Forum Analisis Kebijakan Seri VI

Review Undang-undang (UU) Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS)

23 Juli 2020

Tri Aktariyani, MH membuka webinar ini dengan menyatakan bahwa fasilitas ini merupakan media komunikasi yang digunakan oleh PKMK FK - KMK UGM untuk menyampaikan hasil penelitian. Hasil penelitian yang akan disampaikan dari 2014 hingga 2020 adalah evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional. Dengan berkolaborasi bersama 16 mitra perguruan tinggi di 13 provinsi, PKMK telah melakukan analisis kebijakan JKN yang mendalam tentang tata kelola jaminan kesehatan, disparitas dalam layanan kesehatan, mutu dan potensi kecurangan (fraud) di layanan kesehatan.

Prof Laksono Trisnantoro selaku pengamat kebijakan JKN mengatakan bahwa penting untuk menyadari proses kebijakan terdiri dari penetapan agenda, perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pemantauan serta evaluasi kebijakan. Pada tahap pemantauan dan pengawasan dan menemukan beberapa temuan yang dapat membuat kita berpikir untuk merivisi UU ataupun aturan pelaksana. Kita sebagai masyarakat diberikan kebebasan dalam berpartisipasi dalam membuat laporan publik. Prof Laksono menyampaikan hasil temuan dan merekomendasikan adanya perubahan UU pada produk hukum UU SJSN pasal 1 ayat dimana dana amanat harus dikumpulkan ke dalam single pool. Dana dari kelompok PBI APBN yang surplus tidak digunakan untuk melakukan kebijakan lain yang bertujuan untuk melakukan pemerataan layanan kesehatan, namun digunakan Kembali untuk membayar kerugian pada kelompok lain.

Prof Laksono menyampaikan perlu dilakukan kompartemenisasi sehingga dana dari PBI APBN tidak digunakan oleh kelompok lainnya. Pasal lainnya yang perlu diubah dalam daftar adalah kepesertaan yang bersifat wajib sebagai anggota BPJS Kesehatan, prinsip ekuitas yang tidak memiliki definisi yang jelas, kebijakan kompensasi yang belum berjalan dan juga masalah data yang mengakibatkan pemerintah daerah tidak memiliki gambaran yang jelas apa yang terjadi diwilayahnya. Laksono menutup pemaparan dengan menyampaikan bahwa PKMK UGM berkolaborasi dengan para mitra universitas akan melakukan advokasi dalam hingga tahun depan sehingga UU SJSN dan BPJS Kesehatan dapat direvisi.

Pembahas yang pertama, Emanuel Melkiades Laka Lena selaku wakil komisi IX DPR RI menyampaikan apresiasi sebesar - besarnya kepada PKMK dan para mitra universitas. Emanuel menyakini bahwa JKN dan UU SJSN harus selalu diuji, dievaluasi, diperbaiki dan disempurnakan dari waktu ke waktu kerena kita menyadari bahwa dinamika perubahan kepada undang - undang. Usulan tersebut akan didiskusikan dalam rapat biasa dan rapat dengar pendapat bersama Komisi IX. Pihaknya juga menyampaikan bahwa saat ini komisi IX telah membentuk Panitia Kerja tentang PBI, JKN, InaCBGs, dan BPJS kesehatan. Komisi IX telah berbenah, mengkaji dan memberikan rekomendasi dengan melihat titik temu dan titik beda dari tiap panitia kerja tersebut. Emanuel juga mengarisbawahi bahwa dengan momentum pandemi COVID-19 ini, perbaikan sistem sosial tepat dilaksanakan.

Pembahas kedua, Dr Indra Budi Sumantoro, S.Pd, MM dari DJSN, membuka komentar dengan ciri JKN yang sentralistik berawal dari kata kunci setiap orang dan seluruh rakyat sehingga pelaksanaannya harus secara nasional. Selain itu ada mazhab hukum bilangan besar, sehingga robustness semakin kuat dan juga akan semakin menarik ketika kita membicarakan tentang akuntabilitas. Di sisi lain, Indra menyampaikan tentang pembatasan benefit package, yang harusnya sejalan dengan UU SJN yang menyatakan bahwa penyakit yang berkaitan dengan moral hazard akan dikenakan iur biaya belum terlaksana. Indra melihat bahwa sebenarnya masalah di JKN ini adalah masalah implementatif, sehingga apabila dilakukan revisi harus komprehensif dan kolektif. Revisi tersebut tidak hanya diharapkan kepada UU SJSN dan JKN saja namun juga perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai asuransi ketenagakerjaan. Pihaknya menegaskan bahwa perlu dilakukan kajian lebih dalam tentang dana PBI APBD yang seolah mensubsidi orang kaya. Pemikiran tentang standarisasi pelayanan kesehatan diperlukan peraturan bersama. Indra menutup pembahasan dengan menyatakan bahwa JKN itu merupakan jaminan sosial yang bukan merupakan urusan kesehatan.

Pembahas terakhir, drg. Jenni Wihartini dari BPJS Kesehatan, menyampaikan bahwa kita tidak bisa melihat satu sisi saja dimana ada disparitas layanan tapi sebenarnya dampak JKN kepada pertumbuhan ekonomi ini sangat luar biasa. Salah satu kajian dari Teguh Dartanto dan rekan dari FEB UI melaporkan bahwa sudah ada jutaan masyarakat yang bisa tertolong ke jurang kemiskinan. Penelitian dari World Bank diperlihatkan sebelum dan sesudah riset terlihat bahwa terdapat pengeluaran dari out of pocket yang jauh menurun bahwa hampir tidak ada. JKN juga menyebabkan kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan itu semakin kecil, sehingga kita melihat bahwa program JKN ini sangat bermanfaat. Jenni juga menyampaikan bahwa revenue dan spending lebih banyak FKTRL dan hanya 20 % terjadi FKTP. Kalau diberlakuakn komparteminsasi maka risk big pooling ini akan terkotak - kotak dan terkendala.

Prof Laksono kembali menanggapi pembahasan yang diberikan dengan menegaskan bahwa dilihat dari UU SJSN dan BPJS, pemerintah daerah tidak memiliki risiko yang buruk dan semua risiko tersebut ditanggung pemerintah pusat. Akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan penyakit yang ada di masyarakat. Kondisi ini merupakan sebuah moral hazard yang berbahaya sekali karena kegiatan jaminan sosial ini berlansungnya di daerah namun pemerintah daerahnya tidak memiliki tanggung jawab berbasis risiko. Skema insentif untuk peningkatan promotif dan preventif belum muncul dan ini menjadi info kunci yang menarik. Ditambah lagi, seluruh informasi data JKN berada di BPJS pusat sehingga BPJS cabang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan skema berbagi data. Laksono mengungkapkan bahwa mengapa perlu diberlakukan skema kompartemenisasi karena dana PBI APBN dari 2014 hingga 2018 masih sisa bahkan totalnya bisa mencpai 20 triliun sementara kelompok PBPU itu defisit hingga 60 triliun. Hal ini mengakibatkan dana sisa PBI APBN tidak bisa dipakai untuk kompensasi namun dipakai untuk menutup defisit namun itupun masih kurang. Sistem single pool mempermudah pengambilan dana dari kelompok mana saja.

Reporter: Relmbuss Biljers Fanda