Oral 1
Kemitraan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan kerjasama lintas sektor. Peningkatan derajat kesehatan untuk masyarakat hidup sehat dan bahagia dalam mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan yang merupakan tajuk dari Konas IAKMI XIII Makassar, menyiratkan pentingnya kemitraan untuk mencapai visi Indonesia Sehat. Sesi presentasi oral pada hari Jum'at (05/11/2016) menghadirkan pemateri-pemateri yang telah terlibat dalam upaya inisiasi maupun eksekusi kemitraan lintas sektor.
Dari sektor KIA, Ketut Surmayaksa, Tuti Sumartinah, dan Deni Harbianto mengangkat berbagai pendekatan kemitraan yang berbeda dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Ketut menyasar pendampingan pada ibu hamil sebagai bagian dari program pengabdian mahasiswa untuk memastikan kunjungan antenatal diketahui dan dijalankan oleh ibu hamil. Tuti menggali potensi kemitraan yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan dengan indung beurang (dukun bayi). Potensi indung beurang ke depan diharapkan dapat menjadi agen pemeliharaan kesehatan keluarga berbasis budaya dan agama untuk melengkapi fungsi bidan sebagai tenaga profesional. Deni, peneliti dari PKMK FK UGM, menggandeng SKPD Kesehatan dan SKPD terkait lainnya untuk melakukan Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti (PPBB) untuk mendukung perencanaan KIA berbasis permasalahan lokal.
Isu-isu menarik lainnya datang dariRisnah yang mengambil pendekatan Participatory Action Research (PAR) di Jeneponto dengan terlibat langsung untuk memberdayakan aset masyarakat bersama-sama warga setempat. Dengan upaya ini, Risnahingin membangun inklusi sosial yang dapat meningkatkan kemandirian individu. Ni Made Dian Kurniasari melakukan survey untuk melihat potensi pemberian informasi kesehatan pada wisatawan melalui pramuwisata di Bali. Dian menemukan bahwa pramuwisata memiliki efikasi dan keinginan untuk menjadi aktor kesehatan di sektor pariwisata.
Dito Anurogo melirik kerjasama keilmuan di sektor kesehatan dan melihat adanya potensi malconduct dan ketidaketisan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa yang akan datang, terutama pada studi mengenai otak dengan teknologi yang semakin canggih. Dito mengungkapkan bahwa neuroetik (etika mengenai sistem syaraf) harus diturunkan, bukan lagi sebagai wacana tapi sudah merambah isu publik. Oedojo Soedirham menyoroti perubahan persepktif kesehatan masyarakat yang bukan lagi menyangkut sanitary tapi ke arah health setting. Persepektif ini adalah perspektif holistik lintas-sektor di mana kesehatan tidak hanya dilihat dari penyediaan infrastruktur tetapi juga dengan memodifikasi lingkungan dan budaya. Oedojo mencoba menjelaskan perspektif ini untuk melihat kemungkinan diterapkannya health promoting university, di mana pengelola universitas secara aktif membangun healthy setting di kampus.
Singkatnya waktu dan banyaknya pembicara membuat sesi ini terkesan terburu-buru dan alokasi untuk waktu tanya jawab dihilangkan. Meski demikian, peserta dapat melihat potensi berbagai jenis kemitraan baik yang dilakukan oleh universitas, dinas kesehatan, bahkan dinas pariwisata.. Sesi ini memberikan gambaran yang menarik bagaimana memanfaatkan kemitraan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.
reporter : Insan Rekso Adiwibowo
Oral 2
Gizi dan 1000 Hari Pertama Kehidupan
Nasrul, SKM, MKes
Pembicara pertama mempresentasikan suatu hasil penelitian yang berjudul "Determinan stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah". Pembicara menyatakan bahwa determinan utama stunting pada bayi kelompok 6-23 bulan di Kota Palu berasal dari masalah gizi pada fase ibu hamil, rendahnya kecukupan ASI serta kurangnya pengetahuan masyarakat terutama ibu hamil dan ibu menyusui terkait dengan pentingnya gizi dalam rangka penurunan kejadian stunting. Bahkan sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui kejadian stunting. Pola perbaikan gizi masyarakat menjadi kebijakan utama dinas kesehatan kota Palu dalam penurunan kejadian stunting pada bayi.
Saifuddin Sirajuddin,
Pembicara kedua menyajikan "Pengaruh pemberian bubur bekatul terhadap kadar glukosa HDL dan LDL anak obesitas". Penelitian selama setahun terakhir menunjukkan bahwa dengan pemberian tambahan gizi dari penyajian bekatul yang diolah berupa makanan bubur akan berpengaruh kepada tingkat HDL dan LDL pada anak yang telah dinyatakan obesitas. Kadar kolesterol menurun sehingga akan memperbaiki struktur glukosa dalam darah pada anak obesitas.
Abdul Salam
Presentasi ketiga berjudul "Body Image kaitannya dengan kebiasaan makan, eating disorder, pengetahuan gizi dan aktifitas fisik remaja". Hasil kajian menarik disajikan melalui penelitian ini, yang menyatakan bahwa remaja perempuan mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan pola makan, diet dan bahkan sampai penurunan drastis berat badan tanpa alasan, hanya karenamerasa tubuhnya tidak proporsional (Body Image Negatif). Sehingga meningkatkan pola eating disorder, dan akan menyebabkan gejala gangguan gizi kepada remaja putri.
Andi Sani Silawah
Pengembangan Makanan Pendamping ASI berbasis ulat sagu di Sulawesi Selatan telah membawa hasil peningkatan status gizi yang lebih positif. Penelitian di Jeneponto menyatakan bahwa ulat sagu memiliki kandungan gizi dan lemak yang bagus untuk pembentukan protein pada bayi. Pengolahan ulat sagu menjadi bubur makanan pendamping ASI, bisa menjadi solusi di daerah yang menggunakan sagu sebagai bahan makanan pokok, untuk sarana menambah protein bagi bayi.
M. Ardan Wahyudin
Presenter terakhir menyajikan paparan "Hubungan antara Obesitas dengan kejadian Artritis di Puskesmas Marangkayu, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim" Hasil kajian menunjukan adanya korelasi positif antara obesitas dengan kejadian artritis. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang berat badan yang ideal dan sehat telah mendorong tingginya angka kejadian artritis pada kelompok sampel yang mengalami obesitas.
Oral 3
Workshop Halal Science and Research
Dalam sesi ini, materi dalam simposium disampaikan oleh Prof.Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center Chulalongkorn University di Thailand. Di awal sesi, materi beliau difasilitasi penyampaiannya oleh Prof. Veni Hadju dari Universitas Hasanudin Makassar. Prof. Veni Hadju membuka sesi materi dengan menyampaikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan masalah halal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akidah bagi seorang muslim. Halal itu sendiri sangat terkait dengan praktik-praktik sebagai seorang muslim, syariat dan ibadah, serta muamalah dalam kehidupan.
Status halal dan haram itu jelas dalam Islam. Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara yang tidak jelas, dinamakan dengan perkara syubhat. Materi kali ini sangat erat sekali dengan masalah "ilmu tentang halal" atau halal science. Dasar sebenarnya adalah segala sesuatu itu harus jelas terlebih dahulu halal haramnya, tidak memiliki keraguan. Sebagai seorang muslim, hal ini juga harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal tersebut halal atau haram. Pemahaman, ilmu, dan praktik tentang halal tidaknya sesuatu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hal ini sangat easy to practice.
Dalam Halal Science terdapat beberapa spektrum yang perlu dipahami, antara lain :
- Pengembangan standar halal/standarisasi sistem untuk produk dan pelayanan yang halal (Halal Product and Services/HPAS)
- Riset dan pengembangan alternatif untuk mengganti bahan baku mentah yang haram
- Pengembangan metodologi biokimiadalam laboratorium forensik halal untuk melakukan skrining halal pada produk/bahan dasar produk.
- Melakukan inovasi untuk pembersih yang halal dalam tingkatan proses ataupun bahan-bahan yang digunakan.
- Informasi Komunikasi dan Teknologi untuk menjamin integritas halal dan memfasilitasi perdagangan yang halal pula.
- Ilmu halal sebagai alat untuk membangun kepercayaan konsumen dan Consumer Brand Relationship (CBR)
Sebagai catatan khusus, sesuatu yang haram dapat digunakan/dimafaatkan hanya jika dalam keadaan terpaksa/darurat. Contohnya obat, makanan, dll yang memang tidak/belum ada pilihan lain tetapi hal tersebut sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Jika kebiasaan halal ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka kebiasaan dan lingkungan yang mengacu pada "ke-halal-an" akan mudah tercipta di masyarakat. Tentunya hal ini juga akan membantu umat muslim untuk terhindar dari hal-hal yang haram ataupun menekan adanya keraguan-keraguan akibat hal-hal yang syubhat.
Spektrum halal dalam keilmuan ilmiah diperlukan untuk mengembangkan suatu sistem halal itu sendiri. Ada suatu riset ilmu yang dapat digunakan sebagai upaya mengganti gelatin pada kapsul dari rumput laut agar lebih halal atau mengembangkan inovasipembersih najis dari tanah atau dalam bentuk clay. Peran dari teknologi dan keilmuan ilmiah sangat besar untuk membentuk suatu sistem produksi yang halal dan konsumsi produk yang halal pula. Hal ini akan mudah untuk masuk ke dalam kehidupan yang sehat berdasar pada konsep dan cap halal pada suatu produk.
Di Thailand, Prof. Dr. Winai Dahlan tidak menjadikan alasan "halal" untuk mengembangkan suatu laboratorium penelitian dan Halal center. Satu hal yang beliau sadari adalah beliau ingin melindungi konsumen dan beliau bekerja sebagai seorang ilmuwan muslim. Maka, dapat disimpulkan bahwa beliau bekerja berdasakan landasan halal dalam Islam yang diterapkan untuk seluruh masyarakat.
Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes
Oral 4
Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 1
Presenter pertama adalah Budi Eko Siswoyo dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Budi mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul "Cakupan Kepesertaan Sektor Informal dalam Program JKN dan Studi Kasus di Provinsi DIY". Sekitar 20,41 % penduduk DIY termasuk pekerja sektor informal (DIY dalam angka, 2013) dan sekitar 33,60 % di antaranya adalah kelompok pekerja yang berusaha sendiri. Cakupan PBPU pada pekerja sektor informal di DIY masih sangat rendah dan peningkatannya kurang signifikan. Dari 200 responden pekerja sektor informal, mayoritas memiliki pendapatan 2x dari UMR Provinsi DIY, jadi tidak semuanya miskin. Pekerja kasar adalah kelompok yang paling rendah kesadarannya untuk ikut JKN, padahal paling rentan terhadap kecelakaan kerja.
Hasil studi menunjukkan bahwa responden memahami pentingnya JKN namun cenderung menunda kepesertaan karena menganggap manfaat dan prosedurnya rumit, serta pemahaman yang minim. Keluhan dari peserta menular ke masyarakat yang belum menjadi peserta dan menambah keengganan untuk menjadi peserta. Untuk meningkatkan kesadaran pekerja informasl, rekomendasinya adalah memperbaiki sarana dan konten prioritas sosialisasi, program layanan tambahan, penanganan keluhan masyarakat dan kajian dan monev JKN lebih lanjut.
Presenter kedua – Evindiyah PD, mahasiswa Prodi S3 FKM UI – membawakan makalah berjudul "Analisis Tingkat Penutupan Biaya Klinik Swasta "X" terhadap Pembayaran Kapitasi BPJS di Kota Depok Tahun 2015 "Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih sangat kurangnya penilaian yang terkait dengan masalah penutupan biaya klinis. Tujuannya mendapatkan Angka Penutupan Biaya (Cost Recovery Rate/CRR) dari kapitasi yang dibayarkan BPJS terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Klinik Swasta "X" di Kota Depok Tahun 2015. Hasilnya, Klinik X mendapatkan penerimaan dari kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS sebesar Rp.10.000,- per peserta per bulan selama 6 bulan (bulan Januari –Juni 2015). Total penerimaan kapitasinya adalah Rp.1.426.250.000,- Untuk Cost Recovery Rate (CRR) atau Angka Penutupan Biaya) selama 6 bulan adalah 119,1%, artinya penerimaan yang didapat bisa menutup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk melayani peserta BPJS ditambah klinik mendapatkan surplus (keuntungan)
Presenter ketiga – Ghofur Hariyono, FK UGM – berjudul "Implementasi Prosedur Admisi Pasien Rawat Inap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di RSUD Dr. Soetomo Surabaya". Sejak JKN, pasien rawat inap yang menjadi peserta JKN menunjukkan trend yang meningkat, padahal sistem rujukan berjenjang sudah diatur oleh pemerintah. Ternyata, pasien peserta JKN yang berobat langsung mengakses fasilitas kesehatan lanjutan ketika membutuhkan layanan kesehatan, seharusnya pasien mematuhi sistem rujukan secara terstruktur dan berjenjang. Manajemen rumah sakit kurang responsif terhadap kebutuhan sarana prasarana, seharusnya menyediakan kecukupan tempat tidur, ruang tunggu, dan sarana informasi yang cukup memadai sesuai dengan kebutuhan tempat tidur pasien yang naik kelas perawatan. Pengelolaan sistem informasi rujukan yang belum terpadu antara fasilitas kesehatan yang merujuk pasien dengan fasilitas kesehatan yang dituju.
"Program Prolanis dalam Penerapan Kebijakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Bengkulu" yang dibawakan oleh Henni Febriawati adalah presentasi terakhir pada sesi paralel ini. Puskesmas dikatakan berhasil bila angka kontak tinggi, angka rujukan non spesialistik rawat jalan rendah dan pengelolaan prolanis yang efisien dan efektif. Harapan tehadap peran puskesmas mencakup bukan hanya melayani kunjungan pasien sakit melainkan juga melayani kunjungan masyarakat sehat.
Ada 20 puskesmas di kota Bengkulu, hanya 6 yang masuk ke zona prestasi (skor sama dengan atau lebih dari 99%) dan zona aman (skor sama dengan atau lebih dari 50%). Senam rutin dan edukasi dilakukan oleh puskesmas-puskesmas yang masuk zona aman dan prestasi. Puskemas yang tidak masuk dalam zona aman dan zona prestasi oleh presenter digolongkan ke dalam zona merah. Kelompok puskesmas ini memiliki sarpras pendukung yang masih terbatas, Masyarakat tidak mengikuti keg. Preventif dan Promotif serta tidak patuh prolanis dan masyarakat belum terdata sbg penderita DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini: 1) Pembayaran kapitasi puskesmas di Kota Bengkulu masih sangat jauh dari target, yaitu 75% puskesmas % pembayarannya dibawah 100% dan 2) besaran kapitasi rata-rata puskesmas kota Bengkulu Rp. 5.125,- dari maksimal Rp. 6.000,- . dana kapitasi (pea).
Reporter : Putu Eka Andayani, M. Kes
Oral 5
Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 2
Juanita
Evaluasi klaim JKN di RSUD dan RS swasta di Sumatera Utara
Penelitian berfokus pada klaim JKN di RSUD dan RS Swasta, merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data klaim JKN 6 RS di daerah Sumatera Utara tahun 2014 – 2016. Menarik, di RS Sibolga pembayaran dilakukan > dari yang diklaimkan. Di semua sample RS, terlihat trend peningkatan klaim. Klaim di RS swasta juga lebih besar daripada RSUD. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak RS di daerah Sumatera Utara yang kurang lengkap peralatannya cenderung merujuk pasiennya ke RS swasta. Data juga menunjukkan bahwa mayoritas adalah pasien JKN mandiri dengan penyakit kronis. Ini merupakan peluang penghematan karena PTM sebenarnya dapat dicegah dengan promotif preventif.
Kasman Makkasau
Kerugian Ekonomi vs Asuransi Kesehatan
Argumentasi yang diajukan adalah pentingnya melakukan advokasi khususnya kepada pimpinan daerah. Caranya dengan belajar dari sektor lain (dalam hal ini Pekerjaan Umum) yaitu menunjukkan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan. Misalnya, disinyalir ada kerugian ekonomi di Kabupaten Polman pada tahun 2013 sebesar Rp.62 milyar. Artinya, pemerintah daerah harus bertindak untuk mencegah potensi kerugian ini. Hasilnya, program jaminan kesehatan Provinsi Sulbar diterapkan dengan bekerja sama dengan PT Askes untuk memastikan bahwa pesertanya tetap mendapat pelayanan walaupun tengah berada di provinsi lain.
Maxsi Irmanto
Implementasi JKN pada Puskesmas di Provinsi Papua Tahun 2016
Penelitian yang dilakukan di Jayapura (5 Puskesmas) dan Jayawijaya (8 Puskesmas) tahun 2016 ini menunjukkan beberapa masalah dalam pemanfaatan dana kapitasi yang dipersepsikan kurang fleksibel karena sudah ditentukan proporsinya, dan ada penambahan beban kerja pegawai Puskesmas yang tidak diikuti oleh penambahan staf. Di samping itu, pemanfaatan dana Non kapitasi juga dirasa belum optimal karena pengajuannya diberi persyaratan administrasi yang rumit. Selain itu, banyak penduduk yang belum memiliki kartu BPJS. UKM masih bertumpu pada dana BOK dan Otsus. Disarankan bahwa pelaksanaan JKN harus mempertimbangkan aspek kewilayahan khususnya mempertimbangkan faktor geografis dan indeks kemahalan.
M. Faozi Kurniawan
Supply Side Kesehatan dan Equity
Penelitian memperlihatkan bahwa jumlah spesialis dasar per provinsi menunjukkan pertumbuhan besar masih terpusat di DKI dan Jawa Barat diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pola yang sama terulang di semua jenis profesi termasuk bidan dan perawat. Pertumbuhan Puskesmas juga masih tertinggi di Jawa, diikuti oleh Sumatera. Sementara untuk RS, walaupun pertumbuhannya tinggi tapi ternyata pertumbuhan yang paling pesat terjadi di sektor swasta. Begitu pula dalam hal tempat tidur (TT), walaupun TT sektor publik masih jauh lebih banyak, tetapi pertumbuhannya yang pesat tetap di sektor swata. Akibatnya dapat diperkirakan bahwa klaim JKN masih tertinggi di Jawa. Ditekankan bahwa selama pembangunan infrastruktur kesehatan belum menjadi prioritas di RPJMN dan RPJMD maka sisi supply masih akan mengalami kekurangan.
Endang Sutisna
Monitoring dan Evaluasi JKN di Karanganyar dan Kota Surakarta
Penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan nyata dengan pengetahuan tentang BPJS. Terdapat perbedaan yang sangat nyata mengenai persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap dampak sistem kapitasi pada kualitas pelayanan menurut perdesaan dan perkotaan. Disinyalir ada pula persepsi bahwa sistem kapitasi memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan layanan.
Isniati
Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta JKN di Puskesmas Kota Padang tahun 2016
Penelitian cross-sectional dengan kerangka servqual menunjukkan bahwa beberapa atribut masih membutuhkan perhatian, yaitu atribut kenyamanan ruang tunggu pasien, jadwal ketepatan jadwal pelayanan, kecepatan tindakan nakes dalam menangani pasien, keramahan nakes dan perhatian nakes terhadap keluhan pasien.
Andi N. Amin
Kemampuan stakeholder dalam melaksanakan JKN di RSUD Yowari Kabupaten Papua
Terlihat dari hasil wawancara (pada tahun 2015) faskes masih belum mampu memberikan layanan yang komprehensif misalnya dari 145 TT hanya 121 yang bisa digunakan, ambulans ada 2 namun yang bisa beroperasi hanya 1. Selain itu, belum ada regulasi pelaksanaan JKN di Kabupaten Jayapura, terutama karena Kartu Papua Sehat masih menjadi prioritas dibanding JKN. Selain itu, dari sisi persediaan obat dan alkes, banyak masih kekosongan akibat perencanaan yang digunakan masih didasarkan pada tahun sebelumnya. Selain itu, mereka belum memahami cara mencari dan membeli obat dengan E-katalog. Dari sisi SDM, karena tidak ada dokter spesialis, pasien harus dirujuk. Tenaga bidan dan perawat sangat minim. Sosialisasi yang sudah dilakukan dinilai kurang karena pelaksanaan sosialisasi tidak berarti bahwa informasi sudah dipahami.