Beasiswa Dokter Perlu Diiringi Sentralisasi

Jakarta, PKMK. Rencana Pemerintah Indonesia memberikan beasiswa dan ikatan dinas kepada dokter yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran, secara teoritis lebih mendukung pemerataan distribusi dokter di Indonesia. Meskipun begitu, yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan hal itu dalam masa desentralisasi pemerintahan Indonesia. Sebab, dalam Undang-undang Otonomi Daerah, disiratkan bahwa yang menggaji dokter adalah Pemerintah Daerah. Tatkala Pemerintah Pusat menempatkan dokter di pelosok namun pemerintah disana tidak memiliki anggaran untuk menggaji, tentu menimbulkan kesulitan tersendiri, dr. Kartono Mohamad, pengamat kesehatan di Jakarta (4/5/2013)

Demi memperbaiki tidak meratanya distribusi itu, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia perlu direvisi, dari desentralisasi menjadi lebih terpusat. "Jadi, yang perlu ada bukan hanya beasiswa dan ikatan dinas itu. Namun juga mengkaji kembali desentralisasi pelayanan kesehatan," kata mantan ketua umum Ikatan Dokter Indonesia itu. Secara teoritis, beasiswa dan ikatan dinas itu bisa dijalankan di Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, Pemerintah Indonesia juga pernah memberikan hal serupa. Tapi saat itu, jumlah fakultas kedokteran se-Indonesia hanya dua sehingga peminat beasiswa tidak banyak. "Kalau sekarang, jumlah fakultas kedokteran kan sudah sekitar 70-an," kata Kartono.

Jika nantinya diberikan lagi, beasiswa dan ikatan dinas itu harus diberikan selektif. Penerimanya harus sungguh-sungguh diseleksi. Kemudian, waktu ikatan dinas tersebut harus lebih lama. Bukan sekadar enam bulan ataupun dua tahun seperti yang kini diberikan ke dokter pegawai tidak tetap (PTT). "Mahasiswa kedokteran dibiayai Pemerintah Indonesia selama pendidikan dan dia membayar utangnya berupa ikatan dinas yang cukup lama dengan rumus tertentu," Kartono mengatakan. Hal yang jelas, nantinya peminat beasiswa dan ikatan dinas tersebut bisa banyak. Pelajar pintar namun berkemampuan ekonomi rendah akan banyak mengincar fasilitas tersebut. Hal ini mengingat biaya pendidikan di fakultas kedokteran yang mahal, ujar Kartono.