Oktober 2014

underline

Oktober 2014

Pada bulan ini, ada tiga Undang-Undang penting yang disahkan. Dari aspek pemerintahan, telah dilakukan pelatikan menteri Kabinet Kerja termasuk Menteri Kesehatan, di samping beberapa kegiatan lain.

UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Akhirnya, setelah melalui proses panjang, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disahkan di saat injury time tanggal 2 Oktober 2014 menjelang berakhirnya masa tugas DPR periode 2009-2014. UU ini merupakan revisi dari UU No. 32 Tahun 2004. Yang menarik, sebagai “induk”, UU ini kalah cepat pengesahannya dengan “anaknya” yaitu UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Terkait dengan sektor kesehatan, status kelembagaan rumah sakit di daerah menjadi tidak jelas. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) tentang Perangkat Daerah, dan Pasal 219 tentang Badan, tidak jelas bagaimana status kelembagaan rumah sakit tersebut. Hal ini bisa menimbulkan permasalahan tersendiri.Selanjutnya, yang masih ditunggu adalah revisi PP No. 38 Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007 yang merupakan “turunan” penting dari UU No. 23 Tahun 2014 ini. Seharusnya, kedua PP tersebut bisa terbit dalam masa kepemrintahan SBY sebelum 20 Oktober 2014 mengingat pembahasan draft-nya dilakukan secara paralel dengan revisi UU tersebut.


Pelantikan Menteri Kesehatan baru 27 Oktober 2014

Presiden Joko Widodo “akhirnya” memilih Prof. dr. NilaDjuwita F. Moeloek, Sp.M sebagai Menteri Kesehatan RI yang baru menggantikan dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH. Disebut “akhirnya” karena Prof. Nila sempat ramai diberitakan sebagai calon kuat Menteri Kesehatan 5 tahun yang lalu tetapi batal pada detik-detik terakhir. Meski batal menjadi menteri kesehatan, Prof Nila diberi kepercayaan sebagai Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium Development Goals (MDGs) saat itu. Salah satu tantangan yang dihadapinya adalah menurunkan kasus HIV-AIDS dan angka kematian ibu dan anak.
Tempo mencatat ada 5 agenda penting yang akan dilakukan ( https://kebijakankesehatanindonesia.net/23-agenda/2022-harapan-untuk-menkes-baru ) yaitu:

 Pertama

Pembangunan kesehatan merupakan investasi negara dalam menopang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, orientasinya harus didorong pada aspek promotif dan preventif, tanpa melupakan aspek kuratif dan rehabilitatif.

 Kedua

Pendekatan pembangunan kesehatan pada ibu hamil, bayi dan balita, anak usia sekolah dan remaja, pasangan usia subur, serta usia lanjut. Khususnya, di daerah populasi tinggi, terpencil, perbatasan, kepulauan, dan rawan bencana.

 Ketiga

Perlunya keterlibatan aktif dari kalangan akademis, komunitas, pelaku usaha, dan pemerintah menjadi kesatuan tim kerja. Hal itu dilakukan agar Indonesia mampu bersaing dengan negara lain.

 Keempat

Mengubah pola pikir dari pasif menjadi aktif untuk merespons serta mengantisipasi dari berbagai persoalan yang muncul seperti mengubah intruksi menjadi kerja sama, individualism menjadi team work, dan serve menjadi care.

 Kelima

Peningkatan tata kelola program dan administrasi seperti siklus manajemen, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pertanggungjawaban administrasi melalui sinergitas pusat dan daerah.

Hal yang menarik, dalam Kabinet Kerja saat ini, jabatan Wakil Menteri Kesehatan dihapuskan. Sebelumnya posisi itu dijabat oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD dari Fakultas Kedokteran UGM. Salah satu tugas penting beliau saat itu adalah “mengawal” persiapan dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Di dalam konteks pemerintah Jokowi ada pernyataan politik yang diberi nama Nawacita. Ada sembilan tujuan pemerintahan Jokowi yang perlu disimak untuk sektor kesehatan yaitu:

C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
C2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia
C6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
C7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
C8. Melakukan revolusi karakter bangsa
C9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial indonesia


Mukernas IAKMI 2014

Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)IAKMI ketiga belas tahun 2014 digelar di Padang, Sumatera Barat. Mukernas ini mempertemukan para ahli kesehatan serta masyarakat dari seluruh Indonesia. Tema yang diangkat kali ini (27-29 Oktober 2014) ialah Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat dalam Pembangunan Kesehatan Bangsa di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

kegiatan selengkapnya


Dalam bulan ini, terbit Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014

Sejak awal, Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 ini banyak menimbulkan kontroversi. Pertama, kontroversi terkait “urutan” perundang-undangannya. Idealnya, landasan utamanya adalah Sistem Kesehatan Nasional (SKN), kemudian dijabarkan dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berangkat dari Undang-Undang tentang Kesehatan ini kemudian muncul Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Secara logis, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 ini menjadi “induk” dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Keperawatan.Terlihat di sini bahwa semua logika hukum tersebut menjadi berantakan. SKN yang seharusnya menjadi dasar “hanya” berlandaskan Peraturan Presiden dan baru diterbitkan pada tahun 2012 (Perpres No. 72 Tahun 2012) yaitu 3 tahun setelah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diundangkan. Dengan kata lain, lahir “anak” dahulu baru “ibu.” Kemudian, yang lebih ekstrim adalah UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan jauh sebelum “kakek-neneknya” lahir.

Kontroversi kedua terkait dengan sudah “terlanjurnya” UU No. 29 Tahun 2004 lahir lebih dahulu, kalangan dokter menganggap muatan dalam UU No. 36 Tahun 2014 ini banyak terjadi duplikasi karena khusus untuk tenaga medis sudah diatur lebih dahulu.Terlepas dari itu semua, UU No. 36 Tahun 2014 ini membuka peluang lagi untuk wajib kerja bagi tenaga kesehatan (Pasal 28) yang merupakan solusi masalah maldistribusi tenaga kesehatan di Indonesia khususnya di Indonesia bagian timur. Hal lain yang menarik adalah bagaimana implementasi UU ini untuk wilayah seperti Papua dan Papua Barat yang terbatas jumlah SDM Kesehatannya.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014. Akhirnya perjuangan para perawat yang cukup lama berhasil mendorong disahkannya Undang Undang Nomor 38 Tahun 2014 di saat-saat akhir masa tugas DPR dan pemerintah lama tahun 2009-2014. Kontroversi yang muncul mirip dengan apa yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 mulai dari “urutan” perundang-undangan hingga substansinya yang dinilai terjadi duplikasi.

Hal yang menarik dari UU ini adalah perawat dengan pendidikan di bawah D3 tidak akan diakui. Selama ini, klasifikasi perawat adalah yang paling rumit dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain yaitu mulai dari PKC, lulusan SPK atau SMK, D1, D3, D4, S1, S2, dan S3. Dengan UU ini, perawat dengan pendidikan di bawah D3, masih diberikan kewenangan melakukan praktik keperawatan selama 6 tahun terhitung UU ini diundangkan (Pasal 61). Dengan kata lain, jika tidak bisa meningkatkan jenjang pendidikannya, maka pada tahun 2021, mereka tidak berwenang lagi melaksanakan praktik keperawatan.
Hal terakhir ini akan berimplikasi besar dalam kebijakan peningkatan pendidikan perawat di bawah D3. Jumlah mereka cukup besar sehingga akan berdampak terhadap institusi pendidikan keperawatan baik SDM, fasilitas, sarana-prasarana, anggaran, dan lain-lain.

Ada empat regulasi penting yang disahkan pada bulan Oktober 2014. Silakan klik link berikut lampiran

 

 

 

November 2014

underline

November 2014

Pada bulan ini, ada dua kegiatan internasional penting yang diselenggarakan. Kegiatan pertama adalah Pertemuan Pakar: Memperkuat kapasitas Peneliti dan PengambilKebijakan dalam Health Policy and System Research (HPSR) Geneva, Swiss3 – 14 November 2014. Prof. Laksono Trisnantoro dan tim reporter yang merupakan konsultan dan peneliti dari FK UGM mengikuti kegiatan ini.

kegiatan selengkapnya


Kegiatan kedua adalah NHCAA Annual Training Conference (ATC) 2014 (18 – 21 November 2014).
National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) Annual Training Conference (ATC) adalah forum anti fraud layanan kesehatan skala nasional yang diselenggarakan tahunan. Kali ini acara berlokasi di Hyatt Regency Hotel, Dallas, Texas, Amerika Serikat. Konferensi ini menghadirkan pembicara-pembicara dari berbagai institusi yang berpengalaman dalam upaya pemberantasan fraud layanan kesehatan.

Pelatihan ini terbagi dalam empat acara besar yaitu pre-conference, concurrent workshop, networking events, dan anti-fraud expo. Dalam acara pre-conference kita akan mendapatkan informasi dan berdiskusi lebih dalam tentang strategi anti-fraud layanan kesehatan. Berikut ini laporan dari PKMK (Puti Aulia Rahma).

kegiatan selengkapnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Januari 2014

underline

Januari 2014

Bulan ini merupakan saat mulai berjalannya Jaminan Kesehatan Nasional. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 60 ayat (1), mulai 1 Januari 2014 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang disahkan dan diundangkan tanggal 19 Oktober 2004, maka pelaksanaan jaminan kesehatan tersebut terlambat hampir 10 tahun. Meskipun demikian, keterlambatan ini tidak berarti persiapan pelaksanaannya menjadi matang. Terbukti banyak peraturan pelaksanaannya baru terbit di akhir Desember 2013 (misalnya Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 yang baru ditetapkan pada 27 Desember 2013).

Pelaksanaan jaminan kesehatan ini terkesan dipaksakan. Semangat yang dikemukakan adalah “sambil berlayar membangun kapal” atau sambil berjalan dilakukan penataan dan penyempurnaan. Akibat semua itu, banyak keluhan yang terjadi di awal-awal berlakunya jaminan kesehatan ini. Meskipun demikian, secara bertahap terlihat pengelolaan jaminan kesehatan ini semakin baik seiring dengan berjalannya waktu.

Terlepas dari itu, jauh sebelum pelaksanaannya dimulai, PKMK FK UGM menilai bahwa kebijakan jaminan kesehatan ini berpotensi menimbulkan inequity dalam pelayanan kesehatan. Daerah yang memiliki dokter spesialis lengkap akan lebih banyak menyerap anggaran BPJS dibandingkan dengan daerah tertinggal atau tidak diminati (terutama di Indonesia bagian timur) yang terbatas bahkan tidak memiliki dokter spesialis. Penilaian skenario ini terbukti makin terlihat seiring berjalannya waktu.


Dalam bulan ini juga diselenggarakan Kongres Perdana Indonesian Health Economics Association (InaHEA) “Menuju Era Ekonomi Kesehatan Indonesia”

Indonesian Health Economics Association (INAHEA) yang baru saja didirikan menggelar seminar dua hari tanggal 24-25 Januari 2014 di Bandung, Hotel Novotel. Kongres InaHEA pertama ini diselenggarakan oleh Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang didukung oleh Boehringer Ingelheim Jerman, Inhealth, Novartis, Sanofi, BPJS Kesehatan, Roche, NewIdea Tour. Selain presentasi abstrak-abstrak dari peserta yang telah diseleksi juga dibahas oleh pembicara internasional yang diundang, seperti tokoh ekonomi kesehatan Michael Drummond dan Manajer IHEA, Bill Swan.

Kegiatan Selengkapnya

Ada 10 Regulasi yang disahkan pada bulan Januari 2014. Silakan klik link berikut Lampiran

 

 

Repository on maternal child health: Health portal to improve access to information on maternal child health in India

Diskusi bulanan PKMK Knowledge Management terakhir tahun ini disampaikan oleh dr. Lutfan Lazuardi, M. Kes, PhD. Tema yang diangkat ialah kegunaan portal dalam Knowledge Management. Topik khusus yang diangkat terkait repository maternal. Repository ialah tempat untuk menyimpan, khususnya di website untuk menyimpan data tertentu (dalam paper ini ialah data maternal dan kesehatan anak). Sebelumnya, tema ini pernah termuat dalam bulletin WHO tahun 2005 yaitu sistem info kesehatan yang merupakan fondasi dari kesehatan masyarakat. Hal ini dikuatkan dengan jurnal BMJ yang diterbitkan pada 1997, 2/3 dari 50 juta kematian dapat diselamatkan dengan menerapkan pengetahuan.

Artikel ini membahas proses perkembangan project tersebut di India. Evaluasi terhadap mutu repository pada Juli 2010 sampai Desember 2011. Setidaknya ada 50 ribu kunjungan, dari 174 negara. Artikel ini dipublikasikan pada 2013. Data ini diambil dari sumber yang dapat dipercaya, bukan opini dan komentar, yang meng-upload-nya pun adalah orang tertentu yang dipilih. Sumber data berasal dari, kebijakan, program, guidelibe, report, case study, advokasi, materi pelatihan, statistic dan scientific article. Selengkapnya simmak artikel tersebut di sini (Repository on maternal child health: Health portal to improve access to information on maternal child health in India). Hal terpenting ialah tindak lanjut apa yang bisa dilakukan dari aktivitas ini.

Jadi, paper ini banyak menyinggung content management system, salah satunya ialah drupal yang merupakan open sourse software. Prinsip dalam open access yaitu ilmu pengetahuan berkembang jika disebarluaskan. Model yang inovatiif dan memungkinkan semua orang mengaksesnya. Angka mental- makin banyak unique visitor-makin rendah angka mental. Hal ini dapat dilacak dari analitik yang disediakan oleh mesin pencari Google. Google analytic membantu membaca kegunaan portal dan untuk kemudian dapat digunakanmemperbaiki yang kurang. Dr. dr. Rossi Sanusi, MPA menambahkan, google analytic untuk melihat page viewing per visitor, rata-rata waktu akses serta sumber lalu lintas.

M. Faozi Kurniawan, MPH mengungkapkan, website-website yang dikelola PKMK, selalu dievaluasi tiap minggu dan bulan. Kunjungan per minggu memberikan gambaran apa saja yang diakses, pengakses berasal dari mana dan kapan saja waktu aksesnya. dr. Rossi, mengusulkan karena pembaca website berasal dari berbagai stakeholder maka pengemasannya harus berbeda. dr. Yodi Mahendradata menyampaikan, setelah diskusi ini aka nada pertemuan yang membahas topic apa yang akan dibahas serta evaluasi apa yang kurang?. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada Januari 2015 (wid).

 

Research article Health Research Profile to assess the capacity of low and middle income countries for equity-oriented research

Diskusi Knowledge Management kesebelas diadakan di Lab Leadership, Gedung IKM Lantai 3. Pembicara kali ini ialah Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD, sementara dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD bertindak selaku moderator. Diskusi Knowledge Management bulan ini membahas tentang proses penyusunan kerangka konsep dan data pertanyaan dari 12 negara yang merupakan perwakilan dari masing-masing benua di dunia. Dari setiap benua diambil tiga negara, yang mewakili low, middle, high income country sesuai dengan Human Development Indeks (HDI) negaranya. Paper yang dibahas berjudul Health Research Profile to assess the capacity of low and middle income countries for equity-oriented research. Moderator dalam diskusi ini adalah dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD.

Paper ini dituliskan oleh beberapa orang peneliti dari berbagi negara dengan tujuan menilai dan mengukur kapasitas beberapa penelitian kesehatan di beberapa negara yang berorientasi pada equity (kesetaraan) dikaitkan dengan HDI dari negara-negara tersebut. Apakah semakin tinggi HDI suatu negara, maka akan semakin tinggi juga Health Research Profile (HRP) di negara tersebut? Hal lain yang ingin dilihat adalah apakah penelitian-penelitian nasional yang dilakukan bisa digunakan untuk penyusunan maupun pengambilan kebijakan. Hal tersebut diisampaikan oleh Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD, selaku pembicara.

Metode yang digunakan adalah koordinasi antara beberapa peneliti dari Asia, Amerika, Afrika & Eropa dengan melihat negara-negara yang telah melakukan penelitian-penelitian, dan membahas lima indikator yang merupakan kerangka konsep penelitian ini, yang meliputi : Health Research Priorities, Resources, Production, Packaging and Impact. Kajiannya menggunakan Panel Experts dengan Delhi Methods.

Beberapa hasil yang ditemukan dari penelitian yang dibahas adalah beberapa negara telah menginvestasikan anggarannya untuk penelitian, dimana Korea merupakan negara yang mengivestasikan anggaran paling besar bagi pengembangan penelitian kesehatan di negaranya. Hal ini berbanding lurus dengan statusnya sebagai salah satu high income country. Sementara itu, dalam proses pengemasan (packaging), sebagian besar menggunakan peer-review jurnal dimana 7 dari 12 negara melibatkan stakeholders dari awal pengambilan data dan pelaksanaan penelitian. Sedangkan dari segi Impact, sebagian besar negara telah menggunakan hasil dari penelitian tersebut untuk pembuatan kebijakan.

Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD menutup presentasinya dengan menyampaikan bahwa untuk mengembangkan penatalaksaan Knowledge Management diperlukan kajian research dengan kerangka konsep yang benar, dengan indikator yang jelas, pengambilan data akurat sehingga research tersebut dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Setiap negara setidaknya mempunyai kemampuan untuk melakukan kajian-kajian/penelitian.

Selengkapnya mengenai paper yang dibahas dapat dibaca di http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2458-6-151.pdf 

Sesi Diskusi

Salah seorang peserta diskusi mengungkapkan tentang realita di Batang, Pekalongan, dimana masih banyak hasil-hasil penelitian yang belum digunakan untuk pengambilan keputusan. dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD menanggapi pernyataan tersebut dengan menekankan pada proses packaging yang tepat. Penelitian-penelitian perlu dikemas dengan baik, tergantung audiensnya yang pada umumnya merupakan para birokrat atau pembuat keputusan. dr. Rossi menyampaiakan bahwa ini merupakan tugas dari Knowledge Management untuk mengadakan systematic review, dimana hasil penelitian diolah, sehingga tersedia hasil yang siap dipakai oleh stakeholders, berupa rekomendasi hal-hal yang harus dan tidak harus dilakukan. dr. Rossi juga menambahkan bahwa selain packaging dan impact perlu memperhatikan marketing, harus lebih pro aktif dalam memasarkan atau mempublikasikannya. Kajian ini harus lintas sektor, misalnya ke Pemda, tidak hanya ke Dinkes, tidak cukup hanya dipublikasi di website serta melibatkan stakeholders sejak pengumpulan data.

Peserta diskusi yang lain membagikan pengalamannya saat terlibat dalam proses penelitian Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Hal tersebut ditanggapi oleh dr. Yayi yang menyampaikan bahwa di Indonesia, kualitas para petugas surveinya masih perlu diperbaiki terutama untuk survei-survei nasional, juga dalam proses pengelolaanya. Kurangnya supervisi, menyebabkan data nasional seringkali tidak sesuai antara hasil survei yang satu dengan yang lain. Perlu rekruitmen, seleksi, pelatihan dan pengawasan yang baik dari supervisi agar hasilnya bermutu. Selain para petugas survei, hal lain yang perlu diperhatikan adalah alatnya valid, penggunaan alat related serta subjek harus tepat.

Pada sesi diskusi, dr. Rossi juga menambahkan tentang konsep segitiga yang dapat memindahkan gunung yang terdiri dari Policy-Civic Groups-Knowledge dan di tengahnya terdapat Knowledge Broker yang berfungsi sebagai penghubung antara ketiganya, yang bertugas mengelola pengetahuan menjadi siap pakai, bersifat pro aktif. Di Indonesia, Litbangkes seharusnya bertindak sebagai Knowledge Broker. Peran sebagai Knowledge Broker tersebut yang saat ini sedang coba dilakukan oleh PKMK melalui berbagai kegiatan, salah satunya kegiatan Knowledge Management yang sedang dilaksanakan ini (NIS)..

Materi Presentasi

{jcomments on}

Reportase Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era JKN

giri

Sambutan dan Pembukaan

giriPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Komisariat Fakultas Kedokteran UGM, pada hari Sabtu, 13 Desember 2014 menyelenggarakan Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar yang bertempat di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM tersebut mengangkat tema “Bagaimana Mengurangi Kesenjangan Geografis yang Semakin Besar?”. Membuka acara seminar, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk memberikan apresiasi kepada tim PKMK FK UGM dengan salah satu program Sister Hospital-nya di beberapa daerah khususnya daerah tertinggal, terbukti mengangkat derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga harapannya program dan dukungan ini dapat diteruskan.

Sementara itu Penanggung Jawab kegiatan, dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD mengemukakan dalam sambutan pembukaannya, bahwa fakta menarik dan paling mencolok yang ada di Indonesia adalah masalah kesenjangan. Baik kesenjangan dari pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi, termasuk pembangunan sektor kesehatan. Dan yang paling memprihatinkan, fenomena yang terjadi adalah kecenderungan banyaknya warga negara Indonesia di perbatasan yang memilih pindah ke negara tetangga karena merasa kurang diperhatikan di Indonesia.Sulitnya berbagai akses menuju kesejahteraan, salah satunya pelayanan kesehatan menjadi alasan maraknya fenomena tersebut. Oleh karena itu seminar kali ini, diharapkan akanmenghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diaplikasikan ke tataran kebijakan, untuk kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi nyata jangan hanya sampai pada tataran teoritis saja.

Demikian pula disampaikan oleh Ketua Kagama, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bahwa memang ketersediaan SDM dan fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan utama sektor kesehatan di daerah tertinggal. Oleh karena itu UGM yang menjadi pioneer pembangunan daerah tertinggal, tidak pernah berhenti untuk membantu perjuangan masyarakat di daerah tertinggal guna mendapatkan keadilan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.

 

SESI 1: Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

  Kementerian Kesehatan

bambang sMengawali sesi pertama kegiatan seminar, Staf ahli Kementrian Kesehatan RI Bidang Peningkatan Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Bambang Sardjono, MPH menjelaskan bahwa sesuai 9 agenda prioritas (nawa cita) Pemerintahan Jokowi-JK salah satunya ialah pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI. Namun fakta memprihatinkan yang terjadi di lapangan, masyarakat di perbatasan justru lebih senang mencari akses pelayanan kesehatan di negara tetangga karena dirasa lebih mudah. Bambang Sardjono juga membenarkan bahwa masalah kesenjangan masih merupakan persoalan utama yang terjadi antar daerah di Indonesia, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Sehingga pendekatan yang perlu dibuat adalah, khusus untuk masyarakat di daerah tertinggal khususnya di pedalaman tidak hanya sekedar dibuatkan kartu sehat saja namun perlu ada sistem khusus yang diberlakukan untuk mereka.

Selain itu, kendala lain dalam upaya pembangunan di daerah tertinggal yakni masalah lokalitas. Banyaknya SDM yang kurang kompeten duduk di jajaran pembuat kebijakan daerah, lebih disebabkan oleh faktor lokalitas yang berkaitan dengan kondisi politik di daerah tersebut sehingga maksimalisasi program kebijakan sulit tercapai. Belum lagi masalah ketidaktersediaannya infrastruktur pendukung, seperti sumber daya listrik dan air menyebabkan sulitnya mencari tenaga kesehatan yang mau bertugas di daerah tertinggal.Sehingga perlunya menanamkan nilai pengabdian kepada calon-calon tenaga kesehatan Indonesia, untuk mau berkontribusi mendukung pemerataan pembangunan.

 

  Pembahasan materi (Kagama Kedokteran)

budiMenanggapi penjelasan dari Kementrian Kesehatan, dr. Budiono Santoso, PhD, SpF (K) dari Kagama mengemukakan agar pemerintah jangan hanya menggunakan parameter statistik dalam mengukur keberhasilan suatu program, karena banyak laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Budiono Santoso mencontohkan, seperti ketersediaan oksitosin di puskesmas di Indonesia, berdasarkan laporan statistiknya angkanya cukup merata antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun faktanya ada over stock di beberapa daerah, demikian pula ada under stock di beberapa daerah lain. Selain itu, dengan Rancangan Teknokratik yang masih sangat birokratis dan terpusat, menyulitkan bottom up planning dari daerah sebagai garis depan penerap kebijakan sehingga diperlukan desentralisasi perencanaan kebijakan, serta koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga. Budiono berpendapat, bila tidak kunjung diperbaiki, akan selalu ada kesenjangan antara outcome program dengan praktek di lapangan.

 

  SESI DISKUSI

Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung cukup menarik, muncul beragam masukan, gambaran, serta pendapat dari para peserta seminar. Seperti dikemukakan oleh Sunarno selaku tenaga kesehatan yang pernah bekerja di Papua, tentang pentingnya pendekatan kultural untuk bisa menyentuh masyarakat di daerah tertinggal dalam penerapan program pemerintah, termasuk bidang kesehatan. Karena faktor budaya memainkan peran penting dalam keberhasilan program, bila mau memahami karakter dan kebiasaan masing-masing masyarakat di daerah tertinggal khususnya pedalaman.
Demikian pula disampaikan oleh salah satu peserta dr. Aisyah, bahwa perlunya membuat puskesmas percontohan di daerah tertinggal dan program residensi tenaga kesehatan, dimana tentunya hasil program tidak dapat diukur dalam waktu yang singkat, namun setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10-15 tahun atau 3 periode kementrian untuk melihat efektifitas program.

Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM

  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

hanibalMasih berkaitan dengan Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal, dr. Hanibal Hamidi, M.Kes dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengakui bahwa memang ada gap yang besar antara daerah maju dengan daerah tertinggal di Indonesia, termasuk gap dalam bidang pelayanan kesehatan.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Angka Kematian Ibu (AKI) di 28 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal sebagian besar masih jauh dari target MDG’s 2015 sebanyak 102 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2012. Demikian pula dengan Angka Kematian Bayi (AKB) maupun Angka Kematian Balita (AKABA), meski telah mencapai target MDG’s 2015 namun faktanya masih menjadi persoalan. Sementara itu untuk ketersediaan air minum layak di daerah tertinggal masih jauh dari target MDG’s yang sebesar 68, 87%, yakni hanya sebesar 41, 67% pada tahun 2011, demikian pula untuk status sanitasi layak. Menyusul masalah gizi buruk dan gizi kurang yang masih diatas 20% untuk daerah tertinggal. Adapun untuk ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan, terdapat 303 kecamatan yang belum punya puskesmas, 11.910 desa belum punya poskesdes, kekurangan sebanyak 2.448 dokter puskesmas, dan kekurangan sebanyak 1.897 bidan di daerah tertinggal.

 

  PKMK FK UGM

LT13desSementara itu menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM; pada tahun 2014 PKMK FK UGM bekerjasama dengan 10 Fakultas Kedokteran di Indonesia melakukan monitoring tahap awal pelaksanaan JKN. Monitoring ini merupakan tahap awal penelitian yang akan berlangsung hingga tahun 2019 mendatang, guna melihat efektifitas pelaksanaan JKN kaitannya dengan pencapaian Universal Health Coverage (UHC) 2019.

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level provinsi pada bulan April 2014, provinsi-provinsi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yakni : 1) Kelompok yang sudah maju dan 2) Kelompok yang belum maju. Pembagian ini berdasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung., dan faktanya terdapat perbedaan yang ekstrim dalam ketersediaan tenaga kesehatan ini diantara kedua kelompok tersebut. Skenario optimis tercapainya UHC 2019 diberikan oleh peneliti di wilayah DKI, DIY, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kota/kabupaten di Jawa Barat, sebagian kota di Jawa Tengah, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan skenario pesimis ringan hingga berat diberikan oleh peneliti di NTT, Kalimantan Timur, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Hasil dari skenario menunjukkan adanya potensi ketidakberhasilan pelaksanaan amanat UU SSJN, bahkan ada kecenderungan peningkatan kesenjangan dalam akses JKN antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Karena akses JKN di daerah tertinggal lebih banyak didominasi oleh kalangan masyarakat mampu, sehingga manfaat JKN minim diperoleh oleh masyarakat di daerah tertinggal.Sehingga solusinya adalah pemberian Dana Kompensasi sebagaimana tertuang dalam UU SSJN tahun 2004. Menurut Laksono, pemberian Dana Kompensasi ini wajib hukumnya bagi daerah-daerah yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai.Pengertian Dana Kompensasi diatur lebih lanjut dalam Permenkes No. 71 tahun 2013 yang isinya antara lain :

  1. Dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
  2. Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.
  3. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk : penggantian uang tunai;pengiriman tenaga kesehatan; danpenyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
  4. Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
  5. Besaran penggantian atas biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetarakan dengan tarif Fasilitas Kesehatan di wilayah terdekat dengan memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan yang diberikan.
  6. Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.

 

  Pembahasan Materi (Kagama)

bondanMenanggapi materi seputar tema seminar, dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK dari Kagama Kedokteran lebih menyoroti tentang dilematis pemerintah terhadap risiko fiskal dari alokasi dana sektor kesehatan dengan kebutuhan utama pembangunan sektor kesehatan. Dimana berbagi permasalahan pembangunan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari masalah politik dan ekonomi negara.

Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan

Sesi ini lebih banyak membahas “Pengembangan ke depan: Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM Kesehatan”. Sesi ini dimoderatori oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro dengan sharing experience dari dr. R. Arian D (RS Panti Rapih) dan Diah Saminarsih (staf Ahli Kemkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara). Acara diawali dengan komunikasi langsung melalui webinar dengan RS Ende, dr. Surip Tintin mengungkapkan RS Ende masih kekurangan nakes hingga saat ini.

Kemudian, komunikasi berlanjut dengan RS Soe melalui sambungan telepon, dr. Karolina Ria Tahun menyampaikan, untuk dokter penyakit dalam tidak ada di Soe, hal ini menyebabkan banyak pasien yang dirujuk ke Kupang. Hal ini menjadi kekurangan RS Soe, karena pasiennya masih banyak yang dirujuk ke RS yang lebih tinggi. Beruntung, melalui program Sister Hospital (SH), saat ini RS Soe memiliki dokter kandungan, anak, anestesi, bedah, dan lain-lain. Sementara, untuk merujuk kasus bedah, Soe membutuhkan waktu sekitar 3 jam.

  Pengalaman Pencerah Nusantara

ari 13desPemaparan pertama disampaikan Diah Saminarsih, sebagai co-founder Pencerah Nusantara (PN), Diah menyampaikan bahwa awalnya PN merupakan gerakan sosial. Gerakan ini melibatkan pemerintah, masyarakat serta mass media. Jadi, sifatnya kolaboratif yaitu multi aktor dan lintas sektor. Beberapa hal yang diberikan PN pada masyarakat ialah penguatan layanan primer, infrastruktur dasar, info gaya hidup sehat dan sebagainya. PN bergerak di Sikakap (Mentawai), Pakis Jaya (Karawang), Lindu Obotua (Sulteng), Kelai (Kalbar), dan Tosari (Probolinggo).

Kegiatan PN merupakan bentuk penerjemahan framework ke real action. Informasi lebih jauh tentang PN dapat disimak di Youtube chanel Pencerah Nusantara. PN ini disponsori oleh funding atau hibah, gerakan semacam ini membutuhkan investasi skill dan financing, pesan utamanya ialah primary care ditangani sebagai sesuatu yang serius.

 

  Pengalaman RS Panti Rapih dalam SH NTT

ariandr. Arian langsung memaparkan pengalaman RS Panti Rapih selama mendampingi RS Ende (Pertengahan 2010-Maret 2015). RS Panti Rapih terlibat karena ada kontrak dengan SH NTT, kontrak ini yang mendorong RS Panti Rapih untuk pendampingan PONEK 24 jam RS Ende dan capacity building. Berkaca dari pengalaman tersebut, ada banyak catatan positif yang direkap Arian.

Pertama, dalam kolaborasi antar institusi dalam SH ini, RS swasta lain bisa bergabung jika bersedia. Kedua, pendampingan dalam SH NTT ini sejalan dengan misi RS Panti Rapih yaitu membantu yang berkekurangan dan masih tertinggal. Ketiga, RS Panti Rapih mampu bermitra dengan mitra baru, misalnya bersama dengan RS Panembahan Senopati RS Panti Rapih membantu menyusun Renstra RS Ende. Keempat, RS makin terkenal, hal ini tak dapat disangsikan lagi. Kelima, makin lama mengerjakan PONEK RS Ende, RS Panti Rapih makin baik. Mengapa hal ini terjadi? Mengejutkan, ketika RS Panti Rapih mengadakan Monev RS Ende per tiga bulan, RS Panti Rapih menemukan banyak kekurangan di internal RS-nya. Tantangan ke depan, RS Panti Rapih dan RS Ende akan mendorong Pemda NTT untuk mengalokasikan dana APBD dan BLUD untuk melanjutkan SH.

 

  Skema Pembiayaan

diah 13desSejauh ini, PN menjalankan skema pembiayaan yaitu budget payment system atau dibayarkan sebelum pelayanan kesehatan dilakukan. Dana ini berasal dari swasta atau sponsor dan hibah. Dari sisi pemerintah, terkait dana kompensasi, telah diatur melalui peraturan direktur BPJS. Jika tidak ada faskes- maka pembayaran via kompensasi atau bisa juga kirim tenaga. Hal ini disampaikan Ari, perwakilan dari BPJS.

Diah menegaskan, perlu verifikasi detail gerakan nasional ini, sehingga pembiayaannya sustainable. Harapannya, gerakan ini bisa diadopsi dengan catatan mana yang kurang dapat dibantu dan diperbaiki, jadi bisa direplikasi.

Prof. Laksono menggarisbawahi, Pencerah Nusantara/Panti Rapih/FK apakah bisa menjadi kontraktor untuk pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit ini? Kemudian, Ari menegaskan, ketersediaan faskes merupakan tugas Pemda, termasuk nakes sesuai UU No 32 Tahun 2002 tentang pelayanan.

dr. Hanibal Hamidi, MKes (perwakilan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) mengajukan pendapat, BPJS memiliki beban tinggi atas kinerja, yaitu menjaga kualitas. Sejauh ini BPJS mengemban tugas sesuai amanat UU, yaitu promotif dan preventif yang sifatnya UKP.

Poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah ialah bagaimana mengajak dokter-dokter agar mau mengabdi di daerah. Kesimpulannya, seluruh perubahan diawali dari gerakan sosial dengan motivasi tinggi untuk mengabdi di seluruh pelosok Indonesia (wid).

Gagasan ke depan:  Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.

rukmono 13desSesi 4 membahas mengenai Gagasan Ke Depan: Pengembangan pengiriman tenaga kesehatan ke daerah sulit. dr. Rukmono Siswishanto, M. Kes, SpOG (K) mewakili RS Sardjito, dan dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS yang aktif terlibat di PPSDM Kemenkes RS.

Pengembangan residen ke daerah sulit ini menjadi poin penting karena tenaga kesehatan masih sangat terbatas di sejumlah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepualuan (DTPK). Perlu assessment, apa saja yang diibutuhkan di lokasi, misalnya sharing penganggaran. Melalui SH NTT ini, kami mendorong agar RS mampu menjadi lokomotif perbaikan klinis dan modern, ungkap dr. Rukmono. Hal yang menjadi catatan, pertama, program perbaikan mutu dan pemenuhan nakes ini masih ada yang kurang tepat. Misalnya, tugas belajar atau tubel kurang sustainable, karena tidak menjamin ketersediaan tenaga pasca program. Penilaian Mutu sebaiknya dilakukan oleh yang diberi pelayanan. Poin yang ingin disampaikan SH, ialah pemberdayaan melalui people and education. Para residen yang dikirim, umumnya diterjunkan dalam tim. Mengapa tim? Karena mereka lebih terorganisir dan lebih terarah jika bekerja secara tim.

andre 13desdr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MARS menyampaikan di Indonesia ada dua pembagian daerah, yaitu daerah masalah kesehatan dan non kesehatan serta daerah diminati dan kurang diminati. Problem yang dihadapi Indonesia ialah masih banyak daerah konflik, tidak diminati, terpencil, yang belum terjangkau akses pelayanan kesehatan. Maka, perlu kolaborasi antara health system dan health outcome untuk menyelesaikan hal ini.

DTPK dan Daerah Kurang Diminati (DKM) atau sering disebut dengan “daerah airmata” menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat untuk pemerataan layanan kesehatan. Pemda harus dominan untuk daerah fiskal tinggi seperti Kaltim dan Kepri, masalah pokok mereka ialah tidak ada SDM-nya karena visi kesehatannya tidak ada. Pemerintah Pusat harus mendorong daerah, apa saja yang harus dibangun? BPJS dan Kementrian Daerah Tertinggal harus bertemu dan duduk bersama menemukan solusinya, karena regulasi yang ada belum menyatukan lintas sektor.

Isu Penting: Sustainability

Bagaimana operasionalnya? Sistem perekrutan melalui PNS hanya bisa diterapkan di daerah normal. CPNS di DTPK, hasilnya nol karena banyak nakes yang tidak mau ditempatkan di DTPK. Permasalahan kekurangan nakes di DTPK dapat diatasi dengan beragam pendekatan, antara lain: flying doctors (pengalaman Australia), mobile grounting (praktek di Afrika Tengah), dan pelayanan antar pulau atau RS terapung (namun logistik masih menjadi masalah).

Maka, solusi yang ditawarkan ialah kontrak/privatisasi, bisa berdasarkan team, umum atau institusi (seperti program SH NTT). Kemudian, catatannya, apakah PTT yang ditempatkan mempunyai hak dan kewajiban seperti pegawai normal? Sayangnya, insurance di PPSDM tidak dibahas karena hal ini tidak diatur Permenkes.

Linda ( perwakilan dari Kemenkes) memaparkan, mobile doctors ini sudah dilaksanakan di tahun 2008 melalui program P2KTP (mobile klinik via pesawat dan speedboat). Tim yang terlibat dalam mobile ini antara lain, dokter, bidan, dan ahli gizi. Support dana banyak dari Bansos. Lalu, Bansos harus dikelola Kementrian Sosial, jadi terputus. Kemudian, program ini dilanjutkan di daerah Kepri, Aceh, Papua, Maluku dan NTT melalui dana dekonsentrasi. PTT membagi ilmu dengan dokter umum di daerah dan Pemda mendukung finansial untuk operasional mereka. Sustainability service, yang berarti pusat harus mendorong finansialnya. Maka, pengorganisasian yang harus diatur kembali.

Diskusi:

Pertanyaan pertama, Rudi (pegawai Puskesmas/Jatim) menanyakan di era JKN, BPJS telah melakukan tindakan promotif dan preventif namun masih sebatas obat. Hal lain tidak ter-cover BPJS. Lebih banyak ke UKP atau tergantung pimpinannya. Jadi, Puskesmas bisa maju bagaimana bisa terus berkembang?

Pertanyaan kedua, dari audiens yang berasal dari Kutai Timur, sustainability program mobile ini tidak ada, karena terkait dana. Mobile clinic sudah lebih dulu dilakukan Kutai Timur.

dr. Rukmono: jika ada kontrak, maka pembagian tugasnya jelas. Tenaga Puskesmas mirip di RS, namun dalam skala kecil. Namun sayangnya, saat ini, Puskesmas terpisah dengan RS.

dr. Andre, Jakarta sudah melakukan pemisahan, karena terjadi kelebihan nakes. Satu catatan terpenting yaitu inovasi daerah sering dilakukan, namun dokumen dan sharing experience sering terlewat untuk dilakukan. Jika keduanya teraasip dengan baik, maka inovasi tersebut akan mudah diikuti daerah lain.

Permasalahan daerah tertinggal atau yang berpotensi maju, jika tidak hati-hati maka akan semakin tertinggal, maka harus siap. Apa poin penting dalam hal ini? DTPK penting sekali, hal mendasar yang diperbaiki ialah masalah manajemen, termasuk kontrak yang jelas dan tidak dikorupsi. Lalu, PTT kontrak perorangan tidak bermanfaat untuk daerah terpencil. PTT yang diterjukan dalam tim akan bermanfaat di lapangan. Jadi, dana Kemkes bisa pindah ke program tim ini tidak? Atau melalui kontrak?, ungkap Prof. Laksono. Biaya investasi kesehatan (BIK) dapat berupa SDM, pelatihan dan lain-lain. Lalu, Siapa kontraktornya?

How and why are communities of practice established in the healthcare sector? A systematic review of the literature?

Jurnal ini disusun oleh Geetha Ranmuthugala, Jennifer J Plumb, Frances C Cunningham, Andrew Georgion, Johanna I Westbrook dan Jeffrey Braithwaite. Tema yang diangkat ialah Communities of Practice (CoPs), CoPs dipromosikan di sektor kesehatan sebagai sarana untuk menghasilkan dan berbagi pengetahuan antar peneliti atau ilmuwan. Tujuan lain ialah CoPs mampu mendorong peningkatan kinerja organisasi. Meskipun CoPs ini memiliki beragam bentuk, namun mereka terstruktur dan beroperasi di sektor tertentu. Jika CoPs bisa berkembang, maka ini menjadi keuntungan bagi organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Kemudian, systematic review literature pada CoPs dipandang perlu dilakukan untuk menguji bagaimana dan mengapa CoPs terbentuk dan meningkatkan sektor pelayanan kesehatan.

Penelitian ini dilakukan dengan mengakses (pencarian) data base elektronik. Informasi terkait tujuan pendirian CoPs, komposisi mereka, metode dimana anggota CoPs berkomunikasi dan bertukar informasi atau pengetahuan, dan metode riset tertentu dipilih untuk menguji keefektifan yang diekstrak dan di-review. Lalu perlu dibuktikan, apakah CoPs menyebabkan perubahan dalam praktek kesehatan atau tidak.

Fokus awal CoPs ialah pembelajaran dan pertukaran informasi atau pengetahuan, dimana banyak publikasi baru terbit. CoPs lebih banyak digunakan sebagai alat untuk meningkatkan paraktek klinis dan untuk memfasilitasi implementasi berdasarkan pengalaman evidence based. Para peneliti sedang meningkatkan upaya mereka untuk menilai efektivitas polisi dalam perawatan kesehatan, namun intervensi telah kompleks dan beragam, sehingga sulit untuk CoPs memiliki atribut perubahan.

Kesimpulan

Sesuai dengan deskripsi dari Wenger dan kolega, CoPs di sektor kesehatan bervariasi dalam bentuk dan tujuan. Sementara para peneliti meningkatkan upaya mereka untuk menguji dampak dari CoPs dalam perawatan kesehatan, pengembangan CoPs mutlak diperlukan untuk meningkatkan kinerja kesehatan memerlukan pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana membangun dan dukungan CoPs untuk memaksimalkan potensi mereka untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

Informasi lebih jauh, silakan simak melalui: http://www.biomedcentral.com/1472-6963/11/273 

 

Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan di Daerah Tertinggal

13desbanner

13desbanner  LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan daerah tertinggal merupakan tantangan nyata bagi pemerintah dan mitra terkait di Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tantangan pembangunan kesehatan daerah tertinggal berkaitan dengan berbagai faktor, yang antara lain meliputi kondisi geografis dimana fasilitas pelayanan kesehatan tidak bisa diakses dengan mudah oleh penduduk di saat mereka memerlukannya, kondisi kemiskinan dan kekurangan sumber daya untuk membiayai pelayanan kesehatan, kondisi kelangkaan sumber daya manusia yang menjalankan pelayanan kesehatan, dan kondisi sosio kultural masyarakat yang menghambat mereka memanfaatkan pelayan kesehatan yang tersedia.

Dalam program Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, daerah tertinggal dimasukkan dalam satu kelompok, yakni Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Beberapa program khusus yang telah dikembangkan di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam mendukung pelayanan kesehatan di DTPK meliputi:

  1. Pendayagunan Tenaga Kesehatan di DTPK berupa peningkatan ketersediaan, pemerataan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM),
  2. Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di DTPK misal : Rumah Sakit Bergerak, pelayanan dokter terbang, pelayanan perairan,
  3. Dukungan Pembiayaan Kesehatan seperti BPJS, BOK, dana alokasi khusus ( DAK ), TP dan Bantuan Sosial
  4. Dukungan Peningkatan Akses Pelayanan berupa pengadaan perbekalan, obat dan alat kesehatan
  5. Pemberdayaan masyarakat di DTPK melalui kegiatan Posyandu, Desa Siaga, Tanaman Obat Keluarga serta kegiatan PHBS.
  6. Kerjasama antar Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Lainnya
  7. dan berbagai program lainnya.

Menurut Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, saat ini masih terdapat 183 kabupaten yang masuk kategori Daerah Tertinggal. RPJMN 2010-2014 mengamanatkan, minimal 50 kabupaten tertinggal terentaskan pada akhir 2014 . Ke depan, sebagian dari kabupaten yang akan terentaskan tersebut akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pusat pertumbuhan ekonomi baru ini dihela oleh aktivitas ekonomi komoditas unggulan kabupaten melalui program utama yaitu Program (PRUKAB) PRUKAB Produk Unggulan Kabupaten dan Bedah Desa. Program Prukab dijalankan melalui pola kemitraan antara masyarakat, swasta, dan pemerintah (Public, Private, People Partnership /P4).

Selama dua tahun terakhir ini, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal telah mengupayakan percepatan lima (5) pilar kesehatan perdesaan, yakni ,

  1. ketersediaan dan berfungsinya dokter Puskesmas,
  2. ketersediaan dan berfungsinya bidan desa,
  3. ketersediaan air bersih bagi setiap rumah tangga,
  4. sanitasi bagi setiap rumah tangga,
  5. ketersediaan gizi seimbang bagi ibu hamil, menyusui dan balita.

Tenaga-tenaga relawan telah dilatih untuk melakukan promosi kesehatan di pedesaan.
Pada kabinet JokowI, Kementerian yang mengurusi daerah tertinggal disebut sebagai Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Adanya Kementerian ini perlu dicermati dan diharapkan berbagai program, termasuk kesehatan dapat dipaparkan.

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia dimulai sejak 1 Januari tahun 2014. JKN mempunyai tujuan yang terkait keadilan kesehatan. UU SJSN No. 40 Tahun (2014) Pasal 2 menyatakan bahwa kebijakan ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan sistem pembayaran klaim untuk pelayanan kesehatan rujukan dalam JKN, maka ada berbagai isu penting yang akan mengakibatkan terjadinya kegagalan penyeimbangan fasilitas dan SDM kesehatan. Dikhawatirkan tujuan JKN untuk pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia akan gagal tercapai.

Pada tahun 2014, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM melakukan penelitian untuk monitoring awal pelaksanaan JKN. Penelitian ini merupakan awal dari penelitian monitoring yang akan berjalan dari tahun 2014 sampai dengan 2019. Ada beberapa pertanyaan kritis yang terkait dengan kebijakan JKN adalah:

  1. apakah masyarakat di daerah dengan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM dokter dan dokter spesialis yang belum memadai akan mendapatkan manfaat JKN seperti daerah lain yang lebih baik?;
  2. dalam kondisi Indonesia yang sangat bervariasi apakah JKN yang mempunyai ciri sentralistis dengan peraturan yang relatif seragam dapat mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?;
  3. apakah dana pemerintah yang dianggarkan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dapat mencapai sasarannya.

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level propinsi pada bulan April 2014, propinsi-propinsi ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: (1) kelompok yang sudah maju dan (2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini terutama pada masalah ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung. Terjadi perbedaan yang ekstrim antara kedua kelompok tersebut. Secara ringkas, skenario optimis untuk pencapaian Universal Coverage di tahun 2019 dinyatakan oleh para peneliti di DKI, DIY,Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, sebagian kabupaten/kota di Jawa Tengah dan sebagian di Sulawesi Selatan. Sementara itu, skenario pesimis ringan dan berat untuk tercapainya UHC melalui JKN pada tahun 2019 dinyatakan oleh peneliti di NTT, Kalimatan Timur, sebagian Kab/Kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Hasil dari skenario yang ditulis pada awal berjalannya BPJS di atas menunjukkan bahwa kebijakan sistem pembiayaan (adanya UU SJSN dan UU BPJS, JKN) ini mempunyai kemungkinan tidak berhasil mencapai tujuan dalam kriteria keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan ada kemungkinan terjadi peningkatan kesenjangan. Masyarakat di daerah tertinggal/buruk tidak mempunyai manfaat yang sama, walaupun menjadi anggota BPJS. Portabilitas dapat memperburuk pemerataan, karena masyarakat daerah buruk yang dapat memperoleh manfaat di daerah lain cenderung adalah orang mampu.

 

  TUJUAN SEMINAR

Seminar ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai inisiatif dalam mengurangi kesenjangan antara daerah yang tertinggal dengan yang baik, khususnya dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Secara umum seminar bertujuan untuk meningkatkan upaya pembangunan kesehatan DTPK di era JKN. Secara khusus tujuannya mencakup:

  1. Memahami Situasi pembangunan kesehatan dan kebijakan di daerah tertinggal
    1. Membahas situasi pelayanan kesehatan di daerah sulit dalam kabinet Presiden Jokowi;
    2. Membahas situasi pelaksanaan kebijakan JKN dalam perspektif pemerataan pelayanan kesehatan dan pemerataan dokter di daerah tertinggal;
    3. Membahas skenario pelaksanaan JKN di daerah tertinggal;
  2. Mencari kebijakan yang tepat
    1. Kebijakan jangka menengah dan panjang: Mencari solusi untuk mempercepat pembangunan sektor kesehatan di daerah tertinggal dalam era JKN
    2. Kebijakan jangka pendek: Membahas penggunaan dana Kompensasi BPJS dalam JKN untuk mengatasi masalah kesenjangan secara sementara.
    3. Membahas prospek gerakan sosial untuk memeratakan SDM Kesehatan

LUARAN

  1. Rekomendasi jangka pendek untuk pemerintahan baru;
  2. Rekomendasi jangka panjang untuk pemerintah pusat dan daerah.

Mitra yang diundang

  • Kemenkes
  • Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
  • BPJS
  • Dewan SJSN
  • Kemendagri
  • Fakultas Kedokteran/Ikatan Alumni FK
  • Propinsi/Kabupaten DKTP.
  • Lembaga lembaga donor seperti Ausaid, Bank Dunia, USAID, WHO, dll
  • CSO (civil society organization dan faith based organizations 

Biaya Seminar

  1. Tatap muka/ hadir langsung: Rp 300.000,00
  2. Webinar: Gratis (Terbatas)
  3. Video Streaming: Gratis

  AGENDA

Yogyakarta, Sabtu 13 Desember 2014
Gedung KPTU FK UGM, Lt 2, Ruang Senat
Pukul 08.00 – 15.30

Pukul

Sesi

Pembicara

 08.30 – 08.45 Wib

Sambutan Penanggung jawab kegiatan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD

 08.45 – 09.00 Wib

Sambutan ketua KAGAMA

Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA

 

 09.00 – 09.15 Wib

Sambutan Dekan FK

Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB(K) Onk 

 

08.45 – 10.30 Wib

Sesi 1:

Situasi terkini pelayanan kesehatan di daerah tertinggal

Deskripsi:

Para pembicara diharapkan memberikan gambaran mengenai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah baru (kabinet Presiden Jokowi) dalam pembangunan kesehatan di daerah tertinggal. Diharapkan ada gambaran mengenai program kerja terbaru dan hubungan antara dua Kementerian.

Dalam hal ini, pelaksanaan misi pemerintahan Presiden Jokowi diharapkan dapat disajikan oleh kedua pembicara. Bagaimana hubungan kerja dua  Kementerian ini akan menjadi pokok bahasan dan bagaimana kebijakan jangka panjang dan pendek diharapkan dapat disajikan.

Pembicara:

Dr. R. Bambang Sardjono, MPH (staf ahli bidang peningkatan kelembagaan & desentralisasi)

materi presentasi

Pembahas:

dr. Budiono Santoso. PhD, SpF(K) Kagama Kedokteran: Kebijakan jangka pendek dan jangka panjang.

materi presentasi

 

11.00 – 12.15 Wib

Sesi 2:

Pengalaman Empirik: Berasal dari Riset dan Kegiatan Konsultasi PKMK FK UGM
Pembicara: Tim Peneliti PKMK FK UGM

Pelaksanaan JKN dan Potensi Melebarnya kesenjangan Geografis.

Deskripsi:

Sesi ini membahas hasil penelitian empirik mengenai enam bulan Pelaksanaan JKN dan Skenario Pelaksanaan di Daerah Tertinggal. Dalam agenda kegiatan ini, akan dibahas Situasi Distribusi SDM Spesialis dan Program Sister Hospital untuk mendistribusikan sumber daya manusia serta Pengembangan Rumah sakit di Indonesia dalam waktu tiga tahun terakhir dan prospeknya. Sesi ini akan membahas skenario masa depan Program JKN di daerah tertinggal dan bagaimana harapan ke depannya.

Pembicara:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD

materi presentasi

Pembahas:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
dr. Hanibal Hamidi, M.Kes

materi presentasi

Kagama Kedokteran
dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

materi presentasi

 

12.15-13.00 Wib

ISHOMA

 

13.00 – 14.00 Wib

Pengembangan ke depan:

Kebijakan untuk mendukung penyebaran SDM kesehatan

 

 

Diah Saminarsih (staf ahli kemenkes dan Co-Founder Pencerah Nusantara)

materi presentasi

dr. Robertus Arian (RS Pantirapih)

materi presentasi

Pembicara: Direktur Operasional BPJS. Dana Kompensasi BPJS untuk mendanai pengiriman tenaga ke daerah tertinggal

dr. Ari Dwi Aryani

materi presentasi

 

14.00 – 15.00 Wib.

Diskusi Panel:

Gagasan ke depan:  Pengembangan pengiriman tenaga medik ke daerah sulit.

  • Lesson-learnt dari Program Sister Hospital NTT.
  • Pencerah nusantara sebagai sebagai sebuah Social movement

Diskusi:

  • Kebijakan Jangka Pendek: Apakah dapat mengandalkan Gerakan Sosial dalam memeratakan sumber daya manusia?
  • Kebijakan Jangka Panjang: Apakah akan menggunakan kekuatan memaksa oleh pemerintah untuk memeratakan sumber daya manusia kesehatan?

Pembicara: 

dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes, SpOG(K). (RSUP Sardjito)

materi presentasi

dr. Andreasta meiliala, DPH, M.Kes, MAS

Materi presentasi

Pembicara:

Direktur RS Soe NTT dan teleconference direktur RS Soe dan Ende NTT

 

15.00 Wib

Penutupan

 

 

   INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Wisnu Firmansyah
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
Telp/Fax: 0274-549425 (hunting)
Hp : 081215182789
Email: [email protected] / [email protected]

 

 

How has the flu virus infected the Web? 2010 influenza and vaccine information available on the Internet

nandy

nandy

Knowledge Management merupakan upaya dalam mengelola pengetahuan untuk pembuatan keputusan. Misalnya terkait search engine yaitu yahoo dan google yang me-manage pengetahuan yang dikonsumsi masyarakat awam. Namun, keduanya tidak mengolah data tersebut, sehingga ada yang kredibel dan tidak, ungkap dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD moderator dalam diskusi bulanan kali ini (23/10/2014).

dr. Nandy Wilasto, salah seorang konsultan PKMK memaparkan hubungan antara penyebaran informasi virus influenza yang ada di internet dan resepsi (penerimaan) yang diterima masyarakat. Jurnal Biomed yang dipublikasikan pada 29 Januari 2013 dan ditulis oleh Loredana Covolo, Silvia Mascaretti, Anna Caruana, Grazia Orizio, Luigi Caimi dan Umberto Gelatti. Mereka bekkerjasama dengan IT lokal di Italia untuk meneliti konten dan akses media dalam penyebaran informasi terkait flu. Metodenya bisa direplikasi untuk isu terkini, jadi bagaimana situs ini menyediakan info yang tepat guna dan tidak.

Latar belakang penelitian, pandemic flu 2009-2010, resiko vaksinasi tidak optimal, internet sebagai sumber info kesehatan. Investigasi karakteristik situs yang menyediakan info dan kualitasnya, Seleksi yang dilakukan delapan kata kunci yang dipergunakan-seputar vaksin dan flu. Eksklusi yang digunakkan dalam penelitian ini ialah website yang tidak berbahasa Inggris, yang membutuhkan login, website yang hanya berisi tautan, web yang kontennya tidak dapat diteliti dalam tiga kali klik dan yang berisi bukan tentang manusia, serta web yang ditujukan untuk professional kesehatan. Kemudian, web yang tidak diteliti ialah web 2.0 (blog, media social dan forum), web yang menayangkan artikel popular, web dengan file tunggal (pdf, ppt).

Untuk Indonesia, penelitian ini masih sulit dilakukan karena rata-rata masyarakat belum menguasai bahasa Inggris. Namun, gerakan untuk vaksin ini sudah terlihat seperti misalnya muncul akun Facebook Gerakan Sadar imunisasi. Gerakan pro imunisasi atau vaksin ini juga dilakukan di Nigeria, ialah Kalimah Usman (38th) yang melakukan kampanye di tahun 2003, yaitu mari polio karena terjadi penentangan terhadap vaksin. Jadi Nigeria terpecah menjadi dua, yaitu utara (Muslim) dan Selatan (Kristen), boikotnya di Utara, vaksin polio oral ditolak karena: tidak percaya ada manfaatnya, dianggap tidak penting, tidak nyaman dan penentangan merupakan protes terhadap dunia barat. Ada isu juga jika vaksin diberikan yang bukan muhrim maka dianggap haram.

Namun, ada pula anti vaksinis Indonesia, diantaranya, Henny Zainal (pro asi dan kekebalan alami) dan Siti Fadilah S (tidak sepakat dengan virus flu burung yang diteliti di luar dan vaksinnya dijual mahal di Indonesia), serta grup Facebook Ummu Salamah Al Hajam (pengobatan alamiah-Thibbun Nabawi).

Nandy sebagai pembahas jurnal ini menyampaikan bahwa Youtube dapat diteliti oleh ilmuwan Indonesia karena menayangkan pro dan kontra terhadap vaksin, misalnya video akibat tidak vaksin maka terjadi komplikasi campak jangka panjang.

dr. Rossi Sanusi menyatakan Google dan Yahoo dipilih yang rangkingnya tinggi karena ada protocol/algoritma yang bekerja ketika kita mengetik melalui keyword tertentu dan bisa jadi sering dikunjungi juga. Judul jurnal ini cukup catchy, sedikit popular dan dijelaskan secara ilmiah, sehingga menarik banyak pihak. dr. Tiara Marthias, MPH menyampaikan bahwa facebook (FB) lebih viral dibandingkan dengan web status. Viral merupakan penyebaran info yang cepat dan luas melalui web 2.0. Dhini Rahayu Ningrum menutup diskusi dengan pernyataan, jika penelitian ini dilakukan di Indonesia, makaharus ada kolaborasi antara Depkes-antropolog, Kementrian Informasi dan Komunikasi. Jurnal tersebut dapat disimak di sini http://www.biomedcentral.com/1471-2458/13/83 (wd).

  Materi Presentasi

Diskusi Bulanan Kesembilan PKMK FK UGM

dikusibulanansept

dikusibulananseptDiskusi bulan ini mengangkat tema evidence informed decision making dan disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradata, M. Sc., PhD. Moderator diskusi ini ialah dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD. Kegiatan tersebut telah berlangsung pada Selasa (30/9/2014) di Laboratorium Leadership, IKM, FK UGM. Paper yang dibahas berasal dari Canada, dengan judul asli Building capacity for evidence informed decision making (EIDM) in public health: a case study of organizational change. Paper ini mengajak kita terbang ke Kanada, EIDM ini menjadi prioritas di Kanada. Hampir seluruh instansi disana menggunakan EIDM. Asumsi umum yang berkembangan yaitu ada satu evidence based yang menganggap bahwa riset merupakan hal yang paling utama, namun ternyata di Kanada mereka mengharapkan tidak mendewa-dewakan riset, sehingga pemerintahnya mengarah ke EIDM, misalnya dalam menentukan dasar program.

Namun, ada salah satu hambatan dalam pelaksanaan EIDM ini, yaitu staf terlalu sibuk mengerjakan hal-hal lain, sehingga mereka harus melakukan hibah waktu untuk khusus mengerjakan EIDM. Studi EIDM ini dilakukan dalam jangka panjang, yaitu sepuluh tahun atau Kanada mempunyai renstra dari tahun 2009-2019. Rentra mereka untuk pengembangan kapasitas EIDM. Dokumentasi mereka banyak sekali menghasilkan materi khusus untuk EIDM, misalnya kerjasama dengan pihak luar dengan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk EIDM.
Hasil studi kasus menunjukkan kata kunci utama antara lain: leadership, struktur organisasi, dan human resources. Melalui paper ini, perubahan manajemen bermanfaat dan meng-handle berbagai reaksi, dan mereka harus bekerjasama. EIDM banyak sekali menuai kritik, banyak pula yang menuntut agar EIDM ini dievaluasi dan ditinjau ulang,

Untuk menyimak presentasi dr. Yodi, silakan klik Materi

Sesi Diskusi

Budi Eko menanyakan faktor utama mana yang perlu terlebih dahulu dioptimalkan sehingga memicu factor lain agar bisa meningkatkan produktivitas? dr. Yodi menjawab faktor leadership yang perlu ditingkatkan, kemudian, yang dapat memacu adalah pucuk pimpinan, sehingga dapat mendorong / memotivasi staf / bawahannya, dan harus all out, tidak cukup hanya leader saja, semua faktor pelu ditinggkatkan. dr. Rossi menyatakan, apakah perlu, kepala dinas dilatih, contohnya di Bantul dengan angka kematian ibu meningkat, Hal ini perlu menjadi pertimbangan. Yodi menjawab, ada satu kasus yang dipelajari untuk public health, yaitu banyak kritikan dalam EIDM, contohnya bagaimana capacity building dilakukan. Dini mempertanyakan kekuatan transparannya seperti apa? dr. Yodi menjawab, jika jelas terlihat diskursus maka secara eksplisit menjadi basis penelitian. Kemudian, di Inggris misalnya parlemen yang mengharuskan evidence based policy untuk menyikapi policy advice. Jadi, jika ada kebijakan yang tidak berbasis bukti namun memiliki alasan kuat, tinggal merujuk konsiderasi.

Kemudian, tema untuk diskusi bulan depan ialah Health Research Profile (Oktober 2014).