Reportase hari kedua Konferensi Australasian Aid 2017

Oleh: Shita Listyadewi

Hari kedua diisi dengan beberapa sesi paralel dan dua sesi panel. Berikut adalah catatan dari sesi panel.

Private Sector Innovation

Rukmani Gounder, Massey University
Ross Hutton, Shared Sky Pty Ltd
Juliet Willetts, University of Technology Sydney
Stephanie Copus-Campbell, Oil Search Foundation

juliett

Sesi ini membahas beberapa inovasi public private partnership dan peran donor.
Program Public-Private Partnership (PPP) dikembangkan dalam program Malaria, dengan tujuan utama untuk eliminasi Malaria pada 2030. Di Papua Nugini, program ini dikembangkan dengan berbagai skema:

Skema 1: dalam assessment awal, pihak yang bekerjasama adalah:

  • World Vision
  • Shared Sky
  • Transfield Services
  • Provincial health Authority

Skema 2: dalam penyediaan jasa, pihak yang bekerjasama adalah:

  • Shared Sky
  • Bougainville Health Communities
  • Departement of Health
  • DFAT

Selain itu, dibentuk pula aliansi dengan antara Provincial Health Authority dengan para pendonor, misalnya perusahaan pertambangan, perkebunan sawit, dan juga Australian Doctor International.

Dalam kerjasama PPP ini, faktor yang paling penting adalah komitmen dari Menteri Kesehatan, Gubernur, Kepala Distrik dan juga Parlemen. Namun juga diperlukan kemampuan administratif yang baik karena kerja sama ini melibatkan banyak pihak sehingga harus jelas dari awal siapa yang mengorganisir apa. Selain itu harus ada pembagian yang jelas mengenai kontribusi (financial dan in-kind) dan bahwa setiap kontribusi harus diakui bersama.

Beberapa kegiatan yang dilakukan pada saat assessment awal, adalah melakukan semacam audit berikut:

  • National Health Standards Survey
  • Drug and Diagnostic Supply Chain review
  • Clinical Case Management Review
  • Vector Control Assessment
  • Health Village Health Wards Programs

Kerjasama dengan Shared Sky memungkinkan dipetakannya secara detil (by house) data vektor malaria, pasien, dan juga lokasi persis dari faskes terdekat.
Bahasan berikutnya adalah kerja sama pemerintah dengan dalam pelayanan air bersih dan sanitasi. Penelitian ini dilakukan di Indonesia, Vietnam dan Timor Leste.

Beberapa hambatan melakukan PPP adalah:

  • Fungsi regulatory yang sangat kompleks dan kadang memunculkan conflict of interest
  • Membutuhkan insentif bagi pemerintah lokal untuk bertindak
  • Menarik minat bagi beberapa kegiatan yang memiliki marjin rendah bagi sektor swasta.

Namun tantangan terbesar ternyata adalah:

  • Lack of constitutent demand untuk program sanitasi. Dana yang rendah untuk air bersih dan sanitasi, sebagian besar dialokasikan untuk perubahan perilaku tetapi tidak untuk mendorong kewirausahaan pihak swasta untuk dapat mendukung pemerintah. Akibatnya pihak swasta lebih banyak berinvestasi untuk sektor-sektor lain.
  • Persepsi negatif antara satu sama lain: di pihak pemerintah, maupun di pihak swasta.

Pengalaman Oil Search Foundation di Papua Nugini menunjukkan bahwa setelah pemerintah mau bekerjasasama dengan swasta di sebuah distrik, ternyata hal ini menghasilkan hal yang baik, yaitu:

  • Mempekerjakan dokter dan tenaga perawat melalui skema volunteering
  • Memperkerjakan staf eks-MSF sampai pemerintah dapat merekrut sendiri tenaga tetap
  • Merekrut 180 staf dalam waktu 3 bulan
  • Membangun sistem untuk Performance-based Contract
  • Merenovasi fasilitas dan mengisi layanan obat dan BMHP
  • Menyediakan air bersih untuk bangsal dan klinik
  • Membuka bangsal TB
  • Merenovasi bangsal, dan membangun bangsal khusus untuk anal
  • Menyediakan layanan Family Support

Apa yang dapat dipelajari dari sesi ini bagi sektor kesehatan adalah besarnya potensi kerja sama antara pemerintah dengan swasta untuk sektor kesehatan di Indonesia yang selama ini belum banyak dilirik. Hal ini kemungkinan karena “kesehatan” dianggap sebagai “public goods” sementara pihak swasta dianggap sebagai pihak yang komersial, sehingga pihak swasta dianggap sebagai “outsider” dalam dialog-dialog pembangunan kesehatan. Persepsi ini harus diubah, dan pemerintah harus mulai menyadari pentingnya peran dan potensi sektor swasta untuk bersama-sama mencapai tujuan sektor kesehatan. Pihak swasta juga perlu mendapat dorongan dan bantuan dari pemerintah untuk dapat berkembang lebih baik lagi. Jika pihak swasta dapat berkembang dengan baik, maka mereka dapat berkontribusi lebih banyak dalam hal penyediaan layanan kesehatan yang lebih luas dan lebih bermutu.

Plenary session: The humanitarian system in crisis

Robin Davies, Associate Director, Development Policy Centre, ANU
Adam Kamradt-Scott, Associate Professor, University of Sydney
Phoebe Wynn-Pope, Director, International Humanitarian Law and Movement Relations, Australian Red Cross
Paul McPhun, CEO, Médecins Sans Frontières Australia
Jamie Isbister, First Assistant Secretary, Humanitarian, NGOs and Partnerships Division, DFAT

humani

Hampir 10% dari seluruh dana bantuan development partner biasanya dialokasikan untuk kemanusiaan. Walaupun demikian, masih ada banyak hal yang harus diatasi untuk mendorong dana untuk humanitarian, yaitu:

  • Bagaimana “berpindah” dari sekedar pemberian bantuan (misal: feeding hunger) menjadi lebih solusi yang bersifat ‘local’ (ending hunger)
  • Bagaimana menggalang komitmen untuk krisis konflik yang bersifat multi years
  • Bagaimana humanitarian act harus memiliki desain yang komprehensif untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan harus memiliki kejelasan tentang bagaimana koordinasi dilakukan

MSF melihat banyak organisasi humanitarian baru justru gagal dalam hal:

  • Mendahulukan tujuan core humanitarian dalam situasi konflik demi “menjaga keamanan staf”
  • Mendahulukan kepentingan humanitarian dalam situasi konflik dan bukan hanya mencari situasi-situasi yang “nyaman” karena akses lebih mudah atau biayanya lebih rendah

Apa yang dapat dipelajari dari sesi ini bagi sektor kesehatan adalah sistem kesehatan harus memiliki kemampuan untuk menangani situasi krisis dan situasi konflik secara terstruktur. Hal yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi sumber bantuan dan mengkoordinasikan bantuan secara baik.

Seminar dan Workshop: Stakeholders JKN dan Kemampuan Lobbying dalam proses kebijakan: Dimana peran Asosiasi Fasilitas Kesehatan dan Perhimpunan Profesi

  PENGANTAR

Tahun ke 4 kebijakan Jaminan Kesehatan berlangsung merupakan periode alamiah untuk melakukan evaluasi kebijakan. Pengalaman selama 3 tahun ini telah banyak memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, pelajaran yang dapat dilihat adalah sering terjadinya ketidakk sepakatan antara rumahsakit sebagai pemberi pelayanan, tenaga kesehatan sebagai pelaku pelaksanaan dan BPJS. Dipandang dari sisi pemberi pelayanan, ketidak sepakatan ini kemudian secara re-aktif dilakukan berbagai komunikasi yang bersifat memadamkan kebakaran, bukan antisipatif. Diskusi dan Workshop ini mencoba membahas penggunaan lobby yang lebih bersifat prospektif.

Secara definisi lobbying adalah:
The act of attempting to influence business and government leaders to create legislation or conduct an activity that will help a particular organization (business www.dictionary.com)

Lobbying (atau ‘lobby’) dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok-kelompok lobby. Lobbying dilakukan oleh lobbyist yang digambarkan sebagai berikut:

  • A person who tries to influence legislation on behalf of a special interest;
  • A lobbyist is someone hired by a business or a cause to persuade legislators to support that business or cause.

  TUJUAN

  1. Membahas makna lobby dalam proses pengambilan kebijakan.
  2. Mengamati situasi lobby dalam monitoring dan evaluasi JKN di Indonesia.
  3. Membahas sikap dan strategi Asosiasi RS dan Profesi dalam lobbying kebijakan JKN

  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Anggota Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN
  2. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi

  AGENDA

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 22 Februari 2017; pukul 13:00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link Registrasi berikut:

Arsip diskusi Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 


PEMATERI

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  • Shita Dewi, PhD

PEMBAHAS

  • Pengurus PERSI
  • Pengurus Asosiasi FKTP
  • Pengurus IDI

  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri/ Pembahas
13:00-13:10 Pembukaan Moderator
13:10-13:40 Sesi : Stakeholders JKN dan Kemampuan Lobbying dalam proses kebijakan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

materi

13:40-14:00 Sesi 2: Lobby dalam monitoring dan evaluasi JKN di Indonesia

Shita Dewi, PhD

materi

14:00-14:20 Pembahas I Pengurus Persi
14:20-14:40 Pembahas II Pengurus Asosiasi  FKTP
14:40-15:00 Pembahas III Pengurus IDI
15:00-15:30 Diskusi/tanya-jawab Pemateri/ Pembahas
15:30 Kesimpulan /Penutup Moderator

 

Seminar hari ini dilatarbelakangi sering terjadi ketidaksepakatan antara pemberi pelayanan, tenaga kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Pengantar kegiatan yang menjadi salah satu bagian monev JKN 2017 kali ini memandang bahwa ketidaksepakatan tersebut cenderung masih ditindaklanjuti secara reaktif, bukan antisipatif. Prof. Laksono turut menegaskan pentingnya lobbying dalam program JKN yang telah memasuki tahun keempat. Menurut Laksono, secara alami tidak ada undang-undang yang sempurna sehingga evaluasi dan monitoring kebijakan penting dilakukan.

Prof. Laksono menjelaskan bahwa alur dari hasil studi evaluasi kebijakan tidak dapat terpisahkan dari proses kebijakan yang meliputi : penetapan agenda, evaluasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan perumusan kebijakan. Produk hukum apa yang perlu diubah membutuhkan model evidence based policy making. Sejauh mana asosiasi fasilitas kesehatan dan perhimpunan profesi telah dilibatkan? Untuk memahami peran tersebut, Laksono juga menekankan perlu diperhatikannya masing-masing posisi berdasarkan tingkat interest dan power. Tidak dilakukannya skema lobby yang sistematis menjadi salah satu situasi yang patut diperhatikan sampai saat ini. Untuk melaksanakan strategi asosiasi dan perhimpunan dalam lobbying perlu adanya tim lobbying yang handal dalam memahami isi dan memiliki skill terkait teknik-teknik lobbying.

Komunikasi yang Persuasif adalah Kata Kunci

Sesi berikutnya dilanjutkan oleh paparan materi dari Shita Listyadewi, PhD mengenai lobby dan advokasi serta peranannya dalam program JKN. Shita menekankan bahwa kata kunci utamanya adalah komunikasi yang persuasif. Pertanyaannya, dimana peran lobby dan advokasi dalam monitoring (fokus ke proses) dan evaluasi (fokus ke hasil)? Menurut Shita, hasil evaluasi kebijakan untuk lobbying dan advokasi dapat berupa perbaikan untuk agenda setting (untuk isu konseptual), perbaikan formulasi kebijakan, atau perbaikan yang arahnya lebih ke implementasi. Cara lobbying yang proaktif dapat dilakukan secara langsung, tidak langsung (pihak perantara), terbuka, atau bahkan tertutup.

Perhimpunan Profesi adalah Koalisi Potensial dalam Lobby dan Advokasi

Shita menjelaskan bahwa komunikasi yang persuasif memerlukan kriteria utama seperti : jelas, benar, dan konkret, lengkap, ringkas, meyakinkan, kontekstual, berani, hati-hati, sopan. Sulitnya untuk menemukan seseorang dengan seluruh kemampuan tersebut, maka konsep koalisi menjadi solusi yang diutarakan oleh Shita untuk dipertimbangkan. Koalisi akan efektif jika masalah yang diusung memiliki manfaat bagi anggotanya, terstruktur, dan komitmen untuk berbagi informasi. Jaringan kerja advokasi yang diupayakan setidaknya memenuhi unit kerja pendukung, unit kerja basis, dan unit kerja garis depan. Shita menyatakan bahwa bukan hanya media, namun perhimpunan profesi, asosiasi faskes, perguruan tinggi, asosiasi dinkes juga merupakan koalisi potensial yang dapat dilibatkan. Dalam melakukan advokasi, hal-hal lain yang perlu diperhatikan menurut Shita antara lain : target advokasi, isu yang dikembangkan, strategi koalisi, memahami arus advokasi, dan perlu adanya mitra yang kompeten.

Bagaimana Lobby di Indonesia ?

Sebagai pembahas pertama yang sekaligus politis salah satu fraksi, Ir. Heri Akhmadi, MA kembali mempertegas bahwa lobbying memang harus dilakukan di setiap tahapan siklus kebijakan. Kelemahannya selama ini, lembaga dari pelaksana lobbying yang belum diatur secara kuat. Belum adanya kelompok lobbying yang spesifik terkait program JKN menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Terkait dengan media lobbying, adanya high level policy discussion juga dapat menjadi bagian dari teknik lobbying secara independen. Odang Bachtiar sebagai pembahas kedua juga menambahkan bahwa data untuk mendukung model evidence based policy making sebenarnya telah tersedia, namun yang menjadi pertanyaan besar, sejauh mana telah dapat diakses dan dimanfaatkan dengan baik.

Selaku mantan anggota DPR dan Ketua Dewan Penyantun PERSI, dr. Umar Wahid, Sp. P menjelaskan walaupun masih bersifat politis, namun DPR adalah pembuat produk hukum tertinggi kedua setelah UU. Kendala yang terjadi, tidak semua anggota memahami secara subtansi UU yang akan diterbitkan. Menurut Umar, lebih mudah menyusun UU daripada peraturan pemerintah (PP). Pentingnya sarana dan penyampaian aspirasi kembali dipertegas oleh Eka PutriAsih (DJSN) dan dalam diskusi, Prof. Alimin Maidin menyatakan bahwa kurang terlibatnya organisasi profesi bahkan masih terjadi sampai saat ini dalam lobby dan advokasi, sebagai contoh : di bidang pendidikan saja terkait tunjangan profesi yang tidak melibatkan asosiasi profesor, apalagi program JKN yang baru lahir 2014. Menurut Asih, lobby dan advokasi SJSN dan JKN telah berlangsung mulai dari awal perancangan UU SJSN tahun 2001. Organisasi profesi telah dilibatkan sejak perancangan UU SJSN dan peraturan pelaksanaannya. DJSN berfungsi sebagai perumus kebijakan dan pengawas SJSN adalah pihak yg tepat bagi penyampaian aspirasi publik. Saat ini DJSN belum kongkrit perannya karena adanya distorsi kebijakan Perpres. Asih menyampaikan bahwa DJSN sedang mempersiapkan revisi perpres DJSN dan UU SJSN.

Berkaitan dengan hubungan antar lembaga dalam SJSN, menurut pembahas ketiga bahwa DJSN memiliki posisi yang kuat tapi sejauh ini sepertinya standing position-nya belum terlihat. Alternatifnya mungkin jalur advokasi juga bisa secara langsung melibatkan BPJS Kesehatan dan Kemenkes secara bersamaan. Pentingnya tim lobby yang sistematis kembali ditekankan oleh Prof. Laksono dengan mempertimbangkan beberapa unit/komponen di dalam jaringan kerja advokasi. Pernah ada tim lobby terkait kebijakan rumah sakit daerah yang dapat menjadi lesson learnt dalam penyelenggaraan lobby dan advokasi di era JKN, tegas Umar.

Diskusi kemudian dibawakan oleh Kuntjoro Adi Purjanto (PERSI) terkait apakah kemampuan lobbying bisa dilatihkan atau lebih ke bakat. Menurut Prof. Laksono, sejauh ini implementasi lobby sudah ada namun belum terstruktur dan Shita menegaskan bahwa keterampilan dasar lobby dapat dilatihkan namun perlu terus diasah melalui praktek lobby dan advokasi, terutama pada unit kerja garis depan (front lines).

Sebagai perwakilan BPJS Kesehatan Divisi Regional XI, dr. Elke menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan telah melakukan advokasi kepada stakeholder untuk keberlangsungan program JKN selama ini, khususnya terkait kendali mutu dan kendali biaya. Secara struktural tim lobby di BPJS Kesehatan belum ada, namun secara pelaksanaan telah dilakukan. Aspirasi dari organisasi profesi selalu dilibatkan dalam memperbaiki implementasi regulasi di daerah. Elke setuju jika ada tim khusus lobby dari tiap organisasi profesi, terlebih saat ini salah satu fokus utama dari BPJS Kesehatan adalah dukungan dari organisasi profesi.

Sebagai penutup, Prof. Laksono menjelaskan bahwa sikap dan strategi lobbying sangatlah penting. Rencana tindak lanjut berupa workshop untuk mempertajam kemampuan lobbying tim dengan berbagai keterampilan perlu menjadi agenda berikutnya bagi Asosiasi Fasilitas Kesehatan dan Perhimpunan Profesi.

Notulis : Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

<< kembali ke jadwal 

{jcomments on} 

Annual Scientific Meeting (ASM): “Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba “

  PENDAHULUAN

Penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit masih merupakan masalah utama di Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting untuk segera diatasi, seperti: tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, kusta, diare, campak, difteri, pneumonia, kecacingan, dan demam berdarah dengue (Kemenkes RI, 2016).

Penatalaksanaan penyakit infeksi memerlukan antimikroba yang poten untuk mengeradikasi patogen di dalam tubuh pasien.Beban kesakitan penyakit infeksi yang tinggi diperberat lagi dengan munculnya patogen yang resisten terhadap antimikroba yang ada.Resistensi antimikroba sekarang merupakan masalah global karena luasnya masalah ini di seluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang.Prediksi kematian yang berhubungan dengan resistensi antimikroba pada tahun 2050 adalah 4,7 juta per tahun di Asia, yang menduduki urutan pertama dan disusul oleh Afrika yang diperkirakan mencapai angka 4,15 juta pertahun (O’Neil, 2014). Oleh karenanya, antimicrobial resistance (AMR) telah menjadi perhatian WHO dengan dikeluarkannya Global Action Plan pada tahun 2015 yang menitikberatkan pada lima tujuan strategis. Sementara itu, tidak banyak obat antimikroba baru yang dapat dikembangkan pada saat itu.Adu cepat antara kejadian resistensi terhadap antimikroba dan penemuan obat antimikroba baru dikhawatirkan akan dimenangkan oleh kejadian resistensi antimikroba. Data surveilans yang dikumpulkan dari enam rumah sakit besar di Indonesia atas kerjasama antara PPRA, Balitbangkes, dan WHO pada tahun 2013 menunjukkan frekuensi E.coli dan K. pneumoniae yang memproduksi extended-spectrum beta-lactamases (ESBL) berturut turut berkisar antara 26%-57% dan 32% – 57% (Paraton, 2016). Pada tahun 2013, WHO memperkirakan di Indonesia terdapat 6.800 kasus baru multidrug resistant (MDR) TB. Diperkirakan MDR TB bertanggungjawab pada 2% dari kasus baru dan 12% tuberkulosis pengobatan berulang.

Penyebab terjadinya resistensi antibiotik secara global adalah multifaktorial dan kompleks, meliputi permasalahan pada prescriber (ketidakpastian diagnosis, kurangnya pengetahuan, insentif, dll), dispenser (penggunaan obat-obat standar, kurangnya aturan dispensing), pasien (tekanan terhadap dokter, pengobatan sendiri, akses antibiotik secara bebas) dan fasilitas pelayanan kesehatan (kurangnya pengendalian infeksi yang dapat memicu penyebaran organisme yang resisten terhadap antibiotik). Dengan demikian pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba semestinya melibatkan banyak pemangku kepentingan, yakni: (1) Pembuat kebijakan: Kementrian kesehatan, BP POM, Kementrian pertanian, Dinas kesehatan dan Direktur Rumah Sakit; (2) Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, dan bidan; (3) Masyarakat luas: pasien, apotek, industri farmasi, dan pedagang besar farmasi, dan lain-lain.

Indonesia sudah memulai menyiapkan piranti berupa regulasi dan tata kelola antimikroba yang dipergunakan untuk mengendalikan resistensi antimikroba.Masih diperlukan peningkatan komitmen semua pihak untuk mengimplementasikan secara konsisten usaha pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba.Kerjasama yang baik diantara pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk menahan laju resistensi antimikroba di Indonesia. Lebih jauh diperlukan intervensi multimodal di tingkat nasional meliputi regulasi dispensing, edukasi kepada masyarakat, dispenser dan prescribers, pencegahan infeksi dengan mengoptimalkan imunisasi, perbaikan sanitasi dan kebersihan di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan serta peningkatan surveilans penggunaan antibiotik rasional dan surveilans resistensi antibiotik.

Demikian pentingnya pemahaman masalah resistensi antimikroba di Indonesia maka pada penyelenggaraan Annual Scientific Meeting (ASM) yang kesepuluh tahun 2017 ini, panitia mengangkat tema “Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba”. Diharapkan masalah resistensi antimikroba ini dapat dipahami dengan satu kesadaran, bahwa masyarakat Indonesia harus bersama-sama secara sungguh-sungguh dan konsisten memerangi resistensi antimikroba untuk meningkatkan derajat kesahatan masyarakat secara menyeluruh.

  TUJUAN UMUM & KHUSUS

Tujuan Umum :

Tujuan umum dari ASM 2017 adalah meningkatkan pemahaman, kesadaran dan komitmen serta pembuatan rencana aksi untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba oleh KAGAMA-Kedoktetan bersama para pembuat kebijakan, Institusi pendidikan, dan pihak lain yang terkait.

Tujuan Khusus :

  1. Memahami beban dan kompleksitas permasalahan penggunaan dan resistensi antimikroba.
  2. Mengidentifikasi strategi dalam penggunaan antimikroba yang sesuai.
  3. Mengidentifikasi pihak yang terkait penggunaan antimikroba mulai dari pembuat kebijakan hingga masyarakat pengguna dan bagaimana kerjasama diantara para pihak tersebut.
  4. Memahami kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan RI dalam upaya penggunaan antimikroba yang sesuai.
  5. Memahami peran dan tugas Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Pendidikan dalam menghasilkan tenaga kesehatan dan pembuat regulasi yang berkompeten dalam penggunaan antimikroba yang benar.
  6. Menyepakati rencana aksi pencegahan dan pengendalian AMR di lingkungan rumah sakit pendidikan dan komunitas.

BENTUK KEGIATAN

  1. Seminar Nasional pada Hari Sabtu, Tanggal 04 Maret 2017
  2. Acara Kelompok Kerja berupa Seminar dan Workshop yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja dalam FK UGM, RS UGM dan RSUP Dr.Sardjito pada Februari berakhir sampai bulan April 2017

TARGET PESERTA

Peserta ASM 2017 diharapkan dari:

  • Dosen, Mahasiswa S1, S2, S3 dan Alumni Fakultas Kedokteran UGM.
  • Pengelola Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan (Dokter Spesialis, Dokter Umum, Apoteker, Farmasi, Perawat, Bidan dll.)
  • Dinas Kesehatan
  • Tamu undangan dan masyarakat luas yang berminat.

Target peserta untuk acara puncak seminar Nasional diharapkan bisa mencapai ± 350-400 peserta, sedangkan target peserta untuk keseluruhan kegiatan ASM diharapkan bisa mencapai 2.500 peserta.

  TEMPAT KEGIATAN

Auditorium KF UGM

 

  SEKRETARIAT ASM 2017

KAGAMA Kedokteran
Joglo Grha Alumni Fakultas Kedokteran UGM, JL. Farmako Sekip Utara Yogyakarta.
Telepon : 0274-631206, 560300 ext. 406
Facsimile : 0274-631206
Email : [email protected] 

Jadwal Acara Seminar Nasional ASM, 04 Maret 2017, Auditorium FK UGM

Jam Uraian Acara
07.00-07.45 Pendaftaran
07.45-08.15

MC  : Glory Hapsara Suryandari, S.Pd
Indonesia Raya & Teks : Dr. dr. Carla R. Machira, SpK(K) dan BEM

Pembukaan

  • Sambutan Ketua Umum ASM 2017 : Prof.Dr.dr. Elisabeth Siti Herini, SpA(K)
  • Sambutan Ketua KAGAMA Kedokteran : Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA
  • Sambutan dan pembukaan oleh Dekan FK-UGM : Prof. dr. Ova Emilia, M.Med Ed, Sp.OG(K), Ph.D

Doa : Dr. dr. Probosuseno, SpPD-KGER

08.15-09.00

Keynote Speech

Moderator: Dr. Krishnajaya, MS (Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia-ADINKES / KAGAMA-Dok Angkatan 1973)

Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi
dr. Slamet, MHP

Kebijakan dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

materi

09.00-09.30 Coffee Break

SESI 1
Moderator : Prof. dr. Hari Kusnanto Josep, SU, Dr.PH

09.30-09.50

Pembicara I

Budiono Santoso

“Common Challenges In Containing Antimicrobial Resistance”

materi

09.50-10.10

Pembicara  II

Dr. Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH

“Implikasi Resistensi Antimikroba terhadap beban pemerintah dalam sumber daya biaya, sarana dan manusia untuk pelayanan kesehatan”

materi

10.10-10.30

Pembicara III

Ratna Irawati – Badan Pengawasan Obat dan Makanan

“Kebijakan Pengawasan peredaran antimikroba di Indonesia”

materi

10.30-10.50

Pembicara IV

Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD
“Antimicrobial update: where we are now?”

materi

10.50-11.20

Diskusi

SESI 2
Moderator: Dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK

11.20-11.35

Pembicara I

K. Kuntaman – Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba

“Peran dan tugas Komite PPRA dalam pengendalian resistensi antibiotik di rumah sakit”

materi

11.35-11.50

Pembicara II

Ketua BPJS Kesehatan

Pengaturan Obat Antimikroba dalam Formularium Nasional untuk Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

materi

11.50-12.05

Pembicara III

Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Peran farmasis dalam pencegahan dan pengedalian resistensi antimikroba

materi

12.05-12.20

Pembicara IV

Yayasan Orang Tua Peduli
Dr. Purnamawati, SpA(K)

“Perilaku dan perlindungan konsumen dalam penggunaan antimikroba di masyarakat

materi

12.20-12.45

Diskusi

12.45-13.30 ISHOMA

SESI 3 (Diskusi Panel)
Moderator : Dr. Budiono Santoso, SpFK, PhD

13.30-15.30

Topik :

Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pencegahan, Pengendalian Resistensi Antimikroba Dan Upaya Tindak Lanjut

Panelis :

Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia : Dr. Yulianto Prabowo, MKes

materi

Tenaga Kesehatan Dokter : IDI (Dr.dr. FX. Wikan Indarto, SpA)

materi

Tenaga Kesehatan Perawat : Tri Prabowo, S.Kep, MKes (Ketua PPNI Cabang DIY)

materi

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Yogyakarta : Yulianto, S.Farm, MPH, Apt

materi

Fakultas Kedokteran UGM : Prof. Dr. Ova Emilia, MMedEd, PhD, SpOG(K)

materi

15.30-16.00 Kesimpulan dan Penutup

 

 

Seminar: Ideologi dalam Kebijakan JKN

  PENGANTAR

Ketika sebuah negara mengembangkan sistem kesehatan untuk rakyatnya, selalu ada pertanyaan yang menarik untuk dijawab: adakah ideologi yang menjadi landasan nilai?. Ketika kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional dicanangkan dengan UU SJSN dan UU BPJS, pertanyaannya adalah apakah ada ideologi yang menjadi dasar penyusunan dan apakah konsekuen dijalankan dalam pelaksanaannya. Tanpa ada landasan nilai ideologi yang dipegang, sistem jaminan kesehatan yang berbasis asuransi kesehatan dapat berubah dari semangat dasarnya. Landasan ideologis ini juga menjadi dasar keputusan menjalankan kebijakan pembiayaan seperti yang terjadi saat ini, ketika Obamacare dihapuskan oleh Donald Trump.


  TUJUAN

  1. Membahas makna ideologi dalam jaminan kesehatan.
  2. Ideologi apa yang de jure dan de facto ada di UU SJSN dan UU BPJS?
  3. Bagaimana posisi ideologi dalam Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN.


  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Anggota Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN
  2. Mahasiswa S2 HPM FK UGM
  3. Alumnus S2 IKM
  4. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi


  AGENDA

Diskusi ini diselenggarakan pada Rabu, 1 Februari 2017, pukul 08.30 – 10.30 WIB; bertempat di Gd. Ruang Kuliah S3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. 

Arsip rangkaian kegiatan Monev JKN 2017 dapat diakses selengkapnya pada website www.kebijakankesehatanindonesia.net  dan http://manajemen-pembiayaankesehatan.net 
Materi dan video dapat diklik dan diunduh melalui kedua web tersebut.

PEMATERI

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

PEMBAHAS

  • Prof. Purwo Santoso (FISIPOL UGM)
  • Prof. Wihana Kirana Jaya (FEB UGM)


  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri/ Pembahas
08:30-08:40 Pembukaan Moderator
08:40-09:20 Idelogi dalam JKN

Prof. dr. Laksono Trisnantoro

materi   video

09:20-10:00 Pembahasan

Pembahas:

Prof. Wihana Kirana Jaya

materi

Prof. Purwo Santoso

materi   video

10:00-10:30 Diskusi Pemateri/ Pembahas
10:30 Penutup Moderator

 

  INFORMASI & PENDAFTARAN

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: [email protected]
Website: http://manajemen-pembiayaankesehatan.net 

PKMK-Jogja. Berita defisit dari BPJS Kesehatan membawa kita kearah kekhawatiran terjadinya permasalahan dalam pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kekhawatiran ini terjadi karena dana JKN cenderung dimanfaatkan oleh masyarakat yang mampu. Salah satunya diakibatkan klaim di rumah sakit yang tidak ada batasnya. Klaim yang tinggi dari peserta mandiri disinyalir menjadi penyebab tingginya klaim di rumah sakit. Kemungkinan kedua, masyarakat tidak mampu cenderung sulit dalam mengakses pemberi pelayanan kesehatan. Prof. dr Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD, dosen dan peneliti PKMK FK UGM menyatakan bahwa kali ini tim peneliti UGM mengusung tema pemerataan dan akses dalam monitoring program JKN.

Seminar yang diselenggarakan hari Rabu, 1 Februari 2017, menghadirkan tiga ahli keilmuan yang berbeda untuk melihat bagaimana pelaksanaan JKN sejak tahun 2014. Prof. dr Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD dari Fakultas Kedokteran, Prof. Wihana Karya Jaya dari Fakultas Ekonomi dan Prof. Purwo Santoso dari Fakultas Fisipol. Kegiatan ini merupakan rangkaian Monitoring dan Evaluasi JKN tahun 2017 yang menjadi bagian program rutin Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Prof. Laksono menyatakan bahwa Monitoring dan Evaluasi penting dilakukan untuk mengkritisi pelaksanaan JKN, salah satunya dilihat dari ideologi yang mendasari kebijakan JKN. Kebijakan JKN tidak hanya dibiayai dari pengumpulan premi atau iuran peserta, namun masih ada kemungkinan solusi lain untuk membiayai kebijakan JKN, yaitu dengan menaikkan pajak penghasilan secara progresif. Namun, kebijakan pengenaan pajak yang tinggi ini berlaku bagi orang yang kaya karena yang paling diuntungkan dalam pelayanan JKN sementara ini yaitu orang kaya yang cenderung lebih banyak mengakses fasilitas kesehatan.

Dari sisi Ekonom, Prof. Wihana Karya Jaya menyatakan ideologi adalah keyakinan yang dianut bersama berdasarkan konvensi atau kesepakatan bersama. Ideologi juga yang menjadi modal sosial yang mempengaruhi keputusan. Ideologi juga mendorong etos kerja warga agar mampu menampilkan performance terbaiknya. Jika performance sudah baik, maka akan tercipta governance atau tata kelola yang baik.

Sementara menurut ahli ilmu politik, Prof. Purwo Santoso menyatakan siap yang bertanggung jawab untuk menjangkau masyarakat didaerah terpencil. Ini memunculkan masalah kelembagaan. Terjadi gap antara ideologi dan praktek atau implementasi di masyarakat. Maka, perlu dilihat lagi apakah akses jalan, infrastruktur dan hal terkait menjadi tanggung jawab di Kementrian Kesehatan? Dan seberapa jauh tanggung jawab dari BPJS Kesehatan? Ini merupakan salah satu contoh implementasi undang-undang atau peraturan yang kurang baik di Indonesia. Fakta ini terjadi seiring pemahaman mengenai ideologi dan UU SJSN yang belum sama.

Faktanya jika infrastruktur baik, maka pelayanan menjadi lebih efisien. Prof. Purwo juga setuju dengan pernyataan Prof. Laksono bahwa yang paling berhak dan prioritas menerima pelayanan JKN justru masih tidak terjangkau oleh tata kelola atau kebijakan yang ada. “Maka, apakah dislokasi ini patut disebut berkah atau petaka?”, tambah Prof. Purwo. Disusul dengan anekdot, orang miskin menyubsidi orang kaya, ini kedermawanan dan eksploitasi?.

Dr. drg. Julita Hendrartini menyatakan ada indikasi tidak sinkronnya UU SJSN yang contributory welfare state dan UUD 1945 yang mengusung ideologi welfare state. Apakah perlu kita melihat kembali pemaham ini? Prof. Laksono menutup seminar bahwa kita belum mampu menerjemahkan contributory welfare state yang termuat dalam UU SJSN hingga tahun ke-3 ini.

Hasil diskusi: Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN di tahun 2017, Apakah diperlukan?

Jakarta, 11 Januari 2017

Ringkasan

  1. Tahun 2017 perlu melakukan kegiatan penelitian dan pengamatan untuk menjadi bahan bukti bagi monitoring dan evaluasi kebijakan JKN. Kondisi pelaksanaan JKN saat ini, dari perspektif pemerataan, mempunyai potensi untuk menyimpang dari UUD 1945. Dari aspek pembiayaan, kondisi sekarang mengakibatkan kesulitan berkembang untuk lembaga pemberi pelayanan kesehatan dan profesi kesehatan, yang mempunyai risiko penurunan mutu pelayanan.
  2. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial diperlukan sebagai dasar indikator keberhasilan ataupun kekurangan Kebijakan JKN. Perspektif yang ditekankan adalah dengan mengacu pada UUD 1945, khususnya dalam hal pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  3. Proses kebijakan berikutnya dari Monitoring dan Evaluasi JKN dapat berada di 2 level. Jalur level 1 adalah perubahan UU melalui proses Yudisial Review, atau Legislatif Review dengan memasukkan pada prolegnas. Pendekatan Legislative Review membutuhkan waktu dan usaha yang panjang, namun lebih memberi suasana dialogis. Level ke dua adalah monitoring dan evaluasi yang berdampak pada perubahan jangka pendek di Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan berbagai peraturan lainnya sebagai turunan UU SJSN dan BPJS. Pilihan jalur ditentukan oleh stakeholders.
  4. Langkah yang akan ditempuh adalah melakukan penelitian monitoring dan evaluasi Kebijakan JKN dengan berbagai universitas dan stakeholders. Monitoring JKN yang sudah dilakukan sejak tahun 2014 oleh UGM akan menjadi bahan dasar. Diskusi terkait monitoring dan evaluasi kebijakan akan dilakukan dalam berbagai topik di sepanjang tahun 2017. Data untuk monitoring dan evaluasi kebijakan diharapkan berasal dari Litbang Dewan Pengawas BPJS dan BPJS serta data dari Kementerian Kesehatan.
  5. Hasil kegiatan akan dibahas pada Pertemuan Tahunan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang direncanakan berlangsung pada bulan Oktober 2017. Diharapkan hasil kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dipergunakan oleh semua stakeholders yang berkepentingan untuk perbaikan kebijakan JKN.
  6. Semua kegiatan akan dilakukan di web www.kebijakankesehatanindonesia.net  dan www.manajemen-pembiayaankesehatan.net  Materi diskusi pertemuan pertama, beserta video (pada saatnya) dapat diklik di kedua web tersebut. Stakeholders yang berminat dapat mendaftarkan diri untuk selalu mendapat informasi dalam proses Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN ini.
13.10.13.30

Monitoring dan Evaluasi dalam Proses Kebijakan

  • Teori Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
  • Review Undang-Undang: Executive Review (oleh pemerintah), Yudikatif Review (Oleh DPR). Proses Review UU di Indonesia: Apakah harus melalui Prolegnas?
  • Evaluasi Kebijakan dan Stakeholders analysis: Pemerintah; Kelompok dalam Masyarakat; Providers; Asosiasi Profesi, BPJS; Media.

Shita Listyadewi, MM., MPP., PhD

materi

13.30-13.50

Evaluasi kebijakan JKN

  • Mengapa JKN perlu dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen.Siapa yang disebut pihak independen?
  • Perspektif Monitoring dan Evaluasi: Apakah isu pemerataan dan mutu menjadi fokus monitoring dan evaluasi? Apa indikatornya?
  • Apakah ideologi menjadi kunci penting dalam evaluasi?

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

materi

Materi 6 Februari

 

Video presentasi   diskusi

13.50-14.45 Diskusi Pemateri/ Pembahas

<< kembali ke jadwal

 

Kegiatan follow-up untuk Monev JKN di tahun 2017

followupmonevjkn

Pada tahun 2017 PKMK FK UGM merencanakan serangkaian kegiatan penelitian dan pengamatan, serta diskusi untuk menjadi bahan bukti bagi monitoring dan evaluasi kebijakan JKN. Silahkan klik pada kegiatan-kegiatan di bawah ini.

Januari 2017

Februari 2017

Maret 2017

April 2017

Mei 2017

Juni 2017

Agustus 2017

Oktober 2017

Desember 2017: Outlook 2018

 

 

 

 

 

 

Panel 2: Isu Prioritas

Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Pemateri: Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes

Sinkronisasi merupakan amanat UU dan semangat NKRI. Sinkronisasi menjadi prioritas dalam tatanan sistem perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia yang terintegrasi. Mengapa harus sinkronisasi? Selama ini upaya sinkronisasi belum jelas, dokumen perencanaan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah di daerah (RPJMD) belum semua memperhatikan dan sinkron dengan RPJM Nasional (RPJMN). Faktanya, perencanaan yang sinkron dan terintegrasi satu sama lain sudah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) di Indonesia bahwa perencanaan haruslah terintegrasi dan sinkron satu sama lain serta diamanatkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 2014 bahwa Pemerintah Daerah haruslah membuat dokumen perencanaan daerah (RPJMD) yang mengacu RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional (RPJMN).

Ketidaksinkronkan ini juga terjadi akibat adanya situasi politik dimana pemilihan kepala daerah dengan pemilihan presiden tidak sinkron dari aspek waktu. Dalam konteks politik tersebut pilkada serentak yang sekarang sudah mulai dilakukan di Indonesia, mengharuskan para kepala daerah wajib membuat RPJMD sekurang-kurangnya 6 bulan setelah pelantikan. Berdasarkan UU. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 269 dinyatakan bahwa Menteri berhak membatalkan Perda RPJMD di tingkat provinsi, jika dinilai RPJMD tersebut tidak sesuai dengan RPJMD Provinsi dengan RPJMN. Pada level Kabupaten/Kota tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2014 pasal 271 yang menyatakan bahwa jika RPJMD Kabupaten/Kota dinilai oleh Gubernur dan DPRD Provinsi tidak sesuai dengan RPJPD Kabupaten/Kota dan RPJMD Provinsi, serta RPJMN, maka sebagai perwakilan pemerintah pusat berhak untuk membatalkan Perda-nya.

Sebagai upaya perwujudan sinkronisasi di perencanaan sektor kesehatan PKMK FK UGM bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kementrian PPN/Bappenas serta didukung oleh lembaga donor seperti DFAT, AIPHSS, dan UNICEF telah mewujudkannya dalam penyusunan modul sinkronisasi RPJMD-RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang telah dimulai pada tahun 2015. Modul sinkronisasi tersebut disusun untuk menjembatani pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi, dan modul tersebut sudah diselesaikan baik dalam versi cetak maupun dalam versi online.

Outlook sinkronisasi RPJMD-RPJMN ini, tidak hanya sampai dengan outlook 2017 tetapi jangka panjang sampai dengan tahun 2027 karena pilkada serentak akan terus dilaksanakan pada tahun tersebut, setelah pemilihan presiden akan dilakukan pada tahun 2025. Pada pilkada serentak di tahun tersebut akan ada 500 Kabupaten/Kota yang akan mengikutinya. Pilkada yang terdekat adalah pilkada pada 15 Februari tahun 2017 mendatang yang akan dilakukan oleh 101 Kabupaten/Kota. Tentunya, upaya penyesuaian dan penyelarasan harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh komitmen.
Pelaksanaan tersebut tentunya tidak hanya membutuhkan sumber daya saja namun juga membutuhkan dukungan regulasi-regulasi daerah yang memperkuat. Surat Edaran Bersama (SEB) Tiga Menteri yang akan segera disahkan, jika hal tersebut terjadi maka akan banyak kegiatan-kegiatan pendampingan yang melibatkan banyak tenaga konsultan. PKMK FK UGM tidak mungkin dapat menjangkau semua daerah-daerah yang menjadi target, sehingga harus melibatkan konsultan atau fasilitator pendamping yang ada di daerah untuk melakukan asistensi atau pendampingan sinkronisasi. Sebagai tahapan awal, pemenuhan fasilitator pendampingan ini sudah mulai dilakukan pada akhir 2016 dengan melakukan pelatihan jarak jauh untuk calon fasilitator pendamping yang nantinya juga akan direkomendasikan sebagai fasilitator pendamping bagi daerah. Sinkronisasi yang dilaksanakan dengan komitmen penuh oleh semua pihak yang terlibat baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sektor-sektor yang terkait yang berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan dapat mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.

Notulen: Emmy Nirmalasari, SKep, MPH


Sinkronisasi Produk Hukum di Bidang Kesehatan

Pemateri: Rimawati

Regulasi kesehatan adalah seperangkat aturan yang tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya adalah untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. Sepanjang periode pertengahan tahun 2015 sampai dengan awal Desember 2016 telah disusun dan disahkan sebanyak 158 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Jenis produk peraturan yang teridentifikasi selama tahun 2016 terdiri dari Undang-undang (7 buah), Peraturan Pemerintah (5 buah), Peraturan Presiden (9 buah), Peraturan Menteri Kesehatan (27 buah), Peraturan Menteri Keuangan (10 buah), Peraturan Menteri Perdagangan (5 buah), SE Menteri Kesehatan (3 buah), Keputusan Menteri Kesehatan (10 buah), Peraturan BPJS (20 buah), Peraturan BPOM (17 buah), Peraturan Daerah/Provinsi/ Kabupaten Kota (55 buah). Dari 158 beberapa menyangkut tentang bidang kesehatan yang terdiri dari Pelayanan Kesehatan (43 buah), Asuransi Kesehatan dan JKN (37 buah), Tenaga Kesehatan (16 buah), Perbekalan dan Alkes (9 buah), Sistem Informasi Kesehatan (9 buah), Farmakin (10 buah) dan Sistem Kesehatan Daerah (34 buah).

Dalam konteks pembentukan regulasi kesehatan banyak dipengaruhi oleh politik hukum kesehatan yang akan menciptakan kebijakan hukum kesehatan. Produk perundangan itu dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Regeling dan Beschikking. Dilihat dari kedua ini perumusan regulasi kesehatan akan sangat dipengaruhi dengan politik hukum. Sinkronisasi Regulasi Kesehatan tidak selamanya sepanjang tahun 2016 mengalami implementasi peraturan sebagaimana yang diharapkan. Ada beberapa produk hukum bidang kesehatan yang diajukan melalui MK untuk dilakukan Judicial Review. Proses ini seringkali murni karena produk hukum yang dibuat bertentangan dengan konstitusi adakalanya juga dipengaruhi oleh Politik hukum.

Ada beberapa isu Prioritas yang ada dalam regulasi di bidang kesehatan yaitu, yudisial review UU 20 /2013 tentang Dikdok (Putusan Mk No. 122/PUU-XII/2014), UU 24/2011 tentang BPJS (Putusan MK No. 47/PUU-XIII/2015), UU 36/2014 tentang tenaga kesehatan (Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015 dan No. 88/PUU-XIII/2015), Kewenangan Daerah UU No. 9/2015 dan PP No. 18/2016 dan Pelayanan Kesehatan dan SDM.

Regulasi tahun 2016 masih ada beberapa regulasi bidang kesehatan khususnya terkait isu pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan/ JKN dan tenaga kesehatan yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Disahkannya PP No. 18 tahun 2016 di mana RSUD menjadi UPT Dinkes membutuhkan aturan pelaksana dalam bentuk produk hukum Perpres. Regulasi kesehatan pada tahun 2016 membutuhkan peran aktif dari para perumus baik dari badan legislatif maupun stakeholder terkait. Dalam penyusunan regulasi kesehatan perlu dipertimbangkan adanya politik hukum dalam penyusunan untuk menghindari adanya kemandulan dalam produk hukum yang dibuat.

Outlook Regulasi Kesehatan 2017, DPR RI/ DPRD melakukan Advokasi untuk penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai legislative body. Pemerintah (Badan Eksekutif) melakukan Advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai executive body. Kementrian Kesehatan dan Kementrian terkait melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Teknis dari amanat peraturan perundang-undangan sebagai penyelenggara teknis. Pemerintah daerah (bagian hukum sekertaris daerah) melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan. Peranan PKMK FK UGM dalam penyusunan Regulasi Kesehatan 2017 antara lain:

  1. Melakukan fasilitasi dan konsultasi dengan DPR, DPRD maupun Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan serta Organisasi Profesi untuk penyusunan naskah akademik dan rancangan penyusunan kebijakan teknis yang dibutuhkan
  2. Melakukan advokasi penyusunan regulasi teknis kesehatan baik pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt


Emergency Medical Team

Pemateri : Madelina Ariani, SKM,MPH.

Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana gempa bumi yang berkekuatan 6SR pada pukul 05.03 WIB di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, setelah Tsunami yang terjadi sekitar 12 tahun yang lalu. Ada sekitar 1009 kejadian bencana yang terjadi di Aceh sejak tahun 1815-2016. Tetapi Jawa masih menjadi juara dalam jumlah kejadian bencana yang terbanyak di Indonesia (sumber: Pusat Data Informasi dan Humas – BNPB).

Sama seperti di tahun 2015, bencana perubahan iklim masih menjadi kejadian bencana yang banyak terjadipada tahun ini. Walaupun di awal tahun bencana kebakaran hutan dan lahan sempat menjadi perhatian dari beberapa propinsi, seperti Propinsi Riau, Palembang, Jambi dan Kalimantan.
Perjalanan kesiapan penanggulangan bencana di Indonesia selama tahun 2016 semakin meningkat. Fasilitas kesehatan baik puskesmas, rumahsakit dan sumber daya manusia semakin sadar bahwa dibutuhkan peningkatan kapasitas terhadap itu semua. Salah satu bentuk yang dilakukan adalah dengan penyusunan rencana kontijensi yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan serta kesiapan Rumah Sakit (HDP) dan Puskesmas di Indonesia.

Kebutuhan masyarakat dalam menerima pelayanan terhadap kejadian gawat darurat juga sudah dilakukan pada tahun ini oleh pihak Kementrian Kesehatan berdasarkan Instruksi Presiden no 4/2013, lewat Public Safety Center (PSC) 119. Walaupun dari 539 kabupaten, baru sekitar 90 kabupaten yang memiliki PSC 119, tetapi ini juga menjadi salah satu usaha pemerintah dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kegawatdaruratan. Tidak hanya itu, melalui Permenkes No 19 Tahun 2016 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu juga dikembangkan menjadi salah satu sistem yang terkordinasi dari pre Hospital, Inter Hospital dan Intra Hospital. Melihat hal ini maka dibutuhkan sumber daya baik tenaga medis maupun para medis yang terampil dan siap jika dibutuhkan sewaktu-waktu. Saat ini sudah dilakukan pertemuan dan rencana kedepan agar tiap kabupaten, propinsi dan sampai tingkat nasional wajib menyiapkan Tim Reaksi cepat (Emergency Medical Team) sesuai dengan panduan WHO, dan siap terjun saat terjadi krisis kesehatan ataupun bencana.

Berdasarkan prioritas dan perubahan paradigma ke arah kesiapsiagaan, dalam kebijakan penanggulangan bencana di tahun 2017 pada fase pra bencana sesuai dengan “Sendai Framework” yaitu pengurangan risiko bencana dengan penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal. Maka Divisi Manajemen Bencana juga melakukan aksi ini dengan berbagai kegiatan bekerja sama dengan Kemenkes, WHO, rumah sakit, Puskesmas, BPBD, Pemda dan lintas fakultas dalam memberikan pendampingan guna membantu Fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia agar siap dalam menghadapi krisis kesehatan.

Lewat Deklarasi UGM kampus tangguh bencana, maka pengembangan kurikulum manajemen bencana masih akan tetap dilakukan dan selalu dievaluasi agar Fakultas Kedokteran khususnya bisa memiliki mahasiswa yang memahami peran mereka jika masuk dalam situasi bencana. Tidak hanya mahasiswa, tetapi pihak Ilmu Kesehatan masyarakat (IKM) di Fakultas Kedokteran akan membangun sistem keselamatan kerja terhadap dosen, staf, satuan keamanan, petugas yang sehari-hari bertugas saat jam kerja dan di luar jam kerja, untuk siap menghadapi situasi gawat darurat. Harapannya tidak hanya di lingkungan IKM tetapi seluruh civitas di lingkungan FK akan terbangun sistem Keselamatan kerja dan bangunan yang aman (safety building).

Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt


 

Pembahas : drg. HM Taufiq Ak, M. Kes,

Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta

Dalam melakukan sinkronisasi pembangunan kesehatan, pihak terkait dalam hal ini adalah stakeholder, harus memiliki ideologi yang sama. Sederhananya adalah pemahaman, konsep, dan kesepakatan yang sama agar sinkronisasi ini dapat terjadi. Cotohnya, di Provinsi D. I. Yogyakarta selama ini jika daerah akan menyusun suatu kebijakan (kesehatan), daerah harus paham bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat, kesehatan masyarakat, dan prinsip dasar pembangunan kesehatan. Fokus yang harus disepakati, diatur dalam suatu kebijakan yang dapat berlaku lokal masing-masing, jadi harus ada kesepakatan bersama. Mulai dari kepemimpinan, perbaikan kebijakan, dan perbaikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan, bahwa pelayanan kuratif BPJS Kesehatan telah membayar 6,9 Trilyun untuk di D. I. Yogyakarta. Ini menjadi contoh bahwa dalam proses pembiayaan akan memiliki dampak yang luas khususnya juga kepada masalah ekonomi secara luas. Maka, perlu ada tindak lanjut mulai dari apa yang harus dilakukan selanjutnya dan bagaimana sinkronisasi yang akan kita kerjakan. Jika semisal sudah ada RPJMD, ada hukum, ada kewenanagan, tapi ternyata ada permasalahan yaitu perbedaan prioritas masalah. Masalah penentuan prioritas ini tidak mudah. Perlu ada sinkronisasi kebijakan dulu dalam tingkat stakeholder (misal dalam 5 tahun pemilu) dan kita harus seoptimal mungkin menggunakan sumber daya yang kita miliki. Selain itu, dengan adanya laporan dari BPJS Kesehatan tersebut, kita harus dapat melakukan standar pelayanan kesehatan di Indonesia. Standar pelayanan ini sebaiknya juga mencakup dari kualitas, mutu, dan akses ke pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sistem yang harus diperbaiki adalah masalah sistem rujukan, kompetensi dan kualitas SDM Kesehatan, profil kemampuan masing-masing FKTP dan FKTL, mengembangkan permberdayaan masyarakat, mutu pelayanan, dan lingkungan. Sinergisme aspek-aspek tersebut dapat menjadi acuan bagi stakeholder untuk dapat sampai pada penentuan program prioritas bersama, khususnya dalam bidan kesehatan.

Diskusi Panel 2

Moderator : Anis Fuad, DEA

Mengapa permasalahan bencana mudah menjadi penggerak bagi setiap orang yang terkait untuk dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik? (Pertanyaan dari Anis Fuad, DEA)

Jawaban :
Sebenarnya tidak mudah untuk dapat berkoordinasi dalam menanggulangi/tanggap darurat bencana, tapi masing-masing pihak terkait darimanapun, dengan kepentingan yang sama mereka akan menurunkan ego masing-masing sehinigga dapat bersatu dan berkoordinasi dengan lebih baik. Disisi lain, jika dilihat dari sisi manajemen SDM, respon terhadap bencana memberikan spontan recruitment personal yang mudah karena pemahaman bahwa bencana ini erat kaitannya dengan cepat tanggap dan memerlukan respon yang tinggi. Retension dari sisi bencana mulai dari fase emergency respon sampai fase selanjutnya bahkan masih ada terus tenaga-tenaga yang respon/turut serta menolong. Atau dapat dikatakan akan ada retensi yang lebih lama. Dalam proses release personalnya pun bahkan ada ceremony khusus yang dilakukan. Mungkin, hal-hal seperti ini dapat diadopsi untuk diterapkan dalam menghadapi permasalahan kesehatan pada daerah-daerah terpencil atau perbatasan.

Berkaitan dengan masalah sinkronisasi secara umum, dari tingkat provinsi biasanya akan memberikan gamabran secara umum yang akan diterapkan dan disesuaikan oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. Permasalahannya adalah apakah penerjemahan maksud dan makna dari gambaran umum provinsi akan ditangkap atau ipahami sama ke depannya oleh kabupaten/kota di wilayahnya. Penerjemahan dalam sinkronisasi dalam waktu yang sama itu biasanya masih menjadi kendala. Tapi, biasanya saat terjadi bencana itu akan terjadi lebih mudah. Pemanfaatan anggarannya pun biasanya akan berbeda karena ada situasi sosial yang memang berbeda dari kondisi biasanya/normal.

Bagaimana meningkatkan retensi tenaga kesehatan di wilayah terpencil? (Pertanyaan via webinar dari Alvin Pasaribu),

Jawaban :
SDM Kesehatan harus dipastikan memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai. Selain itu, harus dipastikan bahwa kemampuan mereka itu cocok dengan kebutuhan masyarakat di lokasi yang menjadi sasaran. Kedekatan dengan pihak lokal juga dapat meningkatkan motivasi dalam bekerja. Disisi lain, dari pihak lokal/daerah juga harus memastikan bahwa ada kesiapan sarana prasarana yang menunjang prosedur kerja tenaga kesehatan terkait. Hal lain yang berpengaruh adalah kaitan dengan masalah insentif dan ikatan dinas Pegawai negeri Sipil (PNS). Mengingat bahwa ini berada di lokasi yang terpencil/perbatasan, maka sebaiknya yang harus dipastikan adalah sistem pelayanan/prosedur yang tetap/terstandar, meskipun nanti tenaga kesehatannya akan berganti-ganti.

Siapakah yang memiliki kewenangan dalam mengharmonisasikan kebijakan/regulasi? (Pertanyaan dari Shita Listyadewi, PhD),

Jawaban :
Dalam tata pemerintahan kita ada 3 lembaga terkait yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif memiliki wewenang dalam mengeluarkan produk hukum Undang-Undang. Dari pihak eksekutif, pemerintah pusat ataupun daerah memiliki c.q untuk lembaga teknisnya melalui kementerian atau instansi di daerah. Yudikatif sendiri memiliki kewenangan untuk menegakkan produk hukum baik di pusat ataupun di daerah. Di sisi lain, dalam melakukan penyusunan regulasi/peraturan, seharusnya juga mengikutsertakan orang-orang ahli yang terkait dengan substansi peraturan yang akan dibuat. Fungsi lain yang tidak boleh dilupakan adalah pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan tersebut harus melihat bahwa jangan sampai ada pertentangan antara peraturan yang dia atasnya atau yang sudah ada sebelumnya. Harmonisasi ini diharapkan dapat menjadi penghubung dalam sinkronisasi substansi kebijakan dari pusat misalnya yang akan diturunkan atau diadopsi di daerah. Harmonisasi ini juga sangat penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan kebingungan/makna ganda dalam suatu regulasi tertentu.

{jcomments on}

Notulensi Panel 3: Isu Prioritas

Telah dilaksanakan diskusi Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017, sesi ini merupakan panel ke-3 yang dimoderatori oleh dr Bella Donna, M.Kes. Bertindak sebagai Pembahas yakni dr. Arida Oetami, M.Kes. Sesi ini memotret penjelasan yang sudah disampaikan oleh dr Nurcholis yang mengangkat tema KB dan Isu care pathway yang disampaikan oleh dr Shinta Prawitasari, SpOG. Menurut dr.Arida apa yang sudah dijelaskan oleh panelis merupakan kegiatan yang saling terkait antara satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.

Jika melihat permasalahan KB dan KIA maka tidak lepas dari komponen keluarga, misalnya apa yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 saja sudah lebih dari 60 kelahiran usia remaja dan hal ini tidak lepas dari komponen keluarga. Menurut Arida ,harus ada pengendalian penduduk baik terkait kualitas maupun kuantitasnya. Kualitas mencakup kualitas hidup termasuk umur harapan hidup), kuantitas yakni dengan pendewaasaan usia pernikahan. Untuk mengatur pertambahan penduduk secara kuantitas maka beberapa hal harus dilakukan dengan pengaturan kehamilan yang diinginkan, pembinaan kepesertaan KB, penggunaan alat obat KB, peningkatan pendidikan, akses layanan KB, penurunan kematian ibu pasca melahirkan dan kematian bayi dan anak. Atau bisa disebut pengaturan fertilitas dan penurunan mortalitas.

Menurut ibu yang pernah menjabat sebagai kepala Dinkes DIY ini, rencananya tahun depan pihak-pihak terkait akan merancang PERDA tentang ketahanan keluarga. Hal ini dilakukan untuk memastikan ibu hamil setelah melahirkan telah menjadi peserta KB baru. Dijelaskan juga bahwa perlu menguatkan sistem mulai dari pemerintah sampai dengan pelayanan KIA, tidak bisa yang diperbaiki hanya sistemnya saja, tapi sistem dalam komunitas itu juga harus dikerjakan. Maka, langkah selanjutnya ialah perlu membentuk konselor keluarga.

Sesi diskusi pada isu prioritas ke-3 berlangsung dengan baik, beberapa pertanyaan disampaikan sebagai bentuk mempertegas kembali terkait dengan kondisi terkini keterlibatan KB dan KIA dalam situasi kesehatan nasional saat ini. Beberapa permasalahan mengemuka terkait permasalahan kematian ibu dan anak, salah satu penyebab diantaranya adalah karena faktor budaya, mutu pelayanan kesehatan yang rendah, meskipun pada permasalahan akses bukan menjadi kendala. Jika dilihat dari program yang dilaksanakan terlihat bahwa masing-masing komponen sepertinya memeiliki agenda sendiri-sendiri padahal tujuannya sama sehingga ke depan diharapkan berhasil dalam mensinegrikan kebijakan antara Kemkes dan BKKBN. (Reporter: Andriani)

 

Sesi Pengantar Umum Kesehatan Global 2017: Resilient Health System

Mengawali Pertemuan Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017 PKMK FK UGM, dr. Yodi Mahendradhatta, MSc, PhD mengisi sesi pertama Pengantar Umum mengangkat tema kesehatan global yang di tahun 2017 yang akan mengusung topik Resilient Health System. Resilient Health System digadang-gadang akan menjadi revolusi besar di sektor kesehatan 2017, karena kata resilient atau resiliensi sendiri secara harfiah dapat diartikan ketahanan dari kejatuhan dan untuk bangkit. Konsep ini sebetulnya bukan konsep kesehatan secara murni, namun diadopsi mengingat banyaknya kejadian dan krisis yang terjadi pada tahun 2016 di berbagai sektor kehidupan yang turut mengancam ketahanan sistem kesehatan global sehingga relevan untuk diterapkan. Menurut jurnal Lancet, 2016 merupakan tahun kegelapan dengan banyaknya krisis yang terjadi termasuk di bidang kesehatan, diantaranya merebaknya Zika Virus yang bahkan dinyatakan oleh WHO sebagai global health emergency.

Kemudian terkait pendanaan kesehatan baik di skala nasional maupun global, berbagai konflik dan isu politis dunia turut berpengaruh terhadap pendanaan kesehatan. Misal akibat konflik Syiria, menyebabkan gelombang imigrasi besar-besaran di berbagai negara Eropa yang mengakibatkan negara-negara Eropa harus mengatur ulang pendanaan kesehatan nasionalnya untuk menangani pengungsi. Sedangkan di sisi lain, negara-negara Eropa memegang peran penting dalam pendanaan kesehatan global sehingga menyebabkan pemotongan kucuran-kucuran dana bagi negara berkembang dan tertinggal. Tidak terkecuali dengan kejadian Brexit atau keluarnya Inggris dari Eropa, yang turut mempengaruhi pendanaan kesehatan global karena Inggris juga merupakan salah satu penyumbang terbesar. Ditambah lagi dengan kondisi politik Amerika pasca terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika, pendanaan kesehatan dunia dalam ketidakpastian sedangkan Amerika merupakan penyumbang terbesar di WHO. Menurut dr. Yodi, dilatarbelakangi kondisi-kondisi inilah maka sistem kesehatan di 2017 agak sulit untuk diprediksi. Maka dalam Simposium Global Health Ke-4 di Vancouver beberapa waktu lalu, ditetapkanlah konsep Resilient Health System ini untuk Sistem Kesehatan 2017. Elemen-elemen dari Resilient System Sistem Kesehatan Global ini adalah :

  • kapasitas mendeteksi ancaman kesehatan sebelum terjadi (detect health system before they strike)
  • seberapa jauh sistem kesehatan komprehensif dan menjangkau masyarakat (melalui JKN)
  • kapasitas sistem mencegah disrupsi
  • seberapa cepat sistem memobilisasi sumber daya di luar kesehatan
  • sistem cepat bangkit ketika terguncang

Refleksi Sektor Kesehatan Secara Umum di Indonesia

Masih dalam sesi Pengantar Umum, pembahasan kedua mengangkat tema Refleksi Sektor Kesehatan Secara Umum di Indonesia, oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro. Dalam presentasinya Prof. Laksono mencoba merefleksikan kembali kondisi sistem kesehatan di Indonesia di tahun 2016 yang ternyata masih banyak masalah. Pertama dari sisi pembiayaan kesehatan, di tahun ke-3 pelaksanaan JKN Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah mengalami kerugian mencapai 7 trilyun rupiah akibat defisit dana BPJS karena dana PBI digunakan oleh PBPU sehingga tidak tepat sasaran. Kedua, dari sisi hubungan antar lembaga, masih terjadi disharmonisasi antara BPJS dengan daerah karena sistem BPJS tidak match dengan sistem desentralisasi. Ketiga dari sisi supply side, yang menjadi keprihatinan adalah pertumbuhan rumah sakit swasta profit yang semakin agresif dibandingkan jenis rumah sakit lainnya, kemudian untuk penyebaran dokter spesialis kurang merata dan masih terpusat di Jawa. Keempat, dari sisi Promosi Kesehatan juga masih memprihatinkan, karena meski dananya sudah ada namun programnya tidak juga berjalan karena tenaga ahlinya masih kurang. Kelim,a dari sisi Alokasi Anggaran 2016 masih banyak klaim dana yang tertunda di BPJS, serta kasus fraud juga belum tertangani dengan baik. Melihat berbagai permasalahan ini maka kita patut pesimis bahwa UHC 2019 dapat tercapai di Indonesia, mengingat upaya pemerataan kesehatan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebagai goal UHC masih jauh dari harapan. Sehingga solusi di tahun 2017 adalah fokus pada pembiayaan kesehatan dan evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan (UU SJSN tahun 2004 dan UU BPJS tahun 2011). Fokus pada pembiayaan kesehatan dalam hal ini antara lain :

  1. Solusi Penambahan Sumber Dana : peningkatan penerimaan pajak, memberlakukan kebijakan batas atas untuk pengeluaran jumlah tertentu kelebihannya ditutup oleh Pemda
  2. Solusi pembatasan pengeluaran BPJS : pemberlakuan batas atas untuk PBPU, pemberlakuan batas atas untuk rumah sakit
  3. Solusi realisasi dana kompensasi BPJS, yang diatur dalam UU SJSN tahun 2004

Sementara itu, memasuki sesi diskusi, berbagai pertanyaan dan pernyataan mengemuka dari para peserta Pertemuan Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017, yang ditujukan kepada kedua pembicara sesi pengantar umum. Diantaranya mengenai keprihatinan banyaknya stateless people seperti anak jalanan yang notabene tidak memiliki identitas resmi sehingga posisinya tidak diatur dalam JKN. Menanggapi hal ini, dr. Yodi berpendapat bahwa dari sisi kesehatan global permasalahan stateless people tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara-negara maju jumlahnya masih banyak dan menjadi perhatian pemerintah. Sementara menurut Prof. Laksono, dari sisi kesehatan nasional permasalahan stateless people dalam status kesehatan dapat diatasi melalui Jamkesda. Meski di tahun 2017 wacananya Jamkesda akan dilebur ke dalam JKN. Namun menurutnya lebih baik Jamkesda jangan sampai hilang, karena BPJS dinilai masih belum siap mengambil alih semua beban pembiayaan kesehatan.

Pertanyaan kedua datang dari dr. Handoyo Pramusinto dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM, yang menanggapi tema kesehatan 2017 : Resilient Health System sejalan dengan manajemen krisis, sekaligus menanyakan apakah UHC 2019 hanya merupakan beban BPJS saja dan bagaimana keadilan BPJS terhadap kesenjangan daerah. Menanggapi pertanyaan ini dr. Yodi mengungkapkan bahwa resiliensi masyarakat Indonesia menghadapi krisis diacungi jempol oleh dunia internasional, namun sistemnya yang perlu diperbaiki. Sedangkan terkait pertanyaan UHC, Prof. Laksono setuju bahwa UHC tidak bisa dibebankan kepada BPJS saja untuk keberhasilannya karena ternyata memang belum mampu.

Sementara itu, dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes turut memberikan pendapatnya dengan menyatakan tidak cukup bila solusi pembiayaan kesehatan 2017 hanya dengan pemberlakuan batas atas saja. Melainkan perlu dilakukan perbaikan kelembagaan di semua lini, baik BPJS, rumah sakit, dan Pemda.

{jcomments on}

 

 

Ringkasan Diskusi Alokasi dan Sinergi Anggaran Kesehatan

backk

Anggaran Kesehatan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, hal ini merupakan langkah besar bangsa Indonesia dalam hal investasi. Investasi yang dimaksud ibu Menkeu adalah berjalannya program pembangunan kesehatan sesuai yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Mekanisme anggaran melalui DAK Fisik, DAK Non Fisik dan mekanisme lain harus secara ketat diatur dalam regulasi dan pedoman untuk pelaksanaannya. Jadi penyerapan anggaran tidak hanya menunjukkan angka tetapi juga menunjukkan hasil dan dampak yang baik bagi pembangunan kesehatan.

Kasus-kasus yang sekarang banyak dihadapai menunjukkan bahwa perlunya perbaikan dimulai dengan Perencanaan Berbasis Bukti, berbasis data, pelaksanaan dari level pusat sampai level desa. Anggaran kesehatan yang naik di level Pemerintah Pusat hendaknya diikuti oleh kenaikan alokasi anggaran kesehatan di Pemerintah Daerah. Penggunaan anggaran yang “bijak” sesuai dengan kebutuhannya akan lebih menghasilkan dampak yang optimal. Sejalan dengan itu penguatan koordinasi dan integrasi program antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan dampak positif bagi investasi kesehatan di negara Indonesia.

Oleh: M Faozi Kurniawan

  Berikut arsip diskusi:

Likke Prawidya
Bagaimana pendapat Anda mengenai yang dipaparkan oleh bu Menkeu?
Isu lain apa yang menurut Anda penting?
Kontribusi apa yang dapat dilakukan oleh pelaku dan pemerhati kesehatan masyarakat di Indonesia?

Felix Mailoa
Dalam era desentralisasi bidang kesehatan, salah satu hal yang ditekankan oleh ibu menteri keuangan adalah komitmen untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan masyarakat karena merupakan suatu investasi namun menurut saya yang juga harus di perhatikan berkaitan dengan isu ini adalah menjamin anggaran kesehatan itu terserap dengan baik didaerah karena pengalaman selama ini, anggaran kesehatan didaerah sering tidak terserap dengan cukup baik. Sehingga, banyak program kesehatan didaerah yang dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran dalam tahun berjalan. Jika hal ini tidak dimaksimalkan maka dikhawatirkan berapapun peningkatan angka/persentasi APBN terhadap sektor kesehatan tidak bisa sepenuhnya menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat khususnya didaerah.
Terima Kasih….

Ridwan
Betul Pak Felix, ijin menambahkan berkaitan dengan penyerapan anggaran di daerah, pengalaman selama ini banyak yang tidak terserap dengan baik karena berbagai alasan antara lain pemegang “kegiatan” didaerah tidak berani ambil resiko terkait pelaksanaan kegiatan yang kadangkala adanya pemahaman yang berbeda mengenai Juknis pelaksanaan kegiatan, seringkali anggaran yang berasal dari pusat (APBN) khususnya DAK Bidang Kesehatan berubah-ubah, maksudnya dalam tahun berjalan dimana DPA di Daerah sudah ditetapkan ternyata ada perubahan nominal penerimaan tiap daerah, adalagi penerapan JUKNIS yang dibuat oleh Pusat seringkali tidak tepat untuk dilaksanakan didaerah. Suatu waktu juga pernah disampaiakan oleh “Pusat” bahwa yang penting penyerapan anggaran di daerah harus sesuai target (terserap dengan baik) terkait dampak itu nomer sekian, sehingga memunculkan asumsi saya bahwa pelaksanaan pembangunan kesehatan hanya terfokus pada penyerapan anggaran saja mengenai hasil dan dampaknya akan mengikuti meskipun tidak optimal. Jadi, hemat saya Anggaran yang besar tetap berdampak pada pelayanan kesehatan didaerah, akan tetapi dalam proses perencanaannya akan lebih baik lagi kalau Daerah lebih dilibatkan dalam proses awal sehingga antara Pusat dan Daerah bisa Sinkron dalam pembangunan kesehatan (meskipun sudah ada sistem perencanaan yang baik melalui musrenbang dsb) dan terkait aspek-aspek hukum barangkali perlu lebih ditegaskan dalam Juknis yang ada dan perlu disampaikan juga kepada Kementerian/Lembaga terkait selaku pengawas/pemeriksa sehingga pelaksana didaerah lebih “nyaman” dalam pelaksanaannya dan pelaksanaan pembangunan kesehatan didaerah dapat terlaksana dengan baik serta tercapai dari segi output maupun outcome yang akhirnya berpengaruh pada penanganan masalah-masalah kesehatan di daerah bahkan secara nasional. Terima Kasih

Likke Putri
Betul pak Felix, ini senada dengan komentar bu Nanik di bawah, tidak hanya proporsi serapan yang belum optimal, tetapi juga bagaimana kualitas dari dana yang dipakai tersebut apakah sudah cukup bagus dan dapat mendongkrak kualitas pelayanan kesehatan?
Dana seringkali diserap hanya sekedar menyerap.
Apakah ada saran Pak bagaimana untuk ke depannya supaya serapannya itu tepat guna?
Terima kasih

Haryo Bismantoro
Penghitungan unit cost untuk tarif kapitasi yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik di kabupaten/kota penting untuk dilakukan untuk memastikan ketepatan alokasi dana untuk daerah.

Riesa
Salah satu hal yang menarik perhatian saya, namun juga sedikit menggelitik adalah pemberian IAKMI award kepada ibu menteri keuangan. Bahkan beliau sendiri mempertanyakan alasan pemberian tersebut, karena beliau merasa baru berkiprah 3 bulan dalam kancah kabinet saat ini. Juga sempat bertanya, apakah ini semacam down payment agar anggaran kesehatan selalu mendapatkan perhatian. sebenarnya ada setting apa di balik ini?
Terimakasih

Laksono Trisnantoro
Bu Riesa …ini diplomasi tingkat tinggi dari IAKMI. Sangat menarik….gaya IAKMI membina hubungan dengan Menkeu.
Bu Menkeu sendiri merasa berhutang…Ini hasil yang sangat menarik …Apakah tahun-tahun mendatang Bu Menkeu tetap pro-kesehatan masyarakat atau sebaliknya.
Salam

Riesa D
Kesehatan adalah salah kebutuhan mendasar masyarakat. Dan sektor keuangan menjadi salah satu kunci pokok keberlangsungan pembangunan kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, tanpa ada ketersediaan sumber daya keuangan, pembangunan kesehatan bisa stagnan bahkan mandeg. Meski program kesehatan sebagus apapun tanpa dukungan pembiayaan yang memadai takkan dapat berjalan dengan optimal. Walaupun sumber pembiayaan kesehatan tidak hanya semata-mata berasal dari pemerintah, namun Menkeu merupakan salah satu aktor kunci dalam menjamin ketersediaan anggaran untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan
Terimakasih

Nanik Sri Wahyuni
Saya menggaris bawahi pertanyaan Ibu Menkeu: “Setelah UHC ini dilakukan, apakah betul pelayanan kesehatan mencapai hasil yang baik?”
Pertanyaan tersebut sederhana namun maknanya mendalam.
Sebagai ahli kesehatan masyarakat, tentunya akan merasa tertantang untuk bisa berkontribusi lebih banyak dalam pembangunan kesehatan.
Terima kasih

Grace Sicilia
Poin penting yang disampaikan oleh Bu Mentri antara lain bahwa aspek kesehatan adalah aspek yang sangat strategis di semua Negara dengan permasalahan yang berbeda-beda. Keinginan untuk menciptakan UHC adalah baik menurut beliau namun persoalan yang muncul setelah tercapainya UHC adalah bagaimana menunjukkan hasil pelayanan yang baik bagi masyarakat. Karena dari hasil program evaluasi UHC yang beliau pimpin langsung di China digambarkan bahwa makin banyak jumlah anggaran yg dialokasikan pemerintah untuk kesehatan, masyarakatnya makin tidak puas. Dapat dimaknai bahwa permasalahan ternyata bukan hanya masalah “uang”. Hal yang tidak kalah pentingnya selain komitmen besar dari sisi anggaran adalah komitmen yang sama besarnya harus dimunculkan dari sisi desain, perencanaan, pemikiran dan pelaksanaan serta organisasi sampai ke level desa. Sehingga dapat mewujudkan suatu sistem terintegrasi antara pelaksanaan preventif dan promotif menjadi satu kesatuan dengan kuratif dengan memenuhi aspek efisiensi, akuntabilitas dan efektifitas untuk mencapai masyarakat yang sehat dan produktif. Terima kasih.

Arda Dinata
Menyimak paparan ibu Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, dalam acara Kongres IAKMI di Makasar, ada beberapa hal yang menarik untuk diskusikan, seperti Pengalaman beliau selama bekerja di Word Bank (Bank Dunia), masalah kesehatan itu merupakan aspek strategis di semua negara. Keinginan untuk menciptakan Universal Health Coverage (UHC) itu baik, banyak negara menuju ke situ atau bahkan sudah mencapai UHC, seperti Negara Turki, Cina. Namun persoalan yang muncul setelah UHC, apakah pelayanannya menjadi baik dan mencapai hasil yang baik?

Hasil evaluasi UHC di Cina, justru menggambarkan kondisi pemerintah semakin banyak mengalokasikan anggaran kesehatan, ternyata masyarakatnya makin tidak puas. Jadi, persoalannya bukan masalah uang dan saya senang menggunakan kasus-kasus ini untuk menunjukkan, meskipun kita bisa memberikan komitmen besar dari sisi anggaran. Namun, tanpa adanya komitmen yang sama dari sisi desain, perencanaan, pemikiran, dan pelaksanaan, serta organisasi, sampai ke level desa.

Arti lainnya, kita tidak hanya membangun atau menambah jumlah sarana kesehatan (Puskesmas, RS), tetapi juga berapa jumlah sumber daya tenaga kesehatannya. Bagaimana kita bisa melakukan upaya secara preventif dan promotif itu dapat menjadi satu kesatuan dengan upaya kuratif dalam suatu sistem integrasi, sehingga ada aspek efesiensi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam mencapai masyarakat yang sehat dan produktif.

Untuk itu IAKMI sebagai wadah para ahli masyarakat Indonesia dan institusi perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat Indonesia ini, hendaknya dapat memproduksi dan memperbaiki kurikulum untuk bisa mengantisipasi persoalan pengelolaan kesehatan Indonesia. Di sini, kurikulum ahli kesehatan masyarakat itu betul-betul digali dari permasalahan yang urgen di masyarakat sebagai bahan proses belajar mengajarnya. Sehingga diharapkan nantinya para lulusan ahli kesehatan masyarakat ini benar-benar sudah terbiasa dalam menghatasi masalah kesehatan yang muncul di masyarakat. Selain itu, dengan pola pendidikan yang berkarakter sebagai ahli kesehatan masyarakat. Jangan sampai, perilaku dan praktek kesehariannya bertolak belakang dengan budaya hidup sehat.

Jadi, pada konteks ini, dimensi pembangunan yang paling relevan di sini adalah pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter kesehatan masyarakat. Tenaga kesehatan adalah jadi salaah satunya. Artinya, sebelum kita mendidik kesehatan pada masyarakat, maka hendaknya para pelaku bidang kesehatan memberikan contoh dan teladan yang mendukung pola hidup sehat. Bukan justru malah sebaliknya. Di sinilah, keberadaan aspek pendidikan, kesehatan, perumahan, dan karakter serta mental manusia itu menjadi juga sama pentingnya.

Akhirnya, berdasarkan materi paparan dari ibu Menteri Keuangan RI tersebut, menurut saya ada kata kunci yang harus kita kawal dan dukung terkait visi dan komitmen pemerintah daerah, baik itu Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Pemerintahan Desa terhadap anggaran pembangunan daerah untuk bidang kesehatan dari alokasi anggaran APBD di daerahnya masing-masing. Inilah diantara tugas para ahli kesehatan masyarakat yang tergabung dalam IAKMI untuk melakukan advokasi dan mengawal gerakan kesehatan masyarakat di tiap daerah di Indonesia. (www.ArdaDinata.com).

Faozi
Ijin komentar..
terkait Peran Pemda di Era JKN, beberapa penelitian memang belum menunjukkan hasil yg positif.
Untuk anggaran kesehatan program kesehatan di dinas kesehatan masih terbatas. UU 36/2009 yang mengamantkan10% untuk kesehatan diluar gaji masih belum tercapai.
Apakah perlu teguran keras dari Kemendagri terkait alokasi anggaran kesehatan 10%, apabila yaa..bagaimana dengan Pemda yang memang tidak memmpunya cukup anggaran untuk memenuhi anggaran 10% tersebut.

Laksono Trisnantoro
Setelah mendengar pidato bu Menkeu, apakah benar ada semacam penegasan dari beliau: Anggaran kesehatan dari APBN tidak akan bertambah banyak di masa mendatang. Para pengguna dana APBN diharapkan lebih efisien.
Disamping itu, perlu ada peningkatan anggaran dari luar APBN, termasuk APBD.
Apakah benar pengamatan saya?

Felix Mailoa
Saya sependapat dengan pendapat Prof tentang hal ini karena peningkatan anggaran belum tentu dapat mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat secara lebih baik. Evaluasi menyeluruh terhadap keberhasilan program dari pusat sampai didaerah sangat penting untuk memetakan program-program yang selama ini berjalan namun tidak mencapai target yang ditetapkan sehingga dapat mengurangi beban anggaran dan mengalihkannya pada program-program yang lebih membutuhkan anggaran besar. Selain melakukan efisiensi di tingkat birokrasi, pemerintah juga harus melakukan efisiensi belanja, upaya pengelolaan anggaran di daerah harus transparan, akuntabel, ekonomis, efisiensi dan efektif, rasional dan terukur. Selain itu menemukan formulasi yang tepat dalam penentuan anggaran khususnya agar terhindar dari politik anggaran baik di legislatif maupun eksekutif dan yang terakhir adalah mengurangi belanja pegawai yang tidak rasional dan mengalokasikan anggaran yang tepat sasaran.
Terima Kasih