Seri VI Pemantauan dan Peninjauan UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan UU No. 15 tahun 2019

Forum Analisis Kebijakan JKN:
Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti

Seri VI
Pemantauan dan Peninjauan UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan UU No. 15 tahun 2019

Kamis, 23 Juli 2020

  Latar Belakang

Forum analisis kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berlangsung dalam lima seri pertemuan (Lihat Lampiran). Pelaksanaan forum analisis kebijakan ini didasarkan hasil penelitian kebijakan JKN (UU SJSN dan UU BPJS) yang dilakukan PKMK FK-KMK UGM sejak tahun 2014 hingga tahun 2019. Kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011) merupakan sebagian dari pelaksanaan misi UGM sebagai lembaga independen untuk menilai kebijakan JKN.

Sebagai sebuah kebijakan besar, kedua UU tersebut perlu dimonitor dan dievaluasi. Dasar konstitusi kegiatan UGM ini ada pada UU No 15 tahun 2019 yaitu Perubahan atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan dan Per UU. Dalam UU tersebut ada ayat 14 di Pasal 1 yang meyebutkan:

Pemantauan dan Peninjauan adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan Undang-Undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.





Dengan demikian kegiatan ini termasuk pada jenis Pemantauan dan Peninjauan sesuai UU no 15 tahun 2019. Selanjutnya Bab XA Pemantauan dan Peninjauan terhadap UU ada Pasal 95A.

Pasal 95A:


(1) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang- Undang dilakukan setelah Undang-Undang berlaku.

(2) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.

(3) Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan yang khusus menangani bidang legislasi.

(4) Hasil dari Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat menjadi usul dalam penyusunan Prolegnas.


Dengan demikian kegiatan Pemantuan oleh UGM akan disusun dalam kerangka untuk memberi masukan ke 3 lembaga sesuai UU 15 tahun 2019 yaitu:

  1. Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai coordinator;
  2. Dewan Perwakilan Daerah; dan Pemerintah.

Usulan akan diberikan dalam koridor revisi UU yang perlu masuk ke Prolegnas. Sebagaimana diketahui sampai saat ini belum ada masukan mengenai Peninjauan terhadap UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011), walaupun banyak sekali masalah yang ada dalam pelaksanaan ke dua UU tersebut

  Hasil yang Diharapkan

  1. Pemahaman tentang berbagai permasalahan dalam pelaksanaan UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011), dan Pasal-Pasal yang terkait dalam konteks kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.



.
  2. Membahas proses Pemantauan dan Peninjauan terhadap UU SJSN dan UU BPJS.
  3. Membahas persiapan untuk memasukkan ke Prolegnas.
  4. Memperluas sebaran informasi hasil penelitian tentang pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS melalui media massa.

  Pematri

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, (Pengamat Kebijakan JKN FK-KMK UGM)

  Pembahas

  1. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI
  2. BPJS Kesehatan
  3. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)

  Moderator

Tri Aktariyani SH., MH, (Peneliti Kebijakan JKN PKMK FK-KMK UGM)

Agenda Acara

Hari, Tanggal : Kamis, 23 Juli 2020
Pukul    : 13.00 – 15. 00 WIB
Tempat : Common Room, Gd Litbang Lantai 1 FK-KMK UGM

Waktu Kegiatan Narasumber
13.00 – 13.10

Pengantar

Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD

13.10 – 13.30

Reviu UU SJSN dan UU BPJS

materi

Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD

13.30 – 14.00

Pembahas

1. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI
2. BPJS Kesehatan
3. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)

14.00 – 14.45 Diskusi
14.45 – 15.50

Penutupan

Prof. Laksono Trisnantoro MSc., PhD

 

  Narahubung

Tri Muhartini
Telp: 0274-549425
HP/WA: 089693387139
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Ringkasan Isi Seminar Kerangka Nasional Mutu dalam Konteks JKN

Ringkasan Isi Seminar

Kerangka Nasional Mutu dalam Konteks JKN

Prof Laksono Trisnantoro, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM
Hanevi Djasri,
Candra, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK
Eva Tirtabayu Hasri, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK

Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBK)

Sejak Program Jaminan Kesehatan Nasional berjalan, BPJS Kesehatan berusaha menerapkan pola pembayaran pada FKTP agar pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan dengan menerapkan pola pembayaran kapitasi berbasis pemenuhanan komitmen pelayanan dengan mensyaratkan 3 (tiga) indikator yang harus dicapai FKTP untuk mendapatkan kapitasi maksimal.

Mekanisme kunci keberhasilan implementasi kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan di era JKN adalah kesadaran FKTP dalam merespon insentif yang ditawarkan oleh BPJS Kesehatan dengan merubah perilaku atau memperkuat kapasitasnya dalam memberikan layanan kesehatan untuk mencapai target kinerja yang telah ditentukan.

Temuan kami menunjukkan bahwa tidak tercapainya tujuan program kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan disebabkan minimnya ketersediaan SDM di FKTP, kompetensi dokter di layanan primer belum memadai dalam menuntaskan 144 diagnosa yang harus ditangani FKTP, keterbatasan sarana prasarana pendukung untuk mengendalikan jenis penyakit yang menjadi kompetensi FKTP, tidak proporsionalnya kepesertaan yang terdaftar di FKTP, ketidakpatuhan peserta program untuk mengikuti kegiatan layanan yang diselanggarakan FKTP dan wilayah kepesertaan peserta program berbeda dengan domisilinya. Selain itu, skema kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan juga bergantung pada maturitas input data pada P-Care. Meskipun tidak berdampak pada pemberian layanan kesehatan, namun tidak lengkapnya data input membuat FKTP mendapatkan pemotongan kapitasi.

Evaluasi Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya

Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) memiliki tugas utilisasi review, audit medis, pembinaan etika dan disiplin profesi, dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis. Secara umum hasil penelitian menemukan bahwa ke-4 tugas telah dilakukan. Tugas berjalan karena TKMKB mendapat fasilitasi dari BPJS Kesehatan berupa hasil olah data, fasilitasi pertemuan, permintaan khusus BPJS Kesehatan untuk mediasi kasus klaim pending ataupun permintaan khusus lainnya. Kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa TKMKB belum bekerja secara independent karena tidak mempunyai dana untuk operasional sehingga setiap kegiatan selalu menunggu dari BPJS Kesehatan. Temuan tim peneliti PKMK FK-KMKB UGM juga bahwa adanya TKMKB berdampak pada percepatan proses verifikasi dan pembayaran, mengurangi adanya klaim pending, sebagai sarana komunikasi untuk menyelesaikan permasalahan antara BPJS Kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Kesimpulan

Program KBK berpotensi untuk memperbaiki kualitasi layanan di level primer namun sifatnya yang ditargetkan pada layanan tertentu berarti perbaikan ini tidak dapat digeneralisasi pada tingkat fasilitas kesehatan. Selain itu, adanya variasi konteks di berbagai daerah yang berbeda-beda antar FKTP di dalam satu daerah perlu dijadikan landasan penyesuaian desain dan pelaksanaan program KBK. Sementara tugas KMKB sudah berjalan sesuai peraturan BPJS Kesehatan nomor 8 tahun 2016, namun belum independen. Faktor yang menyebabkan tugas TKMKB tidak berjalan karena kurang optimalnya komunikasi antara BPJS Kesehatan dengan anggota TKMKB. Faktanya memang TKMKB koordinasi lebih berperan banyak dari pada TKMKB teknis atau tingkat rumah sakit.

Saran

Kami mendorong BPJS Kesehatan untuk mengupayakan peer education antara dokter spesialis dan dokter FKTP dalam rangka peningkatan kompetensi dan sharing knowledge guna menekan rujukan non spesialistik. Investasi pada sumber daya yang diperlukan fasilitas kesehatan dapat mewujudkan tujuan dari kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan biaya kapitasi FKTP untuk memastikan dukungan sumber daya yang memadai. Untuk TKMKB dibutuhkan peraturan menteri kesehatan yang memberikan wewenang dalam pengeloaan dana dan melibatkan tenaga klinis serta memberikan ketebukaan terhadap akses laporan mutu secara luas.

 

 

Reportase Seri V Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam JKN

Reportase Forum Analisis Kebijakan JKN:
Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti

Seri V Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam JKN

kerangka acuan

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

PKMK FK KMK UGM menyelenggarakan diskusi Forum Analisis Kebijakan JKN seri V dengan topik Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Acara yang diselenggarakan melalui aplikasi zoom ini diisi oleh narasumber dari peneliti PKMK FK KMK UGM dan pembahas dari berbagai organisasi yaitu BPJS Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI). Selama dua jam berlangsung, peserta yang mengikuti acara ini mencapai lebih dari 70 orang.

Sesi pertama diisi oleh Candra, peneliti PKMK FK KMK UGM yang membawakan materi “Apakah mekanisme Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK) dapat berjalan efektif di FKTP?” Topik ini diangkat dari penelitian dengan pendekatan evaluasi realis yang bertujuan untuk: menganalisis implementasi kebijakan kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan dalam meningkatkan mutu layanan era JKN, menganalisis kondisi kontekstual yang diperlukan agar kebijakan dapat berjakan, serta mengeksplorasi mekanisme yang mendasari kebijakan KBK berkontribusi terhadap perubahan praktek penyedia layanan mitra BPJS Kesehatan.

Penelitian dilakukan dengan menilai capaian indikator-indikator KBK yaitu kontak rate, rujukan non spesialistik, prolanis, dan input data P-Care. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator kontak rate belum mencapai target. Indikator ini tidak tercapai disebabkan oleh tidak tersedianya SDM yang sesuai standar di FKTP serta petugas FKTP memiliki tugas overload pada saat kunjungan lapangan. Situasi ini menyebabkan merasa FKTP merasa jumlah target layanan kegiatan luar gedung menjadi beban karena besarnya jumlah peserta yang terdaftar di wilayah kerja FKTP sehingga FKTP semampunya melakukan kegiatan promotif preventif di lapangan. Dampaknya, Peserta JKN terdaftar di wilayah kerja FKTP tidak mendapatkan layanan kesehatan dan FKTP tidak mencapai zona aman.

Indikator kedua, yaitu rujukan non spesialistik juga tidak tercapai karena FKTP tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung dokter untuk menegakkan 144 diagnosa yang harus tuntas di FKTP dan dokter tidak memiliki kompetensi memadai menuntaskan 144 diagnosa tuntas di FKTP. Situasi ini menyebabkan FKTP merasa kurang mampu untuk menekan rujukan kasus non spesialistik yang seharusnya selesai ditangani di FKTP. Dampaknya, rujukan non spesialistik tetap terjadi, dan FKTP masuk zona tidak aman.

Indikator ketiga, yaitu kunjungan rutin prolanis tidak tercapai karena rendahnya partisipasi peserta prolanis berkunjung ke FKTP serta peserta prolanis yang orientasi FKTP hanya untuk menebus obat. Situasi ini menyebabkan petugas FKTP berinisiatif mengelola dana prolanis untuk dibelikan baju seragam, dan hadiah lainnya agar peserta konsisten senam dan periksa kesehatan. Dampaknya, kesinambungan pelayanan penyakit kronis peserta Prolanis tetap tidak terlaksana karena peserta prolanis tidak patuh.

Indikator keempat, yaitu input data P-care juga belum optimal tercapai karena adanya kegiatan pencatatan adminstrasi PIS PK dan kegiatan UKM saat melakukan kunjungan lapangan yang menjadi program utama FKTP serta FKTP memiliki nilai kapitasi yang besar. Situasi ini menyebabkan FKTP merasa KBK memberikan beban tambahan bagi FKTP dalam melakukan pencatatan administratif kunjungan sehat sehingga melakukan input data P-care semampunya yang membuat input data tidak lengkap dan target KBK tidak tercapai serta FKTP merasa pemotongan besaran nilai kapitasi tidak menjadi masalah karena target layanan yang menjadi penilaian kinerjanya cukup membebani FKTP sehingga semampunya mencapai target KBK.

Diakhir paparan Candra menyampaikan kesimpulan penelitian berupa: program KBPKP berpotensi meningkatkan mutu layanan primer meskipun perlu penyesuaian desain dan pelaksanaan program agar mengakomodir variasi konteks di berbagai daerah yang berbeda.

Penyaji kedua adalah Eva Tirtabayu Hasri, peneliti PKMK FK KMK UGM, yang menyampaikan materi bertopik Hasil Evaluasi Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Topik ini merupakan hasil penelitian realis terhadap kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan tahun 2016. Penelitian diselenggarakan di 13 provinsi namun karena keterbatasan, data yang dapat diolah adalah dari DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu. Data dikumpulkan melaui wawancara mendalam dengan tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) di tingkat rumah sakit, tingkat cabang, tingkat pusat dan BPJS Kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengungkap kesenjangan dalam pelaksanaan tugas KMKB yaitu sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan, utilization review dan audit medis, serta pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.

Hasil penelitian secara umum adalah empat kegiatan KMKB secara keseluruhan berjalan di enam provinsi. ada rumah sakit yang audit medisnya tidak berjalan karena tidak diberikan wewenang oleh manajemen, serta penatalaksanaan UR belum sepenuhnya mandiri karena keterbatasan skill TKMKB dalam mengolah data. Komponen pembinaan etika, disiplin profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis dapat berjalan karena BPJS Kesehatan berkoordinasi optimal dengan TKMKB di lapangan. Hal ini terjadi dengan mekanisme: TKMKB memberikan rekomendasi kepada organisasi profesi dan rumah sakit tentang pembinaan etika dan disiplin profesi dan kewenangan klinis. Komite medis melakukan pembinaan etika, disiplin profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis. Dampaknya, pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kewenangan tenaga klinis, etika, dan disiplin profesi.

Komponen utilisasi review sudah berjalan dalam situasi TKMKB tidak mempunyai akses data ke data BPJS Kesehatan serta TKMKB tidak mempunyai kemampuan mengolah data. Mekanisme yang berjalan dalam pelaksanaan utilization review adalah BPJS Kesehatan menyediakan data UR dan mengolahkan data UR untuk TKMKB. Dampaknya, pelayanan kesehatan yang diberikan dapat mengendalikan biaya dan mengendalikan mutu. Demikian juga komponen audit medis, yang dapat berjalan dalam konteks adanya peraturan yang mengharuskan komite medis melakukan audit medis, adanya pedoman dan pelatihan tentang audit medis, serta TKMKB berasal dari komite medis. Situasi ini dapat terjadi dengan mekanisme TKMKB telah memiliki pengetahuan, kompetensi, dan tanggung jawab melakukan audit medis sehingga pelayanan yang diberikan dapat mengendalikan mutu dan biaya.

Hasil sajian dua pemateri ini kemudian dirangkum oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, peneliti senior PKMK FK KMK UGM dalam sebuah kerangka mutu. Menurut Hanevi, dari tiga dimensi Universal Health Coverage (UHC), dimensi yang sangat jarang dibahas adalah terkait mutu. Misalnya, setelah kita memberi banyak pelayanan kepada pasien bagaimana mutu layanannya sebenarnya? Padahal cita-cita UHC adalah memberi pelayan bermutu tanpa hambatan finansial. Lalu bagaimana mutu layanan JKN kita? “Saya melakukan penelitian di Kabupaten Sleman tentang cakupan efektif hipertensi. Hasilnya seperti ini, dari seluruh penderita hipertensi di Kabupaten Sleman, terdapat 80% yang sudah berobat. Ini sudah baik. Namun baru 28.4% yang sudah mencapai cakupan efektif yaitu pasien yang mendapat pelayanan bermutu dengan tekanan darah terkontrol.” Menurut Hanevi, cakupan efektif inilah yang perlu dicapai untuk menjamin mutu dalam pelayanan program JKN.

Materi-materi yang disampaikan oleh penyaji ini kemudian ditanggapi oleh para pembahas. Pembahas pertama, yaitu dr. Dwi Martiningsih dari BPJS Kesehatan yang menanggapi tentang KBK. Menurut Dwi, saat ini sudah terbit regulasi BPJS Kesehatan tentang KBK yang baru, yang menyampaikan bahwa KBK akan berbasis pada kinerja bukan komitmen. Regulasi ini terbit sebagai respon dari evaluasi efektifitas KBK yang diteliti oleh Universitas Indonesia (UI). Dalam regulasi baru ini perubahan yang dilakukan diantaranya adalah menambah output (sebagai hasil kinerja), meniadakan peer review terkait pemenuhan 144 penyakit, dan kunjungan spesialistik yang semula 5% diturunkan menjadi 2%. Singkatnya, regulasi yang baru ini lebih mendorong FKTP untuk lebih efektif dan efisien lagi dalam memberi pelayanan.

Terkait materi KMKB, Dwi menambahkan, TKMKB punya petunjuk teknis tentang siapa, kapan, dan bagaimana cara kerja. TKMKB ada 3 tingkat yaitu di pusat, provinsi, dan cabang BPJS Kesehatan. Terkait data, lanjut Dwi, sebenarnya data yang digunakan tidak hanya dari BPJS Kesehatan, karena bisa saja data dari media massa dan lain sebagainya. Kemudian terkait audit medis ini, karena mengikuti regulasi yang ada, dalam penyelenggaraannya perlu melibatkan organisasi profesi.

“TKMKB dibentuk oleh BPJS Kesehatan dalam waktu 2 tahun, dan ada syarat-syarat tertentu yang kita minta ke organisasi profesi nanti organisasi profesi yang mengusulkan. Karena tahun 2019 ada banyak masalah, maka TKMKB dibagi jadi 2 yaitu TKMBK Primer dan TKMKB Rujukan. Mekaneisme kerja: meraka membuat juknis, output, dan melakukan pengambilan data. Jadi mereka nanti akan membawa data ke pusat untuk diolah,” tutup Dwi.

Pembahas selanjutnya adalah drg. Indra Rachmad Dharmawan, MKM dari Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Menurut Indra, Kementerian Kesehatan mempunyai tugas mentapkan kebijakan dan perhitungan standar tarif. KBK ini memang untuk memperbaiki kualitas di layanan primer, namun tidak serta merta dengan adanya KBK ini, menjadi dasar untuk pemotongan kapitasi supaya ada efisiensi karena sedang ada defisit. Terkait KBK ini, saat ini Dinas Kesehatan sudah melalui pertemuan berkala untuk menyamakan persepsi tentang definisi operasionalnya (DO). Kementerian Kesehatan juga sudah mengedepankan peran Dinkes Provinsi untuk dapat meminta data dari BPJS Kesehatan di daerahnya untuk diolah.

Terkait 144 penyakit, lanjut Indra, saat ini kita sudah tidak lagi melakukan peer review. “Kementerian Kesehatan sudah berupaya menyisir dari 144 penyakit yang tidak bisa tuntas di FKTP dan dihasilkan 16 penyakit yang tidak bisa tuntas di FKTP sehingga memerlukan kedalaman.” Lebih lanjut Indra memberi masukan untuk pengembangan penelitian. “Untuk mecapai mutu pelayanan, mungkin dapat dikaji juga efektifitas pelaksanaan akreditasi dari fasilitas kesehatan yang diteliti. Masukkan terkait angka kontak, kita perlu melihat juga program-program kita yaitu Porgram Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS PK), ini harus dilihat apakah kegiatan PIS PK ini juga termasuk angka kontak. Karena ini juga terkait program nasional.” Dalam pembahasan ini Indra menutup dengan pernyataan “intinya bagaiaman kegiatan-kegaitan mutu dilaksanakan secara terintegrasi.”

Pembahas selanjutnya adalah dr. Yuli Farianti, M. Epid dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan – Kementerian Kesehatan. Menurut Yuli, TKMKB harus independen, selain TKMKB juga ada tim yang lain. Namun diantara tim ini tidak ada sinergitasnya, sehingga temuan bahwa kesulitan akses data juga memang terjadi di lapangan. Banyak sekali aduan itu malah masuk ke DPK tingkat nasional bukan provinsi. Perlu ada sinergi kerja tim tim ini agar tidak ada tumpang tindih. Tim ini juga perlu diperkuat dengan data sehingga terbentuk mekanisme yang ada di lapangan. “Saat ini kami lihat baru banyak fokus terhadap kendali biaya, belum kendali mutu. Intinya, tim-tim yang ada di lapangan, perlu ada sinergitas dalam bekerja.” Terakhir, kata Yuli, tentang KBK, harus diperhatikan kembali dari 144 penyakit apa kendalanya dan batasan apa.

Pembahas terakhir ada dr. Daniel Wibowo, M.Kes selaku Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan PERSI. Menurut Daniel, KMKB bertujuan untuk menjamin pelayanan agar sesuai dengan standar pelayanan dan diselenggarakan secara efisien. Maka kalau kita mau evaluasi KMKB, maka kita harus lihat lagi apakah pelayaanya memang sudah seusai standar dan sudah efisien. “Catatan saya berdasar paparan Bu Eva, TKMKB kan terdiri dari Tim Koordinasi dan Tim Teknis. Selama saya mengurusi BPJS Kesehatan ini belum pernah ketemu dengan TKMKB tingkat Pusat. Kita perlu membuat jembatan, kalau kita bikin organiasi bertingkat maka harus jelas alur kerjanya. Bagaimana koordinasinya dengan organisasi profesi, ini banyak pekerjaan yang sebenarnya menjadi pekerjaan profesi, tidak boleh diambil alih menjadi peran TKMB karena TKMKB bukan suprastruktur.”

Lebih lanjut Daniel menyatakan, “output apakah akan tercapai dengan keberadaan TKMKB yang sudah ada terus menerus ini. Sejauh mana pemanfaatan hasil kerja TKMKB untuk pengambilan kebijakan oleh BPJS Kesehatan. Jangan-jangan kebijakan yang dikeluarkan dipilih-pilih mana yang baik dan tidak. Sehingga peraturan BPJS Kesehatan No. 8/ 2016 perlu dievaluasi.” Daniel mengusulkan agar TKMKB secara independen diberi kesempatan untuk berinisiatif melakukan perannya, bukan bekerja atas pesanan BPJS Kesehatan. “Biarlah berjalan secara independen dan proaktif untuk menyelesaikan masalah dan memberi masukan. TKMKB bekerja on proses termasuk juga yang ada di tingkat RS, sehingga bisa menjadi tempat konsultasi tim case mix yang ada di RS. Harus menyertai proses pelaksanaan JKN.”

Sebagai penutup Daniel mengatakan, “mutu pelayanan RS harus dipublikasikan terbuka sehingga seharusnya ada insentif dan disinsentif berdasar mutu layanan kesehatan. Kualitas personil TKMBK dalam hal kepakaran dan independensi. Kita juga berharap data layanan dapat diakses terbuka, misal data RS, sehingga kita bisa melakukan UR sehingga bisa dilihat apakah ada miss data. Ada publikasi yang memadai terkait kebijakan baru yang diusulkan oleh TKMKB, sebagai panduan perbaikan di tingkat faskes. Mari kita evaluasi peran TKMKB untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan regulasinya.”

Sesi Diskusi:

(T) Sri Mulatsih: Kemampuan FKTP yang masih rendah, perlu ditelaah lebih lanjut: apakah perlu ditinjau lagi stratifikasi dari BPJS?, artinya apakah sudah ada tinjauan awal penyesuaia terhadap kompetensi dokter umum di layanan primer?. Bagaimana peran RS Tertier dalam peningkatan kompetensi dr umum di layanan primer? apakah pemanfaatan telemedicine bisa menjanjikan? Di sisi lain, apakah sudah ada tinjauan bahwa pendapatan dr spesialis di layanan sekunder dan tertier berkurang, bagaimana analisisnya?

(J) Candra: Pada dasarnya rendahnya pelayanan yang dapat dilakuakn oleh FKTP karena kurangnya fasilitas penunjangnya. Terkait kemampuan FKTP yang rendah ini, ini perlu menjadi perhatian karena dengan adanaya KBK, angka ini akan krusial juga angka rujukan diturunkan jadi 2% padahal berdasar penelitian hanya mampu 6%.

(T) Fajar Sihombing: Sebaiknya TKMKB merupakan bagian dari DPK (nasional) atau sebaliknya, sehingga independen.

(J) Yuli: Sudah koordinasi dengan TKMKB Pusat, untuk kooridnasi kerja terkait tata kerja dan terkait klinisi. Dulu yang kita bahas adalah tentang independensinya, supaya tidak ada saling kepentingan. Intinya ini memang sudah ditata kembali keterkaitan tim yang ada di lapangan.

(T) Mursyid Hasan Basri: - Prinsip kendali itu monitoring, bukan di akhir, - menunggu evaluasi dilakukan TKMKB atau pihak berwenang lainnya akan terlambat dalam mengendalikan proses pelayanan, - konsekuensinya Kendali mutu dan biaya harus dilakukan di level pelaksana sehingga fungsi monitoring terjadi karena data tersedia di sana. Untuk pak hanevi: betul kenapa KMKB dilakukan kok sepertinya pelayanan belum "baik". Itu karena setiap indikator pada dasarnya menjadi bagian mutu (dalam berbagai dimensi). biaya bisa menjadi bagian mutu, waktu bisa menjadi bagian mutu, dan indikator lainnya. Jadi analisis mutu sebenarnya sangat "mudah" dilakukan karena sepanjang datanya ada [cara mengujinya: kalau indikator di laporan periodik ada bulanan/triwulan/tahunan, maka mutunya dapat dinilai]

(J) Eva: Penelitian ini menggunakan pendekatan realis evaluasi dengan melihat kebijakan yang sudah diterbitkan oleh BPJS Kesehatan, jadi yang kita lihat masih sebatas superfisial tidak melihat dampak dari berjalannya TKMKB ini. Namun, bila kita lihat dari paparan dr. Daniel bahwa buku petunjuk teknis tidak bisa diakses, tidak dapat diakses karena buku tersebut untuk kepentingan tertentu. Dari penelitian kami mendapat informasi bahwa kendali mutu nya didapat dan ada juga yang tidak mendapat kendali mutu (hanya sebatas biaya).

(J) Hanevi: Paparan Bu Eva menunjukkan bahwa meskipun regulasinya sama namun penerapannya dapat berbeda, misal terkait KMKB diminta untuk melakukan Audit Medis, ada daerah yang KMKB nya sudah punya kompetensi sehingga mampu melaksanakan audit klinis.

(J) Indra: Terkait implementasi sebuah program di Indoneisa, masing-masing kabupaten kota kita sudah mempunyai standar pelayanan minimal, jadi ada 12 SPM, jadi kemampuan tiap daerah beda-beda. Penilaian SPM ini seperti rapot daerah diantaranya adalah pelayanan Hipertensi dan Diabetes mellitus. Kita juga memberikan tugas Kemenkes bagaimana cara meningkatkan fasilitas layanan kesehatan, misal penguatan sistem rujukan nasional, penguatan manajemen puskesmas, daerah juga mengusulkan untuk mencapai standar pelayanan yang bermutu sehingga diharapkan masing-masing faskes memiliki standar yang sama.

(T) Sri Mulatsih: Pembinaan etika medis, menurut kami jauh lebih luas dari pada beberapa hal seperti audit medis, review clinical pathway, dan lainnya. Permasalahan dilema etik klinis yang dialami oleh para klinisi dan profesi lain, belum sepenuhnya difasilitasi dari manajemen. Selama ini komite etik berperanan lebih banyak pada penyelesaian kasus keluhan pelanggan eksternal. Bagaimana peran komite etik rumah sakit dalam hal ini? Terkait dengan kendali mutu dan kendali biaya, peran tim mutu sebagai tangan kanan direksi menjadi sangat penting, terutama bagaimana mengimplementasikan secara operasional manajemen risiko manajemen maupun manajemen risiko klinis. Hal lain yang sangat penting, terutama di rs rujukan tertier, masih sulit untuk mengintegrasikan antara kebijakan BPJS dengan standar profesi pelayanan terutama subspesialis, termasuk standar diagnostik, sehingga masih ditemukan kualitas pelayanan yang tidak optimal karena permasalahan ini.

(J) Daniel: Salah satu aspek mutu di FKRTL dalam administrasi adalah tidak ada duplikasi peran dari fungsi struktural yang sudah ada. Dari semua hal yang ada apakah masih diperlukan TKMKB mengurusi soal etik, karena sudah jadi bagian dari budaya keselamatan, budaya tata laku yang ditetapkan direktur, juga komite etik, komite profesi. Menurut saya tidak perlu TKMKB mengurusi soal etik lagi.

(J) Hanevi: Saat ini Indonesia, khususnya Direktorat Mutu dan Akreditasi sudah menyusun Kebijakan dan Strategi Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan (atau National Quality Policy and Strategy (NQPS)) di Indonesia. Di dalamnya ada kebijakan yang intinya berisi dimensi mutu yang mnejadi prioritas di Indonesia. Harusnya berbagai regulasi mutu dalam JKN harus memperhatikan 7 dimensi mutu ini, tidak hanya dimensi terntentu. Ada 4 strategi umum dan 3 strategi fungsional. Terkait strategi fungsional yang harus diperhatikan adalah menguatkan regulasi, tata kelola struktur organisasi, sumber daya, dan peran seluruh komponen sistem kesehatan lainnya. Bagaimana semua tim yang ada dapat bergabung menjadi satu dengan memperhatikan kondisi spesifik di masing-masing daerah di Indonesia. Implementasi NQPS ada berapa poin misalnya harus ada biaya untuk penignkatan mutu, ada sistem tata kelola dan organisasi sehingga tidak ada duplikasi, mendudukan stakeholder dalam posisi yang sama, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Terkait Monev kebijakan-kebijakan yang ada, perlu diperhatikan, apakah akan diitndaklanjuti atau hanya akan tertumpuk menjadi dokumen.

 

 

 

Reportase Webinar Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

Reportase Webinar

Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

Yogyakarta, 14 Juli 2020

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 5 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (14/07) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Capaian dan Tantangan Implementasi JKN di Provinsi Sulawesi Selatan” yang disampaikan oleh Peneliti JKN Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. Irwandi, SKM., M.Sc,PH., M.Kes. Pembahas pada pertemuan ini adalah dr. Muhammad Ichsan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

 

Sesi Pembukaan

Pertemuan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. Laksono selaku koordinator Forum. Prof Laksono menyampaikan pertemuan ini untuk melihat data apa yang terjadi di daearah. Dalam konteks JKN, data di daerah dapat memberikan bukti bahwa masih terjadi ketimpangan pelayanan kesehatan di Provinsi maupun kabupaten/kota. Pada aspek keuangan, kondisi ketimpangan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan BPJS Kesehatan masih banyak terdapat di kota-kota besar. Hal inilah yang akan dirangkum dalam seminar antar daerah ini untuk melihat bagaimana peran pemerintah daerah dalam konteks JKN. Tentunya ini membutuhkan analisis dan rekomendasi kebijakan yang akan dibahas pada pertemuan terakhir seri seminar ini.

Sesi Presentasi: Capaian dan Tantangan Implementasi JKN di Provinsi Sulawesi Selatan

materi

Irwandi selaku narasumber menyampaikan hasil literatur review terkait capaian sasaran peta jalan JKN 2014-2019 khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil tinjauan literatur terkait Tata Kelola BPJS Kesehatan menunjukkan pengajuan klaim non kapitasi yang masih terhambat, kasus rujukan FKTP yang tinggi karena kompetensi FKTP belum memadai, ketersediaan obat di FKTP belum tersedia secara lengkap untuk melayani pasien di Puskesmas, dan distribusi Klaim RITL dan RJTL masih rendah dari rata-rata tingkat nasional. Pada Konteks Equity, hasil literatur review menunjukkan cakupan kepesertaan JKN pada tahun 2018 telah mencapai 92% atau sekitar 8.071.716 jiwa yang di dominasi oleh segmen PBI APBN sebanyak 42, 40%, dan terjadi penurunan menjadi 90.4% di tahun 2020. Hasil dari berbagai sumber data terjadi perbedaan hasil mengenai cakupan kepesertaan JKN di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari sisi paket manfaat, ketanggapan pemenuhan hak pasien BPJS (PBI, Non PBI, Jamkesda dan KIS) masih lebih rendah dibandingkan dengan pasien biaya sendiri dan asuransi kesehatan swasta. Selain itu, masih banyak puskesmas yang memiliki akses sulit dan sumber daya manusia kesehatan yang belum terdistribusi secara merata. Pada Aspek Mutu Layanan, kepuasan peserta seiring waktu semakin membaik dan persoalan jasa medis, tarif layanan masih umum dikeluhkan oleh provider mitra BPJS Kesehatan.

Sesi Pembahas:

materi

dr. H. Muhamamad Ihsan selaku pembahas menyampaikan Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan integrasi Jamkesda ke Program JKN untuk semua peserta pada kelas 3 Rumah Sakit. Capaian kepesertaan JKN di per April 2020 mencapai 83,52% dari 7.889.770 jiwa. Penguatan untuk mencapai UHC yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan melakukan akurasi data untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, penentuan kriteria zona kepesertaan dimana terdapat 7 kabupaten/kota yang mencapai UHC (29,1%), dan yang mencapai 80-94% terdapat 10 kota/kabupaten dan 7 kota mencapai 60-79% kepesertaannya. Tantangan yang dihadapai pemerintah daerah dalam JKN antara lain data PBI yang belum valid, pemerataan SDM kesehatan dan fasilitas kesehatan belum optimal terutama daerah terpencil dan perbatasan, tunggakan iuran peserta mandiri, defisit BPJS Kesehatan, dan peran pemerintah daerah dari sisi pengganggaran yang terkendala refocsusing covid.

Sesi Diskusi

1. Apa yang dilakukan dinas kesehatan untuk tetap menjamin premi dalam pandemi covid?

- Ada beberapa kabupaten yang memutus anggaran jaminan kesehatan PBI untuk refocusing Covid. Terkait Klaim di RS tidak bermasalah namun di Puskesmas masih bermasalah karena anggaran masuk di Kas Daerah kemudian di alokasikan ke fasilitas kesehatan

2. Bagaimana Tata kelola BPJS Kesheatan khususnya transparasni anggaran dan keterbukaan pada pemerintah daerah?

- Komunikasi dan Koordinasi dengan BPJS Kesheatan cukup baik sehingga data-data terkait kepsertaan dan penglolaan anggaran jika diminta cepat didapatkan. Kita per triwulan mendapatkan laporan tertulis.

3. Bagaimana upaya pemerataan pelayanan Kesehatan era JKN yang dirasa masih timpang antara kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan?

- Persoalan ini merupakan persoalan yang sampai saat ini belum mampu terselesaikan karena membutuhkan berbagai solusi dan berbagai stakeholders. Selain itu, keterbatasan kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai pepranjangan tangan Pemerintah Pusat sebagai pembinaan dan pengawasan memerlukan keterlibatan akademisi untuk melakukan pemetaan kebutuhan dan kelangkaan sarana & prasarana kesehatan. Selain itu, yang perlu diupayakan adalah pemenuhan kebijakan kompensasi yang ada dalam Pasal 23 UU SJSN.

4. Bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melaksanakan perpres 64/2020 khususnya pada PBI APBD dan PBPU Kelas 3?

- Kita sudah laksanakan, ada penyesuaian dengan anggaran yang ada. Ada penambahan yang akan diberikan khususnya PBI APBD. Tetapi, kita juga membutuhkan kepastian apakah tidak ada kenaikan tarif lagi dalam waktu dekat untuk program JKN ini.

Prof. Laksono Trisnantoro

- Dalam waktu dekat ini kita akan kembangkan advokasi kebijakan kesehatan berbasis bukti untuk tingkat pusat, provinsi, kab/kota. Rekomendasi kebijakan terkait dengan prioritas daerah, sebagai gambaran apakah di daerah sudah cukup peran pemda dalam koteks JKN. Beberapa hasil penelitian UGM di daerah menunjukkan pemda tidak begitu banyak berperan karena data dan informasi tidak sampai ke daerah bahkan terjadi ketimpangan daerah yang semakin besar. Daerah-daerah tertentu mau tidak mau harus menanggung defisit BPJS yang berdampak pada APBN. Dan dana dari daerah miskin untuk BPJS yang tidak tidak terpakai akan terpakai untuk menutup kerugian di daerah yang besar. Pola seperti ini yang menjadi tambahan untuk rekomendasi kebijakan.

Reporter: Candra

 

 

Webinar SMERU Research Institute: Menilik Adaptasi dan Ketangguhan Layanan Kesehatan dan Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

15jl 1

Rabu, 15 Juli 2020

The SMERU Research Institute, didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) mengadakan webinar bertajuk “Menilik Adaptasi dan Ketangguhan Layanan Kesehatan dan Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi #COVID19”. Webinar ini merupakan seri ketiga dari studi SMERU Institute mengenai dampak COVID-19. Webinar ini bertujuan menjelaskan rangkaian sembilan studi yang menganalisis kondisi sosial ekonomi di tengah pandemi COVID-19, salah satunya di bidang kesehatan dan ketahanan sosial budaya masyarakat. 

Webinar yang berlangsung pukul 10.00 - 12.00 WIB ini dipandu oleh moderator Sulton Mawardi yang merupakan peneliti senior di SMERU Institute. Adapun narasumber dalam webinar ini ialah Nurmala Selly Saputri dan Rizki Fillaili selaku peneliti di SMERU Institute. Penanggap dalam webinar ini ialah Muh. Fahrisal A selaku Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Wisnu Yulianto selaku Seksi Gizi Dinkes Pemprov DKI Jakarta dan Meuthia Ganie-Rochman selaku Dosen Departement Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia.

15jl 2Webinar ini dibuka oleh Widjajanti Isdijoso, Direktur SMERU Institute. Wanita yang biasa disapa Anti ini menjelaskan pandemi COVID-19 membawa dampak yang sangat luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Pandemi COVID-19 juga memengaruhi kondisi sosial ekonomi dan menghadirkan dampak - dampak lainnya.
“Untuk pelayanan dasar KIA, masyarakat menengah ke bawah akan mengalami hambatan karena tidak boleh berkumpul. Kita khawatir ada dampak jangka panjang untuk kualitas manusia. Misalnya, balita yang perkembangan dan imunisasinya tidak berjalan baik,” ujar Widjajanti.

Guna mengkaji dampak - dampak COVID-19 ini, peneliti dari SMERU Institute telah melakukan beberapa penelitian. Nurmala Selly Saputri selaku peneliti SMERU Institute menyampaikan hasil penelitian singkat berjudul “Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Pelayanan Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) : Studi Kasus Lima Wilayah di Indonesia”. Wilayah yang diteliti antara lain DKI Jakarta - Jakarta Timur, Jawa Barat - Bekasi, Sulawesi Selatan - Maros, Bali - Badung, dan NTT - Kupang. Metode penelitian yang digunakan ialah mixed method.

Selly mengatakan bahwa pandemi COVID-19 memberikan tantangan baru yang mengancam keselamatan ibu dan anak. Pandemi ini membuat penurunan kunjungan KIA ke pelayanan kesehatan. Penurunan kunjungan ini pun bahkan tidak membaik setelah pandemi berakhir. “Kalau kita lihat dari yang dulu (sebelum COVID-19), pandemi seperti Ebola membuat penurunan pelayanan kesehatan khususnya di bidang KIA,” ujar Selly.

Dalam penelitiannya, Selly menemukan bahwa pelayanan kehamilan difokuskan di puskesmas, kunjungan ke rumah, dan via daring. Terkait pelayanan kehamilan Selly menemukan bahwa dalam pandemi COVID-19, pelayanan secara daring memang cukup dimanfaatkan. “Saat pandemi Ebola pelayanan via WhatsApp belum tereksplor. Pada pandemi COVID-19, nakes memanfaat WhatsApp untuk pemantauan/supervisi kader di daerah. Walau dari lima wilayah, di Kupang masih terbatas aksesnya,” ujar Selly.

Terkait penurunan pelayanan K1 dan K4, Selly menemukan bahwa terjadi penurunan saat pandemi COVID-19. Untuk penurunan pelayanan K1 tertinggi pada Kabupaten Maros, Kota Jakarta Timur dan Kabupaten Badung. Terkait penurunan pelayanan K4 tertinggi pada Kota Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Badung.

15jl 3

Terkait pelayanan persalinan tidak banyak berubah, namun temuan penelitian menunjukkan ada beberapa kendala. Kendala tersebut misalnya kesulitan merujuk di Kabupaten Maros karena wilayah tersebut masuk zona merah. Kendala lain ialah kesulitan merujuk di Kota Kupang karena ada penolakan dari keluarga. Di Kupang pasien takut, terutama saat tahu Faskes yang dituju merawat pasien COVID-19.

Terkait pelayanan persalinan, Selly melaporkan temuan yang bisa menjadi perhatian bersama khususnya bagi Dinkes DKI Jakarta. “Di Jaktim ada persalinan di non faskes dan non nakes pada Februari hingga April 2020. Ini bisa dikarifikasi oleh penanggap dari Dinkes. Ini cukup mengejutkan di Jakarta masih ada persalinan di non nakes,” ujar Selly.

Peneliti SMERU Institut Rizki Filalili juga memaparkan hasil penelitiannya bertajuk “Ketangguhan Sosial Budaya Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19”. Rizki menyatakan semua masyarakat baik individu, komunitas, regional maupun global harus tangguh bersama-sama.”Ketangguhan yang dimaksud ialah proses masyarakat (komunitas) pulih kembali, melaksanakan kehidupan dengan memanfaatkan fasilitas yang mereka punyai baik sosial dan ekonomi,” ujar Rizki. Ia melihat bagaimana kelompok rentan membangun ketangguhan saat pandemi. Rizki mengatakan kelompok rentan terpapar dampak pandemi dan kesulitan bertahan hidup sehari - hari.

15jl 4

Dalam penelitian ini, Rizki mewawancarai 20 informan dari berbagai wilayah. Adapun komunitas yang ia teliti antara lain komunitas perkotaan di pemukiman padat Jakarta Timur, komunitas perkotan di pinggiran Jakarta Timur, komunitas desa adat di Kabupaten Badung Bali dan komunitas pekerja migran di Jakarta dan sekitarnya.

Dalam penelitiannya, Rizki menemukan di pemukiman padat di tengah kota Jakarta, ternyata persepsi masyarakat cukup rendah. Di pinggiran kota, persepsi tertular dan kekhawatiran cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena ada warga sekitar terinfeksi COVID-19, sehingga mereka ketat menjaga protokol seperti memasang portal, mengecek suhu dan memantau aktivitas masyarakat. Untuk komunitas migran, mereka lebih menerapkan strategi adaptasi. Di desa adat Badung Bali, Rizki menemukan kepatuhan masyarakat yang cukup tinggi. “Warga rata - rata takut tertular dan mendapat risiko sanksi adat. Misalnya takut digrebek pecalang (petugas keamanan), dihukum adat, dan diceremahi di depan umum atau isitilahnya dibuat malu,” ujar Rizki.

Rizki memaparkan beberapa temuan utama dalam penelitiannya. Pertama, masyarakat memiliki tingkat kepatuhan pada protokol kesehatan yang dipengaruhi oleh presepsi risiko kesehatan dan risiko (sanksi) adat. Kedua, individu dan masyarakat beradaptasi pada perubahan kondisi sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi. Penerapan strategi adaptasi di tingkat masyarakat mengandalkan pada sistem organisasi masyarakat. Ketiga, Rizki juga menemukan ada tantangan membangun ketangguhan terkait dengan kohesi sosial dimasyarakat dan tingkat kerentanan yang berbeda antar komunitas.

Keempat, pulang kampung menjadi strategi bertahan hidup (jangka pendek) bagi pekerja migran, memanfaatkan bonding social capital. Kelima, dukungan komunitas di tempat migran bekerja pada umumnya terbatas. Ikatan sosial dan emosional dengan masyarakat sekitar rendah dan menambah kerentanan. Keenam, peran pekerja migran sangat besar bagi pembangunan ekonomi desa, sehingga ketangguhan desa harus diperkuat.

Hasil penelitian dari SMERU Institut ini mendapat tanggapan dari Dinkes DKI Jakarta dan Akademisi Universitas Indonesia. Muh. Fahrisal A selaku Seksi Kesehatan Keluarga Dinkes Pemprov DKI Jakarta memberikan klarfikasi terkait persalinan di non faskes yang terjadi di Jakarta. “Persalinan non faskes meski dirumah tetap melibatkan nakes. Di rumah ada keluarga yang nakes,“ ujar Fahrizal.

Fahrizal juga setuju dengan data peneliti bahwa pelayanan KIA ada penurunan signifikan khususnya pada puncak pandemi saat PSBB pada akhir Maret. Hal ini memengaruhi pada kunjungan pelayanan baik ibu hamil, nifas, dan melahirkan. Ia juga membenarkan bahwa tingkat COVID-19 di DKI Jakarta tinggi pada pekan-pekan terakhir ini. “Pekan ini meningkat karena kita tes kurang lebih 365 ribu sampel,” ujar Fahrizal.

Ia juga memberikan tanggapan terkat pelayanan kesehatan. “Kematian ibu perlu dikaji apa ada hubungan antara rendahnya pelayanan kesehatan dengan meningkatnya kematian,” ujar Fahrizal

Wisnu Yulianto selaku Seksi Gizi Dinkes Pemprov DKI Jakarta memberikan tanggapan terkait gizi. Ia mengatakan gizi ruhnya ada pada pemantauan pertumbuhan balita dan bayi di Posyandu. Ia mengatakan pandemi ini, sedikit banyak memengaruhi proses pemantauan tersbeut. “Apalagi ada kebijakan sekda mengharuskan penundaan sementara kegiatan Posyandu,” ujar Wisnu.

Terkait stunting, Wisnu melihat tren monitoring balita berisiko, trennya mengalami penurunan yang cukup jauh. “Pada Januari - Februari 2020 cukup tinggi karena saat itu banyak program gizi. Maret masih terdapat pengukuran hingga minggu kedua, setelah itu PSBB. April - Juni tetap proses pemantauan. Karena keterbatasan tak semua masyarakat punya smartphone, kita masih punya kendala komunikasi dan intervensi,” ujar Wisnu.

Meuthia Ganie-Rochman selaku Dosen Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia memberikan tanggapan khususnya terkait isu sosial masyarakat. Meuthia mengatakan studi yang dilakukan SMERU Institute memiliki kekuatan memberikan karena menyajikan perbedaan karakter masyarakat. Penelitian tersebut juga menyajikan presepsi yang dalam wilayah berbeda dan memaparkan bagaimana bisa terjadi conflicting preception.

Namun Meuthia mengatakan SMERU Institute belum melihat kapasitas organisasi masyarakat secara mendalam. “Kalau melihat ketahanan masyarakat tidak cukup hanya melihat masyarakatnya saja, tapi bagaimana ia connect terhadap organisasi masyarakat lain. Itu tidak boleh ditutupi sebagai potensi mengatasi masalah,” ujar Meuthia.

Meuthia menambahkan pemerintah memang sudah melakukan sosialisasi cuci tangan dan lain sebagainya. Tapi ia menyarankan sosialisasi ini harus dilakukan dalam konteks yang lebih luas. Seperti cuci tangan, ada masyarakat yang jauh dari fasiltitas sanitasi.“Kita membutuhkan partner yang lebih kompeten untuk mengingatkan dan memberi penjelasan di tingkat masyarakat,” kata Meuthia.

Terkait tingkat ketahanan masyarakat menghadapi pandemi COVID-19, Meuthia juga memaparkan beberapa faktor untuk membahas ketahanan. Faktor tersebut antara lain sifat shock, sumber daya (modal sosial/material/moral), karakter sosial komunitas, fungis dalam organisasi dan hal yang ada di luar masyarakat tersebut. 

Reporter: Kurnia Putri Utomo (PKMK FK-KMK UGM)

 

 

Terms of Reference Evidence to Policy Fellowship Program

Versi bahasa indonesia

logof

Terms of Reference

Evidence to Policy Fellowship Program

We welcome you, our fellow

10ags

 

A. Introduction

The majority of health policies in Indonesia were created as a result of policymakers’ political goals, assumption and sometimes we hardly find a policy informed by evidence. Indonesia has 34 provinces within 514 local authorities; therefore, this large number could become a great barrier to decide which policy will be suitable for most subnational levels and what policy should be customize to local context. Understanding these reasons, CHPM have been establishing a network named Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (in English Translation “Indonesian Health Policy Network”) and aiming to support the subnational and local government and researchers. From our experience collaborating with another university or research centers, we found out that Indonesian Health researchers are struggling to provide evidence-informed policy recommendations and developing their strategy to engage with local stakeholders (policymakers). Based on these considerations, CHPM aims to establish a Policy Fellowship Program.

B. Purpose and learning objectives

CHPM aims to establish a Policy Fellowship Program with the following objectives:

  1. Promote evidence-informed policy to all fellow
  2. Build the capacity of selected fellows in producing quality policy research and analysis, as well as produce knowledge translation product.

C. Benefits of Program

  Policy makers Researchers
Individual Mentee
  1. Improving their knowledge, awareness, competencies and skills regarding knowledge translation process and its products.
  2. Fostering their ability to assess needs, synthesize and communicate their products from a policy lens.
  3. A future career investment for networking and knowledge
 
  1. Improving their knowledge, awareness, competencies and skills regarding knowledge translation process and its products.
  2. Fostering their ability to assess needs, synthesize and communicate their products from a policy lens.
  3. A future career investment for networking and knowledge
Home Institution of Mentee
  1. Having a staff with knowledge translation competencies.
  2. Being able to deal with health research and product knowledge appropriately.
  3. Promoting their policy is based on evidence (Institution Branding)
  1. Having a staff with knowledge translation competencies.
  2. Disseminating his/her knowledge to their co-workers
  3. Their knowledge product is ready to be delivered to potential policy maker.

D. Mentors and Participant 

Name Pirotiy Topic Institutions Province
Agus Fitriangga, MPH Tuberkulosis (TB) Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat
Stevie Ardianto Nappoe, MPH KIA Save the Childern Indonesia Nusa Tenggara Timur
Kasman Makkasau, M.Kes JKN Dinas Kesehatan Kota Parepare Sulawesi Selatan

Team for Fellowship Program

  1. Mentor: Andreasta Meliala (Director of CHPM)
  2. Instructors:
    1. Shita Dewi (Director of Program Fellowship and Health training specialist)
    2. Clara Abou Samra, MPH, An Evidence Lead Specialist at the Knowledge to Policy (K2P) Center at AUB
    3. Rana Saleh MPH, The Advocacy and Evidence Lead Specialist at the Knowledge to Policy (K2P) Center at FHS-AUB
    4. Rayane Nasreddine, Communication Officer at the Knowledge to Policy (K2P) Center at FHS-AUB
  3. Facilitators: Relmbuss Fanda, Tri Muhartini, Agus Salim and Kurnia Putri Utomo

E. Time and method of activity

Date : August, 10 – 28 2020
Time : 10.00 – 14.30 WIB
Link Zoom : will be provided with a following email
Person in charge : Shita Listya Dewi

F. Agenda Timetables

DAY 1

Day 1: Program Introduction

  1. To be introduced to the mentorship and the policy fellowship program
  2. To discuss fellowship program deeply and impact of it with fellows in a one on one meeting
  3. To understand the contract between Fellows member and CHPM
Time Activity Speacker / PIC
Introduction: Evidence to Policy: A Policy Fellowship Program: (August 10, 2020)
13.00 – 14.30

Welcome Participant and Program Introduction 

  •  Purpose of Mentorship program
  •  Mentorship Team
  •  Fellow Deliverables
  •  Timeline for evaluation
  •  Course Rundown
Dr, dr Andreasta Meliala, MARS
Fellow oriented discussion: Follow up interviews with Fellows
13.00 – 14.30 (12 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Policy Makers)

Tim CHPM

 

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(First Researcher)

Tim CHPM

 

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Second researcher)

Tim CHPM

 

 

 

G. Acknowledgement

CHPM would like to acknowledge the team at Knowledge To Policy (K2P) Center for their technical support as part of the K2P Mentorship Program to CHPM institutions. CHPM admits the Alliance for Health Policy and Systems Research at the World Health Organization for financial support as part of Knowledge to Policy (K2P) Center Mentorship Program [BIRD Project].

 

 

 

Kerangka Acuan Kegiatan Program Kemitraan: Kebijakan Berbasis Bukti

English version

logof

Kerangka Acuan Kegiatan

Program Kemitraan: Kebijakan Berbasis Bukti

 

A. Pengantar

Kebijakan kesehatan di Indonesia seringkali dibuat sebagai hasil dari tujuan politik dan asumsi para pembuat kebijakan, sehingga sangat jarang kita menemukan kebijakan yang didasari oleh bukti ilmiah yang cukup kuat. Indonesia memiliki 34 provinsi dalam 514 pemerintah lokal. Kondisi ini dapat menjadi penghalang besar untuk memutuskan kebijakan nasional mana yang cocok untuk sebagian besar daerah dan kebijakan apa yang harus disesuaikan dengan konteks lokal tertentu. Memahami alasan-alasan ini, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FK-KMK) UGM telah membangun jaringan bernama Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan bertujuan untuk mendukung pemerintah pusat dan daerah serta peneliti. Pengalaman kami berkolaborasi dengan universitas atau pusat penelitian lain membawa kami pada temuan bahwa para peneliti Kesehatan Indonesia sedang berjuang untuk memberikan rekomendasi kebijakan berdasarkan bukti dan mengembangkan strategi mereka untuk terlibat dengan pemangku kepentingan lokal (pembuat kebijakan). Berdasarkan pertimbangan ini, PKMK bertujuan untuk membentuk Program Kemitraan : Kebijakan Berbasis Bukti

B. Maksud dan Tujuan Kegiatan

PKMK bermaksud untuk membangun sebuah program kemitraan dengan tujuan berikut:

  1. Mempromosikan Kebijakan berbasis Bukti kepada para mitra
  2. Membangun kapasitas mitra terpilih dalam memproduksi penelitian dan analisis kebijakan bermutu sebagaimana memproduksi produksi terjemahan pengetahuan.

C. Keuntungan dari Program Kemitraan

Pembuat kebijakan Peneliti
Pribadi penerima program kemitraan
  1. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kompetensi dan keterampilan mereka terkait proses penerjemahan pengetahuan dan produk-produknya.
  2. Membina kemampuan mereka untuk menilai kebutuhan, menyelaraskan dan mengkomunikasikan produk mereka dari lensa kebijakan.
  3. Investasi karir masa depan untuk pengembangan jaringan dan pengetahuan
 
  1. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kompetensi dan keterampilan mereka terkait proses penerjemahan pengetahuan dan produk-produknya.
  2. Membina kemampuan mereka untuk menilai kebutuhan, menyelaraskan dan mengkomunikasikan produk mereka dari lensa kebijakan.
  3. Investasi karir masa depan untuk pengembangan jaringan dan pengetahuan
Institusi
  1. Memiliki staf dengan kompetensi terjemahan pengetahuan.
  2. Mampu melakukan penelitian kesehatan dan produk pengetahuan dengan tepat.
  3. Mempromosikan kebijakan mereka didasarkan pada bukti (Branding Institusi)
  1. Memiliki staf dengan kompetensi terjemahan pengetahuan.
  2. Menyebarkan pengetahuannya kepada rekan kerja mereka
  3. Produk penerjemahan pengetahuan siap untuk disampaikan kepada pemangku kebijakan potensial.

D. Mentor dan Target

Peserta Program Fellowship:

Nama Topik Prioritas Instansi Daerah
Agus Fitriangga, MPH Tuberkulosis (TB) Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat
Stevie Ardianto Nappoe, MPH KIA Save the Childern Indonesia Nusa Tenggara Timur
Kasman Makkasau, M.Kes JKN Dinas Kesehatan Kota Parepare Sulawesi Selatan

Tim dalam Program Kemitraan

  1. Mentor: Andreasta Meliala (Director of CHPM)
  2. Instruktur:
    1. Shita Dewi (Direktur Program Kemitraan and Spesialis Pelatihan Kesehatan)
    2. Clara Abou Samra, MPH, Evidence Lead Spesialis dari Knowledge to Policy (K2P) Center AUB
    3. Rana Saleh MPH, Advocacy and Evidence Lead Spesialis dari Knowledge to Policy (K2P) Center FHS-AUB
    4. Rayane Nasreddine, Communication Officer dari Knowledge to Policy (K2P) Center FHS-AUB
  3. Fasilitator: Relmbuss Fanda, Tri Muhartini, Agus Salim dan Kurnia Putri Utomo

E. Pelaksanaan Kegiatan

Tanggal : 10 - 28 Agustus 2020 dengan rincian detil kegiatan
Waktu : 10.00 – 14.30 WIB
Link : - ( akan disediakan dikemudian hari)
Penanggung Jawab : Shita Listya Dewi

F. Detil Kegiatan

DAY 1

Day 1: Pengenalan Program

  1. Pengenalan program mentorship dan program policy fellowship
  2. Mendiskusikan program fellowship dengan mitra secara lebih dalam dan mendiskusikan dampaknya dalam pertemuan tatap muka
    1. Apa itu Fellowship program
    2. Apa dampak yang ingin dicapai
    3. Memahami kontrak antara peraih beasiswa dan CHPM
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Perkenalan: Evidence to Policy: A Policy Fellowship Program: (10 Agustus 2020)
13.00 – 14.30

Welcome Participant and Program Introduction 

  •  Purpose of Mentorship program
  •  Mentorship Team
  •  Fellow Deliverables
  •  Timeline for evaluation
  •  Course Rundown
Dr, dr Andreasta Meliala, MARS
Diskusi dengan mitra: Menindaklanjuti interview dengan Mitra
13.00 – 14.30 (12 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Policy Makers)

Tim CHPM

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(First Researcher)

Tim CHPM

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Second researcher)

Tim CHPM

 

link download materi

G. Pengakuan

PKMK mengakui bahwa tim dari Knowledge To Policy (K2P) Center melakukan dukungan teknis sebagai bentuk dari the K2P Mentorship Program kepada PKMK FKKMK UGM. PKMK juga mengakui bahwa Alliance for Health Policy and Systems Research di World Health Organization untuk dukungan finansial kepada Knowledge to Policy (K2P) Center Mentorship Program [BIRD Project].

 

 

 

 

 

 

 

 

Ringkasan Isi Seminar Perbaikan kelembagaan BPJS Kesehatan: Aspek Akuntabilitas, Transparansi & Ekosistem IT dalam JKN

Ringkasan Isi Seminar

Perbaikan kelembagaan BPJS Kesehatan:
Aspek Akuntabilitas, Transparansi & Ekosistem IT dalam JKN

Kamis, 2 Juli 2020

kerangka acuan   reportase

Prof Laksono Trisnantoro, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM
Tri Aktariyani, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK
Insan Rekso Adiwibowo, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK

Hasil penelitian PKMK FK-KMK UGM bersama 16 perguruan tinggi di 13 provinsi Indonesia menunjukkan bahwa transparansi program JKN masih belum baik. Situasi ini disinyalir karena maturitas Lembaga penyelenggara program JKN belum terjadi. Di sisi lain, lemahnya DJSN selaku Lembaga substansial dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia juga menyebabkan akuntabilitas keputusan kebijakan JKN sering berada jauh dari apa yang dicita-citakan oleh UU SJSN dan UU BPJS.

Aspek Akuntabilitas & Transparansi Program JKN

Sentralisasi tata Kelola program JKN selain menyebabkan terfragmentasinya tata pemerintahan dalam pemenuhan hak pelayanan kesehatan bagi masyarakat, juga mengakibatkan sulitnya akses data dan informasi. Menurut teori perundang-undangan isi Pasal 83-84 Perpres No.82/2018, telah menjadi validasi bahwa sejak 2014 hingga saat ini transparansi data dan informasi program JKN sulit diakses baik oleh pemerintah daerah maupun oleh kementerian/Lembaga bahkan DJSN. Ketidaktransparan data dan informasi program JKN membuat monitoring dan evaluasi JKN tidak dilakukan secara partisipasti, dan kebijakan diambil tidak berdasarkan bukti yang komprehensif.

Apabila menelaah dalam UU SJSN, ada dua Lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan program Jaminan sosial (JKN), yakni DJSN & BPJS (Kesehatan & Ketenagakerjaan). Kedua Lembaga ini memiliki fungsi & tugas yang berbeda, namun sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Realitanya, putusan MA No.60P/HUM/2018 & Putusan MA No.007/P/HUM mengungkapkan fakta bahwa lemahnya DJSN. Padahal DJSN adalah sebuah Lembaga yang berisikan perwakilan pemerintah, pemberi kerja, ahli dan pekerja. Lembaga ini menjadi lemah diidentifikasi karena instrumen hukum yang tidak mendukung.

Ekosistem IT dalam JKN

Hasil dari pengamatan menilai bahwa sistem TI di BPJS belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan. TI di BPJS masih untuk kebutuhan BPJS Kesehatan dengan pendekatan korporasi, bukan sebuah Badan Publik. Sehingga prinsip interoperabilitas data (saling bekerja sama antar sistem yang berbeda) antar stakeholder menjadi belum diterapkan saat ini. Berbagai fungsi TI dalam sistem jaminan kesehatan yang seharusnya ada, belum dijalankan (misal fungsi early warning untuk pengawasan, penggunaan data untuk perencanaan).

Kesimpulan

Faktor utama penyebab transparansi dan akuntabilitas yang belum baik dalam program JKN adalah tidak terjadi maturitas baik pada BPJS Kesehatan, DJSN maupun kementerian/Lembaga terkait. Sulitnya akses data dan informasi ini menyebabkan monitoring dan evaluasi program JKN tidak dilakukan secara partisipatif, sedangkan kebijakan yang dibentuk cenderung tidak berdasarkan bukti dan data yang komprehensif.

Saran

UU BPJS perlu direview bersama pemerintah dan stakeholders. Sebab, UU tersebut tidak tuntas mendelegasikan tanggung jawab dan pengawasan program JKN bagi DJSN, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah. Selain itu, UU BPJS tidak memadai menjelaskan kedudukan dan kewenangan antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dapat memicu potensi disharmonis pada peraturan pelaksana yang dibentuk kemudian waktu.

Jogjakarta 2 Juli 2020