Reportase Panel 2 : Isu Prioritas

30des-3

Dalam sesi ini, terdapat empat pembicara dan satu pembahas. Tema pertama yang dipaparkan ialah regulasi ke5sehatan. Era saat ini semakin banyak isu-isu yang berkembang dibidang kesehatan. Khalayak umum belum sepenuhnya paham apakah isu-isu yang beredar saat ini termasuk dalam politik kesehatan atau tidak. Sepanjang tahun 2015 telah disusun dan disahkan sebanyak 109 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Regulasi kesehatan itu sendiri adalah seperangkat aturan tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia.

Regulasi dalam hukum kesehatan di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu Regeling dan Beschikking. Regiling sifatnya lebih kepada peraturan, lebih pantas diterapkan di Indonesia karena politik hukum kesehatan di Indonesia sangat tinggi. Regeling ini karena sifatnya peraturan sehingga sulit dalam proses penyusunannya. Sedangkan untuk Beschikking lebih kepada penetapan, di Indonesia kemungkinan kecil bisa diterapkan, karena sifatnya adalah penetapan. Beschikking dalam proses penyusunannya lebih mudah.

Politik hukum kesehatan, yang nantinya akan menjadi hukum kesehatan merupakan kajian hukum yang mencoba untuk memeberikan gambaran yang lebih luas tentang eksistensi sistem hukum, terutama di bidang kesehatan. Melalui pendekatan politik hukum diharapkan hukum dapat berfungsi secara efektif, dipatuhi dan diterapkan dalam tindakan aktual sehari-hari.

Dalam akhir penyampaian materi diberikan contoh pada Politik hukum kesehatan terutama untuk rokok dan asuransi kesehatan. Beberapa produk hukum dan sejumlah Undang-undang mengatur tentang rokok dan asuransi kesehatan, apakah regulasi semua produk hukum yang sudah diterbitkan efektif diterapkan? Apakah ada pro dan kontra didalamnya?. Secara keseluruhan belum semua regulasi produk hukum berjalan dengan sebagimana mestinya. Masih perlu pengawalan yang baik untuk implementasinya.

Dalam sesi diskusi ini ada beberapa pertanyaan terkait regulasi kesehatan, diantaranya membahas mengenai kecenderungan IDI yang melakukan pendekatan hukum untuk mencari solusi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sistem pemerintahan di Indonesia MK diberi kewenangan untuk melihat dan mengawasi badan-badan legislatif apakah bekerja sesuai dengan aturan atau tidak. Keberadaan MK juga dimanfaatkan oleh perorngan atau lembaga untuk melakukan Yudisial Riview. Dalam Yudisial Riview ini melihat apakah peraturan yang dilaksanakan dilapangan efektif dibuat berdasarkan dengan hirarki peraturan sebelumnya. Untuk konteks IDI itu sendiri sebaiknya harus melihat apakah aturan yang dilakukan sudah.

Petanyaan kedua dalam sesi diskusi ini mengenai bagaimana menggunakan politik hukum agar rencana yang ada sudah bisa berjalan, terutama untuk regulasi mutu pelaynan kesehatan. Politik hukum untuk melihat apakah peraturan terimplementasi dengan baik atau tidak. Masalah yang berkaitan dengan hukum harus diselesaikan, jika tidak maka akan terjadi umpan balik.

Pembicara kedua ialah Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS, salah satu pengajar di Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM. Andreasta mengawali pemaparan dengan penekanan bahwa SDMK kesehatan merupakan salah satu komponen penting dalam roda sistem kesehatn, karena SDMK merupakan penggerak suatu sistem dan, dengan segala keunikan yang ada, dapat mempengaruhi dinamika sistem kebijakan dan manajemen kesehatan baik dalam skala nasional maupun global. Sepanjang tahun 2015, dunia SDMK dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan yang oleh narasumber digolongkan menjadi lima kelompok kegaduhan, diantaranya: kegaduhan laten (seperti permasalahan distribusi dan retensi SDMK serta dual job holding), kegaduhan terlokalisir (seperti permasalahan terkait kompetensi SDMK dalam memberikan pelayanan maupun kesenjangan kompetensi dalam upaya sistem rujukan), kegaduhan yang besar melalui media sosial (isu terkait remunerasi, gratifikasi, dan jaminan keselamatan SDM), kegaduhan sistemik (permasalahan terkait implementasi dokter layanan primer), dan kegaduhan yang seharusnya muncul ke permukaan (isu terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN [MEA]).

Pada tahun 2015 sendiri, berdasarkan empat pilar SDMK, arah kebijakan dan gerakan masih berputar dalam arus pemenuhan kebutuhan SDMK di Indonesia, namun belum maksimal dalam memikirkan bagaimana distribusi, kompetensi, dan kinerja dari SDMK tersebut. Status Indonesia sendiri sebenarnya telah keluar dari krisis tenaga kesehatan sejak 2010, dengan rasio 2,63 tenaga kesehatan per 1000 penduduk. Sehingga secara makro, kebutuhan SDMK dalam mendukung implementasi JKN sudah terpenuhi. Namun perlu menjadi catatan bahwa saat ini 50% tenaga kesehatan tidak dihasilkan dari universitas yang terakreditasi, sehingga isu keterampilan tenaga kesehatan, terutama mengenai tugas primer sebagai gate keeper, masih menemui banyak permasalahan.

Perkembangan isu terkait dengan SDM kesehatan di tahun 2016 tidak akan terlepas dengan isu tahun sebelumnya, mengingat masih banyaknya permasalahan di tahun 2015 yang belum menemukan solusi yang efektif. Garis besar utama kebijakan dan manajemen SDMK tahun 2016 terletak pada persiapan SDMK dalam menghadapi MEA. Upaya persiapan ini perlu difokuskan pada distribusi, kompetensi, dan kinerja SDMK. Perencanaan SDMK ke depan diharapkan tidak hanya memperhitungkan gap, namun juga sudah mulai mempertimbangkan hal esensial lain seperti cost. Pada tahun 2016 ini juga, oleh narasumber, diharapkan dapat menjadi tahun komunikasi dan koordinasi terkait permasalahan-permasalahan yang masih menjadi perdebatan sistemik, seperti permasalahan terkait implementasi dokter layanan primer. Sebagai penutup, narasumber memberikan beberapa rekomendasi sebagai bahan outlook 2016, diantaranya: penuntasan isu dokter layanan primer dan revitalisasi Country Coordination and Facilitation (CCF) oleh pemerintah, peningkatan kualitas dalam memastikan kompetensi SDMK untuk sesuai dengan kebutuhan layanan, transformasi isu SDMK menjadi regulasi, pengembangan remunerasi di rumah sakit dengan melibatkan dokter spesialis, serta inisiasi aksi dalam rangka mempersiapkan SDMK menghadapi MEA.

Pembicara ketiga ialah Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes. Dwi Handono menyampaikan pembahasan salah satu isu prioritas yang disoroti dalam forum diskusi tersebut mengenai contracting out. Kaleidoskop contracting out 2015 yang dikemukakan pada kegiatan ini menggambarkan bahwa sistem kontrak yang kini diterapkan berfokus pada sistem kontrak lembaga, bukan lagi kontrak individu, sesuai dengan Continuum of Contracting Framework dalam resolusi World Health Assembly ke-56 pada tahun 2003. Mekanisme contracting out sebenarnya telah dikenal di Indonesia sejak tahun 2005, meski sempat stagnan hingga dijalankannya koordinasi pelayanan kuratif dengan kontrak lembaga dalam bentuk sister hospital di NTT pada tahun 2010 yang kemudian diikuti sistem yang sama di Balikpapan pada tahun 2015. Salah satu hambatan pengembangan sistem sister hospital adalah sulitnya dilakukan replikasi program tersebut di wilayah lain. Replikasi dalam skala kecil yang dilakukan di Balikpapan dapat berjalan karena pendanaan dalam proses kontrak bersumber dari APBD, namun penerapan dengan APBN masih belum mungkin dilakukan pada saat ini. Desentralisasi fiskal yang akan terus meningkat pada tahun 2016, termasuk untuk sektor kesehatan, diharapkan dapat memberikan peluang dilakukannya aplikasi sistem kontrak tersebut.

Dwi Handono menyatakan bahwa pada tahun 2016, penerapan contracting out diperkirakan tidak akan mengalami penurunan, namun perlu dicermati hal-hal yang dapat menghambat implementasinya. Di daerah, sistem kontrak lembaga cenderung masih kurang digemari akibat masih terlalu mahalnya alokasi dana yang diperlukan untuk menunjang ide tersebut. Selain itu, permasalahan juga timbul akibat belum optimalnya pemanfaatan otoritas puskesmas BLUD serta belum adanya mekanisme swakelola BOK Non Fisik oleh puskesmas yang dinilai akan dapat mengakomodir kebutuhan puskesmas untuk melakukan contracting out individu secara langsung. Di pusat, permasalahan pada isu contracting out terfokus pada ketersediaan dana namun kurangnya pemanfaatan dana yang menyebabkan terus meningkatnya jumlah anggaran yang tidak terserap. Masalah tersebut akan dapat teratasi apabila dilakukan revisi menu APBN serta pemanfaatan peluang dana donor agency.

Pembicara terakhir ialah dr. Bella Donna, M. Kes. Apa saja bencana yang terjadi pada tahun 2015? Kejadian Bencana yang terjadi pada tahun 2015 didominasi oleh bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Bencana kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan merupakan bencana yang paling besar dampaknya pada tahun 2015 ini. Bencana asap menyebabkan kerugian lebih dari 200 trilyun (Center for International Forestry research). Bencana asap telah menyebabkan 425 ribu orang mengalami ISPA di tujuh provinsi di Indonesia.Kejadian bencana yang terjadi tidak murni disebabkan oleh alam, tetapi lebih disebabkan ulah manusia. Kejadian yang berulang karena rendahnya law enforcement kepada pelaku-pelaku yang menyebabkan terjadinya bencana.

Banyaknya kejadian bencana di Indonesia membutuhkan upaya peningkatan kesiapsiagaan sektor kesehatan dalam penanggulangan bencana. Namun, kesiapsiagaan sektor kesehatan (Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas) dalam penanggulangan bencana masih rendah. Kebijakan penanggulangan bencana mengalami perubahan paradigma dari respon bencana menjadi pengurangan risiko bencana.

Kebijakan dan manajemen bencana sektor kesehatan di tahun 2015 lebih banyak berfokus pada fase bencana seperti kebijakan penyusunan klaster kesehatan dalam penanggulangan bencana, peningkatan kesiapan petugas untuk penanggulangan bencana, penyusunan rencana penanggulangan bencana di daerah dan rumah sakit, Kegiatan fase respon bencana fokus pada penanggulangan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan, sementara issu pentingnya disaster surveillance pasca bencana belum terlaksana belum diperhatikan.

Bagaimana dengan outlook tahun 2016? Prioritas kebijakan manajemen bencana kesehatan pada tahun 2016 masih berfokus pada pengurangan risiko bencana sesuai dengan Sendai Framework. Prioritas kebijakan masih berfokus kepada penyusunan pedoman klaster kesehatan dalam penanggulangan bencana. Rencana Penanggulangan bencana di daerah dan rumah sakit masih menjadi issue utama terkiat dengan Permenkes No. 64 Tahun 2013, dimana Kabupaten harus memiliki Call Center dan Rumah Sakit memiliki Hospital Disaster Plan.

Sesi Diskusi

Dalam menyikapi pembahasan isu penting terkait regulasi kesehatan, SDM kesehatan, contracting-out, dan manajemen bencara, maka sebagai rangkaian dari kegiatan "Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2016" dilaksanakan sesi diskusi mengenai tema-tema tersebut dengan menghadirkan seluruh panelis dan Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA. sebagai pembahas.

Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan sebelumnya, pembahas menggaris awahi dua topik besar. Pertama adalah bahwa seluruh audiens perlu untuk memisahkan mindset pemecahan masalah dalam perspektif ilmu manajemen dan ilmu kebijakan. Ilmu manajemen menyelesaikan permasalahan ketika masalah tersebut masih kecil, sementara ilmu kebijakan mencoba untuk menyelesaikan permasalahan saat masalah tersebut sudah menjadi besar. Pada dasarnya ketika permasalahan tersebut sudah besar, maka akan semakin sulit untuk terselesaikan. Pembahas ingin menekankan bahwa pemecahan isu prioritas akan lebih mudah apabila perumusan solusi sudah dimulai ketika isu tersebut masih kecil.

Sulitnya pemecahan masalah saat ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya manajer yang efektif. Saat ini manajer yang duduk di stakeholders sebagian besar masih diisi oleh SDM yang belum dapat mengimplementasi ilmu manajemen dengan baik. Manajer cenderung tidak peka terhadap permasalahan dan bahkan tidak mau menyelesaikan permasalahan yang ada. Pembahas berharap PKMK untuk dapat memfasilitasi para manajer agar dapat mengimplementasi ilmu manajemen dengan baik melalui berbagai pelatihan.

Poin kedua yang ditekankan pembahas adalah kebutuhan akan eksekutor yang dapat menjalankan fungsi manajemen dan kebijakan secara efektif. Banyaknya benturan pengambilan keputusan, baik di bidang manajemen dan kebijakan, memerlukan SDM yang tangguh dan konsisten dalam upaya penanaman manajemen dan kebijakan yang dirasa benar. Sangat penting ke depan untuk memikirkan bagaimana agar PKMK dapat melahirkan banyak eksekutor yang baik dan mereplikasinya agar di setiap tingkatan stakeholder kesehatan diisi oleh SDM yang dengan kategori tersebut.
Sesi diskusi ini sendiri mengakomodir beberapa pertanyaan yang muncul dari audiens. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. mengemukakan pendapat terkait ada tidaknya studi perilaku hukum di Fakultas Hukum (FH) UGM, mengingat saat ini lembaga kesehatan lebih sering menggunakan judicial review sebagai upaya meninjau ulang kebijakan yang telah diputuskan. Laksono juga menyikapi statement pembahas dengan memberikan gambaran bahwa selain eksekutor yang baik, konsultan teknis merupakan salah satu elemen penting lain dalam pengambilan kebijakan. Menanggapi hal tersebut, Rimawati menjelaskan bahwa FH sampai saat ini masih belum memiliki penelitian mengenai law enforcement di bidang kesehatan. Saat ini permasalahan hukum terkait kesehatan cenderung berkutat dengan Undang-Undang yang telah disahkan oleh legislatif, sehingga untuk me-review-nya diperlukan pengajuan di tingkat yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK). Setiap warga negara berhak untuk melakukan judicial review di MK apabila memenuhi kaidah persyaratan. Masih banyaknya permasalahan pasca keputusan MK kadang lebih disebabkan oleh pengambil kebijakan di tingkat yudikatif yang tidak jarang belum memahami sepenuhnya mengenai substansi yang di-judicial review-kan.

dr. Hanevi Djasri mengajukan pertanyaan dengan menggali terkait bagaimana penggunaan politik hukum dalam penyusunan regulasi serta bagaimana upaya implementasi isu agar dapat menjadi regulasi. Menanggapi hal tersebut, Rimawati menjelaskan bahwa politik hukum secara garis besar melihat produk perundangan untuk dapat diimpementasikan atau tidak. Politik hukum merupakan salah satu cara agar regulasi dapat terimplementasi dengan baik. Dalam mengupayakan politik hukum memerlukan dukungan data empiris yang mendukung agar upaya politik hukum yang dijalankan dalam upaya pengembangan sebuah regulasi. Sementara itu, menanggapi pertanyaan kedua, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes. MAS. menjelaskan bahwa upaya pengembangan isu menjadi regulasi sendiri saat ini banyak mengalami benturan. Secara umum, benturan tersebut berupa ketidak jelasan keputusan, terbentur peraturan, dan persepsi. Sebagai contoh, PKMK UGM pada tahun 2013 mengusulkan agar semua dokter yang dikirim ke daerah terpencil perlu diasuransi. Namun ketika dilacak lebih dalam, hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini tidak lepas dari status yang tidak jelas apakah dokter tersebut berstatus mahasiswa atau sudah disebut pekerja. Panelis mengusulkan bahwa perlu ada upaya bersama untuk menganggap setiap dokter yang dikirim agar berstatus pekerja. Pengembangan isu menjadi regulasi sendiri juga tidak lepas dari kuat tidaknya eksekutor dalam memperjuangkan isu tersebut, mengingat saat ini setiap isu yang akan dijadikan regulasi sering menghadapi tembok besar. Kemampuan advokasi merupakan hal yang penting dikuasai oleh eksekutor dalam memperjuangkan isu tersebut hingga tingkat stakeholders.

• Tim reporter:
Elisa Sulistyaningrum, MPH; dr. Haryo Bismantara; dr. Herindita Puspita, Oktomi Wijaya, MPH