Bedah Buku: Pola dan Akar Korupsi Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa Publik

Buku yang akan dibahas kali ini ialah buah karya Prof. drg. Etty Indriati, PhD (FK UGM) yang membahas isu pelik, yaitu korupsi. Prof. Etty berguru pada Prof. Susan Rose-Ackerman dari Universitas Yale.

Bedah buku yang berfokus pada upaya anti korupsi tersebut telah terselenggara pada Jum’at (4/4/2014) di Auditorium Pertamina Tower, FEB UGM. Penyelenggara acara ini ialah Gerakan Masyarakat Transparasi Akademis untuk Indonesia (Gemati) dan pengantar disampaikan oleh Dr. Eko Suwardi, PhD, Wadek Bidang Perencanaan dan Informasi, FEB UGM. Kegiatan atau gerakananti korupsi, selaras dengan visi misi UGM yang menjulang tinggi dan mengakar pada local wisdom, harapannya hasil diskusi menjadi ilmu dan amalkan, jelas Dr. Eko Suwardi.

 

Moderator acara kali ini ialah Dr. Rimawan Pradipto, kesempatan pertama diberikan kepada Prof Etty. Prof Etty menyampaikan ada perubahan kesadaran kolektif secara universal/cara pandang kesadaran kolektif atas tindakan, misalnya di sector perbudakan, isu pembangunan dan sebagainya. UNDP dan World Bank mempertanyakan pinjaman untuk pembangunan mampu berjalan maju di negara berkembang, namun tanpa pengentasan kemiskinan. Hal yang digarisbawahi Prof. Etty ialah only need one honest people to cut corruption system, jadi kita hanya membutuhkan satu orang untuk menghentikan korupsi yang sudah tersistem. Fakta yang menarik ialah korupsi merupakan jaringan bukan hanya individu. Keyakinan yang saya miliki jika korporasi bersih, maka kita akan bersih, ungkap Prof. Etty. Namun jika tidak, tidak akan mungkin. Hal yang harus kita lakukan ialah penyelenggara pemerintahan dan masyarakat bekerjasama dalam memutus jaringan korupsi.

Pola pemerintahan dan kepemimpinan bertahap, mulai dari Band dimana masyarakat egaliter, tidak ada yang berkuasa dan tidak ada yang dikuasai atau komunal. Lalu bentuk yang kedua ialah tribe yang berfous pada family dan kinship/kekerabatan, bentuk yang ketiga ialah chiefdom: pemerintahan dipimpin kepala dan keturunannya bentuk yang keempat ialah state,dimana pemerintahannya tersentralisasi/birokrasi dimana kekerabatannya nepotisme.

Negara dengan ekstraktif industri akan banyak melakukan korupsi karena SDA melimpah, jadi tinggal dieksplorasi. Namun, negara yang hidup dan berkembang dari SDM jarang memiliki catatan tinggi untuk korupsi. Korupsi menguat karena banyak penguasa bersaudara, maka korupsi terjadi makin legal. Harusnya tidak ada jaringan kekerabatan, di Indonesia 70% kepala pemerintah daerah melakukan korupsi.

Bagaimana menjadi korup? Bisa karena tumbuh dalam lembaga. Pelaku krupsi biasanya birokrat hakim, anggota cabinet atau lingkaran penguasa. Korupsi menyebabkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan lain-lain. Umumnya, korupsi terjadi karena sudah didesain dari awal. Korupsi bisa dikurangi dengan munculnya universal collective thinking pasca perang dingin, gerakan anti korupsi berkembang World Bank, UNDP-mempunyai charter di Negara lain-misal ICW, KPK, PPATK. Gerakan anti korupsi atau transparansi internasional. Prof Susan Ackerman menulis open journal terkait restrukturisasi, beberapa judulnya, Helping Countries Combat Corruption, Corruption and Good Government-Susan Ackerman-World Bank Report. Diseminasi knowledge anti korupsi penting dilakukan, bisa jadi tidak melalui sumber bacaan, karena masyarakat Indonesia kurang gemar membaca. Langkah strategis yang bisa kita ambil ialah koruptor dimiskinkan, ambil semua asetnya untuk memberantas korupsi.

Iswan Elmi, M.Sc (KPK) sebagai pembahas pertama menyampaikan pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan oleh satu disiplin ilmu saja, harus multi disiplin. Rekor saat ini AS Negara penyuap tertinggi di dunia, meski merupakan negara maju. Sementara di Indonesia, kondisi masyarakatnya yang permisif mendukung terjadinya korupsi. Hal yang harus disadari ialah memberantas korupsi bukan tujuan akhir. Kita terjebak pekerjaan yaitu proses bukan tujuan, ungkap Iswan. Korupsi terlalu krusial, jika kita tidak hati-hati, adil makmur tidak akan terwujud. Persoalan dasar korupsi meliputi administrasi-manusia dan kultur. Akumulasi tindakan yang sulit membedakan mana yang salah dan benar hal ini yang sering disebut sebagai penyakit moral. Strategi dalam pencegahan: pertama, memperbanyak pembentukan tunas integritas-mindset diubah, memperbaiki kultur di masyarakat. Kedua, evaluasi sistem dalam organisasinya. Ketiga, misi yang diamanahkan ke organisasi bs terwujud-organissai yang berintegritas. Keempat, KPK melakukan tugas on the right track.

Prof. Purwo Santoso (Guru Besar Ilmu Pemerintahan) sebagai pembahas kedua menyampaikan saya salut karena buku ini tidak memuat ekspresi kemarahan atas masalah korupsi yang pelik ini, ungkap Prof. Purwo. Hal Ini pertanda antropologisnya matang. Sejauh ini, buku terbitan negara maju, tidak ada yang cocok dengan praktek di Indonesia. Maka dibutuhkan pendekatan antropologi: melihat daily life, solusi praktisnya harus muncul. Saya sangat mendukung KPK yang berpindah tugas dari menangkap tangan ke perbaikan sistem anti korupsi. Akar korupsi dibaca dari berbagai sisi, sisi government dan learning yang paling menarik. Kekerabatan masih menjadi pemicu terjadinya korupsi. Jika kearifan local belum bisa mencegah korupsi maka ini yang disebut ‘Banal’, dimana ilmuwan gagal memberikan solusi praktis. Tunas yang ditawarkan Gemati dan UGM ialah berbasis keilmuaan. Ilmuwan harus bisa Refleksi yang ada dan mendialog kan dengan realita. Sejauh ini, dimensi learning, yang terpenting.

DISKUSI

Syaukan Ali mengajukan pertanyaan: Bagaimana jika korupsi terjadi di lingkungan kerja? Melaporkan, mendiamkan atau kita yang berpindah?

Ir. Soedjarwadi, M. Eng, PhD menyatakan bahasan pencegahan dari pak Purwo dalam pendidikan input based teaching sedang diubah menjadi outcome based learning. Pencegahan ialah mendidik masyarakat formal, informal dan non formal. Hal-hal kecil itu adalah akar serabut dalam korupsi, makin besar biayanya makin memancing korupsi. Persoalan dasar yang disampaikan Iswan Emil bisa ditambahkan spiritual dimension yaitu mendidik masyarakat formal, non formal, informal.

Asrul Hariri (Pukat), jika bicara korupsi harus rendah hati, tidak akan ada formula untuk semuanya. Perlukah KPK memiliki perwakilan di daerah?

 

TANGGAPAN

Prof. Etty:

Kultur masyarakat kita ialah tidak berani mengatakan tidak, kita harus berani menolak. Hal ini untuk menjaga integritas berani melawan arus. Sejauh ini, lembaga legislatif belum sempurna untuk check and balance. Kabarnya, Lambroso sosiolog Italia mampu melihat ‘potensi’ korupsi dari kromosom-fisik dengan perilaku. Hal dasar yang harus kita tanamkan ialah nilai jujur dan sederhana ke anak-anak kurang.

Iswan Elmi:

Persoalan dari atas ke bawah harus diberantas, setiap pola strategi penanganannya harus disesuaikan. Jika korupsi dilakukan berjamaah, maka mengatasinya harus berjamaah juga.

Prof. Purwo:

Hal yang sering disebut anggaran titipan terjadi karena korban rakyat berdaulat yang belajar dari lapangan. Maka, DPR harus sebagai pengendali anggaran atau administrative engineering. Spiritualitas penting, UGM belum mendukung dalam hal ini, sumbernya bisa dilacak yaitu tidak jelasnya metodologi untuk menghasilkan spiritualitas itu, maka spiritualitas tidak terasah.

Reporter: Widarti, SIP

Situs Jejaring Knowledge Management

diskmaret

 

diskmaret

Diskusi Bulanan Maret 2014 kali ini membahas ‘Situs Jejaring Knowledge Management (KM)‘ dengan pemateri yaitu Dr. Rossi Sanusi (Advisor PKMK) dan moderator Prof. Laksono Trisnantoro. Acara tersebut berlangsung pada Jum’at (21/3/2014) di ruang Leadership, Gedung IKM, FK UGM. Dr. Rossi mengulang penjelasan dengan mengulang kembali poin pada pertemuan pertama dan kedua. Dalam pertemuan pertama, ada tiga macam bentuk KM, yaitu konseptual dimana KM memberi gagasan dan kritik pada pengambil keputusan. Lalu, bentuk KM yang simbolik atau penelitian diringkas melalui policy brief. Terakhir, KM memberikan beragam bentuk argumen dalam kebijakan. Pertemuan awal mendeskripsikan bahwa dampak dari penelitian baru terjadi di wilayah lokal atau pengaruh diperoleh dari para klinisi dan profesional, namun di level pemerintahan, dampaknya masih sedikit dirasakan. Melalui wilayah lokal, kelompok-kelompok kolegium mampu mempengaruhi kebijakan yang lebih tinggi. Pertemuan kedua KM memaparkan bahwa ada tujuan masing-masing penelitian. Strategi KM bukan hal baru, karena sudah lama dikenal di sektor bisnis.

Pertemuan ketiga ini, akan membahas teknologi informasi. Review makalah dari health-evidence.ca dengan penulis Maureen Dobbins yang memiliki latar belakang keperawatan (dari Mc Master University). Makalah ini menjelaskan knowledge translation dan exchange, beberapa poin di dalamnya, yaitu:

  1. Meneliti makalah individual terkait daya guna, efektivitas, serta efisiensi public health, dipublikasikan pada makalah penelitian.
  2. Mencari dan menapis makalah-makalah terkait topic tertentu. Makalah ini masih butuh critical appraisal.
  3. Me-review makalah-makalah penelitian, disusun review-nya dan kemudian dipublikasikan.
  4. Dari sana, akan terlihat bahwa sudah disediakan hasil review/critical appraisal dari yang dianggap kompeten, misalnya tim dari Mc Master University.

Hal yang terpenting ialah metode apa yang digunakan dan siapa yang melaksanakan penelitian tersebut. Skoring critical appraisal yang digunakan strong, moderate dan weak.

Langkah-langkah untuk menjaring, menapis dan menilai makalah review. Sumbernya, database elektronik, tujuh database dan 20 jurnal. Namun sayangnya, ada banyak jurnal bagus yang tidak dipublikasikan. Penyaringan atau penapisan dilakukan supaya tidak banyak yang harus di-review. Ada banyak cara penapisan ini, ada organisasinya tertentu. Filter digunakan untuk menyaring yang relevan saja. Tipe filter yaitu filterasi melalui software khusus. Apakah relevan? Apakah efektif untuk dikerjakan? Assessment -> screening -> diperiksa juga daftar rujukannya. Kadang satu jurnal memiliki jurnal terkait, bahkan kadang menggunakan nomor yang sama. Setelah melalui flter, ada quality assessment melalui software. Tool untuk mengukur skoring ialah 10 item. Skor yang diterapkan, jika lebih dari 7 maka strong, lebih dari 5 moderat dan 4 disebut weak. Sebaiknya hal ini dilaporkan semua, sehingga pengambil keputusan tahu mana lebih dan kurangnya. Summary report: makalah yang kuat dan moderat. Rekomendasinya ialah:

  1. Bentuk unit yang membuat tahap 2-4: produksi dan publikasi makalah-makalah review penelitian PH di Indonesia. Jika bisa dalam bahasa Inggris, supaya bisa dijaring Mc Master University.
  2. Bentuk unit yang melaksanakan tahap 5-6: menapis makalah review (critical appraisal) dan situs jejaring.
  3. Kirim staf untuk belajar poin a dan b ke Mc Master University.
  4. Cluster s3 mencari dan menapis makalah-makalah penelitian, makalah review dan makalah konsep.

 

  Situs Jejaring Knowledge Management

Diskusi:

  1. Apakah ada web tertentu yang meng-upload critical untuk naskah? Kadang ada website yang menampilkan review namun kita tidak tahu bagaimana menjaring naskah yang di-review.

    Dr. Rossi: melalui situs health evidence Canada, kita bisa menjadi anggota yang memanfaatkan ini, coba cari keyword yang dibutuhkan. Misal: integrasi pelayanan HIV terjadap pelayanan neonatal. Dalam review makalah, ada penilaian dan disertai detailnya. Jadi, pembuat keputusan akan menilai hasil penelitian laik dipraktekkan atau tidak? Dokter bisa menguji coba, lalu melalui organisasi profesinya akan mempengaruhi pembuat kebijakan. Ada lembaga agama, ormas, penelitian di seluruh dunia perlu disimpulkan.

  2. Sistem skoringnya seperti apa? Ada standar untuk menapis tidak?

    Pak Rossi, melalui hedging  (penapisan) yang dijaring makalah review misalnya intervensi public health (PH). Ada 10 item yang digunakan untuk skoring. Selain skor umum, ada item lain yang harus dilaporkan. Pembuat keputusan ingin melihat yang strong. Intervensi berdaya guna atau tidak? Skoring ini dilakukan staf yang terlatih, karena pekerjaan ini makan waktu. Jika melihat makalah review, maka harus mengubah konsepnya penelitiannya Harapannya, organisasi profesi mengintervensi DPR/pengambil keputusan dalam perumusan kebijakan.

 

 

Global Health Security – Obama’s Initiative Is the Tip of the Global Iceberg

Friday the Obama Administration announced a new initiative, the “Global Health Security Agenda (GHSA),” that addresses the looming threat of the global spread of infectious disease. The initiative’s motto is “the need to prevent, detect, and respond to biological threats” as they relate to national security. Global pandemics can cause national risk through trade, exchange, and international travel, and the consequences can be profound both within and across the borders of countries.

The U.S. has forged global partnerships to address the threat of infectious disease. However, the odds are not good in that 80 percent of all world nations are not prepared to handle this massive issue. The U.S. will not take this on alone. Jordan Tappero, who is the Director of Global Health Protection at the Center for Global Health (Center for Disease Control/CDC) announced that the leader for the new initiative will be Health and Human Services. However, other U.S. Departments – namely, Defense, State and Agriculture – will also be key players. And, the U.S., in an effort to be part of a community of likeminded nations, will work together with international organizations. Joining them are the World Health Organization (WHO), the Food and Agriculture Organization and other groups across countries and regions. Currently a total of 26 collaborator countries are stakeholders with the U.S., including close allies as well as those with whom the U.S. is working to develop improved relations: China, India and Russia.

One of the challenges in bringing forth the plan from the Global Health Security Agenda initiative is the differing priorities of Defense and Health. Whereas Defense is concerned with national security risk, Health is geared towards the elimination of infectious disease and the affect on populations. Since the initiative must identify those diseases with greatest potential for significant national and international consequence, it must focus its efforts in that regard.

On a large scale, however, what the Global Health Security Agenda is addressing is just the tip of the proverbial iceberg. According to Salmaan Keshavjee MD, PhD, Director of Infectious Disease and Social Change, in Harvard Medical School’s Global Health & Social Medicine, the root causes of infectious disease are both medical and social. The source is based in existing structures that are political, economic, religious, and social. Managing one aspect while overlooking the other will not be effective in eradicating disease.

This is particularly true because, even with the advent half a century ago of effective antibiotics, infectious disease is rampant in the majority of the world. In fact, bacterial, viral, and parasitic infections are the leading cause of mortality worldwide – causing one-third of all deaths.

In much the same way that the U.S. is serving as advocate and partnering with other nations to address the issue of infectious disease, grassroots organizations and international medical teams are doing so, as well. Partners in Health (PIH) has been at the center of health care transformation in global areas of poverty for the past 25 years. PIH and the Program in Infectious Disease and Social Change at HMS are using community health organizers or “accompagnateurs” to work with local peoples in Haiti, Ethiopia, rural Mexico, and other countries. By listening to needs and learning how to best reach those who most require help, these groups are pioneering on the ground level, making significant changes in education, health care, advocacy, and policy change.

Focus on global health security is an important first step towards the elimination of infectious disease. Government support for the organizations that are working to reduce infectious disease on global scale would help to move this issue forward.

source: guardianlv.com

 

Rp.6 Miliar Untuk Kesehatan Gratis Bagi

KBRN, Sumenep: Masih banyaknya warga miskin di Sumenep, Madura, Jawa Timur, yang tidak tercaver Program Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek mendapat perhatian Pemkab setempat.

Pemkab Sumenep melalui Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran sebesar Rp6 Miliar pelayanan kesehatan gratis khususnya bagi warga yang tidak mengantongi askes, jamkesmas, termasuk jamsostek.

“Sesuai Peraturan Bupati Nomer 4 2014 itu, dana tersebut diperuntukkan secara khusus bagi warga yang bukan peserta askes, jamkesmas dan jamsostek,” terang Kepala Dinkes Sumenep, Riska Anugera Rahadi, Kamis (20/2/2014).

Dijelaskannya dengan anggaran Rp6 Miliar itu, Pasien miskin khususnya Puskesmas dan Rumah Sakit Kelas 3 B, baik rawat inap maupun rawat jalan tidak dipungut sepersenpun, termasuk untuk kebutuhan obat.

“Anggaran Rp6 Miliar itu dalam rangka mendukung program Bupati mengenai pelayanan kesehatan gratis,” kata Riska.

Mantan Kepala Bidang Evaluasi dan Informasi RSUD Sumenep ini memastikan, warga miskin dipastikan tidak akan dipersulit untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis itu karena persyaratannya cukup mudah.

Selama pasien tersebut tidak tercaver dalam askes, jamkesmas dan jamsostek, maka pasien cukup melampirkan surat keterangan miskin dari Kepala Desa setempat untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis.

“Kedepan, tidak ada istilahnya pasien miskin miskin yang tidak terelayani karena tidak mempunyai biaya. Semua gratis dengan catatan ada keterangan miskin dari Kepala Desa,” pungkas Riska. (Faisal W/BCS).

sumber: rri.co.id

 

RUU Tenaga Kesehatan Masuk Panja

Komisi IX DPR sepakat melanjutkan pembahasan RUU Tenaga Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lewat Panja. Menurut Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning, pembahasan RUU tentang tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) akan lebih fokus dalam sebuah panitia kerja (Panja). Pandangan itu pula yang disampaikan Ribka dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR dengan Kemenkes di ruang sidang Komisi IX DPR, Senin (17/2).

Ribka mengatakan ada banyak hal dalam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kesehatan yang perlu diharmonisasi dalam RUU Tenaga Kesehatan. Langkah ini penting agar tujuan RUU Tenaga Kesehatan tercapai, yakni memberi perlindungan terhadap masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan. “Perlindungan pasien sangat penting,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Mengacu Tatib di DPR, Ribka melanjutkan, Panja RUU Tenaga Kesehatan terdiri dari separuh jumlah anggota Komisi IX, mewakili seluruh fraksi. Total anggota Panja Tenaga Kesehatan berjunlah 29 orang. Dalam rapat kerja sebelumnya, Komisi IX dan pemerintah sudah menyepakati 156 DIM. Sisanya sebanyak 412 DIM akan dibahas dalam Panja.

Pada kesempatan yang sama anggota Komisi IX, Sri Rahayu, mengatakan ada beberapa pasal RUU Tenaga Kesehatan yang perlu dicermati. Salah satunya, tentang kesejahteraan bagi tenaga kesehatan. Menurutnya, hal tersebut harus dipikirkan apakah pengaturan terkait kesejahteraan tenaga medis itu diatur lewat peraturan pelaksana atau diperinci dalam RUU Tenaga Kesehatan.

Selain itu, Sri melihat RUU Tenaga Kesehatan kurang jelas mengatur perlindungan tenaga kesehatan. “Perlindungan seperti apa, itu perlu dipikirkan detail supaya dokter sebagai pelayan kesehatan diberi perlindungan sebagaimana hak-haknya,” paparnya.

Menanggapi hal itu Wamenkes, Ali Gufron Mukti, mengatakan berbagai masukan yang disampaikan Komisi IX akan dipertimbangkan dalam RUU Tenaga Kesehatan. Namun yang jelas ia menyebut RUU Tenaga Kesehatan ditujukan agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang terbaik. Misalnya, memperoleh segala informasi yang tepat terkait pelayanan kesehatan yang diberikan dan hak-haknya terpenuhi.

Selain itu RUU Tenaga Kesehatan bagi Ali penting untuk melindungi tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan. Menurutnya perlindungan itu harus mencakup individu atau institusinya. Sehingga, tenaga kesehatan dapat terlindungi secara hukum ketika menjalankan tugasnya. Misalnya, jika terjadi sebuah kasus dalam pelayanan kesehatan, maka mekanisme penyelesaian utama yang harus ditempuh yaitu lewat lembaga seperti Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Tapi kalau diperlukan maka kasusnya dapat berlanjut ke ranah pidana atau kriminal.

“Kami ingin melindungi masyarakat sebagai pengguna dari jasa layanan kesehatan tapi kami juga ingin pada saat yang sama bisa memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi petugas kesehatan itu,” ucap Ali.

Tak kalah penting, Ali menjelaskan RUU Tenaga Kesehatan bakal mengatur kesejahteraan tenaga kesehatan. Sehingga tenaga kesehatan mendapat insentif yang baik. “Kami ingin ada koordinasi antar berbagai tenaga kesehatan sehingga dapat bersatu dalam melayani masyarakat,” pungkasnya.

sumber: www.hukumonline.com

 

Risiko Kesehatan Masyarakat Indonesia Meningkat

Membanjirnya berbagai produk pangan impor yang belum terjamin keamanannya, risiko kesehatan masyarakat Indonesia akibat konsumsi pangan semakin meningkat. Saat ini kebijakan impor komoditas pertanian melonjak menjadi 70 persen dari sebelumnya yang hanya 20-30 persen.

“Dari 225 item buah-buahan yang dijual di supermarket, 60-80 persen merupakan produk impor. Angka impor pangan pada Januari-November 2012 mencapai Rp 92,5 triliun, angka yang sangat besar,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor Ahmad Sulaeman dalam Diskusi Diversifikasi Pangan di Aula Kantor Redaksi HU Pikiran Rakyat Jln. Soekarno Hatta Bandung, Selasa (12/11/2013).

Menurut Ahmad, meningkatnya risiko pangan ditunjukkan dengan munculnya berbagai penyakit baru serta penyakit berat yang kini banyak diidap masyarakat. Selain itu muncul berbagai perilaku menyimpang yang semuanya berawal dari konsumsi makanan.

“Autis, homoseksual, itu tidak jauh-jauh dari panganan. Menyebabkan anak-anak dan yang kelompok rentan terkena penyakit serius. Juga penyakit jangka panjang, seperti ginjal, tumor, kanker, dan penyakit berat lainnya,” ucapnya.

Menurut Sulaeman, sudah saatnya Indonesia kembali ke pangan lokal. Tidak perlu menggunakan banyak pestisida karena pestisida yang berfungsi memandulkan serangga berdampak buruk jika termakan oleh manusia, salah satunya adalah mengurangi tingkat kemaskulinan. “Yang sekarang justru menjadi tren dunia adalah agribisnis lokal dan produk yang menyehatkan, bukan hanya tidak mengandung racun tapi juga memiliki manfaat kesehatan,” katanya.

Sementara itu, Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat yang juga staf Pengajar IPB Yayuk Farida Baliwati mengatakan pola konsumsi pangan yang beragam dan bergizi melalui diversifikasi pangan masih belum diaplikasikan dengan baik. Sebab sampai saat ini orientasi dari pola konsumsi masyarakat di Indonesia masih pada orientasi kenyang saja.

“Berdasarkan data konsumsi pangan di Jabar sebetulnya sudah melebihi standar minimal dan melebihi anjuran. Namun untuk mutu keseimbangan gizi penduduk Jabar masih 2/3nya. Karena hanya berorientasi pada kenyang saja. Komposisi gizi seimbang belum terpenuhi masih 70 persen,” tuturnya.

Yayuk menuturkan, yang sudah memenuhi standar minimal baru padi-padian atau pemenuhan sumber energi. Sementara sumber lainnya seperti sayur, buah masih belum terpenuhi.

“Konsumsi padi-padian anjurannya 1000 kilokalori/orang/hari, faktanya 1218 kilokalori/orang/hari. Kemudian pangan hewani yang dikonsumsi 160 kilokalori/orang/hari dari yang seharusnya 240 kilokalori/orang/hari. Sayur dan buah, anjurannya 120 kilokalori/orang/haru tapi baru terpenuhi 65 kilokalori/orang/hari,” ungkapnya. (A-157/A-147)***

sumber: www.pikiran-rakyat.com

 

RUU Keperawatan Tak Berbenturan dengan UU Sejenis

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nova Riyanti Yusuf mengatakan dengan adanya UU Keperawatan nantinya tenaga perawat akan mendapat pendidikan khusus keperawatan yang diharapkan bisa membantu dokter secara profesional.

“Nantinya perawat mendapat pelimpahan wewenang dari dokter untuk menjalankan tugas-tugas kedokteran ketika dokter tidak ada atau dalam waktu darurat. Karena itu RUU ini harus disahkan selambat-lambatnya pada akhir 2013 ini,” kata Nova Riyanti Yusuf dalam diskusi ‘RUU Keperawatan’ bersama Staf Ahli Menteri Kesehatan Prof. dr. Budi Sampurna, dan Sekjen PP PPNI Harif Fadilah di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/9/2013).

Nova menegaskan RUU Keperawatan yang sedang dibahas di Panja DPR RI sekarang ini berangkat dengan spirit nasionalisme, di mana banyak daerah terpencil yang tidak memiliki tenaga perawat, sehingga kurang mendapat perhatian kesehatan yang memenuhi standar kesehatan. UU Keperawatan ini diharapkan terjadi pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah terpencil.

“Jumlah dokter yang terbatas, banyak akademi perawat yang tidak terstandarisasi, dan banyaknya perawat yang dikriminalisasi akibat salah penanganan medis, maka itulah yang menjadi spirit perlunya pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah-daerah terpencil,” ujarnya.

Politisi Demokrat ini mengatakan Indonesia memerlukan tenaga perawat yang luar biasa, mengingat selama ini terpusat di kota kota besar termasuk tenaga dokter sendiri. Untuk itu RUU Keperawatan menjadi prioritas sejak tahun 2012 dan harus segera disahkan.

Budi Sampurna menjelaskan jika RUU Keperawatan tak akan berbenturan dengan UU Kesehatan, UU Kedokteran, dan UU sejenis, karena hanya akan mengatur dari sisi profesi pekerjaan, dan pendidikannya meliputi praktek, sanksi administratif, pembinaan dan sebagainya.

Sedangkan khusus pendidikannya kata Budi, pengajarnya dosen perawat, dan atau perawat yang sudah diangkat menjadi dosen keperawatan.

“Jadi, dalam pendidikan keperawatan ini tak ada yang namanya konsultan, melainkan tetap dosen. Tapi, yang terpenting pemerataan pelayanan perawat di daerah-daerah di tengah sulitnya anggaran untuk mencetak tenaga dokter profesional,” katanya.(js)

sumber: www.tribunnews.com

 

RUU Pendidikan Kedokteran Belum Disepakati

Jakarta, PKMK. Sejumlah poin dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) di Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran, belum disepakati oleh Komisi X DPR RI dengan Pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, diharapkan bahwa dalam konsinyering yang akan berlangsung minggu depan, kesepakatan bisa tercapai. Maka, dalam masa sidang ini, RUU tersebut diharapkan bisa disahkan menjadi UU, ungkap Agus Hermanto, ketua Komisi X DPR RI di Jakarta (19/6/2013).

Tim perumus dan tim sinkronisasi RUU tersebut akan segera dibentuk oleh Komisi X dan Pemerintah Indonesia. Itu agar materi RUU tersebut dirapikan sebelum disahkan menjadi Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran. Apa saja poin yang belum disepakati? “Yang belum disepakati itu sangat banyak. Tapi sekali lagi, kita mengharapkan bahwa semua itu selesai dalam konsinyering minggu depan.”

Komisi X dan Pemerintah Indonesia pun menyambut baik bila organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kembali berniat memberi masukan untuk RUU tersebut. Itu tentu akan memberi khasanah baru terhadap materi RUU. Akan tetapi, masukan tersebut kemungkinan besar tidak mengubah DIM yang hampir disepakati Komisi X dan Pemerintah Indonesia. Pembahasan RUU tersebut sudah mendapat enam kali perpanjangan masa sidang dari Sidang Paripurna DPR. “Pokoknya, kami ingin itu selesai di masa sidang ini yang tinggal sebulan. Kalaupun meleset lagi, ya paling-paling diperpanjang satu masa sidang lagi,” ucap Agus.

RS Siloam Manado Kurangi Pasien Berobat ke Malaysia

15mei

15meiJakarta, PKMK. Keberadaan Rumah Sakit (RS) Siloam di Manado, Sulawesi Utara, bisa mengurangi jumlah pasien kelas menengah ke atas yang berobat ke Malaysia. Sebab, fasilitas berobat yang ditawarkan RS Siloam di Manado sama dengan di Malaysia bahkan lebih baik, ungkap Cixo Sianipar, PR Corporate Siloam Hospitals, di Jakarta (15/5/2013).

Selanjutnya, kelak kehadiran RS Siloam di kawasan lain Indonesia Timur seperti Ambon (Maluku) dan Papua Barat, juga bisa mengurangi jumlah warga yang berobat ke luar negeri. “Memang, selama ini RS swasta di Indonesia Timur masih sedikit, khususnya yang menyediakan layanan spesialis. Maka kami melakukan ekspansi ke kawasan yang belum dijamah pemain RS swasta yang lain,” kata Cixo. Peralatan medis canggih yang dihadirkan di RS Siloam di Jakarta, juga dihadirkan di Indonesia Timur. Semaksimal mungkin, kualifikasi peralatan medis di Indonesia Timur setara dengan di Jakarta. Kata Cixo, “Hanya saja, kuantitasnya mungkin tidak sama. Misalnya, kalau di Jakarta ada dua atau tiga catch lab, di Kupang cukup satu.”

Di Makassar, Sulawesi Selatan, manajemen RS Siloam bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin untuk pengadaan ataupun pelatihan dokter. Di kota lain di Indonesia Timur, tidak tertutup kemungkinan bahwa pola serupa digunakan. “Kami pun akan mengutamakan tenaga medis putra daerah, porsi mereka sampai 98 persen dan didampingi tenaga ahli dari Jakarta,” Cixo mengatakan.

Dapat dikatakan bahwa segmen pasien yang dibidik RS Siloam di Indonesia Timur, campuran, yaitu segmen menengah ke bawah ataupun atas. Cixo menampik anggapan bahwa RS Siloam identik dengan layanan pengobatan yang mahal. “Dengan membidik segmen pasar bervariasi, kami membuat subsidi silang. Pasien kaya menyubsidi yang tidak mampu,” ujar Cixo. Siloam Hospitals menargetkan mempunyai 77 buah rumah sakit di tahun 2017. Saat ini, RS yang sedang dibangun ada di Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

 

RS Islam Harus Berbadan Hukum

Jakarta, PKMK. Dampak kewajiban rumah sakit swasta Islam yang tidak memiliki badan hukum khusus rumah sakit dapat terjadi pada banyak pihak. Dari empat rumah sakit Islam di Jakarta saja, jumlah orang terdampak itu mencapai setidaknya 8 ribu orang. Bila empat rumah sakit itu tidak beroperasi akibat tidak adanya hukum itu, orang-orang tersebut berpotensi dirugikan karena tidak bisa berobat ataupun bekerja, ungkap M. Iqbal Rais, Wakil Sekretaris Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (7/5/2013).

Iqbal mengatakan, empat rumah sakit itu adalah RSIJ Cempaka Putih, RS Islam Pondok Kopi, RS Islam Sukapura, dan RSJ Islam Klender. Empat rumah sakit itu menampung pasien rawat jalan rata-rata 1.967 orang per hari. Sedangkan angka rata-rata pasien rawat inap adalah 617 orang per hari. Dalam sebulan ataupun setahun, angka pasien tersebut tentu lebih banyak lagi. Total pegawai di empat rumah sakit itu sebanyak 2.845 orang. Itu terdiri dari dokter, perawat, bidan, tenaga penunjang medis, dan tenaga non-medis. “Semua orang itu berpotensi dirugikan karena empat rumah sakit itu kini tidak punya badan hukum khusus rumah sakit,” ujar dia.

Lebih jauh dia mengatakan, Asosiasi Rumah Sakit Nirlaba (Arsani) mendukung langkah judicial review yang sekarang dilakukan Muhammadiyah pada sejumlah pasal ataupun ayat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mengharuskan adanya badan hukum khusus itu. Dalam Arsani, selain rumah sakit Islam, ada kelompok rumah sakit Katolik, Protestan, dan swasta biasa. “Mereka mengatakan, keharusan punya badan hukum khusus itu menyulitkan. Kalau misalnya akan berubah dari rumah sakit biasa ke rumah sakit pendidikan, repot,” ucap Iqbal. Rumah sakit yang dikelola oleh Al Irsyad, Carolus, dan Atmajaya, juga berpotensi terdampak oleh keharusan memunyai badan hukum khusus itu.