Dokter Kurang Ramah, Warga Berobat ke Malaysia

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus memiliki kemauan politik (political will) yang kuat untuk menyediakan layanan kesehatan yang prima dan terjangkau sehingga masyarakat tidak perlu berobat ke Malaysia atau negara lain.

"Sekarang persoalannya, mau atau tidak pemerintah menyediakan layanan kesehatan prima dengan biaya murah. Kalau bisa, saya yakin sedikit sekali orang Indonesia yang berobat ke luar negeri," kata Prof Dr Hasbullah Thabrany dari Center for Health Economics and Policy, Universitas Indonesia, di Jakarta, Rabu (18/7), ketika diminta tanggapannya oleh Suara Karya seputar makin maraknya warga Indonesia yang berobat ke Malaysia.

Prof Hasbullah menambahkan, dari segi kualitas, dokter Indonesia sebenarnya tidak kalah dibanding dokter Malaysia. Namun sayangnya, dokter Indonesia terlalu banyak yang nyambi dengan bekerja di beberapa rumah sakit. Akibatnya, waktu percakapan dengan dokter terasa sangat sempit dan terburu-buru. Pasien pun kemudian merasa tidak puas.

"Ini berbeda dengan dokter Malaysia yang hanya bekerja di satu rumah sakit. Mereka bisa terfokus terhadap pasien. Mereka punya banyak waktu bagi pasien yang bertanya seputar penyakitnya. Pasien merasa benar-benar dilayani. Ini yang sulit didapatkan dari layanan rumah sakit di dalam negeri," tutur Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu.

Maraknya warga Indonesia berobat ke Malaysia sebelumnya disinggung Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof Ali Ghufron Mukti. Menurut Wakil Menkes, dokter maupun teknologi kesehatan Indonesia tidak kalah dibanding Malaysia. Bahkan dokter Malaysia pun banyak lulusan perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.

"Saya heran, banyak pasien yang memilih berobat ke Malaysia. Padahal, dokter di sana itu lulusan Indonesia juga. Saat ini paling tidak ada sekitar 200 sampai 400 dokter Malaysia lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta," kata Ali Ghufron di Solo, Selasa (17/7).

Wakil Menkes mengakui, salah satu kelemahan rumah sakit di Tanah Air adalah minimnya kerja sama tim saat menangani pasien. "Rumah sakit Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari Malaysia, terutama soal bagaimana memberikan pelayanan yang prima," ucapnya.

Malaysia saat ini memang tergolong sukses dalam menyediakan program wisata kesehatan bagi penduduk Indonesia, yang sangat mendambakan layanan prima dengan harga murah. Situs malaysiahealthcare .com mencatat kunjungan turis untuk wisata kesehatan Malaysia ini secara statistik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2007 saja tercatat 386.000 turis yang berobat ke Malaysia, dan meningkat menjadi 410.000 pada tahun 2009. Dari total kunjungan wisata berobat itu, 70 persennya adalah dari Indonesia.

Pendapatan yang diperoleh Malaysia dari sektor wisata kesehatan ini juga relatif lumayan. Pada tahun 2006 tercatat Malaysia memperoleh 167 juta ringgit atau 480 miliar rupiah lebih dari sektor ini dan meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diprediksi mencapai 6 triliun rupiah lebih tahun 2010.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Rusdi Lamsudin, menilai kondisi semacam itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sebab, dampak yang timbul bisa berupa masalah ekonomi maupun harga diri para dokter Indonesia.

"Berapa devisa negara yang terbuang ke luar negeri untuk tindakan yang sebenarnya bisa dilakukan dalam negeri? Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus," ucap Rusdi di Yogyakarta kemarin.