di 4 provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, program di DKI Jakarta belum dapat dilaksanakan karena masih ada kendala dengan BKKBN Provinsi. Penelitian ini ingin melihat mengenai kualitas data, aksesibilitas data, penggunaan data, dan teknologi informasi. Hasil dari kajian ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan keperluan akan data. Hal ini terlihat di level atas yang melakukan transaksi data jika ada permintaan terlebih dahulu.Selain itu, adanya perbedaan laporan data yang ditujukan kepada Kementerian dan BKKBN. Terdapat juga kendala yang dialami oleh pelaku pencatat dan pelapor program KB, seperti kader yang memiliki berbagai formulir yang harus diisi, adanya perbedaan defisini antara Kementerian Kesehatan dan BKKBN terhadap indikator padahal responden yang dicatat adalah sama, dan jumlah PLKB yang semakin berkurang. Penggunaan data yang dilakukan terhadap keperluan perencanaan, penganggaran dan advokasi pun masih terbatas. Untuk sistem informasi diketahui bahwa di puskesmas paling tidak terdapat 4 aplikasi yang harus di jalankan padahal data yang dimasukkan sama saja. Rekomendasi yang diberikan adalah perbaikan kualitas pencatatan dan pelaporan, peningkatan sistem koordinasi dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pihak penggunaan data dan perlu adanya integrasi antar level.

list presentasi dan policy brief

 

Reporter: Theresia Pratiwi 

Pengembangan Kurikulum Bencana Kesehatan di Indonesia


25ags-bcnKeterlibatan yang pertama Pokja Penanggulangan Bencana dalam Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia, dimanfaatkan oleh Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK UGM sebagai penyelenggara untuk menginisiasi terbentuknya forum perguruan tinggi kesehatan untuk penanggulangan bencana di Indonesia. Untuk itu, hari kedua ini khusus membahas mengenai kurikulum bencana kesehatan di FK dan FKM. FK diwakili oleh FK UGM dan FKM diwakili oleh FKM Universitas Andalas.

Bapak Adzka, menjelaskan mengenai perkembangan pembelajaran bencana untuk mahasiswa kesehatan masyarakat. Tema-tema perkuliahan yang dikembangkan didasarkan pada pentingnya keterlibatan tenaga kesehatan masyarakat dalam respon bencana. kedepannya, materi-materi perkuliahan ini akan dikembangkan menjadi sertifikasi bagi mahasiswa yang memungkinkan mereka mampu bekerja dalam ranah ini, begitu ungkap beliau harapannya.

Kemudian, paparan Ibu Bella sedikit menyinggung untuk perkembangan dan proses standarisasi kurikulum pendidikan bencana kesehatan di dunia. Pendidikan bencana di fakultas kedokteran belum terintegrasi selama empat tahun pembelajaran, dikembangkan secara elektif, dan masih dibangun berdasarkan pendapat umum dan pengalaman. Beliau memaparkan mengenai proses pembelajaran manajemen bencana kesehatan di FK UGM.

Sesi diskusi, memang pada umumnya masing-masing fakultas menganggap materi yang diberikan dianggap penting dan kadang juga didasarkan pada pengalaman bencana di daerah. Ini tantangan, bagaimana akhirnya kurikulum ini bisa menjadi standard. Selain itu, bagaimana juga mahasiswa kesehatan ini dapat menangkap mengenai pembelajaran ini, perlu kita mendapat masukan dari penanggulangan bencana kesehatan salama ini, misalnya bagaimana melaksanakan kegiatan dengan tenaga medis yang sedikit. Begitu juga dengan kesiapsiagaan, harapannya dari pendidikan bencana di perguruan tinggi kesehatan ini dapat meningkatkan kesiapsiagaan calon tenaga kesehatan kita.

Sesi selanjutnya adalah presentasi oral. Dua peserta dari FK UGM dan FK Brawijaya. Menarik presentasi dari FK UGM mengenai penelitian kesiapsiagaan daerah di sector kesehatan untuk menghadapi bencana di Aceh Timur. Presentasi kedua mengenai kurikulum bencana di pendidikan kedokteran mengenai bencana. Masukkan untuk keduanya disampaikan oleh audiens adalah mengenai pengukuran dan pendidikan kebencanaan juga yang melihatkan masyarakat.

Kelas ini ditutup dengan rekomendasi dari seluruh pihak untuk kedepannya membentuk forum atau kelompok bencana kesehatan baik dari sisi pengembangan kurikulumnya dan dari masyarakat praktis yang membutuhkan informasi kebencanaan kesehatan di instansi masing-masing.

Selamat berjumpa kembali di kelas Pokja Penanggulangan Bencana tahun 2016 di Makassar.

list presentasi dan policy brief

 

Reporter: Madelina Ariani

Kelompok HIV / AIDS


Pembicara pertama memulai penelitiannya ketika melihat adanya fenomena ODHA yang belum mau memulai terapi ARV meski jumlah CD4 sudah memenuhi syarat. Penelitian yang dilakukan di RS.Labuang Baji kota Makassar memberikan hasil bahwa keputusan untuk tidak memulai terapi lebih disebabkan oleh rasa takut akan efek samping. Sebagai kota besar di bagian timur di Indonesia, Makassar juga menanggung risiko akan besarnya peluang peredaran narkotika. Sudirman Nasir melakukan sebuat studi etnografi pada pecandu narkotika suntik di slum area kota ini. Dengan melihat aspek social capital dari kelompok ini, ditemukan bahwa unemploymentmenjadi sebuah konteks sosial bagi sebagian besar pengguna narkotika yang menjadikan mereka berhubungan dengan kegiatan yang ilegal. Selain itu unsur masculinity atau konsep rewa pada suku bugis makassar juga menjadi faktor anak laki-laki untuk membutikan kelaki‐lakiannya dengan cara yang berisiko. Laju inisiasi dari ‘penggunaan’ menuju ‘ketergantungan’ menjadi lebih cepat di kalangan pengguna narkotika laki-laki.

Interaksi dengan sesama penganggur, pengguna narkotika dan juga melakukan perilaku berisiko yakni menggunakan jarum suntik bergantian, menimbulkan hambatan tersendiri bagi kelompok ini untuk keluar dari masalah narkotika.

Penularan HIV melalui transmisi seksual juga menjadi faktor cukup tinggi dalam kontribusinya meningkatkan angka kasus. Tingginya kasus IMS di Mataram menuntut kreatifitas dinas kesehatan dalam menentukan strategi penanggulangannya. Program yang lebih banyak menyasar pada WPS langsung menjadikan keberadaan WPS tidak langsung tidak menjadi perhatian. Studi pada kelompok wanita penjaja seks tidak langsung di kota ini menunjukkan bahwa rendahnya konsistensi penggunaan kondom dan jumlah pelanggan yang dilayani berkontribusi terhadap tingginya kasus infeksi menular seksual. Dari 66 responden yang diteliti, 12% berstatus menikah. Ini bisa menjadi situasi yang demikian pelik ketika kemudian ditularkan kepada pasangannya. Kejadian IMS pada perempuan juga menjadi faktor risiko bagi kegagalan kehamilan bahkan kemandulan.

Meskipun kasus HIV semakin berkembang dalan segi jumlah, namun program penanggulangannya juga mengalami kemajuan yang sangat baik. Salah satunya adalah adanya program kolaborasi TB-­‐HIV. BKPM Semarang yang memberikan layanan bagi pengobatan TB juga aktif melakukan pemeriksaan HIV pada pasiennya. Keberadaan petugas menelan obat (PMO) bagi pasien TB diharapkan agar PMO juga memberikan dukungan bagi ODHA untuk patuh menjalani terapi antiretroviral. Tetapi pada prakteknya kegagalan dalam terapi ARV (ketidak patuhan) justru terjadi pada ODHA yang memiliki PMO. Hal ini dikarenakan PMO biasanya hanya aktif dan memberikan dukungan optimal ketika pasien berada pada tahap awal pengobatannya saja.

Strategi lain dalam upaya penanggulangan HIV dilakukan pada salah satu rumah tahanan di Jakarta. Minimnya tenaga kesehatan maupun tenaga rutan dalam hal perawatan tahanan menjadikan kondisi tahanan semakin memburuk. Hal ini terutama pada mereka yang mengalami gangguan kesehatan dan membutuhkan pertolongan dalam melakukan perawatan diri (higiene perorangan) sehari‐hari. Rumah tahanan ini kemudian melakukan pelatihan kepada 12 tamping (tahanan pendamping) agar dapat melakukan perawatan kepada tahanan. Ketrampilan yang diberikan meliputi perawatan higiene hingga perawatan bagi jenazah. Rutan ini juga melibatkan spesialis jiwa dan psikolog untuk menumbuhkan kesadaran akan kepedulian kepada sesama tahanan dan memberikan penguatan selama mereka menjadi tamping.

Keberlanjutan program penanggulangan HIV sangatlah ditunjang dengan sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan juga peduli terhadap masalah ini. Khusus di layanan kesehatan yang banyak melakukan kegiatan perawatan,dukungan dan pengobatan (PDP), mengalami penambahan beban kerja tanpa diikuti dengan tersedianya insentif. Kota Medan mengimplementasi program ini dan menemukan bahwa aspek kepedulian dan kerelawanan dari petugas sangat menunjang kemajuan program penaggulangan HIV di Medan. Meskipun masih ada beberapa yang mendapatkan insentif dari global fund, namun isu akan berakhirnya pendanaan dari GF tidak mengurangi kepedulian mereka. SDM dari lembaga non pemerintah yakni LSM juga turut berperan aktif baik dalam upaya promotif maupun rehabilitatif, seperti dukungan sebaya. Menjadi bagian dari mereka yang terdampak HIV, menjadikan motivasi dan peran SDM dari kelompok LSM lebih baik daripada lembaga lainnya.

list presentasi

 

Reportase 24 Agustus 2014

Symposium 19


Understanding medical practice law in Indonesia

Gunawan Widjaja

Tidak ada definisi yang jelas mengenai medical malpractice (MM). Hal yang mendasari hukum kesehatan di Indonesia adalah prinsip bioetik, patient safety dan informed consent.

Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan kontekstual yang didasarkan pada informed consent. Oleh karena itu, hukum yang terkait adalah hukum yang terkait dengan hubungan kontraktual. Kesalahan yang sering terjadi adalah malpraktek dianggap sebagai kasus kriminal.
Fiduciary duty mengharuskan dokter utk memiliki kompetensi dan mengikuti standar pelayanan medis dan memberikan komunikasi yang baik.
Penyelesaian sengketa medis akibat malpractice bisa dilakukan diluar sidang dengan mediasi atau arbitrasi.

 

Symposium 23


Hak Reproduksi Perempuan dan Kebijakan Pengendalian Populasi

Dr Fasli Djalal

Populasi dunia akan terus bertambah namun diperkirakan kecepatan pertumbuhan indonesia akan melambat. Sebelum ada program KB, diperkirakan pada tahun 2010 penduduk indonesia akan menjadi 340 juta, tetapi sensus tahun 2010 menunjukkan hanya terdapat 238 juta penduduk. Melihat perkembangan ini, program KB ternyata bisa menurunkan pertambahan penduduk sampai 100 juta lebih. Diperkirakan jika program KB terus berhasil, maka pada tahun 2035 diperkirakan penduduk indonesia akan menjadi 305 juta jiwa. Jika tidak berhasil, maka akan menjadi 345 juta jiwa, rasio ketergantungan penduduk juga akan berkurang. Diperkirakan pada tahun 2020-2030 angka ketergantungan penduduk akan mencapai di bawah 50 (44) yang disebut dengan bonus ketergantungan penduduk / windows of opportunity yang biasanya berlangsung selama 10 tahun. Namun, sayangnya karena diperkirakan program KB tidak akan berhasil, maka periode bonus demografi ini hanya berlangsung selama empat tahun.

 

Untuk menghadapi hal ini kita harus meningkatkan kesehatan remaja. Mengapa ini penting? Kecenderungannya karena semakin banyak remaja muda yang sudah hamil dan mempunyai anak. Survei pada remaja lulusan SD, 97% menyebutkan bahwa hubungan seksual jika hanya satu kali saja tidak akan menyebabkan kehamilan. Kabar lainnya ialah angka kematian ibu (AKI) sempat menurun sampai 228 tetapi naik lagi sampai ke 358 pada survei SDKI terakhir. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan lagi edukasi dan perlindungan terhadap12 hak reproduksi kepada anak anak muda kita.

 

 

Symposium 40


Aspek hukum dalam tindakan medik dalam praktik keperawatan

Dr M. Fakih, SH, MH

 

Di RS yang paling sibuk adalah perawat, dan seringkali sulit dibedakan antara perawat dan dokter. Peran perawat sudah bergeser karena sekarang perawat dapat memberikan pengobatan.
Permasalahan dalam praktik keperawatan:
Jumlah tenaga dokter yang terbatas di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas. Faktor geografis dan penyebaran tenaga medis juga mempengaruhi. Di daerah, perawat bisa melayani pasien yang sangat banyak, bisa memasang plang praktek dan memberikan tindakan medik. Perawat diijinkan untuk melakukan tindakan medik dengan syarat dalam keadaan darurat untuk.menyelamatkan nyawa pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian. Dalam melaksanakan yankes di luar kewenangan harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kegawatdaruratan dan harus dipertimbangkan untuk.dirujuk ke faskes lain.

 

Tindakan perawat di RS perlu arahan dokter untuk menangani diagnosis medis, dan sebagai peserta dalam transaksi terapetik dokter-pasien. Dalam hal.ini, perawat tidak bisa dituntut. Informed consent seharusnya dilakukan oleh dokter, dan seringkali diserahkan pada perawat, padahal perawat fungsinya hanya sebagai saksi.

 

Dalam Permenkes 2052/2011 dokter dapat melakukan pelimpahan medis pada perawat. Tindakan pelimpahan tersebut tetap di bawah pengawasan dokter dan tidak termasuk pengambilan keputusan klinis. Perawat di RS pemerintah diatur dalam.UU Pemerintahan dan Perawat diatur dengan UU Perdata.

 

Kedudukan dokter dan perawat dalam medik tidak seimbang, tetapi dalam hukum kedudukan dokter dan perawat seimbang.

 

 

Symposium 40


Masalah Mens Rea Dalam Tindak Pidana Medik

Kealpaan/kelalaian adalah tindakan medis yang dilakukan tidak sesuai standar profesi medis dan harus merupakan culpa lata atau kelalaian yang sangat berat atau ada hubungannya dengan kematian.
Alat bukti dalam hukum acara pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Polisi bekerja dengan presumption of guilty sehingga sulit dilakukan mediasi. Kesalahan kedua, definisi penyidikan adalah membuat terang tindak pidana, tetapi pada prosesnya ada proses pembuktian yang dilakukan oleh polisi. Oleh karena itu, biasanya berkas acara pemeriksaan (BAP) itu sangat tebal. Seharusnya proses pembuktian dilakukan dalam pengadilan dan hakim membuktikan, tidak perlu dibuktikan oleh polisi. Karena beban kerjanya berat, akibatnya angka penyelesaian masalah oleh polisi rendah, sekitar 40-50%.

 

Kealpaan tidak memerlukan mens rea kecuali tindak pidana yang dilakukan dengan kesengajaan. Dibutuhkan SDM kepolisian yang memiliki pendidikan medical law, saksi ahli yang fair dan independen. Untuk itu, diperlukan pembaharuan Undang-Undang dan ini merupakan proses yang rumit dan panjang. Mungkin yang lebih mudah dan cepat adalah mendorong kepolisian untuk memberikan sertifikasi medical law pada polisi.
Kesimpulannya, mens rea tidak diperlukan dalam pembuktian tindakan hukum medic.

 

 

Symposium 41


Peranan Media Massa dalam Penanganan Sengketa Media.

Drs. Edi Saputra Hasibuan, SH

 

Fakta yang sering terjadi, paparan media massa tentang laporan sengketa dengan pasien sering tidak akurat padahal beritanya sangat mempengaruhi opini publik dan mempengaruhi citra rumah sakit. Hal unik yang mungkin belum diketahui masyarakat ialah prinsip media massa bad news is a good news. Seringkali pengaduan masyarakat dipublikasikan tanpa konfirmasi dan tanpa didukung informasi yang berimbang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencegah pemberitaan yang salah oleh media supaya tidak ada pihak yang dirugikan.

Kasus malpraktek yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya sampai 2014 ada 490 kasus, namun sayang tidak jelas berapa yang diselesaikan. Mungkin karena sebagian besar diselesaikan secara mediasi, dan memang sebaiknya RS berusaha untuk menyelesaikan secara mediasi. Kesulitan dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi adalah masalah pembuktian. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih sering melaporkan ke kantor polisi dan bukannya ke MKEK.

 

{jcomments on}

World Congress on Medical Law – 22 Agustus 2014

22ags

22ags

Opening ceremony 20th WCML 2014 Nusa Dua Bali Indonesia dibuka oleh Thomas Noguchi, President of The WAML Executive Committe dan dilanjutkan sambutan oleh Vice President Forum 20th WCML yaitu Nasser Muhammad. Kegiatan WCML ke-20 ini terbagi dalam 3 simposium. Simposium hari pertama sesi pukul 09.30-11.30 WIB memuat topik antara lain:

  • Simposium 1: Medical Negligence and Doctors Autonomy (Room Nusa Dua I)
  • Simposium 2: Right to Die Right to Life (Room Nusa Dua II)
  • Simposium 3: Medikocal Ethics Research (Room Uluwatu I)

Symposium I


menghadirkan beberapa pembicara, antara lain:

Poin penting paparan Jery:
Jery mengangkat topik presentasi bertolak dari kasus dr. Ayu dkk, dimana ada peninjauan kembali dan novum untuk membebaskan dr. Ayu. Novum dibutuhkan sebagai bentuk adanya penolakan dari putusan yang sudah ada. Di Indonesi,a institusi yang berwenang dalam membuat Peninjauan Kembali (PK) terletak pada kewenangan Supreme Court (MA). Selama ini, perbuatan kelalaian yang dilakukan olh praktisi kesehatan selalu didasarkan pada KUHP, terutama dengan melihat dasarnya pada Pasal 359 KUHP. Perbuatan malpraktik medis selalu digolongkan ke dalam perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur kelalaian atau kesengajaan.

Peristilahan Task shifting berbeda dengan delegasi. Berdasarkan Netherlands regulation, delegasi hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada perawat. Sedangkan task shifting hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada practionare nurse untuk melakukan medical task sejauh kewenangan yang diberikan. Tiga poin kunci yang disampaikan pembicara ialah physician are moderately positive about task, physicians seem to be more conservative than nurse practionarers dan 1/3 of phycisian think the legal framework is not adequate.

Pembicara kedua yaitu Andres, University of Sam Ratulangi, Indonesia dengan judul presentasi “The Autonomy versus Autonomy: What Medical Doctor Standpoint“.

Presentasi selanjutnya berjudul Medical Negligence is Tort or Crime oleh Prof. Norchaya, Ph.D, Taylor’s University. Prof Norchaya melihat bahwa tort (kesalahan-Red) dan crime adalah dua hal yang berbeda. Tort dapat didefinisikan sebagai:

  1. Residual category of wrongful conduct outside of contract and crime.
  2. Kategori tort adalah tetap dan tidak ada standar jelas.

Sedangkan crime merupakan public wrongfull that has regulated in regulation. Jadi crime merupakan suatu perbuatan yang sudah jelas unsur-unsur dan kategori suatu perbuatan tersebut apakah crime atau bukan. Tetapi tort belum dapat dikatakan sebagai tort juga belum ditelaah lebih lanjut. Untuk melihat suatu kelalaian medik tergolong tort atau crime kita kembali kepada filosofi dari etika kedokteran. Seorang dokter ataupun tenaga kesehatan akan lebih memahami dan menjalankan tugasnya dalam melakukan pelayanan kesehatan berdasarkan etika kedokteran. Filosofi dari etika kesehatan itu berbeda dengan hukum kesehatan. Hukum merupakan suatu pengaturan yang sifatnya memaksa atau enforce setiap orang untuk mematuhinya. Hal ini berbeda dengan etika.

 

Symposium III


  • Legal and Ethical Issues of Clinical Research in Japan

Presenter:
Prof Mitsuyasu Kurosu, Tokyo Medical University

Di Jepang, uji klinis diatur dalam the Pharmaceutical Affairs Act dan Good Clinical Practice. Jenis penelitian lain diatur berdasarkan Deklarasi Helsinki. Misalnya pedoman etis untuk penelitian epidemiologi klinis, lalu human genome and gene research, dan penelitian klinis untuk stem cell manusia. Penelitian-penelitian tersebut dikelola oleh dokter, kecuali penelitian yang merupakan project pemerintah, dan dibiayai oleh perusahaan farmasi. Beberapa faktor utama yang menyebabkan permasalahan antara lain, pertama bahwa banyak penelitian yang sangat tergantung pada pendanaan perusahaan farmasi. Kedua, kekurangan jumlah ahli statistic. Ketiga, jika terjadi conflict of interest, manajemennya tidak baik. Keempat, cross check tidak dilakukan oleh peneliti mitra lainnya. Kelima, kesibukan peneliti itu sendiri.

Oleh karena itu hukum tentang penelitian klinis harus segera diberlakukan untuk melindungi subject penelitian manusia. Harus ada staf khusus yang mengelola penelitian klinis di bawah pengawasan langsung dari kepala institute. Meskipun begitu, memperbaiki sistem pendidikan tentang hukum dan etika dalam melakukan uji klinis lebih penting daripada membuat hukum tentang uji klinis karena banyak peneliti yang lebih hanya mengikuti aturan tanpa memikirkan mengapa mereka mengikuti aturan tersebut.

  • Law and Regulation for The Protection of Human Subject in Health Research in Indonesia

Dr. Suriadi Gunawan DPH
National Health Research Ethics Commission

Pengembangan etika penelitian kesehatan dimulai tahun 1975 dengan dikeluarkannya pernyataan IDI bahwa dokter harus mengikuti Deklarasi Helsinki. Kemudian, UU No 23 Tahun 1992 Pasal 69 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa penelitian kesehatan harus menghormati etika, budaya dan norma agama dan nilai nilai dalam masyarakat. UU ini digantikan dengan UU No 36 Tahun 2009 Pasal 44 yang menyatakan bahwa eksperimen atau penelitian yang melibatkan manusia harus seijin yang menjadi eksperimen dan tidak merugikan baik pada manusia maupun hewan.

Manusia yang terlibat dalam penelitian harus memberikan informed consent, harus dijaga kesehatan dan keselamatannya. Penelitian juga harus berdasarkan pada prinsip prinsip etika.
Penelitian kesehatan diatur lagi dalam PP No 39 tahun 1995 yang mengatur tentang standar profesional peneliti, informed consent, pelibatan anak anak, orang dengan gangguan jiwa, dan orang-orang dengan keterbatasan/kelemahan lainnya, transfer spesimen biologis dan kolaborasi penelitian antara pemerintah, institusi pendidikan dan swasta.

Komisi Etik Nasional untuk Penelitian Kesehatan dibentuk dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/2002 dan diperbarui dengan Kepmenkes nomor 562/2007. Komisi ini terdiri dari 25 ahli yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Tugasnya antara lain: mempromosikan etika penelitian, menyiapkan pedoman nasional etika penelitian, meningkatkan kapasitas review etika penelitian, mengembangkan jejaring antar ahli/komite etika penelitian, mengorganisasi proses konsultasi terkait masalah etika kesehatan dan melaporkan kegiatan secara rutin setahun sekali ke Kemenkes.

Selain itu juga telah ada aturan tentang pelaksanaan Good Clinical Practice. Dalam aturan ini disebutkan bahwa Clinical Trials (CT) terdaftar dan mendapatkan persetujuan dari komite etik dan BPPOM. Obat untuk penelitian harus mendapatkan persetujuan dari BPPOM. Adverse event harus dilaporkan dalam jangka waktu 15 hari kepada BPPOM dan BPPOM bisa menghentikan CT jika dirasa ada masalah keamanan. Sementara CT untuk kepentingan pendidikan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari BPPOM. Sistem akreditasi untuk komite etik direncanakan akan dimulai pada tahun 2015.

Reporter: Trisasi Lestari

{jcomments on}

 

 

Reportase 23 Agustus 2014

23ags

23ags

Symposium 36


Kajian Sosiologi Hukum terhadap Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kelalaian Medis di RS

Musakkir
Univ. Hasanudin

Sesi ini membahas tentang pasal-pasal pidana yang bisa dikenakan pada tenaga kesehatan. Tanggung jawab bersama/tanggungrenteng yang bisa dibebankan pada RS dan dokter tidak berlaku pada pasal-pasal pidana. Pada hukum pidana tanggungjawab dibebankan pada individu.
Sosiologi hukum memandang hukum sebagai kenyataan dan mencakup fenomena fenomena sosial di masyarakat.

Contoh tindakan yang dapat mendapatkan sangsi hukum pidana antara lain: kejahatan terhadap kesusilaa, penyalahgunaan kedudukan untuk berbuat cabul, tindak pidana penipuan, kejahatan terhadap kekuasaan pemerintahan dan pelanggaran terhadap kekuasaan hokum, kejahatan terhadap asal usul, kejahatan terhadap kesusilaan (pornografi), meninggalkan orang yang perlu ditolong, kejahatan terhadap nyawa dan tubuh orang lain (euthanasia), tindak pidana pemalsuan, kejahatan mengenai kesopanan (menggugurkan kandungan), membuka rahasia kedokteran.

Pembuktian pasal pidana sangat sulit, terutama jika merupakan kelalaian. Dibutuhkan kerja keras, determinasi untuk membuktikan, keterbukaan, kejujuran, dan kemauan dari lembaga atau pranata yang terkait dengan dunia kesehatan untuk membuktikannya. Hal yang biasanya dapat dilakukan ialah meminta keterangan ahli dari dokter untuk dokter yang yang diduga melakukan kesalahan cukup sulit. Kebaikan yang terorganisir akan selalu dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.

 

Symposium 38


Dugaan Malpraktik dan Mediasi Kesehatan

Drg. Suryono SH, MM PhD

Profesi dokter rawan terhadap pembunuhan karakter. Belum diputus oleh pengadilan tetapi sudah mendapatkan sanksi moral dari masyarakat sudah sangat luar biasa. Malpraktik tidak selalu mendapatkan tuntutan, tetapi praktek yang baik tidak menjamin tidak ada sengketa yang muncul. Praktek yang baik dapat meminimalisir terjadinya medis. Sengketa kesehatan adalah konflik yang timbul antara pemberi dan penerima layanan kesehatan. Komunikasi, karakter pasien, dan kompetensi tenaga kesehatan menjadi faktor utama terjadinya sengketa medis. Konflik muncul karena pasien ingin mendapatkan kesembuhan dengan membayar sejumlah uang, sementara dokter hanya bisa mengupayakan kesembuhan. Dokter tidak bisa menjamin kesembuhan 100%. Perbedaan persepsi ini harus dikomunikasikan dengan pasien bahwa pada dasarnya dokter atau tenaga kesehatan dalam memberikan upaya kesehatan tidak ada motivasi mencelakakan, membuat penderitaan atau menghilangkan nyawa pasien.

Dalam UU BPJS dan di UU Praktek Kesehatan, mediasi menjadi pendekatan yang dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa medis melalui mediator bersertifikat. Mediasi wajib dilakukan sebelum.proses persidangan (UU No 36/2009) (Perma 1/2008). Pada dasarnya konflik dokter-pasien bersifat keperdataan. Hasil mediasi bisa gagal, atau mendapat nota perdamaian atau selesai sepenuhnya.

 

{jcomments on}