Reportase Seri V Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam JKN

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

PKMK FK KMK UGM menyelenggarakan diskusi Forum Analisis Kebijakan JKN seri V dengan topik Kerangka Kerja Nasional Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Acara yang diselenggarakan melalui aplikasi zoom ini diisi oleh narasumber dari peneliti PKMK FK KMK UGM dan pembahas dari berbagai organisasi yaitu BPJS Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI). Selama dua jam berlangsung, peserta yang mengikuti acara ini mencapai lebih dari 70 orang.

Sesi pertama diisi oleh Candra, peneliti PKMK FK KMK UGM yang membawakan materi “Apakah mekanisme Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK) dapat berjalan efektif di FKTP?” Topik ini diangkat dari penelitian dengan pendekatan evaluasi realis yang bertujuan untuk: menganalisis implementasi kebijakan kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan dalam meningkatkan mutu layanan era JKN, menganalisis kondisi kontekstual yang diperlukan agar kebijakan dapat berjakan, serta mengeksplorasi mekanisme yang mendasari kebijakan KBK berkontribusi terhadap perubahan praktek penyedia layanan mitra BPJS Kesehatan.

Penelitian dilakukan dengan menilai capaian indikator-indikator KBK yaitu kontak rate, rujukan non spesialistik, prolanis, dan input data P-Care. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator kontak rate belum mencapai target. Indikator ini tidak tercapai disebabkan oleh tidak tersedianya SDM yang sesuai standar di FKTP serta petugas FKTP memiliki tugas overload pada saat kunjungan lapangan. Situasi ini menyebabkan merasa FKTP merasa jumlah target layanan kegiatan luar gedung menjadi beban karena besarnya jumlah peserta yang terdaftar di wilayah kerja FKTP sehingga FKTP semampunya melakukan kegiatan promotif preventif di lapangan. Dampaknya, Peserta JKN terdaftar di wilayah kerja FKTP tidak mendapatkan layanan kesehatan dan FKTP tidak mencapai zona aman.

Indikator kedua, yaitu rujukan non spesialistik juga tidak tercapai karena FKTP tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung dokter untuk menegakkan 144 diagnosa yang harus tuntas di FKTP dan dokter tidak memiliki kompetensi memadai menuntaskan 144 diagnosa tuntas di FKTP. Situasi ini menyebabkan FKTP merasa kurang mampu untuk menekan rujukan kasus non spesialistik yang seharusnya selesai ditangani di FKTP. Dampaknya, rujukan non spesialistik tetap terjadi, dan FKTP masuk zona tidak aman.

Indikator ketiga, yaitu kunjungan rutin prolanis tidak tercapai karena rendahnya partisipasi peserta prolanis berkunjung ke FKTP serta peserta prolanis yang orientasi FKTP hanya untuk menebus obat. Situasi ini menyebabkan petugas FKTP berinisiatif mengelola dana prolanis untuk dibelikan baju seragam, dan hadiah lainnya agar peserta konsisten senam dan periksa kesehatan. Dampaknya, kesinambungan pelayanan penyakit kronis peserta Prolanis tetap tidak terlaksana karena peserta prolanis tidak patuh.

Indikator keempat, yaitu input data P-care juga belum optimal tercapai karena adanya kegiatan pencatatan adminstrasi PIS PK dan kegiatan UKM saat melakukan kunjungan lapangan yang menjadi program utama FKTP serta FKTP memiliki nilai kapitasi yang besar. Situasi ini menyebabkan FKTP merasa KBK memberikan beban tambahan bagi FKTP dalam melakukan pencatatan administratif kunjungan sehat sehingga melakukan input data P-care semampunya yang membuat input data tidak lengkap dan target KBK tidak tercapai serta FKTP merasa pemotongan besaran nilai kapitasi tidak menjadi masalah karena target layanan yang menjadi penilaian kinerjanya cukup membebani FKTP sehingga semampunya mencapai target KBK.

Diakhir paparan Candra menyampaikan kesimpulan penelitian berupa: program KBPKP berpotensi meningkatkan mutu layanan primer meskipun perlu penyesuaian desain dan pelaksanaan program agar mengakomodir variasi konteks di berbagai daerah yang berbeda.

Penyaji kedua adalah Eva Tirtabayu Hasri, peneliti PKMK FK KMK UGM, yang menyampaikan materi bertopik Hasil Evaluasi Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Topik ini merupakan hasil penelitian realis terhadap kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan tahun 2016. Penelitian diselenggarakan di 13 provinsi namun karena keterbatasan, data yang dapat diolah adalah dari DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu. Data dikumpulkan melaui wawancara mendalam dengan tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) di tingkat rumah sakit, tingkat cabang, tingkat pusat dan BPJS Kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengungkap kesenjangan dalam pelaksanaan tugas KMKB yaitu sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan, utilization review dan audit medis, serta pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.

Hasil penelitian secara umum adalah empat kegiatan KMKB secara keseluruhan berjalan di enam provinsi. ada rumah sakit yang audit medisnya tidak berjalan karena tidak diberikan wewenang oleh manajemen, serta penatalaksanaan UR belum sepenuhnya mandiri karena keterbatasan skill TKMKB dalam mengolah data. Komponen pembinaan etika, disiplin profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis dapat berjalan karena BPJS Kesehatan berkoordinasi optimal dengan TKMKB di lapangan. Hal ini terjadi dengan mekanisme: TKMKB memberikan rekomendasi kepada organisasi profesi dan rumah sakit tentang pembinaan etika dan disiplin profesi dan kewenangan klinis. Komite medis melakukan pembinaan etika, disiplin profesi dan sosialisasi kewenangan tenaga klinis. Dampaknya, pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kewenangan tenaga klinis, etika, dan disiplin profesi.

Komponen utilisasi review sudah berjalan dalam situasi TKMKB tidak mempunyai akses data ke data BPJS Kesehatan serta TKMKB tidak mempunyai kemampuan mengolah data. Mekanisme yang berjalan dalam pelaksanaan utilization review adalah BPJS Kesehatan menyediakan data UR dan mengolahkan data UR untuk TKMKB. Dampaknya, pelayanan kesehatan yang diberikan dapat mengendalikan biaya dan mengendalikan mutu. Demikian juga komponen audit medis, yang dapat berjalan dalam konteks adanya peraturan yang mengharuskan komite medis melakukan audit medis, adanya pedoman dan pelatihan tentang audit medis, serta TKMKB berasal dari komite medis. Situasi ini dapat terjadi dengan mekanisme TKMKB telah memiliki pengetahuan, kompetensi, dan tanggung jawab melakukan audit medis sehingga pelayanan yang diberikan dapat mengendalikan mutu dan biaya.

Hasil sajian dua pemateri ini kemudian dirangkum oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, peneliti senior PKMK FK KMK UGM dalam sebuah kerangka mutu. Menurut Hanevi, dari tiga dimensi Universal Health Coverage (UHC), dimensi yang sangat jarang dibahas adalah terkait mutu. Misalnya, setelah kita memberi banyak pelayanan kepada pasien bagaimana mutu layanannya sebenarnya? Padahal cita-cita UHC adalah memberi pelayan bermutu tanpa hambatan finansial. Lalu bagaimana mutu layanan JKN kita? “Saya melakukan penelitian di Kabupaten Sleman tentang cakupan efektif hipertensi. Hasilnya seperti ini, dari seluruh penderita hipertensi di Kabupaten Sleman, terdapat 80% yang sudah berobat. Ini sudah baik. Namun baru 28.4% yang sudah mencapai cakupan efektif yaitu pasien yang mendapat pelayanan bermutu dengan tekanan darah terkontrol.” Menurut Hanevi, cakupan efektif inilah yang perlu dicapai untuk menjamin mutu dalam pelayanan program JKN.

Materi-materi yang disampaikan oleh penyaji ini kemudian ditanggapi oleh para pembahas. Pembahas pertama, yaitu dr. Dwi Martiningsih dari BPJS Kesehatan yang menanggapi tentang KBK. Menurut Dwi, saat ini sudah terbit regulasi BPJS Kesehatan tentang KBK yang baru, yang menyampaikan bahwa KBK akan berbasis pada kinerja bukan komitmen. Regulasi ini terbit sebagai respon dari evaluasi efektifitas KBK yang diteliti oleh Universitas Indonesia (UI). Dalam regulasi baru ini perubahan yang dilakukan diantaranya adalah menambah output (sebagai hasil kinerja), meniadakan peer review terkait pemenuhan 144 penyakit, dan kunjungan spesialistik yang semula 5% diturunkan menjadi 2%. Singkatnya, regulasi yang baru ini lebih mendorong FKTP untuk lebih efektif dan efisien lagi dalam memberi pelayanan.

Terkait materi KMKB, Dwi menambahkan, TKMKB punya petunjuk teknis tentang siapa, kapan, dan bagaimana cara kerja. TKMKB ada 3 tingkat yaitu di pusat, provinsi, dan cabang BPJS Kesehatan. Terkait data, lanjut Dwi, sebenarnya data yang digunakan tidak hanya dari BPJS Kesehatan, karena bisa saja data dari media massa dan lain sebagainya. Kemudian terkait audit medis ini, karena mengikuti regulasi yang ada, dalam penyelenggaraannya perlu melibatkan organisasi profesi.

“TKMKB dibentuk oleh BPJS Kesehatan dalam waktu 2 tahun, dan ada syarat-syarat tertentu yang kita minta ke organisasi profesi nanti organisasi profesi yang mengusulkan. Karena tahun 2019 ada banyak masalah, maka TKMKB dibagi jadi 2 yaitu TKMBK Primer dan TKMKB Rujukan. Mekaneisme kerja: meraka membuat juknis, output, dan melakukan pengambilan data. Jadi mereka nanti akan membawa data ke pusat untuk diolah,” tutup Dwi.

Pembahas selanjutnya adalah drg. Indra Rachmad Dharmawan, MKM dari Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Menurut Indra, Kementerian Kesehatan mempunyai tugas mentapkan kebijakan dan perhitungan standar tarif. KBK ini memang untuk memperbaiki kualitas di layanan primer, namun tidak serta merta dengan adanya KBK ini, menjadi dasar untuk pemotongan kapitasi supaya ada efisiensi karena sedang ada defisit. Terkait KBK ini, saat ini Dinas Kesehatan sudah melalui pertemuan berkala untuk menyamakan persepsi tentang definisi operasionalnya (DO). Kementerian Kesehatan juga sudah mengedepankan peran Dinkes Provinsi untuk dapat meminta data dari BPJS Kesehatan di daerahnya untuk diolah.

Terkait 144 penyakit, lanjut Indra, saat ini kita sudah tidak lagi melakukan peer review. “Kementerian Kesehatan sudah berupaya menyisir dari 144 penyakit yang tidak bisa tuntas di FKTP dan dihasilkan 16 penyakit yang tidak bisa tuntas di FKTP sehingga memerlukan kedalaman.” Lebih lanjut Indra memberi masukan untuk pengembangan penelitian. “Untuk mecapai mutu pelayanan, mungkin dapat dikaji juga efektifitas pelaksanaan akreditasi dari fasilitas kesehatan yang diteliti. Masukkan terkait angka kontak, kita perlu melihat juga program-program kita yaitu Porgram Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS PK), ini harus dilihat apakah kegiatan PIS PK ini juga termasuk angka kontak. Karena ini juga terkait program nasional.” Dalam pembahasan ini Indra menutup dengan pernyataan “intinya bagaiaman kegiatan-kegaitan mutu dilaksanakan secara terintegrasi.”

Pembahas selanjutnya adalah dr. Yuli Farianti, M. Epid dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan – Kementerian Kesehatan. Menurut Yuli, TKMKB harus independen, selain TKMKB juga ada tim yang lain. Namun diantara tim ini tidak ada sinergitasnya, sehingga temuan bahwa kesulitan akses data juga memang terjadi di lapangan. Banyak sekali aduan itu malah masuk ke DPK tingkat nasional bukan provinsi. Perlu ada sinergi kerja tim tim ini agar tidak ada tumpang tindih. Tim ini juga perlu diperkuat dengan data sehingga terbentuk mekanisme yang ada di lapangan. “Saat ini kami lihat baru banyak fokus terhadap kendali biaya, belum kendali mutu. Intinya, tim-tim yang ada di lapangan, perlu ada sinergitas dalam bekerja.” Terakhir, kata Yuli, tentang KBK, harus diperhatikan kembali dari 144 penyakit apa kendalanya dan batasan apa.

Pembahas terakhir ada dr. Daniel Wibowo, M.Kes selaku Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan PERSI. Menurut Daniel, KMKB bertujuan untuk menjamin pelayanan agar sesuai dengan standar pelayanan dan diselenggarakan secara efisien. Maka kalau kita mau evaluasi KMKB, maka kita harus lihat lagi apakah pelayaanya memang sudah seusai standar dan sudah efisien. “Catatan saya berdasar paparan Bu Eva, TKMKB kan terdiri dari Tim Koordinasi dan Tim Teknis. Selama saya mengurusi BPJS Kesehatan ini belum pernah ketemu dengan TKMKB tingkat Pusat. Kita perlu membuat jembatan, kalau kita bikin organiasi bertingkat maka harus jelas alur kerjanya. Bagaimana koordinasinya dengan organisasi profesi, ini banyak pekerjaan yang sebenarnya menjadi pekerjaan profesi, tidak boleh diambil alih menjadi peran TKMB karena TKMKB bukan suprastruktur.”

Lebih lanjut Daniel menyatakan, “output apakah akan tercapai dengan keberadaan TKMKB yang sudah ada terus menerus ini. Sejauh mana pemanfaatan hasil kerja TKMKB untuk pengambilan kebijakan oleh BPJS Kesehatan. Jangan-jangan kebijakan yang dikeluarkan dipilih-pilih mana yang baik dan tidak. Sehingga peraturan BPJS Kesehatan No. 8/ 2016 perlu dievaluasi.” Daniel mengusulkan agar TKMKB secara independen diberi kesempatan untuk berinisiatif melakukan perannya, bukan bekerja atas pesanan BPJS Kesehatan. “Biarlah berjalan secara independen dan proaktif untuk menyelesaikan masalah dan memberi masukan. TKMKB bekerja on proses termasuk juga yang ada di tingkat RS, sehingga bisa menjadi tempat konsultasi tim case mix yang ada di RS. Harus menyertai proses pelaksanaan JKN.”

Sebagai penutup Daniel mengatakan, “mutu pelayanan RS harus dipublikasikan terbuka sehingga seharusnya ada insentif dan disinsentif berdasar mutu layanan kesehatan. Kualitas personil TKMBK dalam hal kepakaran dan independensi. Kita juga berharap data layanan dapat diakses terbuka, misal data RS, sehingga kita bisa melakukan UR sehingga bisa dilihat apakah ada miss data. Ada publikasi yang memadai terkait kebijakan baru yang diusulkan oleh TKMKB, sebagai panduan perbaikan di tingkat faskes. Mari kita evaluasi peran TKMKB untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan regulasinya.”

Sesi Diskusi:

(T) Sri Mulatsih: Kemampuan FKTP yang masih rendah, perlu ditelaah lebih lanjut: apakah perlu ditinjau lagi stratifikasi dari BPJS?, artinya apakah sudah ada tinjauan awal penyesuaia terhadap kompetensi dokter umum di layanan primer?. Bagaimana peran RS Tertier dalam peningkatan kompetensi dr umum di layanan primer? apakah pemanfaatan telemedicine bisa menjanjikan? Di sisi lain, apakah sudah ada tinjauan bahwa pendapatan dr spesialis di layanan sekunder dan tertier berkurang, bagaimana analisisnya?

(J) Candra: Pada dasarnya rendahnya pelayanan yang dapat dilakuakn oleh FKTP karena kurangnya fasilitas penunjangnya. Terkait kemampuan FKTP yang rendah ini, ini perlu menjadi perhatian karena dengan adanaya KBK, angka ini akan krusial juga angka rujukan diturunkan jadi 2% padahal berdasar penelitian hanya mampu 6%.

(T) Fajar Sihombing: Sebaiknya TKMKB merupakan bagian dari DPK (nasional) atau sebaliknya, sehingga independen.

(J) Yuli: Sudah koordinasi dengan TKMKB Pusat, untuk kooridnasi kerja terkait tata kerja dan terkait klinisi. Dulu yang kita bahas adalah tentang independensinya, supaya tidak ada saling kepentingan. Intinya ini memang sudah ditata kembali keterkaitan tim yang ada di lapangan.

(T) Mursyid Hasan Basri: – Prinsip kendali itu monitoring, bukan di akhir, – menunggu evaluasi dilakukan TKMKB atau pihak berwenang lainnya akan terlambat dalam mengendalikan proses pelayanan, – konsekuensinya Kendali mutu dan biaya harus dilakukan di level pelaksana sehingga fungsi monitoring terjadi karena data tersedia di sana. Untuk pak hanevi: betul kenapa KMKB dilakukan kok sepertinya pelayanan belum “baik”. Itu karena setiap indikator pada dasarnya menjadi bagian mutu (dalam berbagai dimensi). biaya bisa menjadi bagian mutu, waktu bisa menjadi bagian mutu, dan indikator lainnya. Jadi analisis mutu sebenarnya sangat “mudah” dilakukan karena sepanjang datanya ada [cara mengujinya: kalau indikator di laporan periodik ada bulanan/triwulan/tahunan, maka mutunya dapat dinilai]

(J) Eva: Penelitian ini menggunakan pendekatan realis evaluasi dengan melihat kebijakan yang sudah diterbitkan oleh BPJS Kesehatan, jadi yang kita lihat masih sebatas superfisial tidak melihat dampak dari berjalannya TKMKB ini. Namun, bila kita lihat dari paparan dr. Daniel bahwa buku petunjuk teknis tidak bisa diakses, tidak dapat diakses karena buku tersebut untuk kepentingan tertentu. Dari penelitian kami mendapat informasi bahwa kendali mutu nya didapat dan ada juga yang tidak mendapat kendali mutu (hanya sebatas biaya).

(J) Hanevi: Paparan Bu Eva menunjukkan bahwa meskipun regulasinya sama namun penerapannya dapat berbeda, misal terkait KMKB diminta untuk melakukan Audit Medis, ada daerah yang KMKB nya sudah punya kompetensi sehingga mampu melaksanakan audit klinis.

(J) Indra: Terkait implementasi sebuah program di Indoneisa, masing-masing kabupaten kota kita sudah mempunyai standar pelayanan minimal, jadi ada 12 SPM, jadi kemampuan tiap daerah beda-beda. Penilaian SPM ini seperti rapot daerah diantaranya adalah pelayanan Hipertensi dan Diabetes mellitus. Kita juga memberikan tugas Kemenkes bagaimana cara meningkatkan fasilitas layanan kesehatan, misal penguatan sistem rujukan nasional, penguatan manajemen puskesmas, daerah juga mengusulkan untuk mencapai standar pelayanan yang bermutu sehingga diharapkan masing-masing faskes memiliki standar yang sama.

(T) Sri Mulatsih: Pembinaan etika medis, menurut kami jauh lebih luas dari pada beberapa hal seperti audit medis, review clinical pathway, dan lainnya. Permasalahan dilema etik klinis yang dialami oleh para klinisi dan profesi lain, belum sepenuhnya difasilitasi dari manajemen. Selama ini komite etik berperanan lebih banyak pada penyelesaian kasus keluhan pelanggan eksternal. Bagaimana peran komite etik rumah sakit dalam hal ini? Terkait dengan kendali mutu dan kendali biaya, peran tim mutu sebagai tangan kanan direksi menjadi sangat penting, terutama bagaimana mengimplementasikan secara operasional manajemen risiko manajemen maupun manajemen risiko klinis. Hal lain yang sangat penting, terutama di rs rujukan tertier, masih sulit untuk mengintegrasikan antara kebijakan BPJS dengan standar profesi pelayanan terutama subspesialis, termasuk standar diagnostik, sehingga masih ditemukan kualitas pelayanan yang tidak optimal karena permasalahan ini.

(J) Daniel: Salah satu aspek mutu di FKRTL dalam administrasi adalah tidak ada duplikasi peran dari fungsi struktural yang sudah ada. Dari semua hal yang ada apakah masih diperlukan TKMKB mengurusi soal etik, karena sudah jadi bagian dari budaya keselamatan, budaya tata laku yang ditetapkan direktur, juga komite etik, komite profesi. Menurut saya tidak perlu TKMKB mengurusi soal etik lagi.

(J) Hanevi: Saat ini Indonesia, khususnya Direktorat Mutu dan Akreditasi sudah menyusun Kebijakan dan Strategi Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan (atau National Quality Policy and Strategy (NQPS)) di Indonesia. Di dalamnya ada kebijakan yang intinya berisi dimensi mutu yang mnejadi prioritas di Indonesia. Harusnya berbagai regulasi mutu dalam JKN harus memperhatikan 7 dimensi mutu ini, tidak hanya dimensi terntentu. Ada 4 strategi umum dan 3 strategi fungsional. Terkait strategi fungsional yang harus diperhatikan adalah menguatkan regulasi, tata kelola struktur organisasi, sumber daya, dan peran seluruh komponen sistem kesehatan lainnya. Bagaimana semua tim yang ada dapat bergabung menjadi satu dengan memperhatikan kondisi spesifik di masing-masing daerah di Indonesia. Implementasi NQPS ada berapa poin misalnya harus ada biaya untuk penignkatan mutu, ada sistem tata kelola dan organisasi sehingga tidak ada duplikasi, mendudukan stakeholder dalam posisi yang sama, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Terkait Monev kebijakan-kebijakan yang ada, perlu diperhatikan, apakah akan diitndaklanjuti atau hanya akan tertumpuk menjadi dokumen.

 

 

 

Reportase Webinar Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 5 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (14/07) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Capaian dan Tantangan Implementasi JKN di Provinsi Sulawesi Selatan” yang disampaikan oleh Peneliti JKN Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. Irwandi, SKM., M.Sc,PH., M.Kes. Pembahas pada pertemuan ini adalah dr. Muhammad Ichsan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

 

Sesi Pembukaan

Pertemuan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. Laksono selaku koordinator Forum. Prof Laksono menyampaikan pertemuan ini untuk melihat data apa yang terjadi di daearah. Dalam konteks JKN, data di daerah dapat memberikan bukti bahwa masih terjadi ketimpangan pelayanan kesehatan di Provinsi maupun kabupaten/kota. Pada aspek keuangan, kondisi ketimpangan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan BPJS Kesehatan masih banyak terdapat di kota-kota besar. Hal inilah yang akan dirangkum dalam seminar antar daerah ini untuk melihat bagaimana peran pemerintah daerah dalam konteks JKN. Tentunya ini membutuhkan analisis dan rekomendasi kebijakan yang akan dibahas pada pertemuan terakhir seri seminar ini.

Sesi Presentasi: Capaian dan Tantangan Implementasi JKN di Provinsi Sulawesi Selatan

materi

Irwandi selaku narasumber menyampaikan hasil literatur review terkait capaian sasaran peta jalan JKN 2014-2019 khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil tinjauan literatur terkait Tata Kelola BPJS Kesehatan menunjukkan pengajuan klaim non kapitasi yang masih terhambat, kasus rujukan FKTP yang tinggi karena kompetensi FKTP belum memadai, ketersediaan obat di FKTP belum tersedia secara lengkap untuk melayani pasien di Puskesmas, dan distribusi Klaim RITL dan RJTL masih rendah dari rata-rata tingkat nasional. Pada Konteks Equity, hasil literatur review menunjukkan cakupan kepesertaan JKN pada tahun 2018 telah mencapai 92% atau sekitar 8.071.716 jiwa yang di dominasi oleh segmen PBI APBN sebanyak 42, 40%, dan terjadi penurunan menjadi 90.4% di tahun 2020. Hasil dari berbagai sumber data terjadi perbedaan hasil mengenai cakupan kepesertaan JKN di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari sisi paket manfaat, ketanggapan pemenuhan hak pasien BPJS (PBI, Non PBI, Jamkesda dan KIS) masih lebih rendah dibandingkan dengan pasien biaya sendiri dan asuransi kesehatan swasta. Selain itu, masih banyak puskesmas yang memiliki akses sulit dan sumber daya manusia kesehatan yang belum terdistribusi secara merata. Pada Aspek Mutu Layanan, kepuasan peserta seiring waktu semakin membaik dan persoalan jasa medis, tarif layanan masih umum dikeluhkan oleh provider mitra BPJS Kesehatan.

Sesi Pembahas:

materi

dr. H. Muhamamad Ihsan selaku pembahas menyampaikan Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan integrasi Jamkesda ke Program JKN untuk semua peserta pada kelas 3 Rumah Sakit. Capaian kepesertaan JKN di per April 2020 mencapai 83,52% dari 7.889.770 jiwa. Penguatan untuk mencapai UHC yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan melakukan akurasi data untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, penentuan kriteria zona kepesertaan dimana terdapat 7 kabupaten/kota yang mencapai UHC (29,1%), dan yang mencapai 80-94% terdapat 10 kota/kabupaten dan 7 kota mencapai 60-79% kepesertaannya. Tantangan yang dihadapai pemerintah daerah dalam JKN antara lain data PBI yang belum valid, pemerataan SDM kesehatan dan fasilitas kesehatan belum optimal terutama daerah terpencil dan perbatasan, tunggakan iuran peserta mandiri, defisit BPJS Kesehatan, dan peran pemerintah daerah dari sisi pengganggaran yang terkendala refocsusing covid.

Sesi Diskusi

1. Apa yang dilakukan dinas kesehatan untuk tetap menjamin premi dalam pandemi covid?

– Ada beberapa kabupaten yang memutus anggaran jaminan kesehatan PBI untuk refocusing Covid. Terkait Klaim di RS tidak bermasalah namun di Puskesmas masih bermasalah karena anggaran masuk di Kas Daerah kemudian di alokasikan ke fasilitas kesehatan

2. Bagaimana Tata kelola BPJS Kesheatan khususnya transparasni anggaran dan keterbukaan pada pemerintah daerah?

– Komunikasi dan Koordinasi dengan BPJS Kesheatan cukup baik sehingga data-data terkait kepsertaan dan penglolaan anggaran jika diminta cepat didapatkan. Kita per triwulan mendapatkan laporan tertulis.

3. Bagaimana upaya pemerataan pelayanan Kesehatan era JKN yang dirasa masih timpang antara kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan?

– Persoalan ini merupakan persoalan yang sampai saat ini belum mampu terselesaikan karena membutuhkan berbagai solusi dan berbagai stakeholders. Selain itu, keterbatasan kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai pepranjangan tangan Pemerintah Pusat sebagai pembinaan dan pengawasan memerlukan keterlibatan akademisi untuk melakukan pemetaan kebutuhan dan kelangkaan sarana & prasarana kesehatan. Selain itu, yang perlu diupayakan adalah pemenuhan kebijakan kompensasi yang ada dalam Pasal 23 UU SJSN.

4. Bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melaksanakan perpres 64/2020 khususnya pada PBI APBD dan PBPU Kelas 3?

– Kita sudah laksanakan, ada penyesuaian dengan anggaran yang ada. Ada penambahan yang akan diberikan khususnya PBI APBD. Tetapi, kita juga membutuhkan kepastian apakah tidak ada kenaikan tarif lagi dalam waktu dekat untuk program JKN ini.

Prof. Laksono Trisnantoro

– Dalam waktu dekat ini kita akan kembangkan advokasi kebijakan kesehatan berbasis bukti untuk tingkat pusat, provinsi, kab/kota. Rekomendasi kebijakan terkait dengan prioritas daerah, sebagai gambaran apakah di daerah sudah cukup peran pemda dalam koteks JKN. Beberapa hasil penelitian UGM di daerah menunjukkan pemda tidak begitu banyak berperan karena data dan informasi tidak sampai ke daerah bahkan terjadi ketimpangan daerah yang semakin besar. Daerah-daerah tertentu mau tidak mau harus menanggung defisit BPJS yang berdampak pada APBN. Dan dana dari daerah miskin untuk BPJS yang tidak tidak terpakai akan terpakai untuk menutup kerugian di daerah yang besar. Pola seperti ini yang menjadi tambahan untuk rekomendasi kebijakan.

Reporter: Candra

 

 

Webinar SMERU Research Institute: Menilik Adaptasi dan Ketangguhan Layanan Kesehatan dan Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

15jl 1

Rabu, 15 Juli 2020

The SMERU Research Institute, didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) mengadakan webinar bertajuk “Menilik Adaptasi dan Ketangguhan Layanan Kesehatan dan Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi #COVID19”. Webinar ini merupakan seri ketiga dari studi SMERU Institute mengenai dampak COVID-19. Webinar ini bertujuan menjelaskan rangkaian sembilan studi yang menganalisis kondisi sosial ekonomi di tengah pandemi COVID-19, salah satunya di bidang kesehatan dan ketahanan sosial budaya masyarakat. 

Webinar yang berlangsung pukul 10.00 – 12.00 WIB ini dipandu oleh moderator Sulton Mawardi yang merupakan peneliti senior di SMERU Institute. Adapun narasumber dalam webinar ini ialah Nurmala Selly Saputri dan Rizki Fillaili selaku peneliti di SMERU Institute. Penanggap dalam webinar ini ialah Muh. Fahrisal A selaku Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Wisnu Yulianto selaku Seksi Gizi Dinkes Pemprov DKI Jakarta dan Meuthia Ganie-Rochman selaku Dosen Departement Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia.

15jl 2Webinar ini dibuka oleh Widjajanti Isdijoso, Direktur SMERU Institute. Wanita yang biasa disapa Anti ini menjelaskan pandemi COVID-19 membawa dampak yang sangat luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Pandemi COVID-19 juga memengaruhi kondisi sosial ekonomi dan menghadirkan dampak – dampak lainnya.
“Untuk pelayanan dasar KIA, masyarakat menengah ke bawah akan mengalami hambatan karena tidak boleh berkumpul. Kita khawatir ada dampak jangka panjang untuk kualitas manusia. Misalnya, balita yang perkembangan dan imunisasinya tidak berjalan baik,” ujar Widjajanti.

Guna mengkaji dampak – dampak COVID-19 ini, peneliti dari SMERU Institute telah melakukan beberapa penelitian. Nurmala Selly Saputri selaku peneliti SMERU Institute menyampaikan hasil penelitian singkat berjudul “Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Pelayanan Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) : Studi Kasus Lima Wilayah di Indonesia”. Wilayah yang diteliti antara lain DKI Jakarta – Jakarta Timur, Jawa Barat – Bekasi, Sulawesi Selatan – Maros, Bali – Badung, dan NTT – Kupang. Metode penelitian yang digunakan ialah mixed method.

Selly mengatakan bahwa pandemi COVID-19 memberikan tantangan baru yang mengancam keselamatan ibu dan anak. Pandemi ini membuat penurunan kunjungan KIA ke pelayanan kesehatan. Penurunan kunjungan ini pun bahkan tidak membaik setelah pandemi berakhir. “Kalau kita lihat dari yang dulu (sebelum COVID-19), pandemi seperti Ebola membuat penurunan pelayanan kesehatan khususnya di bidang KIA,” ujar Selly.

Dalam penelitiannya, Selly menemukan bahwa pelayanan kehamilan difokuskan di puskesmas, kunjungan ke rumah, dan via daring. Terkait pelayanan kehamilan Selly menemukan bahwa dalam pandemi COVID-19, pelayanan secara daring memang cukup dimanfaatkan. “Saat pandemi Ebola pelayanan via WhatsApp belum tereksplor. Pada pandemi COVID-19, nakes memanfaat WhatsApp untuk pemantauan/supervisi kader di daerah. Walau dari lima wilayah, di Kupang masih terbatas aksesnya,” ujar Selly.

Terkait penurunan pelayanan K1 dan K4, Selly menemukan bahwa terjadi penurunan saat pandemi COVID-19. Untuk penurunan pelayanan K1 tertinggi pada Kabupaten Maros, Kota Jakarta Timur dan Kabupaten Badung. Terkait penurunan pelayanan K4 tertinggi pada Kota Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Badung.

15jl 3

Terkait pelayanan persalinan tidak banyak berubah, namun temuan penelitian menunjukkan ada beberapa kendala. Kendala tersebut misalnya kesulitan merujuk di Kabupaten Maros karena wilayah tersebut masuk zona merah. Kendala lain ialah kesulitan merujuk di Kota Kupang karena ada penolakan dari keluarga. Di Kupang pasien takut, terutama saat tahu Faskes yang dituju merawat pasien COVID-19.

Terkait pelayanan persalinan, Selly melaporkan temuan yang bisa menjadi perhatian bersama khususnya bagi Dinkes DKI Jakarta. “Di Jaktim ada persalinan di non faskes dan non nakes pada Februari hingga April 2020. Ini bisa dikarifikasi oleh penanggap dari Dinkes. Ini cukup mengejutkan di Jakarta masih ada persalinan di non nakes,” ujar Selly.

Peneliti SMERU Institut Rizki Filalili juga memaparkan hasil penelitiannya bertajuk “Ketangguhan Sosial Budaya Kelompok Rentan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19”. Rizki menyatakan semua masyarakat baik individu, komunitas, regional maupun global harus tangguh bersama-sama.”Ketangguhan yang dimaksud ialah proses masyarakat (komunitas) pulih kembali, melaksanakan kehidupan dengan memanfaatkan fasilitas yang mereka punyai baik sosial dan ekonomi,” ujar Rizki. Ia melihat bagaimana kelompok rentan membangun ketangguhan saat pandemi. Rizki mengatakan kelompok rentan terpapar dampak pandemi dan kesulitan bertahan hidup sehari – hari.

15jl 4

Dalam penelitian ini, Rizki mewawancarai 20 informan dari berbagai wilayah. Adapun komunitas yang ia teliti antara lain komunitas perkotaan di pemukiman padat Jakarta Timur, komunitas perkotan di pinggiran Jakarta Timur, komunitas desa adat di Kabupaten Badung Bali dan komunitas pekerja migran di Jakarta dan sekitarnya.

Dalam penelitiannya, Rizki menemukan di pemukiman padat di tengah kota Jakarta, ternyata persepsi masyarakat cukup rendah. Di pinggiran kota, persepsi tertular dan kekhawatiran cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena ada warga sekitar terinfeksi COVID-19, sehingga mereka ketat menjaga protokol seperti memasang portal, mengecek suhu dan memantau aktivitas masyarakat. Untuk komunitas migran, mereka lebih menerapkan strategi adaptasi. Di desa adat Badung Bali, Rizki menemukan kepatuhan masyarakat yang cukup tinggi. “Warga rata – rata takut tertular dan mendapat risiko sanksi adat. Misalnya takut digrebek pecalang (petugas keamanan), dihukum adat, dan diceremahi di depan umum atau isitilahnya dibuat malu,” ujar Rizki.

Rizki memaparkan beberapa temuan utama dalam penelitiannya. Pertama, masyarakat memiliki tingkat kepatuhan pada protokol kesehatan yang dipengaruhi oleh presepsi risiko kesehatan dan risiko (sanksi) adat. Kedua, individu dan masyarakat beradaptasi pada perubahan kondisi sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi. Penerapan strategi adaptasi di tingkat masyarakat mengandalkan pada sistem organisasi masyarakat. Ketiga, Rizki juga menemukan ada tantangan membangun ketangguhan terkait dengan kohesi sosial dimasyarakat dan tingkat kerentanan yang berbeda antar komunitas.

Keempat, pulang kampung menjadi strategi bertahan hidup (jangka pendek) bagi pekerja migran, memanfaatkan bonding social capital. Kelima, dukungan komunitas di tempat migran bekerja pada umumnya terbatas. Ikatan sosial dan emosional dengan masyarakat sekitar rendah dan menambah kerentanan. Keenam, peran pekerja migran sangat besar bagi pembangunan ekonomi desa, sehingga ketangguhan desa harus diperkuat.

Hasil penelitian dari SMERU Institut ini mendapat tanggapan dari Dinkes DKI Jakarta dan Akademisi Universitas Indonesia. Muh. Fahrisal A selaku Seksi Kesehatan Keluarga Dinkes Pemprov DKI Jakarta memberikan klarfikasi terkait persalinan di non faskes yang terjadi di Jakarta. “Persalinan non faskes meski dirumah tetap melibatkan nakes. Di rumah ada keluarga yang nakes,“ ujar Fahrizal.

Fahrizal juga setuju dengan data peneliti bahwa pelayanan KIA ada penurunan signifikan khususnya pada puncak pandemi saat PSBB pada akhir Maret. Hal ini memengaruhi pada kunjungan pelayanan baik ibu hamil, nifas, dan melahirkan. Ia juga membenarkan bahwa tingkat COVID-19 di DKI Jakarta tinggi pada pekan-pekan terakhir ini. “Pekan ini meningkat karena kita tes kurang lebih 365 ribu sampel,” ujar Fahrizal.

Ia juga memberikan tanggapan terkat pelayanan kesehatan. “Kematian ibu perlu dikaji apa ada hubungan antara rendahnya pelayanan kesehatan dengan meningkatnya kematian,” ujar Fahrizal

Wisnu Yulianto selaku Seksi Gizi Dinkes Pemprov DKI Jakarta memberikan tanggapan terkait gizi. Ia mengatakan gizi ruhnya ada pada pemantauan pertumbuhan balita dan bayi di Posyandu. Ia mengatakan pandemi ini, sedikit banyak memengaruhi proses pemantauan tersbeut. “Apalagi ada kebijakan sekda mengharuskan penundaan sementara kegiatan Posyandu,” ujar Wisnu.

Terkait stunting, Wisnu melihat tren monitoring balita berisiko, trennya mengalami penurunan yang cukup jauh. “Pada Januari – Februari 2020 cukup tinggi karena saat itu banyak program gizi. Maret masih terdapat pengukuran hingga minggu kedua, setelah itu PSBB. April – Juni tetap proses pemantauan. Karena keterbatasan tak semua masyarakat punya smartphone, kita masih punya kendala komunikasi dan intervensi,” ujar Wisnu.

Meuthia Ganie-Rochman selaku Dosen Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia memberikan tanggapan khususnya terkait isu sosial masyarakat. Meuthia mengatakan studi yang dilakukan SMERU Institute memiliki kekuatan memberikan karena menyajikan perbedaan karakter masyarakat. Penelitian tersebut juga menyajikan presepsi yang dalam wilayah berbeda dan memaparkan bagaimana bisa terjadi conflicting preception.

Namun Meuthia mengatakan SMERU Institute belum melihat kapasitas organisasi masyarakat secara mendalam. “Kalau melihat ketahanan masyarakat tidak cukup hanya melihat masyarakatnya saja, tapi bagaimana ia connect terhadap organisasi masyarakat lain. Itu tidak boleh ditutupi sebagai potensi mengatasi masalah,” ujar Meuthia.

Meuthia menambahkan pemerintah memang sudah melakukan sosialisasi cuci tangan dan lain sebagainya. Tapi ia menyarankan sosialisasi ini harus dilakukan dalam konteks yang lebih luas. Seperti cuci tangan, ada masyarakat yang jauh dari fasiltitas sanitasi.“Kita membutuhkan partner yang lebih kompeten untuk mengingatkan dan memberi penjelasan di tingkat masyarakat,” kata Meuthia.

Terkait tingkat ketahanan masyarakat menghadapi pandemi COVID-19, Meuthia juga memaparkan beberapa faktor untuk membahas ketahanan. Faktor tersebut antara lain sifat shock, sumber daya (modal sosial/material/moral), karakter sosial komunitas, fungis dalam organisasi dan hal yang ada di luar masyarakat tersebut. 

Reporter: Kurnia Putri Utomo (PKMK FK-KMK UGM)

 

 

Terms of Reference Evidence to Policy Fellowship Program

Versi bahasa indonesia

A. Introduction

The majority of health policies in Indonesia were created as a result of policymakers’ political goals, assumption and sometimes we hardly find a policy informed by evidence. Indonesia has 34 provinces within 514 local authorities; therefore, this large number could become a great barrier to decide which policy will be suitable for most subnational levels and what policy should be customize to local context. Understanding these reasons, CHPM have been establishing a network named Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (in English Translation “Indonesian Health Policy Network”) and aiming to support the subnational and local government and researchers. From our experience collaborating with another university or research centers, we found out that Indonesian Health researchers are struggling to provide evidence-informed policy recommendations and developing their strategy to engage with local stakeholders (policymakers). Based on these considerations, CHPM aims to establish a Policy Fellowship Program.

B. Purpose and learning objectives

CHPM aims to establish a Policy Fellowship Program with the following objectives:

  1. Promote evidence-informed policy to all fellow
  2. Build the capacity of selected fellows in producing quality policy research and analysis, as well as produce knowledge translation product.

C. Benefits of Program

  Policy makers Researchers
Individual Mentee
  1. Improving their knowledge, awareness, competencies and skills regarding knowledge translation process and its products.
  2. Fostering their ability to assess needs, synthesize and communicate their products from a policy lens.
  3. A future career investment for networking and knowledge
 
  1. Improving their knowledge, awareness, competencies and skills regarding knowledge translation process and its products.
  2. Fostering their ability to assess needs, synthesize and communicate their products from a policy lens.
  3. A future career investment for networking and knowledge
Home Institution of Mentee
  1. Having a staff with knowledge translation competencies.
  2. Being able to deal with health research and product knowledge appropriately.
  3. Promoting their policy is based on evidence (Institution Branding)
  1. Having a staff with knowledge translation competencies.
  2. Disseminating his/her knowledge to their co-workers
  3. Their knowledge product is ready to be delivered to potential policy maker.

D. Mentors and Participant 

Name Pirotiy Topic Institutions Province
Agus Fitriangga, MPH Tuberkulosis (TB) Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat
Stevie Ardianto Nappoe, MPH KIA Save the Childern Indonesia Nusa Tenggara Timur
Kasman Makkasau, M.Kes JKN Dinas Kesehatan Kota Parepare Sulawesi Selatan

Team for Fellowship Program

  1. Mentor: Andreasta Meliala (Director of CHPM)
  2. Instructors:
    1. Shita Dewi (Director of Program Fellowship and Health training specialist)
    2. Clara Abou Samra, MPH, An Evidence Lead Specialist at the Knowledge to Policy (K2P) Center at AUB
    3. Rana Saleh MPH, The Advocacy and Evidence Lead Specialist at the Knowledge to Policy (K2P) Center at FHS-AUB
    4. Rayane Nasreddine, Communication Officer at the Knowledge to Policy (K2P) Center at FHS-AUB
  3. Facilitators: Relmbuss Fanda, Tri Muhartini, Agus Salim and Kurnia Putri Utomo

E. Time and method of activity

Date : August, 10 – 28 2020
Time : 10.00 – 14.30 WIB
Link Zoom : will be provided with a following email
Person in charge : Shita Listya Dewi

F. Agenda Timetables

Day 1: Program Introduction

  1. To be introduced to the mentorship and the policy fellowship program
  2. To discuss fellowship program deeply and impact of it with fellows in a one on one meeting
  3. To understand the contract between Fellows member and CHPM
Time Activity Speacker / PIC
Introduction: Evidence to Policy: A Policy Fellowship Program: (August 10, 2020)
13.00 – 14.30

Welcome Participant and Program Introduction 

  •  Purpose of Mentorship program
  •  Mentorship Team
  •  Fellow Deliverables
  •  Timeline for evaluation
  •  Course Rundown
Dr, dr Andreasta Meliala, MARS
Fellow oriented discussion: Follow up interviews with Fellows
13.00 – 14.30 (12 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Policy Makers)

Tim CHPM

 

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(First Researcher)

Tim CHPM

 

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Second researcher)

Tim CHPM

 

 

Day 2. Understanding Evidence based Policy

  1. To introduce participants to the health policymaking process and the role of research evidence in health policy decisions
  2. To enhance participants’ skills in designing search strategies for effective search
  3. To understand the role of evidence synthesis in influencing policy decisions

Download Powerpoint

Time Activity Speaker/ PIC
Introduction: Understanding Evidence based Policy: (August 24, 2020)

10.00 – 10.30

 

Introduction of Program
Fellows participant introductory:

  • Fellows Identity
  • 3 objectives to tackle during the fellowship program
  • Priority topic
  • Plan to tackle the priority topic
  • Impact expected
Shita Listyadewi
10.30 – 11.15

The role of research evidence in health policy decisions:

  • Policy Agenda
  • Policy Implementation
Shita Listyadewi
11.15 – 12.00

Search Strategies 

  • Boolean Operator
  • Truncation
  • Document Search
 Agus salim
12.00 – 13.00

Break

 
13.00 – 14.00 Evidence synthesis in influencing policy decisions  AUB
14.00 – 14.30 Search Strategies Exercise Agus Salim

 

Hari ke-3 policy fellowship: Knowledge translation products

  1. To acquaint participants with the different knowledge translation products available to support the use of research evidence in policy decisions. Participants will be introduced to the different steps involved in preparing a Policy Brief/ Briefing Note. Policy Brief are one of the most common knowledge translation tools for influencing policy agenda and action.
  2. To support participants in developing a problem statement.
  3. To introduce participants to the process of developing the underlying factors and elements/options of a policy brief

Download Powerpoint

Time Activity Speaker / PIC
Introduction of Knowledge translation: (August 25, 2020)

10.00 – 10.30

 

Knowledge translation product: Policy brief and Briefing notes

  • Knowledge Translation Products
  • Introduction of Policy Brief and Briefing Notes
  • Key Ingredients of Effective Policy Briefs and Briefing notes.
Tri Muhartini
10.30 – 12.00

Framing a Policy Brief: Problem Statement

  • Problem Characters and Standards
  • Learning from problem statement of CHPM policy Briefs.
  • Open discussion between fellows and mentors

Framing a policy brief: Underlying Factors and Options

  • Component of the underlying factors and options
  • Learning from underlying factors of CHPM policy Briefs.
  • Open discussion between fellows and mentors
  • Write individual policy brief
Tri Muhartini
12.00 – 13.00 Break  
13.00 – 14.00

 Exercise and wrap problem statement

Tri Muhartini
14.00 – 14.30 Review for first day activities Relmbuss Fanda

 

Day 4 of the policy fellowship: Developing a policy brief outline

  1. Participants will work to develop an outline for a Policy Brief / Briefing Note for a topic on which they are currently working on (as part of their involvement in the policy fellowship program) or would like to work on in the future.

Download Powerpoint

Time Activity Speaker / PIC
Develop a policy brief outline: (August 26, 2020)
10.00 – 10.30 Review underlying factor and Options Tri Muhartini
10.30 – 12.00 Application exercise: Writing Underlying factors Team
12.00 – 13.00 Break – lunch – Praying Time  
13.00 – 14.00 Application exercise: writing the options Team
14.00 – 14.30 Review dan evaluasi aktivitas hari ke-4 Tri Muhartini

 

Objectives of Day 5 of the policy fellowship: Presenting and Reviewing by mentor and expert.

  1. To present the Policy Brief/Briefing Note outline including the problem statement, underlying factors and elements/options
  2. To review fellow’s policy outlines and provide expert inputs on those.
  3. To introduce participants to media engagement

Download Powerpoint

Time Activity Speaker / PIC
Presentation of individual policy brief outlines: (August 27, 2020)
10.30 – 11.00 Presenting a policy brief: Underlying Factors and Options (First fellow) Team, mentors and expert
11.00 – 11.30 Presenting a policy brief: Underlying Factors and Options (Second fellow) Team, mentors and expert
13.00 – 12.00 Presenting a policy brief: Underlying Factors and Options (Third Fellow) Team, mentors and expert
12.00 – 13.00 Break  
13.00 – 14.30 Knowledge Uptake: Policy Dialogues Rana S

 

Objectives of Day 6 of the policy fellowship: Next steps and Advocacy.

  1. To introduce participants to advocacy and media engagement
  2. To develop a knowledge uptake plan for the Policy Brief/Briefing Note
  3. To explain about next step activities to control the commitment of fellows

Download Powerpoint    link survey

Time Activity Speaker / PIC
Advocacy and Uptake Plan: (August 28, 2020)
10.00 – 11.30

An uptake plan for the Policy Brief/Briefing Note

  • Stakeholder Mapping.
Shita Listyadewi
Tri Muhartini
11.30 – 13.00 Break – Lunch  
13.00 – 13.30 Media Engagement  Rayane N (K2P)
13.30 – 14.30 Advocacy in Health System Rana S (AUB)
14.30 – 15.00 Next steps: the commitment to draft a full policy brief Shita Listyadewi
15.00 – 15.10 Review and evaluate for day activities Relmbus F
15.10 – 15.20 Closing ceremony Dr, dr Andreasta Meliala, MARS

 

 

G. Acknowledgement

CHPM would like to acknowledge the team at Knowledge To Policy (K2P) Center for their technical support as part of the K2P Mentorship Program to CHPM institutions. CHPM admits the Alliance for Health Policy and Systems Research at the World Health Organization for financial support as part of Knowledge to Policy (K2P) Center Mentorship Program [BIRD Project].

Kerangka Acuan Kegiatan Program Kemitraan: Kebijakan Berbasis Bukti

English version

A. Pengantar

Kebijakan kesehatan di Indonesia seringkali dibuat sebagai hasil dari tujuan politik dan asumsi para pembuat kebijakan, sehingga sangat jarang kita menemukan kebijakan yang didasari oleh bukti ilmiah yang cukup kuat. Indonesia memiliki 34 provinsi dalam 514 pemerintah lokal. Kondisi ini dapat menjadi penghalang besar untuk memutuskan kebijakan nasional mana yang cocok untuk sebagian besar daerah dan kebijakan apa yang harus disesuaikan dengan konteks lokal tertentu. Memahami alasan-alasan ini, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FK-KMK) UGM telah membangun jaringan bernama Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan bertujuan untuk mendukung pemerintah pusat dan daerah serta peneliti. Pengalaman kami berkolaborasi dengan universitas atau pusat penelitian lain membawa kami pada temuan bahwa para peneliti Kesehatan Indonesia sedang berjuang untuk memberikan rekomendasi kebijakan berdasarkan bukti dan mengembangkan strategi mereka untuk terlibat dengan pemangku kepentingan lokal (pembuat kebijakan). Berdasarkan pertimbangan ini, PKMK bertujuan untuk membentuk Program Kemitraan : Kebijakan Berbasis Bukti

B. Maksud dan Tujuan Kegiatan

PKMK bermaksud untuk membangun sebuah program kemitraan dengan tujuan berikut:

  1. Mempromosikan Kebijakan berbasis Bukti kepada para mitra
  2. Membangun kapasitas mitra terpilih dalam memproduksi penelitian dan analisis kebijakan bermutu sebagaimana memproduksi produksi terjemahan pengetahuan.

C. Keuntungan dari Program Kemitraan

  Pembuat kebijakan Peneliti
Pribadi penerima program kemitraan
  1. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kompetensi dan keterampilan mereka terkait proses penerjemahan pengetahuan dan produk-produknya.
  2. Membina kemampuan mereka untuk menilai kebutuhan, menyelaraskan dan mengkomunikasikan produk mereka dari lensa kebijakan.
  3. Investasi karir masa depan untuk pengembangan jaringan dan pengetahuan
 
  1. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kompetensi dan keterampilan mereka terkait proses penerjemahan pengetahuan dan produk-produknya.
  2. Membina kemampuan mereka untuk menilai kebutuhan, menyelaraskan dan mengkomunikasikan produk mereka dari lensa kebijakan.
  3. Investasi karir masa depan untuk pengembangan jaringan dan pengetahuan
Institusi
  1. Memiliki staf dengan kompetensi terjemahan pengetahuan.
  2. Mampu melakukan penelitian kesehatan dan produk pengetahuan dengan tepat.
  3. Mempromosikan kebijakan mereka didasarkan pada bukti (Branding Institusi)
  1. Memiliki staf dengan kompetensi terjemahan pengetahuan.
  2. Menyebarkan pengetahuannya kepada rekan kerja mereka
  3. Produk penerjemahan pengetahuan siap untuk disampaikan kepada pemangku kebijakan potensial.

D. Mentor dan Target

Peserta Program Fellowship:

Nama Topik Prioritas Instansi Daerah
Agus Fitriangga, MPH Tuberkulosis (TB) Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat
Stevie Ardianto Nappoe, MPH KIA Save the Childern Indonesia Nusa Tenggara Timur
Kasman Makkasau, M.Kes JKN Dinas Kesehatan Kota Parepare Sulawesi Selatan

Tim dalam Program Kemitraan

  1. Mentor: Andreasta Meliala (Director of CHPM)
  2. Instruktur:
    1. Shita Dewi (Direktur Program Kemitraan and Spesialis Pelatihan Kesehatan)
    2. Clara Abou Samra, MPH, Evidence Lead Spesialis dari Knowledge to Policy (K2P) Center AUB
    3. Rana Saleh MPH, Advocacy and Evidence Lead Spesialis dari Knowledge to Policy (K2P) Center FHS-AUB
    4. Rayane Nasreddine, Communication Officer dari Knowledge to Policy (K2P) Center FHS-AUB
  3. Fasilitator: Relmbuss Fanda, Tri Muhartini, Agus Salim dan Kurnia Putri Utomo

E. Pelaksanaan Kegiatan

Tanggal : 10 – 28 Agustus 2020 dengan rincian detil kegiatan
Waktu : 10.00 – 14.30 WIB
Link : – ( akan disediakan dikemudian hari)
Penanggung Jawab : Shita Listya Dewi

F. Detil Kegiatan

Day 1: Pengenalan Program

  1. Pengenalan program mentorship dan program policy fellowship
  2. Mendiskusikan program fellowship dengan mitra secara lebih dalam dan mendiskusikan dampaknya dalam pertemuan tatap muka
    1. Apa itu Fellowship program
    2. Apa dampak yang ingin dicapai
    3. Memahami kontrak antara peraih beasiswa dan CHPM
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Perkenalan: Evidence to Policy: A Policy Fellowship Program: (10 Agustus 2020)
13.00 – 14.30

Welcome Participant and Program Introduction 

  •  Purpose of Mentorship program
  •  Mentorship Team
  •  Fellow Deliverables
  •  Timeline for evaluation
  •  Course Rundown
Dr, dr Andreasta Meliala, MARS
Diskusi dengan mitra: Menindaklanjuti interview dengan Mitra
13.00 – 14.30 (12 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Policy Makers)

Tim CHPM

 

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(First Researcher)

Tim CHPM

 

13.00 – 14.30 (13 Agustus 2020)

Discussing about program deeply with fellows
(Second researcher)

Tim CHPM

 

 

link download materi

Day 2. Memahami Kebijakan Berbasis Bukti

  1. Untuk memperkenalkan peserta pada proses pembuatan kebijakan kesehatan dan pentingnya bukti penelitian dalam memutuskan kebijakan kesehatan
  2. Untuk meningkatkan keterampilan peserta dalam merancang strategi pencarian untuk pencarian yang efektif
  3. Untuk memahami peran sintesis bukti dalam mempengaruhi keputusan kebijakan
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Perkenalan: Memahami Kebijakan Berbasis Bukti: (24 Agustus 2020)

10.00 – 10.30

 

Introduction of Program
Fellows participant introductory:

  • Fellows Identity
  • 3 objectives to tackle during the fellowship program
  • Priority topic
  • Plan to tackle the priority topic
  • Impact expected
Shita Listyadewi
10.30 – 11.15

Search strategies

  • Boolean Operator
  • Truncation
  • Document Search
Agus Salim
11.15 – 12.00 Istirahat – makan siang – salat  
12.00 – 13.00 Evidence synthesis in influencing policy decisions  AUB
13.00 – 14.00 Mentee Review and evaluate for second day activities Relmbuss  Fanda

 

link download materi

Hari ke-3 policy fellowship: Knowledge translation products

  1. Untuk mengenalkan peserta pada berbagai produk penerjemah pengetahuan yang tersedia untuk mendukung penggunaan bukti penelitian dalam keputusan kebijakan. Peserta akan diperkenalkan pada langkah-langkah berbeda untuk menyiapkan policy brief / briefing notes. Policy brief adalah salah satu alat penerjemah pengetahuan yang paling umum untuk mempengaruhi agenda dan tindakan dlam membuat kebijakan.
  2. Untuk mendukung peserta dalam mengembangkan ‘pernyataan masalah’ (problem statement).
  3. Untuk memperkenalkan peserta pada proses pengembangan faktor-faktor yang mendasari dan unsur-unsur / opsi-opsi policy brief
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Pengenalan mengenai produk penerjemah kebijakan: (25 Agustus 2020)

10.00 – 10.30

 

Knowledge translation product: Policy brief and Briefing notes

  • Knowledge Translation Products
  • Introduction of Policy Brief and Briefing Notes
  • Key Ingredients of Effective Policy Briefs and Briefing notes.
Tri Muhartini
10.30 – 12.00

Framing a Policy Brief: Problem Statement

  • Problem Characters and Standards
  • Learning from problem statement of CHPM policy Briefs.
  • Open discussion between fellows and mentors

Framing a policy brief: Underlying Factors and Options

  • Component of the underlying factors and options
  • Learning from underlying factors of CHPM policy Briefs.
  • Open discussion between fellows and mentors
  • Write individual policy brief
Tri Muhartini
12.00 – 13.00 Istirahat – makan siang – salat  
13.00 – 14.00

Exercise and wrap problem statement

Tri Muhartini
14.00 – 14.30 Review fellow’s problem statements Relmbuss Fanda

 

link download materi

Day 4 of the policy fellowship: mengembangkan outline policy brief

  1. Peserta akan mengembangkan outline untuk Policy Brief / Briefing Note mengenai topik yang sedang mereka kerjakan (sebagai bagian dari keterlibatan mereka dalam program policy fellowship) atau dalam bekerja di masa depan
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Mengembangkan outline policy brief: (26 Agustus 2020)
10.00 – 10.30 Review underlying factor and Options
Tri Muhartini
10.30 – 12.00 Application exercise: Writing Underlying factors Team
12.00 – 13.00 Break – lunch – Praying Time  
13.00 – 14.00 Application exercise: writing the options Team
14.00 – 14.30 Review underlying factor and Options Tri Muhartini

 

link download materi

Tujuan hari ke-5 policy fellowship: presentasi dan review dari mentor dan pakar.

  1. Untuk mempresentasikan outline policy brief/ briefing note termasuk pernyataan masalah(problem statement), faktor-faktor yang mendasari (underlying factor) dan elemen / opsi
  2. Untuk meninjau outline kebijakan dan memberikan masukan kepada ahli mengenai tinjauan tersebut.
  3. Untuk memperkenalkan kepada peserta mengenai keterlibatan media
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Presentasi mandiri outline policy brief: (27 Agustus, 2020)
10.30 – 11.00 Presenting a policy brief: Underlying Factors and Options (First fellow) Team, mentors and expert
11.00 – 11.30 Presenting a policy brief: Underlying Factors and Options (Second fellow) Team, mentors and expert
11.30 – 12.00 Presenting a policy brief: Underlying Factors and Options (Third Fellow) Team, mentors and expert
12.00 – 13.00 Istirahat – makan siang – salat  
13.00 – 14.30 Knowledge Uptake: Policy Dialogues Rana S

 

link download materi

Tujuan hari ke-6 the policy fellowship: rencana berikutnya dan advokasi.

  1. Untuk memperkenalkan peserta pada proses advokasi dan keterlibatan media
  2. Untuk mengembangkan rencana penyerapan pengetahuan untuk policy brief/ brefing notes
  3. Untuk menjelaskan tentang kegiatan langkah selanjutnya untuk memperjelas komitmen mitra
Waktu Aktivitas Pembicara / PIC
Advokasi dan Uptake Plan: (28 Agustu 2020)
10.00 – 11.30 An uptake plan for the Policy Brief/Briefing Note

Shita Listyadewi
Tri Muhartini

11.30 – 13.00 Istirahat – makan siang – salat  
13.00 – 13.30 Media Engagement Rayane N (K2P)
13.30 – 14.30 Advocacy in Health System Rana S (AUB)
14.30 – 14.50 Next steps: the commitment to draft a full policy brief Shita Listyadewi
14.50 – 15.20 Closing ceremony Dr, dr Andreasta Meliala, MARS

 

link download materi

G. Pengakuan

PKMK mengakui bahwa tim dari Knowledge To Policy (K2P) Center melakukan dukungan teknis sebagai bentuk dari the K2P Mentorship Program kepada PKMK FKKMK UGM. PKMK juga mengakui bahwa Alliance for Health Policy and Systems Research di World Health Organization untuk dukungan finansial kepada Knowledge to Policy (K2P) Center Mentorship Program [BIRD Project].

Ringkasan Isi Seminar Perbaikan kelembagaan BPJS Kesehatan: Aspek Akuntabilitas, Transparansi & Ekosistem IT dalam JKN

 

kerangka acuan   reportase

Prof Laksono Trisnantoro, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM
Tri Aktariyani, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK
Insan Rekso Adiwibowo, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK

Hasil penelitian PKMK FK-KMK UGM bersama 16 perguruan tinggi di 13 provinsi Indonesia menunjukkan bahwa transparansi program JKN masih belum baik. Situasi ini disinyalir karena maturitas Lembaga penyelenggara program JKN belum terjadi. Di sisi lain, lemahnya DJSN selaku Lembaga substansial dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia juga menyebabkan akuntabilitas keputusan kebijakan JKN sering berada jauh dari apa yang dicita-citakan oleh UU SJSN dan UU BPJS.

Aspek Akuntabilitas & Transparansi Program JKN

Sentralisasi tata Kelola program JKN selain menyebabkan terfragmentasinya tata pemerintahan dalam pemenuhan hak pelayanan kesehatan bagi masyarakat, juga mengakibatkan sulitnya akses data dan informasi. Menurut teori perundang-undangan isi Pasal 83-84 Perpres No.82/2018, telah menjadi validasi bahwa sejak 2014 hingga saat ini transparansi data dan informasi program JKN sulit diakses baik oleh pemerintah daerah maupun oleh kementerian/Lembaga bahkan DJSN. Ketidaktransparan data dan informasi program JKN membuat monitoring dan evaluasi JKN tidak dilakukan secara partisipasti, dan kebijakan diambil tidak berdasarkan bukti yang komprehensif.

Apabila menelaah dalam UU SJSN, ada dua Lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan program Jaminan sosial (JKN), yakni DJSN & BPJS (Kesehatan & Ketenagakerjaan). Kedua Lembaga ini memiliki fungsi & tugas yang berbeda, namun sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Realitanya, putusan MA No.60P/HUM/2018 & Putusan MA No.007/P/HUM mengungkapkan fakta bahwa lemahnya DJSN. Padahal DJSN adalah sebuah Lembaga yang berisikan perwakilan pemerintah, pemberi kerja, ahli dan pekerja. Lembaga ini menjadi lemah diidentifikasi karena instrumen hukum yang tidak mendukung.

Ekosistem IT dalam JKN

Hasil dari pengamatan menilai bahwa sistem TI di BPJS belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan. TI di BPJS masih untuk kebutuhan BPJS Kesehatan dengan pendekatan korporasi, bukan sebuah Badan Publik. Sehingga prinsip interoperabilitas data (saling bekerja sama antar sistem yang berbeda) antar stakeholder menjadi belum diterapkan saat ini. Berbagai fungsi TI dalam sistem jaminan kesehatan yang seharusnya ada, belum dijalankan (misal fungsi early warning untuk pengawasan, penggunaan data untuk perencanaan).

Kesimpulan

Faktor utama penyebab transparansi dan akuntabilitas yang belum baik dalam program JKN adalah tidak terjadi maturitas baik pada BPJS Kesehatan, DJSN maupun kementerian/Lembaga terkait. Sulitnya akses data dan informasi ini menyebabkan monitoring dan evaluasi program JKN tidak dilakukan secara partisipatif, sedangkan kebijakan yang dibentuk cenderung tidak berdasarkan bukti dan data yang komprehensif.

Saran

UU BPJS perlu direview bersama pemerintah dan stakeholders. Sebab, UU tersebut tidak tuntas mendelegasikan tanggung jawab dan pengawasan program JKN bagi DJSN, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah. Selain itu, UU BPJS tidak memadai menjelaskan kedudukan dan kewenangan antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dapat memicu potensi disharmonis pada peraturan pelaksana yang dibentuk kemudian waktu.

Jogjakarta 2 Juli 2020

 

 

 

 

Ringkasan Isi Seminar Seri IV Penanganan Fraud Layanan Kesehatan untuk Keberlangsungan Program JKN

Aturan mengendai pengendalian fraud program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah diluncurkan sejak tahun 2015 dalam PMK No. 36/ 2015. Pada tahun 2019, regulasi ini direvisi menjadi PMK No. 16/ 2019. Hingga tahun ke 6 diluncurkannya regulasi ini, belum ada evaluasi terkait penerapan regulasi ini oleh berbagai stakeholder yang terlibat program JKN. Situasi ini mendorong PKMK FK KMK UGM dan didukung oleh Knowledge Sektor Inisiative (KSI) menyelenggarakan penelitian dengan topik “Evaluasi Realis:  Implementasi Regulasi Anti Fraud Program JKN.”

Penelitian ini dilakukan di 13 provinsi di Indonesia untuk menilai penerapan PMK No. 36/ 2015. Penelitian dilakukan dengan pendekatan realis, yaitu metode yang menangkap dalam situasi apa regulasi ini dapat berjalan? Bagaimana caranya berjalan? Dan Keluaran sebagai dampak berjalannya regulasi ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak adanya kebijakan khusus anti fraud yang diadopsi di tingkat organisasi menyebabkan tidak ada arahan yang pasti bagi seluruh staf institusi dan tim anti fraud untuk menjalankan program-program pengendalian fraud sehingga menyebabkan komponen program berjalan tidak optimal.

Rekomendasi yang diajukan sebagai respon hasil penelitian adalah: (a) menyusun kebijakan tingkat daerah terkait pencegahan kecurangan JKN; (b) mendorong pimpinan untuk berkomitmen tinggi untuk menerapkan upaya-upaya pengendalian kecurangan JKN; (c) membentuk Tim Pencegahan kecurangan JKN; dan (d) meningkatkan kompetensi Tim Pencegahan Kecurangan JKN melalui program edukasi dan training.

Penerapan PMK No. 36/ 2015 yang belum optimal sejalan dengan situasi di Indonesia yang memang juga belum optimal membangun sistem pengendalian kecurangan JKN. Salah satunya adalah dalam proses deteksi potensi fraud. Laporan Majalah Tempo per 6 Juni 2020 menyebutkan bahwa potensi fraud di Indonesia hanya kurang 1%. Namun, data ini juga kurang detil apakah 1% ini adalah besaran kasus atau besaran dampak atau besaran kelompok yang berpotensi melakukan fraud.

Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu membangun sistem anti fraud yang menyeluruh, termasuk sistem deteksi potensi fraud. Agar sistem deteksi potensi fraud dapat lebih optimal, perlu dilakukan langkah-langkah berikut: (a) membangun sistem pengaduan terpadu; (b) melatih pihak-pihak terkait untuk mengenali skema fraud program JKN dan mendorong pihak terlatih ini untuk melaporkan potensi fraud yang diketahui/ dialami; (c) mengembangkan metode deteksi lain yang membantu terbongkarnya kasus fraud program JKN; (d) melatih pihak terkait untuk mampu mendeteksi potensi fraud secara mandiri; dan (e) hasil deteksi potensi fraud ditindaklanjuti dalam bentuk investigasi.

 

 

Reportase Webinar Seri IV Penanganan Fraud Layanan Kesehatan untuk Keberlangsungan Program JKN

PENGANTAR

Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini merupakan sesi ke – 4 yang diselenggarakan sejak sekitar 3 minggu lalu, selama ini PKMK – JKKI telah bersama 13 perguruan tinggi melakukan evaluasi JKN mengunakan data kesehatan dengan membahas 3 hal diantaranya mengenai; 1) Tata kelola, membahas hubungan kementerian kesehatan DJSN, termasuk bagaimana peran pemerintah daerah, 2) Menekankan aspek equity dan mutu layanan yang dilihat sebagai tujuan mulia yang harus dicapai, serta 3) Sistem mutu secara lebih baik, diantaranya terkait dengan masalah fraud.

Selama 2 minggu ke depan disuse akan membahas evaluasi JKN terkait mutu, memperdalam salah satu apek definisi mutu yakni efisiensi, dimana saat ini kita menghadapi tantangan terkait dengan potensi fraud. Bagaimana implementasi regulasi anti fraud, tidak hanya terkait dengan efisien tapi juga clinical quality baik di RS dan pelayanan primer dapat berjalan dengan baik. Hasil yang diharapkan dalam pembahasan ini yakni dapat mentransformasikan hasil penelitian ke pengambil kebijakan, berharap apa yang diteliti bisa masuk ke media masa secara teratur, merespons isu JKN yang sedang berkembang saat ini dalam kontek isi undang – undang SJSN dan UU BPJS termasuk tentang mutu di kala COVID-19 serta fraud dan dapat memberikan saran yang akan dibahas pada sesi terakhir yang dilanjutkan dengan advokasi. Minimal saat ini sudah mulai menggunakan bukti – bukti baru yang sudah bermunculan serta melihat apakah JKN itu sudah mencapai tujuan ka arah equitas, transparan serta apakah mutunya dapat dipertanggungjawabkan.

Sesi Presentasi hasil penelitian:

– Deteksi fraud dalam pelaksanaan kebijakan JKN

drg Puti Aulia Rahma selaku peneliti menyampaikan hasil kajian deteksi fraud dalam pelaksanaan kebijakan JKN dengan menggunakan pendekatan realist evaluation dengan menilai implementasi PMK No. 36/ 2015 oleh TPK JKN di tingkat Dinas Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan (FKTP & FKRTL): bagaimana regulasi ini berjalan, pada kondisi seperti apa, serta bagaimana hasilnya. drg Puti juga menyampaikan hingga saat ini, setelah hampir 5 tahun berjalan implementasi regulasi tersebut belum pernah dievaluasi. Semua hipotesis dalam penelitian ini diformulasikan dalam bentuk konteks yang menggambarkan situasi, mekanisme yang merupakan bentuk ketika berjalan/tidak berjalan seperti apa, serta keluaran akibat kebijakan tersebut berjalan /tidak berjalan.

Terdapat 4 besar amanat kebijakan organisasi yang diharapkan dalam context, mechanism dan outcome (CMO) diantaranya; 1) Penerapan kebijakan dan pedoman pencegahan kecurangan (fraud), 2) Pengembangan Budaya Pencegahan Kecurangan, 3) Pengembangan Pelayanan Kesehatan Berorientasi Kendali Mutu dan Kendali Biaya, 4) Pembentukan Tim Pencegahan Kecurangan JKN. Hasil penelitian terkait CMO menyimpulkan bahwa tidak adanya kebijakan khusus anti fraud, dimana tidak ada arahan yang pasti bagi seluruh staf institusi dan tim anti fraud untuk menjalankan program – program pengendalian fraud serta komponen program yang sudah berjalan, tidak optimal.

Secara garis besar terdapat 2 penyebab tidak dijalankannya amanat PMK No. 36/ 2015 yakni rendahnya komitmen pengendalian fraud baik dari sisi tim itu sendiri maupun struktur di atasnya (Kepala Dinas Kesehatan, Kepala FKTP, dan Direktur RS) serta minimnya pengetahuan dan keterampilan terkait kecurangan JKN. Rekomendasi dalam penelitian ini agar; 1) Dinas Kesehatan menyusun kebijakan tingkat daerah terkait pencegahan kecurangan JKN yang diadopsi dari PMK No. 36/ 2015 (saat ini dapat menggunakan PMK No. 16/ 2019) kebijakan ini nantinya dapat diadopsi di tingkat provider layanan kesehatan, 2) Pimpinan Dinas Kesehatan serta pimpinan provider layanan kesehatan (FKTP & FKRTL) berkomitmen tinggi untuk menerapkan upaya – upaya pengendalian kecurangan JKN, 3) Membentuk Tim Pencegahan kecurangan JKN di tingkat Dinas Kesehatan dan di tingkat provider layanan kesehatan (bagi yang belum memiliki tim) dan Meningkatkan kompetensi Tim Pencegahan Kecurangan JKN melalui program edukasi dan training terkait JKN.

– Pencegahan dan Penindakan Fraud era JKN

Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan poin – poin penting dalam deteksi fraud merupakan 1) tahap penting dalam proses pengendalian fraud yakni dapat menjadi titik awal dilaksanakan investigasi 2) Semakin cepat fraud terdeteksi, semakin cepat pula kerugian fraud terhindarkan, 3) Menjadi kunci dalam pencegahan fraud, yang dapat menciptakan persepsi staf, bahwa perbuatan fraud akan diketahui serta 4) Pondasi dari deteksi fraud yang efektif untuk mengetahui metode mana yang paling banyak digunakan untuk membongkar kasus fraud.

Prof. Laksono juga menyampaikan bahwa sistem pencegahan dan penindakan fraud di Indonesia belum berjalan seperti seharusnya, terutama jika meliat dari siklus program anti fraud dari awareness, reporting, detection, investigation, sanctioning. Bahkan pada tahapan awareness saja masih belum berjalan dengan baik, apalagi pada tahapan investigasi padahal fraud bukanlah masalah sepele, contoh di Amerika sudah menerapkan sanksi. Padahal jika semakin cepat fraud terdeteksi maka semakin cepat pula kerugian fraud terhindarkan. Di lapangan, data juga belum dipergunakan untuk mendeteksi bahkan saat ini di Indonesia belum ada profesi investigator. Di Amerika Seriat, data menunjukkan bahwa dari banyak pihak (dari berbagai kelompok) yang terdeteksi berpotensi melakukan fraud, terdapat 6% pihak yang terbukti melakukan fraud (dan mendapat hukuman pidana).

Jika kita melihat bahwa sistem JKN yang ada saat ini yakni sistem klaim dan INA CBG merupakan impor dari Amerika Serikat dan Australia namun sebagian dari komponen yang harusnya juga diimpor masih ketinggalan seperti pencegahan dan pengendalian fraud yang belum ada di indonesia.

SESI PEMBAHASAN

Pada sesi ini dibahas oleh 2 pembahas yakni Toto Prihantono dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kunto dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Toto Prihantono manyampaikan bahwa fraud merupakan fenomena gunung es dan menekankan perlunya upaya agar bagaimana 94% orang yang punya potensi tapi tidak bisa dibuktikan berdasarkan data di Amerika Serikat tersebut merupakan ancaman potensi yang dapat mengganggu keberlangsungan JKN di Indonesia. Toto juga membagi pengalaman BPKP melakukan pengendalian fraud yakni dengan melakukan Identifikasi terhadap 3 hal saling berhubungan dan dipandang menjadi satu kesatuan, yakni dari faktor; 1) Manusia mengenai soal integritas, 2) Aspek budaya karena ada bebeberapa kondisi dimana dimanfaatkan oleh pelaku fraud dengan menafsirkan ulang budaya yanga biasa diterima di masyarakat kita dengan memberikan hadiah dan sebagainya untuk membenarkan kejadian fraud, 3) Sistem dan Kolusi.

BPKP juga melihat hubungan aspek manusia dan budaya dengan mencoba mengembangakan kelompok pembelajar anti korupsi (KOMPAK) yakni suatu komunitas yang peduli dengan anti fraud. BPKP juga melakukan intervensi dari aspek manusia dan sistem sehingga dilakukan pengawasan terus menerus dengan metode continous audit continous monitoring (CACM) selalu dilakukan pegawasan akan sangat terbantu dengan penggunaan IT karena bisa mengetahui history dan pola fraud akan terlihat sehingga bisa menjadikan indikator base yang menunjukkan bahwa fraud sedang berlangsung meskipun belum sampai pada tahap akhir kegiatan. Namun di sisi lain, jika hanya mengandalkan IT mungkin juga tidak akan cukup sehingga perlu upaya lainnya namun dengan pendekatan early warning sistem mampu membangkitkan kewaspadaan bahwa fraud sedang berlangsung.

Selanjutnya, Kunto dari Direktorat Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertegas kembali mengenai tahapan terjadinya fraud, dan mengharapkan pemerintah sudah menyentuh 3 tahapan tersebut untuk melakukan pencegahan fraud mulai dari tahapan; 1) Action, dimana pada tahap ini merupakan tahap awal dan suda mulai terlihat indikasi fraud sehingga sebuah lembaga seharusnya mempersiapkan regulasi maupun internal kontrol, 2) Conceal, tahapan ini si pelaku ingin menyembunyikan kejahatannya agar tidak terlihat sehingga perlu upaya misalnya menyusun PNPK atau pedoman, bahkan melakukan audit. 3) Conversion, pada tahap ini si pelaku ingin mengubah sesuatu dan ingin menikmati hasil kejahatan, sehingga perlu dibuatkan sebuah regulasi misalnya dengan sistem laporan harta kekayaannya untuk mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya.

Kunto juga menjelaskan bahwa kasus kejahatan mengenai kesehatan yang pernah ditangani KPK masih terkait dengan alkes barang dan jasa, dan fraud yang terkait dengan diagnosa masih banyak yang belum terungkap, banyak dokter yang belum dapat melakukan low full investigation dengan keparakarannya untuk mengungkap diagnosa upcoding dll. Terdapat juga permasalahan misalnya dengan kasus fisioterapi dengan rata – rata diberikan dengan jumlah yang tidak sesuai dengan rekomendasi dan diberikan 24 kali namun kelemahannnya ketika dilakukan audit untuk menentukan apakah fraud atau tidak belum ada PNPK – nya, saat ini selalu mendorong Kemenkes untuk menyelesaikan standar untuk penyakit tertentu yang belum ada standarnya.

SESI DISKUSI

1. Meskipun tidak ada regulasi anti fraud, namun dengan adanya kebijakan terkait clinical pathway/ panduan praktek klinis tentunya bisa sebagai tools untuk menilai kepatuhan terhadap standar dan secara tidak langsung bisa mencegah fraud, Mohon tanggapannya?

drg Puti: betul, ketika ada PPK yang berjalan diturunkan dalam bentuk clinical pathway (CP) ini dapat menjadi instrumen atau dapat menjadi salah satu barrier melakukan hal – hal yang mengarah ke fraud. CP merupakan instrument yang sangat baik namun CP saja tidak cukup utuk membangun anti fraud, karena di beberapa fasyankes justru konten CP disesuaikan dengan kebutuhan tertentu dalam hal ini yang bisa menjurus pelaksanakanya ke dalam fraud. Namun jika CP dilakukan dengan kaidah yang baik maka bisa digunakan, tapi tidak semata dilakukan karena harus ada evalausi terhadap CP dan ada kebijakan jika CP nya sudah patuh diapakan dan ada kebijakan juga jika CP yang dilaksanakan tidak patuh.

2. Mengapa rekomendasi penelitian tidak mengarah pada law inforcement?

Laksono: Klaim BPJS yang tidak terlalu tinggi, maka RS harus melihat fraud menjadi isu menarik, fraud karena survival. Di UGM adalah pencegahan sejak 2014. Memang betul penindakan itu belum. Di UGM coba mem – benchmark dengan yang ada di Amerika dan disana keras sekali, disana fraud sudah berkembang menjadi organisasi kriminal dan dilakukan oleh mafia – mafia, namun petugas anti fraud juga sudah menggunakan mesin untuk merazia markasnya orang – orang yang melakukan fraud. 

Kunto: Sebuah fraud tidak mudah membuktikan menjadi tindak pidana, bisa dilakukan dengan 2 cara yakni: Ranah pidana dan Ranah adminstratif, tetapi mungkin dengan kadar tertentu bisa dibawa ke persidangan. Sebetulnya di pusat kemkes ada tim gabungan yang menangani fraud, dan ada BPKB juga.

Toto: Salah satu yang terbaru dan sudah mulai mengarah menjadi salah satu isu dengan aparat penegak hukum, problemnya adalah bagaimana kita bisa katakan ini pelayanan dianggap berlebihan dan siapa yang bisa menyatakan itu berlebihan, seharusnya yang paham proses bisnisnya adalah oang yang paham bisnis tersebut/atau orang yang berkecimpung dibidang itu. Harus dibangun beradasarkan kejadian skenaio fraud siapa yang melakukan apa. Sehingga muncul simptom – simptom dan dapat dilakukan pendalaman dan audit.

Laksono: situasi ini ketika hukum kurang jelas menyangkut suatu proses medik yang kompleks, di Indonesia belum ada profesi investigator. Bila ada profesi investigator dan di Amerika merupakan profesi khusus dan mereka menginvestigasi tidak berbulan – bulan dan bahkan bertahun – tahun dengan melihat pola.

3. Ketika fraud terjadi, apakah FKRTL sebagai pihak yang dirugikan atau malah diuntungkan? Sistem pencegahan fraud harus mampu menempatkan FKRTL sebagai pihak yang dirugikan ketika ada stafnya yang melakukan fraud. Sehingga diharapkan fungsi pencegahan dan pengendalian fraud oleh FKRTL dapat berjalan?

drg. Puti: Terkait pemahaman dan kesadaran, awarness jalan duluan sembari menyiapkan low enforcement, Amerika sudah mempunyai website khusus yang di page – nya khusus untuk edukasi anti fraud khusus sektor kesehatan, tidak digabungkan dengan yang lain. Dengan adanya edukasi membuat orang sadar bisa meruugikan semua pihak. Di website mendorong masayarakat melaporkan, jadinya tingkat pelaporannya tinggi. Harus disdarkan kembali merugikan FKRTL sendiri, dan jika terbukti nanti akan kena masalah, awareness harus kuat dan edukasinya harus kuat dulu. Saat ini masih terdapat aura bahwa fraud itu justru menguntungkan FKRTL sehingga penting sekali edukasi yang gencar terhadap FKRTL.

Kunto: Sebenarnya MA telah mengelurkan peraturan Nomor 13 Tahun 2016 tentang pemidanaan korporasi, jadi korporasi bisa dikenakan sanksi misalnya pencabutan ijin, pembekuan usaha jika tidak melakukan upaya – upaya pencegahan fraud, misalnya tidak menerapkan ISO 37001 tentang anti suap dan lain – lain, bukan hanya korporasi tapi juga pegawainya bisa dituntut. Misalnya di RS ada oknum yang melakukan fraud maka yang bisa ditindak hanya oknum tersebut selagi manajamen RS dapat membuktikan bahwa sudah melakukan upaya – upaya pencegahan misalnya sudah menerapkan Kendali mutu kendali biaya dan seterusnya, namun jika tidak maka bisa dikatakan bahwa RS tersebut menikmati keuntungan tersebut sehingga bisa diberikan sanksi seperti pencabutan ijin, pembekuan usaha

4. Fraud dalam JKN selain dipicu oleh faktor internal juga eksternal, faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan, faktor apa yang mendorong/mempengaruhi kebijakan ikut memberi andil terjadi nya fraud JKN di Indonesia? dan Apa yang menyebabkan tenaga kesehatan berpotensi melakukan fraud tinggi? Selain dari sistem, apakah memang “system” BPJS saat ini memaksa tenaga kesehatan untuk fraud?

Toto: Belajar mengendalikan fraud tidak hanya belajar dar pengalaman sndiri tapi juga bisa belajar dari dari bidang lain. Menurut saya tdak ada masalah dan saat ini membangun sistem dan sduah harus mulai mengenalkan upaya – upaya pengendalian fraud. Sebagai bentuk pemeblajaran. Bagaimana kejadian fraud di wilayahlain yang bisa dilihat dari dan sudah cukup membangun sistem yang memadai. Dalam prosesnya akan diketahui siapa yang berpotensi yang melakukan fraud bagaimana melakukan proses pencatatan. Dimana prosedur yang lemah dan menguatkan kendali. Tetap tidak akan lepas dari bentuk fraud yang umum, tekhnik invesitagasi relatif lebih sama maupun mengenai siapa yang akan diwawancarai.

Puti: Mulai dari komitmen pimpinan.
Saat ini sudah ada pergeseran kesadaran, kuncinya adalah keadilan, jika igin menindak pihak lain maka pihak lainnya juga ditindak. Penanganan fraud yang berkeadilan, ada regulasi yang menaungi dan ada yang paham tentang fraud.

5. Siapa yang harus menjadi lembaga independen (tidak memiliki hubungan dengan pelaku usaha layanan kesehatan tersebut) sehingga tidak terjadi konflik kepentingan? 2000 RS

Puti: Paling tepat adalah menggunakan tim anti fraud yang sudah digadang dari tahun lalu di tingkat pusat, sama dengan yang dilakukan di AS merupakan gabungan dari beberapa institusi.
Apakah dinas mempunyai kapasitas dan potensi, iya punya kapasitas orang dan ada yang punya pemahaman namun tertutup dengan banyaknya program lain yang harus dikerjakan, namun yang diharapkan pihak dinas dapat hadir jika ada persengketaan.
Dalam Permenkes 16 Tahun 2019 tersebut Dinas harus punya andil setidaknya untuk sosialisasi

6. Belum lagi masyarakat yang belum “terdidik” akan regulasi yang bener di BPJS, yang sering kali kita menyebutnya fraud dari peserta. dan jika tidak di penuhi bisa berujung komplain ke BPJS, dan kalau BPJS ada komplain dari peserta selalu membela pihak peserta?

drg.Puti: Bisa dilakukan adalah edukasi ke peserta, harus ada upaya real untuk membantu RS membuat upaya edukasi ke pasien dan dibuat poster yang besar – besar.

 

PENUTUPAN

Dalam siklus program anti fraud terlihat belum berjalan dengan baik di semua titik, awareness masih lemah, sehingga menjadi isu kunci dalam konteks kebijakan. Dalam UU SJSN dan BPJS juga tidak jelas menyatakan bagaimana fraud itu dilakukan dan dicegah, yang ada hanyalah kendali mutu dan kendali biaya sehingga mungkin ke depan bisa saja perlu UU khusus dalam bidang kedokteran terkait dengan fraud layanan kesehatan. Kita ketahui jika menggunakan model klaim maka akan selalu ada potensi fraud. Selanjutnya pembahasan akan sampai pada low inforcement. Penelitian ini bukan akhir – akhir dan akan diskusikan dengan anggota DPR.

Reporter: Andriani Y/ PKMK

 

 

Reportase IKKESINDO Weekly Webinar: Pembenahan Ekosistem Program JKN-KIS

rep 10jl

8 Juli 2020

Pengantar, Dr. dr. Supriyantoro, SpP, MARS (Ketua Umum IKKESINDO) membuka dengan mengatakan “Mari bersama Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO) berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan di Indonesia”. Kita harus melakukan pembenahan tidak hanya pada pemikiran bahwa sistem tersebut rusak atau memang harus ditingkatkan. Dalam perjalanan 6 tahun, kita masih bingung siapa dan berapa dirihen(pemandu) dalam ekosistem JKN dan bagaimana menciptakan sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan sebagai kunci dalam pencapaian tujuan SJSN memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang layak.

Sambutan, Mundiharno dari BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa diharapkan dalam sistem jaminan kesehatan tercipta ekosistem yang harmoni seperti halnya sebuah orkestra. Program JKN ini melibatkan banyak pemangku kepentingan baik di tingkat nasional maupun daerah serta yang berperan sebagai regulator, implementor maupun peserta JKN. Setiap pemangku kepentingan memiliki perannya masing – masing sehingga diharapkan dengan adanya peraturan presiden nomor 85 dapat mensinergikan semua pemangku kepentingan yang akan membuat ekosistem ini berjalan harmoni sebagai musik yang indah.

Keynote speech, Emanuel Melkiades Laka Lena (Komisi IX DPR RI) menyampaikan keynote – nya melalui video karena tidak dapat hadir dalam webinar ini. Emanuel memandang bahwa acara baik sekali oleh IKKESINDO dan harapannya dapat membahas bagaimana kita membenahi sistem JKN KIS. Pembenahan ini menjadi penting dan menjadi perhatian bangsa Indonesia apalagi soal kenaikan iuran peserta dalam 2 Perpers. Situasi ini harus dipikirkan bagaimana cara untuk memastikan bahwa program ini dapat berkelanjutan melalui peran serta seluruh rakyat indonesia. Emanuel menyampaikan bahwa telah terjadi diskusi untuk beberapa catatan penting dan dibahas dalam rapat gabungan.

Tiga aspek penting harus dipertimbangkan dalam sistem kesehatan nasional yaitu aspek kepesertaan, layanan yang diberikan dan iuran. Selain pemerintah dan DPR RI penting, BPJS Kesehatan sebagai operator harus memastikan berbagai layanan kesehatan dan meminimalkan potensi fraud di berbagai level layanan. Semua pemeharti diharapkan dapat terus mencari upaya efektif dan efisien dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Aspek data perlu dirapikan dan dibersihkan secara bersama.

Moderator, drg. Usman Sumantri, MSc, Analis Kebijakan Ahli Utama Kemenkes RI, membuka pemaparan materi oleh para narasumber dengan menyampaikan bahwa implementasi JKN sudah masuk tahun ketujuh dan peserta JKN telah mencapai 223 juta jiwa atau sudah sampai 83 % dari total seluruh populasi Indonesia. Kunjungan peserta JKN telah mencapai 233 juta yang terdiri kunjungan di FKTP maupun di FKTL dan pada 2019 mengalami kenaikan yang cukup signifikan menjadi 433,44 juta kunjungan (1,5 kali dari peserta JKN). Beliau menyampaikan bahwa meskipun banyak persoalan dalam pengelolaan JKN, manfaat telah dirasakan oleh peserta JKN.

Narasumber pertama, dr. Hasbullah Thabrani, PhD, Pakar Jaminan Sosial, menyampaikan pendangan pribadinya dalam judul Ekosistem JKN – KIS menghalau awan mendung mental miskin. Hasbullah menyampaikan bahwa undang – undang yang sudah ditetapkan tidak diterjemahkan dengan baik ke dalam peraturan – peraturan yang lebih spesifik. Hasbullah mengutip laporan Bank Dunia tentang pengakuan dari pemerintah tentang tantangan koordinasi dan fragmentasi antara lembaga pusat membatasi efektivitas program – program utama pemerintah seperti JKN dan program – program bantuan sosial dalam mencapai tujuan mereka.

Desentralisasi menimbulkan tantangan tambahan bagi akuntabilitas dan pemantuan lembaga – lembaga di tingkat pusat. Hasbullah menyampaikan bahwa SJSN ini memiliki kontrak utama (master kontrak) antara negara dan rakyatnya dalam Undang – Undang Dasar 1945 dan kontrak spesifiknya dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004. Kontrak yang harus dipahami adalah akses dan konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan layak bagi semua orang. Kebutuhan dasar ini sedang dirumuskan, namun Hasbullah menyampaikan pandangan pribadi bahwa kebutuhan dasar itu sebenarnya sudah dirumuskan dalam UU SJSN yaitu sesuai dengan kebutuhan medis. Namun, telah banyak diskusi yang mencoba menggambarkan bahwa telah terjadi salah kaprah bahwa kebutuhan dasar diperkecil sehingga dapat dikurangi manfaat dan biaya layanannya.

Simpulan dari penyampaian tersebut adalah pertama, UUD dan UU tidak dipahami secara baik oleh semua sektor dan setiap sektor masih berjalan dengan kepentingannya sendiri; kedua, komandan efektif untuk program JKN belum ada; ketiga, sebagian pejabat dan rakyat Indonesia masih memiliki “mental miskin” menghambat kemajuan program JKN dimana mengeluhkan bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan fiskal yang memadai; keempat, potensi fiskal bangsa dan negara sebenarnya ada, dan kelima dan terakhir, perlu peningkatan komunikasi dan buka fakta.

Narasumber kedua, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD menyampaikan pandangan pribadinya tentang Pembenahan Ekosistem JKN : Jangan Tuntut, Penuhi Dulu Tupoksi menyampaikan pendapat pribadi. Budi menyampaikan bahwa program JKN yang dijalankan melalui single payer terbesar sudah dilirik negara lain seperti India. Prof Budi juga menyampaikan bahwa kita tidak boleh membatasi melihat pada ekosistem yang makro saja namun ekosistem meso JKN. Undang – undang JKN dilahirkan untuk mengatasi fragmentasi program jaminan, sasaran yang eksklusif dan pelaksanaan program jaminan yang belum tepat. Budi menyampaikan bahwa terdapat ruang inkonsisten dalam peraturan – peraturan penerjemahan yang lebih bersifat teknis sehingga mengakibatkan atuan tersebut “mandul arsitektur strategic purchasing BPJS”.

Budi menegaskan bahwa seharusnya para pemangku kepentingan bertanya kepada diri mereka dan tidak menuntut kinerja dari institusi lainnya. Budi menyampaikan bahwa harusnya masalah JKN itu perlu dijelas dan sebuah kaca pembesar pada level meso yaitu area pendanaan, pembayaran fasilitas kesehatan, pemanfaatan layanan, output dan kepesertaannya. Nilai pendanaan yang kecil dan pembayaran faskes yang belum terstandarisasi penyesuaian manfaatnya berpengaruh kepada defisit JKN tersebut. Pembayaran faskes kepada rumah sakit belum sesuai dengan konteks ke – Indonesiaan sehingga masih tercipta ruang yang cukup lebar untuk klasifikasi biaya InaCBGs. Namun mayoritas masalah yang muncul adalah under price, masalah overprice belum secara optimal ditelusuri. Masalah ini menimbulkan praduga tentang tumbuh suburnya dugaan fraud namun harus dibuktikan.

Narasumber ketiga, dr. Asih Eka Putri, MPPM, anggota DJSN menyampaikan pandangan pribadi tentang Ekosistem JKN dalam Tata Kelola Jaminan Sosial. Asih menyampaikan bahwa kita harus memandang ekosistem JKN tidak hanya sebagai hubungan klasik supplier dan konsumer. Dengan cakupan peserta yang besar dikuatirkan akan menambah besarnya pengeluaran untuk peserta tersebut. Defisit yang terjadi saat ini merupakan defisit struktural yang terjadi pada 2014 hingga 2019.

Ketidakseimbangan kronis antara pendapatan dan pengeluaran kerena struktur iuran tidak cukup membiayai manfaat, bukan karena penyelenggaraannya tidak efisien. Obat untuk defisit ini adalah restrukrisasi SJSN yang telah dimulai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 dan 64 Tahun 2020. Bu Asih menyatakan terdapat ketidakberdayaan DJSN untuk membantu BPJS Kesehatan yang mengalami kelebihan muatan biaya layanan tersebut. Budi mengemukakan bahwa dalam menetukan iuran dalam program JKN terdapat Presiden sebagai penetap besaran iuran berdasarkan masukan dari Kementerian Keuangan yang telah menghitung kembali perhitungan DJSN. DPR RI berwenang untuk memberikan pendapat dan mendesak pemerintah tentang kelayakan besaran iuran dan Mahkamah Agung dapat menuji peraturan preseiden tentang peraturan presiden.

Rekonstruksi Ekosistem JKN dimulai dengan menyadari bahwa aktor utama yaitu peserta, DJSN, dan BPJS Kesehatan belum terlalu nampak, tetapi aktor lain melayang – layang dalam ekosistem tersebut yaitu lemahnya peradilan, kelompok masyarakat dan lainnya. Hal ini menunjukkan ketidakefisienan dan rawan konflik. Rekonstrukrisasi harus membenahi empat area yaitu Kebijakan dan pengawasan, kelembagaan, operasional dan keuangan SJSN.

Pembahas pertama , Ahmad Ansyori, SH, MH, Ahli Jaminan Sosial membahas tentang para “pemain” dalam orkestra “JKN” tidak boleh bermain diluar pengaturannya. Undang – undang SJSN menyasar DJSN sebagai “Dirigen” dalam pengelolaan program JKN namun faktanya tidak seperti itu. Ahmad juga mengkritik bahwa untuk materi yang sangat serius ini, harusnya para pemateri menyampaikan atas nama lembaga, karena dapat menimbulkan pemikiran bahwa sepertinya dapat terjadi ketidaksamaan suara dalam suatu lembaga.

Ahmad menyatakan bahwa harusnya lembaga peradilan itu memiliki fungsi tersendiri dalam suatu tata kenegaraan sehingga dia tidak bisa dilihat sebagai pengganggu dalam ekosistem JKN tersebut. Harusnya hal ini diteliti secara regulasi akan berisiko terhadap proses hukum. Ahmad menitikberatkan terhadap kesamaan pandangan terhadap problem statement JKN sehingga dapat digunakan cause and effect analysis. Ahmad menyimpulkan bahwa ada empat permasalahan utama yaitu regulasi, subtansi program, penyelenggaran atau tata kelola program dan masyarakat.

Pembahas kedua, DR. Chazaly Situmorang, Apt, M. Sc, Ketua Institut Jaminan Sosial Nasional, Mantan Ketua DJSN, membahas bahwa hakekat ekosistem JKN – KIS harusnya adalah “keberpihakan” yang didetilkan pada kepentingan peserta, kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan serta kejujuran, empati dan keterbukaan informasi. Potensi permasalah regulasi JKN juga dapat dibagi menjadi sudah ada namun belum lengkap, belum selesai sinkronisasi dan bias implementasi. Chazaly juga memberikan sebuah pertanyaan tentang apakah BPJS Kesehatan diperkuat atau dilemahkan fungsi kelembagaannya? Masalah integrasi kelembagaan masih sulit dirasakan dalam program JKN ini.

Persoalan power sharing telah terjadi sehingga dilematis dalam implementasi program tersebut. Problem utama kita dalam JKN yang dilihat secara makro dan meso adalah terdapat waiting list, belum ada pendampingan peserta dan perlu dibukanya aksesbilitas faskes sesuai dengan kebutuhan peserta tersebut. Chazaly mengakhiri pembahasan dengan mengatakan bahwa kebutuhan dasar kesehatan adalah indikasi medis yang telah diatur dalam undang – undang.

Pembahas ketiga, Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD, Wakil Menteri Kesehatan RI 2011-2014 membahas konsep dasar JKN sendiri harus diperbaiki yaitu gotong royong atau saling membantu yang tidak terjadi. Pembahasan tentang siapa dirigen dalam sistem kesehatan belum ditunjukan dalam SJSN. Ghufron menyampaikan bahwa infrastruktur layanan kesehatannya masih jauh dari manfaat yang telah dijanjikan.

Melihat permasalahan kesehatan harusnya komprehensif dimana daerah yang sudah dapat menjalankan sistem jaminan dan daerah yang tidak cocok menjalankan sistem tersebut seperti daerah pelosok. Implementasi kapitasi pada puskesmas untuk membiayai layanan disana tidak berjalan seperti tujuannya karena masyarakat tidak dapat mengakses layanan tersebut. Lebih lanjut, puskesmas yang dapat mengakses protein dalam urin sebesar 10 % dimana pemeriksaan ini penting untuk mendeteksi eklampsi dan preeklampsi pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan kematian.

Penguatan SDM kesehatan dan SDM asuransi kesehatan perlu ditingkatkan sehingga indonesia siap untuk menjalankan reformasi ini. Ghufron menyampaikan bahwa belum ditunjukkan posisi pemerintah daerah yaitu dinas kesehatan masih bersifat sebagai penonton yang tidak berperan sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembagian tanggung jawab dalam sistem kesehatan nasional tersebut belum jelas. Beliau mengakhiri pembahasan tersebut dengan menyatakan bahwa perlu dilakukan reorientasi kebijkan dan perubahan mindset pejabat dan penduduk kearah promosi, prevensi dan perilaku sehat masyarakat.

Reporter: Relmbuss Biljers Fanda

 

 

Serial 4 Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah

PENGANTAR

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 4 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (07/07) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Evaluasi Capaian Kepesertaan, Pemerataan dan Mutu Pelayanan Kesehatan Program JKN di Provinsi Bengkulu” yang disampaikan oleh Peneliti JKN Provinsi Bengkulu, Jon Hendri Nurdan. Pembahas pada pertemuan ini adalah Hendriwan Mansyur selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan Provinsi Bengkulu.

SESI PRESENTASI

materi

Jon Hendri selaku narasumber menyampaikan hasil penelitian evaluasi JKN di Provinsi Bengkulu baik dari Aspek Tata Kelola, Mutu Layanan dan Aspek Equity. Dari Aspek Tata kelola ditemukan masih banyak kendala yang dihadapi antara lain data penduduk miskin yang menjadi peserta PBI JKN belum terintegrasi antara data Disdukcapil, data Dinas Sosial dan data BPJS Kesehatan, minimnya anggaran yang disediakan Pemerintah Daerah untuk PBI daerah dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam program JKN. Selain itu, akses data penyelenggaran JKN di Provinsi bengkulu belum baik, kebijakan kompensasi belum terlaksana secara optimal namun Pemerintah provinsi telah berpartisipasi melalui Kebijakan Jaminan Kesehatan Provinsi Bengkulu.

Dari sisi kebijakan, belum ada peraturan gubernur terkait UHC namun beberapa regulasi telah dikeluarkan seperti Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Bengkulu dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Pada aspek Mutu Layanan, ditemukan tugas yang dilakukan TKMKB masih sangat bergantung pada dukungan BPJS Kesehatan yang berupa fasilitatif operasional, koordinasi dan insentif. Tim anti fraud telah terbentuk namun belum berjalan optimal serta indikator rujukan non spesialistik telah tercapai karena adanya pengawasan dari tim monev JKN. Pada aspek equity, secara umum provinsi bengkulu belum mencapai UHC dengan capaiak kepesertaan 80%, paket manfaat belum merata karena kurangnya tenaga spesialistik, distribusi Dokter umum dan Dokter spesialis jantung belum merata serta kunjungan peserta JKN lebih banyak di akses oleh segmen PBPU.

SESI PEMBAHAS

materi

Hendriwan Mansyur selaku pembahas menyampaikan situasi kondisi kesehatan di Provinsi Bengkulu baik SDM maupun Sarana Prasarana. Secara umum capaian program JKN semester 1 tahun 2020 sudah mencapai 80%. Sebagai komitmen Pemerintah Provinsi terhadap JKN, Permprov mengaktifkan Jaminan Kesehatan Provinsi untuk menutupi tunggakan segmen PBPU dengan menggunakan dana pajak rokok sesuai amanat regulasi penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat.

Kegiatan program JKN yang bersumber dari Pajak Rokok antara lain: 1) Pembayaran premi bagi 23ribu peserta PBPU yang menunggak iuran untuk pembayaran biaya perawatan kelas 3 di Rumah Sakit; 2) pertemuan koordinasi lintas program/lintas sektor; 3) pertemuan perencanaan dan evaluasi program JKN di tingkat provinsi; 4) pertemuan penguatan program JKN di tingkat provinsi; dan 5) monitoring dan evaluasi program ke Kabupaten Kota. Hasil simulasi proporsi anggaran Jamkesda dari pajak rokok sebesar 37,5% atau 36,5 Miliar Rupiah di tahun 2020. Selain itu, ditemukan berbagai persoalan dalam JKN antara lain pasien yang dirawat di rumah sakit tidak memiliki kartu JKN dan masalah pendamping pelaksana rujukan ke luar kota yang belum diketahui sumber pembiayaannya, adanya stigma bahwa TKMKB adalah bentukan BPJS Kesehatan, Tim Pertimbangan Klinis (TPK) yang perlu disinkronisasi dengan tim anti fraud serta pelaksanaan KBK yan terhambat karena pandemi.

SESI DISKUSI

1. Saat ini BPJS kesehatan telah melaunching Dashboard BPJS Kesehatan yang bisa di akses oleh pemerintah daerah, bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan terkait data BPJS Kesehatan?

– Yang kami tampikan data tadi dari RS pemerintah dan Swasta. Kalau dilihat dari pemerataan fasilitas kesehatan, dan SDM Kesehatan lebih terfokus di perkotaan dibanding pedesaan atau DTPK sehingga persayaratan Akreditasi dan Kredensialing menjadi pertanyaan dari Dinas Kesehatan Provinsi.

2. Belum tercapainya kepesertaan JKN karena adanya stigma terkait pelayanan kesehatan, bagaimana peran stakeholder terkait dalam memperbaiki stigma tersebut?

– Jadi ini hal yang klasik, dari Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan selalu berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada peserta JKN. Tidak ada perbedaan pelayanan pada peserta JKN dan Bukan Peserta JKN.
Simak lebih lanjut di video sesi diskusi.

Reporter: Candra