PKMK FK UGM Resmi Membuka Pelatihan Konsultan

 

rteater

Memahami pekerjaan Konsultan di bidang Kesehatan dan “Pakem”
sebagai pegangan kerja

materi  video

PRA SESI

  • Kegiatan pelatihan dilakukan dengan para senior (konsultan), sehingga menjadi ajang untuk pembelajaran bagi para konsultan/peneliti muda
  • Perorangan cara webinar
  • Perkenalan anggota PKMK (peneliti/konsultan) dan Pusdatin Kemenkes
  • Penjelasan mengenai latar belakang dan gambaran kegiatan pelatihan konsultan
  • Pembasan jadwal pelatihan
  • Materi terkait materi dasar konsultan, kompetensi, hingga pembahasan klien
  • Pertanyaan : ada solusi jika tidak dapat hadir dalam webinar? Based on webinar sehingga dapat dilakukan dimanapun, selain itu pada website telah disediakan video pelatihan sebelumya.

SESI I

  • Siapa konsultan itu? Pemberi saran yang telah dianggap expert di bidangnya
  • Perbedaan dosen, surveyor/peneliti dan konsultan
  • Konsultan ada karena klien membutuhkan jasa seseorang yang mampu menyelesaikan masalahnya
  • Konsultan memiliki kemampuan peneliti, problem solving, dan lainnya.
  • Terdapat perbedaan antara konsultan manajemen dan teknis,
  • Konsultan manajemen membutuhkan skill tersendiri yang dibangun biasanya lebih lama.
  • Ciri konsultan manajemen yaitu berhadapan dengan eksekutif puncak, membutuhkan citra yang baik, harus mempunyai kemampuan tinggi, berorientasi pada puncak dan klien
  • Kunci keberhasilan konsultan adalah bagaimana memberi kepastian pada tingkat keberhasilan.
  • Menjadi konsultan yang lebih baik dengan memberi hasil yang riil.
  • Apakah dapat diterapkan konsultan teknis sekaligus manajemen dalam proyek? Jawaban; konsultan manajemen dan teknik itu akan berbeda sesuai dengan pekerjaannya. Kosultan teknik biasanya jelas asosiasinya, namun konsultan manajemen hingga saat ini belum jelas
  • Pertanyaan : diagnosa vs akar masalah? Diagnosa dan akar masalah sebenarnya tidak ada bedanya
  • Bagaimana membedakan konsultan manajemen dan teknis? Caranya, dengan menjelaskan kepada klien tentang kompetensi konsultan agar tidak terjadi multitafsir.
  • Konteks pemberian solusi adalah fungi konsultan
  • Pendapat: konsultan sebagai pendamping, harus menghilangkan ego. Sebab ego masih sering dimiliki para dosen dan peneliti.
  • Pendapat: konsultan bukan sepenuhnya pendampingan karena setiap konsultan dapat melakukan eksekusi dan bertanggung jawab hingga akhir projek
  • Pertanyaan: konsultan manajemen harus memiliki altenatif yang lain karena masalah kesehatan biasanya memiliki masalah lainnya.
  • Konsep evidence based dapat diterapkan oleh konsultan agar dapat ditawarkan kepada klien

Notulen: Faisal Mansur (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)

Jadwal Pelatihan Pengembangan Konsultan Manajemen Kesehatan

klik disini

 

 

 

Hari ke V The 14th World Congress on Public Health

15feb15-1

Human Rights and Law as tools for sustainable development

Co-Chairs: Dr David Butler-Jones, Senior Medical Officer, First Nations and Inuit Health Branch, Health Canada and former Chief Public Health Officer of Canada and DrYogendra. K. Gupta, Professor & Head, Department of Pharmacology, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi.

Pembicara :

  • Sharon Friel :Professor of Health Equity & ARC Future Fellow,ANU College of Medicine, Biology and Environment and ANU College of Asia and the Pacific, Australia
  • Martin McKee :Professor ofEuropean Public Health, London school of Hygene and Topical Medicine. UK
  • JavedRahmanzai : Member Governance council, Executive Board Member Afghanistan
  • Y.K Gupta
  • K.SrinathReddy :President , Public Health Foundation of India
  • Dinesh Thakur : Consultant on Drug Manufacturing, EX- Ranbaxy Laboratories

15feb15-1

Pleno kali ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam berbagai pengalaman dan pendapat tentang bagaimana hak asasi manusia dan hukum dapat diintegrasikan dan mampu menjadi pilar kebijakan kesehatan masyarakat dalam tindakan maupun kegiatannya.

Sharon tertarik pada :

  • Konsep dan integrasi dari berbagai disiplin ilmu dalam meningkatkan kesetaraan kesehatan (Health Equity)
  • Adanya aturan dari faktor-faktor struktural dalam mempengaruhi ketidakadilan kesehatan termasuk perdagangan dan investasi, urbanisasi dan perubahan iklim.
  • Analisis dari proses kebijakan dan efektifitas dalam menangani ketidakadilan kesehatan
  • Menerapkan system teori-teori keilmuan dan metode-metode untuk study Kebijakan public yang sehat dan adil.

Pembicara lain yaitu Rahmanzai memberikan pengalaman mengenai kondisi pengungsi yang berada dalam daerah konflik dan perang. Dimana kondisi ini menimbulkan banyak orang kelaparan dan menderita. Rahmanzai mengajak semua peserta untuk bersama-sama berpikir untuk keadaan ini dan melihat secara global bahwa pengungsi di daerah konflik adalah suatu masalah yang besar, dimana saat kita melakukan politik, membuat regulasi dll tetapi faktanya belum dapat memecahkan masalah kebutuhan kesehatan publik pada masyarakat yang berada di daerah konflik. Apa sebenarnya isu terbesar terhadap kesehatan publik pada masyarakat di konflik zone? Seorang peserta juga mengingatkan masalah pengungsi yang diakibatkan oleh bencana. Sehingga mungkin kita juga bisa melihat kasuspengungsi yang diakibatkan oleh keadaan bencana di Indonesia contohnya pengungsi gunung meletus Rokatenda dan di Sumatera Utara, mereka telah berbulan-bulan berada di kampung pengungsian. Apakah yang dibutuhkan mereka saat ini terkait dengan kesehatan dan makanan sudah laik? Pembicara ini juga mengatakan bahwa kita harus ikut bekerja dan masuk dalam sistem dan tidak hanya sekedar memberi konsumsi pada pengungsi. Ahli epidemiologi sangat dibutuhkan dalam penyiapan data, sehingga kita tidak hanya menggunakan pemberitaan media.

Pembicara lain bercerita tentang tiga pilar dalam kebijakan publik terhadap susteinabilitas kesehatan masyarakat yaitu :

  • Ekonomi
  • Sosial
  • Lingkungan

Ketiga pilar tersebut saling mendukung, terutama pilar sosial dan lingkungan yang sangat besar dalam mendukung ekonomi dan ini jelas terkait kesehatan publik. Isu hak asasi manusia ini termasuk dalam kapabilitas manusia dan kapabilitas kesehatan seperti kesetaraan kesehatan (health equity), udara bersih dan air bersih.

Pembicara terakhir bukan seorang dokter melainkan seorang pengusaha dan ahli dalam obat-obatan bercerita bagaimana pengembangan produk biomedis, regulasi dan teknologis informasi obat. Beliau mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang yang anti terhadap obat generik karena obat generic adalah obat sehat dan ekonomis, namun terdapat problematik sistem terhadap obat generik. Dalam pemberian obat seperti antibiotik juga seringkali menjadi masalah sehingga banyak dijumpai resistensi obat di masyarakat. Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia bahwa banyak terdapat pemberian obat yang seringkali tidak sesuai kebutuhan dan bagaimana pemahaman masyarakat terhadap antibiotik yang dapat dibeli dengan bebas yang mengakibatkan resistensi dikarenakan mengkonsumsi dengan tidak sesuai yang seharusnya.

Beliau juga bercerita bahwa ada perusahaan obat yang dialaporkan melakukan penipuan yaitu pemalsuan data obat dan melanggar Good Manifacturing Practices (GMP) dan Good Laboratory Practices (glp), sehingga perusahaan tersebut membayar dari tuntutan yang diberikan.

Efektivitas sistem kesehatan memiliki dampak besar pada morbiditas dan mortalitas, terutama di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah dimana kapasitas pengawasan obat lemah.

Beliau juga mengatakan bahwa di India dibutuhkan quality control dan quality insurance, agar tidak terjadi pemalsuan obat dan label obat. Terhadap obat generik perlu akses Good Quality Medicine.

Situasi ini akan dijadikan bingkai yang utama untuk masuk dalam masalah hukum kesehatan masyarakat dan akan disajikan menjadi suatu kasus dalam perjanjian global yang baru.

Output yang diharapkan yaitu ini akan menjadi kerangka kerja untuk kebijakan WFPHA dan aksi pernyataan untuk pendekatan kesehatan masyarakat.

Drug & medicine quality-the case of falsified and falsely-labeled medicines-WFPHA

15feb15

Sesi ini bertujuan untuk menunjukkan pentingnya kualitas obat sebagai penentu kesehatan dan berdiskusi sehingga mendapatkan dukungan terkait dengan konsep perjanjian internasional sebagai sarana mengatasi masalah peredaran obat-obatan palsu dan berlabel palsu. Panel menghadirkan dua pembicara dan dua pembahas yang dimoderatori oleh Dr. Amir Attaran.

  • Dinesh Thakur, expert and accomplished entrepreneur in pharmaceuticals, biomedical product development, drug regulation, and information technology
  • Prof Martin McKee, Professor of European Public Health at the London School of Hygiene and Tropical Medicine and President, European Public Health Association
  • Prof. Michael Asuzu, Professor of Public Health & Community Medicine, University College Hospital, Ibadan and President, Society of Public Health Professionals of Nigeria
  • L. Eugenio

Pengalaman peredaran obat palsu dan berlabel palsu dari Brazil dan Nigeria menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini berdampak pada kualitas sistem perawatan kesehatan yang dapat meningkatkan mortalitas. Sesi ini dikemas dalam hukum kesehatan masyarakat.

Beberapa poin penting dari sesi ini adalah

  • Kejahatan obat merupakan ancaman kesehatan dan kehidupan masyarakat
  • Semua obat yang beredar harus mempunyai kualitas yang bagus
  • Kasus obat berkualitas dipalsukan dan tingginya peredaran obat palsu
  • Kurangnya pengawasan obat sehingga memudahan obat palsu beredar
  • Belum kuatnya regulasi yang mengatur tentang sanksi peredaran obat palsu
  • Ada empat tipe kejahatan obat, mulai dari falsified medicine, obat yang kualitasnya dibawah standar, obat yang tidak terregistrasi, dan obat tiruan (palsu)
  • Peredaran obat palsu merupakan tindakan kriminal yang harus diberantas melalui kerjasama terpadu antara pembuat kebijakan, lembaga pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas), industri obat, penegak hukum, media dan masyarakat.

Sesi ini cukup banyak menarik perhatian anggota World Federation of Public Health Associations (WFPHA). Organisasi ini multi-professional non pemerintahan yang berfokus pada masalah kesehatan masyarakat. Namun, hingga saat ini PKMK belum  menjadi anggota WFPHA. Kasus di Indonesia bahkan dibeberapa negara lainya di dunia, masyarakat tanpa sadar mengkonsumsi obat palsu, akibatnya hal ini memperburuk kondisi bahkan menyebabkan kematian. Setelah menemui fakta ini, masyarakat dunia menyadari perlunya campur tangan semua pihak terkait seperti pengambil kebijakan, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, media, penegak hukum dan masyarakat tentang  bahaya obat.

Hari ke IV The 14th World Congress on Public Health

14feb15

Tiga delegasi PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM hanya mengikuti sesi plenary pada hari ke-4 konferensi dengan topik “Global Public Health Challenges” di ruang grand theatre. Ruang ini merupakan ruang terbesar diantara ruang lainya tempat sesi concurent, thematic, poster dan presentasi oral berlangsung. Berikut reportase plenary 4 yang diliput oleh dr. Tiara Marthias, MPH.

Co-Chair: Ulrich Laaser, WFPHA Past President (2012-2014)

Speakers:

  • Ilona Kickbush, Professor; Global Health Programme at the Graduate Institute of International and Development Studies Switzerland
  • Vesna Bjegovic, Professor of Public Health & President of Association of Schools of Public Health in the European Region (ASPHER), Belgrade University, Serbia
  • Frederika Meijer, Country Representative, United Nations Population Fund (UNFPA)
  • Tewabech Bishaw, Managing Director, Alliance for Brain-Gain & Innovative Developmetn; and Secreatry General, African Federation of Public Health Assocation, Ethiopia

14feb15

Sesi ini memberikan sejumlah pemaparan mengenai berbagai tantangan komunitas kesehatan masyarakat di level global dan juga negara atau kawasan di dunia. Sesi ini juga bertujuan untuk memaparkan berbagai perspektif seputar solusi-solusi yang dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan di era pasca 2015 (atau berakhirnya era MDG).

Beberapa tantangan utama yang masih ada termasuk masih tingginya angka kematian ibu dan anak di berbagai belahan dunia. Meskipun secara global AKI telah dapat ditekan hingga separuh dari angka pada tahun 1990, perkembangan kesehatan ibu dan anak dinilai belum optimal. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, diperkirakan tidak akan dapat mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam MDG 2015. Selain permasalah tersebut, penyakit tidak menular telah menunjukkan beban yang semakin meningkat, baik untuk negara maju maupun berkembang. Tantangan utama yang ketiga adalah keterbatasan dana kesehatan, yang merupakan masalah klasik yang terus-menerus dihadapi oleh berbagai negara.

Salah satu pembicara mengemukakan beberapa problema global yang saat ini ada dan perlu menjadi pertimbangan utama seluruh penduduk dunia karena masalah ini mempengaruhi seluruh negara dan juga lingkungan hidup. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  1. Global warming, dimana berbagai bencana alam seperti bajir dan juga kekeringan melanda berbagai negara di belahan bumi
  2. Global divides, yaitu semakin senjangnya status kesejahteraan dilihat dari masih belum tuntasnya masalah kelaparan dan kemiskinan
  3. Global security, masalah keamanan dunia ditunjukkan dengan begitu banyaknya tragedi perang saudara dan juga terorisme
  4. Global instability, dilihat dari sejumlah krisis finansial yang melanda negara-negara di dunia. Krisis ini tentu saja telah mempengaruhi banyak negara lainnya secara tidak langsung.
  5. Global health, dimana kesehatan belummenjadi salah satu hak asasi yang utama

Beberapa permasalahan menarik yang diangkat dalam sesi ini adalah masih buruknya sistem tata kelola atau governance di bidang kesehatan. Hal ini diilustrasikan dengan contoh pinjaman asing untuk kesehatan. Begitu banyak pinjaman dari pihak asing (misalnya World Bank) yang diberikan dengan asumsi negara-negara tersebut akan mampu membiayai kelanjutan program yang diimplementasikan. Padahal, menurut co-chair sesi ini yaitu Ulrich Laaser, pinjaman semacam ini cenderung memberikan kesan bahwa dana tersedia tetapi tidak memberikan kesiapan suatu negara dalam membiayai program tersebut secara mandiri. Sisi negatif lainnya untuk pinjaman asing ini adalah adanya asumsi bahwa setelah 2-3 tahun implementasi proyek pilot, program tersebut harus dan akan bisa dibiayai oleh negara. Faktanya, bukti keberhasilan program tersebut belum tentu positif dan bermanfaat bagi negara tersebut. Sebagai tambahan, pinjaman tersebut merupakan investasi negara (karena harus dibayar di kemudian hari), yang belum tentu terbukti cost-effective.

Hal-hal positif yang telah berhasil dilakukan di level global untuk bidang kesehatan antara lain adalah:

  1. Adanya sejumlah kesepakatan global mengenai visi kesehatan masyarakat, misalnya melalui MDG
  2. Telah adanya sistem akreditasi NGO, sehingga tidak sembarang NGO dapat mengerjakan proyek dan juga untuk menjaga kualitas program
  3. Konsep One Health yang mulai dikembangkan dan diadopsi oleh banyak negara
  4. Telah maraknya SWAp atau Sector-wide approaches dalam mengimplementasikan solusi di bidang kesehatan masyarakat

Beberapa pesan penting yang perlu menjadi catatan dan dibawa pulang dari sesi ini adalah:

  1. Agenda paska 2015 harus mengutamakan perbaikan sistem pembiayaan kesehatan, baik di level negara maupun global antar lembaga donor dan negara pemberi pinjaman
  2. Solusi yang ditawarkan untuk paska 2015 seharusnya tidak lagi terbatas pada solusi teknis atau programatik di bidang kesehatan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan perbaikan sistem pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang memiliki visi perbaikan status kesehatan bagi semua
  3. Investasi yang “pintar” adalah investasi yang memprioritaskan manusia–bukan program atau negara, atau lainnya–dan mengutamakan populasi yang rentan di bidang kesehatan. Investasi semacam inilah yang akan dapat mulai menjembatani jurang disparitas kesehatan untuk mengangkat status kesehatan seluruh populasi di dunia.

14feb15-1Setelah tiga delegasi PKMK mengikuti plenary, kami membagi policy brief dan pengalaman PKMK dalam menangani bencana dan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Memasuki sesi makan siang, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke exhibition Hangar tempat pameran poster berlangsung, disini terdapat banyak stan –stan menarik seperti Jhon Snow Inc, Taiwan helath promotion, WHO, atlas healthcare software dan lainya.

Konferensi ini juga menyediakan fasilitas untuk berkeliling Kolkata, tiga delegasi PKMK dan dua dari Indonesia lainya mengikuti tour. Kami diajak mengunjungi sungai Gangga. Delegasi Indonesia tidak kaget melihat kondisi sungai Gangga karena fenomena ini ibarat melihat sungai Ciliwung yang berada di Jakarta. Sungai ini digunakan sebagai media transportasi dan bahkan banyak masyarakat yang menggunakan air sungai Gangga untuk mandi. Fenomena lain yang juga menarik dari Kolkata, hampir setiap jalan yang kita lalui, di tepinya selalu ada aliran air sungai Gangga yang digunakan masyarakat kolkata mandi dan mencuci di pinggir jalan.

Reporter: dr. Bella Donna dan Eva Tirtabayu Hasri

 

Hari ke III The 14th World Congress on Public Health

kolkota13feb5

Plenary III: Public Health Approaches to Address New Challenges of Sustainable Development and Healthy Environment 

Reporter: Tiara Marthias
Co-Chair: Michael Moore, WFPHA Vice President, President-Elect

Speakers:

  • Howard Njoo, Associate Deputy Chief Public Health Officer, Public Health Agency of Canada
  • Bolormaa Purevdorj, Head of Department on Health Promotion, National Center of Public Health, Mongolia
  • Shu-ti Chiou, Director-General, Health Promotion Administration, Ministry of Health & Welfare, Taiwan
  • Maria Neira, Director, Public Health and the Environment Department, WHO
  • Michael Marmot, Director of International Institute for Society and Health, University College London (UK) and Chair of WHO Commission on the Social Determinants of Health

kolkota13feb5Sesi ini bertujuan untuk memaparkan dan membahas pengalaman serta berbagai wacana seputar tantangan agenda kesehatan global yang lebih menempatkan ekosistem kesehatan sebagai lanjutan dari post-2015 agenda kesehatan global. Ekosistem kesehatan ini merupakan upaya untuk lebih meningkatkan pencapaian status kesehatan dengan menempatkan manusia dan lingkungan sebagai entitas yang tidak terpisahkan. Sejumlah ide yang perlu dibahas lebih lanjut mencakup apa sebenarnya dan bagaimana pendekatan yang tepat untuk mencegah risiko kesehatan yang berasal dari ekosistem atau lingkungan sekitar?

Michael Marmot, pakar di bidang determinan sosial kesehatan, yang sebelumnya berhalangan menghadiri sesi plenari ke-2, hadir di sesi plenari ke-3 ini sebagai salah satu pembicara.

Bagian awal sesi ini lebih banyak membahas determinan sosial kesehatan dan kemudian dilanjutkan dengan sejumlah pembelajaran dan inisiatif yang berupaya untuk memperbaiki status kesehatan melalui upaya perbaikan determinan sosial kesehatan. Inti dari kesehatan masyarakat dapat dicapai dengan menjamin adanya keadilan sosial di berbagai aspek masyarakat, di dalamnya mencakup:

  • Pemberdayaan, baik di sisi materi, psikososial, dan juga politik
  • Menciptakan kondisi-kondisi di mana masyarakat dapat memegang kendali penuh atas hidup dan kesehatannya

Agenda untuk meningkatkan keadilan sosial (social justice) ini dapat diraih melaluiupaya-upaya berikut; (1) meningkatkan kondisi di mana masyarakat lahir dan hidup, (2) menurunkan kesenjangan yang berhubungan dengan kondisi ekonomi, serta (3) melakukan pengukuran terus-menerus untuk melihat progress atau kemajuan serta memahami alasan mendasar permasalahan yang ada di masyarakat.

Salah satu topik yang menjadi contoh dalam sesi ini adalah tentang inisiatif-inisiatif seputar penyakit tidak menular / NCD yang berupaya untuk mengatasi masalah dasar penyakit itu sendiri, yaitu dengan menyasar pada determinan sosialnya dan juga memperbaiki lingkungan hidup manusia itu sendiri. Sejumlah program atau inisiatif yang dikemukakan antara lain adalah studi implementatif SEWA atau program Parivartan yang berhasil meningkatkan penguatan masyarakat dalam perbaikan status kesehatan.

Contoh menarik lainnya adalah dari Canada dan Taiwan dengan permasalahan obesitas yang semakin meningkat. Salah satu program yang diimplementasikan yaitu memperkuat partisipasi masyarakat dalam penurunan berat badan. Imobilitas atau rendahnya aktivitas fisik memang merupakan salah satu determinan yang sangat mempengaruhi status kesehatan. Namun, tidak semua masyarakat memiliki kesempatan dan fasilitas untuk berolahraga secara rutin.

Sehingga, salah satu intervensi yang telah berhasil dilakukan antara lain adalah mengadakan sesi olahraga rutin yang ringan dan cukup singkat di lingkungan kerja, sekolah, dan di rumah. Inisiatif ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, di mana area studi di Taiwan menunjukkan bahwa sekitar 76% peserta berhasil menurunkan berat badan lebih dari 1 kilogram/bulan serta terdapat penurunan prevalensi berat badan lebih dan obesitas yang signifikan di daerah ini.

Di akhir sesi, seluruh peserta konferensi diminta untuk mempraktekkan sejumlah olahraga ringan yang telah didesain dapat dilakukan di lingkungan kerja secara sederhana. Kegiatan ini dipimpin oleh Shou-ti Chiou dari Taiwan dan diikuti dengan semangat dari para peserta.

Session 7: Session on Public Health in reproductive, maternal, newborn & child health ‐ A

Reporter: Tiara Marthias

Presenter:

  • Mubashir Angolkar (India) – A study of causes of perinatal deaths through verbal autopsy: A community based study
  • Tesfay Gebregzabher Gebrehiwot (Ethiopia) – Impact of health extension program in improving access to maternal heatlh care in Northern Ethiopia
  • Melanie Gibson-Helm (Australia) – Maternal heatlh and pregnancy outcomes among women of refugee background in Australia: A retrospective, observational study
  • Salib Adib (Lebanon) – Knowledge, attitudes and practices of newborn screening among women in greater Beirut
  • Julia Mazza (Canada) – Poverty and disruptive behaviors in early childhood: The mediating role of maternal depression and parenting
  • Md. Noyem Uddin (Bangladesh) – An assessment of iron folic acid supplementation during pregnancy in rural Bangladesh
  • Vivek Sharma (India) – Men: A key gatekeeper yet a challenging resource to tap in Family Planning: An assessment from Bihar

Sejumlah hasil penelitian seputar kesehatan ibu, anak, dan reproduksi dipaparkan di dalam sesi ini.

kolkota13feb2Pembicara pertama, Mubashir Angolkar dari India, meneliti apakah otopsi verbal yang disederhanakan dan dilakukan oleh bidan atau perawat yang dilatih di bidang kebidanan (auxiliary nurse midwife), akan menghasilkan penilaian otopsi neonatus yang sama dengan dokter. Penelitian ini telah melihat 187 kematian neonatus di sebuah wilayah di India, dengan disain cross-sectional. Hasilnya adalah hasil otopsi verbal yang dilakukan oleh paramedis dapat diperbandingkan cukup baik dengan hasil otopsi yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mengimplikasikan bahwa otopsi verbal tidak harus menunggu adanya tenaga medis di suatu wilayah, tetapi tetap dapat dilakukan dengan baik oleh tenaga paramedis yang mungkin lebih dapat diakses, terutama di daerah terpencil.

Pembicara kedua, Tesfay Gebrehiwot dari Ethiopia, memaparkan hasil program pengembangan pelayanan kesehatan ibu di sebuah daerah di utara Ethiopia. Ethiopia adalah negara terpadat kedua di kawasan Afrika, dengan AKI 471 per 100.000 kelahiran hidup. Program ini berhasil meningkatkan cakupan pelayanan persalinan oleh tenaga terlatih, tetap itidak secara signifikan meningkatkan program antenatal.

Peneliti ketiga merupakan peneliti dari Monash University di Australia, Melanie Gibson-Helm, yang melihat apakah para pengungsi yang melahirkan di Australia memiliki perbedaan dalam hal luaran kehamilan dengan warga Australia yang bukan pengungsi. Penelitian ini juga melihat apakah ada perbedaan dengan warga Australia turunan asing atau lahir di luar Australia tetapi bukan pengungsi. Faktor risiko lain yang menjadi variabel kontrol adalah usia ibu, jumlah paritas, dan status sosioekonomi. Hasil penelitian ini ternyata menunjukkan bahwa luaran kehamilan tidak berbeda baik bagi warga Australia yang merupakan pengungsi ataupun non-pengungsi. Memang terdapat beberapa keterlambatan atau kurangnya perencanaan persalinan di antara pengungsi ini, dan dapat meningkatkan faktor risiko persalinan yang tidak baik. Beberapa faktor yang membuat para pengungsi ini membutuhkan pertolongan tambahan adalah faktor budaya dan bahasa yang menyulitkan pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan.

Penelitian dari Lebanon melihat bagaimana screening untuk neonatus dilakukan di Lebanon dan apakah ibu melahirkan paham tentang pentingnya screening ini. Screening neonatus sangat relevan di Lebanon, karena 30% perkawinan dilakukan dengan kerabat dekat (dengan sepupu pertama atau keluarga dekat). Ternyata kurang dari setengah persalinan mendapat skrining ini, dan sebagian besar ibu bersalin serta tenaga kesehatan tidak terlalu memahami / tidak pernah mendengar tentang skrining neonatus. Hal ini merupakan agenda penting pemerintah dan masyarakat di Lebanon, di mana upaya kesehatan masyarakat perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya skrining neonatus.

kolkota13feb3Penelitian dari Kanada oleh Julia Mazza melihat apakah gangguan perilaku pada anak dipengaruhi oleh status ekonomi. Penelitian ini menggunakan dataset kohort di Quebec yang mengikuti sekitar 1.800 anak hingga usia 5 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memang kemiskinan mempengaruhi gangguan perilaku pada anak, di mana anak yang mengalami kemiskinan cederung lebih hiperaktif dan agresif. Dua faktor penting yang menjadi faktor perantara adalah bahwa kemiskinan mempengaruhi pola asuh (overprotektif) dan juga level depresi pada orangtua. Untuk agresivitas pada anak, ternyata sikap orangtua yang overprotektif justru menurunkan insidensi agresivitas pada anak. Sementara untuk variabel hiperaktivitas, orangtua yang overprotektif atau mengalami depresi justru meningkatkan level hiperaktivitas pada anak tersebut.

Penelitian terakhir dari India menunjukkan bahwa rendahnya partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana sangat perlu diatasi dengan lebih mengikutkan pria dalam program tersebut, terutama karena India memiliki sistem patriarkal yang sangat kuat.

Sesi presentasi oral ini membawa begitu banyak pembelajaran. Salah satu hal yang menarik dikemukakan oleh Barbara Walker sebagai moderator, negara-negara yang mempresentasikan topik KIA ini sangat beragam. Misalnya, skrining neonatus di Amerika dan Kanada adalah kewajiban rumah sakit dan telah menjadi program utama di bidang kesehatan masyarakat sementara Lebanon masih berusaha meningkatkan cakupan program tersebut. Namun, beberapa penelitian ini telah berusaha menggunakan metodologi yang bagus untuk melihat bagaimana program-program kesehatan diimplementasikan, hal ini merupakan nilai penting dalam semua inisiatif di bidang kesehatan dan sangat penting untuk dipublikasikan di level global.

Comprehensive control of cancer cervix – WHO SEARO

Reporter: Eva Tirtabayu Hasri

Speakers:

  • Global-Regional Situation of Cancer Cervix and Regional Framework on Comprehensive Control of Cancer Cervix: Dr Arvind Mathur, WHO-SEARO
  • HPV Vaccination: towards Healthier Girls, Women and Future: Bhutan Country Experience: TBC: Sangay Phuntsho
  • Country Situation of Cancer Cervix and progress in development of National guidelines for screening and management:
    • Nepal: Dr Meera Thapa Upadhyaya
    • India: Dr Lakhbir Dhaliwal, Professor and Head, Department of Obstetrics and Gynecology, Post Graduate Institute of Medical Sciences, Chandigarh and Chair of MOHFW, GOI Expert Group on Cancer Screening Guidelines
  • Development of Regional Training Package on “Cancer Cervix Screening and Management”: Dr Partha Basu, Professor and Head, Department of Preventive Oncology, CNCI, Kolkatta

kolkota13feb6Salah satu delegasi PKMK berkesempatan untuk mengikuti panel di ruang Hangar 2. Sesi ini bertujuan untuk mempertimbangkan situasi global dan regional kanker serviks, menyebarkan kerangka kerja strategi regional dan memfasilitasi pertukaran pengalaman negara. Pengalaman tiga negara yang mejadi bahan pembelajaran negara lainya yaitu Nepal, Bhutan, dan India.

Pengendalian kanker serviks di negara-negara anggota south-east Asia regional office (SEARO) tidak pernah menjadi prioritas. Negara-negara anggota SEARO adalah Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste. Wilayah ini mempunyai banyak popolasi penduduk. Tahun 2013 India menempati urutan pertama dengan penduduk terbanyak sebesar 1. 252.140 kemudian diikuti oleh Indonesia sebesar 249.866.

Negara anggota SEARO menyumbang hampir 175.000 kasus kanker serviks etiap tahun dan sebesar 284.823 wanita Asia terdiagnosa kanker serviks. 122.844 kasus per tahun kanker serviks terjadi di India, data ini menjadikan Indonesia menjadi penyumbang kanker serviks nomor dua setalah India yakni 20.928 kejadian per tahun. Di beberapa negara ini, jumlah perempuan yang meninggal karena kanker serviks sebanding dengan jumlah kematian ibu saat melahirkan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, kantor WHO wilayah Asia Tenggara telah mengembangkan kerangka kerja strategis regional kontrol yang komprehensif bukan spesifik berdasarkan kebutuhan tapi secara global dengan tujuan untuk memperkuat program pengendalian kanker serviks nasional melalui dua cara yaitu pencegahan primer melalui vaksinasi HPV dan pencegahan sekunder melalui strategi skrining kanker serviks dan pengobatan.

Free Papers 5: Health System development tools, priorities, advocacy & evaluation – C

Reporter: Bella Donna

Free paper yang penulis ikuti adalah Health System – development tools, priorities, advocacy, and evaluation. Ada 6 oral presentasi tetapi yang hadir hanya 3 orang, yaitu:

  • Understanding the politics of PRIs in provisioning of primary healthcare: A study of primary healthcare providers in Uttar Pradesh oleh Virendra Kumar
  • An evaluation of homecare need and quality of life among idividuals in a semi-rural area of western Turkey oleh Resat Aydin
  • Determinants of willingness to participate in community-based health insurance scheme (CBHIS) in a rural community of north western Nigeria
  • Community based health care financing: a bridge to accessible health care for rural households-Osun State, Nigeria, 2012 oleh Aishat Usman
  • District gap analysis (DGA) dashboard: decision making for policy makers/ managers to adress health system gaps in Assam, India oleh Ajitkumar Sudke
  • Local governance system for management of hospital: functionally of rogi kalyan samiti in north eastern states of india oleh Anil Thomas

Presenter pertama Resat Aydin dari Turkey dengan judul ” An Evaluation of homecare need and quality of life among individuals in semi-rural area of western Turkey “. Resat bercerita tentang penelitian yang dilakukan bahwa dari 99% masyarakat, ada 80% yang berkunjung ke dokter dan hanya 28 % yang mengikuti Home Health Services (HHS). Kebanyakan dari mereka berusia > 75 th yang menggunakan HHS sementara usia < 65 th jarang menggunakan HHS. HHS ini masih sangat perlu ditingkatkan agar angka harapan hidup didaerah tersebut meningkat.

Presenter kedua Abdulrazaq Gobir dari Nigeria dengan judul ” Determinants of willingness to participate in community-Based Health Insurance Scheme (CBHIS) in a rural community of North-Western Nigeria“. Studi ini menceritakan bagaimana menilai dan memahami keinginan daerah terkait dengan faktor sosial ekonomi terhadap Community Best Health Insurance Scheme (CBHIS). Salah satu yang menyebabkan kurangnya keinginan berpartisipasi adalah karena penerimaan gaji rendah sementara pengeluaran tinggi. Dan dari hasil yang didapat bahwa rata-rata responden memiliki satu istri ( 56.1%) dan anak antara 1-6 ( 54.2%). Dan 81.7% pekerjaannya adalah petani dan hanya education quranic.

Pendidikan dan pemahaman mengenai CBHIS melalui tenaga kesehatan serta skema implementasinya sangat direkomendasikan untuk dilakukan. Rumah tangga poligami harus ditargetkan karena mereka yang paling bersedia berpartisipasi.

Presenter ketiga Ajitkumar Sudke dari India dengan judul ” District Gap Analysis (DGA) Dashboard: Decision-making tool for policy-makers/ managers to address health system gaps in Assam, India“. Jumlah total populasi di Assam ada 31.1 juta jiwa, dengan perkiraan bayi sekitar 670.000 jiwa , 300 jiwa MMR tertinggi di India, juga 54 jiwa IMR tertinggi di India. Assam memiliki enam rumah sakit kabupaten, 241 puskesmas, 2480 ibu rumah tangga (RT). Hasil penelitian Ajitkumar mengidentifikasi beberapa kelompok-kelompok yaitu infrastruktur termasuk sanitasi, human resources, pelatihan, komoditi dan alat, keahlian petugas, reporting dan record, perhatian masyarakat terhadap kebersihan.

 

Health System Development Priorities for Public Health-JSI (India)

Reporter: Bella Donna & Eva Tirtabayu Hasri
Moderator: Sonali Kochhar

Speakers:

  • Murray Aitken, Executive Director, IMS Institute for Healthcare Informatics
  • John Durgavich, Regional Manager, USAID DELIVER Project, JSI
  • N. Orobaton
  • Rahul Mullick, Senior Program Officer, Information & Communication Technology, Bill & Melinda Gates Foundation

kolkota13feb7Panel ini diselenggarakan dalam bentuk talkshow, berbagai pertanyaan ditanyakan langsung oleh moderator kepada empat narasumber. Narasumber menceritakan pengalaman intervensi program oleh John Snow Inc (JSI). JSI berkolaborasi dengan beberapa komunitas, governments, fasilitas, dan individual untuk mengembangkan skill dan mengidentifikasi solusi yang dibutukan untuk kesehatan masyarakat.

N. Orobaton mengatakan banyak pemahaman mengenai government tetapi Orobaton sendiri mengungkapkan government adalah sebuah kelompok dari beberapa orang yang berkumpul jadi satu yang melakukan tugas sampai selesai. Government harus intensif, langsung dan mempunyai otoritas serta kekuatan tapi komuniti dan government harus saling berhubungan dimana gubernur membuat keputusan dan masyarakat memahami semua yang diputuskan misalnya keputusan government membuat obat kloroheksiden untuk mengurangi infeksi pada bayi baru lahir. Kemudian Rahul mengatakan bahwa manajemen obat jelas kebutuhannya ketersediaan, dan distribusinya. 42 % obat dikontrol oleh pemerintah India tanpa pengawasan dari luar.

Pengembangan sistem kesehatan memerlukan dukungan terus-menerus mulai dari government, kebijakan infrastruktur, penggunaan teknologi, pengumpulan dan penyebaran informasi, organisasi pengembangan tenaga kerja kesehatan di tingkat nasional dan kelembagaan, kualitas pelayanan kesehatan. Hal yang paling penting dalam pengembangan sistem kesehatan adalah transfer atau distribusi informasi sehingga adanya pemahaman bersama untuk perbaikan sistem kesehatan di wilayah Asia.

Maternal Death Surveillance and Response (MDSR) ‐ WHO SEARO

Reporter: Tiara Marthias
Moderator: M.D. Devkota

Speakers:

  • Arvind Mathur
  • K. Jayaratne
  • H. Bhushan
  • P.G. Kumar, Senior Demographer, Ministry of Health, Nepal

kolkota13feb1Sesi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang pengalaman-pengalaman seputar surveillans kematian maternal di beberapa negara, dalam framework penggunaan tool maternal death surveillance response (MDSR) dari WHO.

Berbagai negara yang dipresentasikan di dalam sesi ini menunjukkan beberapa tantangan yang serupa dengan Indonesia, seperti:

  • Masih belum adanya kewajiban dan penegakan peraturan seputar surveilans kematian ibu di seluruh wilayah
  • Keterbatasan waktu dokter, perawat, dan bidan untuk melakukan surveilasn ini
  • Tidak semua tenaga kesehatan terlatih dalam melakukan audit maternal perinatal dan memahami pentingnya surveilans kematian ibu
  • Tindak lanjut hasil audit sangat terbatas dan belum dapat mengatasi penyebab kematian sesungguhnya, seperti alasan keterlambatan rujukan dan sebagainya
  • Adanya isu kekhawatiran masalah sengketa hukum yang membuat para petugas kesehatan enggan membagi atau mengatakan kejadian kematian ibu yang sesungguhnya.

Beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman di berbagai negara ini adalah:

  • Dasar hukum yang kuat sangat dibutuhkan untuk mewajibkan surveilans kematian ini, hal ini juga memandai adanya komitmen politik di daerah tersebut
  • Sri Lanka merupakan negara di kawasan Asia yang memiliki kisah sukses dalam menurunkan angka kematian ibu. Sri Lanka telah membuat sistem surveilans atau pelaporan kematian ibu sebagai kasus yang wajib dilaporkan oleh seluruh petugas dan fasilitas kesehatan, baik sektor swasta maupun publik. Kementerian Kesehatan Sri Lanka memiliki pusat surveilans kematian ibu yang bertugas melakukan dan mengkoordinasikan surveilans kematian ibu, termasuk audit menyeluruh, diseminasi hasil temuan, serta tindak lanjut dari hasil temuan tersebut.
  • Negara-negara ini telah menempatkan sistem satu pintu untuk surveilans kematian ibu, sehingga seluruh data dapat ter-update dengan cukup baik dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait
  • Memang masih ada beberapa tantangan, seperti adanya under reporting kasus kematian, terutama karena stigma atau kekhawatiran adanya implikasi hukum terhadap pekerja kesehatan. Namun, hal ini sudah mulai diatasi, salah satunya dengan merancang proteksi hukum untuk kasus-kasus kematian medis yang tidak berhubungan dengan malpraktek
  • Surveilans kematian ibu ini didasarkan pada sistem pelaporan penyakit menular yang sudah jauh lebih mapan dan memiliki komponen yang sudah lebih lengkap di berbagai level pemerintahan.

Indonesia, yang belum mengadopsi sistem surveilans yang wajib dan menggunakan sistem yang seragam di seluruh daerah, perlu segera membuat dasar hukum yang menjadikan kematian ibu dan anak sebagai salah satu kasus yang harus dilaporkan hingga ke level nasional. Hal ini akan lebih menjamin keterbukaan kasus yang mengarah pada perbaikan sistem kesehatan dan bukan untuk mencari siapa yang harus disalahkan serta akan lebih membantu pengembangan intervensi yang lebih sesuai dengan kondisi daerah.

Hari ke II The 14th World Congress on Public Health

kolkota7

Reporter: dr. Bella Donna, M. Kes; dr. Tiara Marthias, MPH dan Eva Tirtabayu, MPH

Setelah mengikuti pre-kongres sehari sebelumnya, maka tiga delegasi PKMK mengikuti Kongres kesehatan masyarakat yang dimulai hari ini, 12 Februari 2015 di Kolkata.

kolkota7

Kolkata adalah ibu kota dari Bengal Barat dan merupakan kota terbesar di India setelah New Delhi. Kota ini cukup membuat kami selalu terkejut dengan suara klakson mobil maupun motor dari setiap kendaraan yang ada di jalanan. Mereka selalu membunyikan klakson setiap kali jalan, dan yang menarik adalah bahwa setiap kali tiba di perempatan lampu merah maka akan mematikan mesin dan mulai menyalakannya kembali saat lampu menyala hijau.

Pengalaman pertama bagi delegasi PKMK untuk menginjakkan kaki di Kolkata. Infrastruktur, sanitasi dan budaya Kolkata membuat kami bangga menjadi anak Indonesia. Potret kehidupan masyarakat Kolkata menjadi tantangan bagi ahli kesehatan masyarakat. Mungkin ini sebabnya konferensi diselenggarakan di sini.

Kegiatan kongres diselengggarakan di Science City Kolkata, melihat tempatnya maka kami teringat Taman Pintar Yogyakarta, namun bangunan tempat pelaksanaan plennary berlangsung cukup luas dengan ruangan berbentuk teater dan bisa menampung sekitar 2.200 orang. Sementara kegiatan lainnya seperti presentasi oral disiapkan di belakang gedung grand theatre dengan bangunan yang dibangun khusus untuk kongres kesehatan masyarakat yang ke-14.

Berikut laporan dari kongres yang kami ikuti:

Defining the Role of Public Health in Today’s Global Setting

Co-Chairs: Bettina Borisch, Head of WFPHA Geneva Secretariate Dipika Sur, Secretary General, IPHA

Speakers:

  • Reuben Samuel, Representative to India, WHO
  • Eduardo Campos, FIOCRUZ (Brazil)
  • Pekka Puska, President of International Association of National Public Health Institutions (IANPHI)
  • Rudger Krech, Director of Department of Ethics, Equity, Trade & Human Rights, WHO

kolkota2Sesi ini bertujuan untuk memaparkan sejumlah reformasi di bidang kesehatan masyarakat, dengan mengangkat hasil-hasil pembelajarandari sejumlah negara dan kawasan.

Pembicara dari Finlandia memaparkan langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah dan profesional kesehatan masyarakat dalam bidang promosi kesehatan, terutama dalam menjawab tantangan beban penyakit degenatif atau non-communicable disease. Salah satu hasil nyata adalah berhasilnya program pengurangan kadar lemak dalam susu. Upaya ini tidak terlepas dari faktor-faktor kunci dalam mempromosikan perubahan dalam sistem kesehatan, di mana semua faktor saling mempengaruhi:

13feb15

Berdasarkan pengalaman di Finlandia dan dari suksesnya beberapa program promosi kesehatan, instrumen utama yang dibutuhkan adalah adanya dukungan dari kebijakan dan institusi pemerintahan terhadap program tersebut.

Pembicara dari FIOCRUZ/Brazil dalam paparannya yang berjudul “Public health needs to be both technical and political – Brazil experience in sharing health equity agenda” mempresentasikan situasi Brazil yang masih menghadapi sejumlah masalah kesenjangan dalam kesehatan. Namun, satu hal yang sudah didesain dengan baik di Brazil adalah adanya platform kebijakan yang menekankan equity dalam kesehatan. Misalnya, dalam konstitusi Brazil tahun 1988, keadilan kesehatan atau equity in health telah dituangkan dalam setidaknya lima pasal mengenai kesehatan. Konstitusi ini juga telah memberikan dasar hukum untuk implementasi universal health coverage, dengan penekanan pada kualitas dan kesetaraan untuk seluruh masyarakat Brazil.

Brazil, dalam gerakan yang menjadi bagian dari inisiatif health in all policies, berhasil menelurkan sejumlah program kunci (tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi menjangkau lintas sektor), terutama setelah dibentuknya komisi untuk determinan sosial kesehatan melalui surat keputusan presiden;

  • Conditional cash transfer – berhasil mengangkat 30 juta populasi dari status kemiskinan
  • Sektor pendidikan – dengan menyediakan pendidikan gratis hingga universitas
  • Pembangungan perumahan skala besar
  • Penyediaan akses universal ke sumber air bersih, listrik, dan sanitasi
  • Pusat-pusat kebugaran di level masyarakat

kolkota1Saat ini, meski tantangan kesehatan masih ada, Brazil telah berhasil menempatkan sistem rujukan berjenjang di seluruh kawasan negara tersebut, dan merupakan negara ke-2 terbesar setelah Amerika Serikat yang menyediakan layanan transplantasi organ yang dibiayai oleh negara, serta memiliki sistem transportasi untuk gawat darurat kesehatan secara universal.

Kunci pembelajaran dari Brazil yang dapat dipetik adalah reformasi di bidang kesehatan dapat berhasil bukan karena masalah teknis atau sekedar berhasilnya program-program kesehatan, tetapi dengan menjangkau sektor-sektor di luar bidang kesehatan dengan cara menyatukan kebijakan-kebijakan agar perbaikan kesehatan dianggap sebagai salah satu tujuan utama yang mendukung perbaikan bangsa.

Pemaparan dari WHO Brazil menunjukkan beberapa tantangan kesehatan di India, termasuk tingginya angka kematian ibu dan prevalensi gizi buruk pada anak. Meskipun terdapat beberapa perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, masalah kesenjangan kesehatan di India masih sangat besar. Misalnya, tingginya pembayaran out of pocket payment (OOP) yang mencapai 40% serta banyaknya rakyat India yang jatuh ke dalam satus miskin akibat pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure). Faktor kunci yang berperan adalah determinan sosial, dimana kesenjangan ini banyak dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan dan pendidikan masyarakat yang timpang.

Langkah kebijakan yang dianggap penting untuk India adalah tindakan-tindakan yang menggabungkan pendekatan upstream dengan downstream, termasuk mengatasi masalah determinan sosial untuk kesehatan, memastikan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin equity, serta inklusi masyarakat ke dalam program-program kesehatan.

Rudger Krech dari WHO memberikan presentasi menarik tentang bagaimana agenda kesehatan telah menjadi agenda politik. Misalnya dalam pertemuan pimpinan negara G-7 di Jerman pada 2014, tiga dari enam agenda adalah masalah kesehatan. Sementara tiga agenda lainnya juga berhubungan dengan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah isu pemberdayaan perempuan.

Agenda kesehatan menjadi agenda politik karena beberapa hal, terutama di era globalisasi saat ini;

  • Kesehatan mempengaruhi sistem finansial. Di era globalisasi ini, keruntuhan ekonomi di satu negara akan (dan tidak dapat dihindari) mempengaruhi perbankan dan sistem keuangan negara-negara lainnya.
  • Kesehatan telah menjadi isu keamanan, hal ini dapat dilihat dari isu Ebola di Afrika sejak tahun lalu, di mana penyakit tidak mengenal perbatasan ataupun zona wilayah negara.
  • Kesehatan selalu merupakan masalah sosial yang mempengaruhi masyarakat di tingkat global.

Kepentingan politik ini juga telah membuahkan sejumlah inisiatif kesehatan global yang didukung oleh berbagai negara. Banyak sekali organisasi kesehatan global yang didanai oleh pemeirntah, berbagai peneltiian dan proyek kesehatan yang didukung oleh berbagai negara, hingga kolaborasi internasional yang saat ini sangat banyak dan berkembang pesat.

Namun, dari tragedi krisis Ebola yang terjadi akhir-akhir ini di kawasan Afrika Barat, nyata sekali bahwa sistem kesehatan masyarakat global belum dapat berfungsi sama sekali dalam mengatasi bencara semacam Ebola. Kegagalan ini terjadi di dua level:

  1. Di dalam negeri yang mengalami wabah Ebola, di mana tidak ada sistem kesehatan yang berfungsi sehingga kontrol wabah tidak berjalan dengan semestinya. Para pekerja kesehatan tidak didukung oleh pemerintah, baik dari segi alokasi pendanaan maupun regulasi yang mendukung sistem itu sendiri.
  2. Kegagalan kedua adalah di level global, yang lebih banyak dibahas dalam sesi ini. Komunitas kesehatan global ternyata tidak memiliki sistem koordinasi yang berfungsi. Hal ini dapat dilihat dari begitu lambatnya respon global terhadap wabah Ebola, yang menyebabkan kematian ribuan masyarakat dan ratusan pekerja kesehatan di berbagai negara. Komunitas kesehatan global juga mengalami kegagalan dalam memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, yang juga disebabkan oleh begitu terbatasnya koordinasi antar insitusi dan negara-negara di bidang kesehatan global.

Hasil diskusi sesi ini menggarisbawahi beberapa hal penting, yaitu:

  • Komunitas kesehatan global harus menghentikan kebiasaan eksklusivitas yang telah membatasi hubungan dunia kesehatan dengan bidang lainnya.
  • Tanpa perubahan yang nyata, sistem kesehatan global saat ini tidaklah berfungsi sebagaimana mestinya. Upaya harus dilakukan ke arah yang sama dan didukung oleh berbagai pihak, misalnya dengan mengkoordinasikan institusi dan berbagai negara untuk satu tujuan kesehatan global.
  • Perubahan sistem ini perlu dimulai dari perubahan dalam sistem pendidikan public health yang perlu lebih inklusif terhadap lintas sektor lainnya

kolkota3

Public Health Services in India – Progress and Prospects ‐ Ministry of Health & Family Welfare, Government of India

Ministry of Health, India:

  • Sanjeev Kumar
  • Manoj Jhalani
  • PK Sen
  • P Khasnobis

kolkota4

Sesi ini memaparkan sejumlah program kesehatan yang telah dijalankan di India, serta tantangan dan pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman di India.

India merupakan negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,2 milyar. India juga menghadapi berbagai tantangan kesehatan, misal Angka Kesehatan Ibu (AKI) di level 240 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 28 per 1.000 kelahiran hidup. Masalah penyakit menular serta tidak menular juga merupakan tantangan besar. Selain itu, disparitas status kesehatan di India cukup menyolok, dengan AKI yang mencapai dua kali lipat di beberapa daerah di India serta kesenjangan antar perkotaan dan pedesaan yang tinggi.

Sejumlah tantangan ini berhubungan dengan sistem kesehatan yang lebih luas, termasuk:

  • Terbatasnya alokasi dana untuk kesehatan, baik dari level pemerintahan union maupun state
  • Terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan continuum of care
  • Kualitas layanan kesehatna yang bervariasi antar level layanan dan daerah
  • Kurangnya sumber daya manusia untuk kesehatan
  • Keterbatasan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program kesehatan
  • Kurang terkoordinasinya program-program kesehatan yang bersifat vertikal. Hal ini terutama relevan dengan Indonesia yang sama-sama memiliki sistem pemerintahan yang terdesentralisasi seperti India.

Beberapa pembelajaran dari India yang dipaparkan dalam sesi ini adalah:

  • Keberhasilan program imunisasi universal
  • Diwajibkannya pembangunan fasilitas kesehatan khusus ibu dan anak di seluruh negara bagian di India
  • Inisiatif surveilans penyakit (saat terjadi wabah penyakit di India untuk kasus Japanese enchepalopathy) dan penanganan yang telah melibatkan tidak hanya kementerian kesehatan tapi ditanggulangi bersama-sama dengan kementerian lainnya. Selama ini, koordinasi antar kementerian masih terbatas. Namun, dengan adanya wabah ini yang diikuti oleh leadership yang serius, maka koordinasi lintas sektor dapat tercapai.

Community Health Workers: A critical resources in last mile delivery and improved health and nutrition-Bill & Melinda Gates Foundation

Speakers:

  • Shamid Trehan, Chief of Party, Bihar Technical Support Unit
  • C. Haworth
  • A Mukherjee

Sesi ini memaparkan berbagai penelitian dengan bantuan dari Bill & Melinda Gates Foundation. Bill & Melinda Gates mulai membantu India tahun 2003. Fokus bantuan meliputi empat sektor yaitu health, sanitation, financial services, dan agricultural development.

Ketiga pembicara memaparkan lesson learn yang telah dilakukan di Bihar untuk mengatasi masalah kesehatan, nutrisi, dan sanitasi. Kegiatan ini dikenal dengan communit health workers (CHWs).

Atmosfer budaya kesehatan masyarakat Bihar sama halnya dengan negara rural lainnya. Banyak ibu hamil yang tidak mau periksa kandungan ke fasilitas kesehatan, sanitasi juga tidak baik sehingga mereka bertiga membuat komunitas yang dikenal dengan ASHA. ASHA adalah kumpulan perempuan India yang bertugas untuk membrikan edukasi dan sosialisasi kepada ibu hamil hamil dan keluarganya.

Tiga pembicara pada sesi thematic session 2 memberikan Edukasi dan informasi melalui media mobile phone yang dikenal dengan mobile academic dan mobile kunjhi. Mobile academic adalah semacam pelatihan yang diberikan ke group ASHA melaui telpon sehingga mereka akan mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti sebagai trainer. Mobile kunjhi hampir sama dengan dengan mobile academic, mobile kunjhi berupa kartu-kartu yang berisi gambar, tulisan, nomor telpon dokter, emergency call, rumah sakit, primary care yang bisa dihubungi. ASHA memiliki rekaman suara dokter yang menerangkan tentang kenyamanan melahirkan di faslitas kesehatan maupun ditenaga kesehatan. Kegiatan ini ternyata meningkatkan kesehatan, nutrisi, dan sanitasi bagi ibu hamil maupun ibu yang memiliki anak di Bihar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa India mempunyai sanitasi yang tidak adekuat, hal ini terbukti dari 200.000 kematian pada anak-anak setiap tahunnya.

Public Health in the Sustainable Development Agenda

Co-Chairs:

  • Mengistu Asnake, WFPHA President
  • Madhumita Dobe, Organizing Secretary, 14th WCPH, IPHA

Speaker:

  • Maria P. Neira, Direcor of the Department of Public Health, Environment and Social Determinants of Health, WHO
  • Girindre Beeharry, Country Head of Bill & Melinda Gates Foundation
  • Purnima Mane, President and CEO of Pathfinder International
  • Shiriki Kumanyika, President of APHA

kolkota6

Sesi ini mengalami sedikit perubahan, di mana Dr. Michael Marmot belum dapat hadir di konferensi ini. Michael Marmot akan memberikan paparan pada esok hari (Jum’at, 13 Februari 2015) dan saat ini digantikan oleh Maria Neira yang juga merupakan ahli di bidang social determinants of health dari WHO.

Sesi plenari kedua ini bertujuan untuk membahas bagaimana posisi public health di era global seharusnya, framework yang dapat digunakan, serta bagaimana komunitas kesehatan global perlu saling bekerja sama di era pasca MDG yang akan segera dimulai pada tahun 2015.

Sejumlah paparan mengenai visi dan misi berbagai organisasi disampaikan, seperti misalnya APHA (American Public Health Association) yang saat ini mulai fokus ke isu-isu seputar kesehatan lingkungan dan One Health. Beberapa aspek penting yang disimpulkan dari sesi ini adalah:

  • Setiap organisasi memiliki visi dan misi masing-masing, tetapi agenda kesehatan global tetap menjadi target utama
  • Organisasi-organisasi dapat menjadi kuat karena memiliki dasar yang jelas mengenai: (1) apa yang akan dilakukan dalam jangka panjang, menengah, pendek, (2) siapa saja target audience kegiatan organisasi ini, serta (3) bagaimana caranya untuk mencapai agenda organisasi atau apa saja tool yang tersedia dan dimiliki oleh organisasi tersebut dalam melakukan kegiatannya
  • Organisasi seharusnya tidak berdiri sendiri dan bersifat eksklusif, tetapi justru mengedepankan agenda kesehatan dan komunitas di level global karena kita semua adalah pemain utama dan rekanan dalam mencapai status kesehatan global yang optimal.

 kolkota5

CHEPSAA Networking Meeting

johannesburg

johannesburg

Pada Selasa hingga Kamis tanggal 27-29 Januari 2015, Ketua Board PKMK FK UGM Prof Laksono Trisnantoro menjadi tamu undangan menghadiri pertemuan jaringan Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA) di Johannesburg, Afrika Selatan. Tujuan pertemuan ini antara lain: pertama, membagi pengalaman CHEPSAA dalam mengembangkan HPSR+A di Afrika, dan di luar Afrika. Kedua, melakukan refleksi hasil kerja CHEPSAA selama ini. Ketiga, melakukan refleksi pada evaluasi ke CHEPSAA. Keempat, melakukan identifikasi berbagai pelajaran dari pengalaman dan untuk meningkatkan kemampuan melakukan riset kebijakan dan analisis kebijakan di masa mendatang. Misi Prof Laksono Trisnantoro dalam pertemuan ini untuk mempelajari bagaimana jaringan CHEPSAA dapat berkembang dan kemungkinan risiko mengalami kemunduran, untuk keperluan perbandingan dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Pertemuan ini dilakukan di Hotel Crowne Plaza yang terletak di tepian kota Johannesburg.

  Sesi 1: Pembukaan

27jan15-1Nonhlanhla Nxumalo dan Lucy Gilson sebagai pemimpin CHEPSAA menyatakan bahwa jaringan ini dimulai pada tahun 2011. Sebelumnya sudah ada kerjasama di tahun 2003-2008, kemudian berkembang menjadi jaringan yang didanai oleh European Union di tahun 2011.

Mengapa ada jaringan ini?

Health Policy and System Research and Analysis merupakan suatu hal yang penting. Namun, di Afrika jumlah lembaga dan peneliti penelitian kebijakan sangat sedikit dan juga permintaan dari pengambil kebijakan juga rendah. Oleh karena itu, perlu pengembangan jaringan ini di Afrika.

Tujuan CHEPSAA:

Tahun 2016 menjadi pilihan untuk beberapa hal yang dirasa penting, yaitu menjadi pengembangan modul dan pelatihan/pendidikan penelitian dan analisis kebijakan yang bermutu. Ada tiga kegiatan penting yaitu Riset, Network, dan Teaching. Oleh karena itu, ada pengembangan secara sistematis dalam:

  1. Pendidikan/Pengajaran riset dan analisis kebijakan di berbagai negara;
  2. Penelitian kebijakan dan sistem kesehatan serta analisis kebijakan.
  3. Pengembangan jaringan dan kemitraan antar partner dengan pengambil kebijakan.

CHEPSAA didukung oleh berbagai perguruan tinggi di Eropa dan didanai oleh berbagai dana penelitian. Framework yang dipergunakan dijelaskan secara detail di website resminya. Silakan kunjungi link berikut untuk memahami lebih detil: http://hpsa-africa.org. Untuk dokumennya, silakan anda klik Health Policy and Systems Research: Needs, challenges and opportunities in South Africa – a university perspective (Marsha Orgill and team).

 


  Sesi 2: Penilaian Aset

Catatan menarik dari pembicara kedua yaitu Tolib Mirzoev dari University of Leeds yang menjadi konsultan CHEPSAA. Dr. Tolieb menyatakan bahwa kapasitas antar anggota sangat berbeda. Hal ini menjadi fokus penting untuk pengembangan di masa mendatang, antara lain: memahami kapasitas, pendekatan dan metodologi, hasil yang dilihat serta refleksi. Cara menilai kapasitas anggota melalui beberapa indikator berikut:

  1. Memahami konsep kapitasi
  2. Konsep pemetaan, termasuk berbagai aset seperti SDM yang mampu meneliti (junior, senior), fasilitas, kesempatan dalam sisten, dan sebagainya.
  3. Mengukur kemampuan organisasi dan individu
  4. Sintesis antar anggota (7 anggota).

Apa yang dinilai dalam konteks kapasitas?

27jan15-2Infrastruktur yang mencakup antara lain: kepemimpinan, kemampuan organisasi (termasuk governance di sini), dan ketersediaan asset seperti stff penelti, termasuk yang senior, fasilitas, dan berbagai hal lainnya. Kegiatan yang dinilai mencakup Riset, Teaching, dan Networking dengan berbagai pihak yang berada dalam Konteks Demand for HSPR + A dan Lingkungan sumber daya. Hasilnya memang sangat bervariasi antar tujuh anggota CHEPSAA.

  1. Berbeda dengan nama
  2. Berbeda sumber income
  3. Jumlah peneliti senior yang sangat berbeda
  4. dan sebagainya

Catatan penting untuk dana:

  1. Demand sedikit
  2. Limited domestic funding, tergantung dari luar negeri.
  3. Bisa ke international funding

Bagaimana hubungan dengan pengambil keputusan:

  1. Kurangnya koordinasi untuk penentuan prioritas riset,
  2. Sedikit dipakai untuk pengambilan keputusan.

Untuk lebih lengkapnya silakan simak laporan-laporan mereka di bawah ini:

  1. Assessment of capacity for Health Policy and Systems Research and Analysis in seven African universities: results from the CHEPSAA project (Tolib Mirzoev and team).
  2. How to do Capacity Assessments for Health Policy and Systems Research in University Settings: A Handbook
  3. A new methodology for assessing health policy and systems research and analysis capacity in African universities


  Bagaimana Lesson-Learnt untuk Indonesia.

Sejak lima tahun yang lalu, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia sudah lahir dan berkembang. Ada perbedaan dan persamaan antara JKKI dengan CHEPSAA. Lalu, apa yang berbeda?

  1. JKKI hanya di Indonesia, CHEPSAA merupakan network internasional diantara negara Afrika.
  2. Berbeda dengan CHEPSAA yang didanai proyek dari Eropa, JKKI tidak mempunyai dana pengembangan.
  3. Keanggotaan CHEPSAA sangat formal karena terkait sebuah proyek (7 partner dalam Proyek di Afrika dengan beberapa partner dari Eropa) dari EU.

Persamaan yang dimiliki JKKI dan CHEPSAA:

  1. Tujuan. Siapa yang dituju oleh Jaringan: pengambil keputusan, level nasional dan pemerintah daerah, perguruan tinggi dan NGO.
  2. Mengembangkan modul untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
  3. Prinsip keilmuan: menggunakan Health Policy and System Research (HPSR) dan Health Policy and System Analysis (HPSA).
  4. Titik atau poin untuk pengembangan penelitian dan analisis kebijakan bertumpu pada perguruan tinggi.
  5. Perbedaan kapasitas antar anggota merupakan hal yang perlu diperhatikan dan diatasi.
  6. Leadership di setiap anggota jaringan perlu ada.

Tantangan CHEPSAA adalah keberlanjutan, karena proyek pengembangan ini berakhir pada tahun 2015. Apakah para anggota dapat mengembangkan diri. Apakah jika proyek berhenti maka kegiatan juga akan berhenti? Sementara, tantangan untuk JKKI adalah; apakah tanda proyek Jaringan ini dapat berjalan?

Pertanyaan-pertanyaan strategis yang akan dibahas di Indonesia:

  1. Bagaimana JKKI dapat dikembangkan? Darimana dananya?
  2. Bagaimana mengembangkan keanggotaan? Apakah melalui pengembangan Bagian IKM di FK dan FKM yang mengajarkan Kebijakan dan Manajemen Kesehatan?
  3. Bagaimana cara mengembangkan kapasitas di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang sangat bervariasi?
  4. Bagaimana dana untuk penelitian kebijakan dan analisis kebijakan dapat diperoleh di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Apakah kebijakan dana Monev dari dalam negeri dapat dilakukan?
  5. Dari mana dana pengembangan? Apakah dari lembaga donor luar negeri, ataukah berasal dari dana dalam negeri khususnya dari perguruan tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam kegiatan pengembangan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia setelah berlangsungnya pertemuan di Afrika.

Topik:

Pengembangan Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan dan Sistem Kesehatan

28jan-1Panel Diskusi ini membahas mengenai Emerging Leadership. Program pengembangan ini bertujuan meningkatkan kapasitas dan menambah jumlah peneliti kebijakan kesehatan yang akan menjadi pemimpin ilmu di masa mendatang. Pelatihan ini telah berjalan di lima negara.

Panel dibuka dengan testimoni beberapa peserta pelatihan yang berasal dari berbagai universitas di Afrika.

Pertanyaan umum: Apa yang diperoleh dari pelatihan Emerging Leadership? Berikut ini berbagai jawaban yang ada: pertama, bekerja dalam acara multidisiplin. Kedua, menguatkan kemampuan menyusun argumen dalam riset. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Keempat, meningkatkan team building, dan juga memahami apa kekuatan dan kelemahan kita sebagai peneliti. Kelima, melakukan transformasi diri dan bagaimana cara refleksi terhadap suatu hasil pelatihan. Keenam, memahami kekuatan saya sebagai peneliti dimana saya bisa lebih percaya diri. Ketujuh, dimana posisi saya dalam penelitian kebijakan. Kedelapan, dalam memahami tujuan dan konteks penelitian saya mencoba fokus dan terus melakukan refleksi; dan berbagai hal lainnya.

Apakah ada perubahan di lembaga anda?

Ya, sudah ada perbaikan untuk mengembangkan team kerja. Saat ini, saya sudah memimpin dengan lebih baik. Perubahan lainnya yaitu meningkatan kemampuan mengajar saya. Kemudian, proyek menjadi lebih tertata. Terakhir, perubahan terjadi pada bagaimana mengubah sifat staf penelitian saya.

Apakah ada formal mentorship?

Kita baru saja mulai program mentorship. Memang masih sulit tapi sudah dimulai.

Pendapat dari para peserta menunjukkan bahwa penelitian kebijakan dan sistem kesehatan bukan penelitian biasa. Program pengembangan ini tidak hanya berupa pelatihan metode penelitian, namun juga ada komponen soft-skills training. Hal ini menunjukkan bahwa seorang peneliti kebijakan mempunyai lingkungan dan pihak terkait yang harus dikelola dengan tepat.

  Pertanyaannya:

Apa saja kompetensi dan kapasitas yang dituju? Diagram di bawah ini menunjukkan berbagai kompetensi dan kapasitas yang dituju dalam program Kepemimpinan penelitian ini:

Kapasitas/Kemampuan

Hal-hal kunci

Ketrampilan Perorangan

Ketrampilan komunikasi

Ketrampilan mendengarkan

Kesabaran

Sikap menghargai orang lain yang berbeda perspektif

Menghargai disiplin ilmu lain

Ketrampilan interpersonal

Kemampuan untuk mengenali, menghargai, dan mengurai kerumitan

Mempunyai kesadaran akan karir pribadi

Kemampuan untuk memprioritaskan, mengelola waktu dan kemampuan

Kemampuan menulis

Menulis artikel di Jurnal

Menulis Policy Brief

Menulis laporan

Manajemen Proyek

Merancang sebuah penelitian

Menulis proposal untuk grant

Melakukan kegiatan

Melaporkan

Mengetuai pertemuan-pertemuan ilmiah

Networking

Mengelola network lama

Merintis network baru

Pemahaman akan Penelitian Kebijakan-Sistem Kesehatan dan Analisis Kebijakan

Memahami metodenya

Menggunakan pendekatan multi-disiplin

Memahami Sistem Kesehatan

Kemampuan untuk memahami dan bekerja dalam kerumitan

Ketrampilan Penelitian

Kemampuan untuk merumuskan permasalahan dalam penelitian

 

Rancangan pengumpulan data dan analisisinya

 

Identifikasi dan menilai sumber data dan keterbatasannya

 

Ketrampilan analisis data

 

 

Untuk mempelajari kegiatan Emerging Leadership ini silakan klik 2 referensi di bawah ini:


  Manfaat sesi ini untuk Indonesia.

Sampai saat ini, pelatihan jarang mempunyai kurikulum yang sifatnya soft- skills untuk peneliti. Pelatihan untuk peneliti biasanya berfokus pada metode peneltian. Apa yang dibahas di Johannesburg ini sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk penelitian kebijakan kesehatan. Pertanyaan penting untuk pelatihan kepemimpinan dalam penelitian kebijakan adalah:

  • Siapa sasaran pelatihan kepemimpinan dalam penelitian kebijakan dan sistem kesehatan? Apakah para peneliti senior saat ini, ataukah peneliti muda yang akan menjadi pemimpin di masa mendatang?
  • Dimana lembaga tempat bekerja? Apakah di FK, FKM, atau di Fakultas Sosial Politik? Atau di lembaga-lembaga penelitian lain?.
  • Apakah ada masa depan untuk penelitian kebijakan kesehatan di Indonesia sehingga dapat menarik peneliti untuk mengembangkan diri?

Kegiatan yang direncanakan:

Mulai Februari 2015 akan dimulai pelatihan Blended Learning untuk para peneliti Kebijakan Kesehatan dengan menggunakan isi yang terdiri atas: (1) Hal-hal teknis; (2) Metode Penelitian; dan (3) Soft Skills. Kami akan kirimkan detil kegiatan, cara mengikuti, dan biaya untuk mengikuti.

Curriculum Development

utaHari kedua pertemuan membahas berbagai topik. Salah satu topik menarik yang penting bagi peneliti kebijakan adalah bagaimana cara menyusun kurikulum. Presenter dalam topik ini adalah Uta Lehmann.

Uta menekankan bahwa program pengembangan kurikulum merupakan salah satu kegiatan penting CHEPSAA. Mengapa? Kurikulum merupakan dasar dari program belajar dan mengajar.

Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang digunakan CHEPSAA adalah:

 

  • Allignment, harus ada penyelarasan antara tujuan belajar yang diharapkan, kegiatan belajar dan mengajar serta penilaian yang dilakukan.
  • Relevan dengan kebutuhan lapangan dan pembelajar;
  • Coherence, dimana seluruh bagian dari pengajaran dilakukan berdasarkan pendekatan dan sistem yang sama.
  • Reiterative, artinya penyusunan kurikulum merupakan satu hal yang perlu dievaluasi dan di-review secara terus menerus agar tetap relevan.

Ada empat pertanyaan kunci yang perlu ditanyakan setiap kali ada penyusunan kurikulum, yaitu:

  1. Apa tujuan pendidikan yang akan dicapai;
  2. Apa pengalaman (belajar) yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut?
  3. Bagaimana caranya agar pengalaman belajar dapat diorganisir secara efektif?
  4. Bagaimana cara kita menentukan tujuan-tujuan pembelajaran sudah dapat tercapai?

Proses menyusun kurikulumnya seperti digambarkan bagan berikut:

29janjo

Proses penyusunan kurikulum ini penting bagi:

  1. Para penyusun kurikulum di program Pascasarjana (S2 dan S3);
  2. Para penyusun kurikulum pelatihan singkat bagi eksekutif/pengambil keputusan.

Bagi Anda yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai pengembangan kurikulum untuk program pascasarjana (S2 dan S3) dan pelatihan, terlampir tiga paper yang dapat dipelajari. Silakan klik:


  Bagaimana lesson-learnt untuk Indonesia.

Berbagai perubahan yang ada di Indonesia saat ini membutuhkan banyak pelatihan dan pendidikan pascasarjana (S2 dan S3) untuk berbagai sasaran misalnya:

  1. Pejabat di Kemenkes
  2. Pejabat di Dinas Kesehatan
  3. Pegawai di BPJS
  4. Peneliti-peneliti kebijakan kesehatan dan berbagai pihak lainnya.

Pelatihan dapat dilakukan secara tatap muka, jarak jauh ataupun kombinasi kedua pendekatan tersebut (Blended Learning). Pendekatan-pendekatan pelatihan ini tentunya disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti yang ada di atas:

  1. Apa tujuan pendidikan yang akan dicapai. Apakah akan meningkatkan pengetahuan saja (knowledge), ataukah untuk ketrampilan (skills), ataukah sikap ataukah campuran. Juga apakah pendidikan untuk menghasilkan penemuan yang berguna bagi pengembangan ilmu (khususnya di level S3).
  2. Apa pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut? Penentuan program ini menjadi menarik karena akan menyangkut besarnya biaya pendidikan/pelatihan, kemungkinan dikerjakan dengan keterbatasan teknologi pendidikan/pelatihan, dan berbagai hal lain yang perlu dipertimbangkan.
  3. Bagaimana caranya agar pengalaman belajar dapat diorganisir secara efektif? Hal ini membutuhkan ketrampilan penyusun modul secara baik.
  4. Bagaimana cara kita menentukan apakah tujuan-tujuan pembelajaran sudah dapat tercapai. Hal ini terkait dengan system penilaian keberhasilan peserta untuk menempuh ujian dan berbagai cara pengukuran lainnya.

Mengingat tantangan pertanyaan-pertanyaan ini sangat besar, salahsatu kemampuan tingkat tinggi yang sebaiknya dimiliki oleh para peneliti/tenaga ahli dalam kebijakan kesehatan adalah menyusun kurikulum untuk berbagai pelatihan/pendidikan yang dibutuhkan. Pengalaman CHEPSAA dalam menyusun kurikulum ini perlu dipelajari secara seksama.

DIharapkan pasca kunjungan ke Afrika Selatan ini ada kegiatan untuk mengembangkan kemampuan menyusun kurikulum. Untuk itu perlu ada sinergi antar para pengelola pascasarjana yang terkait dengan kebijakan kesehatan dan juga antar para ahli kebijakan kesehatan.

 

1feb15Hari ketiga (terakhir) membahas isu-isu penting pengembangan CHEPSAA dan networkingnya. Isu yang dibahas dan relevan untuk Indonesia antara lain Networking; pengembangan bentuk baru Emerging Leaders, penggunaan Web-based untuk program mendatang.

Dalam pembahasan ini juga dilihat adanya berbagai modul yang sudah dihasilkan dan sifat open dari CHEPSAA.

Sejak tahun 2015 ini CHEPSAA berubah dari sebuah Konsorsium menjadi Komunitas (C dalam Consortium menjadi Community). CHEPSAA sebagai konsorsium selesai pada 2015. Diteruskan dengan menjadi sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai interest sama dalam hal kebijakan dan penelitian serta analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian CHEPSAA mulai tahun 2015 masuk ke babak baru yang mempunyai risiko tinggi, karena harus menjadi dynamo dari sebuah masyarakat kebijakan kesehatan di Afrika. Untuk itu kemampuan networking sangat dibutuhkan yang membutuhkan web sebagai dasar komunikasi ke berbagai pihak. Pada poin ini sangat disadari kebutuhan untuk penyebaran ilmu dari hasil CHEPSAA. Dalam diskusi pengalaman PKMK FK UGM yang mengembangkan web menjadi hal yang menarik untuk CHEPSAA di masa mendatang.

Sebagai penutup dari laporan ke Johannesburg, ada beberapa modul dari CHEPSAA yang menarik untuk dipelajari untuk masa depan yang lebih baik sebagai berikut:

 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Complex Health Systems: Module
This module covers topics such as the definition of a health system; frameworks for analyzing health systems; complexity in health systems and the importance of agents and their mindsets, interests and power; and leading change in health systems. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides, case studies and handouts.

Get the module

   
 

ICHS thumbnailNEW Introduction to Health Policy and Systems Research: Module
This module covers topics such as the definition of health policy and systems research; generating and framing questions; the important role of researchers’ own perspectives and disciplines in research; study design; rigour and ethics. It consists of a course outline, notes for facilitators, PowerPoint slides and handouts.

Get the module

   
 

Health Policy Analysis: Module
The module consists of course outline, teaching materials and facilitator notes for health policy analysis. It takes the form of a 1-week course and out-of-class assignments. Designed to be taught at post-graduate level (Health Policy Analysis in Africa (HEPAA)).

Get the module
and appendices

 
 

Managing Human Resources for Health: Module
The module introduces the scope and context of human resource management in the health sector. It covers the following topics: human resources management in context; being a human resource manager and managing people (University of the Western Cape).

Get the module

   
 

ICHS thumbnailBackground to the Development of CHEPSAA’s teaching resources: Background document 
This document explains CHEPSAA’s efforts to develop teaching resources for the field of health policy and systems research and analysis. It highlights the courses and other resources CHEPSAA intends to develop and make available as open educational resources.

Read the document

Modul-modul ini dapat diakses di:

http://hpsa-africa.org/index.php/teaching-materials/modulescourses 

Modul-modul ini disebarluaskan dengan prinsip Open menggunakan perjanjian Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 2.5 South Africa (CC BY-NC-SA 2.5 ZA) . Dengan perjanjian ini maka penggunaan dan pengembangannya dapat lebih cepat terjadi.

CHEPSAA. (2013). Principles and practice of good curriculum design. Cape Town, Consortium for Health Policy & Systems Analysis in Africa.

is licensed under a

Creative Commons Attribution-Non-Commercial-Share Alike 2.5 License

December 2013

  You are free:

 

to Share – to copy, distribute and transmit the work

 

to Remix – to adapt the work

 

Under the following conditions:

 

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor  (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

 

Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

 

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

  • For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One  way to do this is with a link to the license web page: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  • Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  • Nothing in this license impairs or restricts the authors’ moral rights.
  • Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  • Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  • Citation of this work must follow normal academic conventions

Dengan sistem terbuka ini , CHEPSAA percaya bahwa pengembangan keilmuan penelitian kebijakan kesehatan dapat semakin cepat dilakukan di Afrika. Tidak ada peraturan kaku tentang copy-right yang dapat menghambat perkembangan ilmu penelitian kebijakan kesehatan.

Refleksi dari pertemuan di Johannesburg:
Apa yang dapat dipergunakan untuk Indonesia?


Materi pertemuan CHEPSAA di hari ke 3 ini dapat dipergunakan untuk memperkuat Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) . Jaringan yang dibina PKMK FK UGM saat ini sudah berada pada tahun ke V. Jaringan ini bersifat independen, dengan anggota unit yang terkait dengan penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan di perguruan tinggi, lembaga penelitian di Departemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pelayanan kesehatan, dan juga pengambil kebijakan. Tujuan utama Jaringan ini adalah menghimpun kekuatan bersama dari para peneliti, dosen, dan ahli kebijakan menuju Indonesia yang lebih sehat, sebagai tenaga ahli kebijakan dan manajemen kesehatan di daerah masing-masing.

Selama 5 tahun pengembangan, terlihat masih ada banyak masalah yang menghambat pengembangan anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Salahsatu masalah besar adalah ketidak siapan sumber daya manusia perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam penelitian kebijakan, memonitor, mengevaluasi, merencana dan melaksanakan sebuah kebijakan kesehatan. Ketidak siapan ini merupakan suatu gejala yang mempunyai sifat “lebih dulu telur atau ayam” dengan masalah lain yaitu ketersediaan dana untuk melakukan kegiatan aktif dalam proses kebijakan kesehatan. Tanpa ada dana riset, akan sulit menambah SDM peneliti. Saat ini riset kebijakan kesehatan masih sedikit dijalankan dan hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu melakukan dengan baik.

  Kebutuhan akan Monitoring dan Evaluasi secara Independen

Saat ini Kemenkes dan BPJS di era JKN membutuhkan dukungan penelitian, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun. Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas system pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten perlu mengawasi mutu pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Namun fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Oleh karena itu Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan system kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk member perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat kelemahan Dinas Kesehatan dalam pengawas, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

  Masalah

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda di sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

Di sisi lain, para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan, monev. Secara khusus para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Juga ada beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada 1 unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari 1 pusat.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

  1. Memperkuat networking di JKKI. Networking ini dapat bermacam-macam, antara lain:
    • antar universitas di Indonesia
    • antar universitas di daerah dengan BPJS setempat, dinas kesehatan setempat, dan pemerintah daerah
    • di dalam universitas sendiri, antara peneliti di fakultas kedokteran/kesehatan masyarakat dengan peneliti di fakultas sospol.
    • antar universitas dengan penyandang dana.
    • network antara universitas dan Bappenas untuk menyusun kebijakan penganggaran untuk penelitian kebijakan dan monitoring/evaluasi.
    • dan berbagai networking lainnya.

Teknik-teknik networking ini perlu dikembangkan oleh JKKI agar para anggotanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan efektifitas pembangunan kesehatan.

  1. Melatih para pemimpin penelitian kebijakan di setiap Propinsi. Di lembaga-lembaga penelitian di universitas atau swasta harus ada peneliti yang mampu memimpin dan berkomunikasi dengan pengambil kebijakan di daerah. Dalam pengamatan, tidak banyak ada peneliti yang mampu memimpin sekelompok staff dan juga berhubugan dengan berbagai pihak terkait dalam jaringan. Perlu dilakukan pelatihan kepemimpinan untuk para peneliti di Indonesia.
  2. Memperkuat web www.kebijakankesehatanindonesia.net  untuk mendukung percepatan peningkatan kemampuan universitas dalam meneliti kebijakan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Selama 4 tahun ini, web telah dijalankan. Berbagai kekurangan masih ada. Akan tetapi web ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai inovasi baru yang perlu dikembangkan terus di Indonesia.
  3. Pengembangan-pengembangan modul pendidikan dan pelatihan antar pusat-pusat pendidikan di Indonesia perlu dicepat. Pengembangan modul ini perlu dilakukan dengan pendekatan Open-System agar kecepatan pengembangan meningkat. Diharapkan di Indonesia akan ada pengembangan bersama antar universitas, termasuk melakukan adaptasi dari modul-modul yang berasal dari CHEPSAA.

Diharapkan pada tahun 2015 ini berbagai kegiatan di atas dapat dilakukan di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Bersama ini pula laporan kegiatan dari pertemuan CHEPSAA di Johannesburg diahkhiri. Semoga berguna bagi pengembangan penelitian kebijakan dan system kesehatan, serta analisis kebijakan di Indonesia.

Laksono Trisnantoro
29 Januari 2015, Johannesburg, Afrika Selatan.

Reportase Diskusi Publik Mencegah Memburuknya Ketidakadilan Sosial di Sektor Kesehatan

paramadina1

paramadina1

Kegiatan diskusi yang dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jakarta dengan topik “Mencegah memburuknya ketidakadilan sosial di sektor kesehatan” dimulai dengan sambutan dari Prof Laksono dilanjutkan oleh Dinna Wisnu, PhD dari Universitas Paramadina. Rektor baru Universitas Paramadina yaitu Firmanzah juga turut memberikan sambutan dan menyampaikan poin penting dalam rangka kerja sama pengembangan ilmu pengetahuan oleh Universitas Paramadina dengan PKMK UGM dalam berbagai penelitian dan forum. Perwakilan BPJS yang juga memberikan sambutan pada acara ini sekaligus membuka kegiatan diskusi.

Sesi pertama “Kebijakan Jangkauan JKN”

Pada sesi pertama Prof Laksono menyajikan materi mengenai “Kebijakan Jangkauan JKN”. Menurut beliau, materi yang diangkat befokus pada public policy yang dinilai memiliki peranan sangat penting. Materi ini dimulai dengan hasil riset dan kajian yang telah dilakukan selama satu tahun terselenggaranya SJSN. Hal pokok yang dipaparkan mengenai isu yang selalu diangkat terkait kepesertaan JKN, namun sebenarnya yang paling penting adalah apa manfaat yang didapat peserta JKN. Diuraikan lebih lanjut bahwa terjadi sebuah ketimpangan dalam pemerataan pemanfaatan oleh peserta JKN. Daerah yang kaya dan memiliki akses fasilitas yang baik menunjukkan tingginya penyerapan anggaran. Namun sebaliknya, daerah miskin dengan akses yang terbatas sangat kecil untuk menyerap anggaran.

Permasalahan yang terjadi di beberapa daerah dengan berbagai kendala tersebut menimbulkan skenario-skenario di masa yang akan datang. Skenario optimis dengan perbaikan keadaan hingga ke skenario yang paling pesimis. Skenario optimis dimungkinkan oleh daerah yang telah berkembang dengan baik. Sedangkan daerah pesimis masih dimotori oleh daerah yang masih tertinggal. Sebenarnya daerah miskin juga sudah mendapatkan beban yang berat seperti kesulitas akses geografi, ekonomi, dan budaya. Sementara jumlah lakalantas dan perilaku merokok juga semakin meningkat.

Prof Laksono juga mengaitkan nawa cita presiden Jokowi terkait dengan semangat pemerataan dan keadilan kesehtaan bagi masyarakat Indonesia. Prinsip ini dinilai menjadi pegangan yang penting dalam pengembangan pemerataan kesehatan. Diceritakan juga sebuah kendala riset kesehatan khususnya JKN adalah transparansi data klaim oleh BPJS.

paramadina3

  Pembahas 1

Sebagai pembahas pertama, Kalsum Komariyah dari perwakilan Kemenkes memberi penekanan pada peningkatan suplay yang harus mengimbangi demand. Di samping itu, pencapaian tujuan-tujuan yang direncanakan pemerintah juga selalu harus diukur. Melalui peningkatan dan perbaikan suplai/supply maka akan menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Kementrian kesehatan yang memegang fungsi regulasi dapat berperan dalam memenuhi layanan.

  Pembahas 2

Ridwan Monoarfa sebagai dewan pengawas BPJS mengungkapkan bahwa terjadi diskriminasi dalam pemanfaatan layanan kesehatan bagi peserta BPJS. Sebelumnya memang terjadi perdebatan dalam penyusunan kebijakan ini, antara konsep JKN yang menggunakan segmentasi program dan segmentasi layanan. Namun untuk prinsip pemerataan, maka segmentasi program menjadi pilihan. Ridwan juga kembali menekankan bahwa benefit package tetap harus dipertimbangkan bagi masyarakat rentan. Menurutnya, dengan kebutuhan ini maka anggaran kesehatan tetap harus ditingkatkan.

  Pembahas 3

Asih Eka Putri perwakilan Dewan Jaminan Nasional membahas mengenai aspek demografi peserta BPJS. Menurut Asih, adanya ketimpangan yang terjadi juga menunjukkan sebuah indikasi ketidakcukupan iuran. Ketidakcukupan iuran ini diharapkan dapat diatasi dengan melakukan pengkajian kembali atau merevisi besarnya iuran. Asih melanjutkan, jika hal ini tidak diatasi maka akan mempengaruhi dalam peningkatan eksodus tenaga kesehatan. Beberapa saran yang ditawarkan seperti melakukan investasi dengan melibatkan swasta, atau memanfaatkan daerah dengan jumlah tenaga kesehatan yang melimpah yang dipekerjakan di daerah yang minim tenaganya, hingga usulan tenaga kontrak dari luar negeri. Selain itu untuk jangka panjang, Asih memberikan masukan mengenai pentingnya setiap daerah berinvestasi untuk mengembangkan wilayah masing-masing.

 

paramadina2

Sesi Kedua “Pendukung dan Penghambat Cakupan Semesta”

Pada sesi kedua bertindak sebagai penyaji, Dinna Wisnu dari Universitas Paramadina menyajikan materi mengenai Pendukung dan Penghambat Cakupan Semesta. Dalam sesi ini, Dinna melalui risetnya menyatakan bahwa kelemahan JKN pada saat ini teletak pada instrumen yang tidak sesuai. Hal ini dikaitkan pada kebijakan telah mengarah ke yang lebih baik, maka seharusnya hasilnya juga akan baik. Namun pada kenyataannya berbeda, Asih berpendapat bahwa kebijakan belum diturunkan dengan baik dimana aturan-aturan pengkodisian belum ditemukan. Selain itu kelemahan institusi kesehatan terletak pada minimnya inisiasi atau kakunya pengambilan sikap karena harus selalu berdasar pada aturan yang ada. Seperti dalam pendaftaran peserta BPJS sangat birokrat dan tentu menghambat masyarakat utamnaya untuk masyarakat yang rentan. Asih juga menambahkan bahwa seharusnya JKN tidak berprinsip pada pemerataan kualitas layanan kepada semua golongan, namun harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap golongan masyarakat memiliki ekspektasi yang berbeda. Penekanannya lebih pada kendali mutu, bukan pada kendali biaya.

  Pembahas 1

Daniel Yusmic yang bertindak sebagai pembahas pertama memaparkan bahwa evaluasi dapat dilakukan jika produk hukum telah seutuhnya diterbitkan. Namun jika dilihat dari peraturan, maka hal ini sering tidak sinkron dengan aturan di bawahnya terkait beberapa peraturan yang sering mengalami amandemen. Meskipun demikian, menurut Daniel, jaminan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara, sehingga negara wajib untuk menyediakannya. Daniel Yusmic juga merekomendasikan perlunya penelitian hingga tahun 2019 untuk melakukan evaluasi JKN lebih mendalam.

  Pembahas 2

Perwakilan dari BPJS Kesehatan selaku pembahas kedua menjelaskan bahwa pentingnya sebuah pengaduan masyarakat yang dapat membantu memperbaiki layanan.

  Pembahas 3

Selaku pembahas ketiga, Timboel Siregar yang menjabat di BPJS Watch mengindikasikan adanya kemauan politik yang rendah oleh pemerintah untuk memperbaiki tatanan dalam JKN. Hal ini diungkapkan dalam budgeting anggaran yang dinilai masih lemah. Selain itu, indikasinya terlihat pada kurang aktifnya badan pengawas rumah sakit yang memberikan peluang besar dalam penyalahgunaan.

(Faisal Mansur, MPH/Asisten Peneliti di PKMK FK UGM)

Tor dan Materi Presentasi

 

Juni 2014

underline

Juni 2014

Banyak regulasi yang disahkan pada bulan Juni 2014. Dalam aturan ini masih banyak yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional, antara lain:

  1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014
    Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGS) Ditetapkan pada tanggal 2 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal 16 Juni 2014
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014
    Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, Ditetapkan pada tanggal 3 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal 25 Juni 2014

Regulasi selengkapnya silakan klik ink berikut Lampiran

 

 

 

 

 

Juli 2014

underline

Juli 2014

Ada dua regulasi penting yang disahkan bulan ini,

  1. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
    Sejatinya, PP ini mengatur Kesehatan Reproduksi secara komprehensif tetapi yang banyak disorot adalah Bagian IV Pasal 31-39 terkait aborsi.Banyak pro dan kontra yang berkembang di masyarakat terkait isu legalisasi aborsi. Situasi ini mendorong Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasi dan mengklarifikasi isu-isu yang muncul secara intensif.
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014
    Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

Regulasi selengkapnya yang disahkan bulan ini, silakan klik link berikut lampiran

 

 

 

 

 

 

Agustus 2014

underline

 

Pada bulan ini diselenggarakan 20th World Congress on Medical Law 2014 di Nusa Dua Bali, IndonesiaAugust 21th-24th, 2014

20th World Congress on Medical Law, yang diselenggarakan di Bali dari tanggal 21-24 Agustus 2014 berfokus pada pengembangan hukum kedokteran. Forum pertemuan internasional ini dilakukan setiap dua tahun sekali, even sebelumnya 19th World Congress On Medical Law diselenggarakan di Brazil. Forum WCML bertujuan untuk pertama, menjadi forum yang memfasilitasi kolaborasi, menghasilkan terobosan besar di lapangan terkait bidang hukum kedokteran. Kedua, WCML menjadi program ilmiah yang kaya dan beragam dengan topik-topik pembahasan terkini. Ketiga, WCML mampu menjadi platform penting untuk ajang mendiskusikan dan membahas solusi yang berbeda terhadap perlindungan kesehatan .

Forum ini berlangsung dalam dua bentuk, yaitu plenary session dan symposium. Tema besar dari pertemuan yang ke-20 ini adalah “Does Health Law Protect the Dignity and Save Lives?” Para pembicara berasal dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Jepang, Korea, Oman, China, Malaysia, USA, Australia dan Canada serta berbagai institusi (Center of Health, perguruan tinggi swasta, PTN serta International Organization).

kegiatan selengkapnya


Pada bulan ini juga diselenggarakan Lokakarya Nasional Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Tahun 2014 Jakarta, 27-29 Agustus 2014

Tema : “Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas SDM Kesehatan yang kompeten dan berdaya saing”
Sub Tema :

  1. Penguatan Pengembangan SDM Kesehatan melalui Kerjasama dan Sinergitas Pemangku Kepentingan.
  2. Peningkatan Mutu dan Daya Saing SDM Kesehatan melalui pembinaan dan pengawasan mutu SDM Kesehatan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan.
  3. Peningkatan Ketersediaan dan Pemerataan SDM Kesehatan.

kegiatan selengkap

Regulasi yang disahkan pada bulan Agustus 2014 dapat diklik pada link berikut lampiran