Reportase Pelatihan Tahap III: Pelatihan Analisis Kebijakan (Masalah KIA dan Gizi)

Pada Senin (19/10/2020) diselenggarakan pelatihan Tahap III hari pertama: Pelatihan Analisis Kebijakan untuk Masalah KIA dan Gizi. Pelatihan berlangsung pada pukul 08.00 – 12.15 WIB di Gedung Litbang, FK – KMK UGM dan disiarkan melalui zoom meeting. Pelatihan tahap III ini memiliki 4 tujuan utama. Pertama, peserta dapat memahami masalah kebijakan kesehatan berdasarkan evidence based dengan memanfaatkan data DaSK.

Kedua, peserta dapat mengidenfitikasi kebijakan kesehatan yang telah diimplementasikan terkait masalah kesehatan prioritas (KIA dan Gizi), Ketiga, peserta dapat melakukan analisis terhadap kebijakan yang sudah diimplementasikan untuk menangani masing - masing masalah kesehatan prioritas (KIA dan Gizi), termasuk di era Pandemi COVID-19. Keempat, peserta dapat memahami penyusunan rekomendasi kebijakan yang layak (feasible) untuk implementasi. Narasumber pelatihan adalah Gabriel Lele, Dr.Phil, S.IP., M.Si. yang merupakan dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL UGM. Pelatihan dimoderatori oleh Tri Muhartini, MPA.

Pengantar Pelatihan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

lt20oktSetelah membuka dengan salam, Laksono menjelaskan secara singkat tentang perbedaan penelitian kebijakan dan analisis kebijakan. Peneliti kebijakan dan analis kebijakan merupakan dua profesi yang berbeda, seperti yang dikembangkan oleh badan litbang ataupun LAN. Pelatihan ini akan dapat membantu peserta dalam mengidentifikasi isu - isu dan topik - topik yang akan dilakukan analisis kebijakan.

Analisis kebijkan dirancang untuk memperbaiki kebijakan di masa mendatang. Laksono berpesan, agar di pelatihan tahap III ini, peserta dapat menggali isu - isu masalah kesehatan prioritas dan mengumpulkan berbagai kebijakan publik untuk masalah KIA, Gizi, Jantung dan Kanker.

Sesi 1: Merumuskan Masalah Kebijakan

Gabriel Lele, Dr.Phil, S.IP., M.Si.

gb20oktGabriel menjelaskan bahwa perumusan masalah dalam studi kebijakan merupakan tahapan yang penting yang menentukan proses-proses analisis kebijakan selanjutnya. Perumusan masalah, jika dilakukan dengan benar dan tepat, seperti menyelesaikan setengah masalah. Namun, jika proses perumusan masalahnya keliru, maka proses selanjutnya malah akan semakin rumit.

Sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan masalah sosial yang karakternya berbeda dengan masalah teknis. Beberapa karakter masalah sosial diantaranya wicked problem, semakin kita ingin menyelesaikan masalahnya, semakin kompleks masalahnya. Karakter lainnya yaitu messy problem, dimana persolan yang kita hadapi tidak terstruktur. Masalah sosial juga kompleks yang melibatkan multi dimensi, multi sebab, dan multi akibat.

Jika kita melihat kasus stunting atau kanker misalnya, masalah tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif selain medis, misalnya sosial, psikologis, hukum, dan sebagainya. Ciri lain dari masalah sosial adalah terus menerus bergerak seiring dengan perkembangan masalah sosial yang terjadi. Hal ini merupakan character of temporality dari sebuah masalah sosial.

Pendekatan yang dapat digunakan dalam merumuskan masalah ada 2. Pertama, problem-based policy dimana kebijakan dibuat untuk menyelesaikan masalah yang sudah terjadi. Kedua adalah vision-based policy, kebijakan dibuat tidak semata - mata untuk menyelesaikan masa lalu tetapi mengubah masa depan. Hal yang baik adalah dengan mengkombinasikan dua hal tersebut, yaitu kita berusaha mengubah masa depan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal yang terjadi di masa lalu.

Dalam mendefinisikan apakah suatu hal merupakan sebuah masalah atau bukan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, dengan melihat teorinya, kemudian membandingkannya dengan kondisi yang ada. Kedua, dengan membandingkan kesenjangan antara rencana dan realisasi. Misalnya, dengan membandingkan antara rencana dan target. Ketiga, dengan melihat kesenjangan antara “is” dan “ought”.

Cara yang ketiga ini harus didukung dengan poin di nomor pertama dan kedua yang bagus, karena ini bisa bersifat sangat subjektif. Dengan kata lain, proses perumusan masalah kebijakan bisa disebut masalah intersubjektif, yaitu suatu masalah dapat dianggap sebuah masalah oleh sebagian orang namun dianggap bukan masalah oleh sebagian orang lainnya.

Ada 3 standar untuk mengkategorikan apakah suatu hal tertentu merupakan sebuah masalah atau bukan. Pertama, teori. Misalnya, jika standarnya JKN adalah untuk seluruh rakyat Indonesia, maka jika ada satu orang yang tidak mendapat JKN itu sebuah masalah. Kedua adalah kesepakatan/ norma. Norma merupakan hal yang kompleks, sehingga pembahasan mengenai ini tidak jarang memunculkan konflik. Konflik kebijakan adalah hal yang normal terjadi, dan biasanya mulai terjadi saat perumusan masalah. Ketiga adalah benchmarking, yang di Indonesia dikenal sebagai good practice. Misalnya, dengan menjadikan salah satu daerah yang sudah baik sebagai contoh, untuk membandingkan dengan kondisi kita. Dalam hal ini kita dapat melakukan studi banding ke daerah tersebut.

Dalam membaca data, kita membutuhkan perspektif dan intuisi untuk melihatnya. Misal dengan membandingkan angka kematian bayi di suatu wilayah dengan angka kematian bayi di tingkat nasional, atau membandingkan angka kejadian penyakit antar negara. Bisa juga dengan kita menjadikan data tertentu menjadi sebuah benchmark. Dalam mengangkat sebuah masalah ada yang disebut dramatisasi masalah. Dramatisasi masalah sangat tergantung pada kemampuan kita dalam menggunakan perspektif tertentu sehingga sesuatu yang biasa bisa kita jadikan sesuatu yang luar biasa. Ada 2 hal yang berbeda di Indonesia, yaitu masalah publik dan isu publik. Masalah merupakan sesuatu yang didukung secara scientific dengan karakteristik yang jelas. Sedangkan isu dianggap sebagai sesuatu yang dibentuk secara politis ataupun dibentuk secara sosial. Sehingga, di Indonesia, jika kita menggunakan istilah isu, maka konotasinya akan menjadi negatif.

Problem structuring merupakan cara pemerintah untuk mengembangkan keterampilan dan kelembagaan tertentu untuk secara cermat dan demokratis mengubah situasi problematis yang dialami publik dan merangkai masalah tertentu secara intersubyektif namun tetap otoritatif. Selanjutnya adalah problem delimitation. Di dalam proses ini, kita harus sampai pada kesimpulan tertentu, baik secara individua atau bersama, bahwa suatu hal tertentu adalah sebuah masalah. Problem delimitation juga digunakan sebagai salah satu cara untuk menentukan penyebab masalah. Problem delimitation berkaitan dengan dua hal, (1) masalahnya apa dan (2) penyebabnya apa.

Selain problem delimitation, ada problem acknowledgement yang juga berkaitan dengan 2 hal. Pertama tentang pengetahuan pembuat kebijakan terhadap masalah tertentu. Kedua, berkaitan dengan derajat kesepakatan, seberapa mungkin para aktor itu bisa menyepakati, tidak hanya tentang apa masalahnya tetapi juga kausalitasnya, mengapa sebuah masalah itu adalah masalah. Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan kita untuk menjustifikasi sebuah masalah, apa taruhannya jika masalah ini tidak diselesaikan.

Terkait atribut masalah kebijakan, ada 7 variabel yang harus dikalkulasi secara cermat. Pertama, variable solubility, apakah benar masalah yang diangkat ini bisa diselesaikan dengan jangka waktu tertentu dengan resource yang kita miliki. Kemudian yang kedua adalah complexity; terdiri dari political complexity (ada kepentingan dan tuntutan kesepakatan) dan programmatic complexity (pemahaman teknis dan hubungan sebab-akibat). Ketiga, scale/ severity/ tingkat keseriusan, yaitu terkait dengan dampak apa yang ditimbulkan dari sebuah masalah.

Keempat divisibility, apakah masalah ini dapat diselesaikan secara private atau publik. Hal ini melibatkan campur tangan pemerintah dalam membuat suatu masalah menjadi public atau private. Kelima, monetarization, apakah masalah ini butuh dana atau tidak. Keenam scope of activities, berkaitan dengan berapa banyak aktor yang terlibat. Misal, apakah ini cukup diselesaikan oleh satu organisasi atau butuh multi-organisasi, di level provinsi atau nasional. Hal-hal tersebut juga dipengaruhi oleh tingkat keparahan sebuah masalah. Ketujuh adalah interdependence.

Analisis kebijakan menggunakan pohon masalah dapat digambarkan sebagai berikut:

20okt2

Hubungan antara akar masalah dan masalah dapat dilakukan menggunakan fishbone analysis.

 

Sesi 2: Policy Forecasting

Gabriel Lele, Dr.Phil, S.IP., M.Si.

gb20okt2Di sesi ke-2 ini Gabriel menjelaskan tentang policy forecasting. Konsep proyeksi dapat digunakan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan. Kemudian berdasarkan proyeksi ini, kita merencanakan bagaimana kita mengelola atau mempertahankan masa depan. Beberapa pertanyaan yang digunakan untuk memandu proses proyeksi atau forecasting diantaranya; apa yang bakal terjadi, jika masalah dalam status quo? Pilihan kebijakan apa yang harus diambil? Apa saja konsekuensinya jika sebuah opsi kebijakan diambil oleh pemerintah? Pentingnya proyeksi adalah untuk menyediakan informasi tentang masa depan, balajar dari masa lalu, dan untuk membentuk masa depan secara aktif dan mengurangi ketidakpastian.

Ada 3 jenis forecasting; (1) proyeksi (menggunakan data-data masa lalu), (2) prediksi (berdasarkan penalaran teoritis), dan (3) conjecture (berdasarkan penilaian subjektif seorang pakar). Dua hal yang kita lakukan dalam forecasting yaitu menentukan masa depan yang ideal dan cara apa yang kita tempuh agar masa depan yang kita anggap ideal itu terwujud. Dalam forecasting, kita membuat hubungan antara dampak yang ingin dicapai dengan kegiatan yang akan dilakukan.

Metode forecasting dapat menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dapat digunakan untuk melihat kecenderungan. Contoh metodenya antara lain time series, modelling, exponential smoothing, regression, dan survey. Metode kualitatif dapat menggunakan FGD, Delphi, executive opinion. Beberapa limitasi yang perlu diketahui antara lain bahwa kita memperkirakan bukan menentukan, adanya jebakan ekologis atau negative learning, dan asumsi.

Proses diskusi dilaksanakan dengan dipandu oleh moderator. Para peserta terlibat secara aktif dalam memberikan pertanyaan. Sebelum pelatihan ditutup, moderator menyampaikan bahwa pelatihan tahap III hari ke-2 akan dilaksanakan besok Selasa, 20 Oktober 2020 dimulai pukul 10.00 – 12.00 WIB.

Reporter: Widy Hidayah