Rumah Sakit saat ini ditekan dari berbagai kondisi, meliputi kompetisi, perubahan regulasi, pemenuhan kebutuhan pasien, kepuasan internal dan masyarakat, serta peningkatan mutu layanan kesehatan. Perubahan regulasi yang cukup banyak menjadi keresahan bagi RS ini adalah pemenuhan terhadap kelas standar atau KRIS yang berfungsi sebagai pemerataan layanan kesehatan yang layak bagi seluruh masyarakat. Pada kegiatan ini, FORNAS JKKI membahas topik kebijakan pelayanan rujukan dari persepktif KRIS yang dipandu oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM., M.Kes akan meninjau lebih lanjut bagaimana gap antara standar nasional dan bagaimana realitas dilapangan dari KRIS, pembiayaan dan efisiensi yang dilakukan oleh rumah sakit dengan adanya penerapan KRIS, implikasi kebijakan KRIS terhadap kebutuhan sumber daya manusia dan beban kerja dengan melihat studi kasus di rumah sakit pemerintah dan pendidikan. Selanjutnya, akan dibahas bagaimana penerapan KRIS di masa krisis seperti ketika pandemi dan strategi promosi yang dilakukan untuk membangun persepsi positif di masyarakat, serta praktik baik yang dilakukan di masing-masing rumah sakit dalam melaksanakan KRIS.
Sesi Paparan
Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr. Sp.DVE., Subsp.DAI., FINSDV., FAADV., MARS membahas tentang penerapan KRIS dengan sudut pandang di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Jika mengacu pada kebijakan pemerintah, setiap rumah sakit wajib memenuhi 60% tempat tidur sesuai standar KRIS termasuk dengan adanya ventilasi yang memadai, partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam, hingga outlet oksigen. Standar tersebut membawa konsekuensi besar terhadap kebutuhan SDM, beban kerja, dan tata ruang rumah sakit. Berdasarkan perhitungan terakhir, RSUD Dr. Soetomo memiliki 403 tempat tidur yang sesuai atau mendekati KRIS, sementara masih kekurangan 75 hingga 163 tempat tidur agar mencapai target.
Dampak implementasi KRIS terasa pada penurunan kapasitas rawat inap di sejumlah rumah sakit perujuk, yang menyebabkan meningkatnya rujukan ke RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier. Hal ini mengakibatkan perlu adanya penyesuaian komposisi tenaga keperawatan, memanfaatkan fleksibilitas rotasi SDM berbasis BOR (Bed Occupancy Rate), dan memastikan perawat memiliki kompetensi setara sebelum rotasi antar unit. Namun, dibalik kesuksesan penerapan tersebut ternyata juga masih terdapat tantangan administratif akibat penerapan KRIS, dimana beban kerja menjadi meningkat baik secara teknis maupun administratif.
Pembicara kedua adalah Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B.Subsp.Onk(K) yang membahas mengenai Pilihan Strategi dalam Menjalankan Kris Dimasa Krisis dengan menyoroti pentingnya membangun sistem tangguh di tengah kondisi pandemi, keterbatasan logistik, dan ketimpangan layanan antar kelas rawat. Selain itu, rumah sakit bukan hanya sebagai padat karya, melainkan juga padat modal dan padat teknologi. Disisi lain masih terjadi disparitas pelayanan antara kelas VIP dan kelas III, serta kesenjangan fasilitas antar rumah sakit daerah. Untuk itu, optimalisasi aset dan pengembangan sumber daya manusia menjadi kunci, dimana human capital, social capital, dan structural capital adalah tiga pilar yang membuat rumah sakit bisa berdaya saing sekaligus berkeadilan. RSA UGM melakukan strategi dengan menekankan pembentukan Hospital Incident Command System (HICS), peningkatan kapasitas SDM, serta pemulihan layanan rutin melalui evaluasi dampak dan revisi kebijakan. Di sisi infrastruktur, rumah sakit akademik ini menargetkan pemenuhan minimal 60% standar KRIS dengan tambahan fasilitas seperti kamar mandi dalam tiap ruang rawat dan outlet gas medis di gedung Sadewa dan Srikandi. Namun, terdapat problem berkepanjangan berupa biaya investasi awal, penyesuaian sistem tarif INA-CBG’s, dan perubahan budaya organisasi. Situasi ini digambarkan sebagai “segitiga Bermuda” yang perlu dihadapi dengan kreativitas dan kepemimpinan berintegritas.
Paparan terakhir dari dr. Yayu Sri Rahayu, MM membahas mengenai Praktik Baik RS yang Sudah Melaksanakan KRIS ditinjau dari Rumah Sakit Santosa Bandung Kencana (SHBK) yang telah menerapkan KRIS secara menyeluruh sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024. Dari total 487 tempat tidur yang tersedia, sebanyak 318 tempat tidur telah memenuhi 12 kriteria KRIS, melampaui batas minimal 40 persen yang ditetapkan bagi rumah sakit swasta.
Penerapan KRIS di Rumah Sakit Santosa meliputi pemenuhan aspek infrastruktur dan pelayanan, diantaranya pertukaran udara 6–13 kali per jam dan pencahayaan ruang 250–300 lux, pemberian jarak antar tempat tidur minimal 1,5 meter dengan maksimal empat tempat tidur per ruang, layout kamar mandi dalam ruang rawat yang ramah disabilitas dengan dilengkapi handrail dan emergency bell, serta setiap tempat tidur yang dilengkapi stop kontak ganda, bel perawat, dan outlet oksigen. Untuk meningkatkan efisiensi pelayanan, juga telah diterapkan sistem digitalisasi layanan melalui bed management, monitoring terintegrasi, serta aplikasi penjadwalan operasi menggunakan Santosa Validasi. Penerapan KRIS menjadi komitmen Rumah Sakit Santosa untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman, layak, dan bermartabat bagi seluruh peserta JKN.
Sesi Diskusi
Dalam sesi diskusi, para peserta menyoroti fenomena munculnya berbagai kebijakan baru di rumah sakit yang menuntut ketegasan dalam pelaksanaan program. Beberapa rumah sakit memilih untuk berpartisipasi apabila mampu memenuhi ketentuan program, sementara sebagian lainnya memilih mundur dari kerja sama, termasuk dalam kemitraan dengan BPJS Kesehatan.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan RSUD Dr. Soetomo menegaskan bahwa rumah sakit tetap berkomitmen menjadi mitra BPJS Kesehatan dengan mengedepankan efisiensi operasional. Salah satu langkah yang dilakukan ialah efisiensi farmasi, melalui penerapan batas minimum dan maximum stock level untuk pengendalian ketersediaan obat. Meski demikian, tantangan di lapangan masih muncul, terutama terkait kekurangan obat akibat perencanaan yang belum optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan konsolidasi antarunit, kepemimpinan yang aktif turun ke lapangan, dan kekompakan dalam pengambilan keputusan.
Isu lain yang dibahas adalah penyesuaian Bed Occupancy Rate (BOR). Tempat tidur yang tidak digunakan tetap dapat diaktifkan kembali dalam kondisi khusus, seperti saat terjadi pandemi atau lonjakan pasien. Terkait pelaporan dan manajemen komunikasi, dibahas pentingnya membangun budaya komunikasi yang fleksibel agar mampu mengatasi sekat birokrasi, terutama pada masa krisis. RS Santosa Bandung mencontohkan inovasi pada masa pandemi dengan sistem pendaftaran pasien yang dibedakan antara pasien COVID-19 dan non-COVID-19.
Diskusi ini juga menyoroti digitalisasi sebagai kunci efisiensi, di mana para direktur rumah sakit menekankan pentingnya penetapan skala prioritas digitalisasi dan koordinasi lintas tim agar inovasi teknologi dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.
Sesi Penutup :
Seminar diakhiri dengan pesan untuk seluruh RS di Indonesia bahwa keberhasilan transformasi layanan kesehatan bergantung pada kolaborasi, efisiensi, dan inovasi digital. Penerapan KRIS menuntut manajemen yang adaptif serta kepemimpinan yang responsif terhadap tantangan lapangan. Efisiensi farmasi, konsolidasi lintas unit, dan digitalisasi layanan menjadi strategi utama untuk menjaga mutu dan keberlanjutan pelayanan. Harapannya, RS dapat terus memperkuat koordinasi dan budaya komunikasi agar transformasi sistem kesehatan berjalan efektif dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
Reporter :
Karlina Dewi Soekarno (Divisi Public Health, PKMK FK-KMK UGM)
Reportase Terkait:
- Topik 1 Kebijakan membangun sistem kesehatan
- Sesi Pleno I Omnibus Law Kesehatan: Antara Simplifikasi Regulasi dan Potensi Masalah Hukum
- Paralel sesi 1 Kebijakan Pelayanan Primer
- Paralel sesi 2 Kebijakan Pendanaan
- Paralel sesi 3 Kebijakan Obat
- Paralel sesi 4 Kebijakan Pelayanan Rujukan
- Paralel sesi 5 Kebijakan Pelayanan Uji Kebijakan Rencana Kesiapsiagaan Krisis Kesehatan
- Paralel sesi 6 Filantropi Kesehatan
- Paralel sesi 5 Kebijakan RIBK
- Sesi Pleno II Mengamankan Investasi Kesehatan: Strategi Pemeliharaan Alkes KJSU di Daerah dengan Akses Terbatas
- Topik 2 Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023
- Topik 3 Kebijakan climate resilient dan low carbon health