Perubahan iklim kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Dampaknya tidak hanya meningkatkan risiko berbagai penyakit, melainkan juga menekan kapasitas sistem kesehatan nasional yang meliputi struktur pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, hingga infrastruktur fasilitas kesehatan. Di sisi lain, sektor kesehatan juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui konsumsi energi, limbah medis, serta rantai pasok farmasi dan alat kesehatan yang berjejak karbon tinggi.
Menjawab tantangan tersebut, topik “Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System” diangkat dalam hari ketiga Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025 yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2025 di Auditorium Gedung Tahir FK-KMK UGM. Kegiatan ini menjadi ruang dialog strategis untuk membahas arah transformasi sistem kesehatan menuju arah yang lebih tangguh terhadap iklim (climate-resilient) dan rendah karbon (low carbon).
Pembukaan
Acara pembukaan dipandu oleh Ubaid Hawari, S.IKom selaku Master of Ceremony (MC) dilanjutkan dengan sambutan dan pengantar kegiatan oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes, Ph.D, selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM dan Koordinator Topik Kebijakan Climate-Resilient dan Low Carbon Health System. Dalam sambutannya, Lutfan, PhD menegaskan pentingnya pembahasan isu climate resilience dan low carbon health system sebagai bagian dari agenda global sekaligus tanggung jawab nasional dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Lutfan menyampaikan bahwa perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi sektor kesehatan yang harus direspons secara komprehensif melalui kolaborasi lintas sektor. Pihaknya berharap kegiatan ini bisa menjadi wadah pembelajaran bersama untuk merespons isu dampak perubahan iklim bagi sistem kesehatan.
Pengantar
“Policy and Research to Advance Climate-Resilient and Low Carbon Health System in Indonesia”
Sesi pengantar dibuka oleh Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D, FRSPH, Dekan FK-KMK UGM, yang menekankan pentingnya peran sektor kesehatan dalam menghadapi krisis iklim. Prof Yodi mengawali dengan kisah inspiratif dari Peru tentang seekor burung kecil. Saat hutan tempatnya tinggal dilanda kebakaran, burung kecil itu terus terbang bolak-balik dari sungai untuk membawa air dengan paruh mungilnya, berusaha memadamkan api. Saat hewan lain menghina karena usahanya dianggap sia-sia, burung tersebut menjawab, “I’m just trying to do the best I can.”
Prof. Yodi menyampaikan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan, termasuk meningkatnya kematian akibat gelombang panas, kekeringan yang berkepanjangan, dan meluasnya penyakit seperti demam berdarah. Data Lancet Countdown on Health and Climate Change 2025 menunjukkan bahwa ancaman ini kini nyata dan semakin kompleks. Pihaknya juga menyoroti keputusan World Health Assembly tahun 2024 yang menetapkan Global Action Plan on Climate Change and Health, menegaskan pentingnya sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim dan rendah karbon.
Prof Yodi menegaskan bahwa banyak peluang kontribusi dapat dilakukan, termasuk melalui riset, asesmen kerentanan fasilitas kesehatan, pengembangan rencana aksi nasional, inovasi pendidikan tenaga kesehatan, hingga pemetaan sumber emisi karbon dari rumah sakit dan puskesmas. Menurutnya, berbagai topik ini dapat diangkat dalam riset mahasiswa, termasuk di tingkat magister, untuk memperkuat basis pengetahuan nasional dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim.
Prof. Yodi mengajak akademisi, peneliti, dan tenaga kesehatan untuk mengambil peran nyata melalui riset, advokasi kebijakan, dan inovasi layanan kesehatan berkelanjutan. Menutup sesinya, pihaknya menumbuhkan kembali semangat kolektif dengan mengutip Jane Goodall bahwa “real hope requires action and engagement.”
Sustainable Health System Benchmark from Australia’s Best Practice
Bertugas sebagai moderator pada sesi pertama adalah Annisa Ristya Rahmanti, S.Gz, Dietisien, MS., Ph.D dengan narasumber Dr. Anthony Sunjaya, Senior Lecturer di University of New South Wales (UNSW) Sydney, yang memaparkan topik “Building Sustainable Health Systems: Learnings from Australia and Other Settings.” Dr. Anthony menyoroti fakta bahwa sistem kesehatan dunia berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, dengan 71% emisi berasal dari rantai pasok (scope 3), mencakup transportasi, produksi alat medis, hingga konsumsi energi rumah sakit. Dr. Anthony menjelaskan bahwa di Australia telah menerapkan strategi komprehensif yang berfokus pada empat area utama: resiliensi sistem kesehatan terhadap iklim, dekarbonisasi sistem kesehatan, kolaborasi internasional, serta penerapan pendekatan health in all policies. Strategi tersebut mendorong efisiensi energi di fasilitas kesehatan, penggunaan transportasi rendah emisi, pengurangan limbah medis, serta penerapan green procurement dalam rantai pasok.
Dr Anthony juga memaparkan contoh inovatif dari sektor kesehatan Australia yang berhasil menurunkan jejak karbon, seperti penggunaan AI-based diabetic eye screening yang terbukti menghasilkan emisi karbon lima kali lebih rendah dibandingkan pemeriksaan tatap muka konvensional. Meski demikian, Dr. Anthony mengingatkan bahwa teknologi seperti kecerdasan buatan juga memiliki carbon footprint yang perlu dikendalikan dengan penggunaan algoritma hemat energi dan infrastruktur berbasis energi terbarukan.
“Untuk membangun sistem kesehatan berkelanjutan, kita perlu menyeimbangkan antara inovasi digital dan tanggung jawab lingkungan,” ujarnya, sembari menegaskan bahwa prinsip keadilan kesehatan, One Health, dan planetary health harus menjadi dasar kebijakan kesehatan masa depan.
Sesi Diskusi
Pada sesi diskusi, peserta menyoroti bahwa kegiatan perjalanan ke fasilitas kesehatan juga menyumbang emisi gas. Beberapa peserta mengakui bahwa kesenjangan pengetahuan dan kesiapan di Indonesia masih menjadi tantangan utama. Topik lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah Australia memfasilitasi kolaborasi lintas disiplin dan lintas sektor dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh dan rendah karbon. Pendekatan tersebut dinilai dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam memperkuat sinergi antara akademisi, pembuat kebijakan, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Karena itu, penguatan kapasitas, peningkatan literasi iklim di sektor kesehatan, serta pengembangan kebijakan pendukung dinilai penting untuk mempercepat transformasi menuju sistem kesehatan yang berkelanjutan.
Arah Kebijakan Nasional Menuju Sistem Kesehatan Tangguh Iklim dan Rendah Karbon
Selanjutnya pada sesi kedua menghadirkan narasumber yaitu dr. Then Suyanti, MM (Direktur Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI) dengan dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D. (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) sebagai pembahas. Dalam paparannya, dr. Then menekankan bahwa perubahan iklim telah memperburuk risiko kesehatan di Indonesia—termasuk peningkatan kasus penyakit menular seperti malaria, dengue, dan diare, hingga penyakit tidak menular seperti PPOK dan penyakit jantung iskemik. Berdasarkan kajian WHO tahun 2023, lebih dari 1.500 desa di Indonesia tergolong sangat rentan terhadap penyakit sensitif iklim. Menyikapi kondisi tersebut, Kementerian Kesehatan telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan (RAN MAPIK) 2025–2030 sebagai pedoman implementasi di tingkat pusat hingga daerah. Kebijakan ini memperkuat 10 komponen building blocks sistem kesehatan berketahanan iklim—mulai dari tata kelola, SDM, hingga sistem informasi kesehatan—serta mendukung pencapaian SDG 3 dan SDG 13 melalui penguatan program Desa Sehat Iklim (DESI) dan Fasilitas Kesehatan Tangguh Iklim.
Sementara itu, dr. Lutfan Lazuardi menyoroti pentingnya transformasi paradigma pelayanan kesehatan agar lebih adaptif dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Beliau memaparkan bahwa sektor kesehatan berkontribusi sekitar 1,9% terhadap total emisi gas rumah kaca nasional, menunjukkan urgensi inovasi berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang diangkat adalah penerapan telemedicine dan transformasi digital hijau, yang terbukti dapat menurunkan jejak karbon sebagaimana ditunjukkan dalam riset internasional yang turut melibatkan dirinya. Selain itu, ia menegaskan bahwa strategi keberlanjutan harus meliputi transformasi, kolaborasi, dan inovasi, di mana kolaborasi lintas sektor—antara akademisi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat—menjadi kunci dalam memperkuat sistem kesehatan tangguh iklim. Mengutip seruan WHO (2023), Lutfan, PhD menutup dengan pesan kuat: “Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk menunggu. Perubahan iklim bukan ancaman masa depan, tetapi krisis hari ini yang membutuhkan aksi dari semua pihak.”
Sesi Diskusi

Pada sesi diskusi dan tanya jawab yang dimoderatori oleh dr. Ichlasul Amalia, MPH., peserta menyampaikan berbagai pandangan dan pertanyaan yang memperkaya pembahasan mengenai upaya penguatan sistem kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim di Indonesia. Salah satu peserta berbagi pengalaman tentang proyek yang telah dijalankan selama lebih dari sepuluh tahun di pesisir Madura. Peserta menjelaskan bahwa kegiatan tersebut berawal dari penanganan abrasi pantai, kemudian berkembang menjadi program kesehatan lingkungan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko perubahan iklim. Menanggapi hal tersebut, dr. Then menjelaskan bahwa Kemenkes saat ini tengah mengembangkan panduan Desa Sehat Iklim (DESI) sebagai inovasi nasional yang diharapkan menjadi model implementasi adaptasi kesehatan terhadap iklim di tingkat komunitas. Wilayah pesisir, katanya, termasuk dalam sasaran pengembangan program ini, sehingga diharapkan dapat segera diimplementasikan setelah panduannya selesai.
Selanjutnya, peserta lain menanyakan mengenai akses pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) dan strategi khusus untuk puskesmas. dr. Then menjelaskan bahwa pengajuan GCF tahun ini diharapkan dapat terealisasi pada 2026, dan peluang pendampingan terbuka untuk dinas kesehatan, rumah sakit, maupun LSM yang fokus pada isu iklim dan kesehatan. Ia juga menekankan pentingnya percepatan status BLUD bagi puskesmas agar dapat menindaklanjuti program dengan lebih fleksibel. Selain itu, Kemenkes juga mulai melakukan asesmen emisi fasilitas pelayanan kesehatan sebagai langkah awal menuju sistem rendah karbon.
Dalam sesi lanjutan, peserta menyoroti meningkatnya kasus dengue pada 2024 dan menanyakan kebijakan penguatan respons terhadap penyakit vektor seperti dengue dan malaria. dr. Then menjawab bahwa kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) kini terintegrasi dalam program Desa Sehat Iklim. Menutup diskusi, dr. Then menegaskan pentingnya edukasi, webinar, dan peningkatan literasi masyarakat dan tenaga kesehatan sebagai fondasi kesadaran iklim di sektor kesehatan.
Climate Action in Green Hospital:
Mengurangi Jejak Karbon dalam Pelayanan Kesehatan
Pada sesi ketiga yang sekaligus menjadi sesi terakhir di Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) 2025, disampaikan oleh Dr. dr. Lia Gardenia Partakusuma, Sp.PK(K), MM, MARS, FAMM (Direktur Medis PT Pertamina Bina Medika IHC) dan Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B., Subsp.Onk.(K) (Direktur Utama RSA UGM), dengan moderator yaitu dr. Srimurni Rarasati, MPH. Dalam paparannya, Dr. Lia menjelaskan bahwa sektor kesehatan berperan penting dalam krisis iklim global, karena rumah sakit menyumbang sekitar 4,4% dari total emisi karbon dunia (Health Care Without Harm, 2021). Pihaknya menjelaskan bahwa transformasi menuju green hospital bukan hanya tren, melainkan tanggung jawab moral untuk melindungi kesehatan manusia dan bumi. Mengacu pada kerangka global seperti Geneva Sustainability Centre (GSC) – IHF dan Global Green and Healthy Hospitals (GGHH), Dr. Lia memaparkan strategi menuju Net Zero Healthcare melalui efisiensi energi, pengelolaan limbah berkelanjutan, penggunaan energi terbarukan, dan penerapan green procurement. Pihaknya juga menekankan pentingnya digitalisasi, edukasi staf, dan perubahan budaya organisasi menuju perilaku hijau yang berkelanjutan.
Melengkapi sesi tersebut, dr. Darwito membagikan praktik nyata penerapan konsep green hospital di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, yang telah mengintegrasikan berbagai inovasi ramah lingkungan dalam operasionalnya. Beberapa langkah konkret meliputi pemanfaatan energi terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), sistem panen air hujan (Gama Rain) hasil kolaborasi dengan Sekolah Vokasi UGM, serta pengelolaan limbah organik dengan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk produksi pupuk dan pakan ikan. RSA UGM juga menerapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle (3R), efisiensi penggunaan air dan energi, serta pengembangan healing garden yang mendukung proses penyembuhan pasien dan meningkatkan kualitas udara. Inovasi ini tidak hanya menurunkan jejak karbon rumah sakit, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar melalui program pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular. “Green hospital adalah kebutuhan mendesak di era perubahan iklim. Rumah sakit harus menyembuhkan manusia sekaligus menjaga bumi,” tegas dr. Darwito. Kedua pembicara sepakat bahwa aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor merupakan kunci menuju sistem kesehatan yang berketahanan iklim, rendah karbon, dan berkelanjutan.
Sesi Diskusi
Sesi diskusi berlangsung dinamis dengan fokus pada penerapan konsep green hospital dan peluang memperluasnya ke berbagai lini pelayanan kesehatan. Salah satu peserta membuka sesi dengan pertanyaan menarik mengenai cara menurunkan emisi dari instrumentasi medis, yang selama ini menjadi salah satu sumber utama jejak karbon di fasilitas kesehatan. Diskusi kemudian berkembang ke konsep green hospital yang dipaparkan oleh Dr. Lia, yang mencakup beragam pilar seperti green leadership, green infrastructure, green energy, dan green procurement. dr. Darwito juga menyoroti pentingnya penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle dalam pengelolaan limbah medis maupun administrasi, termasuk penggunaan teknologi informasi untuk meminimalkan konsumsi kertas.
Selanjutnya, terdapat pertanyaan mengenai potensi green hospital sebagai sarana healing environment yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mendukung pemulihan pasien secara psikologis. Kemudian, penanya juga mendiskusikan terkait kemungkinan penerapan konsep serupa di fasilitas kesehatan lain seperti puskesmas dan klinik.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Lia menegaskan bahwa keberlanjutan di sektor kesehatan tidak terbatas pada konsep green hospital semata, melainkan mencakup pendekatan yang lebih luas yakni sustainability in healthcare — mencakup efisiensi energi, pengelolaan limbah, pola kerja yang berkelanjutan, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar. Hal ini tentunya juga mencakup lingkup klinik dan puskesmas.
Sementara itu, dr. Darwito membagikan pengalaman penerapan green hospital di RSA UGM, yang telah mengembangkan konsep green village melalui kolaborasi dengan tiga desa binaan. Inisiatif ini tidak hanya berfokus pada efisiensi energi dan pengelolaan limbah, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan lingkungan sehat dan berketahanan iklim.
Diskusi pun berakhir dengan semangat kolaboratif untuk memperluas praktik hijau di seluruh sistem kesehatan Indonesia.
Penutup
Melalui forum ini, para akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan besar bagi kesehatan global yang menuntut aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor. Forum ini menyoroti pentingnya transformasi sistem kesehatan menuju ketangguhan iklim dan rendah karbon melalui kebijakan adaptif, riset berbasis bukti, inovasi teknologi hijau, serta penerapan green hospital yang efisien dan berkelanjutan. Upaya ini tidak hanya melindungi kesehatan manusia dari dampak krisis iklim, tetapi juga memperkuat peran sektor kesehatan sebagai penggerak utama.
Reporter:
- dr. Tania Prima Auladina, Fadliana Hidayatu Rizky Uswatun Hasanah, S.Tr.Keb, Bdn. MPHM
- Nasyfa Amelia A.Md.M
Reportase Terkait:
- Topik 1 Kebijakan membangun sistem kesehatan
- Sesi Pleno I Omnibus Law Kesehatan: Antara Simplifikasi Regulasi dan Potensi Masalah Hukum
- Paralel sesi 1 Kebijakan Pelayanan Primer
- Paralel sesi 2 Kebijakan Pendanaan
- Paralel sesi 3 Kebijakan Obat
- Paralel sesi 4 Kebijakan Pelayanan Rujukan
- Paralel sesi 5 Kebijakan Pelayanan Uji Kebijakan Rencana Kesiapsiagaan Krisis Kesehatan
- Paralel sesi 6 Filantropi Kesehatan
- Paralel sesi 5 Kebijakan RIBK
- Sesi Pleno II Mengamankan Investasi Kesehatan: Strategi Pemeliharaan Alkes KJSU di Daerah dengan Akses Terbatas
- Topik 2 Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023
- Topik 3 Kebijakan climate resilient dan low carbon health