Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih Lemah

[JAKARTA] Sejumlah kalangan menilai komitmen pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi yang belum pro terhadap kesehatan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo,pakar kesehatan dari Universitas Hassanudin Prof Razak Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai pergantian pimpinan/penguasa terus terjadi,namun masalah kesehatan tetap berjalan di tempat.

Pertanyannya,setahun menjelang pemilu 2014,masihkah kesehatan rakyat mendapatkan perhatian. Mereka mengimbau maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan.

Sudaryatmo,mengatakan, dari sisi politik anggaran kesehatan dan pendidikan,komitmen pemerintah Indonesia dibanding negara lain masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi untuk pendidikan dan kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos mendekati 5%,Malaysia 10%,Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.

"Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah memang belum berpihak pada isu kesehatan dan pendidikan. Minimnya anggaran kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai," kata Sudaryatmo pada acara refleksi setahun menjelang Pilpres 2014 yang digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti.

Menurut Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih komitmen dan disiplin untuk membayar hutang. Untuk pendidikan dan kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk bayar hutang mencapai 10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%,Laos 3%,Malaysia 8%. Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni 12% dan Taiwan 15%, namun rasio antara anggaran kesehatan dengan membayar hutang seimbang, sedangkan di Indonesia sangat jomplang.

Ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu kesehatan dan pendidikan juga terlihat dari struktur APBN 2013. Mengutip data Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total APBN sebesar Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di antaranya infrastruktur Rp 201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3 triliun (7,02%),subsidi Rp317,2 triliun (18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6 triliun (31,4%).

Struktur anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk subsidi,bahkan lebih besar dari pembangunan infrastruktur. Padahal, kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas sasaran dan implikasinya terhadap perbaikan masalah di masyarakat.

Subsidi BBM misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari total anggaran subsidi. Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9

triliun (25,51%), subsidi BBM bermasalah karena pemerintah tidak memiliki data dan pertanggungjawaban soal penerima maupun besarannya. Menurutnya, misteri subsidi BBM akan menjadi catatan hitam sejarah ekonomi kontemporer Indonesia.

"Padahal untuk mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai membutuhkan anggaran sebesar subsidi BBM," katanya.

Razak Thaha mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga memiliki pendapatan perkapita atau pertumbuhan ekonomi lebih dari negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan tidak lebih baik.

Masalah gizi di Indonesia misalnya belum mengalami penurunan signifikan. Di antaranya Indonesia merupakan negara kelima dengan

jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO

mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk Indonesia.

Menurutnya, orang pendek merupakan representasi dari kemiskinan di setiap provinsi. Di mana ada lumbung kemiskinan di situ orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua Barat dan NTB. Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan kekurangan gizi.

Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk adalah calon-calon penderita penyakit tidak menular di kemudian hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.

"Padahal anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus meningkat, bahkan saat puncak resesi ekonomi. Tahun 2000 anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik tujuh kali lipat atau Rp 700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah tambah jelek,lalu kemana anggaran itu," katanya.

Ali Ghufron Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup memberikan perhatian serius pada masalah kesehatan. Buktinya, hampir tidak ada negara di dunia ini yang menjamin 86,4 juta warganya untuk berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia. Selain itu, progam Jampersal menjamin persalinan gratis untuk semua ibu hamil.

"Dari sisi anggaran memang dari persentase masih di bawah 2,1% dari total APBN, tetapi nominal-nya terus meningkat setiap tahun. Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan 2014 diperkirakan mencapai sekitar Rp 40 triliun," katanya.

Zainal Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun hanya berkisar di 2% dari total APBN. Karena itu IDI mengimbau pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan UU Kesehatan 36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata dia,pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan baik. [D-13]

(source: www.suarapembaruan.com)