Perspektif politik-ekonomi dan ideologi
kebijakan Universal Coverage /BPJS dan
pelayanan Medical Tourism

 

Tempat : Gedung Granadi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Pusat Pukul 12.00 – 15.00

Pembicara Utama : Prof Laksono Trisnantoro

Pembahasan akan menganalisis persiapan BPJS tahun 2014, bagaimana persiapan pelayanan kesehatan sebagai industry? Termasuk juga bagaimana peluang medical tourism dimasa mendatang. Bagaimana kesiapan kita dalam industry ini. Saat ini Kadin belum memasukan kesehatan sebagai bagian agenda pengembangan industry nasional. Sampai saat ini hanya sebagai pengguna, belum sampai ke penyedia. Pertemuan ini juga mencoba prospek medical tourism ini pasca pelaksanaan BPJS mendatang. Hal ini mendorong PERSI dan KADIN harus berperan aktif untuk mendorong bagaimana industry kesehatan ini bisa dikelola.

Industri ini menghadapi kondisi ekonomi masyarakt yang menarik, 49% penduduk mempunyai penghasilan kurang dari 2US$ perhari. Jumlah orang kaya di Indonesia memiliki jumlah yang sama dengan penduduk Malaysia. Masyarakat Indonesia sangat heterogen. Posisi heterogen ini membuat adanya segmentasi di bidang pelayanan rumah sakit. Apakah ada ideoligi dibalik fenomena ini. Ideologi muncul ketika pasar dianggap gagal.

Ideologi; A set of doctrines or beliefs that form the basis of a political economic, or other system. Ideologi yang ada tidak cenderung dikotomi kanan dan kiri atau hitam putih, lebih cenderung ke abu abu. Tidak ada yang sosialis penuh, tetapi juga tidak ada yang murni liberalism. Ada kombinasi, misalnya sosialis dengan manajemen swasta yang kuat. Ada kombinasi yang unik, seperti kasus China politiknya komunis, namun Sistem Ekonominya liberal. Kasus cina menunjukkan ideology tidak menjadi penting. Yang penting kemampuan Negara untuk membiayai kebutuhan negaranya, dalam hal ini konteks kesehatan.

Negara kita butuh biaya yang besar sekali menuju ke era BPJS tahun 2014. Tetapi hal ini bisa diantisipasi dengan kombinasi dengan model asuransi swasta, dimana posisi yang 20% terkaya menggunakan pendanaan swasta. Sehingga terjadi ketimpangan pelayanan, dimana pelayanan kesehatan cenderung untuk melayani yang kaya, kemudian bagaimana pelayanan kesehatan untuk orang miskin??? BPJS harus memikirkan hal ini, sehingga dikotomi idealism bisa diminimisasi.Jika tidak dipersiapkan dengan matang, akan terhantam oleh industry kesehatan asing.

Sehingga pada akhirnya ada 2 pmikiran yang perlu didiskusikan; apakah perlu ada 2 ideologi atau hanya satu, tetapi diperkuat pondasinya.

Ilham Ilyas, Kadin,

Semua Industri di Indonesia mahal, termasuk pula untuk kesehatan. Untuk Kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah, termasuk dalam pendidikan. Sehingga pemerintah perlu untuk menekankan prioritas, terutama kesehatan. Medical tourism sebetulnya tidak tepat istilahnya, karena ada perbedaan antara bisnis kesehatan dan tourism.

Dokter cenderung kapitalisme, perlu ada perubahan paradigm baru supaya dokter tidak mengacu kepada kekayaan, tetapi lebih kepada pelayanan (masalah klasik). Bagi kadin, industry kesehatan sudah ada, tetapi belum ada koordinasi dengan pemerintah, sebagai pemberi pelayanan kesehatan terbesar di negeri.

Budi Suharto, Siloam Gleneagles, Kadin

Tidak semua dokter kapitalis, tetapi memang kecenderuangan modal dan investasi untuk pendidikan dokter yang menyebabkan kesehatan ini biaya tinggi.

Medical tourism bisa diakali dengan beberapa langkah, supaya tidak ada devisa lari keluar negeri (reverse outbound). Penyebabnya karena kelangkaan dokter spesialis. Saat ini terjadi kelangkaan dokter di dalam negeri. SDM yang ada juga tidak terdistribusi secara merata. Regulasi juga menjadi penyebab distribusi dan persaingan dokter menjadi tidak kompetitif. Potensi lain, adalah bagaimana turis asing juga bisa berobat di Indonesia (inverse rebound). Kompetisi lain adalah dengan high volume low margin. Sehinga penyebaran RS swasta juga menjadi lebih bagus dan menjadi lebih efisien, sebagai counterpart RS Swasta.

Ini menjadi isu menarik, SDM kurang, yang ada juga perlu ditingkatkan kualitas.Tetapi ada juga masalah di legislasi.

Dr Fatimah, RSCM Kepala Dept Bedah,

Kenapa spesialisasi tidak diberikan kepada swasta, karena bukan masalah instutsionalnya tetapi karena pola pendidikan. Sehingga akan riskan kalo pendidikan spesialis diserahkan kepada swasta, terutama control dan fakta sosialnya.

BPJS akan terjadi, ideologinya akan berjalan, tetapi sampai saat ini belum ada segmentasi ideology yang jelas. Kasus RS Narayana India, sudah mulai berubah ke konsepsi industrial health care. Sehingga industry kesehatan menjadi efisien karena produk produk pendukung sudah mulai di buat di dalam negeri. Sehingga dalam hal ini konsep high volume menjadi konsepsi yang bagus. Sehingga ideology ini perlu diperkuat diarah ke mana??..sehingga jelas arahnya.

Pembicara II; Gindo Tampubolon,

Penelitian di Inggris menunjukkan ada perubahan secara signifikan antara beban fiscal dengan kondisi beban kesehatan. Hal ini dikonversikan untuk kasus di Indonesia. Pendanaan perlu lebih smart alokasi sehingga tidak cepet habis. Perlindungan yang merata dan pendanaan yang efisien. Kasus di amerika menunjukkan bahwa orang yang tidak mempunyai asuransi kesehatan memiliki resiko financial yang yang besar juga. Amerika mempunyai rate 18% pengeluaran masyarakat untuk kesehatan, tetapi 18 persen amerika juga tidak mempunyai asuransi

Bagaimana system di Indonesia? System jaminan kesehatan di Indonesia harus bisa mencapai 2 tujuan utama. Pendanaan efisien dan pencapaian yang merata. Sistem pemeliharaan harus merata dan efisien. Belum tentu kita punya system canggih tapi system belum merata. Merata dan Efisien.

Kondisi Indonesia saat ini sperti amerika seabad yang lalu, ketika pemerintah mulai memikirkan bagaimana bisa melayani kesehatan masyarakat dengan dana yang tersedia. Tetapi belum memikirkan pemerataan dan efisiensi, akan menjadi boros dan dana yang ada akan cepat habis (jika kasus di Indonesia, banyak Jamkesda yang bangkrut sebelum pelayanan tuntas).

Pemerintah bisa saja melepaskan harga patokan pelayanan kesehatan kepada harga pasar dan ditentukan oleh asosiasi, tetapi jika tidak ada regulasi yang mengatur pembatasan, akan terjadi inefisiensi. Di amerika dan inggris, diperkuat dengan posisi supply sdm dan alat kesehatan, sehingga penguatan sisi supply akan membawa pengaruh di efisiensi penjaminan pelayanan kesehatan. Akan lebih mahal jika harus membeli dan mengimpor.

Indonesia harus tau diri, bahwa untuk jangka panjang system jaminan ini masih perlu proses waktu. Kasus amerika, sudah 100 tahun masih ada 20% yang belum terlindungi jaminan kesehatan. Selain itu Indonesia perlu data untuk mendukung system informatika kesehatan. Menyiapkan informasi pun perlu waktu untuk mendukung kebijakan pendanaan yang efisien.

Pak Toto, PERSI

BPJS sudah menjadi tuntutan rakyat, walopun prosesnya masih barjalan, tetapi kita harus optimis. Penentuan tariff dan kualitas menjadi key issue dalam sisi supply. Perhitungan premi harus tepat untuk mencapai target kualitas pelayanan kesehatan. Dalam era BPJS nanti costing menjadi isu penting. Yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa yang menjadi BPJS nanti adalah ASKES, sedangkan ASKES adalah perusahaan profit. BPJS sendiri merupakan program not for profit.

Premi yang dibayar pemerintah harus sama dengan sama dengan premi yang dibayar oleh masyarakat, tetapi benefit yang diterima akan berbeda. UU BPJS yang ada saat ini masih terlihat ada posisi dikotomi yes or no (pake BPJS atau tidak), sehingga perlu ada kerja sama dengan asuransi swasta dan RS swasta.

Filosofi dasar universal coverage harus dijadikan landasan bagi pembiayaan kesehatan yang tepat. Sehingga jangan sampai semua dipikirkan tetapi melupakan hal pokok dan setengah hati. Apa saja hal pokok yang perlu dipikirkan? Salah satunya adalah pemikiran efisiensi dan pemerataan (baik sisi supply, proses dan quality). Sisi Supply masih bermasalah di sisi Kuantitas dan Kualitas. Termasuk dalam bagaimana mengawasi produksi tersebut dalam hal ini pendidikan dokter.

Infrastruktur masih mahal perlu efisiensi.