Tatap Muka Kelima Pelatihan Konsultan: Menyusun Plan Of Action

Kegiatan tatap muka ke-% membahas tentang Plan of Action kegiatan konsultasi. Pertemuan yang dibawakan oleh Prof Laksono ini dihadiri oleh para konsultan yang sudah tergabung dalam tim, baik secara langsung maupun via webinar. Dalam agenda POA terangkum kegiatan-kegiatan yang dilakukan seperti: (1) Menetapkan satu klien, (2). Merancang kegiatan konsultasi dengan menggunakan Prinsip-Prinsip Manajemen Project yang terdiri dari 2.1) Fase Diagnosis dan Konsepsualisasi, 2.2) Fase Perencanaan, 2.3) Fase Pelaksanaan, 2.4) Fase Terminasi, dan poin (3) Membahas Sistem Kontrak Kerja dan Perencanaan Anggaran.
Prof Laksono memulai dengan menerangkan cara menyusun Plan of Action untuk para konsultan. Prinsip penyusunan POA ini sebaiknya menggunakan pendekatan manajemen proyek (diterangkan pada pertemuan sebelumnya). Sedangkan pada pronsep aplikasi di lapangan kemungkinan besar tantangan yang dihadapi akan berbeda antara konsultan muda dan senior. Sehingga setiap tahap merupakan pembelajaran oleh para konsultan (learning by doing). Demi mematangkan konsep dan karakter dari konsultan muda, mereka dapat dimagangkanmenjalani proses magang di kantor konsultan senior untuk melihat dunia nyata.

Pada kesempatan ini, Prof Laksono juga menanyakan tentang progress masing-masing tim konsultan peserta pelatihan sebelum implementasi ilmu konsultan diterapkan di lapangan. Prof. Laksono menanyakan target utama klien dan kesiapan pakem. Tim Aceh sendiri menjawab bahwa saat ini tengah menyiapkan program konsultan terkait monev JKN dan sementara masih sedang mencari leader untuk proyek ini. Sedangkan dari tim manajemen rumah sakit telah menyiapkan perencanaan konsultasi untuk perencanaan rumah sakit rujukan di Palembang. Prof Laksono juga sedikit mengomentari mengenai persiapan ini, seperti memberikan himbauan untuk lebih hati-hati dalam pelaksanaan kontrak dan sejauh mana detail pelaksanaan kegiatan konsultasi.

Menutup kegiatan ini, Prof Laksono meminta kepada setiap tim konsultan ini untuk menyimpulkan dan menetapkan program konsultasi yang akan dilakukan dan dikembangkan dalam grup milist masing-masing (Faisal Mansur)

 

 

Kegiatan Minggu 4 Pelatihan Konsultan

28mar

video 1  video 2

Pertemuan pelatihan konsultan pada pekan ke IV membahas tentang pelaksanaan pelatihan konsultan dengan tema pemahaman business. Tema ini dibawakan langsung oleh Prof Laksono di Yogyakarta, sementara peserta luar lainnya mengikuti kegiatan ini via webinar.

Menurut prof Laksono seorang konsultan selayaknya memiliki kualifikasi khusus. Seorang konsultan penting untuk memiliki beberapa skills dan perilaku.

Pada topic yang membahas tentang bisnis acumen, Prof Laksono menekankan perlunya memahami dengan baik dan tepat dalam menganalisis masalah klien. Praktisnya adalah bagaimana memahami sifat bisnis klien itu sendiri. Dikarenakan, klien juga memiliki fokus dan karakter masing-masing. Sehingga konsultan akan memiliki berbagai jenis konsultasi berdasarkan ragam lingkungan dan unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.

Unsur dan lingkungan yang selayaknya harus dipahami sebagai konteks bisnis klien seperti: Mulai pada peraturan perundang-undangan, peraturan menteri, peraturan presiden, dan lingkungan sekitar klien (ekonomi,politik,dsb).

Untuk materi tentang bagaimana mengelola projek manajemen, dijelakan oleh Prof Laksono akan dimulai pada minggu depan dan dilaksanakan langsung dengan praktiknya. Sehingga para peserta BL konsultan dapat memulai dan membiasakan diri dalam menghadapi klien.

Pengembangan pribadi dan profesionalisme juga mutlak dilakukan oleh konsultan. Setiap konsultan harus didukung oleh kemampuan dan skill untuk menganalisa. Sebab saat ini kata Prof laksono, susah menemukan orang yang ahli dalam ilmu/bidangnya dan balance dengan cara dia berkomunikasi. Maka, kelompok BL konsultan ini memiliki kemungkinan untuk dilakukan placement test untuk mengetahui penempatan kemampuan masing-masing peserta. Dengan jalan ini, kita dapat menempatkan posisi konsultan yang akan menghadapi berbagai model klien. Prof Laksono melanjutkan bahwa tidak ada perbedaan level antara konsultan internasional dan domestic. Konsultan domestic belum tentu lebih buruk dibandingkan dengan konsultan internasional. Hal tersebut tergantung pada bagaimana konsultan memiliki kedalaman ilmu dan cara berkomunikasi dengan klien. Salah satu contoh dalam pengembangan konsultan dapat dilakukan dengan sertifikasi dan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi.

  DISKUSI

Pertanyaan diajukan oleh Pak Yos mengenai bisnis acumen yaitu apakah sama dalam melakukan analisis internal dan eksternal. Salah satunya saja atau dua-duanya?

Prof Laksono menjawab bahwa analisa yang dilakukan dalam bisnis acumen ini bahkan lebih luas lagi karena akan memahami berbagai faktor luar yang dapat mempengaruhi klien, bagaimana proses dan dampaknya terhadap klien. Dan tenntunya mampu mensistesis akibat dari adanya hubungan/dampak dari luar dan dalam.

dr Aminah juga menambahkan bahwa proses ini memiliki perbedaan dengan penyusunan naskah stratejik dan membutuhkan pengkajian lebih mendalam, karena factor yang mempengaruhi sangatlah beragam seperti berbagai situasi politik, kemampuan (baik dari sisi pembiayaan maupun klien), dan sebagainya.

Prof Laksono melanjutkan dengan kapasitas selanjutnya yang penting dimiliki oleh seorang konsultan adalah cara berfikir yang proaktif. Konsultan harus dapat berfikir dimana orang lain (awam) belum memikirkan hal tersebut. Konsultan memiliki kemampuan untuk dapat memecah-mecah berbagai persoalan dan menganalisisnya. Keseuluruhan persoalan berada pada satu system yang mana memiliki subsistem dan jika salah satu subsistemnya tidak jalan maka system tersebut tidak akan efektif.

Sebagai contoh dalam analisis program rujukan nasional. Apa saja yang diperlukan untuk memikirkan kebijakan menteri saat ini. Terkait syarat-syarat yang diperlukan dan pengalaman sebuah rumah sakit dalam melakukan kegiatan sebagai rumah sakit rujukan nasional yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan rumah sakit tersebut menjadi rumah sakit rujukan nasional.

  DISKUSI

Pertanyaan dari Hardhantyo menyatakan jika beberapa statement yang dikemukakan oleh Prof Laksono tentang indicator kesiapan rumah sakit rujukan nasional tersebut, apakah indicator tersebut memiliki sumber tertentu atau berasal dari analisis?

Prof Laksono menjawab jika pakem tersebut berasal dari kementrian kesehatan. Dengan adanya pakem tersebut, maka setiap konsultan harus mampu untuk menganalisisnya. Konsultan diharapkan memiliki analisa yang tajam dan problem solving. Konsultan dianalogikan oleh prof Laksono sebagai orang yang duduk di atas meja saja, tetapi orang yang proaktif.

Pertanyaan selanjutnya datang dari Pak hanevi yang menanyakan bahwa apakah ini kompetensi ini juga berlaku bukan hanya bagi konsultan manajemen namun juga untuk konsultan teknis?

Prof Laksono memberikan jawaban jika kompetensi ini berlaku untuk semua konsultan baik manajemen maupun teknis. Dimanapun, konsultan harus memiliki etika dan skill, namun konsultan manajemen harus lebih baik dari konsultan teknis, sebab konsultan manajemen tentunya menghadapi problematika yang lebih kompleks.

Pak Hanevi kembali bertanya dan mencontohkan sebuah permenkes yang jika kurang sesuai dengan paradigm konsultan, maka bagaimana seorang konsultan dalam memposisikan diri?

Prof Laksono menjawab dengan memberikan perumpamaan pada pengembangan rumah sakit rujukan nasional dimana saat ini konsultan rujukan itu harus segera diimplementasikan. Meskipun semua memiliki ideology dalam pengembangannya, seorang konsultan harus berani mengambil sebuah ideology yang terbaik, seperti memegang prinsip equity. Yang tidak hanya memberikan kesempatan kepada masyarakat yang memiliki akses mudah untuk memanfaatkan layanan rumah sakit tersebut, namun mendekatkan akses tersebut kepada masyarakat yang memiliki akses yang sulit. Prof Laksono juga mengungkapkan pada bentuk system kontrak. Harusnya, model lelang seperti itu dapat dihindari. Karena pemecahan masalah dapat berlangsung lama (minimal 5 tahun) dengan mengembangkan komponen-komponen pendukung yang tidak mungkin dilakukan hanya dalam jangka waktu setahun.

Pernyataan berikutnya dari salah satu peserta dinkes aceh menyebutkan bahwa selain konsekuensi dari kebijakan Menkes, peran konsultan dalam membantu pemerintah terutama provinsi terkait kebijakan dalam pembagian tanggung jawab antara kab-prov dan pusat dalam pengembangan rumah sakit regional segera perlu ditindaklanjuti.

Prof Laksono menambahkan dengan kegiatan konkrit yang perlu dilakukan oleh pihak Aceh sendiri dengan melakukan seminar dan mengundang pihak Kementrian Kesehatan seperti Dirjen Bina Pelayanan, dan stakeholder lainnya untuk menggambarkan permasalahan dan pentingnya memberikan pendampingan pada pengembangan rumah sakit regional ini.

Ibu Ina hernawati juga menanyakan bahwa apakah konsultan juga harus membuatkan TOR yang baik/ apakah hal ini juga merupakan bagian dari pekerjaan konsultan? Sebab ibu Ina memiliki opini bahwa konsultan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, artinya mempunyai kemampuan analytic thinking untuk hal-hal yg tidak dipikirkan sebelumnya oleh klien, jika kebutuhan klien, TOR dan penugasannya lebih jelas. Tetapi, kenyataannya banyak klien yang tidak mengetahui apa yang diinginkan dan hasil apa yang diharapkan ketika pekerjaan selesai.

Prof Laksono menjawab dan mengiyakan pernyataan dari Ibu Ina, bahwa kebutuhan klien, TOR hingga penugasan yang jelas merupakan kompetensi dari seorang konsultan.

Pertanyaan terakhir berasal dari Said Muntahaza terkait peran konsultan, untuk implementasi kebijakan rumah sakit regional termasuk bagaimana merumuskan produk-produk hukum daerah supaya bersinergi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, disamping itu peran konsultan juga menganalisis sinergi terhadap aturan-aturan dari kemenkes yang mendukung dan atau yang menghambat implementasi kebijakan tersebut.

Menurut Prof Laksono, tim konsultan harus mengetahui system kesehatan, harus mengetahui masalah hukum, persoalan BPJS, berbagai kasus rujukan ke suatu rumah sakit, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kebijakan dan pelaksanaan rumah sakit regional. Sehingga konsultan dapat mengetahui strategi apa yang dapat dikembangkan.

 

Kompetensi Dasar sebagai Konsultan

video part 1  video part 2

Minggu Keempat akan membahas kompetensi dasar sebagai konsultan yang meliputi dua tema, yaitu review minggu lalu dan memahami ketrampilan dasar sebagai konsultan. Hal yang mendasari dalam pencarian kebutuhan klien ialah apa kebutuhan, demand, kemampuan finansial, apakah kebutuhan klien tergantung pada politik? Dari konsultan Dinas Kesehatan menyatakan dalam waktu dekat akan ada penguatan Dinkes Kabupaten/kota, ada dua calon klien yang akan bergabung. Sementara, divisi MRS, sasaran kliennya ialah RS didorong untuk menjadi rujukan nasional, sasaran yaitu Aceh dan NTT. Gubernur Aceh ingin 6 RS menjadi rujukan regional. Sementara, harapan ke depan ialah NTT menjadi RS regional Flores.

Pertanyaan mendasar yaitu bagaimana mempengaruhi klien agar makin berkeinginan untuk menggunakan jasa konsultan? Hal ini akan coba dibahas dalam tema ‘pakem’. Pakem tersebut akan didiskusikan selama satu bulan. Klien sebagai narasumber, paket apa yang bisa dilakukan? Harus jelas kontraknya. Ketua kelompok kerja yang akan membahas pakem.

  Diskusi

Prof. Laksono sebagai pemateri dalam acara ini menyatakan masukannya untuk salah seorang peserta webinar, konsultan data manajemen dapat berdiri sendiri, bukan bagian KIA.

Heru Ariyadi dari ARSADA mempertanyakan pakem dapat dijadikan paket, kriterianya apa?. Prof. Laksono, misal ada dana swakelola, paket tergantung pada situasi klien. Jadi, harus melihat kriteria klien dari berbagai aspek tergantung dana dan sistem kontrak tiap daerah.

Hersumpana menanyakan bagaimana cara melihat kebutuhan klien? bagaimana cara mendeteksi kebutuhan tersebut? Prof. Laksono menyatakan kebutuhan mereka besar namun belum terekspresikan. Sehingga para konsultan harus proaktif dalam diskusi misalnya, untuk meyakinkan perlu ada pendampingan. Maka, butuh keaktifan konsultan.

Konsultan harus memiliki sejumlah kompetensi, antara lain kompetensi teknis, umum dan kketrampilan/perilaku konsultan.Kompetensi yaitu keadaan dimana seseorang dianggap mampu menangani suatu hal sesuai bidangnya. Jika tidak memahami kebutuhan klien, maka akan sulit. Misal, ada RS rujukan karena kebijakan BPJS bersinggungan dengan aspek politik, social dan budaya.

Maka, sejumlah teknis mutlak harus dimiliki konsultan, yaitu teknik wawancara, ambil data, komunikasi dan sebagainya. Selain itu, konsultan harus update informasi sebanyak mungkin.

Hersumpana mempertanyakan bagaimana cara mencari klien? Prof Laksono menjawab, melalui ikut/tandem dengan senior. Hal ini menarik jika klien membutuhkan jasa untuk memperbaiki lrembaganya maka perlu didampingi tim konsultan dari salah satu firma -> misal: obsgin, epidemolog dan IT.

M. Faozi menanyakan apa indikator untuk mendeteksi kemampuan konsultan atau ada penilaian khusus? Prof. Laksono menjawab belum ada teknologi yang mampu memilah kualitas konsultan dengan baik. Belum pernah ada testing tertulis, tes terbaik yaitu try out langsung- melalui training konsultan ini. Lalu, bagaimana memulai hubungan dengan calon klien? Melalui tender/cara lain? Anda harus memiliki CV yang menarik.

M. Faozi mempertanyakan kembali, kesulitan di PKMK, PKMK tidak bisa masuk ke tender padahal tender merupakan prasyarat keuangan. Prof. Laksono memberikan solusi, yaitu PT Gama Multi- tender untuk ke luar. Selain itu, kemitraan jangka panjang, itu yang diarapkan.

Anastasia Susty mempertanyakan bagaimana menyadarkan tentang kebutuhan jika tidak terkait langsung bisnis utama?. Prof. Laksono menegaskan RS harus mempunyai laporan akuntansi. Tidak bisa membangun laporan tanpa pendampingan konsultan.
Hanevi Djasri mempertanyakan di PKMK, bagaimana cara membangun kepercayaan konsultan muda, saat pemaparan data belum tentu dipercayai. Prof. Laksono, kita harus rumuskan pakem cara berpikir dalam menyelesaikan masalah. Maka, melalui pakem kita akan menemukan trik untuk mendapatkan kepercayaan.

Selanjutnya, kisah PKMK FK UGM yang sedang mendampingi Dinkes Balikpapan untuk Manual Rujukan (MR KIA). Program ini akan mengajak Unmul untuk dilibatkan. Hal tersebut disambut baik Unmul melalui perwakilannya, yaitu Krispinus Duma. Melalui kegiatan tersebut, Unmul dapat berfungsi baik untuk wilayah sekitarnya hingga Kaltim.

Hal lain yang menjadi keresahan Prof Laksono ialah banyaknya konsultan asing yang bekerja di Indonesia. Prfof. Laksono dan Ina Herawati akan membawa rekomendasi ke Kemenlu agar Kemenku dapat menerbitkan ijin kerja untuk konsultan internasional itu jika mereka melibatkan orang Indonesia.

Hersumpana mempertanyakan bagaimana cara agar mudah melobi? Prof. Laksono menjawab, kita harus jeli melihat kebutuhan dan karakter klien sebelum menentukan teknik lobi. Hal ini juga menjawab pertanyaan Mulyadi (Aceh), apakah ada pedoman meyakinkan klien?
Proses kegiatan konsultan meliputi diagnosis, rencana, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan mengakhiri.

Dwi Handono mempertanyakan dalam konsultasi, permintaan klien berkembang.Bagaimana biar bisa seimbang? Prof. Laksono menyarakan jika ada yang baru, maka kontrak baru tanpa tender (wid).

 

 

Kompetensi dan Pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi Konsultan Profesional

back  kembali ke Jadwal   video part 1  video part 2

Bagian I

28feb1Memulai kegiatan pelatihan konsultan yang dihadiri oleh peserta yang berasal dari Yogyakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, dan peserta yang berasal dari berbagai tempat lain yang dihubungkan dengan metode webinar. Prof Laksono sebagai pemateri dalam pertemuan kali ini membuka kegiatan bersama peserta dari Aceh.

Pada bagian pertama dalam sesi ini dibuka dengan penjelasan konsepsi dasar konsultan. Dijelaskan bahwa konsultan adalah orang yang mampu mengemban dan menyelesaikan tugas atau permasalahan tertentu. Untuk itu, sebagai konsultan harus dapat memiliki ketrampilan antara lain, pertama, ketajaman dan pemahaman bisnis; kedua, manajemen proyek pengembangan pribadidan professional; ketiga, memiliki cara berpikir proaktif dan analitis; keempat, intelegensi emosi; kelima, komunikasi efektif dan interpersonal; keenam, profesionalisme dan etika.

Namun, jika melihat pasar saat ini. Mereka sebagai konsultan harus mengetahui keahliannya pada bidang apa saja. Konsultan juga disarankan untuk tidak boleh secara teoritis namun harus secara riil dapat menggambarkan dan memberi target dalam mengatasi suatu masalah. Prof. Laksono selanjutnya menambahkan bahwa konsultan juga seharusnya pandai berkomunikasi efektif dengan klien dan harus betul-betul memahami klien serta kasus-kasus yang dihadapi.

Pertanyaan pertama dalam pelatihan ini dilontarkan oleh Heru Aryadi terkait adanya subspesialisasi pada PPK BLUD, manajemen keuangan dan lainnya saat ini. Pemateri memaparkan bahwa saat ini belum ada konsultan yang sangat spesialis dalam bidang-bidang itu.

Pertanyaan selanjutnya terkait persepsi yang berbeda pada hasil akhir terkait dokumen dan hasil analisis, namun sering sekali kerjasama belum dinyatakan selesai dan menimbulkan masalah antara dua pihak. Prof Laksono menjelaskan bahwa kontrak yang jelas pada awal kerjasama tidak akan mengakibatkan hal seperti demikian akan terjadi. Sehingga akhir hubungan kerja dapat menyenangkan bagi kedua belah pihak.

Pertanyaan dari Hanevi Djasri (peneliti PKMK FK UGM) menyangkut kompetensi yang harus dimiliki konsultan, maksudnya bukan hanya penulisan laporan ataukah hanya kompetensi terkhusus. Pemateri menjelaskan diskusi dan materi pada pekan ini dan selanjutnya menyangkut kompetensi apa yang dimiliki dan apa yang dibutuhkan oleh seorang konsultan.

Pertanyaan berikutnya datang dari Putu Eka (penetkiti PKMK FK UGM) yang menyatakan bahwa Intelligent emotional (dimiringkan) sangat diperlukan oleh seorang konsultan, maka mentoring perlu dilakukan oleh konsultan senior kepada konsultan muda. Pak Laksono menjawab bahwa hal tersebut memang jarang ditemukan, namun akan dijawab khusus pada salah satu sesi mendatang.

Bagian II

28-2Diskusi pada bagian kedua diawali oleh diskusi kecil mengenai identifikasi klien setiap tim/divisi. Beberapa divisi diberikan kesempatan untuk memaparkan klien yang membutuhkan jasa mereka. Dalam materi ini juga disampaikan bahwa lembaga konsultan dapat lebih baik menghadapi tantangan dibandingkan dengan konsultan individu, sebab konsultan individu tidak mampu menyelesaikan masalah manajemen.

Dalam lembaga konsultan atau firma terdapat beragam pelaku yang bekerjasama. Pelaku itu terdiri atas pemimpin projek, negosiator,penasehat konseptual, analis, penulis laporan, hingga pelaku di lapangan. Sementara itu, tingkatan konsultan dalam pelaku itu dapat dibagi kedalam konsultan utama, menengah, dan konsultan muda.

Muh. Faozi (peneliti PKMK FK UGM) memberikan pandangan tentang salah satu hambatan konsultan pada divisinya sendiri yang dinilai belum memadai, yaitu pada saat klien meminta laporan yang memiliki tata bahasa asing yang baik. Maka hal tersebut perlu meng-hire (dimiringkan) tenaga ahli lainnya.

Elisabeth dari PKMK FK UGM menanyakan penentuan level konsultan lembaga yaitu penggolongan utama, menengah, dann muda. Dari pertanyaan tersebut, Prof. Laksono menyampaikan bahwa mereka yang disebut senior ketika sudah menjalani proses: magang, bekerja sekian tahun dan dipercaya klien. Namun, yang terpenting untuk dapat disebut konsultan harus lulus kompetensi dasar dulu.

Atik Tri Ratnawati menanyakan apakah seorang konsultan harus menguasai banyak keahlian seperti penguasaan software? Atau cukup tahu dan orang lain yang mengerjakan? Jawaban dari Prof Laksono menyatakan bahwa hal tersebut akan bergantung situasi. Untuk konsultan manajemen harus menguasai statistik, untuk analis khusus maka harus menguasai beberapa hal sekaligus.

Pertanyaan terakhir dari pertemuan ini disampaikan oleh Putu Eka dari PKMK FK UGM terkait jenis konsultan yang paling baik di antara konsultan firma dan perorangan. Jawaban dari Prof. Laksono menyatakan sebaiknya bergabung dalam firma/lembaga konsultan.

 

 

“Pakem” Sebagai Pegangan Kerja

7mart-1

  kembali ke Janodwal  video part 1  video part 2  video part 3

7mart-1Sesi pelatihan konsultan kali ini dimulai pada pembagian kelompok konsultan. Peserta yang tergabung dalam kegiatan ini terdiri dari peserta webinar dari dinas kesehatan NAD, Jakarta, Kalimantan, dan peserta dari RSUP Sardjito dan konsultan PKMK yang melakukan tatap muka langsung di Yogyakarta. Kelompok pelatihan terbagi atas kelompok konsultan KIA, manajemen penyakit menular, manajemen rumah sakit, pembiayaan kesehatan, pengelolaan data dan informasi, kebijakan/program penanggulangan bencana, dan kelompok konsultan manajemen mutu dan pemberantasan fraud/korupsi.

Materi yang disampaikan oleh Prof Laksono menekankan pemahaman pakem bagi setiap konsultan. Menurut beliau, setiap konsultan membutuhkan pakem dalam pelaksanaan konsultasi. Hal ini disebabkan karena masalah yang dihadapi klien tidak dianggap sebagai suatu proses seni yang sulit direkayasa dan dilakukan berulang, melainkan memiliki target yang jelas dan pola yang terarah. Seperti yang dicontohkan pada dokter spesialis yang mengatasi masalah dengan kerangka konsep yang jelas.

Setiap kasus dalam pemberian jasa konsultan perlu melihat kompleksitas masalah yang tentunya akan menggunakan pakem beragam pula. Pengatasan masalah dilakukan dengan pemahaman mendalam oleh konsultan. Permintaan jasa konsultasn berasal dari dua hal pokok, yaitu klien yang memiliki masalah dan membuthkan pendampingan, dan ekspresi yang ditunjukkan oleh klien dalam hal permintaan pendampingan kepada konsultan.

Pertanyaan pertama dalam pelatihan ini datang dari bapak Martinus Sutena yang menanyakan tentang cara penentuan masalah dalam suatu daerah apakah ditentukan oleh konsultan atau klien itu sendiri. Prof Laksono memaparkan bahwa jasa konsultan akan diminta oleh para klien yang mengekspresikan kebutuhan/permasalahannya.

Pertanyaan berikutnya berasal dari Mustofa yang menanyakan cara memberi pemahaman kebutuhan kepada klien. Prof Laksono sendiri menjawab bahwa hal tersebut harus menjadi salah satu keterampilan konsultan. Pelatihan ini akan mencoba mengembangkan keterampilan tersebut untuk setiap konsultan.

Sementara komentar dari Cristinus menyatakan bahwa pekerjaan konsultan kedengarannya memiliki sebuah gengsi, namun jika jenis konsultan adalah individu maka masih tetap susah ditemukan oleh klien-klien yang membutuhkan. Heru Ariadi menambahkan bahwa klien sering menghadapi kendala internal salah satunya adalah hal mendasar seperti keterbatasan SDM dan alat kesehatan di rumah sakit. Namun terkadang klien tersebut tidak dapat melakukan dan memungsikan kemampuan eksternal. Mereka sendiri tidak tahu untuk melakukan apa dengan masalah yang dihadapi.
Prof Laksono menyebutkan bahwa unsur konsultan, klien, dan penyandang dana merupakan konteks proyek di Indonesia. selain itu, jasa konsultan tetap harus menerapkan prinsip proyek karena pada prinsipnya proyek dan kosultan memiliki target dan masa kerja yang jelas.

Ina hernawati menceritakan pengalaman terkait pada proyek kementrian yang pernah mengadakan bidan desa di salah satu daerah, namun kompetensi bidan yang didistribusikan di daerah tidak begitu baik, sehingga capaian target menjadi terhambat. Pelaksanaan proyek ini dilihat tidak seharusnya hanya berlangsung selama 3 tahun. Selain itu monitoring dan evaluasi dari lembaga indepent harus dilaksanakan pada saat pertengahan dan akhir kegiatan agar kinerja dapat optimal.
Prof Laksono menanggapi dengan menunjukkan contoh pada evaluasi MDG yang dianggap berhasil atau gagal. Pusat harus membawa program yang lebih detil ke kab/kota untuk memperjelas pola tindakan dan pola kerja yang dilakukan. Dalam hal seperti ini seharusnya melibatkan konsultan yang independen. tim yang berani, dan memiliki tantangan atau hasil yang jelas. Tidak semata pada peningkatan angka K1 tapi penurunan kematian absolut.
Paket-paket dalam pakem dapat dikelompokkan dalam beberapa macam pertimbangan seperti penyesuaian pada kebutuhan kliem, kemampuan klien, hingga kelayakan pelaksanaan. Pengalaman seperti ini dapat dibagikan oleh para konsultan senior kepada para konsultan muda. Dalam system pemaketan ini biasanya para konsultan lebih cenderung mencari masalah yang besar seperti pada AKB tinggi di suatu daerah dikarenakan hasil dari sebuah intervensi akan terlihat sangat signifikan atau tampak menunjukkan perubahan AKB.

Pertanyaan dari peserta di Aceh terkait perbedaan pakem yang diterapkan dalam projek. Prof Laksono menjawab bahwa pelatihan ini dikembangkan untuk menyusun sebuah pakem baru, dan ajang pembelajaran bagi konsultan muda diluar waktu kerja. Sehingga selain saran dari konsultan senior, para konsultan perlu mencari referensi pendukung pakem yang disusun bersama.

 

 

PKMK FK UGM Resmi Membuka Pelatihan Konsultan

 

rteater

Memahami pekerjaan Konsultan di bidang Kesehatan dan “Pakem”
sebagai pegangan kerja

materi  video

PRA SESI

  • Kegiatan pelatihan dilakukan dengan para senior (konsultan), sehingga menjadi ajang untuk pembelajaran bagi para konsultan/peneliti muda
  • Perorangan cara webinar
  • Perkenalan anggota PKMK (peneliti/konsultan) dan Pusdatin Kemenkes
  • Penjelasan mengenai latar belakang dan gambaran kegiatan pelatihan konsultan
  • Pembasan jadwal pelatihan
  • Materi terkait materi dasar konsultan, kompetensi, hingga pembahasan klien
  • Pertanyaan : ada solusi jika tidak dapat hadir dalam webinar? Based on webinar sehingga dapat dilakukan dimanapun, selain itu pada website telah disediakan video pelatihan sebelumya.

SESI I

  • Siapa konsultan itu? Pemberi saran yang telah dianggap expert di bidangnya
  • Perbedaan dosen, surveyor/peneliti dan konsultan
  • Konsultan ada karena klien membutuhkan jasa seseorang yang mampu menyelesaikan masalahnya
  • Konsultan memiliki kemampuan peneliti, problem solving, dan lainnya.
  • Terdapat perbedaan antara konsultan manajemen dan teknis,
  • Konsultan manajemen membutuhkan skill tersendiri yang dibangun biasanya lebih lama.
  • Ciri konsultan manajemen yaitu berhadapan dengan eksekutif puncak, membutuhkan citra yang baik, harus mempunyai kemampuan tinggi, berorientasi pada puncak dan klien
  • Kunci keberhasilan konsultan adalah bagaimana memberi kepastian pada tingkat keberhasilan.
  • Menjadi konsultan yang lebih baik dengan memberi hasil yang riil.
  • Apakah dapat diterapkan konsultan teknis sekaligus manajemen dalam proyek? Jawaban; konsultan manajemen dan teknik itu akan berbeda sesuai dengan pekerjaannya. Kosultan teknik biasanya jelas asosiasinya, namun konsultan manajemen hingga saat ini belum jelas
  • Pertanyaan : diagnosa vs akar masalah? Diagnosa dan akar masalah sebenarnya tidak ada bedanya
  • Bagaimana membedakan konsultan manajemen dan teknis? Caranya, dengan menjelaskan kepada klien tentang kompetensi konsultan agar tidak terjadi multitafsir.
  • Konteks pemberian solusi adalah fungi konsultan
  • Pendapat: konsultan sebagai pendamping, harus menghilangkan ego. Sebab ego masih sering dimiliki para dosen dan peneliti.
  • Pendapat: konsultan bukan sepenuhnya pendampingan karena setiap konsultan dapat melakukan eksekusi dan bertanggung jawab hingga akhir projek
  • Pertanyaan: konsultan manajemen harus memiliki altenatif yang lain karena masalah kesehatan biasanya memiliki masalah lainnya.
  • Konsep evidence based dapat diterapkan oleh konsultan agar dapat ditawarkan kepada klien

Notulen: Faisal Mansur (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)

Jadwal Pelatihan Pengembangan Konsultan Manajemen Kesehatan

klik disini

 

 

 

Hari ke V The 14th World Congress on Public Health

15feb15-1

Human Rights and Law as tools for sustainable development

Co-Chairs: Dr David Butler-Jones, Senior Medical Officer, First Nations and Inuit Health Branch, Health Canada and former Chief Public Health Officer of Canada and DrYogendra. K. Gupta, Professor & Head, Department of Pharmacology, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi.

Pembicara :

  • Sharon Friel :Professor of Health Equity & ARC Future Fellow,ANU College of Medicine, Biology and Environment and ANU College of Asia and the Pacific, Australia
  • Martin McKee :Professor ofEuropean Public Health, London school of Hygene and Topical Medicine. UK
  • JavedRahmanzai : Member Governance council, Executive Board Member Afghanistan
  • Y.K Gupta
  • K.SrinathReddy :President , Public Health Foundation of India
  • Dinesh Thakur : Consultant on Drug Manufacturing, EX- Ranbaxy Laboratories

15feb15-1

Pleno kali ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam berbagai pengalaman dan pendapat tentang bagaimana hak asasi manusia dan hukum dapat diintegrasikan dan mampu menjadi pilar kebijakan kesehatan masyarakat dalam tindakan maupun kegiatannya.

Sharon tertarik pada :

  • Konsep dan integrasi dari berbagai disiplin ilmu dalam meningkatkan kesetaraan kesehatan (Health Equity)
  • Adanya aturan dari faktor-faktor struktural dalam mempengaruhi ketidakadilan kesehatan termasuk perdagangan dan investasi, urbanisasi dan perubahan iklim.
  • Analisis dari proses kebijakan dan efektifitas dalam menangani ketidakadilan kesehatan
  • Menerapkan system teori-teori keilmuan dan metode-metode untuk study Kebijakan public yang sehat dan adil.

Pembicara lain yaitu Rahmanzai memberikan pengalaman mengenai kondisi pengungsi yang berada dalam daerah konflik dan perang. Dimana kondisi ini menimbulkan banyak orang kelaparan dan menderita. Rahmanzai mengajak semua peserta untuk bersama-sama berpikir untuk keadaan ini dan melihat secara global bahwa pengungsi di daerah konflik adalah suatu masalah yang besar, dimana saat kita melakukan politik, membuat regulasi dll tetapi faktanya belum dapat memecahkan masalah kebutuhan kesehatan publik pada masyarakat yang berada di daerah konflik. Apa sebenarnya isu terbesar terhadap kesehatan publik pada masyarakat di konflik zone? Seorang peserta juga mengingatkan masalah pengungsi yang diakibatkan oleh bencana. Sehingga mungkin kita juga bisa melihat kasuspengungsi yang diakibatkan oleh keadaan bencana di Indonesia contohnya pengungsi gunung meletus Rokatenda dan di Sumatera Utara, mereka telah berbulan-bulan berada di kampung pengungsian. Apakah yang dibutuhkan mereka saat ini terkait dengan kesehatan dan makanan sudah laik? Pembicara ini juga mengatakan bahwa kita harus ikut bekerja dan masuk dalam sistem dan tidak hanya sekedar memberi konsumsi pada pengungsi. Ahli epidemiologi sangat dibutuhkan dalam penyiapan data, sehingga kita tidak hanya menggunakan pemberitaan media.

Pembicara lain bercerita tentang tiga pilar dalam kebijakan publik terhadap susteinabilitas kesehatan masyarakat yaitu :

  • Ekonomi
  • Sosial
  • Lingkungan

Ketiga pilar tersebut saling mendukung, terutama pilar sosial dan lingkungan yang sangat besar dalam mendukung ekonomi dan ini jelas terkait kesehatan publik. Isu hak asasi manusia ini termasuk dalam kapabilitas manusia dan kapabilitas kesehatan seperti kesetaraan kesehatan (health equity), udara bersih dan air bersih.

Pembicara terakhir bukan seorang dokter melainkan seorang pengusaha dan ahli dalam obat-obatan bercerita bagaimana pengembangan produk biomedis, regulasi dan teknologis informasi obat. Beliau mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang yang anti terhadap obat generik karena obat generic adalah obat sehat dan ekonomis, namun terdapat problematik sistem terhadap obat generik. Dalam pemberian obat seperti antibiotik juga seringkali menjadi masalah sehingga banyak dijumpai resistensi obat di masyarakat. Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia bahwa banyak terdapat pemberian obat yang seringkali tidak sesuai kebutuhan dan bagaimana pemahaman masyarakat terhadap antibiotik yang dapat dibeli dengan bebas yang mengakibatkan resistensi dikarenakan mengkonsumsi dengan tidak sesuai yang seharusnya.

Beliau juga bercerita bahwa ada perusahaan obat yang dialaporkan melakukan penipuan yaitu pemalsuan data obat dan melanggar Good Manifacturing Practices (GMP) dan Good Laboratory Practices (glp), sehingga perusahaan tersebut membayar dari tuntutan yang diberikan.

Efektivitas sistem kesehatan memiliki dampak besar pada morbiditas dan mortalitas, terutama di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah dimana kapasitas pengawasan obat lemah.

Beliau juga mengatakan bahwa di India dibutuhkan quality control dan quality insurance, agar tidak terjadi pemalsuan obat dan label obat. Terhadap obat generik perlu akses Good Quality Medicine.

Situasi ini akan dijadikan bingkai yang utama untuk masuk dalam masalah hukum kesehatan masyarakat dan akan disajikan menjadi suatu kasus dalam perjanjian global yang baru.

Output yang diharapkan yaitu ini akan menjadi kerangka kerja untuk kebijakan WFPHA dan aksi pernyataan untuk pendekatan kesehatan masyarakat.

Drug & medicine quality-the case of falsified and falsely-labeled medicines-WFPHA

15feb15

Sesi ini bertujuan untuk menunjukkan pentingnya kualitas obat sebagai penentu kesehatan dan berdiskusi sehingga mendapatkan dukungan terkait dengan konsep perjanjian internasional sebagai sarana mengatasi masalah peredaran obat-obatan palsu dan berlabel palsu. Panel menghadirkan dua pembicara dan dua pembahas yang dimoderatori oleh Dr. Amir Attaran.

  • Dinesh Thakur, expert and accomplished entrepreneur in pharmaceuticals, biomedical product development, drug regulation, and information technology
  • Prof Martin McKee, Professor of European Public Health at the London School of Hygiene and Tropical Medicine and President, European Public Health Association
  • Prof. Michael Asuzu, Professor of Public Health & Community Medicine, University College Hospital, Ibadan and President, Society of Public Health Professionals of Nigeria
  • L. Eugenio

Pengalaman peredaran obat palsu dan berlabel palsu dari Brazil dan Nigeria menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini berdampak pada kualitas sistem perawatan kesehatan yang dapat meningkatkan mortalitas. Sesi ini dikemas dalam hukum kesehatan masyarakat.

Beberapa poin penting dari sesi ini adalah

  • Kejahatan obat merupakan ancaman kesehatan dan kehidupan masyarakat
  • Semua obat yang beredar harus mempunyai kualitas yang bagus
  • Kasus obat berkualitas dipalsukan dan tingginya peredaran obat palsu
  • Kurangnya pengawasan obat sehingga memudahan obat palsu beredar
  • Belum kuatnya regulasi yang mengatur tentang sanksi peredaran obat palsu
  • Ada empat tipe kejahatan obat, mulai dari falsified medicine, obat yang kualitasnya dibawah standar, obat yang tidak terregistrasi, dan obat tiruan (palsu)
  • Peredaran obat palsu merupakan tindakan kriminal yang harus diberantas melalui kerjasama terpadu antara pembuat kebijakan, lembaga pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas), industri obat, penegak hukum, media dan masyarakat.

Sesi ini cukup banyak menarik perhatian anggota World Federation of Public Health Associations (WFPHA). Organisasi ini multi-professional non pemerintahan yang berfokus pada masalah kesehatan masyarakat. Namun, hingga saat ini PKMK belum  menjadi anggota WFPHA. Kasus di Indonesia bahkan dibeberapa negara lainya di dunia, masyarakat tanpa sadar mengkonsumsi obat palsu, akibatnya hal ini memperburuk kondisi bahkan menyebabkan kematian. Setelah menemui fakta ini, masyarakat dunia menyadari perlunya campur tangan semua pihak terkait seperti pengambil kebijakan, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, media, penegak hukum dan masyarakat tentang  bahaya obat.

Hari ke IV The 14th World Congress on Public Health

14feb15

Tiga delegasi PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM hanya mengikuti sesi plenary pada hari ke-4 konferensi dengan topik “Global Public Health Challenges” di ruang grand theatre. Ruang ini merupakan ruang terbesar diantara ruang lainya tempat sesi concurent, thematic, poster dan presentasi oral berlangsung. Berikut reportase plenary 4 yang diliput oleh dr. Tiara Marthias, MPH.

Co-Chair: Ulrich Laaser, WFPHA Past President (2012-2014)

Speakers:

  • Ilona Kickbush, Professor; Global Health Programme at the Graduate Institute of International and Development Studies Switzerland
  • Vesna Bjegovic, Professor of Public Health & President of Association of Schools of Public Health in the European Region (ASPHER), Belgrade University, Serbia
  • Frederika Meijer, Country Representative, United Nations Population Fund (UNFPA)
  • Tewabech Bishaw, Managing Director, Alliance for Brain-Gain & Innovative Developmetn; and Secreatry General, African Federation of Public Health Assocation, Ethiopia

14feb15

Sesi ini memberikan sejumlah pemaparan mengenai berbagai tantangan komunitas kesehatan masyarakat di level global dan juga negara atau kawasan di dunia. Sesi ini juga bertujuan untuk memaparkan berbagai perspektif seputar solusi-solusi yang dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan di era pasca 2015 (atau berakhirnya era MDG).

Beberapa tantangan utama yang masih ada termasuk masih tingginya angka kematian ibu dan anak di berbagai belahan dunia. Meskipun secara global AKI telah dapat ditekan hingga separuh dari angka pada tahun 1990, perkembangan kesehatan ibu dan anak dinilai belum optimal. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, diperkirakan tidak akan dapat mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam MDG 2015. Selain permasalah tersebut, penyakit tidak menular telah menunjukkan beban yang semakin meningkat, baik untuk negara maju maupun berkembang. Tantangan utama yang ketiga adalah keterbatasan dana kesehatan, yang merupakan masalah klasik yang terus-menerus dihadapi oleh berbagai negara.

Salah satu pembicara mengemukakan beberapa problema global yang saat ini ada dan perlu menjadi pertimbangan utama seluruh penduduk dunia karena masalah ini mempengaruhi seluruh negara dan juga lingkungan hidup. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  1. Global warming, dimana berbagai bencana alam seperti bajir dan juga kekeringan melanda berbagai negara di belahan bumi
  2. Global divides, yaitu semakin senjangnya status kesejahteraan dilihat dari masih belum tuntasnya masalah kelaparan dan kemiskinan
  3. Global security, masalah keamanan dunia ditunjukkan dengan begitu banyaknya tragedi perang saudara dan juga terorisme
  4. Global instability, dilihat dari sejumlah krisis finansial yang melanda negara-negara di dunia. Krisis ini tentu saja telah mempengaruhi banyak negara lainnya secara tidak langsung.
  5. Global health, dimana kesehatan belummenjadi salah satu hak asasi yang utama

Beberapa permasalahan menarik yang diangkat dalam sesi ini adalah masih buruknya sistem tata kelola atau governance di bidang kesehatan. Hal ini diilustrasikan dengan contoh pinjaman asing untuk kesehatan. Begitu banyak pinjaman dari pihak asing (misalnya World Bank) yang diberikan dengan asumsi negara-negara tersebut akan mampu membiayai kelanjutan program yang diimplementasikan. Padahal, menurut co-chair sesi ini yaitu Ulrich Laaser, pinjaman semacam ini cenderung memberikan kesan bahwa dana tersedia tetapi tidak memberikan kesiapan suatu negara dalam membiayai program tersebut secara mandiri. Sisi negatif lainnya untuk pinjaman asing ini adalah adanya asumsi bahwa setelah 2-3 tahun implementasi proyek pilot, program tersebut harus dan akan bisa dibiayai oleh negara. Faktanya, bukti keberhasilan program tersebut belum tentu positif dan bermanfaat bagi negara tersebut. Sebagai tambahan, pinjaman tersebut merupakan investasi negara (karena harus dibayar di kemudian hari), yang belum tentu terbukti cost-effective.

Hal-hal positif yang telah berhasil dilakukan di level global untuk bidang kesehatan antara lain adalah:

  1. Adanya sejumlah kesepakatan global mengenai visi kesehatan masyarakat, misalnya melalui MDG
  2. Telah adanya sistem akreditasi NGO, sehingga tidak sembarang NGO dapat mengerjakan proyek dan juga untuk menjaga kualitas program
  3. Konsep One Health yang mulai dikembangkan dan diadopsi oleh banyak negara
  4. Telah maraknya SWAp atau Sector-wide approaches dalam mengimplementasikan solusi di bidang kesehatan masyarakat

Beberapa pesan penting yang perlu menjadi catatan dan dibawa pulang dari sesi ini adalah:

  1. Agenda paska 2015 harus mengutamakan perbaikan sistem pembiayaan kesehatan, baik di level negara maupun global antar lembaga donor dan negara pemberi pinjaman
  2. Solusi yang ditawarkan untuk paska 2015 seharusnya tidak lagi terbatas pada solusi teknis atau programatik di bidang kesehatan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan perbaikan sistem pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang memiliki visi perbaikan status kesehatan bagi semua
  3. Investasi yang “pintar” adalah investasi yang memprioritaskan manusia–bukan program atau negara, atau lainnya–dan mengutamakan populasi yang rentan di bidang kesehatan. Investasi semacam inilah yang akan dapat mulai menjembatani jurang disparitas kesehatan untuk mengangkat status kesehatan seluruh populasi di dunia.

14feb15-1Setelah tiga delegasi PKMK mengikuti plenary, kami membagi policy brief dan pengalaman PKMK dalam menangani bencana dan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Memasuki sesi makan siang, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke exhibition Hangar tempat pameran poster berlangsung, disini terdapat banyak stan –stan menarik seperti Jhon Snow Inc, Taiwan helath promotion, WHO, atlas healthcare software dan lainya.

Konferensi ini juga menyediakan fasilitas untuk berkeliling Kolkata, tiga delegasi PKMK dan dua dari Indonesia lainya mengikuti tour. Kami diajak mengunjungi sungai Gangga. Delegasi Indonesia tidak kaget melihat kondisi sungai Gangga karena fenomena ini ibarat melihat sungai Ciliwung yang berada di Jakarta. Sungai ini digunakan sebagai media transportasi dan bahkan banyak masyarakat yang menggunakan air sungai Gangga untuk mandi. Fenomena lain yang juga menarik dari Kolkata, hampir setiap jalan yang kita lalui, di tepinya selalu ada aliran air sungai Gangga yang digunakan masyarakat kolkata mandi dan mencuci di pinggir jalan.

Reporter: dr. Bella Donna dan Eva Tirtabayu Hasri

 

Hari ke III The 14th World Congress on Public Health

kolkota13feb5

Plenary III: Public Health Approaches to Address New Challenges of Sustainable Development and Healthy Environment 

Reporter: Tiara Marthias
Co-Chair: Michael Moore, WFPHA Vice President, President-Elect

Speakers:

  • Howard Njoo, Associate Deputy Chief Public Health Officer, Public Health Agency of Canada
  • Bolormaa Purevdorj, Head of Department on Health Promotion, National Center of Public Health, Mongolia
  • Shu-ti Chiou, Director-General, Health Promotion Administration, Ministry of Health & Welfare, Taiwan
  • Maria Neira, Director, Public Health and the Environment Department, WHO
  • Michael Marmot, Director of International Institute for Society and Health, University College London (UK) and Chair of WHO Commission on the Social Determinants of Health

kolkota13feb5Sesi ini bertujuan untuk memaparkan dan membahas pengalaman serta berbagai wacana seputar tantangan agenda kesehatan global yang lebih menempatkan ekosistem kesehatan sebagai lanjutan dari post-2015 agenda kesehatan global. Ekosistem kesehatan ini merupakan upaya untuk lebih meningkatkan pencapaian status kesehatan dengan menempatkan manusia dan lingkungan sebagai entitas yang tidak terpisahkan. Sejumlah ide yang perlu dibahas lebih lanjut mencakup apa sebenarnya dan bagaimana pendekatan yang tepat untuk mencegah risiko kesehatan yang berasal dari ekosistem atau lingkungan sekitar?

Michael Marmot, pakar di bidang determinan sosial kesehatan, yang sebelumnya berhalangan menghadiri sesi plenari ke-2, hadir di sesi plenari ke-3 ini sebagai salah satu pembicara.

Bagian awal sesi ini lebih banyak membahas determinan sosial kesehatan dan kemudian dilanjutkan dengan sejumlah pembelajaran dan inisiatif yang berupaya untuk memperbaiki status kesehatan melalui upaya perbaikan determinan sosial kesehatan. Inti dari kesehatan masyarakat dapat dicapai dengan menjamin adanya keadilan sosial di berbagai aspek masyarakat, di dalamnya mencakup:

  • Pemberdayaan, baik di sisi materi, psikososial, dan juga politik
  • Menciptakan kondisi-kondisi di mana masyarakat dapat memegang kendali penuh atas hidup dan kesehatannya

Agenda untuk meningkatkan keadilan sosial (social justice) ini dapat diraih melaluiupaya-upaya berikut; (1) meningkatkan kondisi di mana masyarakat lahir dan hidup, (2) menurunkan kesenjangan yang berhubungan dengan kondisi ekonomi, serta (3) melakukan pengukuran terus-menerus untuk melihat progress atau kemajuan serta memahami alasan mendasar permasalahan yang ada di masyarakat.

Salah satu topik yang menjadi contoh dalam sesi ini adalah tentang inisiatif-inisiatif seputar penyakit tidak menular / NCD yang berupaya untuk mengatasi masalah dasar penyakit itu sendiri, yaitu dengan menyasar pada determinan sosialnya dan juga memperbaiki lingkungan hidup manusia itu sendiri. Sejumlah program atau inisiatif yang dikemukakan antara lain adalah studi implementatif SEWA atau program Parivartan yang berhasil meningkatkan penguatan masyarakat dalam perbaikan status kesehatan.

Contoh menarik lainnya adalah dari Canada dan Taiwan dengan permasalahan obesitas yang semakin meningkat. Salah satu program yang diimplementasikan yaitu memperkuat partisipasi masyarakat dalam penurunan berat badan. Imobilitas atau rendahnya aktivitas fisik memang merupakan salah satu determinan yang sangat mempengaruhi status kesehatan. Namun, tidak semua masyarakat memiliki kesempatan dan fasilitas untuk berolahraga secara rutin.

Sehingga, salah satu intervensi yang telah berhasil dilakukan antara lain adalah mengadakan sesi olahraga rutin yang ringan dan cukup singkat di lingkungan kerja, sekolah, dan di rumah. Inisiatif ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, di mana area studi di Taiwan menunjukkan bahwa sekitar 76% peserta berhasil menurunkan berat badan lebih dari 1 kilogram/bulan serta terdapat penurunan prevalensi berat badan lebih dan obesitas yang signifikan di daerah ini.

Di akhir sesi, seluruh peserta konferensi diminta untuk mempraktekkan sejumlah olahraga ringan yang telah didesain dapat dilakukan di lingkungan kerja secara sederhana. Kegiatan ini dipimpin oleh Shou-ti Chiou dari Taiwan dan diikuti dengan semangat dari para peserta.

Session 7: Session on Public Health in reproductive, maternal, newborn & child health ‐ A

Reporter: Tiara Marthias

Presenter:

  • Mubashir Angolkar (India) – A study of causes of perinatal deaths through verbal autopsy: A community based study
  • Tesfay Gebregzabher Gebrehiwot (Ethiopia) – Impact of health extension program in improving access to maternal heatlh care in Northern Ethiopia
  • Melanie Gibson-Helm (Australia) – Maternal heatlh and pregnancy outcomes among women of refugee background in Australia: A retrospective, observational study
  • Salib Adib (Lebanon) – Knowledge, attitudes and practices of newborn screening among women in greater Beirut
  • Julia Mazza (Canada) – Poverty and disruptive behaviors in early childhood: The mediating role of maternal depression and parenting
  • Md. Noyem Uddin (Bangladesh) – An assessment of iron folic acid supplementation during pregnancy in rural Bangladesh
  • Vivek Sharma (India) – Men: A key gatekeeper yet a challenging resource to tap in Family Planning: An assessment from Bihar

Sejumlah hasil penelitian seputar kesehatan ibu, anak, dan reproduksi dipaparkan di dalam sesi ini.

kolkota13feb2Pembicara pertama, Mubashir Angolkar dari India, meneliti apakah otopsi verbal yang disederhanakan dan dilakukan oleh bidan atau perawat yang dilatih di bidang kebidanan (auxiliary nurse midwife), akan menghasilkan penilaian otopsi neonatus yang sama dengan dokter. Penelitian ini telah melihat 187 kematian neonatus di sebuah wilayah di India, dengan disain cross-sectional. Hasilnya adalah hasil otopsi verbal yang dilakukan oleh paramedis dapat diperbandingkan cukup baik dengan hasil otopsi yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mengimplikasikan bahwa otopsi verbal tidak harus menunggu adanya tenaga medis di suatu wilayah, tetapi tetap dapat dilakukan dengan baik oleh tenaga paramedis yang mungkin lebih dapat diakses, terutama di daerah terpencil.

Pembicara kedua, Tesfay Gebrehiwot dari Ethiopia, memaparkan hasil program pengembangan pelayanan kesehatan ibu di sebuah daerah di utara Ethiopia. Ethiopia adalah negara terpadat kedua di kawasan Afrika, dengan AKI 471 per 100.000 kelahiran hidup. Program ini berhasil meningkatkan cakupan pelayanan persalinan oleh tenaga terlatih, tetap itidak secara signifikan meningkatkan program antenatal.

Peneliti ketiga merupakan peneliti dari Monash University di Australia, Melanie Gibson-Helm, yang melihat apakah para pengungsi yang melahirkan di Australia memiliki perbedaan dalam hal luaran kehamilan dengan warga Australia yang bukan pengungsi. Penelitian ini juga melihat apakah ada perbedaan dengan warga Australia turunan asing atau lahir di luar Australia tetapi bukan pengungsi. Faktor risiko lain yang menjadi variabel kontrol adalah usia ibu, jumlah paritas, dan status sosioekonomi. Hasil penelitian ini ternyata menunjukkan bahwa luaran kehamilan tidak berbeda baik bagi warga Australia yang merupakan pengungsi ataupun non-pengungsi. Memang terdapat beberapa keterlambatan atau kurangnya perencanaan persalinan di antara pengungsi ini, dan dapat meningkatkan faktor risiko persalinan yang tidak baik. Beberapa faktor yang membuat para pengungsi ini membutuhkan pertolongan tambahan adalah faktor budaya dan bahasa yang menyulitkan pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan.

Penelitian dari Lebanon melihat bagaimana screening untuk neonatus dilakukan di Lebanon dan apakah ibu melahirkan paham tentang pentingnya screening ini. Screening neonatus sangat relevan di Lebanon, karena 30% perkawinan dilakukan dengan kerabat dekat (dengan sepupu pertama atau keluarga dekat). Ternyata kurang dari setengah persalinan mendapat skrining ini, dan sebagian besar ibu bersalin serta tenaga kesehatan tidak terlalu memahami / tidak pernah mendengar tentang skrining neonatus. Hal ini merupakan agenda penting pemerintah dan masyarakat di Lebanon, di mana upaya kesehatan masyarakat perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya skrining neonatus.

kolkota13feb3Penelitian dari Kanada oleh Julia Mazza melihat apakah gangguan perilaku pada anak dipengaruhi oleh status ekonomi. Penelitian ini menggunakan dataset kohort di Quebec yang mengikuti sekitar 1.800 anak hingga usia 5 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memang kemiskinan mempengaruhi gangguan perilaku pada anak, di mana anak yang mengalami kemiskinan cederung lebih hiperaktif dan agresif. Dua faktor penting yang menjadi faktor perantara adalah bahwa kemiskinan mempengaruhi pola asuh (overprotektif) dan juga level depresi pada orangtua. Untuk agresivitas pada anak, ternyata sikap orangtua yang overprotektif justru menurunkan insidensi agresivitas pada anak. Sementara untuk variabel hiperaktivitas, orangtua yang overprotektif atau mengalami depresi justru meningkatkan level hiperaktivitas pada anak tersebut.

Penelitian terakhir dari India menunjukkan bahwa rendahnya partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana sangat perlu diatasi dengan lebih mengikutkan pria dalam program tersebut, terutama karena India memiliki sistem patriarkal yang sangat kuat.

Sesi presentasi oral ini membawa begitu banyak pembelajaran. Salah satu hal yang menarik dikemukakan oleh Barbara Walker sebagai moderator, negara-negara yang mempresentasikan topik KIA ini sangat beragam. Misalnya, skrining neonatus di Amerika dan Kanada adalah kewajiban rumah sakit dan telah menjadi program utama di bidang kesehatan masyarakat sementara Lebanon masih berusaha meningkatkan cakupan program tersebut. Namun, beberapa penelitian ini telah berusaha menggunakan metodologi yang bagus untuk melihat bagaimana program-program kesehatan diimplementasikan, hal ini merupakan nilai penting dalam semua inisiatif di bidang kesehatan dan sangat penting untuk dipublikasikan di level global.

Comprehensive control of cancer cervix – WHO SEARO

Reporter: Eva Tirtabayu Hasri

Speakers:

  • Global-Regional Situation of Cancer Cervix and Regional Framework on Comprehensive Control of Cancer Cervix: Dr Arvind Mathur, WHO-SEARO
  • HPV Vaccination: towards Healthier Girls, Women and Future: Bhutan Country Experience: TBC: Sangay Phuntsho
  • Country Situation of Cancer Cervix and progress in development of National guidelines for screening and management:
    • Nepal: Dr Meera Thapa Upadhyaya
    • India: Dr Lakhbir Dhaliwal, Professor and Head, Department of Obstetrics and Gynecology, Post Graduate Institute of Medical Sciences, Chandigarh and Chair of MOHFW, GOI Expert Group on Cancer Screening Guidelines
  • Development of Regional Training Package on “Cancer Cervix Screening and Management”: Dr Partha Basu, Professor and Head, Department of Preventive Oncology, CNCI, Kolkatta

kolkota13feb6Salah satu delegasi PKMK berkesempatan untuk mengikuti panel di ruang Hangar 2. Sesi ini bertujuan untuk mempertimbangkan situasi global dan regional kanker serviks, menyebarkan kerangka kerja strategi regional dan memfasilitasi pertukaran pengalaman negara. Pengalaman tiga negara yang mejadi bahan pembelajaran negara lainya yaitu Nepal, Bhutan, dan India.

Pengendalian kanker serviks di negara-negara anggota south-east Asia regional office (SEARO) tidak pernah menjadi prioritas. Negara-negara anggota SEARO adalah Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste. Wilayah ini mempunyai banyak popolasi penduduk. Tahun 2013 India menempati urutan pertama dengan penduduk terbanyak sebesar 1. 252.140 kemudian diikuti oleh Indonesia sebesar 249.866.

Negara anggota SEARO menyumbang hampir 175.000 kasus kanker serviks etiap tahun dan sebesar 284.823 wanita Asia terdiagnosa kanker serviks. 122.844 kasus per tahun kanker serviks terjadi di India, data ini menjadikan Indonesia menjadi penyumbang kanker serviks nomor dua setalah India yakni 20.928 kejadian per tahun. Di beberapa negara ini, jumlah perempuan yang meninggal karena kanker serviks sebanding dengan jumlah kematian ibu saat melahirkan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, kantor WHO wilayah Asia Tenggara telah mengembangkan kerangka kerja strategis regional kontrol yang komprehensif bukan spesifik berdasarkan kebutuhan tapi secara global dengan tujuan untuk memperkuat program pengendalian kanker serviks nasional melalui dua cara yaitu pencegahan primer melalui vaksinasi HPV dan pencegahan sekunder melalui strategi skrining kanker serviks dan pengobatan.

Free Papers 5: Health System development tools, priorities, advocacy & evaluation – C

Reporter: Bella Donna

Free paper yang penulis ikuti adalah Health System – development tools, priorities, advocacy, and evaluation. Ada 6 oral presentasi tetapi yang hadir hanya 3 orang, yaitu:

  • Understanding the politics of PRIs in provisioning of primary healthcare: A study of primary healthcare providers in Uttar Pradesh oleh Virendra Kumar
  • An evaluation of homecare need and quality of life among idividuals in a semi-rural area of western Turkey oleh Resat Aydin
  • Determinants of willingness to participate in community-based health insurance scheme (CBHIS) in a rural community of north western Nigeria
  • Community based health care financing: a bridge to accessible health care for rural households-Osun State, Nigeria, 2012 oleh Aishat Usman
  • District gap analysis (DGA) dashboard: decision making for policy makers/ managers to adress health system gaps in Assam, India oleh Ajitkumar Sudke
  • Local governance system for management of hospital: functionally of rogi kalyan samiti in north eastern states of india oleh Anil Thomas

Presenter pertama Resat Aydin dari Turkey dengan judul ” An Evaluation of homecare need and quality of life among individuals in semi-rural area of western Turkey “. Resat bercerita tentang penelitian yang dilakukan bahwa dari 99% masyarakat, ada 80% yang berkunjung ke dokter dan hanya 28 % yang mengikuti Home Health Services (HHS). Kebanyakan dari mereka berusia > 75 th yang menggunakan HHS sementara usia < 65 th jarang menggunakan HHS. HHS ini masih sangat perlu ditingkatkan agar angka harapan hidup didaerah tersebut meningkat.

Presenter kedua Abdulrazaq Gobir dari Nigeria dengan judul ” Determinants of willingness to participate in community-Based Health Insurance Scheme (CBHIS) in a rural community of North-Western Nigeria“. Studi ini menceritakan bagaimana menilai dan memahami keinginan daerah terkait dengan faktor sosial ekonomi terhadap Community Best Health Insurance Scheme (CBHIS). Salah satu yang menyebabkan kurangnya keinginan berpartisipasi adalah karena penerimaan gaji rendah sementara pengeluaran tinggi. Dan dari hasil yang didapat bahwa rata-rata responden memiliki satu istri ( 56.1%) dan anak antara 1-6 ( 54.2%). Dan 81.7% pekerjaannya adalah petani dan hanya education quranic.

Pendidikan dan pemahaman mengenai CBHIS melalui tenaga kesehatan serta skema implementasinya sangat direkomendasikan untuk dilakukan. Rumah tangga poligami harus ditargetkan karena mereka yang paling bersedia berpartisipasi.

Presenter ketiga Ajitkumar Sudke dari India dengan judul ” District Gap Analysis (DGA) Dashboard: Decision-making tool for policy-makers/ managers to address health system gaps in Assam, India“. Jumlah total populasi di Assam ada 31.1 juta jiwa, dengan perkiraan bayi sekitar 670.000 jiwa , 300 jiwa MMR tertinggi di India, juga 54 jiwa IMR tertinggi di India. Assam memiliki enam rumah sakit kabupaten, 241 puskesmas, 2480 ibu rumah tangga (RT). Hasil penelitian Ajitkumar mengidentifikasi beberapa kelompok-kelompok yaitu infrastruktur termasuk sanitasi, human resources, pelatihan, komoditi dan alat, keahlian petugas, reporting dan record, perhatian masyarakat terhadap kebersihan.

 

Health System Development Priorities for Public Health-JSI (India)

Reporter: Bella Donna & Eva Tirtabayu Hasri
Moderator: Sonali Kochhar

Speakers:

  • Murray Aitken, Executive Director, IMS Institute for Healthcare Informatics
  • John Durgavich, Regional Manager, USAID DELIVER Project, JSI
  • N. Orobaton
  • Rahul Mullick, Senior Program Officer, Information & Communication Technology, Bill & Melinda Gates Foundation

kolkota13feb7Panel ini diselenggarakan dalam bentuk talkshow, berbagai pertanyaan ditanyakan langsung oleh moderator kepada empat narasumber. Narasumber menceritakan pengalaman intervensi program oleh John Snow Inc (JSI). JSI berkolaborasi dengan beberapa komunitas, governments, fasilitas, dan individual untuk mengembangkan skill dan mengidentifikasi solusi yang dibutukan untuk kesehatan masyarakat.

N. Orobaton mengatakan banyak pemahaman mengenai government tetapi Orobaton sendiri mengungkapkan government adalah sebuah kelompok dari beberapa orang yang berkumpul jadi satu yang melakukan tugas sampai selesai. Government harus intensif, langsung dan mempunyai otoritas serta kekuatan tapi komuniti dan government harus saling berhubungan dimana gubernur membuat keputusan dan masyarakat memahami semua yang diputuskan misalnya keputusan government membuat obat kloroheksiden untuk mengurangi infeksi pada bayi baru lahir. Kemudian Rahul mengatakan bahwa manajemen obat jelas kebutuhannya ketersediaan, dan distribusinya. 42 % obat dikontrol oleh pemerintah India tanpa pengawasan dari luar.

Pengembangan sistem kesehatan memerlukan dukungan terus-menerus mulai dari government, kebijakan infrastruktur, penggunaan teknologi, pengumpulan dan penyebaran informasi, organisasi pengembangan tenaga kerja kesehatan di tingkat nasional dan kelembagaan, kualitas pelayanan kesehatan. Hal yang paling penting dalam pengembangan sistem kesehatan adalah transfer atau distribusi informasi sehingga adanya pemahaman bersama untuk perbaikan sistem kesehatan di wilayah Asia.

Maternal Death Surveillance and Response (MDSR) ‐ WHO SEARO

Reporter: Tiara Marthias
Moderator: M.D. Devkota

Speakers:

  • Arvind Mathur
  • K. Jayaratne
  • H. Bhushan
  • P.G. Kumar, Senior Demographer, Ministry of Health, Nepal

kolkota13feb1Sesi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang pengalaman-pengalaman seputar surveillans kematian maternal di beberapa negara, dalam framework penggunaan tool maternal death surveillance response (MDSR) dari WHO.

Berbagai negara yang dipresentasikan di dalam sesi ini menunjukkan beberapa tantangan yang serupa dengan Indonesia, seperti:

  • Masih belum adanya kewajiban dan penegakan peraturan seputar surveilans kematian ibu di seluruh wilayah
  • Keterbatasan waktu dokter, perawat, dan bidan untuk melakukan surveilasn ini
  • Tidak semua tenaga kesehatan terlatih dalam melakukan audit maternal perinatal dan memahami pentingnya surveilans kematian ibu
  • Tindak lanjut hasil audit sangat terbatas dan belum dapat mengatasi penyebab kematian sesungguhnya, seperti alasan keterlambatan rujukan dan sebagainya
  • Adanya isu kekhawatiran masalah sengketa hukum yang membuat para petugas kesehatan enggan membagi atau mengatakan kejadian kematian ibu yang sesungguhnya.

Beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman di berbagai negara ini adalah:

  • Dasar hukum yang kuat sangat dibutuhkan untuk mewajibkan surveilans kematian ini, hal ini juga memandai adanya komitmen politik di daerah tersebut
  • Sri Lanka merupakan negara di kawasan Asia yang memiliki kisah sukses dalam menurunkan angka kematian ibu. Sri Lanka telah membuat sistem surveilans atau pelaporan kematian ibu sebagai kasus yang wajib dilaporkan oleh seluruh petugas dan fasilitas kesehatan, baik sektor swasta maupun publik. Kementerian Kesehatan Sri Lanka memiliki pusat surveilans kematian ibu yang bertugas melakukan dan mengkoordinasikan surveilans kematian ibu, termasuk audit menyeluruh, diseminasi hasil temuan, serta tindak lanjut dari hasil temuan tersebut.
  • Negara-negara ini telah menempatkan sistem satu pintu untuk surveilans kematian ibu, sehingga seluruh data dapat ter-update dengan cukup baik dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait
  • Memang masih ada beberapa tantangan, seperti adanya under reporting kasus kematian, terutama karena stigma atau kekhawatiran adanya implikasi hukum terhadap pekerja kesehatan. Namun, hal ini sudah mulai diatasi, salah satunya dengan merancang proteksi hukum untuk kasus-kasus kematian medis yang tidak berhubungan dengan malpraktek
  • Surveilans kematian ibu ini didasarkan pada sistem pelaporan penyakit menular yang sudah jauh lebih mapan dan memiliki komponen yang sudah lebih lengkap di berbagai level pemerintahan.

Indonesia, yang belum mengadopsi sistem surveilans yang wajib dan menggunakan sistem yang seragam di seluruh daerah, perlu segera membuat dasar hukum yang menjadikan kematian ibu dan anak sebagai salah satu kasus yang harus dilaporkan hingga ke level nasional. Hal ini akan lebih menjamin keterbukaan kasus yang mengarah pada perbaikan sistem kesehatan dan bukan untuk mencari siapa yang harus disalahkan serta akan lebih membantu pengembangan intervensi yang lebih sesuai dengan kondisi daerah.

Hari ke II The 14th World Congress on Public Health

kolkota7

Reporter: dr. Bella Donna, M. Kes; dr. Tiara Marthias, MPH dan Eva Tirtabayu, MPH

Setelah mengikuti pre-kongres sehari sebelumnya, maka tiga delegasi PKMK mengikuti Kongres kesehatan masyarakat yang dimulai hari ini, 12 Februari 2015 di Kolkata.

kolkota7

Kolkata adalah ibu kota dari Bengal Barat dan merupakan kota terbesar di India setelah New Delhi. Kota ini cukup membuat kami selalu terkejut dengan suara klakson mobil maupun motor dari setiap kendaraan yang ada di jalanan. Mereka selalu membunyikan klakson setiap kali jalan, dan yang menarik adalah bahwa setiap kali tiba di perempatan lampu merah maka akan mematikan mesin dan mulai menyalakannya kembali saat lampu menyala hijau.

Pengalaman pertama bagi delegasi PKMK untuk menginjakkan kaki di Kolkata. Infrastruktur, sanitasi dan budaya Kolkata membuat kami bangga menjadi anak Indonesia. Potret kehidupan masyarakat Kolkata menjadi tantangan bagi ahli kesehatan masyarakat. Mungkin ini sebabnya konferensi diselenggarakan di sini.

Kegiatan kongres diselengggarakan di Science City Kolkata, melihat tempatnya maka kami teringat Taman Pintar Yogyakarta, namun bangunan tempat pelaksanaan plennary berlangsung cukup luas dengan ruangan berbentuk teater dan bisa menampung sekitar 2.200 orang. Sementara kegiatan lainnya seperti presentasi oral disiapkan di belakang gedung grand theatre dengan bangunan yang dibangun khusus untuk kongres kesehatan masyarakat yang ke-14.

Berikut laporan dari kongres yang kami ikuti:

Defining the Role of Public Health in Today’s Global Setting

Co-Chairs: Bettina Borisch, Head of WFPHA Geneva Secretariate Dipika Sur, Secretary General, IPHA

Speakers:

  • Reuben Samuel, Representative to India, WHO
  • Eduardo Campos, FIOCRUZ (Brazil)
  • Pekka Puska, President of International Association of National Public Health Institutions (IANPHI)
  • Rudger Krech, Director of Department of Ethics, Equity, Trade & Human Rights, WHO

kolkota2Sesi ini bertujuan untuk memaparkan sejumlah reformasi di bidang kesehatan masyarakat, dengan mengangkat hasil-hasil pembelajarandari sejumlah negara dan kawasan.

Pembicara dari Finlandia memaparkan langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah dan profesional kesehatan masyarakat dalam bidang promosi kesehatan, terutama dalam menjawab tantangan beban penyakit degenatif atau non-communicable disease. Salah satu hasil nyata adalah berhasilnya program pengurangan kadar lemak dalam susu. Upaya ini tidak terlepas dari faktor-faktor kunci dalam mempromosikan perubahan dalam sistem kesehatan, di mana semua faktor saling mempengaruhi:

13feb15

Berdasarkan pengalaman di Finlandia dan dari suksesnya beberapa program promosi kesehatan, instrumen utama yang dibutuhkan adalah adanya dukungan dari kebijakan dan institusi pemerintahan terhadap program tersebut.

Pembicara dari FIOCRUZ/Brazil dalam paparannya yang berjudul “Public health needs to be both technical and political – Brazil experience in sharing health equity agenda” mempresentasikan situasi Brazil yang masih menghadapi sejumlah masalah kesenjangan dalam kesehatan. Namun, satu hal yang sudah didesain dengan baik di Brazil adalah adanya platform kebijakan yang menekankan equity dalam kesehatan. Misalnya, dalam konstitusi Brazil tahun 1988, keadilan kesehatan atau equity in health telah dituangkan dalam setidaknya lima pasal mengenai kesehatan. Konstitusi ini juga telah memberikan dasar hukum untuk implementasi universal health coverage, dengan penekanan pada kualitas dan kesetaraan untuk seluruh masyarakat Brazil.

Brazil, dalam gerakan yang menjadi bagian dari inisiatif health in all policies, berhasil menelurkan sejumlah program kunci (tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi menjangkau lintas sektor), terutama setelah dibentuknya komisi untuk determinan sosial kesehatan melalui surat keputusan presiden;

  • Conditional cash transfer – berhasil mengangkat 30 juta populasi dari status kemiskinan
  • Sektor pendidikan – dengan menyediakan pendidikan gratis hingga universitas
  • Pembangungan perumahan skala besar
  • Penyediaan akses universal ke sumber air bersih, listrik, dan sanitasi
  • Pusat-pusat kebugaran di level masyarakat

kolkota1Saat ini, meski tantangan kesehatan masih ada, Brazil telah berhasil menempatkan sistem rujukan berjenjang di seluruh kawasan negara tersebut, dan merupakan negara ke-2 terbesar setelah Amerika Serikat yang menyediakan layanan transplantasi organ yang dibiayai oleh negara, serta memiliki sistem transportasi untuk gawat darurat kesehatan secara universal.

Kunci pembelajaran dari Brazil yang dapat dipetik adalah reformasi di bidang kesehatan dapat berhasil bukan karena masalah teknis atau sekedar berhasilnya program-program kesehatan, tetapi dengan menjangkau sektor-sektor di luar bidang kesehatan dengan cara menyatukan kebijakan-kebijakan agar perbaikan kesehatan dianggap sebagai salah satu tujuan utama yang mendukung perbaikan bangsa.

Pemaparan dari WHO Brazil menunjukkan beberapa tantangan kesehatan di India, termasuk tingginya angka kematian ibu dan prevalensi gizi buruk pada anak. Meskipun terdapat beberapa perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, masalah kesenjangan kesehatan di India masih sangat besar. Misalnya, tingginya pembayaran out of pocket payment (OOP) yang mencapai 40% serta banyaknya rakyat India yang jatuh ke dalam satus miskin akibat pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure). Faktor kunci yang berperan adalah determinan sosial, dimana kesenjangan ini banyak dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan dan pendidikan masyarakat yang timpang.

Langkah kebijakan yang dianggap penting untuk India adalah tindakan-tindakan yang menggabungkan pendekatan upstream dengan downstream, termasuk mengatasi masalah determinan sosial untuk kesehatan, memastikan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin equity, serta inklusi masyarakat ke dalam program-program kesehatan.

Rudger Krech dari WHO memberikan presentasi menarik tentang bagaimana agenda kesehatan telah menjadi agenda politik. Misalnya dalam pertemuan pimpinan negara G-7 di Jerman pada 2014, tiga dari enam agenda adalah masalah kesehatan. Sementara tiga agenda lainnya juga berhubungan dengan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah isu pemberdayaan perempuan.

Agenda kesehatan menjadi agenda politik karena beberapa hal, terutama di era globalisasi saat ini;

  • Kesehatan mempengaruhi sistem finansial. Di era globalisasi ini, keruntuhan ekonomi di satu negara akan (dan tidak dapat dihindari) mempengaruhi perbankan dan sistem keuangan negara-negara lainnya.
  • Kesehatan telah menjadi isu keamanan, hal ini dapat dilihat dari isu Ebola di Afrika sejak tahun lalu, di mana penyakit tidak mengenal perbatasan ataupun zona wilayah negara.
  • Kesehatan selalu merupakan masalah sosial yang mempengaruhi masyarakat di tingkat global.

Kepentingan politik ini juga telah membuahkan sejumlah inisiatif kesehatan global yang didukung oleh berbagai negara. Banyak sekali organisasi kesehatan global yang didanai oleh pemeirntah, berbagai peneltiian dan proyek kesehatan yang didukung oleh berbagai negara, hingga kolaborasi internasional yang saat ini sangat banyak dan berkembang pesat.

Namun, dari tragedi krisis Ebola yang terjadi akhir-akhir ini di kawasan Afrika Barat, nyata sekali bahwa sistem kesehatan masyarakat global belum dapat berfungsi sama sekali dalam mengatasi bencara semacam Ebola. Kegagalan ini terjadi di dua level:

  1. Di dalam negeri yang mengalami wabah Ebola, di mana tidak ada sistem kesehatan yang berfungsi sehingga kontrol wabah tidak berjalan dengan semestinya. Para pekerja kesehatan tidak didukung oleh pemerintah, baik dari segi alokasi pendanaan maupun regulasi yang mendukung sistem itu sendiri.
  2. Kegagalan kedua adalah di level global, yang lebih banyak dibahas dalam sesi ini. Komunitas kesehatan global ternyata tidak memiliki sistem koordinasi yang berfungsi. Hal ini dapat dilihat dari begitu lambatnya respon global terhadap wabah Ebola, yang menyebabkan kematian ribuan masyarakat dan ratusan pekerja kesehatan di berbagai negara. Komunitas kesehatan global juga mengalami kegagalan dalam memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, yang juga disebabkan oleh begitu terbatasnya koordinasi antar insitusi dan negara-negara di bidang kesehatan global.

Hasil diskusi sesi ini menggarisbawahi beberapa hal penting, yaitu:

  • Komunitas kesehatan global harus menghentikan kebiasaan eksklusivitas yang telah membatasi hubungan dunia kesehatan dengan bidang lainnya.
  • Tanpa perubahan yang nyata, sistem kesehatan global saat ini tidaklah berfungsi sebagaimana mestinya. Upaya harus dilakukan ke arah yang sama dan didukung oleh berbagai pihak, misalnya dengan mengkoordinasikan institusi dan berbagai negara untuk satu tujuan kesehatan global.
  • Perubahan sistem ini perlu dimulai dari perubahan dalam sistem pendidikan public health yang perlu lebih inklusif terhadap lintas sektor lainnya

kolkota3

Public Health Services in India – Progress and Prospects ‐ Ministry of Health & Family Welfare, Government of India

Ministry of Health, India:

  • Sanjeev Kumar
  • Manoj Jhalani
  • PK Sen
  • P Khasnobis

kolkota4

Sesi ini memaparkan sejumlah program kesehatan yang telah dijalankan di India, serta tantangan dan pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman di India.

India merupakan negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,2 milyar. India juga menghadapi berbagai tantangan kesehatan, misal Angka Kesehatan Ibu (AKI) di level 240 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 28 per 1.000 kelahiran hidup. Masalah penyakit menular serta tidak menular juga merupakan tantangan besar. Selain itu, disparitas status kesehatan di India cukup menyolok, dengan AKI yang mencapai dua kali lipat di beberapa daerah di India serta kesenjangan antar perkotaan dan pedesaan yang tinggi.

Sejumlah tantangan ini berhubungan dengan sistem kesehatan yang lebih luas, termasuk:

  • Terbatasnya alokasi dana untuk kesehatan, baik dari level pemerintahan union maupun state
  • Terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan continuum of care
  • Kualitas layanan kesehatna yang bervariasi antar level layanan dan daerah
  • Kurangnya sumber daya manusia untuk kesehatan
  • Keterbatasan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program kesehatan
  • Kurang terkoordinasinya program-program kesehatan yang bersifat vertikal. Hal ini terutama relevan dengan Indonesia yang sama-sama memiliki sistem pemerintahan yang terdesentralisasi seperti India.

Beberapa pembelajaran dari India yang dipaparkan dalam sesi ini adalah:

  • Keberhasilan program imunisasi universal
  • Diwajibkannya pembangunan fasilitas kesehatan khusus ibu dan anak di seluruh negara bagian di India
  • Inisiatif surveilans penyakit (saat terjadi wabah penyakit di India untuk kasus Japanese enchepalopathy) dan penanganan yang telah melibatkan tidak hanya kementerian kesehatan tapi ditanggulangi bersama-sama dengan kementerian lainnya. Selama ini, koordinasi antar kementerian masih terbatas. Namun, dengan adanya wabah ini yang diikuti oleh leadership yang serius, maka koordinasi lintas sektor dapat tercapai.

Community Health Workers: A critical resources in last mile delivery and improved health and nutrition-Bill & Melinda Gates Foundation

Speakers:

  • Shamid Trehan, Chief of Party, Bihar Technical Support Unit
  • C. Haworth
  • A Mukherjee

Sesi ini memaparkan berbagai penelitian dengan bantuan dari Bill & Melinda Gates Foundation. Bill & Melinda Gates mulai membantu India tahun 2003. Fokus bantuan meliputi empat sektor yaitu health, sanitation, financial services, dan agricultural development.

Ketiga pembicara memaparkan lesson learn yang telah dilakukan di Bihar untuk mengatasi masalah kesehatan, nutrisi, dan sanitasi. Kegiatan ini dikenal dengan communit health workers (CHWs).

Atmosfer budaya kesehatan masyarakat Bihar sama halnya dengan negara rural lainnya. Banyak ibu hamil yang tidak mau periksa kandungan ke fasilitas kesehatan, sanitasi juga tidak baik sehingga mereka bertiga membuat komunitas yang dikenal dengan ASHA. ASHA adalah kumpulan perempuan India yang bertugas untuk membrikan edukasi dan sosialisasi kepada ibu hamil hamil dan keluarganya.

Tiga pembicara pada sesi thematic session 2 memberikan Edukasi dan informasi melalui media mobile phone yang dikenal dengan mobile academic dan mobile kunjhi. Mobile academic adalah semacam pelatihan yang diberikan ke group ASHA melaui telpon sehingga mereka akan mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti sebagai trainer. Mobile kunjhi hampir sama dengan dengan mobile academic, mobile kunjhi berupa kartu-kartu yang berisi gambar, tulisan, nomor telpon dokter, emergency call, rumah sakit, primary care yang bisa dihubungi. ASHA memiliki rekaman suara dokter yang menerangkan tentang kenyamanan melahirkan di faslitas kesehatan maupun ditenaga kesehatan. Kegiatan ini ternyata meningkatkan kesehatan, nutrisi, dan sanitasi bagi ibu hamil maupun ibu yang memiliki anak di Bihar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa India mempunyai sanitasi yang tidak adekuat, hal ini terbukti dari 200.000 kematian pada anak-anak setiap tahunnya.

Public Health in the Sustainable Development Agenda

Co-Chairs:

  • Mengistu Asnake, WFPHA President
  • Madhumita Dobe, Organizing Secretary, 14th WCPH, IPHA

Speaker:

  • Maria P. Neira, Direcor of the Department of Public Health, Environment and Social Determinants of Health, WHO
  • Girindre Beeharry, Country Head of Bill & Melinda Gates Foundation
  • Purnima Mane, President and CEO of Pathfinder International
  • Shiriki Kumanyika, President of APHA

kolkota6

Sesi ini mengalami sedikit perubahan, di mana Dr. Michael Marmot belum dapat hadir di konferensi ini. Michael Marmot akan memberikan paparan pada esok hari (Jum’at, 13 Februari 2015) dan saat ini digantikan oleh Maria Neira yang juga merupakan ahli di bidang social determinants of health dari WHO.

Sesi plenari kedua ini bertujuan untuk membahas bagaimana posisi public health di era global seharusnya, framework yang dapat digunakan, serta bagaimana komunitas kesehatan global perlu saling bekerja sama di era pasca MDG yang akan segera dimulai pada tahun 2015.

Sejumlah paparan mengenai visi dan misi berbagai organisasi disampaikan, seperti misalnya APHA (American Public Health Association) yang saat ini mulai fokus ke isu-isu seputar kesehatan lingkungan dan One Health. Beberapa aspek penting yang disimpulkan dari sesi ini adalah:

  • Setiap organisasi memiliki visi dan misi masing-masing, tetapi agenda kesehatan global tetap menjadi target utama
  • Organisasi-organisasi dapat menjadi kuat karena memiliki dasar yang jelas mengenai: (1) apa yang akan dilakukan dalam jangka panjang, menengah, pendek, (2) siapa saja target audience kegiatan organisasi ini, serta (3) bagaimana caranya untuk mencapai agenda organisasi atau apa saja tool yang tersedia dan dimiliki oleh organisasi tersebut dalam melakukan kegiatannya
  • Organisasi seharusnya tidak berdiri sendiri dan bersifat eksklusif, tetapi justru mengedepankan agenda kesehatan dan komunitas di level global karena kita semua adalah pemain utama dan rekanan dalam mencapai status kesehatan global yang optimal.

 kolkota5