Reportase Simposium 3

oral4

Keselamatan dan Kesehatan Kerja lalu lintas

Pembicara : Prof. Tjipto Suwandi
Judul : Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lalu Lintas

materi

Tujuan utama dari keselamatan kerja adalah meningkatkan produktifitas dan objek yang dipelajari dalam K3 hanya ada 2 yang utama yaitu : penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Dari penelitiaan ternyata >60% kecelakaan yang terjadi justru bukan di tempat kerja. Dan di Indonesia sekitar 19,86% angka kecelakaan lalulintas lebih tinggi dibanding Negara Denmark, jerman, Australia,china.

Dan ternyata angka kejadian kecelakaan lebih tinggi pada Negara yang rendah pemasukannya. Situasi yang menyebabkan ini adalah substandard condition seperti hujan, mengemudi malam, keslahan sendiri pada kendaraan, es, salju, kabut /asap yang mengganggu, jalan jelek, kelokan tajam, binatang yang mendadak lewat jalan, dan kebut-kebutan di jalan.

Tetapi yang paling penting dan lebih berperan adalah karena substandard act seperti :tidak focus pada saat mengemudi, ngebut pesta sampai pagi, menjelang lampu merah semakin kencang, melanggar lalulintas.

Sehingga perlu adanya manajemen lalulintas dari Dinas Perhubungan, perencanaan tata kota dan pengawasan yang lebih ketat, seperti tindakan tilang, perbaikan jalan dan rambu dan penahan kendaraan.

Kesimpulan :bahwa safety riding adalah yang utama sebagai pencegahan dalam suatu kecelakaan.

Pembicara 2 : Hanifa M. Denny, SKM, MPH, Ph.D
Judul : Implementasi k3 : Dari kampus kemasyarakat ,Untuk masyarakat yang sehat menuju SDGs 2030

materi

Penerapan budaya K3 dalam rangka membentuk masyarakat pekerja sehat sangat dibutuhkan, agar terjadi pekerja yang sehat dan aman. Budaya K3 sering disebut safety culture tapi tidak safety health culture.

Setiap kali melakukan kumpul-kumpul dikampus maka harus ada safety induction dan kursi maksimal 2-2 untuk memudahkan evakuasi jika ada bencana. metode atau kondisi dilakukan agar tidak membahayakan keselamatan kerja.

Behavior-based safety and health adalah suatu proses yang membantu pekerja mengidentifikasi dan memilih berperilaku aman. Kondisi aman dan sehat tempat kerja komponen manusia ditentukan oleh :

  • Kapabilitasfisik
  • Pengalamandan
  • Training, perlu ada ceklist perilaku yang benar dan salah

Pada K3 yang paling pentinga dalah Simple, Praktis, Promotif dan preventif serta tidak muluk-muluk sehingga yang seharusnya celaka menjadi tidak celaka.

Implementasi yang perlu dilakukan di Perguruan Tinggi :

  • Pemasangan apar,
  • Pemasangan tanda-tanda petunjuk keselamatan
  • Penerapan safety induction
  • Implementasi prosedur kerja aman

Contoh :

  1. dosen dan mahasiswa merelayout ruangan untuk memudahkan evakuasi
  2. dosen memastikan bahwa ruangan aman, sampah dibuang pada tempatnya
  3. peringatan hujan dan tangga
  4. training pada mahasiswa

Budaya yang dilakukan dan diajarkan di kampus akan membawa mereka menjadi pekerja yang paham berbudaya aman

Pembicara 3 : Yahya Thamrin, PhD
Judul : Serious Injuries among Young Workers: Students’ perspectives toward Occupational Health and Safety Education

materi

Di Australia anak-anak usia 15-17 jauh lebih tinggi terjadi kecelakaan karena mereka sekolah sambil bekerja. Anak-anak diluar biasanya usia 17 tahun mereka sudah ingin hidup sendiri sehingga itu yang membuat mereka sekolah sambil bekerja. Tetapi ternyata di Indonesia usia 15-24 tahun juga tinggi angka kecelakaan kerja.

Di dapati juga bahwa lebih banyak orang-orang pendatang seperti di sekolah internasional, karena biasanya mereka membutuhkan dana lebih untuk membiayai sekolah dan hidup mereka. Sehingga dibutuhkan peran sekolah untuk murid :

  • Memberi materi safety induction di sekolah
  • Basic knowledge tentang K3
  • Diberi pemahaman untuk aman bekerja diluar sekolah.

Reportase : Bella Donna, dr. MKes

Kesehatan Tradisional Indonesia

oral4Simposium 22 Kongres Nasional IAKMI ke-13 mengangkat isu kesehatan tradisional Indonesia. Pada kesempatan ini hadir Dra. Meinarwati, Apt., M.Kes. selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Meinarwati memberikan paparan tentang kebijakan pelayanan kesehatan tradisional yang merupakan implementasi pilar kedua rencana strategis Kementerian Kesehatan RI 2015 – 2019 yaitu penguatan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tradisional menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut Dra. Meinarwati, Apt., M.Kes. menyampaikan bahwa prinsip terapi dalam pelayanan kesehatan tradisional adalah mengembalikan keseimbangan tubuh (promotif – preventif).

Selanjutnya, Meinarwati juga menyampaikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2014 bahwa pelayanan kesehatan tradisional dikategorikan menjadi pelayanan kesehatan tradisional empiris, komplementer, dan integrasi. Pemberi layanan kesehatan tradisional empiris yang disebut sebagai penyehat tradisional bekerja sesuai dengan pendekatan biokultural empiris di area promotif dan dilarang melakukan tindakan invasif. Sedangkan pemberi layanan kesehatan tradisional komplementer yang disebut dengan tenaga kesehatan tradisional bekerja sesuai dengan pendekatan biokultural dan biomedis empiris di area promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada kesempatan ini, kementerian kesehatan menekankan pentingnya para pelaku peyehat tradisional memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan tenaga kesehatan tradisional memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Pada prinsipnya, kebijakan yang dikelarkan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi pengguna dan pelaku pelayanan kesehatan tradisional secara legal di bawah payung regulasi yang jelas.

Pada kesempatan yang sama hadir pula para akademisi, praktisi, dan peneliti yang memaparkan hasil kajian layanan kesehatan tradisonal yaitu Dr. dr. Anna Khuzaimah, M.Kes. dari Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar, Prof. Ir. H. Mappatoba Sila, Ph.D. dari Pusat Terapi Lebah RS Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc., SpGK (K) dari Sekolah Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universtas Hasanuddin, dan Asep Rahman, S.KM., M.Kes. dari Yayasan Bina Lentera Insan Manado. Dr. Anna Khuzaimah memaparkan tentang implementasi pelayanan kesehatan tradisional di Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar. Area yang dikerjakan meliputi pelayanan ketrampilan ramuan, pangan fungsional, pelayanan spa, akupuntur, dan akupresur. Anna berharap pelayanan kesehatan tradisional mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pendekatan promotif dan preventif. Paparan dilanjutkan oleh Prof. Mappatoba yang merupakan peneliti dan praktisi dalam bidang terapi berbasis lebah (apiterapi). Dalam paparannya, Mappatoba menyampaikan bahwa terdapat 13 produk yang berasal dari lebah memberikan manfaat bagi kesehatan tanpa efek samping apapun dan sudah teruji secara biomedis. Prof. Mappatoba merupakan praktisi dan peneliti yang melakukan kajian berdasarkan pendekatan relijius. Misi utama beliau adalah melakukan sosialisasi QS. An Nahl: 68-69 tentang kandungan dan manfaat lebah dari kacamata ilmu pengetahuan. Belia berharap kebijakan pemerintah mampu mengakomodir terapi lebah madu seperti halnya pemerintah memberikan payung hukum terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang lain.

Sesi berikutnya adalah pemaparan bukti-bukti ilmiah pelayanan kesehatan tradisional oleh Prof. Suryani As’ad. Pada sesi ini dijelaskan bagaimana pengobatan tradisional bekerja secara ilmiah, baik dari aspek patofisiologi maupun patomekanisme-nya. Untuk mendukung paparan, Suryani menunjukkan hasil penelitian tesis maupun disertasi mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang mengambil topik tentang pengobatan tradisonal. Sebagai contoh penggunaan getah daun jarak sebagai antiinflamasi dan antibiotik, kurma sebagai penghambat produksi asam laktat, teripang untuk mempercepat penyembuhan luka, dan sebagainya. Suryani berharap pengobatan tradisional tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai bagian dari complementary medicine, karena sudah terbukti secara ilmiah patofisiologi dan patomekanisme-nya di dalam tubuh manusia. Sebagai penutup, Asep Rahman sebagai Ketua Yayasan Bina Lentera Insan menyampaikan pentingnya pelayanan kesehatan tradisional mendapatkan perlindungan hukum. Selain melindungi pengguna, Asep menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi pemberi layanan kesehatan tradisional sangat diperlukan mengingat banyaknya penyehat tradisional di Indonesia yang belum mendapatkan STPT. Asep juga mendorong Kementerian Kesehatan mengkaji beberapa body of knowledge pelayanan kesehatan tradisional yang belum mendapatkan legalitas, termasuk mendorong majunya keilmuan kesehatan tradisional dengan membuka program studi kesehatan tradisional di perguruan tinggi.

Reporter Dedik Sulistiawan

Sistem Informasi Kesehatan dan Patient Safety

simp23

1. Dian Sidik, SKM, MKM, Peneliti SIMKES

m-Health adalah suatu pengelolaan data kesehatan melalui layanan sistem informasi nirkabel. Pemanfaatan m-Health dalam pelayanan kesehatan telah menjadi hal yang umum digunakan saat ini. m-Health menggunakan teknologi mobile (bergerak) dan nirkabel. Teknologi ini mengumpulkan data secara individu kemudian pooling melalui suatu server untuk kemudian diolah. Hasilnya merupakan rekapitulasi kondisi individu, sehingga bisa dibuat semacam peringatan untuk provider, atau secara tidak langsung kepada yang bersangkutan. Aplikasi mobile technology dalam kesehatan saat ini sudah banyak diterapkan melalui smartphone. Mulai dari pengiriman data penyakit sampai dengan menggunakan fitur kamera untuk melihat hasil visualnya. Teknologi m-Heath akan dikembangkan menjadi lebih maju, dengan menggunakan teknologi smartwatch. Sehingga data kesehatan individu bisa semakin lengkap karena posisinya bisa untuk deteksi detak jantung, tekanan darah, dan sebagainya, karena smartwatch posisinya melekat pada tubuh.

2. Poppy Yuniar, SKM, MPH, Peneliti FKM UI

Standar Data dan Algoritma Prosedur Sistem Surveilance Berbasis Komunitas ini dibangun untuk menilai standar jenis datanya. Jika m-Health bekerja pada standar teknologi alatnya. Sedangkan surveilans berbasis komunitas disini digunakan karena suatu sistem informasi harus bisa merepresentasikan status kesehatan berdasarkan komunitas. Fasilitas based data mempunyai kelemahan, yaitu hanya menangkap data yang masuk ke pelayanan, sedangkan data yang berdasarkan komunitas, lebih bisa terukur karena data dikumpulkan pada tingkat populasi di komunitas, sehingga tidak hanya menampilkan data pada sisi output(seperti data cakupan layanan), tetapi juga melihat kualitas input (dengan nominator dan denominator lebih valid). Keuntungan dari model komunitas based adalah bisa menangkap secara dinamis perubahan peristiwa demografi (kelahiran, kematian, kesakitan, dsb).

3. Dr dr Khalid Saleh, SpPD KKV, Dirut RSUD Dr Wahidin Sudirohusodo

Khalid menjelaskan tentang sistem rujukan terintegrasi dalam menungjang patient safety. Suatu kombinasi elemen yang bertujuan menghasilkan data informasi yang akurat, tepat waktu, dan sesuai kebutuhan. Sehingga sistem ini mendukung layanan kesehatan akibatnya kualitas dalam pemberian pelayanan kesehatan menjadi optimal. Keselamatan pasien bukan suatu pilihan, tetapi merupakan hak pasien yang telah mempercayakan masalah kesehatan pada suatu sistem layanan kesehatan. Patient Safetysangat penting untuk menghidari kejadian tidak dikehendaki selama masa perawatan. Serta mengurangi kasus kejadian malpraktek atau hal hal lain yang berpotensi menimbulkan kesalahan dalam perawatan. Enam (6) Sasaran Patient Safety; 1. Ketepatan Identifikasi Pasien, 2. Peningkatan komunikasi yang efektif, 2. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, 4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien,. 5. Pengurangan resiko kejadian infeksi yang tidak diharapkan, 6. Penurunan resiko pasien jatuh.

Reporter: Deni Harbianto, SE

Workshop Halal Science and Research

simp25Dalam sesi ini, materi dalam simposium disampaikan oleh Prof.Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center Chulalongkorn University di Thailand. Di awal sesi, materi beliau difasilitasi penyampaiannya oleh Prof. Veni Hadju dari Universitas Hasanudin Makassar. Prof. Veni Hadju membuka sesi materi dengan menyampaikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan masalah halal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akidah bagi seorang muslim. Halal itu sendiri sangat terkait dengan praktik-praktik sebagai seorang muslim, syariat dan ibadah, serta muamalah dalam kehidupan. Status halal dan haram itu jelas dalam Islam. Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara yang tidak jelas, dinamakan dengan perkara syubhat. Materi kali ini sangat erat sekali dengan masalah “ilmu tentang halal” atau halal science. Dasar sebenarnya adalah segala sesuatu itu harus jelas terlebih dahulu halal haramnya, tidak memiliki keraguan. Sebagai seorang muslim, hal ini juga harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal tersebut halal atau haram. Pemahaman, ilmu, dan praktik tentang halal tidaknya sesuatu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hal ini sangat easy to practice. Dalam Halal Science terdapat beberapa spektrum yang perlu dipahami, antara lain :

  1. Pengembangan standar halal/standarisasi sistem untuk produk dan pelayanan yang halal (Halal Product and Services/HPAS)
  2. Riset dan pengembangan alternatif untuk mengganti bahan baku mentah yang haram
  3. Pengembangan metodologi biokimiadalam laboratorium forensik halal untuk melakukan skrining halal pada produk/bahan dasar produk.
  4. Melakukan inovasi untuk pembersih yang halal dalam tingkatan proses ataupun bahan-bahan yang digunakan.
  5. Informasi Komunikasi dan Teknologi untuk menjamin integritas halal dan memfasilitasi perdagangan yang halal pula.
  6. Ilmu halal sebagai alat untuk membangun kepercayaan konsumen dan Consumer Brand Relationship (CBR)

Sebagai catatan khusus, sesuatu yang haram dapat digunakan/dimafaatkan hanya jika dalam keadaan terpaksa/darurat. Contohnya obat, makanan, dll yang memang tidak/belum ada pilihan lain tetapi hal tersebut sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Jika kebiasaan halal ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka kebiasaan dan lingkungan yang mengacu pada “ke-halal-an” akan mudah tercipta di masyarakat. Tentunya hal ini juga akan membantu umat muslim untuk terhindar dari hal-hal yang haram ataupun menekan adanya keraguan-keraguan akibat hal-hal yang syubhat.

Spektrum halal dalam keilmuan ilmiah diperlukan untuk mengembangkan suatu sistem halal itu sendiri. Ada suatu riset ilmu yang dapat digunakan sebagai upaya mengganti gelatin pada kapsul dari rumput laut agar lebih halal atau mengembangkan inovasipembersih najis dari tanah atau dalam bentuk clay. Peran dari teknologi dan keilmuan ilmiah sangat besar untuk membentuk suatu sistem produksi yang halal dan konsumsi produk yang halal pula. Hal ini akan mudah untuk masuk ke dalam kehidupan yang sehat berdasar pada konsep dan cap halal pada suatu produk.

Di Thailand, Prof. Dr. Winai Dahlan tidak menjadikan alasan “halal” untuk mengembangkan suatu laboratorium penelitian dan Halal center. Satu hal yang beliau sadari adalah beliau ingin melindungi konsumen dan beliau bekerja sebagai seorang ilmuwan muslim. Maka, dapat disimpulkan bahwa beliau bekerja berdasakan landasan halal dalam Islam yang diterapkan untuk seluruh masyarakat.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Reportase Simposium 1

simp1

Kebijakan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dalam Agenda Pembangunan Nasional

simp1Upaya inovatif dalam pengendalian penduduk dan kesehatan reproduksi merupakan salah satu isu utama dalam agenda pembangunan nasional. Ini disebabkan karena saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, yaitu 1,49%. Tidak hanya itu, sebagaimana disampaikan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN; Dr. Ir. Dwi Listyawardani, M.Sc., Dip.Com., total fertility rate Indonesia saat ini berada di angka 2,29. Hal ini berarti setiap wanita usia subur rata-rata memiliki 2-3 orang anak selama masa reproduksinya dan tergolong masih lebih tinggi dibandingkan dengan target 2019 sebesar 2,28. Disampaikan pula bahwa rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang dan disparitas pencapaian program KB antar daerah juga merupakan salah satu isu strategis selain sorotan terhadap tingginya unmet need, drop out pemakaian kontrasepsi, meningkatnya jumlah kehamilan remaja, dan angka kematian ibu.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN juga menyampaikan bahwa pengarusutamaan KB dalam JKN juga merupakan isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian. Beberapa tantangan pelayanan KB dalam JKN antara lain pelayanan KB di RS yang belum terkelola dengan baik, belum adanya standarisasi indikasi medis untuk pelayanan IUD dan implan yang dapat dirujuk ke rumah sakit tipe C dan D, masih banyaknya praktek dokter dan klinik swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (melayani KB) yang belum terdaftar dalam registrasi BKKBN, serta retensi ketrampilan dokter dan bidan pasca pelatihan metode kontrasepsi. Beberapa strategi yang akan dilakukan BKKBN antara lain melakukan upaya integrasi sistem pencatatan dan pelaporan pelayanan KB atara BKKBN dan BPJS Kesehatan, pemetaan fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani KB, pemenuhan sarana dan pelatihan pelayanan KB, penurunan unmet need dan drop out melalui penguatan pelayanan peserta KB baru dan penambahan peserta KB aktif, penyediaan alat, obat, dan sarana penunjang pelayanan KB melalui e-katalog, mendorong penyediaan pembiayaan KB MOW interval, dan sebagainya.

Pada kesempatan yang sama, dr. Ashon Sa’adi, SpOG(K); Konsultan Endokrinologi RSU Dr. Soetomo Surabaya menyampaikan salah satu bentuk inovasi dalam program KB yaitu penggunaan Pil KB kombinasi modern yang mampu meningkatan efektivitas penggunaan kontrasepsi dengan efek samping minimal. Pil KB kombinasi modern tersebut adalah pil KB yang mengandung Drospirenone yakni progestogen yang mirip farmakologinya dengan progesteron alami. Drospirenone bersifat anti-androgen sehingga selain fungsinya sebagai kontrasepsi, juga dapat mengurangi jerawat, mengurangi rambut halus di wajah, dan tidak akan menyebabkan kenaikan berat badan karena memiliki efek diuretik yang fungsinya membuang penumpukan cairan tubuh. Dengan demikian, adanya perbaikan komposisi progesteron pada pil KB modern ini akan meningkatkan kepatuhan dan kenyamanan penggunanya, sehingga mampu memperluas cakupan pelayanan kontrasepsi di masyarakat.

Berbeda dengan dr. Ashon Sa’adi yang memberikan inovasi pengendalian penduduk dan masalah kesehatan reproduksi dari disiplin ilmu kedokteran kandungan, dr. Christina Manurung yang merupakan Kasubdit Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI menyampaikan rekayasa pengendalian AKI dan AKB melalui pendekatan komunitas. Disampaikan bahwa Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan salah satu program yang diproyeksikan mampu mendorong percepatan penurunan AKI dan AKB. Tidak bisa dipungkiri bahwa usia perkawinan pertama penduduk Indonesia masih rendah. Selain disebabkan karena faktor sosial budaya, perilaku seksual pranikah merupakan faktor yang turut mempengaruhi rendahnya median usia perkawinan di Indonesia. Ironisnya, tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dikontribusi oleh wanita usia di bawah 20 tahun. Ini artinya remaja merupakan populasi rentan yang harus mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, program percepatan penurunan AKI dan AKB diharapkan mulai menyasar kalangan remaja. Rasionalisasinya adalah karena sekitar 30% total penduduk Indonesia adalah usia remaja, dan sekitar 80% remaja adalah anak sekolah, sehingga apabila program diintervensikan di sekolah maka dampak yang diharapkan akan tercapai secara efektif dan efisien. Akhirnya, bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2020-2035 mampu dimanfaatkan sebagai jendela peluang karena berkualitasnya SDM yang telah disiapkan sejak dini.

Reporter : Dedik Sulistiawan

Perdesaan Sehat

Prof. dr. M. Safar FKM Universitas Hasanuddin dan Defriman dari Universitas Andalas memaparkan mengenai program yang telah mereka inisiasi untuk penguatan SDM kesehatan di wilayah perdesaan, serta bagaimana institusi pendidikan kesehatan masyarakat dapat berkontribusi. Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) No 1 Tahun 2013 tentang perdesaan sehat yang memiliki 5 pilar, yang salah satunya yaitu adanya dokter, bidan, sanitasi, gizi dan kesehatan lingkungan. Dalam konsep 5 pilar ini belum nampak peran dari sarjana kesehatan masyarakat untuk penguatan SDM kesehatan di wilayah perdesaan.

Dalam kegiatan yang dilakukan oleh tim dari FKM Unhas di 12 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, Barat dan Tengah ini, tim peneliti melakukan penelaahan awal untuk mengidentifikasi prioritas kebutuhan tenaga atau keterampilan khusus di desa-desa yang dijadikan tempat studi. Analisis awal menunjukkan bahwa masalah advokasi, komunikasi serta kolaborasi lintas sektor sebagai tantangan utama untuk masalah kesehatan di perdesaan. Berdasarkan hasil tersebut, direkrutlah tenaga-tenaga dengan latar belakang kesehatan masyarakat untuk kemudian dilatih dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan tersebut. Dengan adanya tenaga-tenaga kesehatan masyarakat yang ditempatkan di desa, memicu diskusi dan forum desa yang pada akhirnya melahirkan SK kepala desa untuk program reaksi desa.

Sementara itu tim peneliti di Universitas Andalas yang diketuai oleh Defriman menjalankan program serupa berjudul “Sarjana Pendamping Purna Waktu” atau SP2W. Dari pengalamannya, Defriman mengemukakan kurangnya kemampuan untuk adaptasi yang dimiliki oleh sarjana kesehatan masyarakat yang baru lulus. Saat ini sedang diluncurkan program “Satu SKM satu desa” dalam rangka meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola kesehatan masyarakat. Di samping itu, tantangan dari sarjana kesehatan masyarakat saat ini yaitu kurikulumnya sendiri yang memfokuskan pada gizi, kesehatan lingkungan, asuransi kesehatan, dan sebagainya. Menurut Defriman, penting untuk memberikan keterampilan yang generalis dan lebih umum kepada sarjana kesehatan masyarakat supaya kemampuannya lebih baik dalam mengelola kesehatan masyarakat, khususnya di desa.

Hanibal Hamidi, Direktur Pelayanan Sosial Dasar, Ditjen Pembangungan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa dan PDT, memaparkan mengenai lahirnya Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 yang memberi kedaulatan penuh pada desa untuk mengambil keputusan berdasarkan hasil musyawarah desa. Undang-undang tersebut tidak hanya memberikan otoritas dalam mengambil kebijakan, juga kekuatan finansial kepada desa. Amanah dari undang-undang itu yakni bagaimana pemanfaatan dari dana desa, sehingga setiap desa didampingi oleh ‘pendamping desa’ yang memfasilitasi proses pemanfaatan desa agar sesuai dengan prinsip musyawarah. Untuk mencapai tujuan undang-undang desa dilakukan pendekatan utama: 1) ‘Jaring komunitas wiradesa’ yakni peningkatan kapasitas masyarakat desa; 2) lumbung ekonomi yakni penguatan kemandirian ekonomi, kedaulatan pangan dan ketahanan energi di desa, dan; 3) Lingkar Budaya Desa yaitu upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Kesimpulan dari sesi ini yaitu untuk mempercepat pembangunan di desa, khususnya terkait kesehatan, perlu meningkatkan kontribusi dan peran aktif dari pemerhati dan tenaga kesehatan masyarakat. Peningkatan kontribusi ini dapat dilakukan dengan memberikan keterampilan-keterampilan tertentu (soft skills) supaya lulusan kesehatan masyarakat dapat menjadi pembina dan pendamping pembangunan kesehatan di perdesaan.

Reportase Likke Prawidya Putri, MPH

Pendayagunaan SDM Kesehatan

Simposium 3Pada sesi simposium 3 ini membahas mengenai upaya pendayagunaan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Tenaga kesehatan dari berbagai profesi diharapkan saling berkolaborasi dalam melayani masyarakat. Menurut Dr. dr. Armin Nurdin, MSc, melalui Interprofessional Education(IPE) para bidan, perawat, dokter, kesehatan masyarakat, apoteker, ahli gizi semestinya berkolaborasi dalam melayani masyarakat. Selama ini masih terdapat pengkotak-kotakan antara tenaga kesehatan. Melalui IPE seharusnya ada saling interaksi antar profesional untuk pembagian keputusan dan tanggung jawab serta tidak lebih dominan antar profesi. Dalam hal ini tenaga kesehatan masyarakat diarahkan untuk berpartisipasi pada pencegahan primer di masyarakat sehingga kasus – kasus di BPJS dapat diminimalkan. Namun sampai saat ini BPJS belum menyediakan pembiayaan yang memadai untuk tenaga kesmas yang dalam hal ini belum mendukung konsep IPE.

Melanjutkan bahasan sebelumnya, Aprilia Ekawati Utami dari perwakilan Indonesian Young Health Professionals’ Society (IYHPS) menggambarkan bahwa generasi muda dibangun dari filosofi bibit. IYHPS mewadahi kolaborasi antar profesi sesuai dengan visinya yaitu menguatkan kolaborasi interprofesi dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kolaborasi antar profesi semakin dibutuhkan karena pelayanan kesehatan semakin kompleks dan pembiayaan kesehatan juga semakin tinggi. Meningkatkan kualitas kesehatan dapat melalui IPE and Collaborative Practice yang akan mempersiapkan tenaga kesehatan untuk bersaing pula menghadapi MEA.

Menegaskan arah pembangunan kesehatan, drg. Saraswati, MPH menjelaskan bahwa kegiatan promotif preventif dilakukan mulai dari layanan primer. Pelayanan kesehatan primer akan meningkatkan akses dan mutu pelayanan, mendukung pelaksanaan JKN sebagai gate keeper, dan mendukung pencapaian indikator kesehatan. Sebagai sarana layanan primer, puskesmas memiliki 2 sayap yaitu sebagai UKM dan UKP. Menurut Permenkes 75 / 2014 puskesmas mempunyai pertanggungjawaban wilayah kerja. Selain itu pada pasal 16 pembagian kerja di puskesmas berdasarkan analisa beban kerja dimana di puskesmas minimal terdapat 9 macam jenis tenaga kesehatan.

Dari ketiga pembahasan tersebut, La Ode Ali Imran Ahmad, SKM ,M.Kesmenyimpulkan bahwa sesuai dengan visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu menuju Indonesia sehat, pintar, dan sejahtera dapat diterapkan melalui pendekatan Continuum of Care and Life Cycle. Hal tersebut memerlukan deteksi dini sejak kehamilan ibu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Reporter Elisabeth Listyani

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Sesi ini berlangsung selama kurang lebih 1 jam dengan menghadirkan 3 narasumber. Dimulai dengan Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep, Ns, M.Kes yang menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pemberdayaan keluarga dalam mengendalikan gaya hidup sehat anak obesitas. Dengan metode pendekatan yang tepat, yakni melalui keluarga, maka anak-anak yang overweight dan obesitas dapat dikendalikan gaya hidup dan berat badannya(Indeks Massa Tubuh meningkat) setelah 6 bulan. Hal ini sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup anak karena dapat mencegah berbagai penyakit fisik bahkan psikologis yang sering menyertai anak-anak yang mengalami kelebihan berat badan.

Narasumber kedua adalah Prof. Dr. Muhammad Nasrum Massi yang merupakan staf pengajar di FK Unhas. Beliau menyoroti angka penderita TB yang terus meningkat di Indonesia, dimana pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat 2 di dunia setelah India.Beberapa problema TB di Indonesia antara lain: (1) Jumlah kasus TB yang terus meningkat, (2) Jumlah kasus TB yang resiten terhadap obat anti-TB juga meningkat, (3) Diagnosis TB belum adekuat, (4) Pendanaan TB masih kurang, dan (5) Peran lintas sektoral yang belum optimal. Untuk mengatasi hal ini, sangat penting untuk memperkuat jejaring layanan TB, penguatan kapasitas kabupaten kota/kota untuk mengendalikan kasus TB serta memasukkan diagnosis TB dalam benefit package Jaminan Kesehatan Nasional.

Narasumber terakhir merupakan Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat – Kemenkes RI, dr. Dedy Kuswenda, M.Kes. Dalam presentasinya, beliau menekankan pentingnya tenaga kesehatan menjadi contoh (focal point) untuk mempromosikan gaya hidup bersih dan sehat. Cukup dimulai dengan hal-hal yang sederhana, misalnya tidak merokok, membiasakan jalan kaki serta banyak makan sayur dan buah. Hal-hal seperti ini yang akan menjadi fokus program Gerakan Masyarakat Sehat yang akan diluncurkan oleh Presiden Jokowi tanggal 14 November 2016 mendatang sebagai langkah mengendalikan biaya kesehatan kuratif yang terus membengkak.

Reporter Yanti

Tenaga Kesehatan dan Pembangunan Nasional

amalApa bedanya Kesehatan Masyarakat dengan Kesehatan Perseorangan?. Kesehatan Masyarakat (Kesmas) tidak hanya didefinisikan sebagai kesehatan masyarakat. Definisi Kesmas juga diartikan seolah-olah bahwa kesehatan masyarakat juga berada di bawah kesehatan perorangan. Promotif di Puskesmas merupakan Comunity bukan perseorangan. Sehingga Promotif Preventif yang dilakukan individu berati bukan kesehatan masyarakat. Jadi kesmas bersifat community. Isi UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, terutama pasal 16 dan Pasal 21 telah jelas menjelaskan. Sampai sekerang peraturan Pemerintah untuk perencanaan dan pengandaan tenaga kesehatan belum ada. Dalam Undang-Undang kesehatan juga disebutkan Pemerintah Daerah seharusnya ikut dalam pengadaaan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhannya. Pemerintah Pusat membuat kebijakan dan aturan pelaksanaan namun yang melaksanakan adalah daerah. Misal kebutuhan provinsi Sulawesi berbeda dengan Provinsi Jawa Timur. Jumlah sasaran dan tenaga kesehatan diatur bersama oleh daerah.

Kemana tenaga SKM lulusan setelah dididik sekolah?. Dijelaskan di Undang-Undang bahwa ada 2 yaitu di UKM dan UKP. Kemudian setiap faskes tersebut memiliki 3 jenjang yaitu primer, sekunder, dan tersier. Semuanya (UKM dan UKP) harus berjalan bersama. Dalam undang-undang, Kesehatan perseorangan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan perseorangan dan keluarga, ini adalah kuratif. Satunya pelayanan kesehatan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Janganlah per orang masuk ke kesmas dan sebaliknya. Ini akan berperan pada kompetensi yang berbeda.

Seperti dijelaskan UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, ada 2 jenis tenaga yaitu Tenaga Kesehatan dan Asisten Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan minimal kualitifikasi adalah minimum diploma tiga. Kesehatan masyarakat adalah tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesling, dan tenaga gizi (pasal 11). Jenis tenaga kesehatan masyarakat adalah epidemiologi kesehatan, tenaga promosi kesehatan, pembimibing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga. Contoh jika gizi itu sebagai obat bukan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat. Kita harus berfikir apakah hal tersebut sudah sesuai dengan peruntukannya.

Jika kita melihat sektor pembiayaan kesehatan, pembiayaan kesehatan perorangan adalah untuk pribadi (mengikuti mekanisme pasar). Contohnya sekarang dengan CBGs di rumah sakit (output). Pembiayaan yang 5% dari APBN untuk Kesehatan seperti UU kesehatan seharusnya diperuntukkan untuk Kesehatan masyarakat untuk pelayanan, pendidikan dan sebagainya.

Perpres No. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional menjelaskan poin penting terkait pencegahan tanpa mengabaikan. Untuk ke depan, Puskesmas tidak untuk pelayanan primer, tidak boleh untuk fasilitas kesehatan untuk pelayanan masyarakat. Dimana tenaga kesmas akan berperan di sebelah kiri (Kesmas) dan sebelah kanan (Perorangan). Tenaga Kesmas akan berperan dimana saja. Semua institusi yang berhubungan dengan kesehatan akan memerlukan tenaga Kesehatan Masyarakat. Pendidikan yang diberikan bisa di Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik dan lainnya.

Kebutuhan dan Tantangan Tenaga Kesehatan Masyarakat di Sektor Industri

donihikmatTenaga Kesmas apakah juga dibutuhkan di Industri, namun profilnya seperti apa? Masalah Kesmas ada 3 hal yang sering didengar yaitu transisi epidemiologi penyakit menular dan tidak menular, transisi dari agraris ke industri yaitu penyakit terkait pekerjaan seperti kecelakaan kerja, dan yang terakhir karena transisi demografi yaitu usia penduduk produktif kerja semakin bertambah. Populasi usia produktif kira-kira 60% yang mana angkatan kerjanya mendekati 114 juta jiwa tahun 2014.

Masalah kesehatan kerja terkait dengan Industri. Contoh industri kecil yaitu UKM, sedangkan industri besar seperti tambang, migas, konstruksi dan sebagainya. Ini memunculkan kecelakaan kerja dan penyakit. Data dari ILO menyebutkan masalah karena kecelakaan kerja dan penyakit karena kerja masih tinggi yaitu 2,43 juta di dunia (ILO, 2008).

Bagaimana kondisi di Indonesia? Total angka kecelakaan kerja yang mati meningkat dan untuk tahun 2010 yaitu 86. 693 kecelkaan (Jamsostek, 2010). Berdasarkan sektornya yang paling besar adalah konstruksi, kemudian manufaktur, dan pertambangan. Angka kecelakaan kerja dapat diidentifikasi namun identifikasi penyakit akibat kerja karena tidak terdeteksi dengan beragam pertanyaan atau pelaporannya tidak bagus. 10% tenaga kerja di Indonesia terdaftar di Indonesia yang lain belum terdaftar.

Kecelakaan dan Penyakit bila dibiarkan bertentangan dengan hak asasi pekerja dan hak untuk selamat dan tujuan pekerja dalam mencari penghasilan dan mendapatkan keselamatan dalam bekerja. Bagi perusahaan jika terjadi kecelakaan dan penyakit maka akan mengganggu citra perusahaan dam merugikan secra ekonomi.

Pemecahan di K3 yaitu ada 2:

  1. Regulasi
  2. SDM

Dalam regulasi Pemerintah sudah diaur dalam UU sejak 1970. Regulasi muncul terkait dengan Kementerian Teknis atau sektor tertentu terkait. Kementerian ESDM, Kemenaker, Kemenkes, Kemenhub.
Contoh: PermenPAN no 13 tahun 2013: Jabatan Fungsional Pembimbing Kesehatan Kerja.

Kebutuhan K3 menyangkut berbagaai instansi, Pemerintah, industri, rumh sakit, jug apUskesmas. Sekarang terdapat 24 ribu perushaan yang mewajibkan K3. Dan perusahaan membutuhkan 3 tenaga K3. Sehingga kebutuhannya sangat besar. untuk Kualitas tenaga K3, strategi mengalihkan Prodi S1 Kesmas Pemnin atas K3 berubah menjadi S1 K3. Kebutuhan di lapangan adalah lulusan yg spesifik terkait K3. Kebutuhan di lapangan adalah setingkat manajer. Kebutuhan pendidikan ini masih terbuka sangat luas dan sampai sekarang belum terpenuhi jumlah tenaga K3 untuk memnuhi kebutuhan di lapangan.

Pengembangan Pendidikan Kesehatan Masyarakat

sabarinahKNKI suatu Kerangka Kualifikasi Nasional berupa kerangka yang dibuat framework yang menetapkan atau menyepakati suatu standar kualitas SDM. Ada 2 alasan yaitu karena eksternal yaitu karena persamaan deng kualitas tenaga luar. Untuk internal adalah untuk mutu SDM. Ada 2 macam pendidikan yaitu dunia pendidikan formal dan dunia pendidikan profesi.

mnghadapi SDM asing dan kita ingin mensetarakan SDM kita, kita harus membuat pendidikan yang dicita-cita kan. Pendidikan dengan jenis dan strata, mutu, penjaminan mutu, dan kurikulum yang jelas serta tidak pernah berhenti belajar.

Kondisi jenis dan mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia saat ini belum jelas. dan saran ke depan adalah kita harus merapikannya. Pendidikan tinggi itu bermula dari SMA, kemudian ke S1, S2 dan S3 ini Fokus untuk keahlian keilmuan. Tetapi ada juga SMA ke D1, ke D2, D3 dan D4. D4 lanjutnya kemana yaitu ke Profesi, Spesialis dan Sub Spesialis, ini fokus pengembangan dan peningkatan keahlian spesifik.

Tetapi kita juga punya jalur D4 dan S1 bisa ke S2 terapan dan S3 terapan. Semua itu ada levelnya yaitu ada 9 level. Pada posisi mana kita mengembangkan pendidikan, mau kefilosofi keilmuan atau keahlian kerja.

Kita mengakomodir ada perpindahan perorangan dengan kesmas masyarakat/keluarga. Dari diploma 3 bisa ke Sarjana atau bisa ke Spesialis. Dari Sarjana pun bisa ke Profesi. Ini merupakan konsep perpindahan jenis dan strata pendidikan. Yang patut diingat kita harus menyetarakan hal-hal sesuai kompetensinya. Salah satunya dengan konsep RPL.

RPL adalah Rekoknisi Pembelajaran Lampau dan telah disahkan Kemenristek Dikti no. 26/2016 dimana sangat dimungkinkan orang untuk diakui pendidikan informasl atau formal sebagai tambahan untuk pendidikan formalnya. Ini lah kelihatan penyetaraan atas kinerja. Jadi seseorang bekerja dapat diakui kesetaraannya/kinerjanya. Bagaimana pendidikan profesi yaitu program pendidikan yang pekerjaannya memerlukan keahlian khusus. Unsur kompetensi yaitu sikap dan tata nilai, kemampuan di bidang kerja, pengetahuan yang dikuasai dan kewenangan dan tanggungjawab. Strategi ada 2 yaitu diproduksi jika ada permintaan, memproduksi sambil menciptakan permintaan dan kita akan berasumsi bahwa produk akan mendorong permintaan. Contoh dibidang distribusi.

Contoh: S1 Kesmas berlanjut ke apa terserah, KAA, Epid dan lainnya atau S1 Kesmas + MAT menjadi Profesi KL/K3/Gizi. Ini contoh pemikiran untuk ke depan untuk produksi dari jalur Sarjana ke profesi dengan berbagai skenario. Kita bercita-cita untuk menyetarakan dan mengakui bagaimana pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja bisa dijadikan satu. ini mendukung kebijakan sepanjang hayat. S1 dengan RPL kita bisa disetarakan ke Profesi atau Terapan. RPL yaitu pendidikan formal, informal, atau pengalaman kerja. Bekerja dengan baik dapat didokumentasikan dengan baik bisa untuk mendukung kesetaraan.

oleh Faozi Kurniawan

Tab Content

Tantangan Implementasi Healthy City dalam Agenda Pembangunan Nasional

charlesKonsep healthy city merupakan isu yang menarik dalam agenda pembangunan Indonesia. Healthy city didefinisikan sebagai suatu kondisi kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni penduduk. Penyelenggaraannya diselengarakan melalui penerapan beberapa tatanan, yaitu: kawasan pemukiman dan sarana prasarana umum, kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan trasportasi, kawasan pertambangan sehat, kawasan hutan sehat, kawasan industri dan perkotaan sehat, kawasan pariwisata sehat, ketahanan pangan dan gizi, kehidupan masyarakat sehat yang mandiri, dan kehidupan sosial yang sehat.

Prof. Charles Surjadi, MD, MPH, Ph.D. yang merupakan pakar kesehatan kota Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta menyatakan bahwa healthy city diselenggarakan melalui beberapa setting, yaitu tempat dimana orang banyak menghabisan waktunya sehari-hari, yang kemudian disebut sebagai healthy setting, sebagai contoh adalah sekolah. Sekolah merupakan healthy setting yang lebih mudah dikerjakan, karena populasi yang ada cenderung lebih homogen, sehingga memiliki kebutuhan yang sama. Pengarusutamaan healthy setting ini sejalan dengan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) tujuan ketiga yaitu memastikan manusia mampu hidup sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua. Selain itu, konsep health setting merupakan pendekatan multidisiplin dengan pendekatan sosioekolgis. Nilai utama healthy setting adalah partisipasi, ekuitas, partnership, dan keberlanjutan.

Selain itu, Prof. Charles Surjadi juga menyampaikan bahwa terdapat satu parameter lagi yang digunakan sebagai muara dari implementasi healthy city, yaitu indeks kebahagiaan (happiness index). Selain itu, healthy city juga merupakan bagian dari smart city yang dicirikan oleh 6 hal, yaitu: smart economy, smart people, smart governance, smart mobility, smart environment, dan smart living.

Pada kesempatan yang sama, Sukri Palutturi, SKM., M.Kes., M.Sc.PH.,Ph.D yang merupakan Ketua Persakmi Sulawesi Selatan memberikan penekanan kembali terhadap konsep healthy city. Healthy city bukan lagi didefinisikan sebagai bagaimana menciptakan perilaku yang sehat dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, akan tetapi healthy city adalah tentang bagaimana menciptakan setting-setting yang sehat. Konsep health city juga berbeda dengan konsep desa sehat, kecamatan sehat, dan seterusnya sampai Indonesia Sehat. Adapun komponen utama untuk mewujudkan healthy city antara lain lingkungan yang sehat, dukungan sosial, dan indeks kebahagiaan. Sehingga penyaji merasa definisi operasional healthy city tidak hanya sebatas pada terminologi bersih, aman, nyaman, dan sehat sebagaimana dicetuskan oleh kemeterian kesehatan. Lebih dari itu, healthy city terdiri atas unsur-unsur yang kompleks, baik dari dari aspek lingkungan, dukugan sosial, maupun psikologis. Prinsip-prinsip healthy city adalah adanya sustainabilitas, inovasi, adaptabilitas, inklusif, equitas, leadership, dan partnership.

Suksesnya implementasi healthy city sangat tergantung kepada komitmen kepala daerah. Aspek kepemimpinan dan keterlibatan lintas sektor merupakan kunci terselenggaranya konsep healthy city secara keseluruhan. Koordinasi memang merupakan tantangan terbesar dalam penyelenggaraan healthy city. Hal ini disebabkan karena leading sector 9 tatanan healthy city berada di sektor yang beragam, tidak hanya sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan berperan sebagai suppporting sector-nya. Oleh karena itu, peran kepala daerah menjadi sangat penting untuk mengkoordinasikan beberapa sektor untuk mewujudkan healthy city.

Oleh: Budi Eko Siswoyo 

Program Intervensi PTM

Pembicara Simposium 8Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini sudah semakin mengancam seperti yang dipaparkan oleh Prof. dr. Ridwan Amiruddin, SKM, MSc PH. 50% populasi di dunia meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah. PTM mengambil proporsi sebesar 30% dari kasus kesehatan. Di Indonesia kematian karena penyakit jantung sebesar 17.5 juta dan karena kanker sebesar 7.5 juta. Pada tahun 1990 kematian lebih banyak disebabkan karena penyakit respiratori, namun tahun 2010 penyakit stroke menjadi penyebab nomor 1 kematian di Indonesia. Faktor penentu PTM antara lain pola makan masyarakat Indonesia yang tidak sehat secara kultural, modifikasi faktor resiko (penggunaan tembakau, alkohol, diet, aktivitas fisik), maupun penyakit kronik.

Bukti epidemiologi untuk program pencegahan melalui intervensi komunitas yang luas. Namun berbagai hambatan membayangi upaya pengurangan resiko PTM seperti birokasi, sistem pendidikan yang masih medical center, maupun pelatihan profesi medis yang belum memadai. Strategi untuk mengurangi resiko PTM dengan menghilangkan kesenjangan kesehatan antar populasi, identifikasi resiko kelompok tinggi, pendekatan budaya, integrasi perawatan kesehatan primer, integrasi promosi kesehatan lainnya, penghentian tembakau, kontrol berat badan, dan manajemen stres.

Selain penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia, stroke juga menjadi penyebab utama kematian. Dr. dr. Isman Yusuf, Sp. S menggambarkan bahwa terdapat kasus stroke 500,000 kasus per tahun dan sebesar 52.5% pendapatan penderita stroke dan keluarganya habis untuk pengobatan stroke. Prevalensi penyakit stroke meningkat dari 8.3 per mil (2007) menjadi 12.1 per mil (2013). Saat ini stroke sudah mulai menyerang pada usia 30 tahun. Klinisi masih lebih berfokus pada manajemen efektif daripada prevensi efektif dengan asumsi hal tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan masyarakat. Berbagai problem dihadapi antara lain dokter kesulitan untuk mendiagnosis berdasar tanda dan gejala klinis pasien, pasien tidak sadar stroke sebesar 56.3%, keterbatasan transpor (21.5%), pasien memilih pengobatan tradisional (11.6%). Hanya 6% pasien yang dirujuk rawat inap ke rumah sakit.

Melalui model prediksi akan memperkuat manajemen stroke. Untuk memperkuat manajemen stroke tersebut maka diperlukan sosialisasi model prediktor stroke, deteksi resiko stroke tinggi atau rendah, dan preventif primer untuk stroke resiko tinggi.

Reporter Elisabeth Listyani

Epidemiologi Penyakit Infeksi

Dalam sesi simposium 9 di hari pertama Kongres Nasional IAKMI ke-XIII, pembahasan epidomiologi penyakit infeksi dibahas menarik dengan mengedepankan pola penyakit, waktu, dan tempat. Disertai dengan studi kasus, persebaran jumlah kasus, faktor resiko infeksi, cara pencegahan, cara penularan, dan cara pengobatan, serta beberapa kondisi yang diharapkan untuk ke depannya demi menurunkan angka morbiditas dan mortalitas kasus infeksi. Penyakit infeksi yang disampaikan adalah tuberculosis, kusta, frambusia, dan HIV/AIDS. Penularan infeksi menjadi fokus yang sangat penting untuk ditangani dan menjadi sisi yang paling besar memiliki pengaruh untuk dihentikan dan dicegah.

Materi TB - Ibu RizandaMateri pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Dr. Rizanda Machmud.,M.Kes. Penyakit tuberculosismasih menjadi permasalahan besar di Indonesia karena rendahnyakesadaran perilaku masyarakat terkait penyakit TB dan pengambilan keputusan untuk menindaklanjuti gejala dan tanda penyakit. Pengambilan keputusan ini sebaiknya dlakukan dalam tingkatkelompok/komunitas bukan individu. Pendekatan community empowerment TB ini dicontohkan pada kegiatan yang dilakukan di 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Barat karena wilayah tersebut memiliki case detection yang sangat rendah. Pendekatan budaya dan kebiasaan setempat melaluikelompok anak-anak, ibu-ibu PKK, stakeholder terkait dan tokoh agama menjadi penghubung kampanyeTB dan pencegahannya. Dampak yang dirasakan adalah peningkatan angka suspect rateTB dan peningkatan dana APBD yang diaokasikan untuk menangani penyakit ini.

 

Materi Kusta Frambusia - Ibu RitaSelanjutnya materi kedua disampaikan oleh Dr. Rita Djupuri, B.Sc, DCN, M.Epid tentang penyakit kusta dan frambusia yang saat ini di Indonesia fokus pada upaya eliminasi dan eradikasi penyakit. Penyakit kusta sangat rentan dengan kecacatan fisik dan stigmamasyarakat. Stigma inilah yang membuat penderita sulit untuk terbuka ke masayarakat atau minimal ke pelayanan kesehatan. Bahkan, lebih jauh lagi, masyarakat terkadang tida paham tanda dan gejala dari dua penyakit ini. Pada kusta, titik beratnya adalah kuman yang menular melalui pernafasan, rendahnya sistem kekebalan tubuh, dan kontak yang lama dengan pednerita, sedangkan pada frambusia resiko besar ditemukan karena sulitnya akses air bersih dan lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat. Pendekatan keluarga sangat dibutuhkan untuk dapat mendeteksi penyakit infeksi ini secara dini.

 

Materi HIV - Bapak ArlinTerakhir, materi ketiga disampaikan oleh Bapak Arlin Adam. Disampaikan bahwa infeksi HIV menyerang sistem kekebalan tubuh. Saat ini prevalensi HIV sangat tinggi ditemukan pada ibu rumah tangga. Hal ini mengindikasikan HIV sudah berada dalam level generalized epidemic.Ke depannya, ini menjadi ancaman besar untuk terjadinya loss generation, karena bayi dan anak-anak akan dapat tertular juga dari ibunya. Saat ini perilaku seksual beresiko menjadi dominasi tertinggi penularan HIV, disamping ada multiple reciprocal factor (drugs termasuk di dalamnya). Memberikan intervensi pencegahan HIV pada hotspot potensi tinggi penularan sangat diperlukan. Di sisi lain, upaya untuk tes HIV pada calon pengantin dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan untuk HIV/AIDS di masyarakat juga sangat diperlukan. Ke depan, akan ada kecenderungan tes HIV bukan lagi bersifat voluntary tetapi mandatory test. Komitmen getting zero new infection dapat difasilitasi melalui tes HIV pranikah dan komitmen untukzero death related to AIDSdapat difasilitasi dengan adanya akses pelayanan kesehatan yang mudah. Konsep home based care dapat dibantu untuk membantu pengobatan ARV secara rutin.

Reporter: Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Kesehatan Lingkungan

IMG 20161103 163657Sore di hari pertama (3/11/2016) kegiatan Konas IAKMI yang diselenggarakan di Hotel Four Point Makassar dilaksanakan dalam beberapa simposium. Salah satu simposium dengan topik kesehatan lingkungan yang dibawakan oleh dua pemateri, yaitu dr. Imran Agus Nurali, SpKo yang merupakan Direktur Kesehatan Lingkungan Kementrian kesehatan. Sedangkan pemateri kedua adalah Prof Anwar Daud SKM MKes (dosen FKM Unhas).

Pada materi pertama, dr Imran menjelaskan tentang bagaimana perwujudan wilayah yang bersih dan sehat melalui program kota sehat. Program kota sehat ini sendiri pada awalnya terdapat di 8 wilayah di Indonesia yang merupakan sebuah program yang bersifat top-down dari pemerintah. Pendekatan ini sendiri telah memiliki dasar hukum meskipun saat ini telah mulai digeser ke pendekatan bottom-up.

Sementara pembahasan oleh Prof Anwar Daud SKM MKes (dosen FKM Unhas) menyajikan bahasan kontaminasi terkait dengan penurunan fungsi sel dan degenerative. Anwar memaparkan bahwa program kota sehat yang juga berhubungan langsung dengan isu kontaminasi sebenarnya terlihat bagus di atas kertas. Namun demikian, persoalan kesehatan tidak semudah itu, tetapi penekanan perbaikan yang perlu diprioritaskan adalah bagian paling kecil dahulu semisal pengembangan kesehatan individu maupun keluarga.

Reporter: Faisal Mansur, MPH

 

Reportase Pleno 1.1

pleno1-1

pleno1-1

Sesi plennary pertama diisi oleh Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty yang membuka dengan menekankan 4 pilar kependudukan: pilar pertama yakni program KB dan kesehatan reproduksi, program kesehatan reproduksi remaja (KRR), program ketahanan keluarga dan penguatan pelembagaan keluarga kecil. Dalam satu dekade ke depan, Indonesia akan mengalami situasi yang disebut dengan ‘bonus demografi’. Bonus demografi adalah situasi di mana proporsi penduduk usia produktif akan lebih tinggi daripada proposi penduduk non produktif, yakni yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. “Bonus demografi adalah pedang bermata dua, bisa menjadi anugerah maupun musibah, anugerah akan diperoleh apabila tenaga kerjanya berkualitas, dan bencana terjadi bila kondisi sebaliknya”, lanjut Surya. Terkait dengan kualitas tenaga kesehatan, beliau menekankan pentingnya pembangunan karakter melalui revoluse mental, yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno di tahun 1957 dan didengungkan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2014. Revolusi mental ini ingin membangun jiwa yang menjunjung tinggi etos kerja dan gotong royong, yang dapat ditumbuhkan dengan adanya komunikasi seseorang dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan.

Terkait dengan program kesehatan, saat ini BKKBN telah menyelenggarakan program ‘Kampung KB’, yaitu suatu konsep miniatur pelaksanaan program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) tingkat nasional yang dilaksanakan di tingkat RW, dusun ataupun setara. Konsep kampung KB ini mengutamakan adanya keterpaduan seluruh bidang atau lintas sektor terkait. Kampung KB dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep kampung KB ini telah selaras dengan program keluarga sehat yang menjadi prioritas kementerian kesehatan saat ini.

materi

Sesi plennary kedua dibawakan oleh Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Subandi Sardjoko. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diterapkan sebagai pengganti Millennium Development Goals menjadi strategi pembangunan kesehatan di Bappenas saat ini. Perbedaan utama antara MDGs dan SDGs adalah konsep top-down di MDGs yang berubah menjadi bottom-up di SDGs dengan melibatkan lebih banyak pihak untuk mencapai tujuannya, antara lain dari sektor bisnis dan filantropi. Sehubungan dengan ini, Bappenas menguatkan perannya untuk mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat untuk bersinergi mencapai TPB antara lain melalui: 1) menyamakan persepsi dan membangun komitmen antara pemerintah dan parlemen, masyarakat sipil (CSO) dan media massa, filantropi dan bisnis, serta akademisi dan pakar; 2) mengembangkan prinsip kemitraan dengan penyusunan grand strategy komunikasi untuk memicu partisipasi tidak hanya dari pemerintah tetapi juga masyarakat, dan; 3) melakukan koordinasi dan fasilitasi kepada daerahdalam upaya pengarusutamaan TPB/SDGs ke dalam rencana pembangunan daerah.
Di sesi ini, Subandi menyebutkan bahwa IAKMI, sebagai ahli kesehatan masyarakat, memiliki peranan penting untuk peningkatan kapasitas, center of excellence, mendukung pemantauan-evaluasi-pelaporan, serta melaksanakan penelitian untuk menghasilkan kebijakan berbasis bukti.

Moderator menyimpulkan bahwa pendekatan keluarga yang bersifat bottom up adalah prioritas dalam kesehatan masyarakat saat ini dan merupakan kewajiban bagi para ahli kesehatan masyarakat untuk bahu-membahu mewujudkannya.

materi

reporter: Likke Prawidya Putri 

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

 

Reportase Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan Kesehatan

work2nov1

work2nov1

“Selama ini penelitian hanya dibaca oleh pembuat kebijakan lalu dimasukkan ke dalam lemari, penelitian kebijakan harus melibatkan pembuat kebijakan secara aktif.” Begitulah kalimat pembuka yang disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro dalam kegiatan “Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan” pada hari Rabu (02/11/2016). Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara Pra-Konas IAKMI XIII yang diselenggarakan di Makassar, 3 – 5 November 2016. Kegiatan ini diramaikan sekitar 126 orang dari berbagai institusi baik praktisi maupun akademisi dan peneliti kebijakan kesehatan.

Salah satu definisi Riset implementasi, seperti diungkapkan oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc. PhD., merupakan sebuah pendekatan sistematik untuk memahami dan mengatasi kendala-kendala menuju implementasi intervensi, strategi, dan kebijakan kesehatan yang efektif dan berkualitas. Ini membuat riset implementasi cenderung “ateis”, artinya tidak terikat dengan suatu jenis metodologi saja, tapi menjadikan metodologi alat untuk menjawab pertanyaan penelitian dan kebutuhan untuk menyediakan bukti bagi implementasi kebijakan. Sementara penelitian biasa hanya berbicara mengenai indikator (what) dan outcome kesehatan, penelitian implementasi turut melihat bagaimana implementasi dijalankan (how) dan outcome implementasinya.

Workshop ini disertai sesi Panel yang diisi oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH yang menceritakan mengenai kegiatan penelitian implementasi JKN di layanan primer beserta tantangan-tantangan yang muncul selama penelitian. Ia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan adalah kebijakan JKN berubah-ubah selama proses penelitian berjalan. Hal ini diakui oleh drg, Doni Arianto, MKM dari Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes RI. Meski demikian, ini merupakan tanda bagus karena walaupun penelitian masih berjalan, hasilnya dapat langsung digunakan dalam perbaikan kebijakan JKN. Upaya ini dinilai positif oleh pembahas Prof. Dr. dr. HM Alimin Maidin, MPH. Ia menambahkan bahwa permasalahan JKN lainnya di layanan primer adalah besarnya pemasukan kapitasi tidak diimbangi dengan kurangnya sumber daya dan kapasitas administrasi keuangan di Puskesmas.

Rangkaian acara workshop ini ditujukan untuk memperkenalkan peserta mengenai riset implementasi dan potensinya dalam pengembangan kebijakan kesehatan. Workshop ini juga memperkenalkan berbagai instrumen pembelajaran riset implementasi dan informasi terkini yang dapat diakses melalui website Indonesia Implementation Research (link: http://indonesia-implementationresearch-uhc.net/).

Presenter dari Filipina yang mendapat beasiswa pascasarjana FK UGM, Tyrone Reden menarik perhatian dengan mengemukakan tingginya angka pertumbuhan penderita HIV di Filipina. Ia mengajukan proposal penelitian implementasi mengenai feasibility dan appropriateness kebijakan peningkatan kemampuan pekerja kesehatan komunitas untuk melakukan tes dan konseling HIV. Di samping itu juga dipresentasikan beberapa penelitian implementasi yang berada dalam lingkup kerja sama UGM dan WHO.

Pada sesi penutup, Laksono menekankan bahwa saat ini ada arus besar menuju riset implementasi dalam berbagai studi di sektor kesehatan. Ini akan berimplikasi pada semakin banyaknya pembiayaan dan diharapkan ke depannya dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas implementasi kebijakan di Indonesia.

reporter Insan Rekso Adiwibowo

 

Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Yogyakarta – PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi

Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Reporter: Noor Afif Mahmudah

{jcomments on}

Reportase Seminar Peran IDI & Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Yogyakarta – Jum’at, 4 Maret 2016 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM telah menyelenggarakan Seminar Perhimpunan Profesi Diskusi yang ke-3 dengan judul “Peran IDI dan dan Perhimpunan Profesi dalam memperjuangkan hak residen dan fellow dalam proses pendidikan” di Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM. Seminar ini terdiri dari dua sesi dan mendatangkan berbagai pembicara serta pembahas dari AIPKI, ARSPI, PERSI, IDI, IKABI, Direktur RSUP dr. Sardjito, dan Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan.

  Pengantar

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Annual Scientific Meeting FK UGM 2016 dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Board PKMK UGM. Acara ini terselenggara atas kerja sama PKMK FK UGM dan Roche. Laksono mengutarakan tujuan dari seminar ini untuk membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran; membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow; serta membahas bentuk gabungan antara university-based dengan hospital-based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System.

  Sesi I – Pembicara

Sesi pertama membahas mengenai apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Apakah ada kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?. Sesi ini diawali dengan presentasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Laksono memaparkan tentang setelah 2 tahun UU Pendidikan Kedokteran disahkan, masih tampak sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan berjalan secara terpisah. Diperlukan adanya integrasi antara duasistem tersebut untuk mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ditekankan pula bahwa residen dan fellow bukan siswa biasa dan tidak dapat dipisahkan dengan SDM kesehatan lain di Rumah Sakit, dimana mereka juga memiliki hak sebagai perkerja seperti hak mendapatkan insentif, serta hak untuk beristirahat. Dukungan dari perhimpunan profesi seperti IDI sangat dibutuhkan dalam reformasi ini.

  Sesi I – Pembahasan Tahap ke-1

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pertama oleh beberapa pembahas yaitu Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) sebagai perwakilan ketua AIPKI dari Pokja Spesialis dan Subspesialis, Prof. dr. H. Abdul Khadir, Ph.D., Sp.THT/KL(K)., MARS selaku Ketua 1 ARSPI yang juga menjabat sebagai Direktur RS Dharmais, serta dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR sebagai ketua PERSI.

Pada sesi pembahasan tahap ini, Prof. dr. Ova Emilia mendukung reformasi ini dan mengusulkan misi dari reformasi adalah untuk meningkatkan bentuk tanggung jawab residen dari pendidikan tidak hanya dari pencapaian segi kompetensi saja, namun juga meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Pihak ARSPI juga sangat mendukung dan menyatakan bahwa ke depannya harus ada reformasi serta diharapkan adanya penguatan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan melalui Academic Health System. Beliau juga menegaskan kembali tentang tiga hak residen yang harus dipenuhi berdasarkan UU Dikdok, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan insentif, dan hak untuk mendapatkan istirahat. Ketua PERSI mengutarakan bahwa PERSI menunggu aplikasi rundown serta roadmap yang jelas dari reformasi ini, agar bersifat akuntabel dan jelas jalan eksekusinya. Selain itu, dibutuhkan pula pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu dan bisa memenuhi keadilan dan pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.

Setelah pembahasan kemudian terdapat diskusi yang sangat menarik antara pembahas dengan peserta seminar. Salah satu peserta, dr. Endro Basuki, Sp. BS dari RSUP dr. Sardjito menyatakan bahwa residen harus dimanusiakan. Target utama adalah bagaimana residen selesai masa pendidikan dengan selamat, serta yang paling mudah selain pemberian insentif adalah residen tidak perlu membayar biaya PPDS karena sudah dibiayai oleh pemerintah atau instansi lain. Dari sesi ini dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak setuju bahwa residen perlu mendapatkan haknya, dan detail operasional tentang pemenuhan hak ini perlu dibicarakan lebih lanjut.

  Sesi I – Pembahasan tahap ke-2

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tahap ke-2. Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) selaku Ketua MKKI – IDI menyatakan bahwa IDI perlu memprioritaskan status residen di Rumah Sakit sebagai apa, kemudian sumber alokasi dana insentif dari mana, serta dilaksanakan dalam jumlah yang memadai. IDI berharap bahwa ada dukungan dari pemerintah untuk dapat mencapai tujuan ini.

Ketua IKABI Pusat, yakni dr. R. Suhartono, Sp.BT-KV menekankan perlunya kesamaan persepsi tentang residen dari pihak fakultas, perhimpunan profesi, dan kementerian kesehatan (Kemenkes). Selain itu dalam penerimaan residen, harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Kemenkes sehingga terdapat kesesuaian antara jumlah residen yang diterima oleh universitas dan kebutuhan di Rumah Sakit.

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS sebagai kepala pusat pendidikan SDM Kesehatan mengutarakan tentang adanya pembentukan perencanaan yang disusun bersama oleh dinas kesehatan kabupaten di mana kini sedang konsolidasi peta kebutuhan SDM tenaga kesehatan selama 5 tahun mendatang. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan ini tidak hanya diperlukan di RS Pemerintah saja, namun juga RS Swasta.

Pada diskusi pembahasan tahap ini diutarakan beberapa pendapat, seperti harapan bahwa dosen klinis dari residen perlu dimanusiakan juga agar mendapatkan porsi yang sesuai. Suara dan aspirasi dari Persatuan Dokter Dosen Klinis (PERDOKDI) juga diharapkan untuk turut didengar dalam penyusunan PP dari UU Dikdok. Ditekankan pula perlu diciptakan iklim yang sehat dan kondusif tidak hanya untuk residen, namun juga untuk dokter senior. Sembari menanti penyusunan PP, pihak-pihak yang bersangkutan juga mempersiapkan yang dibutuhkan sehingga ketika PP telah jadi bisa langsung dieksekusi.

  Sesi II – Pembicara

Pada sesi kedua dilakukan pembahasan mengenai Harapan di masa mendatang tentang skenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan dan harapan untuk badan PPSDM Kementerian Kesehatan. Pembicara sesi ini yaitu Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH sebagai ketua minat MMR FK UGM menyampaikan hasil data kajian pemberian insentif yang dilakukan di RSUP dr. Sardjito, RSUD dr. Moewardi, dan RSUP dr. Cipto Mangunkusumo.

Di Era JKN peningkatan jumlah pasien yang tidak diikuti oleh jumlah DPJP menyebabkan adanya pembagian beban kerja yang “dibungkus” oleh pendidikan. Dalam pembagian beban ini sudahkah ada pembagian beban kerja, kompensasi, dan keadilan yang jelas antara DPJP dan residen?
Dari hasil riset didapatkan bahwa ada beberapa bentuk pembagian insentif dari Rumah Sakit, namun dengan dasar acuan yang tidak jelas dan memiliki aturan masing-masing yang tergantung pada: status residen, regulasi yang mendukung, dan manajemen RS. Melalui riset, didapatkan pula bahwa residen sudah masuk dalam siklus manajemen, namun yang belum ada adalah sistem reward dan punishment bagi residen. Selain itu data jumlah residen, fellow, dan data kapasitas RS Pendidikan serta data dosen pendidik untuk pendidikan spesialis dan sub-spesialis masih sulit untuk ditemukan.

Prof. Laksono sebagai moderator menambahkan tentang Academic Health System di mana Fakultas Kedokteran sebagai pihak pengelola residen sehingga tetap dikenakan biaya SPP, namun yang membayar bukan pihak residen pribadi namun RS, Pemerintah daerah, atau kelompok tertentu yang membayar. Selain itu penetapan RS Pendidikan dan jejaring tidak bisa asal namun sesuai kebutuhan. Jika RS tidak membutuhkan adanya residen atau fellow, maka tidak perlu menjadi RS Pendidikan. Ijazah dan sistem kontrol mutu pendidikan yang mengeluarkan tetap universitas karena kondisi yang sulit keluar dari UU Sisdiknas.

  Sesi II – Pembahas

Pembahasan sesi ke-2 kali ini diisi oleh dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS (Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan), Prof. DR. dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) (Ketua MKKI – IDI), dan dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito). Melalui pembahasan kali ini didapatkan fakta bahwa data mengenai residen yang melalui tugas belajar di Pusat Pendidikan SDM Kesehatan dapat diakses jika perlu. Ketua MKKI juga menyampaikan bahwa data-data di perhimpunan profesi juga ada dan tengah dirapikan, serta diharapkan minggu depan sudah dapat dirilis. Sedangkan dr. Syafak menyampaikan bahwa di RSUP dr. Sardjito telah membentuk tim ad hoc untuk membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan residen dapat diatur dengan lebih baik agar dapat memenuhi hak dan kewajiban dari residen terhadap RS Pendidikan.
Dari diskusi pada sesi ini diungkapkan bahwa semua pihak telah sepakat bahwa residen itu juga termasuk pekerja pelayanan kesehatan sehingga hak insentif dan jam istirahat harus diperjuangkan. Tentang jam istirahat, ada kaidah kesehatan kerja yang seharusnya diimplementasikan pada residen yang tidak menghambat residen untuk meraih target kompetensi.

  Penutup dan Kesimpulan

Seminar yang berjalan selama kurang lebih 6 jam ini ditutup dengan dukungan penuh dan kesepakatan dari semua pihak baik dari Perhimpunan profesi, RS Pendidikan, Fakultas Kedokteran, dan Kementerian Kesehatan tentang residen dan fellow juga termasuk tenaga medis RS sehingga harus dipenuhi hak dan kewajibannya. Langkah ini jangan hanya berhenti di PP saja, namun juga harus sampai teknis operasionalnya. Ke depannya akan dibentuk tim yang membahas teknik operasional dari berbagai stakeholder. IDI menyatakan siap untuk menjadi anggota tim. RSUP dr. Sardjito juga sedang menyiapkan tim ad hoc untuk teknis operasional ini. Kemenkes bersedia menjadi inisiator dan bekerjasama dengan Kemenristek dikti. Serta Kemenkes berencana akan mengumpulkan dan melibatkan kolegium serta RS Pendidikan untuk dokter spesialis dan subspesialis. Dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak bertekad untuk terus menjalankan amanat UU dan siap untuk memfasilitasi proses ini.

Oleh: Noor Afif Mahmudah dan M. Ali Rosadi

 

Hasil Pertemuan II: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini merupakan tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Dalam konteks demikian, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam 2 (dua) kali. Seminar ke-1 telah dilakukan pada Kamis 11 Februari 2016, sedangakan Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas juga telah diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini.

RESUME

  1. Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan sebagai acuan kegiatan promosi kesehatan mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, hingga ke puskesmas. Dasar pemikirannya antara lain:
    • Jangka Waktu 5 Tahun. Seperti halnya RPJMD dan Rencana Strategis, Grand Design Promosi Kesehatan memiliki jangka waktu 5 tahun. Hal ini menguntungkan karena kegiatan promosi kesehatan yang bertujuan mengubah perilaku sulit dilihat hasilnya dalam satu tahun atau jangka pendek. Dengan adanya Grand Design, ada acuan (dan diharapkan jaminan) untuk mengimplementasikan strategi promosi kesehatan secara berkesinambungan (minimal 5 tahun) agar perubahan perilaku dapat terjadi.
    • Fokus Perubahan Perilaku terkait Masalah Kesehatan Prioritas. Grand Design Promosi Kesehatan sejalan dengan Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota karena harus mengacu pada masalah kesehatan prioritas yang ada dan dirumuskan dalam Renstra. Dengan demikian, posisi Grand Design Promosi Kesehatan adalah “penjabaran” Renstra di bidang promosi kesehatan dengan focus perubahan perilaku terkait masalah kesehatan prioritas.
      Catatan: Masalah Kesehatan Prioritas adalah 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK), Sanitasi Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM), Posbindu, ATM (AIDS, TB, Malaria), dan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS).
    • Integrasi Kegiatan di Semua Level. Grand Design di daerah dikembangkan di level provinsi kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan penyusunan rencana kerja kegiatan promosi kesehatan di puskesmas. Dengan prinsip integrasi seperti ini, kegiatan promosi kesehatan dapat lebih fokus untuk mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan prioritas di suatu wilayah khususnya terkait perubahan perilakunya.
    • Pendekatan Akademis dan Praktis. Grand Design disusun dengan mengacu pada sistematika yang dianjurkan dalam teori. Meskipun demikian, penyusunan Grand Design tidak terlalu teoritis. Untuk itu kombinasi dengan pendekatan praktis juga dilakukan agar Grand Design yang dihasilkan lebih membumi.
    • Fokus pada Program Nyata. Kegiatan promosi kesehatan selama ini seringkali dianggap “abstrak.” Salah satu penyebabnya adalah upaya tersebut tidak dijabarkan dalam “bahasa program” yang jelas indikatornya dan dapat dihitung biayanya. Grand Design Promosi Kesehatan ini berfokus pada program nyata untuk menghindari ketidakjelasan (abstrak) tersebut.
    • Dimensi Upaya Promosi Kesehatan Terintegrasi dengan BOK. Secara operasional, Grand Design dijabarkan ke dalam program yang mencakup empat dimensi yaitu KIE, Pemberdayaan Masyarakat, Advokasi, dan Kemitraan dengan sasaran Rumah Tangga, Pelayanan Kesehatan, Sekolah, Tempat Kerja, dan Tempat Umum. Keempat dimensi tersebut sudah tersedia “menunya” dalam Juknis BOK dari Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, penganggaran implementasi Grand Design ini di level puskesmas tidak menjadi masalah.
    • Terbuka Inovasi dalam Implementasi di Level Lokal. Posisi Grand Design ini berada di level “meso” (antara makro dengan mikro). Dalam penjabarannya di level mikro (puskesmas) sangat terbuka peluang untuk melakukan inovasi baik teknologi maupun pendekatannya sesuai kebutuhan setempat. Adanya Grand Design untuk memastikan agar semua kegiatan promosi kesehatan dapat terfokus dan terintegrasi di semua level.
  2. Dari aspek kebutuhan SDM, dalam penyusunan Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan Tim Tenaga Ahli (minimal S2 Promosi Kesehatan). Di sisi lain, untuk implementasi di level puskesmas, dibutuhkan tenaga promoter kesehatan. Dalam Juknis BOK, puskesmas dapat mengontrak tenaga promoter kesehatan. Namun, yang belum jelas adalah sumber anggarannya untuk mengontrak tenaga ahli tersebut.
  3. Secara teknis, bagaimana menyusun (how to) Grand Design agar dapat direplikasi di semua daerah, masih harus dibahas lebih lanjut.

 

{jcomments on}

Grand Design Sebagai Tools Kegiatan Promotif Dan Preventif Yang Terintegrasi

Grand Design promosi kesehatan diharapkan memiliki bentuk lebih aplikatif , dan bisa menjadi kebijakan nasional yang bersifat lokal specifik. Hal ini yang menjadi perdebatan panjang dalam seminar seri kedua yang bertajuk Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas. Seminar ini diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada Kamis 18 Februari 2016.

Melalui seminar seri kedua ini PKMK FK UGM ingin menyepakati bagaimana bentuk dari Grand Design dari promosi kesehatan. Selama ini sering terjadi disintegrasi antara kegiatan promotif dan preventif, yang seharusnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, promotif harus ada disetiap program-program preventif dan dilakukan oleh tenaga ahli. Bagaimana hal tersebut diatur dan siapa yang mengatur akan dikemas dalam sebuah Grand Design sehingga sangat penting untuk dirumuskan.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) sebagai narasumber dalam seminar ini menjelaskan bahwa Grand Design disusun disetiap level, ada yang ditingkat nasional, provinsi, ada yang ditingkat kabupaten.

Menambahkan pernyataan tersebut, Rita Damayanti (Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia) sebagai narasumber juga mengatakan bahwa Grand Design minimal harus menyinggung 5 program utama dalam promosi kesehatan (Gerakan 1000 hari pertama kehidupan , STBM, Posbindu, ATM (AIDS, TB,Malaria), UKS), dan tetap harus menyambung program generiknya BOK. Grand Design harus cukup efisien, dan fleksibel serta jelas. Fleksibel artinya dapat disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial) menjawab seharusnya Grand Design dibuat oleh Tim Ahli, dan Grand Design yang ada sekarang ini masih terus direview.

Menyambung hal tersebut Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) menyampaikan bahwa pembahasan Grand Design ini tidak akan sampai pada seminar seri kedua ini saja, akan ada seminar lanjutan untuk mematangkan konsep Grand Design tersebut.

{jcomments on}

Resume Hasil Pertemuan 1: Kajian Prospek Kegiatan Promotif-Preventif Di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini menjadi tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2016 ini perlu diketahui oleh para ahli promosi kesehatan. Ada beberapa pertanyaan mendasar, antara lain:

  1. Apakah “menu” kegiatan promosi kesehatan yang bersifat generik tersebut dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing puskesmas?
  2. Bagaimana bentuk kegiatan riil promosi dan preventif kesehatan di Puskesmas dengan menggunakan dana yang ada?
  3. Apakah memang diperlukan system kontrak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam dua kali. Seminar pertama telah dilakukan pada Kamis, 11 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini. (Catatan: Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas akan diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016).

RESUME

Dengan dukungan dana BOK 2016, prospek kegiatan promotif-preventif di puskesmas menjadi cerah. Prospek cerah ini akan tercapai jika berbagai prasyaratnya terpenuhi antara lain:

  • Dinas Kesehatan Kab/Kota harus dapat menjabarkan Juknis DAK Bidang Kesehatan dari pusat ke dalam Juklak sesuai situasi dan kebutuhan setempat. Hal ini dibutuhkan sebagai acuan bagi puskesmas termasuk dalam membuat indicator kinerja bagi tenaga kontrak promoter kesehatan.
  • Lingkungan internal kesehatan (mulai dari level kabupaten hingga ke puskesmas) harus benar-benar memahami kebijakan baru tersebut agar bisa mendukung dan atau melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Namun, dikhawatirkan belum semua pegawai memahami hal ini.
  • Pemda setempat perlu diadvokasi agar penyerapan dana BOK ini bisa dilakukan sejak awal tahun. Permasalahan muncul karena tahun ini dana BOK harus melalui APBD sehingga ada pemda yang mengharusnya penyerapan dana BOK harus sesuai mekanisme APBD. Hal ini berdampak pada terlambatnya penyerapan.
  • Kegiatan promosi kesehatan tidak bisa lagi dilakukan secara rutin dengan pendekatan klasik (tanpa inovasi atau tidak sesuai dengan kebutuhan setempat). Agar upaya ini efektif, kegiatan tersebut harus berdasarkan suatu Grand Design. Grand Design ini disusun di level provinsi, kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan pelaksanaan di level puskesmas.

Kualifikasi tenaga promoter kesehatan yang dibutuhkan tergantung pada level organisasi dan tugas yang harus dilakukan. Jika hanya sebagai eksekutor di puskesmas, maka cukup D3 Kesehatan (tapi jika harus membuat analisis, harus S1). Untuk level kabupaten/kota, minimal S1 Promkes. Untuk level provinsi, minimal S2 Promkes. Artinya, di semua level tenaga promoter kesehatan dibutuhkan dengan kualifikasi yang sesuai.
Bagi daerah yang sulit untuk mendapatkan tenaga promoter kesehatan (seperti di Indonesia Bagian Timur), muncul ide agar dilakukan pendekatan teknologi informasi yang paling sesuai.

{jcomments on}

 

Tantangan Promosi Kesehatan di tahun 2016 , What do we need?

11febkki

11febkki

Menyambut tahun emas Promkes, Indonesia memerlukan Promoter Kesehatan yang bersifat lokal spesifik dan menu kegiatan promotif preventif yang tidak generik. Begitulah kira-kira kesimpulan hasil seminar yang diselenggarakan PKMK FK UGM pada Kamis 11 Februari 2016 yang bertajuk Kajian Prospek Promotif dan Preventif di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes 2016.

“Tahun ini merupakan tahun istimewa bagi sektor kesehatan karena Pemerintah Pusat menaikan anggaran untuk kesehatan terutama kegiatan promosi kesehatan dari tahun sebelumnya, sehingga penting untuk membuat suatu model atau bentuk kegiatan yang efektif agar dana tersebut terserap dengan tepat “, ungkap LaksonoTrisnantoro dalam pembukaan seminar.

Melalui seminar ini PKMK mencoba mengkritisi Permenkes No.82 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016. Ada dua poin, yaitu menu upaya promotif dan preventif, dan sistem kontrak tenaga promoter kesehatan, dalam konteks ini Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) juga mengarahkan para ahli promkes untuk membuat suatu grand design dalam pelaksanaan upaya promotif-preventif yang terarah.

Hal tersebut merupakan langkah awal untuk mengoptimalkan Dana DAK non fisik yang dialokasikan untuk kegiatan promotif-preventif yang dirasakan selama ini masih banyak gagal di daerah.

Menu promosi kesehatan dalam Juknis DAK selain generik juga tidak up-to date , ungkap salah satu penanya dari webinar.

Menanggapi hal tersebut Dedi Kuswenda (Direktur Promosi Kesehatan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes) menyatakan bahwa hal tersebut sebenarnya masih bisa di modifikasi, dan hal tersebut juga merupakan upaya untuk tetap mengingatkan tugas Puskesmas sebagai pelaksana UKM, tidak hanya UKP saja seperti yang selama ini terjadi.

Tanggapan mengenai menu kegiatan promosi kesehatan juga dibahas oleh Veronika Evita Setyanignrum (Kepala Puskesmas Moyudan, Sleman, DIY) Beliau membenarkan bahwa menu promosi kesehatan tersebut masih generik dan untuk mengatasi hal tersebut, Puskesmas Moyudan membuat petunjuk kegiatan operasional agar lebih mudah diimplementasikan di daerah.

Poin kedua yang dibahas mengenai kualifikasi tenaga promkes yang akan di kontrak. Fatwa Sari Tetra (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) memberikan masukan bahwa kualifikasi tenaga promkes yang dikontrak seharusnya mempertimbangkan kearifan lokal. Dedi Kuswenda menyampaikan bahwa kualifikasi tenaga ahli sesuai dengan levelnya yaitu level provinsi, kabupaten/kota, dan pengembangan sistem kontrak dimulai dengan grand design untuk menjadi acuan nantinya.

Seminar ini merupakan seminar seri pertama dalam rangkaian seminar Promosi Kesehatan dan akan dilanjutkan pada Hari Kamis, 18 Februari 2016 mendatang dengan pematangan mematangkan konsep grand design.

{jcomments on}