Konflik Makro dalam Sistem Kesehatan: Isu Akses, Harga, dan Keamanan Obat

Konflik Makro dalam Sistem Kesehatan: Isu Akses, Harga, dan Keamanan Obat

Seri Webinar Leadership #2

  Pendahuluan

Ketersediaan obat esensial yang aman, bermutu, dan terjangkau merupakan pilar universal health coverage. Namun, laporan terbaru WHO menegaskan masih tingginya kesenjangan akses antar-negara, fluktuasi harga obat paten maupun generik, serta maraknya peredaran obat palsu yang mengancam keselamatan pasien. Di kawasan Asia Pasifik, WHO mendorong strategi regional untuk memperkuat pricing transparency, pooled procurement, dan sistem peringatan dini guna menekan risiko sub-standard dan falsified medicines.

Indonesia mengalami ujian serius pada 2022 melalui krisis Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) akibat cemaran etilen/dietilen glikol pada sediaan sirup. Tragedi ini mengungkap kelemahan tata kelola rantai pasok, pengawasan mutu, dan kebijakan harga yang saling beririsan dengan kepentingan industri dan publik. Webinar ini menjadi forum refleksi untuk memetakan “konflik makro” akses-harga-keamanan obat, menelaah inisiatif WHO sebagai kerangka perbaikan, dan merumuskan rekomendasi tata kelola farmasi nasional yang lebih tangguh.

Tujuan

  1. Menganalisis strategi dan inisiatif WHO di bidang akses, harga, dan keamanan obat serta relevansinya bagi Indonesia.
  2. Merefleksikan pelajaran dari krisis GGAPA 2022 sebagai momentum reformasi regulasi mutu dan pengawasan obat.
  3. Merumuskan rekomendasi praktis bagi pemangku kebijakan, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memperkuat tata kelola obat nasional.

  Target Peserta

  • Mahasiswa bidang kesehatan, farmasi, kebijakan publik.
  • Aktivis & pemerhati kebijakan kesehatan (LSM, jurnalis kesehatan, komunitas pasien).
  • Tenaga profesional di dinas kesehatan, BPOM, rumah sakit, dan industri farmasi yang tertarik pada isu tata kelola obat.

Topik Bahasan

  1. WHO Regional Strategy for Access to Essential Medicines
  2. WHO Regional Medicine Price Information Exchange (Price-MiE)
  3. Rapid Alert System for Combating Counterfeit Drugs
  4. Epidemi Gagal Ginjal Akut akibat Etilen/Dietilen Glikol di Indonesia

  Jadwal Kegiatan

Kamis, 5 Juni 2025   |   Pukul 13:00 – 15:00 WIB

Waktu

Agenda

13.00 – 13.05

Pembukaan
Moderator: Lusha Ayu, MPH

13.05 – 13.15

Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

13.15 – 14.40

Pembicara: dr. Budiono Santoso, PhD

Subtopik yang dibahas:

  1. WHO Regional Strategy for Access to Essential Medicines
  2. WHO Regional Medicine Price Information Exchange
  3. Rapid Alert System for Combatting Counterfeit Drugs
  4. Epidemic of Acute Kidney Failure due to Ethylene/Diethylene Glycol in Indonesia

materi   video

14.40 – 14.55

Diskusi lanjutan

14.55 – 15.00

Penutupan

 

Reportase

Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan serta Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan seri kedua rangkaian webinar bertema “Komunikasi, Negosiasi, dan Mediasi dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik di Sektor Kesehatan” pada Kamis, 5 Juni 2025. Webinar ini mengangkat topik penting mengenai konflik makro dalam sistem kesehatan, khususnya menyangkut isu akses, harga, dan keamanan obat. Kegiatan ini menghadirkan Dr. Budiono Santoso, Ph.D., pensiunan dosen FK-KMK UGM sekaligus mantan Penanggung Jawab Program Obat dan Teknologi Kesehatan di Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk Kawasan Pasifik Barat.

Dalam paparannya, Dr. Budiono membahas bagaimana komunikasi, negosiasi, dan mediasi memainkan peran krusial dalam menangani perbedaan kepentingan antarnegara dalam isu-isu kebijakan kesehatan. Salah satu contoh nyata adalah pengembangan Strategi Regional WHO untuk Meningkatkan Akses terhadap Obat Esensial di Kawasan Pasifik Barat periode 2005–2010. Proses penyusunan strategi ini melibatkan serangkaian konsultasi, diskusi, dan negosiasi antarnegara anggota WHO yang mencerminkan dinamika geopolitik dan kepentingan industri farmasi. Meskipun sempat ditolak dalam pertemuan regional pada  2003, dokumen ini kemudian direvisi dan disepakati dalam bentuk yang lebih inklusif, dengan beberapa catatan penting seperti keharusan mematuhi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (World Intellectual Property Organization/WIPO), serta pelibatan sektor industri dalam pelaksanaannya.

Topik kedua yang disampaikan adalah pengembangan sistem pertukaran informasi harga obat atau Price Information Exchange of Medicines, yang menjadi bagian dari upaya meningkatkan transparansi harga pengadaan obat antarnegara. Inisiatif ini muncul dari kebutuhan untuk menekan harga obat yang tinggi di negara-negara berkembang, namun karena mandat WHO bukan untuk mengendalikan harga secara langsung, maka platform ini hanya difokuskan pada pertukaran informasi harga dan identitas pemasok. Negara-negara anggota kemudian dapat memanfaatkan data tersebut untuk mengevaluasi sistem pengadaan obat mereka masing-masing.

Selanjutnya, dibahas pula inisiatif WHO dalam membangun sistem peringatan dini terhadap peredaran obat palsu dan substandar melalui Rapid Alert System serta promosi praktik etis dalam regulasi dan pengadaan obat. Sistem ini memungkinkan penyebaran informasi lintas negara dalam waktu singkat jika ditemukan indikasi obat berbahaya atau palsu. Program ini berkembang menjadi bagian dari program global WHO dalam tata kelola obat yang baik (Good Governance in Medicines) dan pengendalian produk medis yang substandar, salah label, atau palsu.

Paparan juga menyoroti kasus epidemi gagal ginjal akut yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia pada 2022, yang disebabkan oleh kontaminasi zat etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat sirup anak-anak. Dr. Budiono menjelaskan bahwa kasus-kasus serupa telah terjadi sejak 1937 di Amerika Serikat dan berulang di berbagai negara akibat lemahnya pengawasan mutu bahan tambahan obat seperti gliserin. Ia menyoroti lambatnya respons pemerintah Indonesia meskipun peringatan sudah diberikan sejak awal 2022 oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hingga November 2022, tercatat 325 kasus gagal ginjal akut dengan 178 kematian anak, tersebar di berbagai provinsi. Menurutnya, jika sistem pengawasan dan komunikasi antarinstansi berjalan lebih efektif, tragedi ini seharusnya bisa dicegah lebih awal, seperti yang dilakukan negara-negara anggota WHO Kawasan Pasifik Barat yang mampu menarik produk terkontaminasi dalam waktu 24 hingga 72 jam.

Sebagai penutup, Dr. Budiono menekankan pentingnya komunikasi yang tidak emosional serta kesabaran dan ketangguhan dalam menjalankan proses negosiasi dan mediasi di tingkat nasional maupun internasional. Pihaknya mengingatkan bahwa perbedaan kepentingan antarnegara merupakan hal yang wajar, namun harus dikelola dengan bijak agar tidak mengorbankan kepentingan masyarakat dan bangsa. Webinar ini memberikan wawasan berharga tentang tantangan dan strategi dalam menghadapi konflik kebijakan kesehatan lintas negara dan memperkuat kapasitas peserta dalam mengelola konflik makro di sektor kesehatan.

Reporter: dr. Ichlasul Amalia (Departemen KMK, FK-KMK UGM)

 

Webinar Komunikasi, Negosiasi dan Mediasi dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik di Sektor Kesehatan

Webinar Komunikasi, Negosiasi dan Mediasi dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik di Sektor Kesehatan

  Pendahuluan

Di Indonesia sering terjadi krisis di dalam organisasi/institusi, dikarenakan adanya konflik yang melibatkan pihak eksekutif dan para anggota. Konflik ini semula mungkin hanya bersifat internal saja di dalam organisasi/institusi yang bersangkutan tetapi kemudian meledak keluar lewat media massa. Dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan media sosial, kadang konflik semacam ini bisa semakin meruncing karena adanya berbagai masukan dari pihak luar yang tidak sepenuhnya memahami masalah-masalah internal organisasi/institusi tersebut.

Sangat disayangkan bahwa dalam struktur dan mekanisme banyak organisasi atau institusi kesehatan tidak lajim tersedia pilihan mekanisme komunikasi, negosiasi maupun mediasi untuk memecahkan perbedaan pandangan tersebut. Setiap kebijakan atau program kesehatan diputuskan dan dilaksanakan atas dasar kewenangan atau otoritas semata. Dengan kata lain, pelaksanaan kebijakan atau program kesehatan baru tersebut harus dilaksanakan dengan regulasi yang ketat [ regulatory enforcement] disertai berbagai sangsi dengan segala dampaknya.

Dokter dan tenaga kesehatan, yang teribat dalam formulasi dan pelaksanaan pelayanan kesehatan, baik di tingkat makro atau mikro, suatu saat pasti akan pernah menghadapi konflik karena adanya perbedaan pendapat dan kepentingan para pemangku kepentingan. Mereka harus mampu melakukan antisipasi, pencegahan dan penanganan konflik yang mungkin terjadi. Kejadian konflik harus ditekan sekecil mungkin dan ditangani secara efektif, bukan hanya dengan pendekatan berdasar otoritas atau kewenangan semata, tetapi menggunakan mekanisme komunikasi, negosiasi dan mediasi.

  Tujuan

  1. Memahami kepentingan komunikasi, negosiasi dan mediasi dalam pembuatan dan pelaksanaa kebijakan/program baik di tingkat makro maupun mikro,
  2. Mampu melakukan komunikasi dan negosiasi untuk mencegah dan menangani konflik,
  3. Mampu mengenali potensi konflik dalam organisasi/institusi dan melakukan tindakan pencegahan dan penanganan secara dini.

  Target Peserta

Dokter, tenanga kesehatan lain yang terlibat dalam pengelolaan pelayanan kesehatan, peneliti dan aktivis pelayanan kesehatan

  Jadwal Pelaksanaan

  1. Jumat, 23 Mei 2025, Jam 15:00-17:00 Wib.
    Kepentingan komunikasi dan negosiasi untuk pencegahan dan penanganan konflik dalam Kebijakan/Program  Kesehatan,
  2. Kamis, 5 Juni 2025, Jam 15:00-17:00 Wib.
    Pelaksanaan Komunikasi Negosiasi dan Kolaborasi dalam pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program

Webinar Pertemuan 1

Narasumber dr. Budiono Santoso, PhD – Pensiunan Dosen FK-KMK UGM dan Regional Advisor in Pharmaceuticals WHO, kantor Regional Pasifik Barat

Hari, tanggal : Jumat, 23 Mei 2025
Pukul : 15.00-17.00 WIB

Rundown Kegiatan

Waktu

Kegiatan

15.00-15.05

MC dan moderator:
dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD

15.05-15.15

Pengantar
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

video

15.15-15.50

Sesi I Pemaparan: dr. Budiono Santoso, PhD

video   materi

15.50-16.10

Sesi Diskusi I

video

16.10-16.40

Sesi II Pemaparan: dr. Budiono Santoso, PhD

video

16.40-16.50

Closing statement narasumber
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

16.50-17.00

Penutup
dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD

 

  Reportase Kegiatan

Pengantar diskusi disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD (kiri) dan moderator yaitu dr. Likke Prawidya, MPH, PhD (kanan) dalam webinar forum leadership kesehatan di Gedung Tahir, FK-KMK UGM – Jumat (23/5/2025).

Dalam upaya merespon meningkatnya kompleksitas dalam tata kelola sektor kesehatan, Program Studi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan F-KKMK UGM bersama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar bertajuk “Komunikasi, Mediasi, dan Negosiasi dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik di Sektor Kesehatan”, yang berlangsung secara hybrid di Ruang U25 Gedung Tahir, FK-KMK UGM pada Jumat (23/5/2025).

Acara dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD. Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menyoroti eskalasi tantangan dalam sistem kesehatan, mulai dari implementasi Undang-Undang Kesehatan hingga dinamika dalam sistem JKN dan konflik antarpemimpin. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan yang mampu menjembatani kepentingan berbagai aktor melalui komunikasi dan negosiasi yang strategis.

Menurut Laksono, konflik yang tidak ditangani dengan baik akan menghambat prinsip tata kelola dan kolaborasi. Pihaknya memperkenalkan konsep metaleadership sebagai pendekatan kepemimpinan lintas sektor yang integratif, mendorong peserta untuk merefleksikan apakah kemampuan memimpin lahir secara alamiah atau dibentuk oleh situasi.

dr. Budiono Santoso, PhD selaku narasumber dalam webinar forum leadership sektor Kesehatan di Gedung Tahir, FK-KMK UGM – Jumat (23/5/2025).
Sesi dilanjutkan dengan paparan mendalam dari dr. Budiono Santoso, PhD, mantan Dosen FK-KMK UGM sekaligus Regional Advisor in Pharmaceuticals WHO untuk wilayah Pasifik Barat. Budiono menyoroti pentingnya struktur governance dalam meminimalisasi konflik antarpemangku kepentingan, baik di rumah sakit maupun dalam ranah kebijakan nasional. Ia mencontohkan konflik seputar distribusi dokter spesialis dan peran kolegium sebagai wujud konflik makro yang kerap tidak diselesaikan melalui dialog terbuka.

Budiono juga membagikan pengalamannya dalam memediasi konflik internal di WHO-WPRO, menekankan bahwa proses mediasi membutuhkan pemetaan posisi para pihak dan perumusan solusi win-win. Dalam konteks Indonesia, narasumber menggarisbawahi pentingnya penggunaan pendekatan non-litigasi dalam penyelesaian sengketa kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 310 UU Kesehatan.

Dalam diskusi yang berkembang, peserta menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang empatik dan terbuka, penggunaan bahasa yang tidak konfrontatif, serta hadirnya mediator netral dalam konflik institusional. Mereka juga menyoroti bahwa banyak konflik profesional sesungguhnya bersumber dari perebutan kewenangan, sehingga diperlukan kehadiran negara untuk menciptakan distribusi kekuasaan yang adil.

Webinar ditutup dengan refleksi oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH, PhD selaku moderator. Likke mengingatkan bahwa kemampuan komunikasi dan negosiasi bukan semata bakat, tetapi bisa dibentuk melalui pembelajaran dan lingkungan yang saling menghargai. Para peserta sepakat bahwa penyelesaian konflik harus berbasis kolaborasi dan dialog, demi terciptanya kebijakan kesehatan yang inklusif dan berkeadilan.

Reporter: Iztihadun Nisa, MPH (HPM UGM)

Reportase Diskusi tentang Struktur PP No.28/2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU No.17/2023 dan Penggunaan Sistem Digital

person using MacBook Pro

Sabtu, 3 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Webinar Diskusi 1: Tentang Struktur PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor 17 tahun 2023 pada Sabtu (3/8/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Nila Munana, SHG., MHPM. Narasumber utama adalah Tri Muhartini, S.IP, MPA. Kegiatan ini dibuka oleh Shita Listya Dewi, S.IP, MM, MPP.

Pada pembukaan webinar diskusi 1 ini, Shita menyampaikan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disusun dengan metode Omnibus Law, yang memungkinkan penggabungan berbagai peraturan dalam satu payung hukum. UU ini tidak hanya merevisi UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tetapi juga sejumlah undang-undang lainnya seperti UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Setelah penantian panjang, pada 26 Juli 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU ini. PP tersebut mencakup 1072 pasal yang meliputi berbagai aspek kesehatan, mulai dari pelayanan kesehatan hingga ketahanan kefarmasian. Pengesahan ini berdampak besar karena membuat 26 PP dan 5 Perpres lainnya menjadi tidak berlaku.

PP ini juga menyoroti layanan kesehatan di daerah terpencil dan mengusung inovasi seperti telemedicine. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM telah mengembangkan platform digital untuk mempermudah akses dan pemahaman terhadap PP ini. Dengan harapan dapat memfasilitasi dan meningkatkan partisipasi akademisi dan praktisi dalam pengembangan kebijakan kesehatan di Indonesia.

Selanjutnya Tri membahas bahwa platform digital yang disediakan oleh PKMK UGM untuk mempermudah akses dan pemahaman terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang dipaparkan secara rinci. Platform ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan akademisi, peneliti, dan pemangku kepentingan dalam mengakses informasi yang terkait dengan kebijakan kesehatan secara terstruktur.

PKMK UGM menyediakan laman website khusus kebijakankesehatan.net yang memudahkan pengguna untuk menavigasi dan mengunduh dokumen PP sesuai dengan bidang atau fokus kajian mereka. Dengan adanya fitur seperti strukturisasi paragraf dan pengklasifikasian bab, pengguna dapat dengan mudah menemukan dan menganalisis bagian spesifik dari PP ini tanpa harus membuka keseluruhan dokumen yang tebal. Dengan lebih dari 1000 pasal yang tersusun dalam 13 bab, Platform digital ini membantu pengguna mengakses informasi secara efisien. PKMK UGM berharap sistem ini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat bagi para akademisi dan praktisi dalam mendukung transformasi kebijakan kesehatan di Indonesia.

Dari hasil diskusi dengan para peserta yang hadir, menghasilkan beberapa rekomendasi perbaikan dan penambahan fitur pada halaman website PP untuk ke depannya. Beberapa fitur dan masukan untuk perbaikan yaitu penambahan search bar untuk memudahkan pencarian, penyelesaian upload per bagian dengan paragraf yang sesuai, perbaikan website agar tidak error atau lemot, dan narasi tambahan di tiap bagian PP untuk analisis dan komparasi dengan PP sebelumnya. Semua rekomendasi ini tentu menjadi masukan yang baik untuk pengembangan website PP ke depannya.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M

10 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan Webinar Diskusi tentang Struktur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor 17 Tahun 2023 & Penggunaan Sistem Digital pada Website Kebijakan Kesehatan Indonesia pada Sabtu (10/8/2024) secara daring. Kegiatan diikuti 160 peserta Zoom meeting dan 148 peserta melalui streaming.

Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengawali webinar dengan memberikan gambaran umum tentang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai landasan hukum bagi perubahan mendasar dalam sektor kesehatan. Laksono menekankan bahwa reformasi kesehatan yang efektif memerlukan pengaturan yang terintegrasi dari berbagai kebijakan kesehatan. Sebelum pandemi COVID-19, belum pernah ada upaya komprehensif untuk mereformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Namun, pandemi telah mendorong Kementerian Kesehatan untuk mempercepat proses reformasi dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam reformasi kesehatan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan perubahan mendasar pada Sistem Kesehatan Nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan Omnibus Law. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang mempunyai lebih dari 1100 Pasal. Selanjutnya, bagaimana struktur Peraturan Pemerintah di bidang Kesehatan dan bagaimana cara mempelajari Peraturan Pemerintah di bidang Kesehatan?

Pembicara: Tri Muhartini, S.IP, MPA

Tri Muhartini memaparkan struktur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, yang mana peraturan pemerintah ini terstruktur yang memiliki 76 bagian yang merupakan turunan dari 13 bab dan 656 halaman. Selain itu, Tri menyampaikan struktur tersebut dapat diakses melalui sistem digital yaitu laman website Kebijakan Kesehatan Nasional sudah mengembangkan fitur search sebagai upaya untuk memahami Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dengan menggunakan kata kunci. Tri Muhartini menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini berperan penting dalam mendukung transformasi sistem kesehatan.

Pembahas 1 : Dr. Rimawati, S.H., M.Hum.

Rimawati menyampaikan omnibus law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Penggunaan metode omnibus law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Beliau juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah yang dibentuk secara mandiri oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan yang didelegasikan untuk menjalankan Undang-Undang dalam hal ini lembaga negara yang berhak menetapkan Peraturan Pemerintah adalah lembaga eksekutif, secara spesifik ditetapkan oleh Presiden.

Rimawati juga menyampaikan identifikasi paket aturan pelaksana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mana secara struktur terdiri dari XIII Bab dan 1702 Pasal. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini juga memberikan kewenangan kepada Kementerian untuk membuat aturan lebih lanjut terkait dengan 409 pasal yang ada di dalamnya.

Pembahas 2: Sundoyo, SH., MKM, M.Hum.

Sundoyo menyoroti sejumlah tantangan yang masih dihadapi dalam pelayanan kesehatan di lapangan mulai dari pelayanan primer, pelayanan rujukan, ketersediaan farmasi, krisis kesehatan, pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan dan teknologi dan informasi kesehatan. Kementerian Kesehatan saat ini memang sedang melakukan transformasi kesehatan, yang menjadi persoalan ketika Transformasi Kesehatan ini dijalankan banyak kendala yang terjadi, salah satu kendala yang paling signifikan terkait dengan dukungan regulasi.

Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini sebagai langkah dalam Upaya Transformasi Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini mencabut 26 Peraturan Pemerintah lainnya terkait dengan kesehatan untuk mengurangi tumpang tindih peraturan.
Reporter: Priandita Koswara dan Miche Leo Fullgita

Sesi Diskusi

Sesi diskusi pada webinar ini berfokus pada kemungkinan adanya pertentangan antara aturan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dengan undang-undang yang sudah ada atau yang akan dibuat di masa depan. Peserta memiliki kekhawatiran adanya isu kesehatan yang belum tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Rimawati menjelaskan bahwa jika belum ada aturan hukum yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum, maka untuk mengisi kekosongan hukum akan dilakukan amandemen atau perubahan aturan tersebut.

Menurut sundoyo, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Hukum dan HAM sudah mengupayakan subtansi yang mendelekasikan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 sudah mencakup semua aspek di bidang kesehatan. Peserta juga memberikan masukan untuk dibuatkan topik pembahasan khusus dengan melibatkan berbagai stakeholder dan masyarakat terkait penanganan wabah.

16 Agustus 2024

Diskusi Kepemimpinan dalam Sistem Kesehatan dan Cara Memahami UU Kesehatan Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 melalui Platform Digital

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan Webinar Diskusi Kepemimpinan dalam Sistem Kesehatan dan cara memahami UU Kesehatan Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 melalui Platform Digital yang ketiga pada Kamis (16/8/2024). Narasumber pada webinar ini adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD (Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM) dan Dr. Rimawati, S.H, M. Hum (Fakultas Hukum UGM). Sementara moderator kali ini ialah dr Haryo Bismantara, MPH dari FK-KMK UGM Kegiatan ini diselenggarakan secara daring dengan 160 peserta Zoom dan 67 peserta streaming Youtube.

Pengantar: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Laksono mengawali webinar dengan memberikan gambaran umum tentang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai landasan hukum bagi perubahan mendasar dalam sektor kesehatan. Pihaknya menekankan bahwa reformasi kesehatan yang efektif memerlukan pengaturan yang terintegrasi dari berbagai kebijakan kesehatan. Sebelum pandemi COVID-19, belum pernah ada upaya komprehensif untuk mereformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Namun, pandemi telah mendorong Kementerian Kesehatan untuk mempercepat proses reformasi dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam reformasi kesehatan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan perubahan mendasar pada Sistem Kesehatan Nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan Omnibus Law. Laksono menekankan bagaimana pemimpin menggunakan platform digital untuk mempelajari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.

Pembahas : Dr. Rimawati, S.H., M.Hum.

Rimawati menyampaikan omnibus law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Penggunaan metode omnibus law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Beliau juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah yang dibentuk secara mandiri oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan yang didelegasikan untuk menjalankan Undang-Undang dalam hal ini lembaga negara yang berhak menetapkan Peraturan Pemerintah adalah lembaga Eksekutif, secara spesifik ditetapkan oleh Presiden.

Rima juga menyampaikan terkait dengan struktur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mana secara struktur terdiri dari XIII Bab dan 1172 Pasal. Selain itu, pihaknya juga menjelaskan terkait dengan Implikasi Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2024 yang mana mencabut 26 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden. Rima menekankan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 mendelegasikan 4 Peraturan Presiden dan 1 Keputusan Presiden yang harus segera disusun. Selain itu perlu dilakukan analisis dengan Peraturan Menteri existing yang masih dinyatakan berlaku dan tidak bertentangan.

Reporter: Priandita Koswara dan Miche Leo Fullgita

Reportase Pengembangan Platform Digital untuk Analisis Kebijakan dan Advokasi Pengelolaan Penyakit Tidak Menular: Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak

a person sitting at a table with a cell phone

9 Agustus 2024

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Diskusi 1 dengan topik Pengembangan Platform Digital untuk Analisis Kebijakan dan Advokasi Pengelolaan Penyakit Tidak Menular: Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak pada hari Jumat (09/08/2024). Kegiatan ini dimoderatori oleh Mentari Widiastuti, S.Farm., Apt., MPH. Narasumber utama adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD.

Laksono membahas pentingnya pengembangan platform digital untuk mendukung analisis kebijakan dan advokasi dalam pengelolaan Penyakit Tidak Menular (PTM), dengan fokus khusus pada Diabetes Melitus, Jantung, dan Katarak. Platform digital yang sedang dikembangkan ini merupakan bentuk kepedulian dari perguruan tinggi, dengan tujuan untuk menganalisis kebijakan transformasi kesehatan dan menerjemahkannya menjadi tindakan nyata di lapangan. Laksono juga menjelaskan bahwa konsep evidence-informed policy-making, yang memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasari oleh bukti ilmiah, meskipun diakui bahwa faktor lain seperti budaya politik, sosial, dan ekonomi juga turut berperan. Oleh karena itu, advokasi menjadi seni penting dalam mempengaruhi kebijakan, yang membutuhkan pendekatan strategis untuk mengatasi berbagai hambatan dan mencapai dampak besar. Laksono juga menekankan peran penting Fakultas Kedokteran (FK) dan Departemen IKM-IKP-IKK dalam mendukung penelitian dan advokasi kebijakan kesehatan. Departemen IKM diharapkan menjadi jangkar dalam penelitian kebijakan kesehatan di setiap fakultas kedokteran dengan pendekatan transdisiplin yang melibatkan berbagai bidang seperti ekonomi dan ilmu politik. Peran ini dipengaruhi oleh motivasi dosen dalam menjalankan kegiatan pembelajaran kelembagaan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pengembangan platform digital ini juga didorong oleh momentum yang dihadirkan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Platform ini dapat digunakan sebagai alat untuk advokasi yang efektif dalam berbagai isu seperti regulasi, tata kelola, alokasi anggaran (APBN), dan lainnya. Platform digital ini sangat penting untuk menerjemahkan kebijakan transformasi kesehatan menjadi realitas dalam program kesehatan sehari-hari. Platform ini juga mendukung pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan serta program penanganan masalah kesehatan secara komprehensif. Kompleksitas pencegahan dan pengelolaan PTM, seperti Diabetes Melitus, di tingkat kabupaten/kota memerlukan alat yang dapat menangani data dan kebijakan dengan lebih efektif.

Sesi Pembahas

9ags1dr. Yudhi Pramono, MARS (Plt Dirjen P2P Kemenkes RI)

Yudhi menyoroti bahwa perencanaan berbasis data sedang dimulai di Kemenkes, namun data penelitian saat ini masih minim dan belum optimal. Meskipun dulu pernah ada badan litbang, hasil penelitiannya sering kali sulit dipahami oleh staf program maupun masyarakat karena bahasa yang terlalu teknis. Masyarakat sendiri masih skeptis terhadap hasil penelitian dan lebih percaya pada sumber informasi yang tidak kredibel.

Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan komunikasi sains (science communication). Kementerian kesehatan juga membutuhkan lembaga yang menjembatani peneliti dengan pengambil kebijakan. Platform digital ini bisa juga sebagai solusi untuk menyampaikan hasil penelitian dan memenuhi kebutuhan program.

9ags2dr. Fatchan Nur Aliyah, MKM (Ketua Tim Kerja Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) Direktorat PTM Kemenkes RI)

Fatchan menjelaskan bahwa platform ini telah diinisiasi sejak dua tahun lalu dengan tujuan untuk menyusun kebijakan yang berpijak pada tujuan yang akan dicapai, yaitu menurunkan morbiditas dan mortalitas, bukan hanya prevalensi. Biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan kemampuan negara kita, sehingga analisis cost-effectiveness menjadi penting. Pihaknya menambahkan bahwa platform digital perlu memetakan situasi sekarang dan per 3 tahun atau per 5 tahun untuk evaluasi efisiensi dan implementasi kebijakan. Hal ini juga harus mencakup kebutuhan petunjuk teknis berdasarkan kebijakan yang ada.

9ags3dr. Ika Gladies Syaferani (Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Dinkes Provinsi Kalimantan Timur)

Ika menyampaikan bahwa platform digital dapat digunakan sebagai bahan advokasi Dinas Kesehatan provinsi kepada para stakeholder, terutama terkait pengendalian Diabetes Melitus. Platform ini membantu mengidentifikasi dan merumuskan masalah berdasarkan rumah transformasi kesehatan. Sebagian besar instansi memiliki anggaran khusus untuk pencegahan dan pengendalian DM, namun ada juga instansi lintas sektor seperti pemerintahan desa yang terlibat.

Kegiatan ini ditutup oleh closing statement dari Laksono, yaitu penting bagi dosen dan peneliti Fakultas Kedokteran (FK) serta Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) untuk menjadi pionir dalam penerapan evidence-informed policy making, terutama dengan adanya momentum yang dihadirkan oleh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Platform digital dapat menjadi titik awal bagi dosen dan peneliti dalam berbagai disiplin ilmu kesehatan untuk mengambil peran ini, menawarkan perspektif yang lebih luas dan mendalam terhadap permasalahan kesehatan melalui kerangka sistem dan transformasi kesehatan. Dengan potensi kolaborasi dari berbagai pihak, platform digital ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan lebih jauh dalam mendukung inovasi kebijakan kesehatan yang efektif dan berbasis bukti.

Reporter: Via Anggraini, S.K.M (PKMK UGM)

 

 

 

 

 

 

Reportase Riset Implementasi untuk Kebijakan Kesehatan di Indonesia

man writing on paper
dan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan untuk Melakukan Penelitian Kebijakan bagi Fakultas Kedokteran di Indonesia

2ags

PKMK-Semarang. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan Workshop dengan topik “Riset Implementasi untuk kebijakan kesehatan di Indonesia dan Pembukaan Pembelajaran Kelembagaan untuk Melakukan Penelitian Kebijakan bagi Fakultas Kedokteran di Indonesia” pada Jumat (02/08/2024). Kegiatan ini merupakan salah satu sesi acara dalam Pertemuan Ilmiah Nasional dan Musyawarah Nasional BKS-IKM-IKK-IKP. Webinar diselenggarakan secara daring dan dimoderatori oleh Dr. Sukma Sahadewa, dr., M.Kes. SH., MH., M.Sos. Narasumber utama adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (UGM), dengan pembahas sesi pertama yaitu Yunita Dyah Suminar, SKM, M.Sc, M.Si (Kadinkes Provinsi Jateng) dan Dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD FINASIM (Kadinkes Kota Semarang). Kemudian untuk pembahas sesi dua yaitu Dr. dr. Minarni Wartiningsih, M.Kes., FISPH., FISCM (Bendahara BKS-IKM-IKK-IKP) dan Dr. Umatul Khoiriyah, M.Med.Ed., Ph.D (AIPKI).

Pada sesi pertama, Laksono membahas Fakultas Kedokteran dan Riset Kebijakan. Laksono menekankan perlunya reformasi dan transformasi untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Narasumber merujuk pada kerangka sistem kesehatan WHO yang mencakup tenaga kerja kesehatan, pelayanan, informasi, produk medis, vaksin, teknologi, pendanaan, serta kepemimpinan dan tata kelola. Fokus reformasi dan transformasi ini adalah mengatasi ketidakmerataan pelayanan kesehatan dan memastikan sistem pendanaan yang berkelanjutan, dengan tujuan akhir meningkatkan status kesehatan secara keseluruhan di Indonesia.

Selain itu, Laksono juga menyoroti pentingnya akses dan analisis data rutin untuk ilmu kesehatan masyarakat (IKM) serta peran riset kebijakan dalam penyusunan undang-undang kesehatan. Fakultas Kedokteran diharapkan dapat berperan dalam pengambilan kebijakan dengan menyediakan bukti dan melakukan monitoring hasil kebijakan, seperti yang terlihat pada analisis diabetes melitus (DM) dalam konteks UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Transformasi sistem kesehatan diharapkan sejalan dengan visi Presiden untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkeadilan, dengan fokus pada peningkatan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, pengendalian penyakit, dan regulasi pembiayaan kesehatan yang adil dan berkelanjutan.

Pembahas pertama sesi 1 yaitu Yunita Dyah Suminar, SKM, M.Sc, M.Si (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah) mengungkapkan pentingnya analisis dan validasi data untuk kebijakan kesehatan, terutama dalam konteks promosi dan pencegahan penyakit seperti tuberkulosis (TB) dan stunting. Data yang valid dan terverifikasi sangat diperlukan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan yang tepat, dengan penekanan pada kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk akademisi, untuk mengatasi isu kesehatan secara efektif.

Sementara itu, pembahas kedua sesi 1 yakni Dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD FINASIM, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, menjelaskan bahwa inovasi dalam pelayanan kesehatan, seperti program Pelangi Nusantara, sudah terintegrasi antara masyarakat dan data. Program ini fokus pada pelayanan kesehatan gizi dan penyuluhan untuk anak dan remaja, serta menangani balita dengan gizi buruk dan stunting melalui kerjasama dengan institusi pendidikan dan organisasi profesi, sesuai dengan transformasi kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes.

Pada sesi kedua, diskusi dimoderatori oleh dr. Aristanto Prambudi, CHt. M. Kes. Laksono selaku narasumber utama membahas buku yang diterbitkannya dengan berjudul Pengayaan Ilmu Kedokteran untuk Mengatasi Masalah Klinis dan Kesehatan Masyarakat. Penggunaan kata “Pengayaan” yang mengintegrasikan ilmu kebijakan dan manajemen di Fakultas Kedokteran (FK) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Buku ini bertujuan untuk memperkaya nilai kedokteran dan kesehatan masyarakat dengan membahas tantangan keilmuan dari tahun 1990-an hingga saat ini. Buku tersebut dibagi menjadi tiga bagian: pertama, membahas pendekatan awal dalam pengayaan ilmu; kedua, mengulas kemajuan dalam manajemen dan kebijakan; dan ketiga, menilai perkembangan dan harapan masa depan. Selama 30 tahun, proses pengayaan melibatkan penelitian, diskusi, dan solusi praktis dengan fokus pada desain lintas disiplin dan joint appointment dosen. Pembelajaran terkait penelitian kebijakan kesehatan juga tersedia di website resmi.

Pembahas pertama sesi diskusi kedua ialah Dr. dr. Minarni Wartiningsih, M.Kes., FISPH., FISCM., sebagai bendahara BKS-IKM-IKK-IKP, menekankan pentingnya workshop ini untuk disebarluaskan ke seluruh fakultas kedokteran di Indonesia agar setiap data dapat digunakan sebagai dasar promosi kesehatan. Workshop ini diharapkan memberikan pembaruan terkini mengenai isu kesehatan, mendukung pengabdian masyarakat, serta menjadi bahan untuk penulisan artikel penelitian.

Kemudian pembahas kedua sesi dua yaitu Dr. Umatul Khoiriyah, M.Med.Ed., Ph.D., dari AIPKI, menyoroti urgensi kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan dalam pendidikan kedokteran, yang mencakup kepemimpinan dan kemampuan manajemen untuk menghasilkan pelayanan kesehatan berkualitas. Paradigma pembelajaran konstruktif di level sarjana diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa melalui pengalaman belajar yang diberikan oleh pendidik, sehingga lulusan tidak hanya menguasai teori klinis tetapi juga memahami implementasinya secara holistik.

Link terkait: Pembelajaran kelembagaan untuk penelitian kebijakan

Reporter: Ainy Hasna (PKMK UGM)

 

 

 

Reportase webinar Menerjemahkahkan Hasil Riset untuk Proses Kebijakan melalui Policy Brief

Rangkaian webinar penelitian kebijakan untuk para dosen Poltekkes

  7 Februari 2024

7feb1Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., selaku Guru Besar dan Pakar Bidang Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM memberikan pengantar pada Seri ke-3 Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes menyampaikan bahwa teman-teman Poltekkes telah hadir dalam webinar perlu diberikan opsi untuk mengikuti webinar secara perorangan, meskipun dianjurkan untuk membentuk kelompok. Meskipun ada ujian perorangan, kelompok juga diperbolehkan.

Dosen menekankan pentingnya berpartisipasi dalam kelompok, tetapi para dosen memahami bahwa beberapa peserta mungkin tidak memiliki kelompok. Selama sesi, mereka memasuki topik kebijakan publik, membahas bagian-bagian penting dari proses kebijakan, dimana hasil riset dan analisis disampaikan. Mereka juga membahas hasil angket minggu sebelumnya yang dapat menjadi landasan untuk pembahasan dalam konteks kebijakan. Webinar ini mencatat partisipasi aktif dari sekitar 500 peserta dari 1000 yang terdaftar. Dosen menyampaikan pentingnya pembuatan proposal bersifat multicenter untuk penelitian atau implementasi, seperti contoh riset implementasi dalam menggunakan alat antropometri.

7feb2

Sebelum memulai sesi webinar, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hasil pengisian angket evaluasi yang telah diisi oleh peserta pertemuan webinar sebelumnya bahwa hasil angket menunjukkan peningkatan pemahaman peserta setelah mengikuti webinar dari pertemuan sebelumnya. Dari 346 peserta yang mengisi angket, terlihat bahwa sebelum webinar, 63% peserta tidak memahami pertanyaan riset implementasi, namun setelahnya, jumlah peserta yang memahami meningkat menjadi 78%, sementara yang sangat paham naik dari 2% menjadi 20%.

Pemahaman tentang peran riset implementasi dalam siklus kebijakan juga mengalami peningkatan, dari 21% sebelum webinar menjadi 78% setelahnya. Pemahaman peserta mengenai contoh-contoh metode penelitian juga meningkat, dan pemahaman tentang outcome dari implementasi kebijakan mengalami perubahan positif secara signifikan. Meskipun masih ada peserta yang belum memahami beberapa aspek, secara keseluruhan, webinar ini membawa peningkatan pemahaman peserta terkait implementasi kebijakan dan metode penelitian. Evaluasi ini memberikan dasar untuk tindakan selanjutnya dan menunjukkan bahwa ada potensi perbaikan pada karakteristik implementasi yang masih perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

7feb3Narasumber pertama, Shita Listyadewi, MPP., selaku Kepala Divisi Public Health PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa bagaimana kita menerjemahkan hasil riset untuk proses kebijakan melalui policy brief. Shita yakin Indonesia memiliki banyak riset-riset yang telah dilakukan, dan pihaknya juga yakin bahwa ada terbersit keinginan hasil riset tersebut dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan. Webinar pada pagi hari ini sangat cocok bagi peserta karena akan membantu para peserta memperoleh pemahaman dasar mengenai cara menerjemahkan hasil-hasil tersebut untuk proses kebijakan.

Kita akan membahas tiga hal, pertama, peran evidence dalam proses penyusunan kebijakan; kedua, pemahaman tentang knowledge translation; dan ketiga, strategi penggunaan policy brief untuk mempengaruhi proses pengusungan kebijakan. Perlu diingat bahwa evidence policy menjadi isu yang disorot belakangan ini, dimana evidence harus menjadi dasar pengambilan kebijakan. Namun, hal ini tidak selalu mudah karena adanya faktor-faktor lain seperti konteks politik, nilai-nilai yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang mempengaruhi penerimaan dan pemanfaatan evidence oleh para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan strategi knowledge translation untuk mendekatkan para peneliti dengan para pengambil kebijakan agar bukti-bukti penelitian dapat bermanfaat dalam proses kebijakan.

7feb4Narasumber kedua, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada dasarnya, policy brief sering didefinisikan sebagai dokumen ringkas atau ringkasan kebijakan, juga dikenal sebagai produk kebijakan di Kementerian Kesehatan. Policy brief awalnya adalah ringkasan kebijakan yang sering menjelaskan evidence atau hasil penelitian dalam bentuk grafik dan teks. Policy brief memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang masalah yang perlu diperhatikan dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan.

Dalam penyusunan policy brief, penting untuk memperhatikan standar dokumen, baik yang umum maupun kompleks, dan memperhatikan faktor penyebab masalah serta opsi kebijakan yang diajukan. Policy brief dapat disusun oleh lembaga penelitian, kelompok advokasi, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, dan ditujukan terutama kepada pembuat kebijakan, birokrasi pelaksanaan, dan akademisi. Dalam penyusunan policy brief, strategi advokasi perlu diterapkan, dengan memperhatikan faktor penyebab masalah, ukuran masalah, dan rekomendasi kebijakan yang spesifik. Standar dokumen policy brief yang kompleks dapat membantu dalam proses dialog kebijakan dan strategi advokasi yang lebih efektif.

Di akhir sesi, terdapat beberapa pertanyaan dari peserta. Pertanyaan pertama Dewi Aryani dari Poltekkes Tasikmalaya, “Mohon diberi penjelasan yang spesifik atau best practice mengenai dialog kebijakan (khususnya perbedaan dengan FGD)?”. Shita Listyadewi menjawab, “FGD merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali informasi dari para informan yang diundang ke dalam sesi diskusi. Namun, dalam konteks dialog kebijakan, kegiatan ini lebih spesifik dan difokuskan pada isu kebijakan. Dialog kebijakan membahas secara mendalam isu kebijakan tertentu dengan tujuan yang jelas terkait pembahasan kebijakan tersebut.

Perbedaan mendasar terletak pada fokus dan tujuan yang lebih jelas dalam dialog kebijakan dibandingkan dengan FGD yang lebih berorientasi pada pengumpulan informasi. Meskipun ada banyak perbedaan dalam pelaksanaannya, webinar ini menjadi peluang bagi peserta untuk mendalami topik tersebut lebih lanjut. Dengan demikian, perbedaan utama terletak pada tujuan, fokus, dan output yang dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut”. Selain itu, Tri Muhartini juga menambahkan, “Jika kita melibatkan diri dalam dialog kebijakan, perlu diingat bahwa ini adalah suatu proses yang sangat berbeda dengan politik konvensional. Berdasarkan pengalaman kami, praktek yang umum dilakukan pada tahap akhir dialog kebijakan adalah mencapai suatu kesepakatan dengan pengambil keputusan terkait rekomendasi dan opsi kebijakan yang telah kita ajukan. Dalam konteks ini, kita berupaya memastikan bahwa pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang diundang dapat mencapai kesepakatan untuk mengadopsi salah satu opsi kebijakan yang telah diusulkan”.

Pertanyaan kedua Asrie Abu dari Poltekkes Mamuju, “Apakah judul policy brief dapat dimodifikasi atau dibuat sedikit berbeda dengan judul primary research-nya?”. Shita Lisyadewi menjawab “Policy brief yang merupakan ringkasan penelitian, dapat berbeda dengan judul penelitian utama. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam sifatnya. Ringkasan penelitian tentu harus memiliki judul yang sama persis dengan penelitian utama yang dilakukan. Namun, dalam konteks policy brief, judulnya diperbolehkan untuk berbeda, bahkan sebaiknya berbeda.

Hal ini dikarenakan sulit membayangkan apakah judul policy brief yang sama persis dengan penelitian utama dapat memberikan motivasi kepada pengambil kebijakan untuk bertindak. Nature dari policy brief sendiri menuntutnya untuk dapat memotivasi pengambil kebijakan dalam melakukan suatu tindakan. Sehingga, judul policy brief cenderung membahas tema, isi, atau permasalahan di dalam suatu isu yang berbeda.

Singkatnya, judul policy brief sebaiknya berbeda dengan judul penelitian utama, mencerminkan sifatnya yang lebih bersifat motivasional dalam memicu tindakan”. Tri Muhartini juga menambahkan, “Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, penting untuk menciptakan judul policy brief yang sesuai. Berdasarkan pengalaman pribadi, seringkali judul policy brief yang dibuat berbeda dengan judul penelitian yang dilakukan. Dalam konteks ini, policy brief-nya pun bisa lebih dari satu, tergantung pada temuan dan konteks penelitian.

Sebagai contoh, dalam penelitian inklusivitas yang pernah saya lakukan, kita memecah hasil penelitian menjadi beberapa policy brief berdasarkan konteks daerahnya, terutama karena advokasi ditujukan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, jumlah policy brief dapat disesuaikan dengan konteks penelitian dan target advokasi yang kita miliki”.

Reporter: Agus Salim, MPH.
(Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes

  25 Januari 2024

Seri I Riset Kebijakan Kesehatan Sebagai Peluang Policy Windows

Acara ini diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD dan dilanjutkan pemaparan materi utama yang disampaikan oleh Dr. Gabriel Lele, M.Si. Topik yang diangkat pada seri pertama ini mengangkat mengenai riset kebijakan yang diperuntukkan bagi para dosen yang berbasis di Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan apa peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan dari adanya riset kebijakan.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro

25jan1Terdapat 4 poin utama yang disampaikan oleh Prof. Laksono, pertama mengenai tantangan untuk Poltekkes, kemudian dilanjutkan dengan paparan hasil survey exposure, diikuti penjelasan kegiatan yang dilaksanakan dalam seri webinar ini dan terakhir adalah pembelajaran yang diperuntukkan bagi perorangan dan kelembagaan. Pada situasi terkini dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berjalan beriringan dengan Transformasi Sektor Kesehatan, banyak kebijakan yang diinisiasi oleh pemerintah. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan terhadap stunting, kebijakan untuk penyakit menular dan tidak menular, alat kesehatan, jaminan kesehatan dan masih banyak lagi.

Banyaknya kebijakan yang disusun oleh pemerintah tentu saja tidak lepas dari siklus proses kebijakan seperti penetapan agenda, perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan monitoring serta evaluasi kebijakan (Monev). Peran monev ini cukup krusial karena proses ini dapat melihat ke seluruh proses tadi tentang bagaimana penyelenggaraannya dan konsep-konsep apa yang digunakan untuk menelurkan kebijakan yang akan diimplementasikan. Evaluasi ini tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah atau instansi pengawas di luar pemerintahan, tetapi juga dilaksanakan oleh pihak masyarakat seperti universitas, pusat studi, lembaga swadaya masyarakat dan media massa.

Posisi Poltekkes dalam peran monev ini perlu untuk diperkuat dan diperbanyak untuk turut serta. Jangan sampai posisi Poltekkes yang strategis untuk menjalankan riset tidak digali dan berakhir menjadi “penonton” saja. Peningkatan kapasitas untuk dosen Poltekkes supaya dapat turut serta dalam proses monev kebijakan menjadi cukup penting.

Hasil survey yang melibatkan 260 dosen Poltekkes menunjukkan hasil bahwa riset mengenai kebijakan adalah riset yang paling sedikit dilakukan. Khususnya pada studi berbasis evaluasi (research evaluation) dan systematic review. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas bagi dosen Poltekkes untuk masuk ke dalam proses riset kebijakan kesehatan. PKMK FK-KMK UGM memfasilitasi dosen Poltekkes dengan series webinar yang bebas dan gratis untuk diakses, dan bisa menjadi awalan untuk membuka pengetahuan mengenai apa-apa saja peluang dan kemampuan apa saja yang harus dimiliki supaya dapat melaksanakan riset kebijakan. Selain materi yang diberikan, peserta di dalam webinar seri riset kebijakan juga diberikan peluang untuk dilatih skill-skill yang dibutuhkan.

pemaparan materi oleh Dr. gabriel Lele

25jan2Pokok-pokok pembelajaran yang disampaikan oleh Gabriel sebagai pemateri yaitu mengenai Dasar-Dasar dari Riset Kebijakan. Riset kebijakan adalah bagian dari studi kebijakan publik, dan kebijakan publik itu sendiri bermakna pilihan-pilihan yang diambil untuk dilaksanakan atau untuk tidak dilaksanakan oleh pemerintah (Thomas Dye). Gabriel juga mengutip pernyataan dari Easton bahwa kebijakan publik juga dapat dimaknai sebagai sebuah instrumen bersifat otoritatif untuk mengalokasi nilai.

Riset kebijakan didefinisikan sebagai sebuah proses investigasi atau analisis mengenai suatu masalah sosial yang penting atau fundamental untuk memberikan rekomendasi praktis bagi pembuat kebijakan supaya menyelesaikan masalah yang diinvestigasi. Sifat dari riset kebijakan bermacam-macam, dapat bersifat deskriptif, eksploratif, eksplanatif dan juga retrospektif. Contohnya pada saat ada perumusan kebijakan baru bisa dilaksanakan evaluasi kebijakan yang sedang berjalan seperti apa, dengan mengukur perubahan sosial, proyeksi (forecasting) fenomena tertentu, atau permodelan. Perlu juga diketahui dalam proses riset kebijakan umumnya dibarengi dengan pendekatan multi dan lintas disiplin.

Terdapat perbedaan antara riset kebijakan dan analisis kebijakan, pada riset kebijakan orientasinya adalah akademis yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan dengan sedikit implikasi praktis. Selain itu riset kebijakan atau studi kebijakan juga bersifat retrospektif, sebab yang didalami adalah kebijakan yang sudah berjalan atau yang sedang berjalan saat ini. Sementara analisis kebijakan orientasinya praktis dan juga bersifat preskriptif (menyelesaikan persoalan).

Meskipun demikian, orientasi antara keduanya dicampur dengan analisis kebijakan yang dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan dengan menggunakan beragam metodologi. Orientasi riset kebijakan seperti yang disebutkan di awal adalah praktis, karena berurusan langsung maupun tidak langsung dengan pengambil kebijakan. Metode yang digunakan dalam riset kebijakan diantaranya adalah: kualitatif, kuantitatif, eksperimental, semi-eksperimental. Kasus yang diteliti dapat merupakan fenomena tunggal maupun jamak. Nilai-nilai yang difokuskan dalam rist kebijakan mencakup efisiensi, efektivitas, pemerataan dan keadilan. Lokus riset kebijakan meliputi agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan sesi diskusi (tanya-jawab) antara narasumber dan peserta webinar, rekaman kegiatan dapat disimak ulang melalui link berikut

VIDEO

Reporter: Eurica Steffany Wijaya (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Dialog Nasional Bersama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024 tentang Kesehatan

Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD

Pada sesi ketiga Dialog Nasional Capres-Cawapres 2024 yang digelar oleh Komunitas Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KOMPAK) dan disiarkan melalui Kanal YouTube milik IAKMI, paslon nomor urut 3 berkesempatan untuk memaparkan visi dan misinya dalam bidang kesehatan. Pemaparan diwakili oleh Timses dari Paslon Nomor Urut 3 (Ganjar & Mahfud MD) yang terdiri dari:

  1. dr. Dripa Sabana
  2. dr. Michael Spika
  3. dr. Putu agus
  4. Satya Heragandhi

Dialog ini juga dihadiri oleh panelis yang memiliki latar belakang beragam, baik dari kedokteran, keperawatan, apoteker, kesehatan masyarakat dan lain-lain. Jumlah panelis yang hadir dalam dialog nasional ini sebanyak 12 orang yang terdiri dari:
Panelis:

  1. Hj. Oman Faturrahman, S.Ag., S.H., S.Kep
  2. Prof. Dr. Mufdlilah, S.ST., M.Kes
  3. Prof. Dr., Budi Santoso, Sp.OG
  4. Apt. Nurfendri
  5. Prof. dr. apt. Keri Lestari, M.Si
  6. Djamani, S.TR., AKK., AMM
  7. Rudatin, SST., SKM., M.Si
  8. Prof. drg., Anton Rahardjo, M.Sc., Ph.D
  9. Kol. Purn. Dwi Joko, HR, SKM., Mkes., MM
  10. Moh. Irfan, SKM, M.Fis
  11. Dr. Heri Priyatna, S.KM., S.Sos
  12. Prof. Dr., apt., Gemini Alan, M.Si

17jan12

Sama seperti sesi-sesi sebelumnya yang sudah lebih dulu dilaksanakan oleh paslon nomor urut 1 dan 2, didahului dengan penyampaian visi-misi dan program-program yang dijanjikan oleh paslon nomor tiga. dr. Dripa Sabana selaku perwakilan menyampaikan tagline di bidang kesehatan yaitu “Masyarakat Kesehatan Sejahtera, Rakyat Sentosa”. Misi yang berkaitan langsung dengan kesehatan adalah investasi manusia dan juga pelayanan masyarakat. Cara untuk mencapai misi tersebut menggunakan 3 platform yang direncanakan, diantaranya adalah digitalisasi, anggaran dan juga Sikat KKN. Ketiga platform ini akan dijelaskan lebih lanjut pada sesi diskusi.

Dripa menjelaskan adanya 6 tantangan yang dihadapi di bidang kesehatan, pertama tentang kurangnya akses ke layanan primer, kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit, ketahanan kesehatan yang masih lemah, pembiayaan kesehatan yang belum efektif dan efisien, SDM Kesehatan yang masih belum baik dan merata, dan minimnya integrasi data dan teknologi kesehatan serta inovasi/bioinovasi. Melihat pada problem-problem tersebut, paslon nomor urut 3 menawarkan beberapa program.

Program yang pertama adalah 1 Desa, 1 Faskes, 1 Nakes, program ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah puskesmas pembantu hingga berjumlah 45 ribu karena awalnya jumlah puskesmas hanya 10 ribu di Indonesia. Program yang kedua adalah Uang Saku Kader Posyandu, ditekankan bahwa jika ingin program preventif dan promotif dapat berhasil maka diperlukan peran dari Kader sebab pihak yang berjasa untuk memberikan edukasi dan menjadi ujung tombak upaya promotif dan preventif adalah Kader.

Dukungan untuk Kader tersebut berbentuk Uang Saku yang diberikan per bulan sebesar lima ratus ribu rupiah (Rp. 500.000,00). Program yang ketiga menyasar pada penduduk lanjut usia, yang diberi nama Lansia Bahagia, Anak Cucu Gembira. Penekanan program untuk penduduk lansia ini adalah pada pemberian jaminan kesehatan, bantuan modal usaha, bantuan sosial dan bantuan supaya ada pekerjaan yang dekat dengan rumah. Kemudian program keempat, adalah Tenaga Kesehatan Indonesia untuk Dunia. Tenaga kesehatan yang dimaksud pada program ini adalah nakes yang lulus dari program Vokasi.

Lapangan kerja untuk nakes lulusan vokasi diharapkan dapat berdiaspora di berbagai negara dan pemerintah dapat bekerjasama dengan pemerintah negara lain untuk penempatan tersebut. Selain itu, terdapat tendensi dari paslon nomor urut 3 untuk melaksanakan perlindungan terhadap tenaga kesehatan, baik perlindungan dari sisi kesejahteraan dan perlindungan hukum. Pada digitalisasi, paslon nomor urut 3 memiliki rencana untuk melaksanakan integrasi identitas atau disebut dengan KTP Sakti, supaya program-program kesehatan dapat diikuti oleh masyarakat dengan identitas tunggal saja, tidak perlu multi-administrasi.

Setelah paparan selesai, dilanjutkan dengan diskusi. Panelis yang hadir menggali beberapa hal, salah satunya tentang isu keamanan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah-daerah 3T yang sering kali menjadi penyebab tenaga medis atau tenaga kesehatan tidak betah untuk tinggal. Kemudian, terdapat juga pertanyaan mengenai pengarusutamaan upaya promotif dan preventif untuk mengurangi beban pembiayaan kesehatan.

Pada aspek kebijakan, juga terdapat concern dari panelis mengenai peraturan perundang-undangan tentang kesehatan yang baru disahkan, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2023. Terutama, kaitannya dengan keberpihakan Paslon 3, apakah ada tendensi untuk meninjau kembali peraturan tersebut karena ada pertentangan-pertentangan yang terjadi pasca disahkan. Jawaban dari timses paslon nomr urut 3 dapat disimak lebih lanjut pada Kanal YouTube IAKMI OFFICIAL.

Reporter: Eurica Stefany Wijaya, MPH (PKMK UGM)

 Link Terkait

 

 

Dialog Nasional Bersama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024 tentang Kesehatan

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka

Yogyakarta, 16 Januari 2024

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KOMPAK) secara hybrid. KOMPAK mendukung sosialisasi dan penyebarluasan visi dan misi para pasangan calon sebagai implementasi ketaatan komunitas kesehatan terhadap Undang-Undang Pemilu. Mereka juga ingin memperkuat posisi tenaga medis, kesehatan, serta asosiasi kesehatan sebagai pemangku kepentingan kesehatan utama, dalam kerangka dedikasi yang setinggi-tingginya untuk pembangunan kesehatan bangsa. Pada sesi kedua, pasangan calon nomor urut 2 tidak dapat hadir pada acara hari ini. Oleh karena itu, kegiatan dilaksanakan dengan menyampaikan aspirasi dari para panelis. Pertanyaan dan masukan akan dicatat oleh tim sukses yang hadir dalam acara, untuk kemudian diteruskan kepada pasangan calon nomor urut 2.

Panelis pertama dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
Dr. Aprisunadi, S.Kep. Ns., M.Kep., Sp.Kep. MB.

17jan1

Aprisunadi menyampaikan bahwa dalam negara ini, saya ingin menekankan dua hal pertama mengenai tenaga kesehatan. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang tenaga kesehatan, seperti sertifikasi dan sebagainya. Namun, dalam praktiknya, sertifikasi tidak dihitung atau dinilai oleh negara, berbeda dengan profesi lain seperti guru yang langsung mendapatkan penghargaan setelah memperoleh sertifikasi.

Saya merasa bingung dan bertanya-tanya, mengapa tenaga kesehatan tidak mendapatkan perlakuan serupa? Apakah kita, sebagai tenaga kesehatan, mendapatkan pertanyaan dan jaminan dari negara terkait praktik kita? Saat ini, perlindungan untuk tenaga kesehatan hampir tidak ada, namun yang ada hanyalah penghargaan yang terbilang minim, yakni sekitar 1,2 juta. Artinya, pemberdayaan terhadap tenaga kesehatan belum sepenuhnya dilakukan, terutama di desa-desa. Kami mengusulkan agar desa-desa juga mendapatkan pemberdayaan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan. Namun, masalahnya adalah ketidakjelasan terkait masuknya profesi perawat ke dalam skema JKN tentang Praktek Keperawatan. Kami merasa bingung dan ingin menanyakan siapa yang seharusnya memberikan jawaban terkait hal ini, terutama karena hal ini menjadi perhatian bersama.

 

Panelis kedua dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes.

17jan2

Emi Nurjasmi menyampaikan bahwa Kami tetap serius dan menantikan bagaimana pesan kami dapat sampai kepada pasangan calon. Jika terpilih menjadi presiden, mereka akan memiliki tanggung jawab terhadap semua aspek kehidupan di negara ini, termasuk hak kesehatan setiap individu sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Kami menitipkan pertanyaan mengenai strategi untuk memastikan bahwa setiap orang dapat mendapatkan hak terhadap pelayanan kesehatan.

Sebagai Ikatan Bidan Indonesia, kami ingin memberikan beberapa masukan. Pertama, perlu adanya ketersediaan fasilitas kesehatan yang dekat dengan masyarakat agar mudah diakses. Selanjutnya, pentingnya memperhatikan aksesibilitas dalam konteks jarak dan biaya, termasuk pembiayaan yang terjangkau oleh masyarakat. Kontinuitas peningkatan kualitas layanan kesehatan juga harus dijaga melalui pendidikan berkelanjutan, pemantauan, evaluasi, dan penghargaan terhadap tenaga kesehatan profesional. Selain itu, Emi Nurjasmi setuju dengan pembicaraan sebelumnya mengenai kurangnya penghargaan terhadap tenaga kesehatan profesional, yang sudah mendapatkan sertifikasi namun tidak mendapatkan insentif. Seharusnya, program-program dari pasangan calon 02 dapat mengembangkan strategi dalam konteks pembiayaan yang terjangkau dan peningkatan kualitas dari fasilitas kesehatan.

 

Panelis ketiga dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Mayor Jenderal TNI Dr. Budiman, Sp.BP-RE (K), MARS.

17jan3

Budiman menyampaikan bahwa Para dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya merupakan agen-agen pelaksana yang sangat penting dalam sistem pertahanan dan ketahanan negara ini, terutama dalam menghadapi ancaman di bidang kesehatan. Ancaman tersebut tidak hanya bersifat fisik, namun juga mencakup ancaman penggunaan biologi, kimia, dan sebagainya. Peran mereka sebagai garda terdepan terbukti saat kita berhadapan dengan pandemi COVID-19. Dengan jumlah perawat mencapai 420 jutaan pada tahun 2011, mereka bergabung sebagai garda terdepan dalam kolaborasi pentahelix yang merupakan pilar pertama dalam pemerintahan, melibatkan TNI, Polri, akademisi, pengusaha, dan media.

Sangat penting bagi para calon pemimpin bangsa untuk tetap melibatkan organisasi profesi dan asosiasi kesehatan sebagai mitra strategis pemerintah. Organisasi profesi memiliki fungsi utama untuk melindungi masyarakat dalam aspek kesehatan serta menjaga marwah profesi dalam hal etika, moralitas, dan profesionalisme. Oleh karena itu, keterlibatan mereka sebagai mitra strategis perlu dipertahankan, tergantung pada kemungkinan revisi undang-undang yang mungkin dilakukan oleh pemerintah di masa depan. 

 

Panelis keempat dari Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI)

17jan4PAFI menyampaikan bahwa kami membawa pesan kepada Calon Presiden dari nomor urut 02 yang saat ini menjadi Menteri Pertahanan. Pengalaman dalam menghadapi COVID-19 telah mengajarkan kita betapa pentingnya ketahanan kesehatan nasional, khususnya dalam konteks ketahanan kefarmasian. Mewakili apoteker se-Indonesia, kami ingin memberikan masukan terkait ketahanan kefarmasian. Kami percaya bahwa pemerintah perlu mencapai ketahanan kefarmasian nasional dengan membangun ekosistem farmasi yang sehat, termasuk riset dan investasi di industri farmasi. Penting untuk mempersiapkan ekosistem yang sehat dari hulu ke hilir, mulai dari riset bahan baku hingga penyediaan obat yang terjangkau. Kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan regulasi terintegrasi seperti RUU Kefarmasian yang telah kami usulkan kepada DPR.

Selain itu, kami ingin menyoroti konsep “mining full participation” yang menjadi tren di organisasi profesi saat ini. Kami merasakan bahwa Undang-Undang 17 Tahun 2023 belum sepenuhnya mendukung konsep ini, dan kami berharap pemerintahan yang baru dapat segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menyempurnakan Undang-Undang 17 Tahun 2023 dalam 100 hari ke depan. Kami tidak menentang undang-undang tersebut, namun kami merasa perlu untuk memberikan masukan guna meningkatkan efektivitasnya.

 

Panelis kelima dari Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI), Ally Kafesa, S.ST., M.Si.

17jan5Ally Kafesa menyampaikan bahwa materi yang telah dibahas sejak pagi hingga sekarang, yang mengungkapkan berbagai hal terkait fasilitas perundang-undangan. Harapannya untuk pasangan calon nomor urut 2, baik calon presiden maupun wakilnya, adalah agar pemerintah dapat memperhatikan laboratorium sebagai bentuk kegiatan atau fungsional yang sangat penting. Ia berharap bahwa dari segi perundang-undangan dan fasilitas, serta peralatan laboratorium, dapat ditingkatkan sehingga mereka dapat menghadapi berbagai situasi yang mungkin dihadapi di masa depan.

Ia menyoroti kebutuhan akan kesiapan laboratorium, khususnya terkait dengan sistem biologi. Ia menginginkan peningkatan dalam hal perundang-undangan dan fungsionalitas laboratorium, sehingga laboratorium dihargai sepenuhnya dan memiliki posisi yang jelas dan diakui. Ia menekankan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan kualifikasi laboratorium, bukan hanya sebagai pandangan sebelah mata. Selain itu, Ally Kafesa mengungkapkan harapannya terhadap program dan langkah-langkah strategis yang akan diambil jika pasangan calon nomor 2 menang.

 

Panelis keenam dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI).

17jan6Persagi menyampaikan bahwa permasalahan stunting yang selalu menjadi pembicaraan, termasuk dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden pada tahun 2021 terkait percepatan penurunan stunting. Dalam lima pilar yang diambil, salah satunya adalah penguatan pengembangan sistem data, informasi, dan inovasi. Meskipun demikian, peran organisasi profesi masih belum optimal, meskipun sudah bekerja aktif di tingkat desa. Target penurunan stunting pada tahun ini seharusnya sudah mencapai 14 persen, namun data terakhir masih mencatat 21,6%.

 

Panelis ketujuh dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)
Prof. drg. Suryono, SH, MM, Ph.D

17janpdgiSuryono menyampaikan bahwa permasalahan pemerataan tenaga kesehatan, terutama dokter gigi, merupakan isu kronis yang belum terselesaikan sejak saya berada di SMA hingga saat ini. Pemerataan tersebut menjadi kendala utama, terutama di daerah pinggiran dan terpencil. Saya ingin bertanya mengenai strategi yang akan diambil oleh Paslon nomor urut 2 dalam satu periode kepemimpinan untuk menyelesaikan masalah pemerataan tenaga kesehatan ini. Menurut evaluasi saya, kurangnya koordinasi di antara kementerian, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Kesehatan, menjadi kendala utama. Saya melihat solusinya adalah dengan meningkatkan koordinasi di tingkat tersebut.

Selain itu, saya mengamati bahwa ada kurangnya pemanfaatan pendanaan terkait beasiswa atau LPDP oleh Kementerian Kesehatan. Dengan koordinasi yang baik antara kementerian, terutama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, serta pemerintah daerah, pemenuhan pemerataan tenaga kesehatan, terutama dokter gigi spesialis, dapat lebih mudah dicapai. Inisiatif seperti menempatkan dokter-dokter gigi spesialis di setiap desa dan kelurahan di Indonesia menjadi sebuah ide yang saya harapkan dapat diwujudkan.

Selanjutnya, saya ingin membahas pergeseran paradigma dalam undang-undang kesehatan terbaru nomor 17 tahun 2023. Dengan pergeseran ini, pelayanan kesehatan yang semula bersifat sosial dan ekonomi, kini menjadi industri kesehatan. Saya melihat bahwa orientasi yang lebih pada proses dan keterlibatan investor asing, terutama di Rumah Sakit asing, dapat membawa dampak negatif. Saya berharap Paslon nomor urut 2 memiliki keberanian untuk memerintahkan jajaran kementerian agar selalu berkoordinasi dalam membangun bangsa dan negara. Kemandirian dalam pelayanan kesehatan juga harus diutamakan, dengan menghindari eksploitasi oleh rumah sakit asing untuk kepentingan profit semata. 

 

Panelis kedelapan dari Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)
Bambang Lukisworo, SKM.

17jan7Bambang Lukisworo menyampaikan bahwa kami ingin menyoroti aspek kebijakan terkait undang-undang nomor 17 tahun 2023. Banyak telah dibahas mengenai pertahanan dan pemerataan. Saya ingin mengemukakan tentang kebijakan yang terasa ambigu, terutama terkait lapangan pekerjaan dan pemerataan. Banyak lulusan kita yang menghadapi minimnya formasi di Kementerian Kesehatan untuk tenaga sanitarian. Seandainya paslon nomor 2 terpilih sebagai presiden, saya berharap ada harmonisasi regulasi antar lembaga dan kementerian, terutama terkait lapangan pekerjaan. Saya juga ingin menyampaikan keprihatinan mengenai partisipasi dan kontribusi lembaga terhadap regulasi yang sama. Meskipun paslon nomor 2 menyuarakan program seperti memberikan makan dan susu gratis, saya berharap hal ini tidak menciptakan ketergantungan di masyarakat.

Apakah program tersebut akan merangsang kemandirian masyarakat atau sebaliknya? Saya berharap agar kebijakan-kebijakan yang diusulkan tidak menjadi blunder dan berdampak negatif pada masyarakat. Selanjutnya, mengenai masalah harmonisasi regulasi, penting bagi pemerintah untuk segera mengatasi persoalan ini agar program-program yang diusulkan dapat berjalan dengan baik. Sebuah contoh konkret adalah kerjasama antara Kementerian Desa dan Kementerian lain, seperti program satu Desa satu sanitarian untuk tenaga kesehatan. Harmonisasi ini akan memungkinkan penggunaan dana desa untuk memberikan solusi bagi tenaga kesehatan di desa. Terakhir, saya ingin menambahkan bahwa program makan siang gratis dan susu gratis sebaiknya tidak hanya menjadi isu kampanye semata. Harapannya, program ini tidak hanya menciptakan ketergantungan dan berhenti setelah kampanye berakhir. Kita perlu memperhatikan pengalaman negara-negara maju yang telah menerapkan program serupa, agar tidak menciptakan ketergantungan di masyarakat kita. Semoga saran-saran ini dapat dijadikan pertimbangan.

 

Panelis kesembilan dari Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI)
Moh Ali Imron, SMPh, S.Sos, M.Fis.

17jan8Moh Ali Imron menyampaikan bahwa tiga isu, yang pertama terkait dengan kurangnya peningkatan kualitas pendidikan nakes di Indonesia sejak undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Kami, terutama para nakes, tidak melihat perkembangan yang signifikan dalam akses pendidikan ini. Saya mengajukan permohonan kepada paslon nomor urut 2 untuk memberikan dukungan nyata dalam pengembangan pendidikan, karena kualitas pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan nakes. Isu kedua datang dari Ikatan Fisioterapi Indonesia yang mencatat bahwa sekitar 27% penduduk Indonesia mengalami disabilitas atau cedera pada tahun 2018. Masalahnya adalah kasus disabilitas dianggap sebagai kasus akut dalam JKN, yang berujung pada biaya besar. Saya mengusulkan agar paslon nomor urut 2 mempertimbangkan perubahan dalam penanganan disabilitas, melalui kolaborasi dengan JKN BPJS dan mengakui praktek-praktek ini sebagai bagian dari jejaring pelayanan kesehatan. Terakhir, saya ingin menyoroti pentingnya revisi undang-undang nomor 17 tahun 2023. Perubahan ini diperlukan karena arah sentralisasi yang dapat memengaruhi governance dan peran organisasi profesi yang selama ini efisien. Saya berharap paslon nomor urut 2 dapat mengakomodasi perspektif ini untuk menjaga prinsip pelayanan desentralisasi dan mempertimbangkan tiga pilar dalam penyusunan kebijakan. Masalah lain yang diangkat adalah tentang praktek nakes, disabilitas, dan sentralisasi dalam undang-undang. Semua isu ini membutuhkan perhatian dan dukungan nyata untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan nakes di Indonesia.

 

Panelis kesepuluh dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat indonesia (IAKMI)
dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D.

17jan10Agustin Kusumayati menyampaikan bahwa terima kasih kepada pasangan calon nomor urut 2 atas komitmennya dalam membangun kesehatan, diibaratkan seperti membangun pertahanan bangsa yang harus memiliki alutsista modern. Namun, yang paling utama adalah memastikan ketahanan rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan harus memperkuat kemampuan rakyat, bukan hanya sebatas kekuatan tentara. Prioritas utama harus diberikan pada upaya promosi dan preventif, dengan peningkatan aktivitas fisik melalui pengembangan tata kota, transportasi, dan lingkungan yang aman.

Pasangan calon nomor urut 2 diharapkan mewujudkan perhatian khusus pada upaya promosi dan preventif, seperti pengendalian tembakau, peningkatan pola makan sehat dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. Selain itu, dibutuhkan dukungan SDM yang kompeten, cukup kewenangan, dan cukup jumlahnya, serta dukungan pembiayaan dan teknologi. Masyarakat berharap agar pemimpin dapat membangun kemampuan rakyat untuk hidup sehat dengan menyelenggarakan program yang sesuai dengan kebijakan yang memadai.

 

Panelis kesebelas Prof. drg. Anton Rahardjo, MSc (PH), PhD

17jan9Anton Rahardjo menyampaikan bahwa sebagai seorang dokter gigi, saya merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan gigi masyarakat, dan sudah tiga dekade terakhir ini kami sebagai profesi merasakan bahwa pemerintah kurang memberikan prioritas pada kesehatan gigi. Hal ini mengakibatkan status kesehatan gigi cenderung memburuk dari waktu ke waktu. Meskipun banyak program telah dijalankan sejak saya masih mahasiswa, dampaknya tidak terlihat signifikan karena kurangnya fokus pemerintah dalam mengurus kesehatan gigi.

Oleh karena itu, kami berharap pemerintah dapat mendengarkan aspirasi profesi kesehatan gigi dan membentuk Direktorat Kesehatan Gigi di Kementerian Kesehatan untuk memperhatikan dan meningkatkan kesehatan gigi masyarakat secara menyeluruh. Selain itu, terkait dengan program untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia, kami berharap paslon nomor urut 2 dapat menampung aspirasi dan unek-unek yang telah disampaikan oleh panelis.

 

Sebagai penutup pada sesi kedua, DR. Dr. Mohammad Adib khumaidi, Sp.OT

17janpMenyampaikan bahwa Terlepas dari satu sisi informasi dan jadwal yang mungkin padat di sela aktivitas. Kami berharap agar pembawa acara dan moderator tetap melanjutkan diskusi dan pertanyaan dari para peserta dengan KOMPAK, mengingat kehadiran 11 organisasi profesi dan 8 asosiasi kesehatan yang serius dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia. Kami ingin dilibatkan sebagai mitra strategis utama dalam permasalahan kesehatan, bukan hanya sebagai penonton.

Kami bukan hanya ingin menghadirkan diri, melainkan juga ingin agar pemikiran yang disampaikan oleh para penelis menjadi pokok pemikiran yang dijadikan kebijakan strategis oleh presiden terpilih. Ini bukan hanya berlaku untuk paslon nomor urut 2, tetapi untuk semua calon pemimpin negara. Kami ingin menyampaikan aspirasi anggota kami di seluruh Indonesia dan berharap pemimpin ke depan dapat menyelesaikan permasalahan kesehatan dengan melibatkan semua stakeholder kesehatan. Kami siap berkolaborasi dan menghindari hal-hal negatif serta menjaga forum ini sebagai wadah keilmuan dan intelektualitas.

Link Terkait

 

 

 

 

Dialog Nasional Bersama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024 tentang Kesehatan

Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KOMPAK) secara hybrid. Kegiatan ini dimulai dengan paparan visi misi pasangan calon Nomor 1 yang langsung disampaikan oleh Anies Baswedan via zoom. Anies menyampaikan visi misi dalam bidang kesehatan yaitu “Akses Kesehatan Berkualitas: Jalan Menuju Indonesia Adil dan Makmur”. Dilatarbelakangi oleh ketimpangan kesehatan antara Indonesia Barat diwakili oleh Jawa dan Sumatera dan Indonesia Timur yang dinilai berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia.

Data menunjukkan bahwa Wilayah Jawa dan Sumatera telah mengalami peningkatan skor IPM sebanyak 5 point dari tahun 2013-2022. Selain itu, 64% dokter dan 74% rumah sakit terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera sementara 68% rumah tangga di luar pulau jawa dan sumatera merasa sulit mengakses rumah sakit. Untuk itu, melalui misinya, Anies Baswedan menyampaikan beberapa strategi khusus di bidang kesehatan dengan meluruskan paradigma baru yang menghadirkan akses kesehatan berkualitas antara lain:

  1. Dari fokus kesehatan kuratif menjadi fokus kesehatan promotif, preventif dan kuratif
  2. Dari pendekatan Top Down menjadi pendekatan kolaborasi dan gotong royong
  3. Dari kesejahteraan tenaga kesehatan belum menjadi prioritas menjadi kesehatan nasional dan kesejahteraan tenaga kesehatan tumbuh berdampingan
  4. Dari pendekatan sektoral menjadi pendekatan health in all policies

Selain itu, Anies Baswedan juga menyampaikan 6 rumusan agenda strategis ke depan antara lain:

  1. Penguatan Peran Puskesmas dan Pemberdayaan Masyarakat diantaranya:
    • Penguatan fungsi puskesmas dan Posyandu untuk promotif dan preventif
    • Peningkatan peran bidan untuk kesehatan ibu, bayi dan tumbuh kembang anak
    • Tunjangan khusus setiap bulan untuk kader kesehatan
    • Menghadirkan konselor psikolog di puskesmas dan layanan konseling online gratis berkolaborasi dengan lembaga yang sudah ada.
  2. Pelayanan Rumah Sakit diantaranya:
    • Rumah sakit kelas A minimal 1 disetiap provinsi
    • Rumah singgah dekat rumah sakit untuk pasien dan keluarga
    • Jemput bola pemeriksaan pengobatan dan pelayanan home care untuk lansia
    • Sistem rujukan yang efisien dengan dukungan teknologi (ICT) untuk mempersingkat alur rujukan
  3. Kesejahteraan dan perlindungan tenaga kesehatan
    • Status program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menjadi tenaga kesehatan dalam pelatihan
    • Peningkatan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan
    • Perlindungan tenaga kesehatan termasuk dari tindak kekerasan dan hukum
  4. Pembiayaan Kesehatan
    • Sistem rujukan pelayanan bagi peserta JKN yang lebih mudah dan berorientasi keselamatan pasien
    • Evaluasi besaran pembayaran fasilitas tingkat lanjut (INACBGs) dan sistem kapitasi untuk memperkuat pelayanan JKN
  5. Kemandirian Farmasi dan alat kesehatan
    • Menambah produsen bahan baku obat (BBO) yang difasilitasi untuk melaksanakan proses change source
    • Penurunan BBO impor 20% atau lebih per tahun secara bertahap
  6. Pengendalian Penyakit dan Ketahanan Kesehatan
    • Penguatan sistem surveilans nasional (data dan sistem terintegrasi)
    • Peningkatan kapasitas dan kualitas laboratorium (testing)
    • Pengayaan respons pandemi bagi nakes dan kader di lapangan (tracing-treatment)

Selanjutnya, Anies juga meminta peran strategis dari KOMPAK kedepannya antara lain:

  • Mitra Penyusunan, pengambilan dan pembentukan kebijakan kesehatan
  • Bergerak bersama memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk seluruh masyarakat
  • Akselerator peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan

Diakhir paparan Anies menyampaikan bahwa ada 4 komponen perubahan yang menjadi PR yang bisa dikerjakan bersama-sama yaitu:

  1. Apa yang sudah ada yang perlu ditingkatkan?
  2. Apa yang sudah ada sekarang perlu dikoreksi?
  3. Apa yang sudah ada yang yang perlu dihentikan?
  4. Apa yang belum ada dan harus dibuat baru?

  Sesi Diskusi

Pertanyaan pertama dipaparkan panelis dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Dr. Harif Fadhillah, S.Kp.,SH.,M.Kep.,MH. Hanif menanyakan terkait kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Instrumen apa yang ingin dibangun paslon untuk mewujudkan kesejahteraan yang beriring dengan pertumbuhan?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D dan Dr. Ganis selaku tim sukses pasangan calon 1. Prof. Hasli menyampaikan melihat kebutuhan mulai dari 75.000 desa, 10.000 kelurahan serta komposisi penduduk yang beragam. Dari sini akan ditentukan kebutuhan tenaga kesehatan antara desa dan kelurahan karena memiliki karakteristik berbeda. Setelah jelas kedudukannya, maka syarat minimal untuk dibayar sebagai tenaga profesional di atas UMR untuk menjadi profesionalnya harus diperjuangkan. Sekarang dan kedepan, dengan adanya dana desa maka dijaga spending dari kabupaten untuk kesejahteraan tenaga kesehatan. Ganis melanjutkan bahwa kesejahteraan tenaga kesehatan tidak semata hanya uang, tapi juga jaminan kesehatan hingga jaminan hukum.

Pertanyaan kedua dipaparkan panelis dari Ikatan Bidan Indonesia, Dr. Ade Jubaedah, SSiT., MM., MKM. Jubaedah menyatakan Bidan berperan penting dalam program pemerintah. Apa rencana strategis untuk memperkuat dan memaksimalkan peran Bidan sebagai bagian terintegrasi dalam program penguatan sistem kesehatan nasional? dan bagaimana upaya memastikan kolaborasi interprofesional yang adil dan setara dalam mewujudkan percepatan penurunan AKI, AKB dan Stunting di Indonesia? dan bagaimana kesejahteraan bidan di daerah DTPK? serta bagaimana implementasi penempatan bidan di Desa?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D yang menyatakan jika semua kepala daerah di dorong agar DAU, DAK dikaitkan dengan pencapaian KPI, maka kesejahteraan bidan akan dilihat sebagai tenaga profesional.

Pertanyaan ketiga dipaparkan panelis dari Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI), Budi Djanu Purwanto, SH., MH. Djanu menanyakan peran Organisasi Profesi sangat bermakna sejak adanya UU 36 tahun 2014. Berdasarkan UU tersebut ada 11 kelompok jenis tenaga kesehatan. Dalam UU Kesehatan terbaru, peran Organisasi Profesi dihilangkan. Apakah hal ini akan dibiarkan?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Ganis yang menyatakan Berdasarkan definisi, Organisasi profesi ada kekosongan hukum, dimana ormas dimana organisasi profesi. Ada peluang untuk membahas kerangka regulasi. Dilanjutkan dengan tanggapan Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D yang menyatakan fungsi Organisasi Profesi sangat vital. Sekarang bagaimana kedudukan Organisasi profesi? Untuk itu, mana yang perlu diperbaiki dan mana yang perlu dirubah. Perlu duduk bersama dengan organisasi profesi

Pertanyaan keempat dipaparkan panelis dari Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Menaldi Rasmin, dr, Sp.P(K). Rasmin menyatakan data dari Bappenas menunjukkan serapan belanja kesehatan adalah 6,9% sedangkan ada penghapusan mandatory spending bidang kesehatan. Bagaimana strategi pemenuhan anggaran untuk mengatasi masalah kesehatan AKI, AKB, Stunting, penyakit TB dan Kusta, serta pemenuhan dan keterjangkauan layanan kesehatan di tingkat masyarakat? dan juga keamanan, kesejahteraan, kepastian jenjang karir bagi SDM Kesehatan?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Ganis yang menyatakan bahwa yang menjadi acuan ilmiah belanja kesehatan 5% GDP bukan APBN untuk mencapai UHC. Angka saat ini untuk belanja kesehatan sekitar 3% dari GDP. Untuk itu, perlu mendorong peningkatan GDP untuk kesehatan. Prof. Hasli menambahkan bahwa kita butuh pembiayaan kesehatan yang lebih besar. Untuk itu, perlu mencari sumber pendanaan kesehatan lainnya dari berbagai sektor di Kementerian.

Pertanyaan kelima dipaparkan panelis dari PATELKI, Atna Permana, SKM., M. Biomed. Atna menyampaikan bahwa Laboratorium belum terintegrasi dan menjadi komponen vital yang disebutkan regulasi dari pusat hingga di daerah. Namun ketika terjadi covid, Negara ditentukan oleh Laboratorium. Indonesia ketika menghadapi penyakit baru menjadi rentan karena laboratorium belum seattle. Bagaimana langkah dan komitmen konkret dalam peningkatan laboratorium karena efek dominonya lebih banyak?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Ganis yang menyatakan bahwa secara teknis sudah disampaikan di visi misi, jika ada yang kurang bisa diberikan masukan. Prof. Hasli menambahkan

Pertanyaan keenam dipaparkan panelis dari PERSAGI, Prof. Dr. Iskari Ngadiarti, SKM, M.Sc. Ikari menyatakan bahwa dalam strategi health for all, jika dilihat masih terjadi masalah gizi mulai dari gizi kurang, gizi lebih dan defisiensi gizi mikro. Saat ini sudah ada intervensi sensitif dan spesifik yang dilakukan oleh berbagai kementrian yang berbeda. Masalah di lapangan, sulitnya melakukan koordinasi dan lemahnya monitoring dan pengawasannya, bagaimana mengatasinya?. Dalam hal defisiensi gizi mikro, hasil evaluasi konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan masih lemah konsumsi protein hewani, sehingga terus terjadi peningkatan masalah. Bagaimana strategi meningkatkan konsumsi B2SA untuk masyarakat yang terkena dampak stunting dan dampak kekurangan gizi?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Prof. Hasli yang menyatakan bahwa Konvergensi antara gizi sensitif dan spesifik kunci untuk penanganan dan koordinasi antar program. Saya melihat yang belum ada, data tingkat desa yang dikumpulkan dari semua posyandu By Name By Address dengan 26 variabel diman 9 variabel untuk intervensi spesifik dan 11 intervensi sensitif, ada yang diterima oleh ibu hamil dan juga intervensi keluarga. Jika dari 26 variabel ini, baik dari data BKKBN, EPPBGM, maupun data kemiskinan kita jajarkan, dan setiap tahun rembuk stunting desa itu sudah berdasarkan data By Name By Address dengan 26 variabel, mana yang perlu seperti wasting makanan tambahan, siapa yang belum dapat tablet fe. Kalau ini di koordinir di tingkat desa, maka usulan kebutuhannya jelas. Dinaikkan dari tingkat desa, kabupaten hingga Pusat. Dana dikeluarkan akan sesuai kebutuhan dari penduduk spesifik.

Pertanyaan ketujuh dipaparkan panelis dari HAKLI, Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes. Arif menyatakan bahwa Apakah paslon memiliki komitmen merumuskan kebijakan dan mendayagunakan tenaga yang ada di Puskesmas?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Burhan yang menyatakan bahwa Kami sudah merilis dokumen visi misi program. Yang terkait dengan lingkungan ada di Pola Hidup dan Lingkungan sehat, ada 6 program. Kami belum spesifik bicara tentang air. Silahkan kami diberikan masukan, nanti akan kami akomodasi.

Pertanyaan kedelapan dipaparkan panelis dari IAKMI, Prof. Dr.drg. Wahyu Sulistiadi, MARS. Wahyu menyatakan bahwa pada Visi Health in All Policies, bagaimana komitmen konkrit agenda strategis tersebut dilaksanakan dalam pelaksanaan kesehatan yang berkaitan dengan program promotif dan preventif dalam segala aspek kehidupan mulai dari awal hingga akhir kehidupan? Contoh pengendalian stunting dan bagaimana pengendalian tembakau itu bisa memasuki sektor-sektor lain yang sulit? Juga kaitannya dengan komitmen global, apakah akan meratifikasi FTCT sehingga menjadi anggota yang memiliki komitmen pengendalian tembakau karena peraturan KTR belum efektif?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Gani yang menyatakan bahwa meratifikasi FTCT butuh diskusi yang panjang. Jika bicara kesehatan promotif dan preventif sangat jelas dalam strategi visi misi. Untuk merokok dari aspek preventif, gaya hidup sehat yang diperkuat,mempermudah akses untuk orang berhenti merokok.

Reporter Candra, MPH (PKMK UGM)

Link Terkait