BPJS Kesehatan: Kepengurusan Kini Dilakukan Satu Pintu di Kecamatan

6nov

6novLayanan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan kini dilakukan lebih terstruktur, melalui sistem yang disebut PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) dan PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan).

“Diharapkan sistem ini bisa memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan kesehatan dan ketenagakerjaan di seluruh Indonesia,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo usai menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dalam penyelenggaraan jaminan sosial nasional, di Jakarta, Jumat (6/11).

Hadir dalam kesempatan itu Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya.

Untuk itu, Tjahjo meminta pada kepala pemerintah daerah untuk memerintahkan Kepala Badan/Kantor/Unit PTSP di daerah untuk menyediakan data dan informasi sesuai dengan kebutuhan BPJS. Sehingga masyarakat lebih mudah dalam mengurus kepesertaan dan masalah lainnya terkait BPJS.

“Keaktifan daerah akan sangat membantu mengoptimalisasi kerja PTSP dan PATEN di daerah. Beban dananya dari BPJS,” ujarnya.

Disebutkan, saat ini sudah seluruh provinsi di Indonesia atau sebanyak 34 provinsi yang membentuk kelembagaan PTSP di daerahnya. Namun, diakuinya, baru ada 372 dari 416 kabupaten yang membuka layanan PTSP. Sedangkan kota sudah tersedia di 92 dari 98 kota yang ada di Indonesia.

Untuk PATEN, ditambahkan, baru dibentuk di 28 provinsi. Dari 514 kabupaten, baru tersedia di 144 kabupaten. Pada tingkat kecamatan, baru dibentuk di 1.482 kecamatan dari 7.049 kecamatan yang ada di Indonesia.

“Kami berharap tahun depan semua kecamatan di Indonesia sudah menerapkan PTSP dan PATEN agar pelaksanaan BPJS dapat berjalan optimal,” ujarnya.

Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris usai acara berharap, nota kesepahaman dapat mendorong pemerintah daerah dalam optimalisasi penerapan peraturan pemerintah (PP) 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Ia mencontohkan perusahaan swasta. Sanksi bisa diberikan berupa penundaan pemberian layanan publik seperti perizinan terkait usaha, izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin memperkerjakan tenaga kerja asing.

Bagi masyarakat yang tidak mendaftarkan diri dan keluarganya ke BPJS Kesehatan, disebutkan, bisa dikenakan sanksi tidak mendapat layanan publik tertentu seperti pengurusan sertifikat tanah, paspor, surat izin mengemudi (SIM) dan pengurusan surat tanda nomor kendaraan (STNK). (TW)

 

Direksi dan Dewas BPJS Kesehatan Kini Dipilih Terbuka

Proses pemilihan jajaran direksi dan dewan pengawas (dewas) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini dilakukan melalui seleksi terbuka.

Pendaftaran dilakukan secara online lewat website www.djsn.go.id mulai hari ini, 6 November 2015. Batas waktu pendaftaran maksimal 10 hari pasca pengumuman ke publik.

“Isi formulir pendaftaran dan lengkapi semua persyaratan. Mereka yang memenuhi syarat akan dipanggil untuk ikut proses selanjutnya,” kata Sekjen Kementerian Kesehatan, Untung Suseno Sutarjo yang juga anggota Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (5/11) malam.

Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Panitia Seleksi BPJS Ketenagakerjaan, Abdul Wahab Bangkona. Sedangkan Ketua Pansel BPJS Kesehatan, Mardiasmo berhalangan hadir.

Abdul Wahab Bangkona menjelaskan, proses seleksi pemilihan direksi dan dewas BPJS Kesehatan dilakukan sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Formasi kursi di BPJS Kesehatan untuk direksi ada 8 orang dan dewas 7 orang. Sedangkan di BPJS Ketenagakerjaan masing-masing sebanyak 7 kursi.

Dijelaskan, proses pemilihan direksi dan dewas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan melalui pansel, merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 115/P untuk BPJS Kesehatan dan Kepres Nomor 116/P untuk BPJS Ketenagakerjaan.

“Jabatan direksi dan dewas BPJS sebelumnya kan ditunjuk pemeromtah. Masa waktu mereka 2 tahun yang akan berakhir 31 Desember 2015 memdatang. Diharapkan pansel bekerja tepat waktu, sehingha 2016 sudah ada direksi dan dewas formasi baru,” katanya.

Secara umum proses seleksi meliputi seleksi administratif, tes kompetensi bidang, tes psikologi, tes kesehatan, dan wawancara mengenai visi misi calon terkait penyelenggaraan program jaminan sosial baik bidang kesehatan maupun bidang ketenagakerjaan.

“Kami akan melihat rekam jejak dari calon anggota direksi dan dewas BPJS, sehingga dapat diperoleh calon yang memiliki integritas dan profesional,” ujarnya.

Ditanyakan apakah pejabat BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sebelumnya bisa ikut seleksi, Bangkona mengatakan, hal itu diperbolehkan asalkan memenuhi syarat administratif, seperti usia antara 40-60 tahun, pendidikan minimal S-1 dari berbagai disiplin ilmu dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk posisi masing-masing.

“Untuk posisi direksi, pilihan pansel bisa langsung diangkat. Tetapi pada posisi dewas, harus dilakukan fit and proper test terlebih dulu di DPR,” ujarnya. (TW)

 

2020, Lansia Indonesia Mencapai 28,8 Juta Jiwa

Penduduk usia lanjut atau lansia pada 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34 persen dari total jumlah penduduk di Tanah Air, angka ini menjadi tantangan agar tercipta lansia sehat dan produktif.

Demikian isu yang dibahas dalam “Bogor Senior Citizen Roadshow and Healthy Funfest 2015” di Kota Bogor, Kamis (5/11).

“Perlu upaya untuk mencegah dan promotif agar dapat membangun generasi dan negeri yang sehat dengan segala potensi yang dimiliki. Upaya ini dimulai dari masa kandungan, anaka-anak, remaja, dewasan dan mencapai usia lanjut yang tetap sehat, aktif serta produktif,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota, Rubaeah.

Rubaeah mengatakan, usia lanjut merupakan proses alami dalam hidup manusia yang tidak bisa dicegah. Indonesia merupakan lima negara di dunia yang memiliki jumlah usia lanjut tertinggi. Pada tahun 2010 jumlah lansia tercata sebanyak 18,1 juta jiwa atau 17,6 persen. Di tahun 2014 jumlah meningkat menjadi 18,8 juta jiwa.

“Diprediksikan 2020 jumlah lansia Indonesia mencapai 28,8 persen,” katanya.

Menurut Ruabeah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, pemerintah wajib menjaga kesejatan masyarakat lanjut usia agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomi.

Dikatakannya, untuk mengakomodir amanat undang-unadng tersebut, Pemerintah Kota Bogor telah melakukan upaya menyediakan sarana dan fasilitas untuk mendukung kesehatan lansia di kota tersebut.

“Salah satunya melalui Pos Windu Lansia yang merupakan pilot project Kementerian Kesehatan,” kata Rubaeah.

Selain itu, lanjut Rubaeah, Pemerintah Kota Bogor juga menyediakan Puskesmas Ramah Lansia yang memudahkan para lansia dalam memperoleh layanan kesehatan tanpa harus lelah mengantri dengan pasien umum lainnya.

Rubaeah menambahkan, sarana dan fasilitas yang telah disediakan tidak akan optimal tanpa adanya usaha dari para lansia dalam menjaga kesehatan dirinya sendiri.

“Kita terus melakukan sosialisasi, diharapkan masyarakat menjadi semakin tahu dan sadara untuk menjaga kesehatan dan aktivitasnya sampai usia senja,” katanya.

Dinas Kesehatan Kota Bogor bekerja sama dengan PT Tiga Pilar Manajemen Indonesia menggelar acara Bogor Senior Citizen Roadshow and Healthy Funfest 2015 dalam rangka sosialisasi menuju lansia sehat dan produktif sesuai instruksi WHO dan Pemerintah Pusat.

Panitia Kegiatan, Febi Regina menyebutkan, acara roadshow diawali dari Kota Bogor dan akan dilanjutkan di Jakarta, Bandung serta Surabaya. Peningkatan jumlah lasian di Indonesia setiap tahunnya, menjadi latar belakang terselenggaranya kegiatan tersebut yang diharapkan dapat memberikan tips kepada para lasia agar tetap menjaga kesehatannya.

“Konsepnya acara menjalankan himbauan dari pemerintah kota tentang kota ramah lansia,” katanya.

Menurut Febi, dengan sinergitas yang tercipta antara pemerintah kota dan swasta, tentunya dapat terwujud keluarga sehat dan produktif, salah satunya di Kota Bogor.

“Acara ini diramaikan dengan pameran, seminar, bazar dan lomba talkshow. Kita mengundang 100 lansia se-Kota Bogor,” katanya.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

301.441 Warga Medan Dapat Kartu Indonesia Sehat

KIS yang dibagikan ini merupakan kartu diperuntukkan bagi kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebelumnya pemerintah telah mendaftarkannya dan pemerintah yang membayar iurannya (Penerima Bantuan Iuran) atau lebih dikenal peserta Jamkesmas.

Sejak diluncurkan 3 November 2014, KIS sebagai salah satu program unggulan dalam Pemerintahan Presiden Joko Widodo, keberadaan KIS semakin menghadirkan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, sekaligus sebagai bagian dari penguatan sendi – sendi perekonomian bangsa. Untuk Kota Medan, pendistribusian ini merupakan tahap kedua, dimana 83.735 kartu telah dibagikan pada tahap pertama.

Pj Wali Kota Medan Drs H Randiman Tarigan MAP diwakili Sekda Kota Medan Ir Syaiful Bahri Lubis mengajak seluruh yang terlibat dalam pendistribusian KIS, agar bekerja dengan optimal dalam membagikan KIS kepada masyarakat. Selain itu sosialisasikan kepada masyararakat terhadap manfaat dan penggunaan KIS tersebut harus tetap dilakukan.

“Dalam pelaksanaan program KIS, salah satu hal yang menjadi fokus perhatian kita bersama adalah tentang pendistribusiannya. Saya minta seluruh camat dan lurah harus menidistribusikan KIS dengan cepat dan tepat, sehingga manfaatnya akan dapat dirasakan masyarakat,” kata Sekda.

Menurut Sekda didampingi Kadis Kesehatan drg Usma Polita Nasution dan Dirut RSUD dr Pirngadi dr Edwin, KIS memberikan tambahan manfaat layanan preventif, promotif dan deteksi dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi. Selain itu KIS juga memberikan jaminan bahwa pelayanan oleh fasilitas kesehatan yang tidak membedakan peserta berdasarkan status sosial.

“Saya berharap dengan adanya KIS, masyarakat yang kurang mampu khususnya yang ada di Kota Medan mendapatkan pelayanan kesehatan lebih baik dan maksimal. Pemko Medan juga terus berupaya untuk mendorong tersedianya berbagai sarana dan prasaran kesehatan yang semakin berkualitas baik di rumah sakit maupun puskesmas”, ungkap Sekda.

Kepala Departemen Kepatuhan dan Keuangan BPJS Kesehatan Cabang Kota Medan Ismed SE mengatakan untuk tahap awal, telah didistibusikan 83.735 KIS untuk masyarakat Kota Medan. Penerima KIS akan menerima amplop yang berisi kartu dengan nama pemilik, nomor KIS, alamat dan fasilitas kesehatan serta buku panduan.

” Untuk pelayanan, pemegang KIS akan dilayani di balai pengobatan tingkat pertama yaitu puskesmas. Untuk sakit yang tidak tertangani di puskesmas akan dirujuk ke rumah sakit untuk pengobatan tingkat lanjutan”, jelas Ismed.

Untuk pendistribusiannya, Ismed mengungkapkan harus didukung seluruh stake holder. Untuk itu pihaknya meminta bantuan camat dan lurah segera mendistibusikan KIS kepada masyarakat dan tepat sasaran.(dna/mdn)

sumber: http://www.dnaberita.com/

 

Delhi’s air pollution is causing a health crisis. So, what can be done?

For a few hours one morning two weeks ago, private cars were banned from driving into the heart of old Delhi. It was hard to tell at the messy road junction in front of the historic Red Fort and the shopping street of Chandni Chowk, though, which was still crammed with auto-rickshaws and buses barrelling along the roads with seemingly little regard for any traffic rules.

But Delhi’s so-called “car-free day” experiment was nevertheless a success: scientists monitoring the air here, routinely one of Delhi’s most polluted areas, found a dramatic 60% drop in the amount of dangerous pollutants – the tiniest particles that come out of traffic exhausts and which can exacerbate health problems such as asthma, heart disease and stroke – compared to the previous day.

Delhi is the most polluted city in the world, according to the World Health Organisation (WHO), and doctors and scientists say the locals there are facing a public health crisis. Beijing has historically drawn international attention when it comes to poor air quality but, in reality, that city’s air is nowhere near as dangerous as many of India’s major cities.

The rapid development of the country in recent years means India has the dubious honour of having 13 of the world’s 20 most polluted cities. The WHO found that Delhi had an average of 153 micrograms of the smallest particles, known as PM2.5s, per cubic metre in its air. The international “safe” level for these particles is 6 micrograms per cubic metre.

Delhi’s bad air is already causing a spike in the people with asthma and reduced lung function.

Filming in the city’s leading chest hospital, for a series of stories for ITV News at Ten on India’s challenges ahead of the climate change summit in Paris that begins later this month, a doctor told me he had to now keep his clinics open for double their normal hours in order to keep up with demand. Even then, the corridors were overrun with wheezing patients and a room that had a line of oxygen masks for patients to take respite breaths as they waited, had queues snaking out of the door.

The air is already having long-term effects on children in the Indian capital, 4.4 million of whom already have irreversible lung damage. “The children’s lung is in the budding stage, they are not mature,” said Prof Raj Kumar a respiratory specialist at the Vallabhbhai Patel Chest Institute, University of Delhi.

“Ultimately their bronchi or alveoli are going to be damaged and the lung function is harmed. [Since] that is the main organ where the oxidisation is taking place, if the lung is affected then the whole of your body will be affected.”

The damage goes beyond that – reaching even further back in people’s lives. At the Sir Ganga Ram Hospital, neonatologist Professor Neelam Kler has been working with the Public Health Foundation of India to track an increase in premature and underweight babies and those born with birth defects. “People are probably not so aware of the hidden effects of pollution and that is on the pregnant woman and the growing foetus in her body, which is a very vulnerable period,” she said.

There is already evidence of a spectrum of health problems, ranging from allergies and respiratory conditions, malformations, growth restrictions and even an increasing incidence of cancers, all of which could be related to increased pollution. “Putting it together, we are heading towards health disasters,” said Prof Kler.

The reasons behind the worsening air are manyfold – more than 8m vehicles on the roads already, with 1,400 new ones added every day. Most of those new vehicles burn diesel and face relatively low emissions standards, belching out clouds of the tiny PM2.5 particles that can be most harmful to health.

In addition to vehicles, there are an increasing number of diesel-burning electrical generators attached to the swanky apartment blocks springing up across the capital. Farms and coal-burning factories around the region further worsen the air.

The pollution has a double-whammy effect. Health problems are happening now but the vehicle and factory exhausts also contain greenhouse gases such as nitrous oxides, ozone and carbon dioxide. These will linger in the atmosphere for many decades and contribute to future climate change. India’s cities are facing the problems right now but the pollution (and its problems) is a stark indication of what many more developing nations will face in future.

The Indian government says it is aware. Environment minister Prakash Javadekar said he wants to fast-track the construction of a bypass that would prevent around 50,000 polluting lorries having to drive into the city every day. And he wants the car companies to clean up their vehicles to the more exacting standards in Europe. “We want to migrate early but auto industry is not ready,” he said.

The car industry in India could produce Euro-6 compliant vehicles, he said, but they have been lagging behind. “We will deal with this menace of air pollution and we will win the battle and there will be marked difference in the next two years.”

Delhi has managed to clean up its air before. At the turn of the century, the local government moved polluting industries out of the city, shut down coal-burning power plants and forced public transport vehicles to move from diesel and petrol to cleaner gas alternatives. The air quality improved steadily until 2007, said Anumita Roychowdhury of the Centre for Science and Environment, a Delhi thinktank.

“But after that, if you look at the data, 2009 onwards, you will find the levels are going up again and gone up so high that now what we are saying is that we have lost the gains of the first generation action,” she said. “And that’s the scary story unfolding today. What has gone wrong is that the momentum that we had built to clean up, we could not keep that momentum going. Somewhere along the line the pollution source has overwhelmed the action.”

For Profs Kler and Kumar, all Delhi citizens need to do their part in dealing with the pollution problem. Health professionals need to petition authorities to act and individuals must work out how to keep the city growing without just buying more cars.

“Development not only means industrialisation,” said Prof Kler. “I think its a time that we take a note of it and do something about the quality of air, the quality of water, our waste disposal, so that we don’t become a heap of garbage.”

As Delhi chokes, initiatives such as the car-free day around the Red Fort two weeks ago will become more important in bringing attention to the pollution crisis. A small crowd had gathered that morning with banners and wearing T-shirts with slogans reading “No Pollution, No Congestion”. They marched around the road in the shadow of the Red Fort on the day, handing leaflets out to passers by.

Sunil Dahiya, a campaigner with Greenpeace India who was measuring the levels of pollutants in the air around him, said: “If you talk to anybody there will be appreciation of yes Delhi air is very hazardously polluted and there should be something done about it.”

source: http://www.theguardian.com/

Seminar Nasional “Pengembangan Kesehatan Pesisir dan Kepulauan Sebagai Solusi Penguatan Kemaritiman Bangsa”

 

  LATAR BELAKANG

Wilayah laut Indonesia mengambil dua pertiga wilayah Nusantara. Tidak heran jika sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudra luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.

Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, kemudian oleh kolonial, bangsa Indonesia didesak ke pedalaman, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.

Tekad kembali ke laut ditekankan pemerintah bersamaan dengan pencanangan Tahun Bahari pada tahun 1996. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya,” ungkap Presiden Soeharto ketika itu.

Pada tahun 1996, yang dicanangkan pemerintah sebagai Tahun Bahari, konsep negara kepulauan (Archipelagic State) mulai diubah menjadi konsep benua maritim. Bangun wilayah perairan Nusantara yang menyerupai benua membuat Indonesia layak disebut sebagai benua maritim. Pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia (BMI), yang diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1996, pemerintah mengajak bangsa Indonesia kembali ke laut. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari, dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya.” Demikian Presiden Seoharto dalam sambutannya yang disampaikan Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie.

Benua Maritim Indonesia (BMI) pada konvensi itu didefinisikan sebagai satu kesatuan alamiah antara darat, laut, dan dirgantara di atasnya, tertata secara unik yang menampilkan ciri-ciri benua dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca (klimatologi dan meteorologi), keadaan airnya (oseanografi), tatanan kerak bumi (geologi), keragaman biota (biologi), serta tatanan sosial budayanya (antropologi), yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keseluruhan aspek itu secara langsung maupun tidak, akan menggugah emosi, perilaku, dan sikap mental dalam menentukan orientasi dan pemanfaatan unsur-unsur maritim di semua aspek kehidupan.

Salah satu agenda dalam Nawa Cita Presiden Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden Drs. Jusuf Kalla adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Dalam agenda ini akan dilaksanakan berbagai program antara lain pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan. Agenda pembangunan daerah pinggiran ini perlu mendapat apresiasi, karena pembangunan nasional selama ini terkesan lebih menguntungkan daerah perkotaan dan terpusat di pulau Jawa.

Ketimpangan yang terjadi antara wilayah menunjukkan bahwa pembangunan selama ini belum sepenuhnya mencapai sasaran yang diharapkan. Perbedaan hasil pembangunan ini diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: perbedaan sumberdaya yang dimiliki daerah yang satu dengan yang lain, perbedaan kemampuan sumberdaya manusianya, tingkat penguasaan tehnologi yang berbeda, kebijakan pemerintah terlalu mengutamakan pembangunan di Pulau Jawa (Wilayah Barat) dan lain-lain. Pertanyaan yang perlu mendapat jawaban adalah bagaimana mewujudkan agar pembangunan tersebut dapat lebih berpihak pada masyarakat di daerah pinggiran.

Di usia negara Republik Indonesia yang ke 70 ini, sudah saatnya pembangunan dimluai dari Desa khususnya di daerah pinggiran dan pesisir termasuk di dalamnya wilayah pulau-pulau kecil. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bahwa:

“…Untuk melihat Indonesia sesungguhnya, maka lihatlah desa, dari pinggiran. Sebab kondisi riil masyarakat Indonesia adanya di desa, Sehingga apa pun program yang kita kerjakan jangan sampai mengabaikan kepentingan masyarakat desa…”

Betapa tidak, dari 77.126 Desa yang ada di Indonesia, 40,61% merupakan daerah tertinggal dan 84,43% daerah tersebut berada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (Kementrian PDT, 2011).

Seiring dengan perubahan masyarakat dan kompetisi di tingkat global telah membawa FKM Unhas berada di tengah-tengah pusaran perubahan tidak hanya di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga internasional. Bagaimana peran dan kontribusi FKM Unhas dalam setiap perubahan akan sangat ditentukan oleh arti penting dari setiap aktivitas yang dilakukan institusi ini kepada masyarakat luas.Sebagai perwujudan Tri darma Perguruan Tinggi, Universitas Hasanuddin, khususnya Fakultas Kesehatan Masyarakat dalam rangkaian Dies Natalisnya yang ke 33 bermaksud untuk menggali dan menemukan solusi-solusi dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir & pulau-pulau kecil terutama yang terkait dengan pembangunan bidang kesehatan masyarakat melalui sebuah Seminar Nasional bidang Kesehatan dengan Tema: “Pembangunan berwawasan Kesehatan Masyarakat bagi wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”

  TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk menggali dan mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan kesehatan bagi masyarakat di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Hasil yang diharapkan :

  1. Tersedianya data dan informasi berbasis fakta (evidence based) terkait kondisi kesehatan masyarakat dan factor determinannya dari berbagai stake holder.
  2. Menemukan solusi atas setiap permasalahan kesehatan dari berbagai sudut pandang lintas sektoral yang terkait sebagai upaya penyelasaian yang komprehensif.
  3. Mewujudkan pembangnunan berwawasan kesehatan yang dimulai dari daerah desa dan pinggiran sebagai solusi kekutan bangsa.

PELAKSANAAN KEGIATAN

Kegiatan ini berupa seminar sehari yang rencananya akan menghadirkan Narasumber dan pembicara dari tingkat Nasional maupun lokal dari berbagai sektor pemerintah dan akademisi untuk membahas isu-isu seputar pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

  NARASUMBER

  1. Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
  2. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
  3. Prof. Umar Fahmi Ahmadi, MPH., Ph.D.
  4. Prof. Djamaluddin Djompa, M.Sc., Ph.D. (Dekan Fak Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas)

  WAKTU & TEMPAT

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 7 November 2015 bertempat di Auditorium Prof. Amiruddin, Universitas Hasanuddin, Makassar. Adapun jadwal waktu dan rincian kegiatan akan disusun secara tersendiri

PESERTA

Kegiatan ini berskala Nasional. Oleh karena itu kegiatan tersebut akan melibatkan mahasiswa, alumni, Perguruan Tinggi Kesehatan dan instansi pemerintah terkait khususnya di wilayah Kawasan Timur Indonesia.

  KONTAK PERSON

Ibu Syamsiah Hp. 081241742022, 0411 585658

 

 

Pertemuan Ilmiah Tahunan Jaringan Epidemiologi Nasional

  Latar Belakang

Pada masa kampanye kepala daerah dan calon wakil rakyat cukup sering didengar janji pengobatan gratis dan program menyejahterakan rakyat. Saat ini masih terdapat banyak kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana diantara kelompok penduduk.Terdapat kesenjangan kesehatan antara kelompok miskin dan kaya, kota dan desa, Jawa dan luarJawa. Selain itu upaya pencegahan dan promosi kesehatan kurang mendapatkan perhatian. Terjadi peningkatan angka kesakitan dan pertambahan penduduk yang semakin lama menjadi beban masyarakat dan pemerintah.

Di satu pihak terdapat perkembangan pelayanan kesehatan yang memerlukan peningkatan kemampuan berbagai tenaga kesehatan. Pendidikan tenaga kesehatan telah mengalam berbagai pengembangan,baik di bidang pendidikan dokter, farmasi, kesehatan masyarakat, perawat, bidan, sanitarian, gizi, dan lainnya. Semua institusi pendidikan telah berupaya untuk menyesuaikan dengan peran layanan primer di puskesmas, dokter praktek, ataupun di tempat layanan primer yang lain, termasuk dengan system penyediaan dan pembiayaan kesehatan yang dibangun BPJS Kesehatan dan Ketenaga kerjaan dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ringkasan fakta dan tantangan terkini tentang masalah kependudukan, kesehatan dan keluarga berencana sedang dibuat oleh ahli epidemiologi bersama Badan Koordinasi Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Komite Nasional Perempuan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang nantinya akan diberikan kepada calon kepala daerah, partai politik pengusung dan ketua DPRD.

Kepala Daerah Surabaya sebagai kota kedua terbesar di Indonesia, diminta untuk memberikan tanggapannya tentang upaya yang sudah dilakukan , memanfaatkan bonus demografi termasuk bagaimana upaya pencegahan kesehatan yang perlu dilakukan.Dengan demikian kekhawatiran akan meningkatnya biaya kesehatan,biaya pendidikan dan biaya sector kehidupan lain dapat diatasi pemerintah daerah Surabaya dan daerah lainnya di Indonesia.

Jaringan (JEN) merupakan lembaga jejaring nirlaba yang beranggotakan lembaga-lembaga yang berminat di bidang kesehatan masyarakat. JEN bekerja sama dengan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga kesehatan di dalam dan di luar negeri, bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Dalam mengatasi berbagai masalah kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, JEN akan mengadakan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) di Surabaya berupa Seminar& Workshop dengan tema:

  1. Mengatasi masalah kesenjangan kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana.
  2. Mengembangkan kurikulum tenaga kesehatan Indonesia tentang JKN dan pelayanan kesehatan primer.

  Tujuan

  1. Mengintegrasikan masalah kesenjangan kesehatan,kependudukan dan keluarga berencana dalam pembuatan kebijakan public dan pilihan politik para politisi.
  2. Memberikan rekomendasi untuk pengembangan kurikulum tenaga kesehatan Indonesia tentang JKN dan pelayanan kesehatan primer.
  3. Menambah wawasan dan kemampuan analisis data bagi peserta.

Sasaran

Anggota Legislatif, Dokter Puskesmas,Dokter Umum, Dokter Keluarga, Dokter Spesialis, Peneliti, Sarjana kesehatan Masyarakat, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, Sanitarian, Psikolog, Statistikawan, LSM, dan pemerhati kesehatan yang lain.

  Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu : Selasa-Rabu, 22-23 September 2015.
Tempat : Pusdiklat Humaniora Kemenkes RI
Jl. Indrapura No. Surabaya

Jadwal Acara

WAKTU

TOPIK

NARA SUMBER

08.30- 09. 00

Pembukaan

 

SESI 1

Pembangunan Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana di Era Pilkada

Moderator :
Prof. Dr. Charles Suryadi dr, MPH

09.00—09.30

Strategi Pemerintah Kota untukMengatasi Masalah Kesenjangan Kesehatan dan Tekanan Kependudukan di Perkotaan

Tri Rismaharini, Ir, MT
(Walikota Surabaya)

09.30 – 10.00

Statistic Update dalam Bidang Kesehatan & Demografi

materi

Kresnayana Yahya, Drs, MSc (Dosen ITS Surabaya)

10.00 – 10.30

DISKUSI

 

10.30 – 11.00

Peningkatan Peran Pelayanan Kesehatan Primer dan Pengarus-utamaan Kesehatan dalam Kebijakan Publik

materi

Herlin Ferliana, dr, MKes.

Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

11.00 – 11.30

Strategi Revitalisasi Program Keluarga Berencana dan Pemanfaatan Bonus Demografi

materi

Prof. Dr. Haryono Suyono, MA, PhD  (Pakar Kependudukan & KB)

11.30 – 12.00

Peran Tenaga Kesehatan Indonesia dalam Pengendalian Kelahiran di Jawa Timur

materi

Dwi Listyawardani, Ir, MSc
(BKKBN JawaTimur)

12.00—13.00

DISKUSI

 

13.00 – 14.00

ISHOMA

 

SESI 2

Pengembangan Kebijakan JKN dan Pelayanan Kesehatan Primer pada Institusi Kesehatan

Moderator :
Prof. Ghufron Ali Mukti, dr, MSc, PhD

14.00 – 14.30

Tantangan Optimalisasi Peran Dokter Layanan Primer dalam  Penyediaan dan Pembiayaan Kesehatan di Era JKN

Ghazali  Situmorang, Drs, Apt, MSi. (BPJS Pusat)

14.30—15.00

Pengembangan Dokter Layanan Primer dalam Menjawab Tantangan JKN dan MEA

materi

Dr. Pudji Lestari dr, Mkes
(PDKI Jawa Timur)

15.00 – 15.30

Pendidikan Dokter Layanan Primer dan Kesenjangan Kesehatan

materi

Dr. Raden Chasny Noviane (WHO)

15.30 – 16.00

Tantangan pengembangan layanan primer dikaitkan dengan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer dalam Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional 

materi

Prof. Laksono Trisnantoro, dr, MSc, PhD (Dosen FK UGM)

16.00 – 17.00

DISKUSI

 

17.00 – 17.15

Penutupan Seminar

 

17.15 – 19.00

ISTIRAHAT

 

19.00 – 21.00

Rapat JEN

Prof. BhismaMurti, dr, MPH, MSc, PhD

21.00 – 06.00

ISTIRAHAT

 

 

WAKTU

KEGIATAN

07.00 – 08.00

Makan Pagi

 

08.00 – 12.00

Lanjutan rapat JEN

 

08.00—14.00

 

Workshop   :
Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kependudukan

12.00 – 13.00

Kesimpulan hasil rapat JEN

 

13.00 – 14.00

Penutupan dan makan siang

Penutupan Workshop

Panitia

Pengarah/SC : 

  • Prof. Bhisma Murti,dr, MPH, MSc, PhD
  • Prof. Charles Surjadi, dr,
  • Prof. Muninjaya, dr,
  • Prof. Hadi Pratomo, dr,
  • Dr. Siti Pariani, MS, MSc, PhD
  • Prof. Budi Utomo, dr, MPH, PhD
  • Dr. Sabarinah
  • Dr. Ridwan Thaha, SKM, M

Ketua OC : Dr. Florentina Sustini, dr, MS
Wakil : Dr. Budi Utomo, dr, MKes
Sekretaris

  1. Sugiharto, dr, MARS
  2. Atika SSi, MKes

Bendahara

  1. Dr. Sulistiawati, dr., MKes
  2. Fariani Syahrul, SKM, MKes

Sie Ilmiah

  1. Prof. Dr. Chatarina UW, dr, MS, MPH
  2. Dr.Sunaryo., dr., MS., MS.i
  3. Djohar Nuswantoro, dr, MPH
  4. Dr. Siswanto, dr, MSc
  5. Dr. Susilowati Andajani, dr, MS
  6. Dr. Pudji Lestari, dr, MKes
  7. Budiono, dr, MKes

Sie Acara

  1. Linda Dewanti, dr, MKes, MSc, PhD
  2. Pramita Andarwati, dr (Litbangkes Pusat Humaniora)
  3. drg. Ansarul Fahrudda, MKes (Dinkes Provinsi JawaTimur)
  4. Dr. Sisilia Windi
  5. Rukmini, SKep Ns.MKes

Sie Konsumsi

  1. Widati Fatmaningsrum
  2. Dwi Susanti, dr, MPH
  3. Dr. Pramita (Litbangkes Pusat Humaniora)

Sie Publikasi/ Dok

  1. Dr Sri Setyani (Dinkes Kota Surabaya)
  2. PKFI Surabaya
  3. Bagian IKM FK UA, UB, UNEJ, UWK, UHT, UWM, UNUSA, UMM, urindo, UNISMA, FKM UA

Kesekretariatan

  1. Tania Wahyu Sadati, S.Sosio
  2. Satrio Wibowo
  3. Septi Fajar Ningtyas

 

Reportase: Pembukaan Postgraduate Forum

The 6th Postgraduate Forum on Health System and Policy 2015

“Provider Payment Reforms in SEA: Impact and Lessons Learned”

VENUE : Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Center (UKMMC)
14 – 15 September 2015

HARI I   |   HARI II

Reportase: Pembukaan

Hari Pertama, 14 September 2015
Reporter: Tiara Marthias, MPH

Pada tahun 2015 ini, PGF diselenggarakan oleh International Center for Casemix and Clinical Coding, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan diawali oleh Ketua Panitia Prof. Dato’ Syed Mohamed Aljunid dan diikuti dengan pembukaan resmi oleh Prof. Datuk Dr. Noor Azlan bin Ghazali selaku Vice Chancellor UKM.

Tahun ini, PGF mengangkat topik Mekanisme Pembayaran Provider di Asia Tenggara: Dampak dan Pembelajaran. Topik ini sangat relevan dengan perkembangan terbaru di bidang pembiayaan kesehatan, terutama di Indonesia. Hal ini tampak dari dua presentasi khusus yang diberikan oleh Prof. Dr. Supasit Pannarunothai (Naresuan University) serta Prof. dr. Laksono Trisnantoro (FK Universitas Gadjah Mada), dimana berbagai tantangan di sistem pembiayaan kesehatan dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC) menjadi isu yang penting baik di Thailand maupun Indonesia.

Thailand sendiri yang telah memulai program UHC sejak tahun 1990-an, saat ini tengah membahas pola pembayaran provider kesehatan. Pada awal 1990-an, Thailand memberlakukan sistem insentif untuk menjaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya hanya praktik di sektor publik dan tidak melakukan dual practice. Insentif lainnya termasuk tambahan penghasilan bagi tenaga kesehatan yang mau memberikan layanan kesehatan di luar jam kerja/sore hari. Namun, kebijakan ini memiliki moral hazard tersendiri, dimana tampak adanya peningkatan penundaan layanan menjadi sore hari agar insentif tenaga kesehatan bertambah. Insentif lain yang diberlakukan pada tahun 2000-an adalah insentif khusus untuk tenaga kesehatan di daerah pedesaan. Insentif ini digantikan dengan pay for performance yang diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih efektif dan efisien dalam pembiayaannya. Namun, berbagai perkembangan kebijakan ini memiliki berbagai sisi positif maupun negatif, termasuk berdampak terhadap kesetaraan (inequity) dan juga capaian layanan kesehatan.

Program JKN merupakan gerakan yang ambisius dan akan menjadi sistem single-pool terbesar di dunia pada tahun 2019 mendatang. Untuk itu, implementasi JKN ini membutuhkan masukan yang riil dan perbaikan terus-menerus agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Presentasi dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro sendiri menggambarkan sejumlah temuan awal dari implementasi program JKN di Indonesia termasuk kekhawatiran terhadap program ini dalam sistem reimbursement dan detil kebijakan yang ada saat ini. Sistem reimbursement saat ini misalnya, menerapkan open ended reimbursement, dimana rumahsakit dapat mengajukan klaim tanpa batas atas. Di lain sisi, besaran kapitasi per populasi telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Di level layanan primer, peraturan teknis dan detil belum banyak dikeluarkan, sehingga para penyedia layanan tidak memahami secara komprehensif tatacara penggunaan dana di sistem baru ini.

Berbagai hasil studi di bidang UHC ini sangat menarik untuk dibagi dalam forum ini, terutama dalam konteks bagaimana pembelajaran dapat terjadi di skala global dan secara langsung tersampaikan antar sesama akademisi dan juga praktisi di bidang kesehatan (TM).

“Challenges in Commercialization of Research Outputs of Local Universities”

Prof. Dr. Raha binti Abdul Karim

Komersialisasi meupakan suatu usaha untuk memperkenalkan suatu produk baru, dimana produk yang dimaksud adalah rancangan desain baru khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. Komersialisasi untuk rancangan desain tersebut harus melibatkan berbagai pihak. Pihak yang dimaksud antara lain: pemerintah, universitas, dan institusi penelitian. Namun saat ini, investasi dan keterlibatan antara berbagai pihak tersebut masih sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan hubungan yang kurang antara akademisi dengan industri. Untuk meningkatkan investasi terhadap rancangan desain, maka universitas harus segera berkolaborasi dengan industri untuk mewujudnyatakan rancangan desain tersebut. Ketika rancangan desain tersebut diperkenalkan lebih luas, hal yang perlu dilakukan adalah menmpatenkan rancangan desain tersebut. Jadi, poin utama dari komersialisasi rancangan desain adalah melakukan promosi, bekerjasama dengan berbagai pihak (misal:industri), dan meng-hak patenkan rancangan desain tersebut.

“Provider Payment Reform in Developing Countries : Impact on Pharmaceutical Industries”
Oleh : Ms. Michaela Dinboeck

Reporter: Emmy Nirmala, MPH

Ada tiga dasar tujuan dalam sistem kesehatan pertama, meningkatkan kualitas kesehatan masing masing personal. Kedua, memelihara dan melayani orang–orang yang sakit. Ketiga, melindungi dan menjaga keluarga untuk tidak mengeluarkan biaya untuk perawatan kesehatan. Who have to pay ? Who have to receive? Pada dasarnya sistem asuransi kesehatan menentukan siapa dan apa yang diterima setelah mendapatkan pelayanan kesehatan tersebut, serta bagaimana pengelolaan asuransi yang baik.

Tarif pelayanan kesehatan setiap tahun mengalami peningkatan. Mengapa traif pelayanan kesehatan meningkat? Life style yang beragam, aging population, inovasi dalam bidang kesehatan, populasi lansia dengan masalah penyakit yang cukup beragam, meningkatnya bidang pengobatan dan inovasi.

Universal coverage melibatkan tiga hal; luas cakupan, lingkup cakupan dan kedalaman cakupan: berapa biaya untuk setiap obat?. Universal coverage di Indonesia 75% member merasa puas dengan penyedia layanan asuransi kesehatan dan 80% kebijakan untuk mendukung program JKN telah terlaksana.

Ikhtisar prinsip farmasi, pertama di industri yaitu sebagai penggerak pertumbuhan di masa depan (pariwisata medis). Kedua, lingkungan yaitu produksi farmasi. Ketiga, pertimbangan Pemerintah dengan mekanisme pembayaran penyedia. Perbedaan dengan pelayanan di Malaysia di bidang farmasi, GP Clinic, RS swasta dan RS pemerintah. Reformasi pembayaran beberapa bisa berpengaruh pada industri farmasi dengan kualitas, hasil inovasi, insfrastruktur, harga. Novartis berkontribusi dalam pemberian manajemen pelayanan kesehatan secara terstruktur dan sustainable dalam sistem pelayanan kesehatan.

Sektor Kesehatan: Setelah 70 Tahun Indonesia Merdeka

Laksono Trisnantoro, Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 21 Agustus 2015

Tahun 2015, atau 70 tahun setelah Indonesia merdeka, status kesehatan masyarakat ternyata masih belum menggembirakan. Meskipun Pemerintah Indonesia-dalam hal ini Kementerian Kesehatan-telah berusaha keras, angka kematian ibu dan bayi masih tinggi, bahkan di daerah-daerah perkotaan yang mempunyai fasilitas dan tenaga kesehatan cukup.

Masyarakat yang mengidap tuberkulosis (TB) masih bertambah. Pengidap HIV/AIDS juga terus meningkat. Lebih memprihatinkan lagi, kondisi ini seiring dengan meningkatnya jumlah penyakit tidak menular, seperti diabetes, kanker, serta jantung. Anak-anak dan ibu hamil dengan gizi buruk, juga yang terlalu gemuk, masih banyak ditemui. Pengendalian pemakaian tembakau masih belum berjalan baik. Seolah semua usaha jalan di tempat.

Sebenarnya ada pelbagai kemajuan yang patut diapresiasi. Di sisi perlindungan untuk kesehatan masyarakat, misalnya, sudah ada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Kesehatan Daerah. Jumlah rumah sakit, tenaga kesehatan, dan dokter juga meningkat meskipun belum merata. Daerah-daerah dengan kondisi geografis sulit, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat, memang masih jauh tertinggal.

Sebaliknya, masyarakat yang mampu memilih masih belum puas dengan mutu pelayanan kesehatan. Masih banyak pasien Indonesia yang berobat ke negara lain. Sementara akses masyarakat miskin di sejumlah daerah sulit masih menjadi masalah besar. Sesungguhnya apa yang kurang dalam sistem kesehatan di negara yang sudah merdeka 70 tahun ini?

Negara kesejahteraan

Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, para pendiri bangsa telah menulis di UUD 1945 yang menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Fakir miskin ditanggung negara, termasuk urusan kesehatan. Akan tetapi, yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Jepang bukanlah sistem kesehatan yang bertujuan melindungi masyarakat dari sakit, khususnya mereka yang miskin.

Pada masa penjajahan, sistem kesehatan dibangun terutama untuk kepentingan penjajah melindungi aparat pemerintah serta karyawan perusahaan besar dari risiko sakit. Akibatnya, setelah Indonesia merdeka, amanah UUD 1945 tidak mudah dijalankan, terutama dalam pembiayaan sektor kesehatan.

Dalam pelayanan kesehatan untuk perorangan, setelah kemerdekaan, RS-RS milik gereja kehilangan sumber dana bantuan kemanusiaan dari Eropa. Maka, RS-RS keagamaan harus mencari dana dari pasien karena pemerintah tidak mempunyai dana cukup untuk pelayanan kesehatan. Masyarakatlah yang harus membayar, termasuk yang miskin. Masyarakat miskin hanya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis jika mampu membuktikan diri sebagai orang miskin, tidak mampu untuk mendapat pelayanan gratis. Terjadilah mekanisme pasar di pelayanan kesehatan.

Sistem pasar terus berlangsung sampai Orde Baru. RS swasta diperbolehkan menjadi lembaga berbentuk PT (mencari untung). Berbagai perkembangan ini membentuk sifat sektor pelayanan kesehatan perorangan yang semakin dipengaruhi oleh hukum pasar yang celakanya tidak ada pengawasan.

Muncul efek samping di situasi ini, misalnya adanya semacam kartel yang membatasi jumlah spesialis. Akibatnya, jumlah dokter spesialis dan subspesialis menjadi sangat kurang.

Desentralisasi

Tahun 1999, setelah krisis moneter dan reformasi politik di Indonesia, sektor kesehatan Indonesia juga mengalami desentralisasi. Sayangnya, hal ini dilakukan secara setengah hati. Kondisi ini bisa dilihat dari bertambahnya APBN pemerintah pusat selama 10 tahun terakhir, dengan pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pusat kembali (resentralisasi).

Daerah-daerah, termasuk yang mampu, tidak memberikan anggaran cukup untuk sektor kesehatan. Dalam kasus program penurunan kematian ibu dan bayi, dana program masih bergantung pada APBN. Kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat menjadi identik dengan program Kementerian Kesehatan ataupun dinas kesehatan di daerah. Pemerintah merencanakan, melakukan, dan menilai sendiri kegiatan-kegiatan seperti imunisasi, pemberantasan nyamuk, sampai promosi kesehatan. Akibatnya, tidak ada sistem monitoring dan pengendalian secara independen. Peran masyarakat dan LSM masih terbatas dalam program kesehatan masyarakat. Dampak lanjutannya, pemerintah pusat kesulitan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang seharusnya dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi.

Pada tahun 1999, reformasi politik menetapkan pemerintah sebagai sumber dana masyarakat miskin melalui program Social Safety-Net, yang diteruskan dengan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan saat ini JKN. Kebijakan ini mengakhiri periode mekanisme pasar yang sangat kuat.

Meski demikian, kebijakan pembiayaan untuk pelayanan perorangan ini tidak dapat mengangkat status kesehatan masyarakat. Selama 10 tahun terakhir, berbagai indikator kesehatan masyarakat, seperti angka kematian ibu dan bayi, demikian juga dengan penderita TB, masih belum dapat dikendalikan. Di sejumlah kota besar, jumlah kematian ibu meningkat seiring dengan peningkatan anggaran untuk jaminan kesehatan.

Transparansi data kurang

Kebijakan JKN dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pengelola merupakan hal yang bertujuan baik. Akan tetapi, saat ini, hal itu sulit dinilai karena transparansi data belum baik.

Data penggunaan sarana kesehatan primer dan rujukan langsung dikirim ke kantor pusat BPJS tanpa ada analisis di daerah. Akibatnya, pemerintah kabupaten/kota/provinsi tidak dapat membuat perencanaan kesehatan dengan baik, khususnya untuk pencegahan penyakit.

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi menjadi semakin tidak jelas di sektor kesehatan. Di JKN diduga terjadi salah sasaran dalam pemberian subsidi. Dana penerima bantuan iuran (PBI) masih sisa di sejumlah daerah, khususnya di kawasan yang berakses buruk. Dana ini kemudian dipergunakan untuk mendanai peserta BPJS di tempat lain yang merugi.

Di sisi lain, program kesehatan masyarakat ternyata juga belum baik dijalankan. Kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat identik dengan program Kementerian Kesehatan ataupun dinas kesehatan di daerah.

Pemerintah merencanakan, melakukan, dan menilai sendiri kegiatan-kegiatan seperti imunisasi, pemberantasan nyamuk, sampai promosi kesehatan. Akibatnya, tidak ada sistem monitoring dan pengendalian independen. Peran masyarakat dan LSM masih terbatas dalam program kesehatan masyarakat.

Kementerian-kementerian terkait kesehatan, seperti Kementerian Pekerjaan Umum atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak terkoordinasi selama bertahun-tahun. Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan terbatas menjadi pelaku pelayanan dengan dana pemerintah.

Fungsi pengawasan lembaga pelayanan pemerintah dan swasta serta penyusun kebijakan terabaikan. Dalam konteks kematian ibu, apabila sistem kontrol mutu pelayanan rujukan ibu dan mutu pelayanan rumah sakit dilakukan dengan baik, penurunan angka kematian ibu dapat dipercepat.

Apa yang perlu dilakukan

Sebagai refleksi 70 tahun perkembangan sistem kesehatan, ada beberapa hal kunci untuk dilakukan.

Pertama, kebijakan pembiayaan JKN perlu ditingkatkan lewat transparansi, efisiensi, dan pemerataan. Jangan sampai subsidi bagi masyarakat miskin (PBI) salah sasaran dan terjadi inefisiensi.

Kedua, diperlukan kerja sama pemerintah dan swasta. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat, perlu kerja sama antara Kementerian Kesehatan atau dinas kesehatan dan swasta melalui sistem kontrak.

Ketiga, perlu koordinasi lebih erat antara Kementerian Kesehatan dan kementerian lain atau dinas kesehatan dan dinas terkait kesehatan di daerah dalam konteks desentralisasi.

Keempat, perlu reorientasi pendidikan tenaga kesehatan. Dengan skema LSM dan swasta sebagai kontraktor, lulusan fakultas kesehatan masyarakat tidak harus menjadi PNS. Pola-pola kartel dalam pendidikan spesialis dan subspesialis harus dihilangkan.

Kelima, promosi kesehatan perlu ditingkatkan agar masyarakat sadar bahwa kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat.

 

{jcomments on}