Reportase Webinar

Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

Yogyakarta, 23 Juni 2020

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 2 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (23/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Implikasi Perpres 64/2020 pada keberlangsungan JKN di daerah fiskal rendah: Studi Kasus Provinsi NTT” yang disampaikan oleh Peneliti JKN di NTT, Stevi Ardianto Nappoe, MPH. Pembahas pada pertemuan ini adalah Johny Ericson Ataupah, SP., MM dari BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

PENGANTAR

Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini merupakan suatu program yang membahas hasil penelitian tentang hubungan antara JKN dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk perbaikan JKN dan menelaah implementasi UU SJSN yang tidak sesuai dengan kondisi daerah sehingga diharapkan ada revisi UU SJSN.

Sesi Presentasi: Implikasi Perpres Nomor 64 Tahun 2020 di daerah NTT

Stevie selaku peneliti JKN di Provinsi NTT menyampaikan situasi pelayanan kesehatan di NTT yang serba kekurangan mulai dari SDM Kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan yang didominasi RS Tipe C dan D serta akses layanan kesehatan yang masih sulit. Terkait implementasi JKN di Provinsi NTT terdapat 85% peserta yang telah tercover JKN dan 15% belum tercover dimana peserta didominasi oleh PBI APBN. Utilisasi layanan kesehatan dan portabilitas layanan rujukan lebih banyak dilakukan oleh segmen PBPU, BP dan PPU. Selain itu, kolektabilitas dan biaya layanan masih terdapat dana sisa dengan klaim rasio sebesar 59%. Proyeksi pembiayaan JKN berdasarkan Perpres Nomor 64 tahun 2020, pemerintah daerah NTT akan mengeluarkan biaya sekitar 271 Miliar untuk segmen PBI Daerah dan Pemerintah Pusat mengeluarkan biaya sekitar 1,8 Triliun di tahun 2021 untuk segmen PBI APBN. Proyeksi ini belum memperhitungan dampak Covid19 dan migrasi turun kelas III sebagai dampak kenaikan iuran JKN. Tantangan yang dihadapi pemerintah daerah antara lain beban pembiayaan pemerintah daerah akan bertambah pada tahun 2021 untuk mencapai UHC dan memastikan semua penduduk 15% yang belum tercover BPJS masuk dalam DTKS yang terverified dan valid.

materi


SESI PEMBAHAS

Sesi ini dibawakan oleh Johny Ericson Ataupah, SP., MM dari BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur. Johni menyampaikan pembangunan kesehatan dalam konsep UHC harus dilihat secara holistik. Saat ini cakupan peserta JKN di Provinsi NTT mencapai 85% yang di dominasi oleh segmen PBI APBN dan beberapa kabupaten sudah UHC namun sebagian besar belum UHC. Kebijakan yang dilakukan Provinsi NTT terkait advokasi dan perluasan jaminan layanan kesehatan ada 3 blok yaitu 1) memastikan data penduduk miskin dimana sampai saat ini masih terjadi perbedaan data antara BPS, DISPENDUK dan DTKS; 2) Kebijakan anggaran APBD baik Provinsi/Kab/Kota untuk UHC; dan 3) Manajemen informasi dan regulasi penyelenggaraan asuransi jaminan kesehatan.

materi


SESI DISKUSI

1. Selama implementasi JKN apakah sudah terlaksana kebijakan dana kompensasi?

Pak Stefi (Peneliti JKN Prov. NTT):

- Kebijakan Kompensasi di UU BPJS dan SJSN sudah jelas bahwa daerah yang sulit atau terbatas fasilitas kesehatannya, BPJS wajib memberikan dana kompensasi sesuai peruntukannya tapi kenyataannya banyak teman-teman di Dinas Kesehatan tidak tahu kalau ada dana kompensasi sehingga tidak ada follow up dari pemerintah daerah tentang mekanisme dana kompensasi. Terbukti, seharusnya beberapa kabupaten/kota di Provinsi berhak mendapatkan dana kompensasi. Selain itu, pada dana kompensasi sama sekali tidak disinggung oleh BPJS Kesehatan pada forum kepentingan di Provinsi NTT. Jika dilihat aliran dana APBN ke NTT cukup banyak dari PBI APBN tetapi karena rendanya utilisasi PBI APBN dan fasilitas kesehatan yang terbatas sehingga dana tersebut tidak dimanfaatkan provinsi NTT. Bisa jadi dana tersebut digunakan untuk membiayai faskes di daerah Jawa.

Pak Jhoni (BAPPEDA Prov. NTT)

- Saya menanyakan di bagian keuangan tentang kompensasi ini, waktu saya konfirmasi mereka juga mempertanyakan hal yang sama, kompensasi yang bagaimana.


2. Dalam UU SJSN, seperti apa pemenuhan kompensasi dalam kebijakan SJSN?

Laksono Trisnantoro (PKMK FKKMK UGM):

- Memang ini menjadi satu isu kunci dalam JKN, ketika melihat JKN sebagai sistem yang sentralistik. Peraturan yang di susun itu satu, misal pengaturan tarif untuk membayar premi. Di Sleman, premi PBI APBD atau PBI APBN sama di seluruh Indonesia padahal faskesnya berbeda jauh antara NTT dengan DIY. Akibatnya, situasi yang terjadi di DIY mengalami defisit sementara di NTT masih ada dana sisa. Hal ini karena fasilitas kesehatannya tidak ada atau masih sangat terbatas. Kompensasi harusnya dipakai untuk menyeimbangkan, walaupun itu menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Namun karena defisit yang sudah berjalan sejak awal ternyata BPJS tidak mempunyai dana kompensasi. Selama 7 tahun tenyata di NTT belum ada kebijakan kompensasi. Ini yang menjadi isu kunci yang perlu dibawah ke pusat dan DPR bahwa ini tidak adil karena kalau dibiarkan dana BPJS ditambah APBN nanti dipakai orang-orang yang memiliki akses mudah seperti di Jawa.


3. Apakah dapat diberikan gambaran keseluruhan pembiayaan kesehatan di NTT? seberapa ketergantungan NTT terhadap transfer pusat seperti DAK, DAU, dst? Porsi anggaran untuk sektor kesehatan terhadap total anggaran daerah? berapa porsi yang dialokasi untuk subsidi APBD daerah? seberapa pendapatan daerah yang berasal dari sektor kesehatan?

Pak Jhoni (BAPPEDA Prov. NTT)

- Pemerintah provinsi saat ini untuk Dana Transfer daerah, APBD NTT sekitar 6 Triliun, dan PAD sekitar 1,2 T yang lainnya trasfer dari Pusat. Di Kota Kupang, PAD nya paling banyak 200M. dan Rata-rata PAD kabupaten paling banyak 80 M dalam satu tahun anggaran. Dana transfer pusat sudah jelas peruntukannya. Total anggaran kesehatan NTT cukup baik mendekati anjuran 10% yang ditentukan.

Laksono Trisnantoro (PKMK FKKMK UGM):

- PAD NTT sangat kecil dan sangat bergantung pada Pusat. Dalam konteks JKN, kembali pada faskesnya. Selama faskes belum terbangun merata dengan tolak ukur seperti di jawa maka akan sulit sekali bagi penduduk NTT untuk mendapatkan akses pelayanan yang canggih seperti jantung, cancer dsb. Kalau kami minta NTT untuk meningkatkan investasi untuk infrstruktur kesehatan, saya yakin NTT tidak memiliki uang. Ini memang fakta bahwa JKN agak susah diterapkan di daerah seperti NTT.

Pak Pandu (Wold Bank Indonesia):

- Konsep Sosial health insurance idealnya pada suatu setting yang perbedaan kapasitas wilayahnya tidak terlalu mencolok namun Indonesia kondisinya masih terjadi perbedaan kapasitas dan akses ke pelayanan kesehatan antar daerah masih sangat berbeda. Jadi ini mengakibatkan ketimpangan makin menonjol. Yang perlu kita fikirkan adalah perlu membuat orang yang tidak bisa menjangkau fasilitas kesehatan bisa menjangkaunya. Salah satu pemikirannya adalah memastikan ketimpangan dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan teratasi. Tapi ini dilakukan secara paralel. Jadi perlu ada advokasi yang sangat kuat ke Kemenkeu, Kemenkes, Bappenas untuk mengurangi tajamnya perbedaan kapasitas daerah dalam memberikan pelayanan. Kalau saya, bagaimana meminimalisir ketimpangan pendanaan yang ada. Ini PR bersama. Mungkin ada mekanisme khusus untuk sementara mengurangi ketimpangan pembiayaan.

 
SESI PENUTUP