Reportase Kebijakan Penetapan Daerah Prioritas (Lokus) Sebagai Upaya Distribusi Fasilitas Kesehatan Yang Berkeadilan

7 Januari 2021

ojikPKMK – Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK – KMK UGM (7/1/2021) menyelenggaraka seri ke-4 Forum Kebijakan JKN Bagi Akademisi dan Pemangku Kepentingan dengan judul “Kebijakan Penetapan Daerah Prioritas (Lokus) Sebagai Upaya Distribusi Fasilitas Kesehatan Yang Berkeadilan”. Berdasarkan tema forum dan judul, diskusi akan membahas tentang, Analisis Situasi Pelaksanaan Program JKN di Provinsi Bengkulu, Akses Layanan Kesehatan, Kebijakan JKN di Provinsi Bengkulu serta memberikan rekomendasi untuk mendukung penyelenggaraan JKN yang lebih optimal khususnya di Provinsi Bengkulu.

Pemantik diskusi adalah Dr. Jon Hendry Nurdan, M.Kes selaku Akademisi Universitas Dahesan Provinsi Bengkulu. Selain itu, terdapat pula pembahas dari BPJS Kesehatan Kedeputian III (Sumatera Selatan, Bangka belitung dan Bengkulu) dan Gubernur Provinsi Bengkulu. Diskusi difasilitasi oleh M. Faozi Kurniawan.

video

Pengantar

Mengawali diskusi, moderator memberikan kesempatan kepada Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, PhD untuk memberikan kata pengantar, disampaikan bahwa pemerataan fasilitas kesehatan merupakan isu penting dalam forum yang membutuhkan banyak pembahasan yang detil terkait subtansi masalah dan tantangan. Dari pengantar Prof Laksono menjadi pembuka paparan narasumber, pembahas dan pemantik bagi peserta dalam diksusi.

video

Pemantik

jonhJon Hendry Nurdan memaparkan materi tentang Kebijakan Penetapan Daerah Prioritas (Lokus) Sebagai Upaya Distribusi Fasilitas Kesehatan Yang Berkeadilan, disampaikan bahwa pemerataan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia kesehatan di Provinsi Bengkulu masih menjadi kendala utama dalam rangka pelayanan kesehatan di era JKN, Pertumbuhan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain serta pemerataan dokter yang kurang optimal merupakan faktor yang mempengaruhi hal tersebut, selain itu berdasarkan Versus BPS (2020) sebanyak 434.296 penduduk Provinsi Bengkulu yang belum terdaftar menjadi peserta JKN hal tersebut menjelaskan masih tingginya warga yang tidak memiliki jaminan terhadap kesehatan mereka karena tak memiliki asuransi.

Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan oleh pemantik antara lain kepada Kementerian Kesehatan yaitu menyusun kebijakan pemetaan kebutuhan fasilitas dan SDM kesehatan di daerah tertinggal dan memastikan alokasi sumber daya khusus untuk investasi pembangunan kesehatan, sedangkan untuk BPJS Kesehatan adalah Melaksanakan kebijakan kompensasi bagi daerah – daerah yang fasilitas kesehatan dan SDM kesehatannya masih terbatas, dan Penerapan Kebijakan “Satu data” JKN antara Pemda, Kemenkes, BPJS, DUKCAPIL, Dinas Sosial, yang terakhir rekomendasi yang diberikan bagi Pemerintah Daerah adalah melakukan Penataan distribusi Kebutuhan Tenaga Kesehatan dan Peningkatan SDM Tenaga Kesehatan, kemudian melakukan pemetaan kebutuhan fasilitas kesehatan yang standar untuk memenuhi kebutuhan medis masyarakat di daerah terpencil dan memastikan alokasi APBD 15% untuk kesehatan, Perawatan khusus daerah yang sulit terjangkau akses layanan rawat Inap di rumah sakit, kemudian pemanfaatan data JKN sebagai dasar dalam penyusunan Perencanaan penganggaran kesehatan dan pemetaan produk hukum daerah terkait dengan program JKN dalam rangka menuju harmonisasi dan sinkronisasi regulasi/peraturan.

video   materi

Pembahas

sitiPembahas kali ini berasal dari perwakilan BPJS Kesehatan Kedeputian III (Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu), dijelaskan ada perubahan paradigma baru yang dibawa, bahwa upaya utama yang akan dilakukan oleh BPJS Kesehatan adalah mengedepankan upaya promotif dan preventif, namun terkait upaya Kuratif dan rehabilitatif pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pemerataan fasilitas kesehatan di Provinsi Bengkulu salah satunya adalah dengan melakukan perbaikan sistem rujukan sehingga tidak terjadi penumpukan pasien disatu tempat saja, selain perbaikan sistem rujukan pihaknya juga telah melakuan distribusi dokter dengan bekerjasama dengan pihak dari Pemerintah Daerah, hal tersebut sudah membuahkan hasil karena presentase yang ada telah menunjukan angka 1:5000 jumlah dokter dan pasien disetiap wilayah, sedangkan persoalan kepersertaan pihak BPJS Kesehatan hanya menerima data yang diberikan kemudian mengolahnya saja.

video   materi

Sesi Diskusi

Seluruh pembahas dapat menghadiri kegiatan ini, Moderator memberikan banyak waktu untuk peserta berpartisipasi dalam sesi diskusi, salah satu pertanyaan yang paling menarik adalah ketika membahas berapa besar jumlah dana yang diterima BPJS Kesehatan di Provinsi Bengkulu dan berapa banyak anggaran yang mereka keluarkan untuk pembiayaan kesehatan disana, hal tersebut mengingat ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada di Provinsi Bengkulu yang belum sebaik di jawa, sehingga menimbulkan asumsi bahwa pasti anggaran yang mereka keluarkan akan lebih kecil dibandingkan jika dibandingkan pemasukan yang diterima, berbeda halnya dengan di pulau jawa, seperti contohnya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dikarenakan fasilitas kesehatan yang mereka miliki cukup lengkap sehingga banyak masyarakat yang mengakses layanan kesehatan, hal tersebut mengakibatkan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta lebih besar dari pada pendapatan yang mereka terima.

Pada sesi akhir diskusi moderator kembali memberikan kesempatan kepada Laksono Trisnantoro untuk memberikan pandangannya terkait seluruh pemaparan sebelumnya, disampaikan bahwa kurangnya fasilitas kesehatan yang ada di wilayah bengkulu merupakan sesuatu yang perlu segera diatasi, hal tersebut tentunya membutuhkan kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan juga pihak BPJS Kesehatan sehingga mampu mengurangi kesenjangan fasiltas kesehatan di daerah tersebut dengan yang ada di pulau Jawa.

video

Pernyataan Gubernur

gub bengkSebelum mengakhiri diskusi moderator memberikan kesempatan kepada Gubernur Bengkulu untuk memberikan pandangannya terkait dengan permasalahan yang ada, dijelaskan bahwa ia menganggap kesehatan merupakan sesuatu yang paling utama bagi masyarakat, terlebih dalam keadaan pandemi seperti hari ini, menurutnya fasilitas kesehatan di Provinsi Bengkulu hari ini sudah cukup memadai, hal yang perlu dilakukan saat ini adalah peningkatan kualitas dan pengembangan fasilitas kesehatan yang ada.

video

 

Reporter: Sami Setiawan

 

 

 

 

 

Reportase Ragam Tantangan dan Peluang Penetapan Kelas Standar JKN bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Reporter: Tri Muhartini, MPA (PKMK)

PKMK – Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM (30/12/2020) dalam seri ke-3 dari Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemangku Kepentingan dengan judul “Ragam Tantangan dan Peluang Penetapan Kelas Standar JKN bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah”. Berdasarkan tema forum dan judul, diskusi akan membahas tentang tantang kelas standar yang sedang dirancang oleh pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan JKN yang lebih optimal.

Narasumber dari diskusi adalah M. Faozi Kurniawan, SE,Akt,MPH selaku konsultan kebijakan JKN di PKMK FK-KMK UGM. Selain itu, juga ada pembahas dari Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, DPR RI Komisi IX, Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun, sayangnya tidak seluruh pembahas dapat menghadiri kegiatan. Jalannya diskusi di fasilitasi oleh Tri Aktariyani, SH., MH.

Pengantar

Mengawali diskusi, moderator memberikan kesempatan kepada Prof. Laksono Trisnantoro, PhD untuk memberikan kata pengantar. Disampaikan bahwa kelas standar merupakan salah satu isu penting dalam forum. Pelaksanaan JKN dari 2014 hingga kini membutuhkan banyak pembahasan yang detil dan subtansi masalah dan tantangan.

Hal tersebut perlu diketahui untuk keberlangsungan penyelenggaraan JKN. Menurut Prof Laksono, kelas standar yang sedang dirancang belum tentu dapat menyelesaikan masalah defisit. Karena defisit terjadi dari segmen non-PBI, sehingga yang perlu diperbaiki juga adalah dari segmen tersebut. Selain itu, kenaikan kelas peserta juga perlu di perhatikan: apakah masih boleh peserta naik kelas? Dari pengantar Prof Laksono menjadi awalan partisipasi narasumber, pembahas dan peserta dalam diksusi.

video

Narasumber

M. Faozi Kurniawan memaparkan materi dengan judul “Kelas Standar: Amanat UU yang baru dijalankan. Apa saja Implikasinya?”. Terdapat empat bagian yang menjadi fokus pemaparan yaitu: 1) mengenai rancangan kelas standar; 2) asumsi tentang kelas standar; 3) situasi kesenjangan fasilitas kesehatan; dan 4) pandangan PKMK mengenai kelas standar dan keberlangsungan JKN.

video   materi

Dalam bagian pertama, narasumber memaparkan bahwa kelas standar di dasari oleh Pasal 19 dan Pasal 24 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Pasal 54 Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan kedua kebijakan tersebut, dibentuk kelas standar dengan konsep Kelas Rawat Inap (KRI) Peserta JKN di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). KRI yang direncanakan oleh pemerintah akan dibedakan menjadi kelas standar A dan kelas standar B. Perbedaan itu kelas standar PBI dan Non PBI. Narasumber juga menjelaskan bahwa rancangan kelas standar juga memiliki 11 konsep untuk kriteria KRI JKN.

Gambar 1. Rancangan 11 Konsep Kriteria KRI JKN

30 1

Dari rancangan tersebut, narasumber menyampaikan bahwa terdapat beberapa kelompok yang memiliki pendapat mengenai KRI. Terdapat tiga kelompok yang menjadi memberikan pendapat yaitu dari PIP MARSI, LPEM UI dan PERSI. Narasumber menjelaskan bahwa PIP MARSI telah mengemukakan bahwa KRI akan membuat beberapa pasien kesulitan mendapat tempat tidur ketika membutuhkan pelayanan. Sementara dari presentasi LPEM UI yang mengutip salah satu studi menyatakan bahwa kelas standar tidak cukup, dibutuhkan pula telaah kondisi dan kebutuhan daerah. Dari PERSI juga melihat bahwa keberlanjutan RS perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kelas standar di kemudian hari.

Narasumber juga menjelaskan, keberadaan kelas standar yang dirancang juga perlu memperhatikan situasi kesenjangan fasilitas kesehatan dan utilisasi JKN. Situasi fasilitas kesehatan yang dimaksud narasumber mengenai jumlah pertumbuhan RS, Tempat Tidur, sebaran dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dan ketersediaan cath-lab jantung. Seluruh jumlah tersebut masih terbatas di luar pulau Jawa seperti NTT, dan Papua. Sementara jumlahnya di pulau Jawa seperti Jakarta dan Yogyakarta mengalami pertumbuhan. Situasi tersebut menurut narasumber telah menciptakan kesenjangan dalam fasilitas kesehatan.

Situasi kesehatan yang mengalami kesenjangan berdampak kepada utilisasi JKN. M. Faozi Kurniawan menjelaskan kunjungan peserta JKN yang mengakses layanan FKTP dan FKTL di dominasi oleh non-PBI, khususnya PBPU mendominasi FKL (RS).

Gambar 2. Kunjungan Peserta JKN ke Fasilitas Kesehatan

30 2

Berdasarkan klaim biaya layanan jantung tahun 2016 dengan menggunakan data sampel BPJS Kesehatan, narasumber juga menjelaskan bahwa regional lebih banyak menggunakan layanan jantung. Jika dilihat dari segmen juga menggambarkan bahwa PBPU dan BP di regional 1 (DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Banten) lebih banyak mengakses dan memanfaatkan layanan jantung. Hal tersebut berbeda jauh dengan regional 5 (Kep. Babel, NTT, Katim, Kaltara, Maluku, Malut, Papua Barat dan Papua) yang belum banyak mengakses layan jantung.

Provinsi dengan total klaim tertinggi untuk peserta yang melakukan migrasi keluar ke RS kelas A adalah Provinsi Jawa Tengah (2,4 milyar) dan Provinsi Jawa Timur (809 juta), walaupun kedua provinsi ini memiliki fasilitas rumah sakit yang memadai relatif terhadap provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Di lain sisi, total biaya klaim akibat pemakaian layanan di RS kelas A di luar daerah kepesertaan untuk provinsi lainnya cukup beragam. Misalnya, di Papua, yang memiliki keterbatasan fasilitas kesehatan, total biaya klaim adalah 208 juta dan sebagian besar klaim ini berasal dari segmen PPU (103,4 juta) dan PBPU (95,9 juta) sementara segmen PBI hanya sekitar 5.1 juta rupiah.

Tinggi jumlah klaim dari PBPU akhirnya membuat defisit, sementara PBI APBN selalu mengalami surplus dari 2014 – 2019. Surplus yang terjadi dalam PBI APBN dikarenakan oleh pengetahuan peserta masih terbatas dalam memanfaatkan JKN, dan fasilitas kesehatan masih terbatas untuk peserta akses, seperti yang berada di regional 5.
Dari situasi fasilitas kesehatan dan utilisasi JKN, narasumber menyatakan bahwa kelas standar untuk mencapai keadilan dan keberlangsungan JKN dapat dilakukan dengan syarat: 1) pemenuhan pemerataan fasilitas kesehatan melalui investasi dana APBD dan APBN; 2) peserta tidak izinkan naik kelas; 2) Tidak ada penggolongan kelas standar PBI dengan kelas standar Non-PBI (satu kelas Asuransi Kesehatan Pemerintah); 3) Ada pembatasan manfaat (kebutuhan dasar kesehatan); 4) Memasukkan aspek mutu & medik pelayanan secara jelas (kendali mutu); dan 5) mengoptimalkan deteksi kecurangan pelayanan kesehatan dalam (JKN).

Sesi Pembahas

Pembahas pertama yang diberikan kesempatan oleh moderator untuk merespons pemaparan dari narasumber adalah Bapak Trisno Agung W dari perwakilan Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. Kelas standar di DI Yogyakarta untuk secara kuantitas sudah mencukupi, tetapi kualitas di RS masih perlu menjadi perhatian. Pembahasan selanjut dari Dinas Kesehatan diteruskan oleh Bapak Rahmad. Beliau menambahkan bahwa kelas standar tidak menjadi masalah dilaksanakan jika seluruh syarat dalam peraturan dapat diterapkan oleh RS. Selain itu, Bapak Rahmad juga menampilkan jumlah TT untuk kelas standar A dan B sangat mencukupi. Sementara secara kualitas perlu di tinjau karena ada situasi pandemi. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta menyampaikan pula mengenai 11 kriteria dari kelas standar membutuhkan perhatian karena hanya memperhatikan fisik. Namun, belum memperhatikan aspek mutu layanan kesehatan dalam kelas standar. Sehingga kelas standar menurut Dinas Kesehatan DI Yogyakarta memiliki implikasi dalam aspek tata Kelola dan pembiayaan.

video

Gambar 3. Jumlah TT dan Implikasi Kelas Standar

30 3

Sesi Diskusi

Pembahas yang dapat menghadiri kegiatan hanya dari Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, sementara pembahas lainnya tidak dapat menghadiri. Moderator memberikan banyak waktu untuk peserta berpartisipasi dalam sesi diskusi.

 video

 

 

Reportase Strategi Optimalisasi FKTP untuk Meningkatkan Mutu Rujukan di Kota Malang

23 Desember 2020

28des

Drs. H. Sutiaji menyebutkan 5 strategi optimaliasi FKTP untuk meningkatkan mutu rujukan saat menjadi narasumber pada forum advokasi PKMK FK- KMK UGM, Rabu 23 Desember 2020. Mulai dari antrian online, teleconsulting, perluasan akses dan pemerataan FKTP, meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan, dan inovasi teknologi. Tentunya 5 strategi tersebut bukan hanya untuk meningkatkan mutu rujukan tapi pada perbaikan aspek – aspek tatanan layanan kesehatan lainnya di FKTP.

Penerapan strategi ini berdampak pada banyak hal, salah satunya rasio rujukan non spesialistik d ibawah standar rujukan (2%) dan juga pada capaian indikator KBK lainnya. Hal ini sejalan dengan kajian dosen Poltekes Malang menyebutkan bahwa masih terjadi rujukan non spesialistik walaupun angkanya di bawah standar.

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa rujukan non spesialistik terjadi karena adanya kekurangan pada obat, fasilitas kesehatan, dokter, dan banyaknya kemauan pasien meminta dirujuk ke FKRTL. Temuan ini diperkuat dengan presentasi Moeis Sanusi, salah satu temuan OJK tahun 2017, FKTP belum optimal menyelesaikan tindakan medis non spesialistik.

Ternyata puskesmas wilayah perkotaan lebih banyak merujuk dari pada pedesaan, karena mahalnya transportasi, jarak, dan lama waktu terhadap pemanfaatan pelayanan. Puguh Widodo (Dosen Poltekes Malang) merekomendasikan upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menekan angka rujukan non spesialistik, antara lain meninjau 144 diagnosa yang harus diselesaikan secara tuntas di FKTP, membuat panduan praktek klinis yang digunakan di FKTP, Perbup atau Perwali tentang pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi.

Puguh berharap hasil penelian ini dapat dimanfaatkan oleh Dinkes, BPJSK, FKTP, TKMKB dan akademisi. Forum advokasi yang diselenggarakan oleh PKMK FK – KMK UGM dilakukan untuk menyatukan gagasan dari akademisi dan pemerintah daerah tentang keberlangsungan JKN. 

video seminar dapat disimak kembali pada link berikut klik disini

Reporter. Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH

 

 

Kegiatan Penulisan Artikel Penelitian Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Policy Brief untuk Masalah KIA

Latar Belakang

Permasalahan terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama yang dihadapi di Indonesia. Di Tahun 2015, Angka Kematian Ibu (AKI) berjumlah 305/100.000 kelahiran hidup. Salah satu tantangan utama yang ditemui dalam usaha penurunan AKI adalah masalah ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan profesional serta ketersediaan fasilitas infrastruktur yang memadai. Tantangan ini diperberat dengan kondisi pandemi COVID-19 yang mempengaruhi proses perencanaan dan pelayanan kesehatan.

Upaya di berbagai lini kesehatan telah dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan KIA, dari mulai tingkat layanan primer, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Salah satunya yaitu dengan penetapan dan pengimplementasian kebijakan kesehatan. Agar kebijakan yang sudah diimplementasikan dapat dikembangkan ke arah yang sesuai dengan konteks lokal spesifik, perlu dilakukan analisis lanjutan dan penelitian kebijakan terkait konten khusus di setiap masalah kesehatan.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bersama dengan World Health Organization (WHO) mengembangkan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang terdapat dalam website www.kebijakankesehatanindonesia.net. DaSK berisi data tentang indikator-indikator pembangunan kesehatan, beban penyakit, penggunaan fasilitas kesehatan, dan berbagai data lainnya. Data ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penulisan policy brief.

Selain itu, PKMK FK-KMK UGM telah melaksanakan serangkaian aktivitas pelatihan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu; (1) memahami data  DaSK, (2) penulisan penelitian kebijakan kesehatan berbasis data sekunder di DaSK, dan (3) analisis kebijakan. Kemudian telah dilaksanakan juga penyajian hasil sementara kegiatan penelitian kebijakan dalam forum nasional X Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) pada November 2020.

Dalam rangka menindaklanjuti rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, maka akan diadakan kegiatan penulisan artikel hasil penelitian kebijakan, analisis  kebijakan, dan policy brief sebagai langkah nyata dalam mendukung proses knowledge translation. Kegiatan ini menggunakan pendekatan blended learning  dan merupakan kolaborasi antara klinisi, akademisi dan pengamat kebijakan dalam melakukan penulisan kebijakan berbasis bukti. Proses penelitian, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief ini juga dapat menjadi tahapan awal bagi peneliti atau akademisi dalam melakukan perubahan atau perbaikan kebijakan kesehatan.

  Tujuan

  1. Menuangkan ide dan topik penelitian yang telah disusun pada saat pelatihan menjadi tulisan ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.
  2. Menulis artikel penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  untuk masalah KIA.
  3. Menggunakan data di Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief.
  4. Membahas artikel yang akan ditulis bersama dan potensi artikel lainnya.
  5. Menyusun rencana publikasi hasil penulisan penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  ke jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.

Target Jurnal untuk Publikasi

  • Journal of Health Organization and Management (Q2)
  • Journal of Health Management (Q3)

  Hasil yang Diharapkan

  1. Didapatkan artikel penelitian kebijakan untuk masalah KIA untuk kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah tersebut di atas.
  2. Pemanfaatan data DaSK sebagai evidence based penulisan artikel penelitian kebijakan untuk masalah spesifik KIA.

  Peserta

  1. Tim inti KIA program DaSK-WHO
  2. Peserta pelatihan pengembangan kebijakan
  3. Mitra universitas, akademisi, peneliti kesehatan
  4. Pengelola program kesehatan di kabupaten/kota
  5. Pemerhati kebijakan dan program KIA

  Waktu Pelaksanaan

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 hingga Januari 2021

Aktivitas Desember 2020 Januari 2021
14-18 21-23 28-30 4-8 11-15 18-22 25-29
Identifikasi target jurnal kebijakan              
Topik dan tujuan              
Preliminary bibliography              
Penyusunan outline              
Pembuatan Proposal              
Pengajuan Ethical Clearance              
Penulisan artikel              
Edit konten              
Edit penulisan sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)              
Proofread              
Persiapan submit ke jurnal (termasuk penerjemahan)              

 

  Narahubung 

Widy Hidayah
HP: +6282122637003
Email: [email protected]

 

 

 

Kegiatan Penulisan Artikel Penelitian Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Policy Brief untuk Masalah Stunting dan Gizi Masyarakat

Latar Belakang

Permasalahan terkait gizi merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama yang dihadapi di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, rata-rata persentase balita di Indonesia dengan status gizi buruk dan gizi kurang adalah 17,7%, sedangkan rata-rata balita stunting mencapai 30,8%. Disamping itu terdapat juga beberapa masalah gizi lainnya namun masalah gizi balita menjadi sorotan utama karena kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia. Salah satu tantangan utama yang ditemui dalam usaha penurunan stunting adalah terkait peran, ketersediaan, dan distribusi tenaga kesehatan profesional. Tantangan ini diperberat dengan kondisi pandemi COVID-19 yang mempengaruhi proses perencanaan dan pelayanan kesehatan.

Upaya di berbagai lini kesehatan telah dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan stunting dan gizi masyarakat, dari mulai tingkat layanan primer, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Salah satunya yaitu dengan penetapan dan pengimplementasian kebijakan kesehatan. Agar kebijakan yang sudah diimplementasikan dapat dikembangkan ke arah yang sesuai dengan konteks lokal spesifik, perlu dilakukan analisis lanjutan dan penelitian kebijakan terkait konten khusus di setiap masalah kesehatan.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bersama dengan World Health Organization (WHO) mengembangkan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang terdapat dalam website www.kebijakankesehatanindonesia.net. DaSK berisi data tentang indikator-indikator pembangunan kesehatan, beban penyakit, penggunaan fasilitas kesehatan, dan berbagai data lainnya. Data ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penulisan policy brief.

Selain itu, PKMK FK-KMK UGM telah melaksanakan serangkaian aktivitas pelatihan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu; (1) memahami data  DaSK, (2) penulisan penelitian kebijakan kesehatan berbasis data sekunder di DaSK, dan (3) analisis kebijakan. Kemudian telah dilaksanakan juga penyajian hasil sementara kegiatan penelitian kebijakan dalam forum nasional X Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) pada November 2020.

Dalam rangka menindaklanjuti rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, maka akan diadakan kegiatan penulisan artikel hasil penelitian kebijakan, analisis  kebijakan, dan policy brief sebagai langkah nyata dalam mendukung proses knowledge translation. Kegiatan ini menggunakan pendekatan blended learning  dan merupakan kolaborasi antara klinisi, akademisi dan pengamat kebijakan dalam melakukan penulisan kebijakan berbasis bukti. Proses penelitian, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief ini juga dapat menjadi tahapan awal bagi peneliti atau akademisi dalam melakukan perubahan atau perbaikan kebijakan kesehatan.

  Tujuan

  1. Menuangkan ide dan topik penelitian yang telah disusun pada saat pelatihan menjadi tulisan ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.
  2. Menulis artikel penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  untuk masalah stunting dan gizi masyarakat.
  3. Menggunakan data di Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief.
  4. Membahas artikel yang akan ditulis bersama dan potensi artikel lainnya.
  5. Menyusun rencana publikasi hasil penulisan penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  ke jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.

Target Jurnal untuk Publikasi

  • Journal of Health Organization and Management (Q2)
  • Journal of Health Management (Q3)

  Hasil yang Diharapkan

  1. Didapatkan artikel penelitian kebijakan untuk masalah stunting dan gizi masyarakat untuk kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah tersebut di atas.
  2. Pemanfaatan data DaSK sebagai evidence based penulisan artikel penelitian kebijakan untuk masalah spesifik stunting dan gizi masyarakat.

  Peserta

  1. Tim inti Stunting dan Gizi masyarakat program DaSK-WHO
  2. Peserta pelatihan pengembangan kebijakan
  3. Mitra universitas, akademisi, peneliti kesehatan
  4. Pengelola program kesehatan di kabupaten/kota
  5. Pemerhati kebijakan dan program Stunting dan Gizi masyarakat

  Waktu Pelaksanaan

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 hingga Januari 2021

Aktivitas Desember 2020 Januari 2021
14-18 21-23 28-30 4-8 11-15 18-22 25-29
Identifikasi target jurnal kebijakan              
Topik dan tujuan              
Preliminary bibliography              
Penyusunan outline              
Pembuatan Proposal              
Pengajuan Ethical Clearance              
Penulisan artikel              
Edit konten              
Edit penulisan sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)              
Proofread              
Persiapan submit ke jurnal (termasuk penerjemahan)              

 

  Narahubung 

Widy Hidayah
HP: +6282122637003
Email: [email protected]

 

 

 

Kegiatan Penulisan Artikel Penelitian Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Policy Brief untuk Masalah kanker

Latar Belakang

Penyakit kanker merupakan salah satu masalah kesehatan prioritas di Indonesia. Di tahun 2018, terdapat 348.809 kasus kanker dengan total kematian sebanyak 207.210 (WHO, 2020). Hal ini diperparah dengan adanya ketimpangan pelayanan kanker antar wilayah dan juga ketidakmerataan distribusi sumber daya manusia kesehatan di bidang kanker.

Upaya di berbagai lini kesehatan telah dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan kanker, dari mulai tingkat layanan primer, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Salah satunya yaitu dengan penetapan dan pengimplementasian kebijakan kesehatan. Agar kebijakan yang sudah diimplementasikan dapat dikembangkan ke arah yang sesuai dengan konteks lokal spesifik, perlu dilakukan analisis lanjutan dan penelitian kebijakan terkait konten khusus di setiap masalah kesehatan.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bersama dengan World Health Organization (WHO) mengembangkan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang terdapat dalam website www.kebijakankesehatanindonesia.net. DaSK berisi data tentang indikator-indikator pembangunan kesehatan, beban penyakit, penggunaan fasilitas kesehatan, dan berbagai data lainnya. Data ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penulisan policy brief.

Selain itu, PKMK FK-KMK UGM telah melaksanakan serangkaian aktivitas pelatihan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu; (1) memahami data  DaSK, (2) penulisan penelitian kebijakan kesehatan berbasis data sekunder di DaSK, dan (3) analisis kebijakan. Kemudian telah dilaksanakan juga penyajian hasil sementara kegiatan penelitian kebijakan dalam forum nasional X Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) pada November 2020.

Dalam rangka menindaklanjuti rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, maka akan diadakan kegiatan penulisan artikel hasil penelitian kebijakan, analisis  kebijakan, dan policy brief sebagai langkah nyata dalam mendukung proses knowledge translation. Kegiatan ini menggunakan pendekatan blended learning  dan merupakan kolaborasi antara klinisi, akademisi dan pengamat kebijakan dalam melakukan penulisan kebijakan berbasis bukti. Proses penelitian, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief ini juga dapat menjadi tahapan awal bagi peneliti atau akademisi dalam melakukan perubahan atau perbaikan kebijakan kesehatan.

  Tujuan

  1. Menuangkan ide dan topik penelitian yang telah disusun pada saat pelatihan menjadi tulisan ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.
  2. Menulis artikel penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  untuk masalah kanker
  3. Menggunakan data di Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief.
  4. Membahas artikel yang akan ditulis bersama dan potensi artikel lainnya.
  5. Menyusun rencana publikasi hasil penulisan penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  ke jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.

Target Jurnal untuk Publikasi

  1. Risk Management and Healthcare Policy (Q1)
  2. ESMO OPEN (Q1)
  3. Journal of Health Services Research and Policy (Q2)
  4. International Journal of Health Policy and Management (Q1)
  5. Journal of Cancer Policy

  Hasil yang Diharapkan

  1. Didapatkan artikel penelitian kebijakan untuk masalah kanker untuk kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah tersebut di atas.
  2. Pemanfaatan data DaSK sebagai evidence based penulisan artikel penelitian kebijakan untuk masalah spesifik kanker

  Peserta

  1. Tim inti kanker program DaSK-WHO
  2. Peserta pelatihan pengembangan kebijakan
  3. Mitra universitas, akademisi, peneliti kesehatan
  4. Pengelola program kesehatan di kabupaten/kota
  5. Pemerhati kebijakan dan program kanker

  Waktu Pelaksanaan

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 hingga Januari 2021

Aktivitas Desember 2020 Januari 2021
14-18 21-23 28-30 4-8 11-15 18-22 25-29
Identifikasi target jurnal kebijakan              
Topik dan tujuan              
Preliminary bibliography              
Penyusunan outline              
Pembuatan Proposal              
Pengajuan Ethical Clearance              
Penulisan artikel              
Edit konten              
Edit penulisan sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)              
Proofread              
Persiapan submit ke jurnal (termasuk penerjemahan)              

REFERENSI

World Health Organization. (n.d.). Cancer Country Profile 2020. https://www.who.int/cancer/country-profiles/IDN_2020.pdf?ua=1

  Narahubung 

Widy Hidayah
HP: +6282122637003
Email: [email protected]

 

 

 

Kegiatan Penulisan Artikel Penelitian Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Policy Brief untuk Masalah Jantung

Latar Belakang

Cardiovascular Disease (CVD) merupakan salah satu masalah kesehatan prioritas di Indonesia. Saat ini, CVD masih menjadi penyumbang angka kematian dan Disability-Adjusted Life Years (DALYs) terbesar di Indonesia (IHME, 2019). Hal ini diperparah dengan adanya ketimpangan pelayanan jantung antar wilayah dan juga ketidakmerataan distribusi sumber daya manusia kesehatan di bidang kardiologi.

Upaya di berbagai lini kesehatan telah dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan jantung, dari mulai tingkat layanan primer, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Salah satunya yaitu dengan penetapan dan pengimplementasian kebijakan kesehatan. Agar kebijakan yang sudah diimplementasikan dapat dikembangkan ke arah yang sesuai dengan konteks lokal spesifik, perlu dilakukan analisis lanjutan dan penelitian kebijakan terkait konten khusus di setiap masalah kesehatan.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bersama dengan World Health Organization (WHO) mengembangkan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang terdapat dalam website www.kebijakankesehatanindonesia.net. DaSK berisi data tentang indikator-indikator pembangunan kesehatan, beban penyakit, penggunaan fasilitas kesehatan, dan berbagai data lainnya. Data ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penulisan policy brief.

Selain itu, PKMK FK-KMK UGM telah melaksanakan serangkaian aktivitas pelatihan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu; (1) memahami data  DaSK, (2) penulisan penelitian kebijakan kesehatan berbasis data sekunder di DaSK, dan (3) analisis kebijakan. Kemudian telah dilaksanakan juga penyajian hasil sementara kegiatan penelitian kebijakan dalam forum nasional X Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) pada November 2020.

Dalam rangka menindaklanjuti rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, maka akan diadakan kegiatan penulisan artikel hasil penelitian kebijakan, analisis  kebijakan, dan policy brief sebagai langkah nyata dalam mendukung proses knowledge translation. Kegiatan ini menggunakan pendekatan blended learning  dan merupakan kolaborasi antara klinisi, akademisi dan pengamat kebijakan dalam melakukan penulisan kebijakan berbasis bukti. Proses penelitian, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief ini juga dapat menjadi tahapan awal bagi peneliti atau akademisi dalam melakukan perubahan atau perbaikan kebijakan kesehatan.

  Tujuan

  1. Menuangkan ide dan topik penelitian yang telah disusun pada saat pelatihan menjadi tulisan ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.
  2. Menulis artikel penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  untuk masalah jantung
  3. Menggunakan data di Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) sebagai rujukan dalam proses penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan penyusunan policy brief.
  4. Membahas artikel yang akan ditulis bersama dan potensi artikel lainnya.
  5. Menyusun rencana publikasi hasil penulisan penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan policy brief  ke jurnal ilmiah kebijakan kesehatan.

Target Jurnal untuk Publikasi

  • Global Heart Journal (Q1)
  • Journal of Health Organization and Management (Q2)
  • Journal of Health Management (Q3)

  Hasil yang Diharapkan

  1. Didapatkan artikel penelitian kebijakan untuk masalah jantung untuk kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah tersebut di atas.
  2. Pemanfaatan data DaSK sebagai evidence based penulisan artikel penelitian kebijakan untuk masalah Jantung

  Peserta

  1. Tim inti jantung program DaSK-WHO
  2. Peserta pelatihan pengembangan kebijakan
  3. Mitra universitas, akademisi, peneliti kesehatan
  4. Pengelola program kesehatan di kabupaten/kota
  5. Pemerhati kebijakan dan program jantung

  Waktu Pelaksanaan

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 hingga Januari 2021

Aktivitas Desember 2020 Januari 2021
14-18 21-23 28-30 4-8 11-15 18-22 25-29
Identifikasi target jurnal kebijakan              
Topik dan tujuan              
Preliminary bibliography              
Penyusunan outline              
Pembuatan Proposal              
Pengajuan Ethical Clearance              
Penulisan artikel              
Edit konten              
Edit penulisan sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)              
Proofread              
Persiapan submit ke jurnal (termasuk penerjemahan)              

Referensi

Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). GBD Compare Data Visualization. Seattle, WA: IHME, University of Washington, 2019. Available from http:// vizhub.healthdata.org/gbd-compare. (Accessed November 26, 2020)

  Narahubung 

Widy Hidayah
HP: +6282122637003
Email: [email protected]

 

 

 

Reportase Implementasi JKN di Daerah Dengan Kapasitas Fiskal Rendah, Menanggapi Kenaikan Iuran JKN Berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020

17 Desember 2020

PKMK – Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM (17/12/2020) bersama mitra dari penelitian realist evaluation (RE) yaitu Stevie Ardianto Nappoe, MPH selaku peneliti dari Nusa Tenggara Timur (NTT) menyelenggarakan diskusi mengenai kebijakan JKN di daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Diskusi tersebut sebagai bentuk menanggapi kenaikan iuran JKN berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.

PKMK FK-KMK memberikan kesempatan kepada mitra salah satunya Stevie untuk menjadi pemantik diskusi dan menyampaikan implementasi kebijakan JKN di NTT yang dimana merupakan salah satu daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Untuk melengkapi hangatnya diskusi, sesi ini juga menghadirkan dua pembahas yaitu dr. Asih Eka Putri, MPPM dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Nyoman Wiwiek Yuliadewi dari BPJS Kesehatan Kedeputian Bali Nusra. Diskusi juga difasilitasi oleh moderator yaitu M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH.

video

Sesi Pengantar

Awal dari diskusi terdapat pengantar Prof. Laksono Trisnantoro selaku Ketua Board PKMK FK-KMK UGM yang menjelaskan tujuan dan harapan dari diselenggarakannya Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi & Pemangku Kepentingan. Dijelaskan bahwa forum ini merupakan bentuk kegiatan yang dapat mempengaruhi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan JKN. Prof Laksono menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan tersedia di seluruh provinsi Indonesia yang memiliki konteks dan kondisi yang berbeda. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa terdapat ketidakcocokan regulasi yang ditetapkan pemerintah pusat dengan situasi di daerah. Selain itu, juga dimungkinkan bahwa situasi di daerah membutuhkan penanganan khusus oleh pemerintah pusat. Untuk itu, forum ini diharapkan dapat menjawab permasalahan di daerah dengan tata Kelola pemerintah yang lincah.

video

Sesi Pemantik

Stevie Ardianto Nappoe, MPH mengawali sesi pemantik dengan memberikan penjelasan tentang kondisi kapasitas fiskal daerah (KFD) di Provinsi NTT terjadi kenaikan periode 2015 – 2020, tapi dalam tingkat kabupaten/kota masih ada 59% berada kategori sangat rendah. Hal ini sejalan dengan situasi fasilitas kesehatan di NTT masih terbatas untuk jumlah Rumah Sakit (RS) hanya ada kelas B, C dan D. Adapun jumlah kelas B hanya 2 RS di pusat ibukota NTT. Jika melihat sebaran kabupaten/kota, masih ada daerah yang tidak memiliki RS seperti Kabupaten Manggarai Timur. Stevi menyatakan kondisi ini menggambarkan bahwa sebaran fasilitas dan layanan kesehatan di NTT masih belum merata. Hal tersebut sangat berbeda dengan provinsi di Jawa.

Situasi terbatasnya fasilitas dan layanan kesehatan di NTT ini mempengaruhi implementasi kebijakan JKN. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Stevi bahwa masih ada 16% yang belum tercakup dalam JKN di NTT. Jumlah 16% tersebut menjadi fokus pembahas karena menurutnya masih ada masyarakat miskin yang tidak masuk dalam DTKS karena tidak layak sebagai PBI APBN, dan beberapa juga merupakan penduduk yang hampir miskin, penduduk mampu dan tidak tertarik menjadi JKN, atau pekerja informal yang belum terdaftar, dan peserta yang sudah masuk Jamkesda.

Dengan situasi cakupan dan kepersertaan JKN, Stevi juga menjelaskan tentang pembiayaan di tingkat pusat dan daerah berdasarkan Perpres 75/2019 dan Prepres 64/2020 yang mengalami lonjakan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Di NTT sendiri, berdasarkan proyeksi Stevi yang belum memperhitungkan kondisi COVID-19 bahwa dengan Perpres 64/2020 pemerintah daerah memiliki beban sebesar 138.46 miliar pada 2020 dan 418.18 miliar atau sama dengan 32% dari anggaran bidang kesehatan.

Untuk itu, pada 2021 diperlukan seluruh masyarakat miskin dipastikan masuk ke dalam DTKS-PBI. Sementara untuk masyarakat hampir miskin akan dilakukan cost-sharing antara pemerintah daerah dan peserta. Akan tetapi, kesuksesan DTKS-PBI menurut Stevi juga membutuhkan verifikasi. Menutup pemaparan presentasinya, Stevi menyatakan bahwa kebijakan JKN bukan hanya milik daerah sendiri, diperlukan kebijakan lainnya untuk membantu kapasitas fiskal yang terbatas.

video

Sesi Pembahasan

Pembahas I

Nyoman Wiwiek Yuliadewi dari BPJS Kesehatan Kedeputian Bali Nusra menjadi pembahas pertama yang memberikan tanggapan dari pemaparan bahwa provinsi NTT pada 2020 telah masuk dalam kapasitas fiskal sedang. Sementara itu, berdasarkan data dari Wiwiek (1 Desember 2020), yang belum tercakup dalam JKN adalah 13.66%. Sementara cakupan dari kabupaten/kota terdapat 6 daerah yang telah mencapai UHC yaitu Kabupaten Alor, Kabupaten Ende, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Dari data tersebut menurut Wiwiek capaian UHC di NTT tidak akan sulit karena sisa penduduk yang belum tercakup sisa 755 ribu penduduk yang belum menjadi peserta JKN. Selain itu, dari peserta DTKS juga sudah ada 1 juta 200 ribu dan sisa anggota keluarga yang belum terdaftar DTKS yaitu 772 ribu.

Secara fasilitas dan layanan kesehatan juga Wiwiek menjelaskan telah banyak FKTP yang telah berkerjasama dengan BPJS Kesehatan. Namun, Wiwiek juga sependapat dengan Stevie bahwa rasio dari dokter masih kurang. Selain itu, fasilitas kesehatan seperti kecukupan tempat tidur juga masih terbats di berbagai kabupaten/kota. Dampak dari keterbatasan ini adalah tingginya tingkat rujukan dari NTT. Untuk pemenfaatan akses layanan JKN pada 2020 terdapat peningkatan sejak 2019.

video

Pembahas II

Pembahas kedua yaitu dr. Asih Eka Putri, MPPM dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) juga menanggapi bahwa NTT memiliki masalah yang laten, maka diperlukan pendekatan yang berbeda dengan membedah masalah JKN. Sebelum menjelaskan kondisi JKN di NTT, Asih menjelaskan konsep dari latar belakang pembiayaan JKN secara nasional yang mengawali pemerintah melalui BPJS Kesehatan perlu memungut iuran. Hal tersebut utamanya dikarenakan kemampuan pajak atau pendapatan pajak yang rendah sehingga tidak mampu menutupi pembiayaan JKN secara penuh. Walaupun terdapat pemungutan, pemerintah tetap memberikan subsidi sebagai bentuk komitmen dala menjamin layanan kesehatan.

Sementara di NTT memiliki permasalahan yang rumit, seperti urusan data masih belum terselesaikan dan dana yang dimiliki tersedia untuk PBI. Berdasarkan hasil observasi yang perlu dilajukan oleh DJSN menemukan bahwa pemahaman pemerintah mendata dengan valid dan membuat proses data yang dinamis merupakan masalah. Menurut Asih, hal utama yang perlu diselesaikan lebih dulu adalah DTKS dan kependudukannya sebelum menangani permasalahan lainnya seperti keuangan dan akses kesehatan. Data tersebut merupakan hal kunci bagi BPJS Kesehatan untuk mensubsidi atau tidak mensubsidi seseorang.

Asih juga menyampaikan bahwa dalam pelayanan kesehatan dalam JKN berkonsep pasar yaitu terdapat kontrak jual beli, sehingga fasilitas kesehatan wajib tersedia lebih dulu. Pemerintah daerah yang memiliki kemampuan usaha akan berinvestasi untuk fasilitas kesehatan. Untuk menarik dana BPJS Kesehatan yang terus tumbuh dibutuhkan: 1) pemerintah daerah bersinergi dengan pemerintah pusat guna mendapatkan alokasi pendaan dan 2) menerapkan insentif untuk swasta di daerah yang terbatas. Akan tetapi, Asih menilaii bahwa saat ini BPJS Kesehatan masih pasif sebagai purchasers dan belum dapat mengembangkan pola membeli dan membayar. Pertanyaan akhir yang perlu didiskusikan menurut Asih adalah apakah NTT meurpakan outlayer sehingga perlu pendekatan khusus dalam menyelesaikan masalahnya? Hal itu mengingat NTT memiliki banyak sumber pendanaan bantuan.

video

Sesi Diskusi

Moderator memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya kepada pemantik dan pembahas. Salah satu pertanyaan berasal dari Puguh mengenai jumlah peserta tinggi tetapi fasilitas kesehatan masih terbatas dan pemetaan fasilitas kesehtan. Pertanyaan tersebut dijawab langsung oleh Stevi. Disampaikan bahwa pemerintah daerah menyelesaikan dengan tidak menggabungkan masyarakat miskin ke dalam BPJS Kesehatan. Hal tersebut dikarenakan biaya yang lebih mahal dan sesuai dengan kemampuan kapasitas fiskal NTT. Asih juga menambahkan, hal yang perlu diperhatikan pemerintha daerah adalah cukup dengan memperhatikan validitas dari DTKS daerah karena di BPJS Kesehatan telah tersedia dana untuk PBI APBN.

video

 

Reporter: Tri Muhartini (PKMK)

Reportase: Implementasi Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan Dalam Kebijakan Kelas Standar Rawat Inap JKN

Rabu, 2 Desember 2020

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar Implementasi Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan Dalam Kebijakan Kelas Standar Rawat Inap JKN. Topik ini sangat penting karena melihat 4 – 5 tahun terakhir Indonesia mengalami defisit yang cukup besar, bila melihat tahun ini bisa saja mengalami penurunan defisit karena penyakit – penyakit non COVID-19 menurun dan terdapat kenaikan PBI – Non PBI sehingga defisit yang tidak terlalu besar namun kita perlu melihat data Desember ini. Pengembangan sistem BPJS Kesehatan yang lebih baik, memang pembahasan standar menjadi isu kunci karena realitanya PBPU kelas I, II dan III yang menimbulkan banyak defisit di BPJS. Periode 2014 – 2018, kelompok PBPU menengah keatas defisit sekitar 60 Triliun dan ini harus ditutup oleh segmen lainnya dan juga dari pemerintah.

Narasumber pertama, Muttaqien, MPH, AAK dari DJSN menyatakan bahwa pembahasan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 perubahan dari Perpres Nomor 82 Tahun 2018, maka muncul di Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pasal 54A dengan menyatakan bahwa peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020. Selain itu, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pasal 54B juga menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan tersebut diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat 2022.

Jaminan kesehatan saat ini terdapat perbedaan kelas (kelas I, II dan III) dan proses menuju amanah UU SJSN pada tahap pertama berupa transisi KRI JKN, konsep kelas standar akan dibedakan antara kelas standar A yakni dibayar oleh pemerintah dan kelas standar B, selain dibayar oleh pemerintah. Pembagian kelompok PBI dan non PBI tidak disebutkan dalam kelas standar karena DJSN ingin membangun prinsip ekuitas. Setelah proses ini dievaluasi akan menuju kelas tunggal yakni KRI JKN.

8des1

Linimasa kebijakan KRI JKN yakni pada 2020 finalisasi kajian KRI JKN, kemudian 2021 perubahan ketiga Perpres Nomor 82 Tahun 2018 beserta pertauran pelaksanaannya termasuk konsultasi publik dan penyiapan infrastruktur beserta SDM, dan pada 2022 implementasi KRI JKN secara bertahap. Terdapat 4 opsi skenario pentahapan yakni skenario 1 pada RS vertikal, RS pemerintah lainnya, dan RS swasta; skenario 2 pada RS pemerintah dan RS swasta; skenario 3 pada Kabupaten/Kota dengan BOR dibawah 40%, 41 – 69% dan diatas 70%; dan skenario 4 pada kesiapan Pemda/supply side.

Narasumber kedua, dr. Medianti Ellya P. dari Deputi Direksi Bidang Pembiayaan Manfaat Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan menyatakan bahwa perlu memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan dapat dijangkau oleh seluruh peserta, sebenarnya BPJS sendiri tentunya menunggu ketetapan dari regulasi terkait KDK dan KRI tersebut termasuk penyesuaian tarif, penyesuaian iuran dan lain sebagainya. Saat ini penentuan klasifikasi kelas standar belum ada sehingga perlu untuk kita melakukan standarisasi. Kebutuhan dasar kesehatan leading sector yakni Kementerian Kesehatan sedangkan kelas standar yakni Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

8des1

BPJS Kesehatan secara prinsip mendukung penuh upaya pemerintah dalam peningkatan tata kelola jaminan kesehatan. Implementasi kelas standar pada skema JKN akan membuka peluang adanya kebutuhan kenaikan kelas untuk peserta yang mengharapkan adanya kenaikan benefit non medis (seperti kenaikan kelas perawatan). Hal ini membuka kesempatan bagi seluruh Asuransi Kesehatan Tambahan untuk membuka produk top up dan membuat variasi produk sebaik mungkin untuk menunjang pelayanan peserta JKN. Adapun ketentuan kenaikan kelas/perawatan di poli eksekutif saat ini mengacu pada Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.

Narasumber ketiga, dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, PhD dari PERSI menyatakan bahwa bagi RS, koordinasi manfaat sudah lama dibahas dan bagi sebagian RS, masih ada yang belum merasakan sekitar 50% yang pernah merasakan CoB dan kebanyakan yang merasakan RS besar seperti di kota sedangkan RS kecil masih belum merasakan itu sedangkan pada tahun depan sudah diganti lagi, itu adalah hal yang dirasakan sebagian anggota kami di PERSI.

Beberapa istilah dalam pembiayaan bahkan sampai saat ini masih terjadi seperti urun biaya, ada selisih biaya, bahkan tambahan biaya dan CoB karena masih ada diantara kami memiliki definisi yang berbeda – beda dalam pelayanan kesehatan. Perlu adanya redefinisi manfaat dan menjelaskan dengan benar dan sesuai kepada provider agar tidak terjadi kisruh atau tumpang-tindih dengan yang sudah ada saat ini. PERSI mengharapkan dalam memberikan pelayanan tanpa harus terlibat banyak dalam sisi – sisi pengelolaan non servis dalam koordinasi manfaat.

Peserta mempunyai hak untuk meningkatkan manfaatnya tanpa kehilangan hak peserta JKN seperti penggunaan obat-obat melebihi fornas atau saat penerapan kelas standar, peserta mau naik standar bisa naik sperti naik kelas (Kelas I, II dan III) dalam koordinasi manfaat. Selain itu, RS perlu income tambahan selain klaim JKN karena ada penurunan unit cost klaim pasien dan tahun inipun juga turun. Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) perlu mencari celah pasar seperti pasien/ peserta menghendaki metode yang lebih baru atau obat melebihi fornas atau lain sebagainya karena semua itu dalam pengaturan, adanya out of pocket maupun koordinasi manfaat itu tadi menjadi hak RS tanpa harus mengurangi CBGs, itu harapan kami. Untuk mekanisme koordinasinya, ada hak dasar yang menjadi bagian paket JKN sedangkan untuk peningkatan manfaat, tidak berlaku gugur hak JKN tapi hanya dapat dipenuhi dengan iuran biaya.

Terdapat pembahas yang hadir yakni Ery Setiawan, SKM., ME., AAAK dari USAID Health Financing Activity – National Social Security Council menyampaikan bahwa prinsip dasar koordinasi manfaat berkaitan dengan pada penanggulangan manfaat yang sama oleh dua penanggung. Pada konteks top up benefit, menggunakan mekanisme yang berbeda dengan CoB yang saat ini diatur lebih kepada manfaat medis. Perbedaan konsep urun biaya dan selisih biaya dengan merujuk pada definisi operasinal Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 yakni urun biaya, ada isu penyalahgunaan utilisasinya sedangkan selisih biaya, lebih kepada tambahan biaya peserta pada saat memperoleh manfaat layanan yang lebih tinggi dari haknya misalnya naik kelas.

Terdapat identifikasi isu yang perlu diperhatikan yakni aspek regulasi, aspek tata kekola dan aspek pembiayaan pada pengaturan tata laksana dan kesiapan supply side. Penyelenggaraan koordinasi antar penyelenggara harus mengutamakan kualitas layanan dan keselamatan pasien. Indikasi adanya tren kenaikan kelas layanan dan pembayaran selisih biaya harus diantisipasi untuk menjaga out of pocket tidak semakin tinggi. Selain itu, instrumen peraturan perundangan dan penegakan aturan perlu ditetapkan pada tingkatan yang sesuai.

Di akhir sesi ada pertanyaan dari peserta, “Apakah ada opsi kelas standar tapi tidak boleh naik kelas, ini mendorong adanya akses sosial yang baik dalam konteks ketidakmerataan fasilitas kesehatan dan dokter?”. Muttaqien, MPH, AAK menjawab, “Ini opsi – opsi yang perlu kita pikirkan karena saat ini lebih kepada penyusunan kebijakan dan bila kembali pada amanah UU pasal 23 ada opsi untuk peserta naik kelas yang lebih tinggi karena secara kultural dan sosiologis kita melihat sulit melarang peserta yang ingin kenyamanan yang lebih baik, maka dia ingin mencari yang lebih baik lagi. Sampai sekarang opsi kita baru menyusun mekanismenya untuk dia bisa naik kelas dan menarik misal UGM ada kajian atau ada hal yang menarik untuk menjadi salah satu input opsi kebijakan, maka kami juga akan menjadi referensi dalam penyusunan kebijakan yang akan diambil”.

 

 

Reportase Pembiayaan Kesehatan: Apakah Cukup? Perspektif Akun Kesehatan Nasional

Jumat, 27 November 2020

Pembukaan

Seminar ini merupakan webinar yang ke – 5 yang dibuka langsung oleh dr. Kalsum Komaryani, MPPM selaku Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Webinar ini diadakan sebagai ajang sharing dan learning masalah kesehatan dari kacamata ekonomi kesehatan. Saat ini, ekonomi kesehatan terus berkembang dan menghadapi banyak tantangan dan kendala seperti era JKN.

Adanya Akun Kesehatan merupakan pembuktian dari komitmen pemerintah dalam menyediakan pembiayaan kesehatan ataupun membuat regulasi untuk merangkul pembiayaan non publik serta menjadi barometer dari pembiayaan kesehatan saat ini. Harapannya data Akun Kesehatan dapat dipahami oleh para pembuat kebijakan di bidang kesehatan dan digunakan sebagai evidence memperbaiki kebijakan guna mendukung arah kebijakan RPJMN 2020 – 2024.

Narasumber 1: Examinar, SKM dari Universitas Indonesia.
Akun Kesehatan: Definisi, Konsep, dan Dimensi Pembiayaan Kesehatan

Akun Kesehatan merupakan pencatatan arus dana kesehatan secara sistematis dan komprehensif pada sistem kesehatan suatu negara/ wilayah dalam periode 1 tahun tertentu. Akun kesehatan nasional (NHA) dapat memberikan potret pengeluaran kesehatan suatu negara. Tujuan dan manfaat dari pengembangan System of Health Account (SHA) adalah 1) menentukan batasan yang harmonis secara internasional; 2) memberikan framework dalam hal besaran belanja kesehatan secara agregat dan analisis sistem kesehatan yang relevan bagi komparasi internasional; 3) menyediakan alat bantu yang dapat dikembangkan oleh masing – masing negara dalam memonitoring dan analisis sistem kesehatan.

Indikator yang digunakan dalam jendela pembiayaan kesehatan terdiri dari proporsi belanja kesehatan terhadap PDB, proporsi total belanja kesehatan perkapita, proporsi swasta dan publik, dan indikator-indikator lainnya. Secara umum, akun kesehatan dapat memberikan gambaran secara agregat dan dapat memberikan kerangka yang lebih detail untuk mengetahui struktur dari pembiayaan kesehatan.

Akun Kesehatan Nasional (NHA) merujuk pada kerangka kerja akuntansi System of Health Account (SHA-11) yang telah dikembangkan melalui Triaksial Dimensi yaitu dimensi fungsi layanan, dimensi penyedia layanan, dan dimensi skema pembiayaan. Dalam konteks Indonesia sesuai kebutuhan lokal maka dikembangkan provincial health account (PHA) dan district health account (DHA) yang memiliki 9 dimensi mulai dari sumber pembiayaan hingga penerima manfaat.

Tujuan NHA dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu 1) dimensi skema pembiayaan: memberikan informasi mengenai bagaimana suatu pembiayaan kesehatan diatur; 2) dimensi sumber dana: memberikan informasi mengenai sumber penerimaan dari suatu skema sehingga dapat mengidentifikasi porsi sumber – sumber apa yang berperan besar dalam skema pembiayaan kesehatan; 3) dimensi pengelola dana untuk memberikan informasi mengenai sektor atau institusi yang berperan dalam membayarkan ke provider.

Proses penyusunan akun kesehatan nasional terdiri dari pengumpulan data, manajemen data, analisis dan triangulasi, serta hasil dan endorsement. Sumber datanya berasal dari belanja sektor publik dan belanja sektor non publik. Agar mendapatkan data yang detail Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan kementerian dan lembaga, swasta, donor dan LSM untuk menjamin ketersediaan data yang cepat. Secara umum, sumber dana pada belanja kesehatan di Indonesia tahun 2018 berasal dari APBN, APBD provinsi, APBD Kabupaten/Kota, korporasi, rumah tangga, UNPRT, dan donor. Mayoritas pembiayaan publik masih bergantung pada APBN.

Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan Akun Kesehatan di Indonesia yaitu sumber data terfragmentasi, aliran data belum otomatis, dan belum tersedia informasi detail untuk melacak belanja obat dan belanja modal. Sedangkan, capaian produksi akun kesehatan Indonesia antara lain 1) adanya SK Tim NHA dan perjanjian kerjasama antara Kementerian kesehatan- BPS untuk menyediakan data belanja kesehatan secara rutin; 2) komitmen dalam bentuk anggaran pemerintah untuk mendukung kegiatan NHA; 3) produksi tahunan nha telah rutin dilakukan dan saat ini telah menjadi salah satu prioritas nasional; 4) perluasan produksi belanja kesehatan menurut penyakit pada skema publik; dan menambah dimensi factor of provision pada skema publik.

Narasumber II. Hanifah Hasnur, S.Pd., SKM., MKM dari Universitas Muhammadiyah Aceh
Dimensi Penyedia Layanan dan Fungsi Layanan dalam Kesehatan

Dimensi penyediaan layanan adalah aktor atau siapa yang berperan dalam menyediakan layanan kesehatan sedangkan dimensi fungsi layanan kesehatan adalah belanja kesehatan yang dikeluarkan untuk layanan apa saja. Dimensi ini penting untuk mengetahui apakah belanja kesehatan sudah sesuai untuk peranannya masing – masing.

Sumber data penyusunan akun kesehatan nasional dari sisi dimensi provider dan fungsinya misalnya pada belanja kesehatan sektor publik dari 1) Kementerian Kesehatan berupa data laporan realisasi anggaran, rincian anggaran (RKAKL), dan data sistem aplikasi satker (SAS); 2) data pemerintah daerah berupa laporan realisasi APBD, hasil provincial health account (PHA), dan hasil district health account (DHA). Pada belanja kesehatan sektor non publik dari 1) Badan Pusat Statistik berupa struktur out of pocket (OOP) rumah tangga yang berasal dari data Susenas; 2) data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupa data premi dan data klaim asuransi kesehatan swasta.

Berdasarkan data PPJK, provider yang terbesar dalam menyelenggarakan upaya kesehatan adalah rumah sakit, dan dalam kondisi pandemi COVID-19 akan mengalami peningkatan yang lebih besar lagi dibanding FKTP. Pada skema pembiayaan, belanja terbesar dari Skema Kemenkes berupa provider, preventif dan administrasi. Sedangkan untuk skema JKN, belanja terbesar pada provider rumah sakit. Dilihat dari dimensi fungsi, data akuntansi kesehatan tahun 2018 menunjukkan bahwa layanan terbesar adalah layanan rawat inap sebesar 37,3% layanan rawat jalan dan pelayanan preventif sebesar 14,3% dari total 459,4 Triliun.

Dilihat dari skema pembiayaan menurut fungsi atau layanan kesehatan menunjukkan skema Kemenkes didominasi layanan preventif sebesar 37,5%. Sedangkan skema JKN di dominasi oleh layanan rawat inap untuk fungsi rawat inap kemudian diikuti untuk fungsi rawat jalan, hanya 3,8% saja untuk tata kelola administrasi kesehatan. Dari sisi belanja kesehatan menurut fungsi dan sumber dana terlihat bahwa pelayanan rawat inap masih lebih besar dari out of pocket dan barang medis dari rumah tangga.

Narasumber 3: Yunita, SKM., MKM dari Universitas Indonesia; Produksi Disease Account

Produksi Disease Account atau belanja kesehatan menurut jenis penyakit merupakan bagian dari dimensi penerima manfaat yang menjadi hasil perluasan dari dimensi fungsi layanan. Saat ini di Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan sedang melakukan pengembangan akun kesehatan berdasarkan jenis penyakit yang berkaitan dengan transisi beban penyakit. Dari belanja kesehatan menurut jenis penyakit pada sektor publik mencakup skema Kemenkes, skema kementrian/lembaga (K/L) lain, sub nasional dan skema JKN. Skema Kemenkes, Skema K/L lain, dan skema Pemda, produksi disease account menggunakan data untuk yang sudah di – tagging untuk program atau penyakit tertentu.

Disease account dapat dimanfaatkan untuk 1) merespon kebutuhan kebijakan dalam pembiayaan kesehatan serta analisis penyakit tertentu menurut kelompok sosial demografi maupun menurut umur dan lain sebagainya; 2) dapat digunakan untuk monitoring dan evaluasi penyedia layanan kesehatan dan mengetahui financial burden pada layanan penyakit tertentu, dan 3) dapat digunakan sebagai input dalam proses perencanaan sumber daya yang tepat termasuk penganggaran kedepannya dengan mempertimbangkan keadaan epidemiologi, demografi, dan teknologi.

Perkembangan produksi Disease Account di Indonesia sejak 2017 dimulai dengan menggunakan data Skema JKN yaitu data FKTP tahun 2015 yang diperoleh dari BPJS Kesehatan. Pada 2018 – 2019, memproduksi Disease Account menggunakan skema belanja JKN yang mencakup data FKTP dan data FKRTL untuk data 2016 dan 2017. Pada 2019, diperluas pada skema JKN, skema Kemenkes dan K/L lain, serta skema Sub Nasional. Rencana yang akan datang akan dilakukan perluasan pada skema non publik, perbaikan metodologi, advokasi daerah untuk memproduksi DHA, penajaman operasional untuk Disease Account.

Pembahas 1; Edhie S Rahmat selaku Senior Technical Advisor Office Health, USAID.

Edhie menyampaikan 4 hal pada bahasannya antara lain 1) kapasitas produksi, 2) pemanfaatan NHA; 3) Pharmaceutical Expenditure Tracking; dan 4) Health Account Institutionalization. Pada kapasitas produksi, saat ini telah ada peningkatan yang signifikan untuk collecting data belanja yang bersumber dari BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan kementerian lain, level provinsi, out of pocket rumah tangga, asuransi kesehatan swasta dan korporasi.

Hal ini terjadi karena adanya peningkatan leadership dari PPJK yang disupport oleh tim UI yang telah mengaplikasikan guideline yang dikembangkan periode 2017 – 2018 untuk menganalisis data meskipun konstrainnya banyak. Namun, tantangan yang dihadapi adalah memotivasi pemerintah daerah untuk memproduksi DHA, meninjau lebih dalam OOP untuk kasus katastropik, kebutuhan surveilans penyakit, dan kebutuhan data untuk disagregasi.

Dari sisi pemanfaatan NHA perlu menjawab mengapa hanya NHA, mengapa tidak ada education account dan social assistance account. Selain itu, hasil diseminasi NHA perlu disampaikan ke Kemenkeu, Bappenas, Depdagri, dan perusahan asuransi kesehatan swasta untuk memberikan pemahaman bahwa ada kebutuhan pola – pola alokasi yang perlu dikembangkan. Tim NHA perlu aktif untuk mengumpulkan policy – priority question dari stakeholder dan diformulasikan sebelum produksi dilakukan. Adanya COVID-19 menegaskan bahwa data NHA sangat penting karena dapat menunjukkan tingginya kematian akibat komorbid karena kurangnya belanja kesehatan di bidang itu.

Pada pharmaceutical Expenditure Tracking, sangat mengejutkan hasil pelacakan pengeluaran obat – obatan yang banyak dilakukan pada rawat jalan oleh peserta JKN di rumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena sistem informasi yang ada sangat fragmented seperti sistem informasi RS belum mengumpulkan penggunaan data obat – obatan, sistem JKN juga tidak melaporkan penggunaan obat – obatan, terlebih lagi dari OOP. Pada Health Account Institutionalization, Health Account masih menjadi produk bersama antara Kemenkes dan UI, Hal ini menjadi tantangan pada keberlangsungan nya karena staff turnover pada kedua lembaga ini. Kolaborasi ini masih menjadi ideal, namun perlu dipikirkan kembali untuk kedepannya.

Pembahas 2 Annisa Nuraini, SST., SE., M.Si Selaku Kepala Sub-Direktorat Neraca Rumah Tangga dan Institusi Non Profit. Link Between National Health Accounts and National Accounts.

Keberadaan NHA sangat vital untuk menyusun evidence based yang baik dan keterlibatan BPS dengan merespon kebutuhan data NHA, belanja kesehatan sektor publik utamanya melalui penyediaan data makro maupun mikro. Peran BPS adalah untuk penyediaan data makro berupa pengeluaran konsumsi kesehatan rumah tangga dan juga pengeluaran konsumsi kesehatan LNPRT yang konsisten dengan PDB. Kemudian peran BPS untuk penyediaan data mikro dalam arti data yang dihasilkan oleh Susenas dan Sakernas yang bisa meng disagregasi kebutuhan – kebutuhan sistem NHA. Di fase dimensi triaksi, ada potensi untuk memperkaya dukungan data NHA melalui Framework National Accounts. Data BPJS Kesehatan juga berpeluang lebih mendukung kebutuhan data NHA.

Hubungan antara NHA dan National Account terdapat pada penurunan kesehatan dan pembiayaannya ada dalam table – tabel system of health account, Manual NHA yang sangat berkaitan dengan makro ekonomi utama dalam system of national accounts. Menyandingkan national health account dan nasional account dapat menjamin konsistensi NHA dalam perekonomian. Dari sisi konsep definisi, sistem NHA di drive dari konsep definisi SNA sehingga akan terjaga kompatibilitasnya.

National Account merupakan pengukuran makro ekonomi suatu negara yang komprehensif kemudian terintegrasi dan konsisten. Dalam framework national account ada dua Mother Nature. Ada supply and use table (SUT) dan ada full sequence of account. Supply and use table (SUT) adalah tentang keseimbangan suplai dan demand barang dan jasa di perekonomian dan keseimbangan tersebut disusun secara detail dari ratusan Industri atau lapangan usaha dan juga ratusan produk. NHA dapat dicangkokkan ke dalam core account SUT. Supply and use table terdiri atas 2 yaitu tabel penyediaan dan tabel penggunaan. Framework neraca nasional yang kedua dikenal dengan full Sequence of account (FSA) yaitu seluruh transaksi ekonomi yang dilakukan oleh seluruh pelaku dengan stretching pada pendapatan. Framework NHA juga di breakdown dari full sequence of account.

Pembahas III; dr. Kalsum Komaryani, MPPM selaku Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Saat ini data masih tersebar tetapi komitmen Kementerian Kesehatan telah tumbuh untuk produksi NHA. Meskipun NHA ini bersifat teknis, namun melihat pengguna NHA adalah kementerian/lembaga di luar kesehatan maka data perlu dipahami secara detail. Mulai dari modul, perlu dibuat lebih mudah sehingga mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Hal yang masih menjadi masalah adalah bagaimana membaca data dan indikator-indikator yang harus dimonitor seperti indikator out of pocket. Terlihat bahwa sejak hadirnya JKN, belanja out of pocket terjadi penurunan signifikan. Analisa dan interpretasi data NHA perlu dikuatkan agar yang menggunakan data NHA dapat lebih mudah menangkapnya dan tepat menggunakan untuk perbaikan kebijakan pembiayaan kesehatan kedepannya.