BPJS Kesehatan Usul Revisi Perpres Tata Kelola JKN

Untuk memperjelas tugas dan fungsi antar lembaga dalam menjalankan program JKN. Terpenting, semua kebijakan JKN yang diterbitkan harus mengacu konstitusi dan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berjalan sejak 1 Januari 2014 telah banyak dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat. Program ini memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Namun, pelaksanaan JKN selama 6 tahun ini seringkali menghadapi masalah dan tantangan, salah satunya tentang tata kelola.

Banyak pihak yang terlibat dalam program JKN ini antara lain BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara, kementerian/lembaga sebagai regulator, fasilitas kesehatan (rumah sakit) sebagai penyedia layanan, dan asosiasi profesi. Peran lembaga dan tata kelola penyelenggaraan JKN telah diatur beberapa regulasi seperti Perpres No.85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Perpres No.25 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan, Mundiharno, mengatakan banyak pihak yang terlibat dalam ekosistem pelaksanaan program JKN yang diatur dalam Perpres itu, Namun, berbagai regulasi itu dirasa belum cukup untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan JKN.

Karena itu, untuk menciptakan ekosistem program JKN agar lebih baik, harus ada kejelasan tugas dan fungsi masing-masing lembaga pemangku kepentingan. “Ada puluhan institusi dalam penyelenggaraan JKN, ini perlu dituangkan dalam peraturan (terkait tugas dan fungsi masing-masing lembaga dalam program JKN, red),” kata Mundiharno dalam diskusi secara daring, Rabu (8/7/2020). (Baca Juga: Pemerintah Diminta Terus Benahi Tata Kelola Program JKN)

Menurut Mundiharno, penjelasan secara detail mengenai tugas dan fungsi masing-masing pemangku kepentingan itu dapat dituangkan melalui revisi Perpres No.85 Tahun 2013 tersebut. Harapannya, kata dia, tata kelola JKN bisa diperkuat dengan ekosistem yang lebih sinergis antar stakeholder baik pusat dan daerah, peserta, pemberi layanan Kesehatan, dan lainnya.

Pakar Jaminan Sosial, Hasbullah Thabrany, menilai salah satu persoalan yang dihadapi dalam penyelenggaraan JKN yakni koordinasi dan fragmentasi kebijakan JKN. Desentralisasi juga menjadi persoalan terkait akuntabilitas dan pemantauan lembaga di tingkat pusat. Terpenting, semua kebijakan JKN yang diterbitkan harus mengacu konstitusi dan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Hasbullah mengingatkan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebut setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dia melanjutkan UU No.40 Tahun 2004 menegaskan kebutuhan dasar kesehatan yang layak sesuai kebutuhan medis. Karena itu, orientasi kebijakan JKN sebaiknya untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, bukan menekan biaya JKN agar semakin kecil.

Dia mengatakan untuk mewujudkan layanan kesehatan dasar perlu ada manajemen yang baik. Misalnya, pemda dan swasta berperan dalam penyediaan layanan kesehatan. “Bayaran layak, dan ketersediaan fasilitas kesehatan dalam jarak memadai,” kata Hasbullah.

Menurut Hasbullah, defisit yang dialami dana jaminan sosial (DJS) BPJS Kesehatan memicu pandangan yang orientasinya tidak sesuai mandat konstitusi untuk menyelenggarakan layanan kesehatan dasar yang layak. Defisit ini terjadi karena pengeluaran program lebih besar daripada pendapatan.

Secara umum kemampuan fiskal pemerintah cukup untuk mengatasi persoalan itu, tapi sampai saat ini belum ada kemauan politik untuk mendukung penguatan JKN berbasis fakta. “Defisit JKN ini tidak perlu ditakutkan, karena ini sejak awal pemerintah tidak menetapkan iuran sesuai kebutuhan yang sudah diperhitungkan,” katanya.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, Budi Hidayat berpendapat masalah JKN salah satunya terkait pendanaan. Besaran iuran sudah dihitung sesuai aktuaria, tapi ketika dituangkan dalam regulasi besarannya berbeda. Hal ini yang menjadi masalah dalam penyelenggaraan JKN karena iuran yang ada tidak sesuai dengan manfaat yang diberikan program JKN kepada peserta.

Masalah lain soal politik anggaran. Budi melihat bidang kesehatan masuk dalam komponen belanja, bukan investasi. Padahal, banyak bukti yang menunjukan jika investasi di bidang kesehatan minim, maka pertumbuhan ekonomi juga rendah. “Pandemi Covid-19 ini membuka mata pentingnya sektor kesehatan,” ujarnya.

Kemudian soal pembayaran fasilitas kesehatan, Budi melihat ada yang tidak sesuai dengan regulasi karena seharusnya ada negosiasi tarif. Pasal 24 UU No.40 Tahun 2004 mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut.

sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f086088cf0d4/bpjs-kesehatan-usul-revisi-perpres-tata-kelola-jkn