Governance of National Health Insurance in Five Asian Countries:

 China,  Mongolia,  Philippines,

 Thailand, and  VietNam


Introduction from the organizer

           While there is no fundamental difference in performing health-financing functions between a tax-based and insurance-based mechanism, there are differences in the institutional design for governing the system. In Asia Pacific, countries like China, Mongolia, the Philippines, Thailand, and Viet Nam have chosen health insurance as the main financing scheme for their health systems. The development of a national health insurance system is a complex task. It involves multiple stakeholders. Who is doing what and how are the common questions that need to be asked for the institutional design of national health insurance systems. There is no doubt that the political context, the existing government structure and the history of insurance development have impact on the institutional design of the national insurance system, but is there a particular organizational arrangement function that is better than others?

In this session, we invited policy makers and international experts as panel members to debate on the key institutional design of national health insurance on enrolment and contribution rates, funds management, benefit package, and payment methods to providers: which agency is in the best position to make decisions? Which agency to implement the regulations? Are those making decisions accountable for the consequences? Are those implementing given the authorities they need to be responsible?


 Sesi ini merupakan kerjasama antara WHO Western Pacific Regional Office (WPRO) dan Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne. Pembicara dalam sesi ini Qingyue Meng (Peking University) ; Tsolmongerel Tsilaajav (Ministry of Health Mongolia), Ramon Pedro Paterno (University of the Philippines), Walaiporn Patcharanarumol (International Health Policy Program), dan Tran Van Tien (Ministry of Health dari Vietnam). Panelis yang terlibat yaitu Soonman Kwon (Seoul National University), John Langenbrunner (AusAID), Viroj Tangcharoensathien (International Health Policy Program, Thailan), Robert Yates (WHO), dan Peter Annear (Nossal Institute).

function-of-nation-health-insuranceSesi ini dimoderatori oleh KeXu, dari WHO WPRO Manila  yang menguraikan metode untuk membahas Governance Asuransi Kesehatan Nasional di 5 negara

Model ini menyatakan bahwa tata pamong dan manajemen bertujuan untuk mencapai equity, efisiensi dan kelanggengan Asuransi Kesehatan Nasional. Ada tiga hal kunci yang perlu diperhatikan dalam pengaturan ini yaitu “Collection”, “Pooling” dan “Purchasing”. Pengamatan dalam bentuk aturan hukum, struktur organisasi, dan peran stakeholder dilakukan di berbagai negara.

Bagaimana masalah di negara masing-masing dan apa usulan kebijakannya? Stakeholder Asuransi Kesehatan Nasional mencakup banyak kementerian, tidak hanya Kementerian Kesehatan saja (terjadi di kelima negara). Hubungan antar stakeholder sangat kompleks dengan berbagai variasi sistem Collection, Pooling, dan Purchasing. Disamping itu, di berbagai negara seperti China dan Thailand ada lebih dari satu skema asuransi kesehatan.

Tantangan di China adalah: rancangan sistem yang terpecah yang berakibat pelaksanaan dan manajemen skema asuransi yang terpecah pula. Disamping itu ada pooling dana yang rendah. Dari sisi benefit tindakan masih terjadi keputusan pemilihan yang tidak berbasis bukti. Situasi diperburuk dengan rendahnya kemampuan pengelolaan serta buruknya reformasi sistem pembayaran. Untuk itu di China diusulkan beberapa kebijakan antara lain: pertama, menyatukan skema tiga sistem asuransi kesehatan; kedua, menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, serta ketiga, memperkuat reformasi sistem pembayaran.

Di Mongolia, fragmentasi skema sistem asuransi kesehatan juga terjadi. Keputusan dalam sistem asuransi kesehatan nasional di Mongolia sering tidak jelas. Telah terjadi suatu kesulitan pengambilan keputusan karena ada dua Kementerian yang terlibat yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pengembangan Penduduk dan Kesejahteraan Sosial. Kementerian Kesehatan akhirnya hanya bertanggungjawab pada rancangan manfaat, pembayaran tarif dan seleksi penyedia pelayanan. Akibat masalah-masalah ini cukup berat. Masyarakat kehilangan kepercayaan karena manfaat tidak jelas dan mutu pelayanan kesehatan tidak memuaskan. Pengeluaran dari kantong pasien meningkat menjadi 41 persen dari total pengeluaran kesehatan pemerintah. Cakupan turun menjadi 85 persen di tahun 2010. Kemudian, diusulkan agar di Mongolia ada reformasi dengan satu sistem pembelian (single purchaser), meningkatkan kemampuan organisasi asuransi kesehatan, memilah dan membagi penyedia dana dengan pemberi pelayanan, meningkatkan otonomi insitusi asuransi kesehatan nasional, memperjelas struktur pemerintahan dalam asuransi kesehatan, serta memperjelas peran dan tanggung-jawab stakeholder.

Filipina yang telah lama mengembangkan Asuransi Kesehatan Nasional dalam bentuk single payer mempunyai banyak isu Governance. Isu pertama yaitu kenyataan bahwa Asuransi kesehatan nasional menjadi modal politik. Setiap tahun Presiden Phil Health berganti. Pertanyaan pentingnya adalah kemana Phil Health bertanggung-jawab? Apakah kepada Presiden dan Kongres ataukah ke masyarakat Filipina. Phil Health masih mengalami masalah dalam transparansi dan kelangsungan secara pembiayaan. Di sisi informasi, masih terjadi problem untuk merumuskan kebijakan dan manfaat. Berdasarkan rancangan, terdapat masalah ketidakmampuan fiskal untuk membiayainya. Akibatnya, premi yang dibayarkan sangat rendah. Lalu, diusulkan agar di masa mendatang ada kerjasama lebih baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membiayai mereka yang miskin oleh pusat dan pekerja informal oleh pemerintah daerah. Cakupan manfaat diharapkan ditingkatkan dan biaya yang discover diharapkan ditingkatkan pula, dan diharapkan tidak ada lagi co-payment.

Di Thailand, isu utama adalah adanya tiga skema Asuransi Kesehatan Nasional yang sangat berbeda benefit-nya. Sistem jaminan untuk pegawai negeri pengeluarannya adalah 366 US$ pertahun, sementara Social Health Insurance sebesar 71 US$ setahun dan Universal Coverage sebesar 97 US$ setahun per orang. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana meningkatkan efisien dan equity dengan adanya tiga skema ini. Dalam usaha mengatasi masalah ini ada berbagai isu kebijakan yang dapat dipilih: (1) pengaturan struktur dan governing body dari tiga skema asuransi kesehatan; (2) peningkatan dan pemantapan kemampuan institusi di ketiga skema; (3) kerjasama yang lebih baik antara tiga pembeli pelayanan; dan (4) keeratan hubungan antar stakeholder ketiga skema.

Vietnam memaparkan isu governance secara rinci. Dalam Collection ada kepatuhan rendah di sektor informal (hanya 50 persen cakupannya). Vietnam Social Security tidak mempunyai wewenang untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat. Diharapkan ada kebijakan baru untuk meningkatkan kewenangan ini. Dalam memasukkan anggota terjadi fragmentasi dimana terlalu banyak kategori keanggotaan. Masyarakat dapat menjadi anggota secara perorangan. Akibatnya terjadi cakupan yang rendah dan overlapping. Fragmentasi dalam proses menjadi anggota. Usulan kebijakan di sini adalah keanggotaan tidak berbasis individu. Isu lain dalam pengumpulan dana adalah besaran kontribusi. Besaran kontribusi ditetapkan terlalu rendah akibatnya pemasukan tidak cukup sehingga pasien harus membayar dari kantong untuk mendapat pelayanan yang dibutuhkan. Kebijakan untuk meningkatkan premi tidak mungkin dalam waktu dekat sehingga pengeluaran harus dikurangi dengan cara meningkatkan efisiensi dan berbagai tindakan penghematan. Dalam proses pengumpulan ini sebaiknya masyarakat yang nyaris miskin diberi subsidi penuh.

Masih di Vietnam, dalam pooling sebenarnya hanya satu dana asuransi kesehatan. Akan tetapi dalam praktek ternyata banyak sumber dana untuk pelayanan kesehatan. Dalam pembelian, paket manfaat obat dibayar berdasarkan daftar yang berbasis opini saja. Rumah sakit tersier dan propinsi mengembangkan sendiri daftar obat masing-masing. Diharapkan muncul Health Technology Assessment untuk mengurangi masalah ini. Dalam purchasing setiap pemerintah propinsi menetapkan sendiri tarifnya berbasis konsultasi/negosiasi dengan VSS dalam jangkauan tarif maksimal. Penetapan tarif pelayanan tidak berbasis pada biaya riil. Diharapkan ada kebijakan yang memperkuat kemampuan menghitung biaya dan penggunaannya untuk penetapan tarif. Masalah lain yang muncul yaitu kurangnya mekanisme untuk mengendalikan harga obat. Di sisi pembayaran untuk tenaga, masih didominasi oleh Fee-For-Service. Ada kekurangan transparansi pada pembayaran dokter.

Dalam hal audit, secara hukum dana asuransi kesehatan harus diaudit oleh Badan Auditor Pemerintah setiap dua tahun sekali. Akan tetapi seluruh laporan audit bersifat rahasia. Tidak ada standar jelas untuk laporan kecuali laporan tahunan VSS. Diharapkan kebijakan mendapat untuk membuat audit lebih transparan ke masyarakat dengan laporan yang lebih baku.

Setelah paparan dilakukan diskusi oleh panelis. Pada intinya ada berbagai hal yang dibahas pertama, isu utama adalah fragmentasi skema di berbagai negara dan kekurangan dana di berbagai negara. Kedua, akibat fragmentasi adalah equity seperti yang terjadi di China dan Thailand. Manfaat untuk pegawai negeri sangat berbeda. Dampak di negara lain adalah pertikaian antar Kementerian. Ketiga, masalah kemauan politik dan kemampuan fiskal dalam asuransi kesehatan nasional menjadi isu penting. Dengan kemampuan fiskal lemah dan kemauan politik rendah terjadi pelayanan yang bermutu rendah. Keempat, kemampuan mengelola sistem asuransi kesehatan masih rendah. Kelima, diyakini bahwa single payer lebih baik, namun agak sulit di berbagai negara untuk dilakukan. Keenam, perlunya independensi organisasi asuransi kesehatan nasional. Hal ini perlu didukung dengan dukungan politik yang kuat.

Penulis : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD.