Reportase Sesi 3: Isu Prioritas

30design

30design

Sesi ini menghadirkan empat pembicara dan satu pembahas. Di awal paparannya, Ign. Praptorahadjo menyampaikan gambaran secara umum situasi penaggulangan AIDS di tahun 2015 yang mengalami cenderungan penurunan dalam gerakannya . Praptorahardjo merupakan pembicara pertama untuk sesi ini. Beberapa agenda yang mendukung pada arah kebijakan tidak cukup mendapatkan respon. Situasi ini tidak terlepas dari berkurang dan berakhirnya bantuan pendanaan yang berkontribusi dalam upaya merespon kebijakan penanggulangan AIDS, seperti Global Fund, USAID, dan DFAT. Implikasi dari situasi ini adalah semakin berkurangnya sumber-sumber pendanaan yang dapat diakses oleh sektor komunitas yang selama ini kegiatannya lebih banyak di-support oleh Mitra Pembangunan Indonesia (MPI). Salah satu upaya yang sudah dilakukan untuk menyikapi situasi pembiayaan di sektor komunitas adalah dengan memberikan rekomendasi bagi Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas dalam mengembangkan kebijakan bagi pendanaan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).

Sementara itu, refleksi dari tiga agenda utama dalam kebijakan penanggulangan AIDS yang dilakukan melalui penelitian kebijakan, advokasi dan jaringan menunjukkan bahwa (1) Penanggulangan AIDS masih merupakan kegiatan yang bersifat sentralistik dan vertikal yang berfokus pada kebijakan nasional, sementara kebijakan daerah seringkali merupakan replikasi dari kebijakan di level nasional. (2) Sumberdaya dalam isu penanggulangan AIDS masih terbatas. Sektor komunitas lebih banyak melakukan peran pragmatis daripada peran strategis. Sama halnya dengan penelitian kebijakan AIDS cenderung dilakukan oleh peneliti saja, dan belum terintegrasi dengan isu pada kebijakan kesehatan yang lain. (3) Kebutuhan dari jaringan dalam website kebijakan AIDS belum dapat ditangkap secara jelas. Pengelolaan pengetahuan untuk kebijakan belum mendapatkan respon dan partisipasi yang positif dari hasil-hasil kerja jaringan yang dimungkinkan karena variasi dari kepentingan dan kebutuhan yang berbeda. Sebagai bagian dari penutup paparan, pemateri pada sesi ini menyampaikan agenda dan tantangan pada tahun 2016. Isu yang dikedepankan adalah masalah pembiayaan yang terkait dengan kebijakan pemerintah serta, perubahan skema pendanaan penanggulangan AIDS.

Pembicara kedua ialah konsultan senior PKMK FK UGM, yaitu dr. Sitti Noor Zaenab, M. Kes. Pelayanan KIA masih merupakan isu prioritas di Indonesia apalagi dengan melihat Hasil SDKI 2012, hal ini merupakan Isu lama yang tetap menjadi prioritas. Kedepan isu sudah akan berkembang yakni yang dulunya adalah Isu MDG’s ke depan kita akan berfokus ke SDG’S dengan sederet target yang lebih ambisius, isu anggaran yang akan naik sebanyak 5% pada tahun depan, isu Jampersal kembali dengan bentuk yang baru, isu keberadaan rumah tunggu, isu APBD sudah diakomodir adanya konsultan (kalau dulu tidak ada) sehingga dimungkinkan adanya monev bersama. Ada juga isu Jamkesda yang akan hilang karena apabila masuk ke konsep jaminan kesehatan nasional (JKN) menjadi tidak luwes.

PKMK FK UGM pada tahun 2015 telah melakukan berbagai kegiatan terkait dengan masalah pelayanan KIA, terutama tentang ketersediaan dokter spesialis melalui kegiatan sister hospital dengan penguatan rumah sakit PONEK yang di mulai sejak tahun 2010 di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan berkembang saaat ini di Balikpapan, Pengembangan manual rujukan maternal dan neonatal yang dimulai sejak 2011 di NTT dan saat ini juga telah meluas dan dikembangkan juga Manual Rujukan KIA ke Kabupaten Mimika, Replikasi Manual Rujukan KIA ke DKI Jakarta sekaligus memperluas ruang lingkup hingga mencakup semua jenis rujukan dari Puskesmas dan Perbaikan mekanisme AMP di tiga Kabupaten NTT termasuk menyusun pedoman 10 langkah AMP.

Ditekankan pula bahwa kerangka konsep dalam manual rujukan bukan hanya rujukan emergensi namun juga elektif dan dalam penyusunannya PKMK sudah mengembangkan langkah penyusunan dan penerapan manual rujukan AMP dengan tidak lupa memasukkan komponen Pemda, karena sangat disadari bahwa masalah kesehatan tidak hanya harus diselesaikan oleh tenaga kesehatan saja sehingga sangat dibutuhkan peran pemerintah daerah. Dengan adanya peran ini sampai dengan tahun 2015 beberapa Kabupaten sudah berada pada tahap sudah menyusun manual rujukan yakni NTT, DIY, Jayapura dan Balikpapan. Ada pula yang saat ini pada tahap sedang menyusun yakni Kota Bontang Kaltim, Kabupaten Kutai Kartanegara Kaltim serta ada juga yang masih dalam tahap sosialisasi yakni Provinsi NTB. Provinsi Maluku dan Kab Mimika.

Hasil yang ada saat ini adalah bahwa angka kematian di tiga wilayah yang menjadi wilayah intervensi KIA oleh tim PKMK mengalami penurunan yakni DIY, NTT dan Balikpapan, terutama di DIY bahwa sekitar 50% target penurunan kematian sudah berhasil ditekan. Ini bukan merupakan suatu kebetulan saja karena sejak lima tahun terakhir upaya intervensi rutin dilakukan agar jumlah kematian dapat menurun. Output yang dihasilkan oleh Tim KIA PKMK FK UGM dalam menekan kematian ibu dan anak sudah cukup menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Prof Laksono Trisnantoro selaku pembahas dalam diskusi isu prioritas bahwa apakah kita sebagai konsultan KIA berguna? Apa bukti-buktinya (apa yang sudah terjadi selama proses pendampingan serta bagaimana dengan kematian?).

Pemaparan ketiga terkait social determinant of health (SDH) adalah setting kondisi sosial yang membuat orang tidak berdaya untuk menjadi sehat. Kebijakan upstream policy perlu dieksekusi dengan baik di bagian hilir. Modul kursus SDH dapat diperoleh dari web Intrect, serta sumber sumber lain yang relevan. Salah satu implementasi SDH di bangku kuliah pada 2015 di lingkungan UGM ialah kursus blended learning. Kursus blended learning tentang Social determinants of health tahap pertama telah dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2015. Peserta dari Indonesia (14), Vietnam (2), Thailand (1) Bangladesh (1) dan Timor Leste (2) mendiskusikan topik- topik social determinant of health dalam masalah-masalah kesehatan pada konteks lokal; kebiasaan minum beer di Vietnam dan Thailand, rendahnya penggunaan layanan maternal oleh ethnis minoritas Raglai di Vietnam, Dengue Fever di daerah kumuh di Dhaka, Domestic Violence dan Malnutrisi pada Balita di Timor Leste, bisnis periklanan terhadap obesitas di daerah perkotaan, pendidikan seks yang rendah di pesantren, bagaimana peran kyai sebagai model perilaku hidup bersih di pesantren, peningkatan demand dan supply maternal care, kegagalan maternal emergency care system , bullying di sekolah, underage Smokers , dan sulitnya akses pengobatan oleh penyandang tuna grahita di Yogyakarta.

Kebutuhan yang penting dan mendesak adalah menyediakan mentor atau supervisor yang tepat dan benar –benar mau terlibat untuk mengembangkan paper yang utuh dari abstrak- abstrak tersebut sebelum Postgraduate Forum 2016. Kendala yang dihadapi adalah koneksi internet yang tidak lancar dan penggunaan website yang belum maksimal. Goal kursus SDH di tahun 2016 adalah mengintregasikan SDH dengan kuliah S2 MPH, pelatihan SDH untuk aktor birokrasi dan dosen dosen muda (Ahok case learning), membuat web yang lebih menarik dan interaktif, akomodasi dan fasilitasi untuk publikasi manuskrip SDH, Travel Fellowship untuk seminar internasional dan kursus SDH spesifik untuk dosen IKM dan FKM serta menciptakan network yang baik antara peserta dan fasilitator serta institusi lain yang terlibat.

Sebagai pembicara terakhir, dr. Luthfan Lazuardi, MPH memaparkan sejumlah hal terkait electronic health (e-health). Ada berbagai definisi yang berbeda mengenai e-health, namun ada beberapa kata kunci yang sama yaitu Information and Communication Technology (ICT) yang digunakan untuk bidang kesehatan, apapun aktivitasnya. Kata kunci yang sering digunakan di literatur terdahulu adalah sistem informasi kesehatan. Namun sejak tahun 2005, WHO kemudian menggunakan kata e-health untuk merujuk pada sistem informasi dan komunikasi di kesehatan. Posisi e-health sebenarnya ada di semua komponen sistem kesehatan. Sehingga harapannya dengan difasilitasi oleh e-health, sistem kesehatan dapat berjalan lebih efektif dan fungsional. Berbagai aktivitas yang sudah dilakukan misalnya untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan di puskesmas. Sudah ada 200 lebih puskesmas yang menggunakan sistem yang kita kembangkan. Di level nasional, mungkin sudah ada sekitar seribu lebih puskesmas yang telah difasilitasi oleh e-health.

Salah satu manfaat e-health adalah data dapat lebih mudah dipahami dengan visualisasi yang lebih menarik, pelaporan juga akan lebih mudah dikerjakan. Awal tahun 2007, PKMK mengembangkan dashboard KIA, yang mana menjadi salah satu tonggak sejarah dimana kemudian banyak inovasi visualiasi data kesehatan dikembangkan. Benefit lain yang sebenarnya sangat potensial namun belum banyak dimanfaatkan adalah data yang sudah terkumpul tidak dianalisis lebih lanjut selain untuk pelaporan. Ibaratnya kaya data tapi miskin informasi.

Di level global, paradigma pemanfaatan ICT terus berubah. Pada tahun 80-an tren di negara maju berfokus pada administrasi dan manajemen, misalnya pengembangan billing system untuk rumah sakit. Namun, ketika itu dirasa sudah mapan, pemanfaatan mulai mengarah untuk petugas kesehatan, seperti pembuatan clinical information system, laboratorium information system, sistem untuk nerumerasi dan penghitungan jasa medik. Isu di masa depan akan lebih mengarah ke patient-safety. Isu yang berkembang sekarang pelayanan kesehatan akan mengarah ke personalised medicine, pervasive & ubiquitus health, wearable devices, well-being, dan UHC. Namun, mungkin ini belum kita alami untuk konteks di Indonesia, setidaknya kita masih berfokus ke manajemen.

Pembahasan disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD menegaskan apa kita (konsultan) berguna untuk klien dan masyarakat atau hanya proyek saja? Rekan-rekan PKMK harus berguna untuk masyarakat luas. Hal yang terpenting ialah konsultan PKMK bukan merupakan kelompok konsultan pedagang ilmu.

Dr. dr. Mubasysyr Hasanbasri menyatakan pendapatnya berpikir adalah proses lateral thinking, sehingga sebagai konsultan, kita harus bisa membangun kapasitas lingkungan atau klien. Pasar kita sangat banyak, kita bisa membangun sistem konsultasi yang melahirkan manajer yang efektif. Jangan sampai terjebak dengan membantu orang dalam kepemimpinan yang tidak efektif. Kita harus membangun kapaitas oorang tersebut. Kapasitas manajemen dalam organisasi, Sehingga, uutlook menurut saya ialah apa yang bisa dikerjakan berbeda di tahun depan dan mencari opsi yang berbeda.

Diskusi

Atik Tri Ratnawati menanyakan poin pertama untuk kelompok pencegahan HIV/AIDS, apakah bisa dibentuk gerakan social baru di wilayah 3T angka HIV AIDSnya luar biasa, dari ketidaktahuan, migrasi, banyak pendatang di perbatasan. Jika kebijakan di nasional dan daerah tidak berdaya, jika ada gerakan baru Pusat akan tergerak untuk berubah. Kebijakan bisa di provinsi/kabupaten. Poin kedua untuk SDH perlu disebarluaskan ke mahasiswa S1, S2 dan S3. Banyak masalah kesehatan yang tidak bekerja dengan baik karena hambatan budaya.mengapa orang tidak mampu berdaya karena kesehatan?

Ign. Praptorahardjo menegaskan bahwa gerakan pencegahan penularan HIV/AIDS ini berbeda dengan gerakan lain, fokus kita pada populasi kunci, akhirnya melupakan masyarakat umum. Dulu, masyarakat umum dianggap tidak penting. Saat ini HIV sudah menular ke ibu-ibu yang dianggap beresiko rendah. Usulan ibu Atik sangat relevan untuk kembali ke dasar. Maka, kembali ke daerah menjadi sangat strategis karena lokalitas. Sayangnya, template nasional digunakan di daerah, hal ini kurang sesuai dengan situasi daerah lokal.

Retna Siwi Padmawati sepakat dengan pendapat Atik. Sekitar 50 universitas FKM dan IKM hanya 1-2 yang memberikan SDH ke dalam kurikulum pembelajarannya. Seharusnya SDH ini masuk juga ke fakultas ilmu sosial dan humaniora. Mulai tahun depan SDH akan dikenalkan ke bangku kuliah. Di Kemkes, SDH siapa yang menangani? Dulunya ada, sekarang dipindah ke Promkes.

• Tim reporter:
Swasti Sempulur; Andriani Yulianti, MPH; Yuli Mawarti, MPH; Mohamad Ali Rosadi; Widarti, SIP

 

{jcomments on}

Reportase Panel 2 : Isu Prioritas

30des-3

30des-3

Dalam sesi ini, terdapat empat pembicara dan satu pembahas. Tema pertama yang dipaparkan ialah regulasi ke5sehatan. Era saat ini semakin banyak isu-isu yang berkembang dibidang kesehatan. Khalayak umum belum sepenuhnya paham apakah isu-isu yang beredar saat ini termasuk dalam politik kesehatan atau tidak. Sepanjang tahun 2015 telah disusun dan disahkan sebanyak 109 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Regulasi kesehatan itu sendiri adalah seperangkat aturan tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia.

Regulasi dalam hukum kesehatan di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu Regeling dan Beschikking. Regiling sifatnya lebih kepada peraturan, lebih pantas diterapkan di Indonesia karena politik hukum kesehatan di Indonesia sangat tinggi. Regeling ini karena sifatnya peraturan sehingga sulit dalam proses penyusunannya. Sedangkan untuk Beschikking lebih kepada penetapan, di Indonesia kemungkinan kecil bisa diterapkan, karena sifatnya adalah penetapan. Beschikking dalam proses penyusunannya lebih mudah.

Politik hukum kesehatan, yang nantinya akan menjadi hukum kesehatan merupakan kajian hukum yang mencoba untuk memeberikan gambaran yang lebih luas tentang eksistensi sistem hukum, terutama di bidang kesehatan. Melalui pendekatan politik hukum diharapkan hukum dapat berfungsi secara efektif, dipatuhi dan diterapkan dalam tindakan aktual sehari-hari.

Dalam akhir penyampaian materi diberikan contoh pada Politik hukum kesehatan terutama untuk rokok dan asuransi kesehatan. Beberapa produk hukum dan sejumlah Undang-undang mengatur tentang rokok dan asuransi kesehatan, apakah regulasi semua produk hukum yang sudah diterbitkan efektif diterapkan? Apakah ada pro dan kontra didalamnya?. Secara keseluruhan belum semua regulasi produk hukum berjalan dengan sebagimana mestinya. Masih perlu pengawalan yang baik untuk implementasinya.

Dalam sesi diskusi ini ada beberapa pertanyaan terkait regulasi kesehatan, diantaranya membahas mengenai kecenderungan IDI yang melakukan pendekatan hukum untuk mencari solusi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sistem pemerintahan di Indonesia MK diberi kewenangan untuk melihat dan mengawasi badan-badan legislatif apakah bekerja sesuai dengan aturan atau tidak. Keberadaan MK juga dimanfaatkan oleh perorngan atau lembaga untuk melakukan Yudisial Riview. Dalam Yudisial Riview ini melihat apakah peraturan yang dilaksanakan dilapangan efektif dibuat berdasarkan dengan hirarki peraturan sebelumnya. Untuk konteks IDI itu sendiri sebaiknya harus melihat apakah aturan yang dilakukan sudah.

Petanyaan kedua dalam sesi diskusi ini mengenai bagaimana menggunakan politik hukum agar rencana yang ada sudah bisa berjalan, terutama untuk regulasi mutu pelaynan kesehatan. Politik hukum untuk melihat apakah peraturan terimplementasi dengan baik atau tidak. Masalah yang berkaitan dengan hukum harus diselesaikan, jika tidak maka akan terjadi umpan balik.

Pembicara kedua ialah Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS, salah satu pengajar di Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM. Andreasta mengawali pemaparan dengan penekanan bahwa SDMK kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam roda sistem kesehatn, karena SDMK merupakan penggerak suatu sistem dan, dengan segala keunikan yang ada, dapat mempengaruhi dinamika sistem kebijakan dan manajemen kesehatan baik dalam skala nasional maupun global. Sepanjang tahun 2015, dunia SDMK dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan yang oleh narasumber digolongkan menjadi lima kelompok kegaduhan, diantaranya: kegaduhan laten (seperti permasalahan distribusi dan retensi SDMK serta dual job holding), kegaduhan terlokalisir (seperti permasalahan terkait kompetensi SDMK dalam memberikan pelayanan maupun kesenjangan kompetensi dalam upaya sistem rujukan), kegaduhan yang besar melalui media sosial (isu terkait remunerasi, gratifikasi, dan jaminan keselamatan SDM), kegaduhan sistemik (permasalahan terkait implementasi dokter layanan primer), dan kegaduhan yang seharusnya muncul ke permukaan (isu terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN [MEA]).

Pada tahun 2015 sendiri, berdasarkan empat pilar SDMK, arah kebijakan dan gerakan masih berputar dalam arus pemenuhan kebutuhan SDMK di Indonesia, namun belum maksimal dalam memikirkan bagaimana distribusi, kompetensi, dan kinerja dari SDMK tersebut. Status Indonesia sendiri sebenarnya telah keluar dari krisis tenaga kesehatan sejak 2010, dengan rasio 2,63 tenaga kesehatan per 1000 penduduk. Sehingga secara makro, kebutuhan SDMK dalam mendukung implementasi JKN sudah terpenuhi. Namun perlu menjadi catatan bahwa saat ini 50% tenaga kesehatan tidak dihasilkan dari universitas yang terakreditasi, sehingga isu keterampilan tenaga kesehatan, terutama mengenai tugas primer sebagai gate keeper, masih menemui banyak permasalahan.

Perkembangan isu terkait dengan SDM kesehatan di tahun 2016 tidak akan terlepas dengan isu tahun sebelumnya, mengingat masih banyaknya permasalahan di tahun 2015 yang belum menemukan solusi yang efektif. Garis besar utama kebijakan dan manajemen SDMK tahun 2016 terletak pada persiapan SDMK dalam menghadapi MEA. Upaya persiapan ini perlu difokuskan pada distribusi, kompetensi, dan kinerja SDMK. Perencanaan SDMK ke depan diharapkan tidak hanya memperhitungkan gap, namun juga sudah mulai mempertimbangkan hal esensial lain seperti cost. Pada tahun 2016 ini juga, oleh narasumber, diharapkan dapat menjadi tahun komunikasi dan koordinasi terkait permasalahan-permasalahan yang masih menjadi perdebatan sistemik, seperti permasalahan terkait implementasi dokter layanan primer. Sebagai penutup, narasumber memberikan beberapa rekomendasi sebagai bahan outlook 2016, diantaranya: penuntasan isu dokter layanan primer dan revitalisasi Country Coordination and Facilitation (CCF) oleh pemerintah, peningkatan kualitas dalam memastikan kompetensi SDMK untuk sesuai dengan kebutuhan layanan, transformasi isu SDMK menjadi regulasi, pengembangan remunerasi di rumah sakit dengan melibatkan dokter spesialis, serta inisiasi aksi dalam rangka mempersiapkan SDMK menghadapi MEA.

Pembicara ketiga ialah Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes. Dwi Handono menyampaikan pembahasan salah satu isu prioritas yang disoroti dalam forum diskusi tersebut mengenai contracting out. Kaleidoskop contracting out 2015 yang dikemukakan pada kegiatan ini menggambarkan bahwa sistem kontrak yang kini diterapkan berfokus pada sistem kontrak lembaga, bukan lagi kontrak individu, sesuai dengan Continuum of Contracting Framework dalam resolusi World Health Assembly ke-56 pada tahun 2003. Mekanisme contracting out sebenarnya telah dikenal di Indonesia sejak tahun 2005, meski sempat stagnan hingga dijalankannya koordinasi pelayanan kuratif dengan kontrak lembaga dalam bentuk sister hospital di NTT pada tahun 2010 yang kemudian diikuti sistem yang sama di Balikpapan pada tahun 2015. Salah satu hambatan pengembangan sistem sister hospital adalah sulitnya dilakukan replikasi program tersebut di wilayah lain. Replikasi dalam skala kecil yang dilakukan di Balikpapan dapat berjalan karena pendanaan dalam proses kontrak bersumber dari APBD, namun penerapan dengan APBN masih belum mungkin dilakukan pada saat ini. Desentralisasi fiskal yang akan terus meningkat pada tahun 2016, termasuk untuk sektor kesehatan, diharapkan dapat memberikan peluang dilakukannya aplikasi sistem kontrak tersebut.

Dwi Handono menyatakan bahwa pada tahun 2016, penerapan contracting out diperkirakan tidak akan mengalami penurunan, namun perlu dicermati hal-hal yang dapat menghambat implementasinya. Di daerah, sistem kontrak lembaga cenderung masih kurang digemari akibat masih terlalu mahalnya alokasi dana yang diperlukan untuk menunjang ide tersebut. Selain itu, permasalahan juga timbul akibat belum optimalnya pemanfaatan otoritas puskesmas BLUD serta belum adanya mekanisme swakelola BOK Non Fisik oleh puskesmas yang dinilai akan dapat mengakomodir kebutuhan puskesmas untuk melakukan contracting out individu secara langsung. Di pusat, permasalahan pada isu contracting out terfokus pada ketersediaan dana namun kurangnya pemanfaatan dana yang menyebabkan terus meningkatnya jumlah anggaran yang tidak terserap. Masalah tersebut akan dapat teratasi apabila dilakukan revisi menu APBN serta pemanfaatan peluang dana donor agency.

Pembicara terakhir ialah dr. Bella Donna, M. Kes. Apa saja bencana yang terjadi pada tahun 2015? Kejadian Bencana yang terjadi pada tahun 2015 didominasi oleh bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Bencana kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan merupakan bencana yang paling besar dampaknya pada tahun 2015 ini. Bencana asap menyebabkan kerugian lebih dari 200 trilyun (Center for International Forestry research). Bencana asap telah menyebabkan 425 ribu orang mengalami ISPA di tujuh provinsi di Indonesia.Kejadian bencana yang terjadi tidak murni disebabkan oleh alam, tetapi lebih disebabkan ulah manusia. Kejadian yang berulang karena rendahnya law enforcement kepada pelaku-pelaku yang menyebabkan terjadinya bencana.

Banyaknya kejadian bencana di Indonesia membutuhkan upaya peningkatan kesiapsiagaan sektor kesehatan dalam penanggulangan bencana. Namun, kesiapsiagaan sektor kesehatan (Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas) dalam penanggulangan bencana masih rendah. Kebijakan penanggulangan bencana mengalami perubahan paradigma dari respon bencana menjadi pengurangan risiko bencana.

Kebijakan dan manajemen bencana sektor kesehatan di tahun 2015 lebih banyak berfokus pada fase bencana seperti kebijakan penyusunan klaster kesehatan dalam penanggulangan bencana, peningkatan kesiapan petugas untuk penanggulangan bencana, penyusunan rencana penanggulangan bencana di daerah dan rumah sakit, Kegiatan fase respon bencana fokus pada penanggulangan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan, sementara issu pentingnya disaster surveillance pasca bencana belum terlaksana belum diperhatikan.

Bagaimana dengan outlook tahun 2016? Prioritas kebijakan manajemen bencana kesehatan pada tahun 2016 masih berfokus pada pengurangan risiko bencana sesuai dengan Sendai Framework. Prioritas kebijakan masih berfokus kepada penyusunan pedoman klaster kesehatan dalam penanggulangan bencana. Rencana Penanggulangan bencana di daerah dan rumah sakit masih menjadi issue utama terkiat dengan Permenkes No. 64 Tahun 2013, dimana Kabupaten harus memiliki Call Center dan Rumah Sakit memiliki Hospital Disaster Plan.

Sesi Diskusi

Dalam menyikapi pembahasan isu penting terkait regulasi kesehatan, SDM kesehatan, contracting-out, dan manajemen bencara, maka sebagai rangkaian dari kegiatan “Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2016” dilaksanakan sesi diskusi mengenai tema-tema tersebut dengan menghadirkan seluruh panelis dan Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA. sebagai pembahas.

Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan sebelumnya, pembahas menggaris awahi dua topik besar. Pertama adalah bahwa seluruh audiens perlu untuk memisahkan mindset pemecahan masalah dalam perspektif ilmu manajemen dan ilmu kebijakan. Ilmu manajemen menyelesaikan permasalahan ketika masalah tersebut masih kecil, sementara ilmu kebijakan mencoba untuk menyelesaikan permasalahan saat masalah tersebut sudah menjadi besar. Pada dasarnya ketika permasalahan tersebut sudah besar, maka akan semakin sulit untuk terselesaikan. Pembahas ingin menekankan bahwa pemecahan isu prioritas akan lebih mudah apabila perumusan solusi sudah dimulai ketika isu tersebut masih kecil.

Sulitnya pemecahan masalah saat ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya manajer yang efektif. Saat ini manajer yang duduk di stakeholders sebagian besar masih diisi oleh SDM yang belum dapat mengimplementasi ilmu manajemen dengan baik. Manajer cenderung tidak peka terhadap permasalahan dan bahkan tidak mau menyelesaikan permasalahan yang ada. Pembahas berharap PKMK untuk dapat memfasilitasi para manajer agar dapat mengimplementasi ilmu manajemen dengan baik melalui berbagai pelatihan.

Poin kedua yang ditekankan pembahas adalah kebutuhan akan eksekutor yang dapat menjalankan fungsi manajemen dan kebijakan secara efektif. Banyaknya benturan pengambilan keputusan, baik di bidang manajemen dan kebijakan, memerlukan SDM yang tangguh dan konsisten dalam upaya penanaman manajemen dan kebijakan yang dirasa benar. Sangat penting ke depan untuk memikirkan bagaimana agar PKMK dapat melahirkan banyak eksekutor yang baik dan mereplikasinya agar di setiap tingkatan stakeholder kesehatan diisi oleh SDM yang dengan kategori tersebut.
Sesi diskusi ini sendiri mengakomodir beberapa pertanyaan yang muncul dari audiens. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. mengemukakan pendapat terkait ada tidaknya studi perilaku hukum di Fakultas Hukum (FH) UGM, mengingat saat ini lembaga kesehatan lebih sering menggunakan judicial review sebagai upaya meninjau ulang kebijakan yang telah diputuskan. Laksono juga menyikapi statement pembahas dengan memberikan gambaran bahwa selain eksekutor yang baik, konsultan teknis merupakan salah satu elemen penting lain dalam pengambilan kebijakan. Menanggapi hal tersebut, Rimawati menjelaskan bahwa FH sampai saat ini masih belum memiliki penelitian mengenai law enforcement di bidang kesehatan. Saat ini permasalahan hukum terkait kesehatan cenderung berkutat dengan Undang-Undang yang telah disahkan oleh legislatif, sehingga untuk me-review-nya diperlukan pengajuan di tingkat yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK). Setiap warga negara berhak untuk melakukan judicial review di MK apabila memenuhi kaidah persyaratan. Masih banyaknya permasalahan pasca keputusan MK kadang lebih disebabkan oleh pengambil kebijakan di tingkat yudikatif yang tidak jarang belum memahami sepenuhnya mengenai substansi yang di-judicial review-kan.

dr. Hanevi Djasri mengajukan pertanyaan dengan menggali terkait bagaimana penggunaan politik hukum dalam penyusunan regulasi serta bagaimana upaya implementasi isu agar dapat menjadi regulasi. Menanggapi hal tersebut, Rimawati menjelaskan bahwa politik hukum secara garis besar melihat produk perundangan untuk dapat diimpementasikan atau tidak. Politik hukum merupakan salah satu cara agar regulasi dapat terimplementasi dengan baik. Dalam mengupayakan politik hukum memerlukan dukungan data empiris yang mendukung agar upaya politik hukum yang dijalankan dalam upaya pengembangan sebuah regulasi. Sementara itu, menanggapi pertanyaan kedua, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes. MAS. menjelaskan bahwa upaya pengembangan isu menjadi regulasi sendiri saat ini banyak mengalami benturan. Secara umum, benturan tersebut berupa ketidak jelasan keputusan, terbentur peraturan, dan persepsi. Sebagai contoh, PKMK UGM pada tahun 2013 mengusulkan agar semua dokter yang dikirim ke daerah terpencil perlu diasuransi. Namun ketika dilacak lebih dalam, hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini tidak lepas dari status yang tidak jelas apakah dokter tersebut berstatus mahasiswa atau sudah disebut pekerja. Panelis mengusulkan bahwa perlu ada upaya bersama untuk menganggap setiap dokter yang dikirim agar berstatus pekerja. Pengembangan isu menjadi regulasi sendiri juga tidak lepas dari kuat tidaknya eksekutor dalam memperjuangkan isu tersebut, mengingat saat ini setiap isu yang akan dijadikan regulasi sering menghadapi tembok besar. Kemampuan advokasi merupakan hal yang penting dikuasai oleh eksekutor dalam memperjuangkan isu tersebut hingga tingkat stakeholders.

• Tim reporter:
Elisa Sulistyaningrum, MPH; dr. Haryo Bismantara; dr. Herindita Puspita, Oktomi Wijaya, MPH

 

 

Reportase Panel 1 : Kebijakan Pembiayaan Kesehatan / JKN

30des-2

30des-2

Pada sesi pertama ini, terdapat empat pembicara dan satu pembahas yang akan membedah tema pembiayaan kesehatan di Indonesia.

Kebijakan pembiayaan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional merupakan topik yang dibahas pada panel 1 – outlook kebijakan dan manajemen kesehatan tahun 2015. Sebagai moderator panel 1; dr. Yodi Mahendradhata, MSc, Ph.D terlebih dahulu telah memaparkan mengenai kerangka konsep yang akan dijelaskan lebih lanjut melalui beberapa subtopik berikutnya. Salah satu modifikasi pada kerangka konsep WHO untuk program JKN di Indonesia adalah menambahkan aspek kepesertaan di dalamnya.

Salah satu subtopik mengenai purchasing, pooling, dan supply side disampaikan oleh dr. Tiara Marthias, MPH, Kepala Divisi Public Health, PKMK FK UGM. Selama 2 tahun berlangsungnya program JKN, sejauh mana kesiapan layanan primer dan keberlangsungan sistem pembiayaan UKM menjadi bagian dari isu utama yang ditekankan oleh dr. Tiara. Adanya pertumbuhan kepesertaan JKN yang signifikan perlu mempertimbangkan bagaimana pemerataan pemanfaatan pelayanan kesehatan di daerah. Hal ini tidak lain juga akan berdampak terhadap keberlangsungan pembiayaan program JKN di tengah kemungkinan defisit JKN yang semakin tinggi di tahun 2016.

Apakah proyeksi defisit JKN yang naik menjadi 6,8 T di tahun 2016 akan terjadi? Selama minimnya penguatan UKM, tingginya adverse selection, dan koordinasi antar lembaga belum tertangani dengan baik maka bukan tidak mungkin akan berkontribusi terhadap proyeksi defisit tersebut. Keberlangsungan program JKN, perbaikan sistem kesehatan, kompleksitas sistem pendanaan kesehatan dan integrasi Jamkesda menjadi bagian utama kaleidoskop 2015 untuk perbaikan pembiayaan kesehatan di tahun 2016.

dr. Tiara menekankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjawab tantangan dan peluang di tahun 2016 mendatang yaitu mengenai riset implementasi kebijakan pembiayaan kesehatan dan knowledge management baik di tingkat pusat dan daerah.

Hadir sebagai pembicara kedua yaitu Niluh Putu Eka Andayani, Kepala Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK FK UGM. Di tahun 2015, penyedia layanan kesehatan belum bisa memenuhi standar yang diharapkan baik pada aspek aktivitas pelayanan maupun aktivitas pendukung. RS cenderung berminat pada klaim BPJS dengan meningkatkan kelas RS, dimana klaim kelas RS yang lebih tinggi pada kelas yang lebih atas. Walaupun pada sisi supply pertumbuhan rumah sakit cukup tinggi terutama di Jawa sementara di daerah Indonesia Timur sangat kurang, terutama adalah RS swasta for profit yang membuktikan bahwa sektor swasta berminat pada bisnis RS dengan segala isu pembiayaan JKN. Di samping itu, tantangan RS antar lain berupa akreditasi RS, sistem rujukan di era JKN, BLUD dan MEA yang belum terantisipasi dengan baik.

Pada 2016 yang akan datang seharusnya RS tidak hanya berfokus pada klaim BPJS tapi juga harus pada peningkatan mutu manajemen pelayanan baik di aspek aktivitas layanan maupun aktivitas pendukung. Mengembangkan layanan unggulan berbasis pada kebutuhan masyarakat pelanggan, pengembangkan clinical leadership, dan perbaikan tim klinis yang multi disiplin profesi menjadi contoh area yang harus diperbaiki. Selain hal tersebut pada aktivitas pendukung perlu dikembangkan antara lain aspek sistem informasi manajemen maupun lean manajemen yang bertujuan untuk efisiensi.

Pembicara ketiga ialah dr. Hanevi Djasri, MARS, Kepala Divisi Mutu Pelayanan Kesehatan, PKMK FK UGM. Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional, naik atau turun? Hal ini menjadi Renungan 2015 dan harapan 2016 Divisi Manajmen Mutu PKMK FK UGM. Hasil Perenungan ini menghasilkan empat poin penting yaitu: 1) Perubahan mendasar dalam sub-sistem pembiayaan masih tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada sub-sistem yang lain dalam SKN termasuk regulasi mutu pelayanan kesehatan, 2) Mutu pelayanan kesehatan masih belum benar-benar diukur secara sistematis dan nasional, 3) Akses dan efisiensi masih merupakan dimensi mutu yang paling sering dibicarakan, meninggalkan dimensi lain: efektivitas, akseptabilitas dan keadilan serta keselamatan, 4) Fraud dalam pelayanan kesehatan muncul sebagai salah satu masalah yang berpotensi mengancam hampir seluruh dimensi mutu.

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, dari 6 Sub-Sistem SKN yang ada pada Sistem Kesehatan Nasional (Ppres 72 tahun 2012) diantaranya: 1) upaya Kesehatan, 2) pembiayaan kesehatan, 3) sumber dana manusia kesehatan, 4) obat dan perbekalan kesehatan, 5) pemberdayaan masyarakat, 6) manajemen kesehatan. Dari 6 sub-sistem SKN tersebut didominasi oleh pembiayaan kesehatan dibandingkan dengan sub-sistem lainnya, lima sub-sistem lainnya belum terlalu banyak dibahas atau tersentuh atau mengalami perubahan. Tidak ada perubahan mendasar dalam sub sistem pembiayaan dan tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada regulasi mutu pelayanan kesehatan, contohnya, tidak ada national quaity framework, fasilitas kesehatan berbondong-bondong untuk menaikkan kelas untuk meningkatkan tarif yang tidak disertai peningkatan mutu. Selain itu tidak ada perubahan mendasar dalam pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan.

Sebenarnya sudah ada lima regulasi untuk peningkatan mutu, namun dari kelima regulasi tersebut hanya ada satu regulasi yang banyak disoroti saat ini yaitu masalah price, empat regulasi lainnya seperti quality and safety, quantity and diffusion, public information and media, entri to market belum banyak disoroti. Saat ini WHO juga sudah mengeluarkan dimensi kesehatan, sudah diukur, namun masih terpisah-pisah dari dimensi lainnya, dimensi lainnya seperti efektivitas belum diukur padahal sebenarnya data tersebut ada dan bisa dianalisis.

Dari renungan ini diharapkan ada perbaikan ke depan, jika tidak dikhawatirkan tahun berikutnya masalahnya akan sama, yaitu akan terjadi ketimpangan yang semakin melebar. Penutup presentasi dr. Hanevi Djasri MARS menekankan bahwa untuk mencapai UHC/pelayanan kesehatan bermutu sesuai kebutuhan tanpa beban finansial, membutuhkan adanya regulasi mutu pelayanan kesehatan yang dapat memastikan tercapainya ke-6 dimensi mutu.
Sebagai pembicara keempat, dr. Guardian Sanjaya, MSc memaparkan sejumlah kaitan pelayanan kesehatan dan sistem informasi kesehatan di Indonesia. Berbicara JKN, maka kita wajib bicara BPJS Kesehatan, rumah sakit, peserta dan regulator. Dua tahun program JKN berjalan menuntut stakeholder memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan. Sejak diberlakukan program JKN, timbul masalah mulai dari meningkatnya jumlah peserta yang menikmati fasilitas kesehatan, waktu tunggu pasien makin panjang, sistem rujukan belum optimal, munculnya potensi fraud dan sebagainya.

Dunia teknologi menjadi salah satu solusi. Sistem informasi merupakan alat bantu untuk mengubah proses. Pada diskusi outlook dan kaleidoskop yang diselenggarakan PKMK FK UGM, dr. Guardian Sanjaya, MSc mengungkapkan ada 3 isu yang berkaitan dengan sistem informasi kesehatan (Simkes) di era JKN: 1) Adopsi sistem informasi di organisasi kesehatan (Faskes, BPJS,Dinkes, dan Kemenkes); 2) Integrasi dan interoperabilitas antar sistem; dan 3) Penyediaan data sekunder untuk monitoring, evaluasi, penelitian.

Teknologi memudahkan stakeholders untuk mengevaluasi program JKN. Evaluasi meenggunakan data sekunder yang tersimpan di sistem informasi BPJS Kesehatan. Kenyataannya data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan susah diakses oleh Kemenkes apalagi akademisi. Secara tegas, dapat disimpulkan tidak ada akuntabilitas. BPJS Kesehatan akan menjadi organisasi yang kaya akan data, ada jutaan transaksi data tiap bulan. Berkembangnya program JKN akan menuntut stakeholders mengembangkan dan memanfaatkan media sistem informasi. Pelajaran yang bisa dipetik dengan adanya JKN yaitu: 1) Adopsi sistem informasi di Faskes meningkat; 2) Kebutuhan penggunaan standar data kesehatan untuk mendukung integrasi dan interoperabilitas; 3) Penyediaan data sekunder untuk publik (peneliti, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah); dan 4) Kebijakan ehealth nasional.

Sesi Diskusi Panel 1

Setelah pemaparan 4 subtopik kebijakan pembiayaan kesehatan, sesi diskusi diawali dengan pembahasan oleh Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes yang menekankan bahwa ada tiga poin utama dalam pencapaian Universal Health Coverage (UHC) yaitu kepesertaan, pembiayaan, dan manfaat (benefit package). Dalam mendukung paket manfaat, beberapa kajian menunjukkan masih banyak Puskesmas yang mengalami penurunan dukungan pembiayaan daerah untuk pengadaan obat setelah ada kapitasi. Penguatan promotif preventif pun perlu menjadi perhatian, bahkan ada negara lain yang HMO-nya melakukan subkontrak untuk melakukan fungsi tersebut.

Dampak terhadap mutu dengan adanya sistem pembiayaan yang mendominasi sistem kesehatan di Indonesia patut dipertimbangkan. Menurut Ibu Julita, validitas data untuk monev JKN juga memerlukan reformulasi kebijakan. Beberapa topik tersebut juga diutarakan oleh Bapak Dwi, Ibu Zaenab, dan Ibu Sasi dalam sesi tanya jawab. Bapak Hanevi menambahkan bahwa pengukuran indikator mutu berdasarkan data yang ada dan diikuti dengan penggunaan clinical pathway dapat meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan program JKN.

dr. Tiara dan Bapak Dwi juga sependapat bahwa outlook pemerintah pusat dan daerah perlu dipertimbangkan dalam perbaikan sistem pembiayaan kesehatan. dr. Tiara juga menanggapi pertanyaan Ibu Zaenab bahwa kuota/ mapping faskes bukan hanya dialami oleh rumah sakit, melainkan juga fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang menjadi mitra BPJS Kesehatan. Menurut Ibu Putu, ketersediaan RS yang mempertimbangkan rasio tempat tidur (TT) terhadap jumlah penduduk tidak dapat disamaratakan di setiap daerah, karena akses dan kondisi politis juga patut menjadi perhatian tersendiri, termasuk dalam penerapan lean management dan membangun kemitraan antara BPJS Kesehatan (purchaser) dan rumah sakit (provider).

Peran sistem informasi dan manajemen kesehatan juga tidak dapat dipisahkan dalam memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan. Menurut Guardian, bridging primary care (p-care) dan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) bahkan bisa dilakukan oleh BPJSK tanpa melibatkan Kemenkes. Peluang big data di BPJS Kesehatan sangat penting untuk diikuti dengan feedback ke daerah, sehingga daerah tidak hanya diposisikan dalam entry data, melainkan dapat mem-pooling dan memanfaatkan data di tingkat daerah. Sependapat dengan hal ini, Ibu Julita juga menegaskan bahwa peran sistem dan regulasi perlu menjadi perhatian utama untuk perbaikan program JKN, terlebih di tengah masih rendahnya angka kontak peserta JKN dalam upaya penyehatan masyarakat.

*Tim reporter:
Budi Eko Siswoyo, MPH; Tri Yuni Rahmanto, MPH; Armiatin, MPH; dan Eva Tirtabayu Hasri, MPH

 

{jcomments on}

Reportase Diskusi Refleksi 2015 dan Outlook 2016 Sesi Pembukaan dan Pengantar Umum

30des-1

30des-1

oleh: Edna Novitasari 

Membuka Seminar Kaleidoskop 2015 dan Outlook 2016 PKMK FK UGM (Rabu, 30/12/2015)yang digelar di Hotel Santika Yogyakarta; Direktur PKMK FK UGM, dr. Yodi Mahendradhata, PhD berharap hasil dari seminar tahunan kali ketiga ini akan semakin mendorong perubahan- perubahan sektor kesehatan ke arah yang lebih baik. Bukan hanya sebagai academic exercise, diharapkan diskusi tahunan seperti ini akan dapat melontarkan isu yang lebih tajam demi perbaikan sektor kesehatan. Tidak hanya sehari ini saja, rencananya mulai Januari 2016, akan digelar pula diskusi maraton sebagai kelanjutan dari seminar kali ini untuk membahas 12 isu penting sektor kesehatan.

Masuk ke sesi pengantar, pengantar umum yang dimoderatori oleh Ni Luh Putu Eka Andayani, M. Kes, pembahasan refleksi 2015 dan outlook 2016 menghadirkan Ketua Board PKMK FK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD dan Direktur PKMK FK UGM yaitu dr. Yodi Mahendradhata, PhD sebagai pembicara. Sesi pengantar umum menyoroti kondisi sektor kesehatan di tahun 2015 dan menuju 2016 dilihat dari dua aspek yakni aspek global dan aspek nasional. Dari aspek global, Yodi Mahendradhata menjelaskan bahwa keyword yang tepat untuk lepas dari 2015 dan landas ke 2016 adalah “transisi”. Pada tahun 2016, MDG akan digantikan oleh SDG, dengan sejumlah goal yang lebih banyak lagi. Namunironisnya, masih banyak stakeholder yang bingung dengan goal-goal dan target dalam SDG, sementara sejumlah permasalahan dalam MDG pun belum sepenuhnya terselesaikan. Ada 17 goals dalam SDG, dengan 169 target yang merupakan angka yang tidak sedikit. Sehingga banyak pihak yang sinis dengan deklarasi pencapaian ini, karena dengan banyaknya target terkesan tidak ada prioritas terhadap pencapaian tertentu. Adapun untuk sektor kesehatan yang masuk dalam goal 3 dengan 9 target, ada fakta menarik untuk dicermati tentang UHC yang masuk peringkat 8 dari 9 target. Sehingga mencerminkan UHC tidak termasuk skala prioritas, sedangkan ironisnya di pembukaan SDG tercantum kata-kata tentang pencapaian UHC. Sementara kaitannya dengan sektor kesehatan di Indonesia, lemahnya perbaikan masalah berbagai sektor di Indonesia salah satunya disebabkan masih kurangnya pemanfaatan bukti riset untuk pembuatan kebijakan, yang masih didominasi oleh tekanan politis.

Dari aspek nasional, Laksono Trisnantoro mencoba merefleksikan realita pelaksanaan kebijakan pembiayaan kesehatan melalui JKN, yang merupakan tahun kedua pelaksanaan JKN di tahun 2015. Tidak dipungkiri meski membawa banyak manfaat untuk membantu masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia, namun pelaksanaannya masih memiliki banyak kekurangan. Mulai dari sisi monitoring pemanfaatan dana, kerancuan antar lembaga terkait, mutu pelayanan, pemerataan klaim JKN, hingga dampaknya terhadap peningkatan status kesehatan. Hubungan antara kebijakan pembiayaan kesehatan dengan kebijakan kesehatan lain juga disoroti oleh Laksono Trisnantoro, seperti hubungan dengan kebijakan pengembangan supply side, kebijakan peranan antar lembaga, kebijakan alokasi dan kebijakan promkes; yang masih kurang harmonis bila diamati. Berbagai kebijakan tersebut tentunya saling terkait satu sama lain, karena bila ada hubungan yang kurang harmonis maka akan mempengaruhi sektor yang lain. Fakta di tahun 2015, kebijakan pembiayaan kesehatan masih mendominasi dengan kurangnya balancing hubungan dengan kebijakan lain.

 

{jcomments on}

 

Diskusi Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2016

30des15

Diskusi
Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2016

Ruang Griya Kresna, Hotel Santika Yogyakarta,
Rabu, 30 Desember 2015

30des15

08.00 – 08.30     

Registrasi

08.30 – 08.45

Sambutan dan Pembukaan
dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D (Direktur PKMK)

video

Pengantar Umum (Moderator : Niluh Putu Eka Andayani, SKM. M.Kes)

08.45 – 09.05

Refleksi Kesehatan Global
dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D (Direktur PKMK)

video    materi

09.05 – 09.25

Refleksi Sektor Kesehatan secara umum di Indonesia
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D (Ketua Board PKMK)

video     materi

09.25 – 10.00

Diskusi

video   Reportase

Pukul 08.30 – 10.00 kegiatan disiarkan secara Live streaming pada web ini
dan melalui webinar dengan link berikut
 

10.00 – 10.30

Rehat pagi

Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2015

10.30 – 12.00

Panel 1 : Kebijakan Pembiayaan Kesehatan / JKN

Moderator : dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D *penjelasan kerangka konsep

materi

PH : purchasing, pooling, supply side (dr. Tiara Marthias, MPH)

materi

RS : organization and service delivery (Niluh Putu Eka Andayani, SKM. M.Kes) 

materi

Mutu : Quality and efficiency (dr. Hanevi Djasri, MARS)

materi

Simkes : Accessibility and accountability (dr. Guardian Sanjaya, MSc)

materi

Pembahas : Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes

reportase

12.00 – 13.00

Istirahat dan Makan Siang

13.00 – 14.30

Panel 2 : Isu Prioritas

Regulasi Kesehatan  (Rimawati, SH. M.Hum)

materi

SDM Kesehatan (Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes MAS)

materi

Contracting Out (Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes)

materi

Manajemen Bencana (dr. Bella Donna, M.Kes)

materi

Moderator : dr. Tiara Marthias, MPH
Pembahas : Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA

reportase

14.20 – 15.40

Panel 3 : Isu Prioritas

Kebijakan dan Program Penanggulangan HIV/AIDS (Praptorahardjo, Ph.D)

materi

Kesehatan Ibu dan Anak (dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes)

materi

Social Determinants of Health (Dra. Retna Siwi Padmawati, MA)

materi

E-Health (dr. Lutfan Lazuardi, Ph.D)

materi

Moderator : Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes MAS
Pembahas : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D

reportase

15.40 – 16.00

Sintesis dan Penutupan

Sintesis (Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D)
Penutupan (dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D)

BPJS Kesehatan: Kepengurusan Kini Dilakukan Satu Pintu di Kecamatan

6nov

6novLayanan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan kini dilakukan lebih terstruktur, melalui sistem yang disebut PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) dan PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan).

“Diharapkan sistem ini bisa memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan kesehatan dan ketenagakerjaan di seluruh Indonesia,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo usai menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dalam penyelenggaraan jaminan sosial nasional, di Jakarta, Jumat (6/11).

Hadir dalam kesempatan itu Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya.

Untuk itu, Tjahjo meminta pada kepala pemerintah daerah untuk memerintahkan Kepala Badan/Kantor/Unit PTSP di daerah untuk menyediakan data dan informasi sesuai dengan kebutuhan BPJS. Sehingga masyarakat lebih mudah dalam mengurus kepesertaan dan masalah lainnya terkait BPJS.

“Keaktifan daerah akan sangat membantu mengoptimalisasi kerja PTSP dan PATEN di daerah. Beban dananya dari BPJS,” ujarnya.

Disebutkan, saat ini sudah seluruh provinsi di Indonesia atau sebanyak 34 provinsi yang membentuk kelembagaan PTSP di daerahnya. Namun, diakuinya, baru ada 372 dari 416 kabupaten yang membuka layanan PTSP. Sedangkan kota sudah tersedia di 92 dari 98 kota yang ada di Indonesia.

Untuk PATEN, ditambahkan, baru dibentuk di 28 provinsi. Dari 514 kabupaten, baru tersedia di 144 kabupaten. Pada tingkat kecamatan, baru dibentuk di 1.482 kecamatan dari 7.049 kecamatan yang ada di Indonesia.

“Kami berharap tahun depan semua kecamatan di Indonesia sudah menerapkan PTSP dan PATEN agar pelaksanaan BPJS dapat berjalan optimal,” ujarnya.

Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris usai acara berharap, nota kesepahaman dapat mendorong pemerintah daerah dalam optimalisasi penerapan peraturan pemerintah (PP) 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Ia mencontohkan perusahaan swasta. Sanksi bisa diberikan berupa penundaan pemberian layanan publik seperti perizinan terkait usaha, izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin memperkerjakan tenaga kerja asing.

Bagi masyarakat yang tidak mendaftarkan diri dan keluarganya ke BPJS Kesehatan, disebutkan, bisa dikenakan sanksi tidak mendapat layanan publik tertentu seperti pengurusan sertifikat tanah, paspor, surat izin mengemudi (SIM) dan pengurusan surat tanda nomor kendaraan (STNK). (TW)

 

Direksi dan Dewas BPJS Kesehatan Kini Dipilih Terbuka

Proses pemilihan jajaran direksi dan dewan pengawas (dewas) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini dilakukan melalui seleksi terbuka.

Pendaftaran dilakukan secara online lewat website www.djsn.go.id mulai hari ini, 6 November 2015. Batas waktu pendaftaran maksimal 10 hari pasca pengumuman ke publik.

“Isi formulir pendaftaran dan lengkapi semua persyaratan. Mereka yang memenuhi syarat akan dipanggil untuk ikut proses selanjutnya,” kata Sekjen Kementerian Kesehatan, Untung Suseno Sutarjo yang juga anggota Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (5/11) malam.

Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Panitia Seleksi BPJS Ketenagakerjaan, Abdul Wahab Bangkona. Sedangkan Ketua Pansel BPJS Kesehatan, Mardiasmo berhalangan hadir.

Abdul Wahab Bangkona menjelaskan, proses seleksi pemilihan direksi dan dewas BPJS Kesehatan dilakukan sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Formasi kursi di BPJS Kesehatan untuk direksi ada 8 orang dan dewas 7 orang. Sedangkan di BPJS Ketenagakerjaan masing-masing sebanyak 7 kursi.

Dijelaskan, proses pemilihan direksi dan dewas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan melalui pansel, merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 115/P untuk BPJS Kesehatan dan Kepres Nomor 116/P untuk BPJS Ketenagakerjaan.

“Jabatan direksi dan dewas BPJS sebelumnya kan ditunjuk pemeromtah. Masa waktu mereka 2 tahun yang akan berakhir 31 Desember 2015 memdatang. Diharapkan pansel bekerja tepat waktu, sehingha 2016 sudah ada direksi dan dewas formasi baru,” katanya.

Secara umum proses seleksi meliputi seleksi administratif, tes kompetensi bidang, tes psikologi, tes kesehatan, dan wawancara mengenai visi misi calon terkait penyelenggaraan program jaminan sosial baik bidang kesehatan maupun bidang ketenagakerjaan.

“Kami akan melihat rekam jejak dari calon anggota direksi dan dewas BPJS, sehingga dapat diperoleh calon yang memiliki integritas dan profesional,” ujarnya.

Ditanyakan apakah pejabat BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sebelumnya bisa ikut seleksi, Bangkona mengatakan, hal itu diperbolehkan asalkan memenuhi syarat administratif, seperti usia antara 40-60 tahun, pendidikan minimal S-1 dari berbagai disiplin ilmu dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk posisi masing-masing.

“Untuk posisi direksi, pilihan pansel bisa langsung diangkat. Tetapi pada posisi dewas, harus dilakukan fit and proper test terlebih dulu di DPR,” ujarnya. (TW)

 

2020, Lansia Indonesia Mencapai 28,8 Juta Jiwa

Penduduk usia lanjut atau lansia pada 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34 persen dari total jumlah penduduk di Tanah Air, angka ini menjadi tantangan agar tercipta lansia sehat dan produktif.

Demikian isu yang dibahas dalam “Bogor Senior Citizen Roadshow and Healthy Funfest 2015” di Kota Bogor, Kamis (5/11).

“Perlu upaya untuk mencegah dan promotif agar dapat membangun generasi dan negeri yang sehat dengan segala potensi yang dimiliki. Upaya ini dimulai dari masa kandungan, anaka-anak, remaja, dewasan dan mencapai usia lanjut yang tetap sehat, aktif serta produktif,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota, Rubaeah.

Rubaeah mengatakan, usia lanjut merupakan proses alami dalam hidup manusia yang tidak bisa dicegah. Indonesia merupakan lima negara di dunia yang memiliki jumlah usia lanjut tertinggi. Pada tahun 2010 jumlah lansia tercata sebanyak 18,1 juta jiwa atau 17,6 persen. Di tahun 2014 jumlah meningkat menjadi 18,8 juta jiwa.

“Diprediksikan 2020 jumlah lansia Indonesia mencapai 28,8 persen,” katanya.

Menurut Ruabeah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, pemerintah wajib menjaga kesejatan masyarakat lanjut usia agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomi.

Dikatakannya, untuk mengakomodir amanat undang-unadng tersebut, Pemerintah Kota Bogor telah melakukan upaya menyediakan sarana dan fasilitas untuk mendukung kesehatan lansia di kota tersebut.

“Salah satunya melalui Pos Windu Lansia yang merupakan pilot project Kementerian Kesehatan,” kata Rubaeah.

Selain itu, lanjut Rubaeah, Pemerintah Kota Bogor juga menyediakan Puskesmas Ramah Lansia yang memudahkan para lansia dalam memperoleh layanan kesehatan tanpa harus lelah mengantri dengan pasien umum lainnya.

Rubaeah menambahkan, sarana dan fasilitas yang telah disediakan tidak akan optimal tanpa adanya usaha dari para lansia dalam menjaga kesehatan dirinya sendiri.

“Kita terus melakukan sosialisasi, diharapkan masyarakat menjadi semakin tahu dan sadara untuk menjaga kesehatan dan aktivitasnya sampai usia senja,” katanya.

Dinas Kesehatan Kota Bogor bekerja sama dengan PT Tiga Pilar Manajemen Indonesia menggelar acara Bogor Senior Citizen Roadshow and Healthy Funfest 2015 dalam rangka sosialisasi menuju lansia sehat dan produktif sesuai instruksi WHO dan Pemerintah Pusat.

Panitia Kegiatan, Febi Regina menyebutkan, acara roadshow diawali dari Kota Bogor dan akan dilanjutkan di Jakarta, Bandung serta Surabaya. Peningkatan jumlah lasian di Indonesia setiap tahunnya, menjadi latar belakang terselenggaranya kegiatan tersebut yang diharapkan dapat memberikan tips kepada para lasia agar tetap menjaga kesehatannya.

“Konsepnya acara menjalankan himbauan dari pemerintah kota tentang kota ramah lansia,” katanya.

Menurut Febi, dengan sinergitas yang tercipta antara pemerintah kota dan swasta, tentunya dapat terwujud keluarga sehat dan produktif, salah satunya di Kota Bogor.

“Acara ini diramaikan dengan pameran, seminar, bazar dan lomba talkshow. Kita mengundang 100 lansia se-Kota Bogor,” katanya.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

301.441 Warga Medan Dapat Kartu Indonesia Sehat

KIS yang dibagikan ini merupakan kartu diperuntukkan bagi kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebelumnya pemerintah telah mendaftarkannya dan pemerintah yang membayar iurannya (Penerima Bantuan Iuran) atau lebih dikenal peserta Jamkesmas.

Sejak diluncurkan 3 November 2014, KIS sebagai salah satu program unggulan dalam Pemerintahan Presiden Joko Widodo, keberadaan KIS semakin menghadirkan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, sekaligus sebagai bagian dari penguatan sendi – sendi perekonomian bangsa. Untuk Kota Medan, pendistribusian ini merupakan tahap kedua, dimana 83.735 kartu telah dibagikan pada tahap pertama.

Pj Wali Kota Medan Drs H Randiman Tarigan MAP diwakili Sekda Kota Medan Ir Syaiful Bahri Lubis mengajak seluruh yang terlibat dalam pendistribusian KIS, agar bekerja dengan optimal dalam membagikan KIS kepada masyarakat. Selain itu sosialisasikan kepada masyararakat terhadap manfaat dan penggunaan KIS tersebut harus tetap dilakukan.

“Dalam pelaksanaan program KIS, salah satu hal yang menjadi fokus perhatian kita bersama adalah tentang pendistribusiannya. Saya minta seluruh camat dan lurah harus menidistribusikan KIS dengan cepat dan tepat, sehingga manfaatnya akan dapat dirasakan masyarakat,” kata Sekda.

Menurut Sekda didampingi Kadis Kesehatan drg Usma Polita Nasution dan Dirut RSUD dr Pirngadi dr Edwin, KIS memberikan tambahan manfaat layanan preventif, promotif dan deteksi dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi. Selain itu KIS juga memberikan jaminan bahwa pelayanan oleh fasilitas kesehatan yang tidak membedakan peserta berdasarkan status sosial.

“Saya berharap dengan adanya KIS, masyarakat yang kurang mampu khususnya yang ada di Kota Medan mendapatkan pelayanan kesehatan lebih baik dan maksimal. Pemko Medan juga terus berupaya untuk mendorong tersedianya berbagai sarana dan prasaran kesehatan yang semakin berkualitas baik di rumah sakit maupun puskesmas”, ungkap Sekda.

Kepala Departemen Kepatuhan dan Keuangan BPJS Kesehatan Cabang Kota Medan Ismed SE mengatakan untuk tahap awal, telah didistibusikan 83.735 KIS untuk masyarakat Kota Medan. Penerima KIS akan menerima amplop yang berisi kartu dengan nama pemilik, nomor KIS, alamat dan fasilitas kesehatan serta buku panduan.

” Untuk pelayanan, pemegang KIS akan dilayani di balai pengobatan tingkat pertama yaitu puskesmas. Untuk sakit yang tidak tertangani di puskesmas akan dirujuk ke rumah sakit untuk pengobatan tingkat lanjutan”, jelas Ismed.

Untuk pendistribusiannya, Ismed mengungkapkan harus didukung seluruh stake holder. Untuk itu pihaknya meminta bantuan camat dan lurah segera mendistibusikan KIS kepada masyarakat dan tepat sasaran.(dna/mdn)

sumber: http://www.dnaberita.com/

 

Delhi’s air pollution is causing a health crisis. So, what can be done?

For a few hours one morning two weeks ago, private cars were banned from driving into the heart of old Delhi. It was hard to tell at the messy road junction in front of the historic Red Fort and the shopping street of Chandni Chowk, though, which was still crammed with auto-rickshaws and buses barrelling along the roads with seemingly little regard for any traffic rules.

But Delhi’s so-called “car-free day” experiment was nevertheless a success: scientists monitoring the air here, routinely one of Delhi’s most polluted areas, found a dramatic 60% drop in the amount of dangerous pollutants – the tiniest particles that come out of traffic exhausts and which can exacerbate health problems such as asthma, heart disease and stroke – compared to the previous day.

Delhi is the most polluted city in the world, according to the World Health Organisation (WHO), and doctors and scientists say the locals there are facing a public health crisis. Beijing has historically drawn international attention when it comes to poor air quality but, in reality, that city’s air is nowhere near as dangerous as many of India’s major cities.

The rapid development of the country in recent years means India has the dubious honour of having 13 of the world’s 20 most polluted cities. The WHO found that Delhi had an average of 153 micrograms of the smallest particles, known as PM2.5s, per cubic metre in its air. The international “safe” level for these particles is 6 micrograms per cubic metre.

Delhi’s bad air is already causing a spike in the people with asthma and reduced lung function.

Filming in the city’s leading chest hospital, for a series of stories for ITV News at Ten on India’s challenges ahead of the climate change summit in Paris that begins later this month, a doctor told me he had to now keep his clinics open for double their normal hours in order to keep up with demand. Even then, the corridors were overrun with wheezing patients and a room that had a line of oxygen masks for patients to take respite breaths as they waited, had queues snaking out of the door.

The air is already having long-term effects on children in the Indian capital, 4.4 million of whom already have irreversible lung damage. “The children’s lung is in the budding stage, they are not mature,” said Prof Raj Kumar a respiratory specialist at the Vallabhbhai Patel Chest Institute, University of Delhi.

“Ultimately their bronchi or alveoli are going to be damaged and the lung function is harmed. [Since] that is the main organ where the oxidisation is taking place, if the lung is affected then the whole of your body will be affected.”

The damage goes beyond that – reaching even further back in people’s lives. At the Sir Ganga Ram Hospital, neonatologist Professor Neelam Kler has been working with the Public Health Foundation of India to track an increase in premature and underweight babies and those born with birth defects. “People are probably not so aware of the hidden effects of pollution and that is on the pregnant woman and the growing foetus in her body, which is a very vulnerable period,” she said.

There is already evidence of a spectrum of health problems, ranging from allergies and respiratory conditions, malformations, growth restrictions and even an increasing incidence of cancers, all of which could be related to increased pollution. “Putting it together, we are heading towards health disasters,” said Prof Kler.

The reasons behind the worsening air are manyfold – more than 8m vehicles on the roads already, with 1,400 new ones added every day. Most of those new vehicles burn diesel and face relatively low emissions standards, belching out clouds of the tiny PM2.5 particles that can be most harmful to health.

In addition to vehicles, there are an increasing number of diesel-burning electrical generators attached to the swanky apartment blocks springing up across the capital. Farms and coal-burning factories around the region further worsen the air.

The pollution has a double-whammy effect. Health problems are happening now but the vehicle and factory exhausts also contain greenhouse gases such as nitrous oxides, ozone and carbon dioxide. These will linger in the atmosphere for many decades and contribute to future climate change. India’s cities are facing the problems right now but the pollution (and its problems) is a stark indication of what many more developing nations will face in future.

The Indian government says it is aware. Environment minister Prakash Javadekar said he wants to fast-track the construction of a bypass that would prevent around 50,000 polluting lorries having to drive into the city every day. And he wants the car companies to clean up their vehicles to the more exacting standards in Europe. “We want to migrate early but auto industry is not ready,” he said.

The car industry in India could produce Euro-6 compliant vehicles, he said, but they have been lagging behind. “We will deal with this menace of air pollution and we will win the battle and there will be marked difference in the next two years.”

Delhi has managed to clean up its air before. At the turn of the century, the local government moved polluting industries out of the city, shut down coal-burning power plants and forced public transport vehicles to move from diesel and petrol to cleaner gas alternatives. The air quality improved steadily until 2007, said Anumita Roychowdhury of the Centre for Science and Environment, a Delhi thinktank.

“But after that, if you look at the data, 2009 onwards, you will find the levels are going up again and gone up so high that now what we are saying is that we have lost the gains of the first generation action,” she said. “And that’s the scary story unfolding today. What has gone wrong is that the momentum that we had built to clean up, we could not keep that momentum going. Somewhere along the line the pollution source has overwhelmed the action.”

For Profs Kler and Kumar, all Delhi citizens need to do their part in dealing with the pollution problem. Health professionals need to petition authorities to act and individuals must work out how to keep the city growing without just buying more cars.

“Development not only means industrialisation,” said Prof Kler. “I think its a time that we take a note of it and do something about the quality of air, the quality of water, our waste disposal, so that we don’t become a heap of garbage.”

As Delhi chokes, initiatives such as the car-free day around the Red Fort two weeks ago will become more important in bringing attention to the pollution crisis. A small crowd had gathered that morning with banners and wearing T-shirts with slogans reading “No Pollution, No Congestion”. They marched around the road in the shadow of the Red Fort on the day, handing leaflets out to passers by.

Sunil Dahiya, a campaigner with Greenpeace India who was measuring the levels of pollutants in the air around him, said: “If you talk to anybody there will be appreciation of yes Delhi air is very hazardously polluted and there should be something done about it.”

source: http://www.theguardian.com/