simposium 11
Alternatif Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan
Pembicara: Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD
Klaim rasio PBPU masih di atas 200%, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi klaim PBI dibawah 100%. Atau ini berarti ada kerugian di BPJS Kesehatan. Apa masalahnya? PBPU meningkat klaimnya, sehingga BPJSK defisit, dana PBI dipergunakan oleh kelompok yang lebih mampu. Masalah ini merupakan masalah di lapangan dimana PBI banyak terdapat di daerah terpencil, di daerah-daerah sulit dimana BPJS Kesehatan tidak memiliki aliran dana ke daerah sulit. Masalah utamanya, PBI jatahnya dipakai non PBI mandiri.
Alternatif strateginya, ada 2 solusi, yaitu:
- Penambahan dana kesehatan yang tidak harus melalui BPJS Kesehatan
- Pembatasan pengeluaran
Sumber dana kesehatan, dana APBN sampai dengan out of pocket, adakah kemungkinan dinaikkan. Dana APBN sudah maksimal 5% untuk sektor kesehatan. Sehingga APBN sulit naik, kemungkinan dari pajak tembakau, namun masih banyak pertanyaan. Dari APBD, dana ini bisa langsung diberikan ke BPJS Kesehatan atau ke FKTP dan FKTL. Dana APBD ini juga tergantung kemampuan fiskal daerah dan kemauan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan termasuk mendanai asuransi kesehatan yang kurang. Misal anggaran sudah dipatok 100 milyar untuk BPJS Kesehatan daerah tersebut, ternyata ada kenaikan 110 milyar maka 10 milyarnya dibayar oleh Pemda. Kemudian dana-dana premi BPJSK, non PBI preminya bisa dinaikkan, sampai 500 ribu - 1 juta untuk kelas 1. Pasalnya, sebagian besar orang kaya di kelas 1. Kemudian dana dari masyarakat, dari out of pocket sehingga cost sharing perlu. Dana masyarakat yang ada perlu dimanfaatkan karena pajak rendah atau kenaikan pajak penghasilan rendah dengan GDP naik tinggi. Sehingga dibuat sistem untuk perpajakan sehingga bisa masuk ke sistem kesehatan.
Pengurangan manfaat/ efisiensi. Sekarang DKI Jakarta dan Provinsi seperti NTT misalnya tidak ada batasan untuk paket manfaat. Ada basic manfaat atau paket dasarnya apa?. Sehingga peserta di DKI Jakarta yang lengkap fasilitasnya, misal di atas 100 juta setahun maka BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung. Silakan membeli asuransi katastropik untuk menangani, sehingga ada batas atasnya. Dimana sekarang masih bebas belum ada batasnya. Dengan demikian yang mahal-mahal/ katastropik perlu pembatasan karena berbiaya tinggi.
Dalam upaya peningkatan efisiensi dengan melihat fraud, abuse, wish dan ini merupakan penyimpangan yang ditindaklanjuti sebagai hal yang serius. Hal yang perlu dilakukan misalnya mengembangkan sistem pencegahan dan penindakan fraud.
Residu JKN
Prof. Amran Razak
Ilmu Kesehatan masyarakat merupakan ilmu politik atau ilmu advokasi. Sehingga muncul stigma jika orang miskin itu menderita. Residu dari JKN, karena sisa-sisa yang sebenarnya melekat tidak bisa lepas dari JKN. Satu obat agar JKN terus berjalan seperti suntikan dana dari APBN yang ternyata juga tidak sehat. Misal: dalam hitungan aktuaria kelas 1 mandiri adalah 63 ribu, dibayar dengan iuran 51 ribu dan hasilnya tekor/defisit yaitu 12 ribu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mau menanggung defisit ini?
Di Sulawesi Selatan muncul kemitraan dengan rumah sakit swasta. Sekarang ini mitra BPJS Kesehatan adalah RS Pemerintah. Pada beberapa tahun ini RS Swasta mulai melirik BPJS Kesehatan. Mengapa BPJS Kesehatan menjadi lirikan RS Swasta, karena adanya adverse selection, fraud, over utilization, biaya tinggi penyakit terjadi.
Permasalahan juga terjadi karena pelayanan primer sebagai gatekeeper belum berjalan. Isu lain adalah tidak berhasilnya integrasi Jamkesda. Integrasi Jamkesda membuktikan kalau Pemerintah Daerah masih setengah hati untuk masuk ke UHC. Hal ini dikarenakan Pemda mempunyai janji politik untuk mengelola pendidikan dan kesehatan secara gratis. Integrasi Jamkesda tidak terjadi karena pemotongan anggaran. Portabilitas positif dan negatif terjadi pada saat integrasi. Ada Kabupaten yang tidak terjangkau BPJSK hanya menggunakan KTP untuk berobat. Contoh ini menunjukkan keterbatasan BPJS Keseahata menjangkau daerah terpencil.
Nawacita masih dalam konsep yang perlu dipahami (ada tetapi tidak ada). BPJS Kesehatan masih seperti makelar pihak ketiga. Pengelolaannya perlu perbaikan, karena bukti yang sekarang ada adalah muncul tunggakan-tunggakan di beberapa daerah. Muncul kesenjangan di wilayah timur dengan wilayah di kota-kota besar.
Penerapan Akuntabilitas di Era JKN
Dr. dr. Indahwati Sidin
Akuntabilitas merupakan hal yang penting di RS, selain tekor/defisit butuh pengelolaan. Akuntabilitas merupakan transparansi dan pertanggungjawaban dilakukan oleh organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan organisasinya. Akuntabilitas penting karena beberapa tuntutan seperti good governance dan tuntutan tingginya persaingan RS. Reformasi di bidang kesehatan yaitu eksisnya lembaga pembiayaan kesehatan. Adanya SJSN menuntut penyelenggaraan yang akuntabel untuk stakeholder dalam UU No 40 Tahun 2004.
Dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013. Aturan tersebut mengharuskan pengelolaan RS yang akuntabel dan transparan. Selama menggunakan dana JKN di RS terjadi inefisiensi dan tidak transparan. Sehingga RS dan Puskesmas harus tersertifikasi untuk menjamin penyelenggaraan organisasi yang akuntabel. Perlunya control di RS karena kemungkinan terjadi fraud di RS.
Dana yang diberikan tidak cukup oleh BPJS Kesehatan namun perlu legitimasi dari publik. Mengapa legitimati organisasi terhadap publik, dilakukan sebagai mekanisme control terhadap organisasi pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk pelayanan publik yang memuaskan masyarakat. Aturan SJSN harus menerapkan dan memastikan tidak ada fraud dalam pelayanan kesehatan di RS. RS harus melaksanakan transparansi-transparansi pengelolaan semua aspek di RS. Kelemahan pada ketersediaan obat tidak terdapat di distributor sehingga RS kesulitan mendapatkan stok obat. Dan hal lain yang menjadi kesenjangan adalah pesrta di RS tidak diperbolehkan membeli obat sendiri. E-katalog tidak menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan pasien. Implikasi pengelolaan RS yaitu clinical pathway perlu dijalankan, cost containment, dan customer quality driver.
Sesi Diskusi
Pertanyaan:
Kebijakan JKN merupakan kebijakan pusat, dimana implementasi di daerah tidak sesuai harapan, muncul kesenjangan di daerah maju dan daerah yang tidak maju. Contohnya kebijakan terkait kalim kecelakaan di RS, kebijakan ketersediaan fasilitas kesehatan dan alkes. Apakah perlu dihapus program JKN untuk daerah terpencil atau program apa yang cocok?
Narasumber:
Prof Laksono menyampaikan bahwa Kebijakan JKN melalui BPJS Kesehatan merupakan program bagus dan tidak perlu dihapuskan. Hal yang lemah adalah implementasi di lapangan. Perlu effort untuk memperbaiki implementasi di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Misalnya menjalankan dana kompensasi yan sudah tercantum di undang-undang. Pembicara lain menambahkan bahwa tidak hanya sistem yang diperbaiki di lapangan tetapi juga penyelenggara pelayanan yang juga harus berbenah.
oleh Faozi Kurniawan
simposium 12
Gizi dan 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK)
Gizi akan berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas penduduk. Indonesia masih menghadapi masalah gizi ibu hamil dan bayinya. Untuk itulah Global Alliance Improvement Nutrition (GAIN) melaksanakan program meningkatkan status gizi ibu hamil dan bayi dua tahun (baduta) di Kabupaten Malang dan Kabupaten Sidoarjo. Agnes Malipu sebagai representatif GAIN memaparkan best practice yang sudah mereka lakukan untuk meningkatkan status gizi. Penelitian yang dilakukan tersebut mempertimbangkan bahwa angka balita pendek (stunted children) di Jawa Timur paling tinggi (1.3 juta jiwa) dan tingkat kemiskinan masih tinggi. Perlu diketahui bahwa gizi makanan dan infeksi kesehatan akan mempengaruhi malnutrisi ibu dan anak. GAIN menggunakan proses desain komunikasi untuk perubahan perilaku gizi ibu hamil dan baduta yang hasilnya akan diaplikasikan pada Januari 2017. Faktor – faktor lingkungan akan mempengaruhi atau memicu otak dan perilaku yang akan mempengaruhi kesehatan (Curtis and Aunger, 2014).
GAIN menggunakan formative research, salah satunya dengan video ethnography. Hasilnya dari sisi perspektif konsumen bahwa ibu mengetahui "ASI adalah yang terbaik" tetapi mereka percaya bahwa "Susu formula membuatnya lebih sempurna." Hal tersebut dipengaruhi beberapa hal seperti ibu kurang percaya diri stok ASI yang dimiliki, susu formula menjadi norma sosial (Anda dianggap tidak mampu jika tidak dapat membeli susu formula), tidak adanya informasi tentang susu formula. Selain itu, camilan juga berpengaruh dimana bayi yang menangis terus akan ditenangkan ibunya dengan memberi permen. Padahal camilan tersebut akan membuat kenyang dan bayi akan menyingkirkan makanan utamanya. Melihat hasil penelitian tersebut maka GAIN melontarkan ide kampanye dengan "Rumpi Sehat" yang sudah ditayangkan di berbagai televisi. Pesan kunci dari kampanye tersebut antara lain ASI saja cukup (0 – 6 bulan) dan perlunya makanan yang bervariasi dan seimbang.
Hal lain yang menarik dari sesi ini adalah pentingnya pemenuhan gizi pada periode prakonsepsi untuk menunjang keberhasilan program penyelamatan 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK). Dr. dr. Sri Sumarni, SKM, MSi memaparkan mengenai pelaksanaan Scalling Up Nutrition (SUN) di Indonesia dimana pada periode prakonsepsi belum menjadi bagian dari program ini. Sumarni menggunakan berbagai evidence dari studi epidemiologi maupun penelitian selular dan biomolekular untuk menjelaskan pentingnya peran gizi pada masa prakonsepsi.
Ibu hamil yang mengkonsumsi suplemen sebelum hamil akan mengurangi risiko kelahiran prematur sebesar 50%. Konsumsi suplemen pada masa prekonsepsi akan menurunkan resiko pre-eklamsi sebesar 45% - 71% dan menurunkan risiko small for gestational age (SGA) sebesar 36%. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Probolinggo membuktikan bahwa suplemen memberikan efek yang lebih baik terhadap imun maternal dan hormon human placental lactogen (HPL) sehingga akan meningkatkan berat badan bayi lahir dan menurunkan resiko aborsi serta prematur. Pemberian suplemen zat gizi pada periode prakonsepsi akan lebih penting dibandingkan diberikan saat kehamilan. (Disadur dari abstrak Sun Movement : Bagaimana Mungkin Menyelamatkan 1000 Hari Pertama Kehidupan Tanpa Disertai Program Gizi Pra Konsepsi?, Sri Sumarni).
Reporter: Elisabeth Listyani
simposium 13 dan 18
Implementasi 1000 hari pertama kehidupan
Simposium 13 dan 18 dalam bagian konas IAKMI ini menyajikan materi dan pembahasan dengan tema "1000 hari pertama kehidupan". Sebagai pengantar, Bapak Anung Sugihantono selaku direktur Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan gambaran implementasi program 1000 hari pertama kehidupan. Dalam pengantar yang disampaikan Bapak Anung, beberapa masalah yang ditemukan seperti hampir lebih dari setengah masyarakat ternyata mengalami kekurangan gizi. Sedangkan pada saaat pemberian ANC, petugas kesehatan paling banyak hanya memfokuskan untuk kegiatan pemeriksaan kehamilan.
Program yang dikembangkan saat ini disesuaikan dengan SDGs berdasar pada poin pengentasan kelaparan dimana negara juga telah mendukung melalui Perpres 42 tahun 2013. Beliau juga memberikan pesan terkait pentingnya diversifikasi dalam menunjang stok pangan di inidonesia. Saat ini sudah ada pengembangan program beras sejahtera untuk masyarakat dengan target orang miskin
Saat ini sudah ada kesepakatan bersama antara direktural jenderal bina gizi kesehatan dengan 32 universitas se Indonesia, berbagai penelitian dan intervensi gizi telah dilaksanakan. Tiga universitas yang menjadi partner pemerintah dalam program ini seperti FKM UI, FKM Undip, dan FKM Unhas turut hadir dalam sesi kali ini
Prof DR dr Abdul Razak Thaha, MSc, SpGK dari Unhas, Hanifah Maher Denni SKM MPH, PHd dari Undip, dan dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D dari FKM UI memaparkan berbagai hasil penelitian dan intervensi yang dilakukan.
Dr.dr.Agustin Kusumayati, M.Sc.,Ph.D., Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia menyampaikan bahwa peran perguruan tinggi dalam hal ini FKM UI dalam program penyelamatan 1000 hari pertama kehidupan antara lain memastikan materi promosi 1000 HPK masuk dalam kurikulum kesehatan masyarakat, baik dalam kegiatan kurikuler (pembelajaran di kelas) maupun ko-kurikuler (KKN, bakti sosial). Selain itu, promosi 1000 HPK juga dilakukan melalui kegiatan ilmiah seperti seminar, serta ekspansi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc., Sp.GK. FKM Universitas Hasanuddin memberikan penekanan bahwa pemahaman yang benar tentang konsep scalling up nutrition kepada dosen dan staf mutlak diakukan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa dosen yang nantinya akan berperan sebagai aktor yang akan berperan untuk melakukan transfer knowledge kepada mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, integrasi dan sinergi penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat merupakan langkah utama yang ditempuh Unhas dalam mengarusutamakan isu 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Ditekankan pula bahwa integrasi promosi 1000 HPK ke dalam kurikulum kesehatan masyarakat pentng dilakukan. FKM Unhas mulai memaparkan 1000 HPK secara riil kepada mahasiswa semester petamadengan cara turun langsung ke lapangan. Tujuannya adalah memastikan bahwa program promosi 1000 HPK dapat berlangsung secara kontinyu.
Prof. Abdul Razak Thaha juga menyoroti tidak sinkronnya pendidikan, kebijakan, dan praktik promosi 1000 HPK menyebabkan sulitnya pencapaian target promosi 100 HPK. Harmonisasi integrasi perlu dilakukan mengingat masalah promosi 1000 HPK memerlukan sinergi antarberbagai macam sektor terkait. Sebagai sektor pendidikan, beberapa hal yang dilakukan Unhas antara lain:
Selain itu, intervensi terhadap kurikulum kesehatan masyarakat juga dilakukan oleh Unhas untuk mendukung sinergisitas percepatan penyelamatan 1000 HPK. Wujud nyata inovasi ini adalah disusunnya kurikulum Evidence Based Learning (EBL) cluster Gizi untuk mahasiswa maupun supervisor di lingkungan KM Unhas. Unhas juga mengembangkan instrumen pemantauan status gizi dengan memodifikasi instrumen Kementerian Kesehatan, serta melakukan pengumpulan dan manajemen data gizi berbasis rumah tangga.
Bertindak sebagai pembahas dalam workshop ini, Prof. Dr. Soekirman; Guru Besar Ilmu Gizi IPB memberikan masukan terkait standarisasi konsep gizi bagi para akademisidan stakeholder, sinergisitas lintas sektor dalam mengatasi masalah gizi, dan pemahaman yang benar bahwa intervensi program gizi harus dimulai dari outcome yang ingin dicapai sebagai baseline-nya. Pada kesempatan yang sama, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D. sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas menyampaikan bahwa dalam hal penyelamatan 1000 HPK, akademisi berperan memberikan sumbangsih terhadap kebijakan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian juga harus menyasar masyarakat lokal, dalam arti mengakomodir local wisdom. Deputi KSPK BKKBN; Ir. Ambar Rahayu, MNS. menyorot tentang pentingnya elaborasi tridharma perguruan tinggi dalam hal penyelamatan 1000 HPK dengan program-program BKKBN antara lain Generasi Berencana (GenRe), Bina Keluarga Balita, dan sebagainya. Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan; Dr. dr. H. Rachmat Latief, Sp.PD, M.Kes, FINASIM mengkritisi bahwa selama ini implementasi program tidak sebagus yang direncankan dalam tataran akademik, sehingga perlu dikaji kembali efektivitas program penyelamatan 1000 HPK di tataran perencanaan. Kementerian Sosial RI yang diwakili oleh Dr. Harapan Lumban Gaol turut memberikan masukan bagi institusi pendidikan agar pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat mengakomodir standarisasi kompetensi pendamping Program Keluarga Harapan.
Reportan : Faisal Mansur dan Dedik
simposium 14 dan 19
Integrasi dan Sinergitas Program KKBPK, Kesehatan, dan Sosial Dalam Membangun Desa
Serangkaian workshop integrasi dan sinergitas program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK), kesehatan, dan sosial dalam pembangunan di tingkat desa dan kab/ kota dibuka oleh sambutan dari dr. Adang Bachtiar, MPH, Sc.D (Ketua IAKMI) yang menekankan pentingnya peran kampung KB di setiap desa untuk membangun sektor kesehatan dan mencapai bonus demografi. DR. dr. Melania Hidayat, MPH (National Programme Officer for Reproductive Health – UNFPA Indonesia) turut menekankan bahwa peran sektor swasta juga penting untuk dilibatkan dalam membangun program KB. Materi pertama diawali dengan penjelasan dr. Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes (Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi – BKKBN) mengenai pelaksanaan program kampung KB yang notabene salah satu latar belakangnya adalah kenaikan total fertility rate (TFR). Abidinsyah menyampaikan bahwa terdapat dua indikator capaian program KB yaitu diawali dengan mencari wilayah dengan capaian KB paling rendah dan kemudian menggunakan data yang terkait dengan kondisi angka kemiskinan yang paling tinggi. Dua indikator itu merupakan titik terlemah dalam suatu wilayah. Intervensi diawali dengan pencanangan kampung KB yang saat ini sudah ada 432 Kampung KB pada 514 Kabupaten/Kota.
Materi selanjutnya berkaitan dengan peran multi sektor yang belum efektif di daerah. Materi kedua ini disampaikan oleh Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar) tentang Pelaksana Kampung KB di Tingkat Kelurahan Kecamatan dan Kota di Kota Makssar. Ramdhan menambahkan bahwa permasalahan urbanisasi dan faktor demografi lainnya juga turut berkontribusi terhadap pentingnya adanya integrasi dan sinergitas program pembangunan desa, terutama di kota Makassar. Pada masa awalnya menjadi Walikota, Ramdhan melakukan riset kebutuhan dan masalah masyarakat dan menemukan bahwa masalah kemiskinan dan kesehatan sangat dominan. Pendekatan ruang yang dilakukannya untuk mengatasi masalah ekonomi, kesehatan, sekaligus kependudukan di Kota Makassar. Utamanya, Ramdhan sangat optimal sekali melakukan pemberdayaan masyarakat melalui stakeholder di tingkat paling rendah yaitu RT dan RW. Koordinasi dari stakeholder di tingkat RT dan RW akan sampai ke walikota dengan adanya monitoring melalui teknologi smartphone dan war room city.
Materi selanjutnya terkait dengan Pendekatan Keluarga Menuju Keluarga Sehat disampaikan oleh Dr. Eni Gustina., MPH (Direktur Kesehatan Keluarga – Kemenkes RI). Eni menyatakan bagaimana upaya kita mempertahankan tetap dalam kondisi sehat dan bugar. Hal ini menekankan bahwa sehat bukan menjadi tujuan. Dengan kata lain, pada saat jatuh sakit baru mencari kesehatan. Untuk daerah terpencil dan perbatasan, program Nusantara Sehat mengupayakan mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan. Sedangkan pada wilayah yang mudah dijangkau, puskesmas diberdayakan untuk menggunakan pendekatan keluarga dengan paradigma sehat, mengutamakan promotif preventif, memperkuat pelayanan dasar, memperkuat pembiayaan kesehatan melalui JKN. Sasarannya adalah pada penerapan standar dan mutu kesehatan serta kemandirian masyarakat.
Di akhir sesi, para pakar memberikan tanggapannya terkait dengan materi yang disampaikan. Tanggapan pertama dari dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD yang menyatakan bahwa gagasan kampung KB ini diharapkan menjadi percontohan kecil di satu wilayah yang kemudian diperluas ke wilayah lain. Program kampung KB ini diharapkan memiliki tujuan dan arah yang jelas. Tanggapan selanjutnya dari Dr. Sumaryati Arjoso, SKM, bahwa integrasi dalam berbagai hal untuk membangun program kampung KB, diperlukan revolusi mental birokrat, pendekatannya harus holistik komprehensif intergratif dan sinergis mulai dari pusat, menghilangkan ego sektoral, rakyat tidak terkotak-kotak, besarnya organisasi di pusat memastikan siapa yang menangani/bertanggungjawab dan siapa yang bertugas, prinsip desentraslisasi yang di pusat hanya memastikan semua terkondisikan, yang memiliki peran besar adalah di tingkat daerah. Terakhir, tanggapan dari perwakilan BAPPENAS menyatakan bahwa prinsip money follow program memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat melalui program pemerintahan yang terintegrasi antar sektor.
Reporter : Budi Eko Siswoyo, SKM.,MPH
Aulia Novelira, SKM.,M.Kes
simposium 15
SDG Untuk Pangan Dan Gizi"
Pembicara 1 :
Dr. Arum Atmawikarta, SKM MPH (Manager Pembangunan Pilar Sosial, Sekretariat SDGs Nasional Kementerian PPN/ Bappenas)
Judul :
Evaluasi Pencapaian MDG's dan Pelaksanaan SDG's : Fokus Tujuan 2 "Tanpa Kelaparan"
Dimulai dari MDG"s yang telah berakhir pada tahun 2015, pencapaiannya dari 8 goal ada 18 target dan 67 indikator . Ada 49 indikator yang sudah tercapai dan 18 indikator yang tidak tercapai. Fokus pembicara adalah pada tujuan 2, tetapi sebelumnya bercerita mengenai tujuan 1 yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, bahwa rakyat Indonesia sampai saat ini belum bisa mencapai kecukupan gizi. Trend secara nasional sudah relatif rendah angka prevalensinya, tetapi disparitas antar wilayah menjadi buruk.
Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa mengurangi prevalensi stunting dari anak baduta dan anak balita. Stunting bisa terjadi pada seluruh kelompok, tidak hanya pada kelompok miskin saja, tapi memang terbanyak 40% kelompok miskin prevalensinya lebih tinggi.
Sudah diteliti selama ini bahwa program Raskin mempunyai dampak hanya 1,4%, sedangkan bantuan uang kepada masyarakat program keluarga harapan (PKH) ini lebih tinggi karena jika anak disekolahkan atau diimunisasi, ibunya diperiksa kehamilannya maka diberi uang, dampaknya bisa menurun 2,4%. Program yang sedang dan akan meningkat adalah pemberian kupon, benar-benar kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan produk yang lebih jelas targetnya. Jika melihat angka rata-rata yaitu 37% ini lumayan, tetapi jika melihat sebarannya antar propinsi di Indonesia sangat berbeda sebagai contoh di daerah NTT, Sulawesi Barat dan lain-lain ini 60% anak-anaknya stunting, dan ini menjadi isu disparitas. Seorang peneliti S3 di UI meneliti dengan menggunakan data Riskesdas mengenai sejarah stunting terhadap prevalesni penyakit Diabetes Melitus dan Hypertensi yang telah diteliti oleh Prof Barter, dicoba di Indonesia ternyata terbukti cukup menguatkan penelitian tersebut.
Sejak dulu sampai sekarang kita belum bisa menurunkan anemia pada ibu hamil, ternyata setelah diteliti oleh Litbankes, compliance meminum Fe hanya 30%, tetapi sudah diteliti di negara luar bahwa Fe sudah digabung dengan selenium, sehingga ini menjadi area riset ke depan di Indonesia.
Waktu MDG's pemerintahan bekerja sendiri dan kurang mengikutsertakan pihak lain, tetapi sekarang dalam pelaksanaan SDGs aktornya ada 4, yaitu :
- Pemerintah
- Dunia usaha
- LSM
- Akademisi dan Organisasi profesi
Sehingga dana yang dulu hanya pemerintah tetapi sekarang dari semua keempat aktor yang ada di atas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada RPJMN kita sudah tertampung? Sudah, jadi dari 169 target global, yang ada pada RPJMN kita yaitu 96. Jadi belum semua kesepakatan global itu ada pada RPJMN kita, sehingga ini yang perlu kita perbaiki utk RPJMN dan rencana tahunan.
Kesimpulannya adalah pengalaman Indonesia dalam MDG's sangat berguna dalam pelaksanaan SDG"s juga tujuannya lebih lengkap, sehingga kompetensi dan profesionalisme tenaga kesehatan, pangan dan gizi untuk mencapai sasaran SDG"s perlu terus ditingkatkan. Untuk itu, kerjasama erat antara Institusi Pendidikan Tinggi dan Organisasi Profesi terkait pangan dan gizi sangat diperlukan.
materi presentasi
Pertanyaan :
- Hadian Arifin dari Stikes Ekalaya/ Pita Putih Palangkaraya :
Bagaimana jika semua yang hadir, membuat rencana kerja dalam menghadapi stunting. Perlu ada kebijakan, Fe yang tidak cukup, harusnya ada pemeriksaan hemoglobin. Seharusnya pemeriksaan hamil 14 kali bukan 4 kali, kr rakyat Indonesia terbiasa memilih yang minimal.
Jawab :
Data riskesdas 2007, 2010-1013 baru sadar masalah angka stunting, angka bukan membaik tapi meningkat dan ini sudah menjadi global isu.
Sri Mulyani menunjuk sangat baik tentang stunting karena dampaknya ke depan.
Fe jadi persoalan karena alasan mual, tetapi sudah diganti dengan asam fumarat Antenatal di indonesia terjadi hal yang aneh, karena pada tahun 2013 menguji kompetensi dan yang lulus hanya 50%, sehingga kompetensi menjadi persoalan yang bisa membuat antenatal tinggi tapi angka kematian juga tinggi.
- Ahmad Fahrudin dari Samarinda :
Pentol cireng adalah makanan yang sering ada di sekolah, adakah kerjasama pihak sekolah dengan akademisi. Konsumsi lebih banyak nasi dari pada lauk, apakah ada pemeriksaan terhadap pesantren.
Jawab:
Sudah diangkat duta stunting yaitu Solahudin ( adik Gusdur) dan sudah ada kerjasama FKM UI dengan Solahudin. Solahudin sudah melakukan di pesantrennya sendiri dan stunting-nya pendek. BTKL Yogya, sekretariat SDG"s dan BPS sudah bekerja sama untuk air bersih, jika dulu MDG"s yang diperiksa akses air bersih, tetapi sekarang akses air bersih yang aman yang tidak mengandung E-coli.
Reportase : Bella Donna , dr. MKes
simposium 16
Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan menjadi topik pertama yang disampaikan oleh Prof. dr. Purnawan Junadi, MPH, DrPH (Universitas Indonesia) di simposium 16, Konas IAKMI (Jum'at, 4 Nov 2016). Berbeda dengan SPM sebelumnya, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa SPM kesehatan tahun 2016 saat ini akan didukung dengan PP SPM. Sejauh mana pembagian urusan pemerintah pusat, provinsi, dan kab/ kota akan berpengaruh pada tercapainya keberhasilan SPM kesehatan. Berdasarkan data NHA tahun 2014, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa biaya layanan preventif masih berkisar 10-15% dari total biaya kesehatan. SPM Kesehatan yang baru ini memegang peran penting dalam menyeimbangkan UKM dan UKP, terlebih telah menjadi indikator kinerja pemerintah daerah dengan target merata 100 %.
materi
Sebagai bagian kebijakan dan ekonomi kesehatan, Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin MPH (Universitas Hasanuddin) memaparkan materi yang mengevaluasi efektivitas program JKN dari aspek yankes, pelayanan kepesertaan, kepuasan pelayanan, dan efektivitas pelayanan. Prof. Alimin menegaskan bahwa permasalahan regulasi dan manajemen pelayanan masih sering terjadi yang salah satunya berdampak pada manajemen pengadaan obat. Kekosongan obat, tidak semua obat tersedia di dalam e-katalog, monopoli produsen obat tunggal, dan panjangnya proses administrasi e-katalog merupakan beberapa permasalahan yang Prof. Alimin temukan dalam kajiannya. Perbaikan kebijakan dan manajemen layanan yang menjadi bagian rekomendasi Alimin yaitu : prosedural kepesertaan, pengadaan obat, sistem rujukan, dan penerapan clinical pathway pada penyelenggaraan tarif INA-CBG's.
materi
Sebagai praktisi, Hendi Wijaya, SKM, MPH (Direktur RSUD Sambas) melengkapi sesi ini dengan memaparkan story change di RSUD Sambas pasca BLUD. Berbagai perbaikan sarana prasarana juga diikuti oleh peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Hendi beserta tim yaitu adanya MoU antara RSUD Sambas dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang menjadi stase untuk residen senior. Melalui kerja sama dengan salah satu provider komunikasi, RSUD Sambas akhirnya menyediakan sarana pengaduan dan sarana informasi yang semakin mendekatkan pelayanan rumah sakit kepada masyarakat. Hendi tidak memungkiri bahwa perubahan ini tidak lepas dari keterlibatan multisektor dan komitmen promotif preventif yang senantiasa menjadi perhatian. Walaupun demikian, Hendi memaparkan bahwa masyarakat miskin yang belum dijamin oleh PBI pusat dan daerah masih menjadi permasalahan tersendiri bagi RSUD Sambas.
Oleh: Budi Eko Siswoyo
simposium 20
Peran Pemda dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat
1. Wakil Bupati Kutai Kertanegara, Drs. Edi Damansyah, MSi
Kutai Kertanegara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki kapasitas fiskal tinggi karena adanya hasil sumbangan sumber daya alam berupa tambang dan minyak bumi. Kutai Kertanegara menyumbang 237Triliun PDRBnya untuk PDB Nasional. Bagi hasil yang kembali ke Kutai hampir mencapai 4 triliun rupiah per tahun (2015). Tidak salah jika Kutai ini menjadi Kabupaten terkaya di Indonesia. Tetapi bagaimana dengan sektor kesehatannya? Kabupaten 'sekaya' Kutai ini ternyata masih menyimpan suatu tantangan besar dalam status kesehatan, terutama derajat kesehatan ibu dan anak. Jumlah kematian ibu masih tinggi, data terakhir menunjukkan jumlah angka kematian ibu mencapai 29 jiwa, untuk Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa. Tantangan besar ini telah diidentifikasikan oleh pemerintah daerah Kutai, dimana pada sisi layanan kesehatan, terjadi kesenjangan akibat adanya ketidaksinkronan antara layanan kesehatan primer ke layanan kesehatan sekunder dan lanjutan. Masalah rujukan ibu hamil untuk bersalin, menjadi tantangan besar yang harus dijawab oleh pemkab Kutai. Melalui serangkaian perbaikan sistem kesehatan dan sistem layanan kesehatan bagi ibu hamil dan bersalin, maka diambil suatu kebijakan yaitu sinkronisasi rujukan layanan kesehatan ibu bersalin melalui perbaikan sistem informasi. Melalui model ini ketika ibu hamil ingin bersalin, sejak di layanan kesehatan primer, sudah terpantau, sehingga ketika harus dirujuk ke layanan kesehatan lanjutan (RSUD), semua bisa dilakukan penanganan secara tepat, cepat dan akurat. Melalui Model Hotline Ibu Bersalin ini, kabupaten Kutai Kertanegara mulai menunjukkan sinyal positif penurunan jumlah kematian ibu.
2. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto, HM Syafruddin MKes
Jeneponto berubah dari daerah bermasalah kesehatan menjadi daerah dengan prestasi kesehatan. Daerah ini secara sisi supply sudah terlengkapi dengan berbagai macam sarana prasarana kesehatan. Akses juga mudah dijangkau, tidak ada akses ke faskes lebih dari 1 jam dengan masalah kualitas akses sedang (masih ada kendala kualitas jalan). Tetapi IPK
M Jeneponto termasuk yang terendah di Sulawesi Selatan. Ini terlihat dari cakupan programnya yang rendah. Secara anggaran, untuk dinas kesehatan saja sudah di atas 6%, dan jika digabung dengan RS, maka akan menjadi 11 % lebih. Ternyata telah terjadi kebijakan yang tidak tepat pada struktur anggaran. Banyak anggaran yang tidak secara langsung menyetnuh pada sisi peningkatan status kesehatan masyarakat.
Selain kepada kualitas pemberi layanan yang belum sesuai dengan standar. Masalah data juga menjadi masalah, karena data kependudukan tidak valid. Sehingga teridentifikasi ada masalah kondisi masyarakat yang tidak terlindung oleh sistem kesehatan. Permasalahan ini diselesaikan secara lintas program dan lintas sektor. Saat ini 70% program dikerjakan oleh SKPD kesehatan (dinas kesehatan, RS, dan BKKBN), dan 30% oleh lintas sektor. Fokus kepada program 1000 HPK untuk perbaikan input demand kesehatan masyarakat. Kunci suksesnya adalah kemitraan antar lintas program dan lintas sektor termasuk dengan lembaga kemasyarakatan, akademisi, dan kaum bisnis.
Reporter: Deni Harbianto, SE
simposium 24
Urgensi Riset Implementasi
Evaluasi Pembayaran Kapitasi Provider Primer di Era JKN
Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes
Mengapa dilakukan evaluasi? karena kesalahan pada pembayaran di provider pelayanan primer. Latar belakang bahwa provider primer sangat esensial untuk mencegah biaya pelayanan yang sangat besar yang pada awal 2014 yaitu 8 Trilyun di FKTP dan RJTL hampir 23 Trilyun dengan FKTP 197 ribu. Implementasi kebijakan BPJS Kesehatan yang menerapkan norma penetapan besaran kapitasi serta pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen. Apakah implementasi kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan kebijakan yang dibuat BPJS Kesehatan sudah mampu mendorong pembayaran yang lebih efisien?
Data dari 755 FKTP melibatkan puskesmas, DPP, dan klinik pratama. Dukungan dana dari BPJS Kesehatan. Hasilnya ada ketimpangan distribusi peserta, kepersertaan di Puskesmas lebih besar. Terkait dengan beban kerja yang berlebihan yaitu 1 dokter bisa menangani 30 ribu peserta, ini fakta. Di daerah tertinggal kapitasinya hanya 3000-3500 rupiah. Sedangkan daerah non tertinggal bisa 6000 rupiah. Jumlah dokter di DTPK sangat terbatas apabila untuk memenuhi dokter umum yang ketentuannya harus 2. Distirbusi rasio utilisasi masih besar, dari 755 FKTP rasionya sekitar 6%, di perkotaan lebih tinggi lagi. Jumlah dokter terhadap biaya aktual ternyata tidak memberikan dampak signifikan. Tetapi rerata biaya di Puskesmas 130.000 - 231.000 ribu (unit cost berdasarkan pendekatan rasio utilisasi kuratif).
Sebaiknya kapitasi harusnya mempertimbangkan rasio utilisasi bukan jumlah dokter. Kapitasi dipengaruhi rasio utilisasi dan unit cost bukan jumlah dokter. Sehingga kesimpulan, pembayaran kapitasi ini memungkinkan inefisensi biaya, perlu formulasi dari kapitasi yang dapat mendorong peningkatan mutu dan tindakan promotif dan preventif.
Kesenjangan biaya aktual perlu dihindari dengan memeratakan beban kerja jumlah dokter dan karakteristik peserta JKN. Penentuan besaran kapitasi sebaiknya mempertimbangkan rasio utilisasi dan adjustment faktor. BPJS Kesehatan dapat memberikan insentif khusus bagi FKTP daerah terpencil untuk mendorong pemerataan akses dan ketersediaan tenaga kesehatan.
Hasil Riset Implementasi JKN di Pelayanan Primer-Kapitasi
dr. Likke Prawidya Putri, MPH
Mengapa penelitian kapitasi? karena kapitasi merupakan kebijakan, ada siklusnya dan ada perkembangan kapitasi selanjutnya. Lalu bagaimana pelaksanaan kapitasi di lapangan?. Penelitian yang dilakukan oleh UGM, P2JK, dan mitra universitas Sumut, Universitas Jember, dan Universitas Cendrawasih menjawab pertanyaan tersebut. Topik riset ditentukan dengan mengunjungi calon tempat studi, dan konsultasi dengan kementerian dan stakeholder tingkat nasional. Pertemuan nasional dilakukan untuk menentukan topik penelitian, salah satunya regulasi.
Tujuan penelitian riset implementasi adalah untuk memahami tantangan dan memahami kebijakan ke depan. Metode yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Tahap I pengumpulan data sekunder di FKTP termasuk kualitatif. Tahap selanjutnya datang ke dinas kesehatan, Bappeda dan instansi lain. Kendala-kendala ditemukan pada saat analisis data kualitatif. Kapitasi idealnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan mempengaruhi kinerja SDM. Terkait jumlah dokter, kapitasi tidak terlalu berpengaruh, ada FKTP yang bertambah dan ada juga yang berkurang. Kemudian rujukan, ini terkait kinerja, ketat merujuk tidak terjadi di semua kabupaten kota karena salah satunya dorongan dari masyarakat, hal lainnya yang menyebabkan rujukan adalah obat dan alkesnya tidak ada dan SDM kesehatannya juga tidak ada.
Maka, dibutuhkan peran dinas kesehatan untuk mengawasi dan mengelola dana kapitasi. Ada dinkes yang mengokomodir alat kesehatan dan obat, namun ada juga yang perannya terbatas. Kapitasi diberikan ke FKTP namun tidak mengungkit performa FKTP tidak hanya karena SDM, namun juga ketersediaan obat dan alkes dari dinas kesehatan itu sendiri.
Urgensi Riset Implementasi
dr. Yodhi Mahendradhata, M.Sc., PhD
Mengapa urgensi riset implementasi? Riset implementasi marak karena banyak kekecewaan dengan banyaknya teknologi dan kebijakan ketika di atas kertas sangat menjanjikan tetapi dalam pelaksanaan jauh dari yang diharapkan. Contoh intervensi CRTCT yang berbasis bukti dan cost efektif ternyata tidak banyak berdampak penurunan HIV karena banyak kendala di lapangan. Ini juga terkait mata rantai sangat panjang antara efikasi di atas kertas dibanding efektifitas di lapangan. Contoh kasus dengue yang baru dengan efikasi 60% bisa menurunkan prevalensi dengue 20-30% kalau datanya tidak mudah diakses maka dengue-nya tidak berkurang, provider tidak yakin maka juga tidak akan diberikan datanya. Ada reduksi dampak efikasi ke efektifitas.
Sekarang kita tahu bahwa intervensi generik/sama namun apabila diterapkan di konteks berbeda dan strategi implementasi yang berbeda maka hasilnya akan berbeda. Contoh kebijakan-kebijakan di Indonesia, di ratusan kabupaten/kota maka hasilnya juga berbeda wilayahnya. Ada 3 elemen yang mempengaruhi agar berhasil, yaitu:
- Strategi berbasis bukti
- Implementasi yang efektif
- Konteks yang mendukung
Riset implementasi intinya adalah riset kesehatan untuk mempromosikan upaya-upaya berbabis bukti supaya lebih berhasil dalam pelaksanaannya. Intinya mengidentifikasi dan mengatasi kendala-kendala dengan lebih efektif dan berkualitas. Inti solusinya dilakukan bersama dengan stakeholder dan pengambil kebijakan. Hukumnya wajib dilakukan bersama stakeholder. Pertanyaan penelitian menjadi jantungnya dan relevan dengan stakeholder dan pengambil kebijakan.
Diskusi:
Riset implementasi seperti apa. idealnya seperti apa?
Ada perubahan yang terjadi dalam Riset Implementasi, Principal Investigator atau PI-nya merupakan pengambil kebijakan sebagai bentuk ideal dalam riset implementasi. Terlibat dalam fase-fase kritis, analisis, kesimpulan dan rekomendasi.
Untuk saat ini, PI masih di akademisi, masih bersifat konsultasi dengan pengambil kebijakan dan pada saat pengumpulan data, pengambil kebijakan ini tidak mengikuti karena kemungkinan bisa terjadi bias. Hasil penelitian kapitasi ini merupakan dorongan kebijakan peraturan atas norma kapitasi yang harusnya melibatkan stakeholder yaitu P2JK, Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Hubungan harmonis antara peneliti dengan stakeholder/policy maker harus dijaga dan harus independen.
Apakah rekomendasi dalan penelitian evaluasi bisa dikembangkan menjadi riset implementasi. Perlu adanya penguatan bagaimana sistem pembayaran insentif pelayanan dan menentukan kinerjanya. Permasalahan yang terjadi sekarang adalah tidak punya akses data ke BPJS Kesehatan. Pemda tidak mempunyai power mengatur BPJS Kesehatan. Pay performace bisa digunakan untuk mengukur kinerja berbasis kenerja individu. Implementasi sekarang menunjukkan apakah kinerja berbasis norma dan apakah benar bisa diterima di kondisi lapangan. Hasil penelitian pun menunjukkan rekomendasi norma kapitasi jangan berbasis jumlah dokter dan sarana prasarana namun berbassi kinerja. Hal ini dikarenakan istilah norma tidak tepat untuk menentukan jumlah kapitasi.
Kebijakan Badan Litbangkes dalam Riset Implementasi
Naigoat Consalony Tambunan, SKM, ME
Ada perubahan badan Litbang sejak menggunakan kerangka kerja WHO untuk Litbang. Awalnya litbang dibentuk atas kritik Pelita I dengan fokus pembangunan bersifat fisik. Organisasi litbangkes terdiri dari 4 pusat litbang besar mempunyai mandat fungsi litbangkes berbasis mitra di unit program Kemenkes. Visi yang diemban dalam proses internalisasi terus-menerus, ada pergeseran isi dari lembaga ke promosi litbangkes sebagai lokomotif pembangunan nasional. Arah badan Litbangkes mulai bergeser bahwa litbang sebagai pandu/pemberi arah dalam pembangunan kesehatan. WHO sudah memberi referensi dimana peran Litbang dalam pembangunan kesehatan.
Misi:
- Menyediakan data, informasi, dan pengetahuan tentang masalah Kesehatan dan Penyebabnya
- Menghasilkan solusi perbaikan pembangunan kesehatan melalui inovasi teknologi kesehatan
- Menyediakan data, informasi dan pengetahuan tentang pencapaian pembangunan kesehatan.
Pertemuan koordinasi telah dilakukan untuk menentukan sistem Litbang. Sistem Litbang tidak bisa lepas dari sistem lain yang terkait. Artinya bahwa badan Litbang bermitra untuk setiap program kesehatan.
oleh Faozi Kurniawan