Kolaborasi Multisektoral Dalam Integrasi Layanan Kesehatan di Indonesia

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Bapak Dadang mengeluhkan batuk disertai dahak dan penurunan nafsu makan selama kurun waktu satu bulan terakhir. Beliau memeriksakan diri ke Puskesmas dan ternyata didiagnosis dengan Tuberkulosis setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan. Beliau diharuskan untuk meminum obat rutin selama 6 bulan. Obat diberikan oleh puskesmas dan kemudian diminum.

Satu minggu kemudian, Bapak Dadang mencari second opinion ke dokter di rumah sakit swasta dan ternyata didiagnosis dengan pneumonia. Dokter memberikan antibiotik selama 5 hari dan kemudian Bapak Dadang meminum antibiotik dari Rumah Sakit tersebut. Setelah merasa lebih baik beliau tidak lagi melanjutkan pengobatan Tuberkulosisnya.

Kisah Bapak Dadang diatas merupakan kejadian nyata yang seringkali terjadi di Indonesia. Pasien dengan diagnosis Tuberkulosis (TB) merasa berat untuk menjalani pengobatan selama kurun waktu 6 bulan. Pasien kemudian datang ke fasilitas pelayanan kesehatan swasta untuk memeriksakan diri berulang kali agar tidak didiagnosis dengan TB. Pasien merasa cukup dengan hanya mendapatkan obat antibiotik jangka pendek. Setelah merasa ada sedikit perbaikan biasanya pasien tidak lagi datang ke dokter. Pasien kembali lagi ke Puskesmas jika kondisinya sudah semakin berat.

Demikian adalah sekelumit kisah terkait penanganan manajemen penyakit menular di Indonesia. WHO menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori teratas dalam jumlah kasus TB, TB dengan HIV, dan pasien TB resisten obat . Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa telah terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah pasien TB di Indonesia, dari 824.000 kasus pada tahun 2020 menjadi 969.000 kasus pada tahun 2021 dengan angka selesai berobat dan penemuan kasus masih cukup rendah.

Sistem informasi yang tidak terpadu menyebabkan pasien dapat dengan mudah untuk berpindah lokasi dengan menyebutkan gejala-gejala yang berbeda. Pun demikian dengan pasien – pasien dengan keluhan “Kejang atau cemas”, banyak diantara mereka yang berbohong, berpura-pura agar mendapatkan obat kejang golongan benzodiazepin, padahal mereka mengincar efek samping dari obat, yakni tenang dan nge-fly. Mereka memiliki modus operandi berpindah-pindah dokter atau apotek. Dokter tentu kesulitan karena pasien bisa menjawab pertanyaan anamnesis dengan “tepat” dan hasil pemeriksaan yang tepat berbekal ilmu dari internet.

Manajemen pelayanan kesehatan di Indonesia harus mulai berbenah dengan melibatkan layanan kolaboratif yang terintegrasi pada berbagai sektor mulai dari layanan primer. Keuntungan jangka pendek terutama dalam aspek penanganan penyakit. Dalam konteks ini, dokter dapat mengakses riwayat medis pasien, termasuk obat-obatan yang telah diberikan dan hasil pemeriksaan radiologis sebelumnya saat pasien datang. Hal ini memungkinkan pemeriksaan tidak perlu dimulai dari awal setiap kali pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien juga tidak dapat menyembunyikan riwayat penyakitnya karena data-data pemeriksaan sebelumnya dapat diakses oleh dokter.

SATUSEHAT merupakan inisiatif baru dari pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menggabungkan data kesehatan menjadi satu entitas terpadu. Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan yang dihadapi saat ini adalah data kesehatan yang terpisah dalam bentuk silo karena banyaknya aplikasi yang digunakan. Berdasarkan hasil penelusuran terdapat lebih dari 400 aplikasi kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, bahkan puskesmas harus mengisi sekitar 70 aplikasi kesehatan secara rutin. Kondisi ini yang membuat petugas kesehatan di garis depan kewalahan dalam melakukan input data. Platform SATUSEHAT memiliki target untuk mengintegrasikan layanan bagi 44.071 fasyankes di Indonesia. Tidak boleh lagi data hanya bersumber pada layanan milik pemerintah, terbukti pada kasus MPOX, deteksi pertama kali terjadi di fasyankes swasta bukan negeri.

US CDC melakukan modernisasi sistem surveilans melalui otomatisasi pelaporan elektronik pada seluruh jaringannya. Mereka sedang mengembangkan berbagai standar pemprograman yang memungkinkan sistem saling berkomunikasi dan menghasilkan visualisasi data near-realtime. Keuntungan yang dihasilkan dari upaya ini adalah seorang epidemiolog tidak lagi perlu menghabiskan satu hari penuh hanya untuk memasukkan data, melainkan mereka dapat segera melakukan penyelidikan epidemiologi. Seorang analis data juga dapat membuat laporan hanya dengan dua kali klik tombol, dan data besar akan sangat bermanfaat dalam pengambilan kebijakan bagi pengambil keputusan karena dapat mengalokasikan sumber daya pada wilayah yang terdampak paling berat .

Hal ini yang ingin dicontoh oleh SATUSEHAT dimana kementerian kesehatan sudah menyusun secara lengkap seluruh petunjuk integrasi dalam playbook SATUSEHAT yang dapat diakses di https://satusehat.kemkes.go.id/platform/docs/id/playbook/, namun ternyata prosesnya cukup rumit meski sudah ditunjang dengan PMK 24 tahun 2022 tentang Rekam Medis Elektronik dan Undang – Undang Perlindungan Data Pribadi. Grafik 1 menunjukkan fasyankes yang terhubung dengan SATUSEHAT per 19 Oktober 2023.

16nv

Grafik 1. Jumlah fasyankes yang telah terhubung dengan SATUSEHAT di berbagai Provinsi di Indonesia per 19 Oktober 2023

Grafik 1 menunjukkan bahwa integrasi baru terjadi di 565 (1.28%) dari 44.081 fasyankes di seluruh indonesia. Hal ini dikarenakan proses integrasi berjalan terpisah dan tidak terstruktur meski petunjuk integrasinya sudah lengkap. Perlu ada kebijakan mengenai siapa yang melaksanakan integrasi untuk level dinas kesehatan kabupaten / kota. Apakah pelaksana integrasi adalah bidang P2, bidang pelayanan kesehatan atau bidang SDM dan apakah terdapat insentif tambahan bagi tugas ini. Dinas juga harus mulai melakukan kolaborasi dengan swasta karena swasta akan menunggu inisiatif. Dinas kesehatan dapat membuat SIMPUSnya secara mandiri atau bekerja sama dengan vendor penyedia layanan sistem informasi puskesmas atau klinik untuk penyediaan SIMPUS yang sama bagi seluruh puskesmas di wilayah. Kerjasama dengan vendor akan memudahkan untuk Dinas kesehatan untuk mendapatkan data dari berbagai sumber yang disimpan dalam satu platform, sehingga memudahkan akses dan analisis data dari fasyankes swasta maupun pemerintah. Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan Kota Mojokerto telah membuktikan hal tersebut karena saat ini seluruh puskesmas dan Rumah Sakit di wilayahnya telah terintegrasi 100%.

Proses integrasi sistem informasi di rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, memerlukan kontribusi dari pihak pengembang swasta. Meskipun pemerintah telah menyediakan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit open source SIMRS GOS, pemanfaatannya masih terbatas. Sebagian besar rumah sakit memilih untuk bekerjasama dengan vendor atau menggunakan perangkat lunak open source lainnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk Dinas Kesehatan atau bekerja sama dengan akademisi memberikan pelatihan kepada staf kesehatan dalam hal pemahaman bahasa medis, PHP, dan MySQL. Tanpa pemahaman tersebut, proses integrasi sistem informasi di rumah sakit akan berjalan lambat. Idealnya, setiap rumah sakit perlu memiliki tim IT yang terdiri dari 4 atau 5 programmer, satu posisi untuk dukungan teknis, dua programmer untuk mengembangkan kode, dan satu analis sistem yang dapat menggabungkan kebutuhan dari tim medis dengan bahasa pemrograman dari tim IT. Jika sulit mencari tenaga yang mengerti tiga bahasa tersebut maka biaya pengintegrasian akan menjadi sangat mahal, gaji seorang programer bisa mencapai Rp20.000.000,- / bulan. Jika Rumah Sakit diharuskan memiliki 3 orang tenaga programmer maka biayanya mencapai Rp 720.000.000 / tahun hanya untuk upah tenaga. hal ini tentu akan menimbulkan kesenjangan dibandingkan tenaga lainnya.

Semua prinsip ini harus mampu diterapkan di Yogyakarta, terutama di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM. Kita perlu memastikan bahwa kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah berjalan dengan baik di wilayah kita sendiri termasuk mengadakan pelatihan untuk proses pengintegrasian data di DIY. Saat ini, situasi di Provinsi DIY masih menjadi perhatian karena baru 3% dari total fasilitas kesehatan yang telah terintegrasi hingga Oktober. Ini mencakup 6 puskesmas dan 12 rumah sakit, seperti yang terlihat dalam Grafik 2.

16nv1

Grafik 2. Jumlah fasyankes yang telah terhubung dengan SATUSEHAT di Provinsi DI Yogyakarta per 19 Oktober 2023

 

 

 

Integrasi Pelayanan Kesehatan dan Peran Sektor Swasta: Program KIA di Remote Area di Indonesia

Agus Salim¹

¹Center for Health Policy and Management Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia;

Artikel ini menggambarkan peran penting kesehatan dalam pembangunan masyarakat dan kesejahteraan negara. Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam pelayanan kesehatan, tantangan besar masih ada di daerah remote, di mana akses terhadap pelayanan kesehatan seringkali terbatas. Untuk mengatasi permasalahan ini, integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta menjadi solusi yang semakin relevan. Dalam konteks ini, artikel ini akan membahas pentingnya integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dalam meningkatkan akses kesehatan di daerah remote Indonesia.

Pentingnya kesehatan sebagai aspek kunci dalam pembangunan masyarakat menjadi landasan utama artikel ini. Khususnya di daerah terpencil di Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan menjadi tantangan yang harus diatasi. Mengintegrasikan layanan kesehatan dan peran swasta dinilai merupakan solusi tepat untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan di bidang tersebut. Artikel ini akan mengulas secara sistematis strategi, penjelasan dan tantangan yang terkait dengan integrasi layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia, dengan fokus khusus pada peran swasta daerah.

Selain itu, artikel ini menyoroti pentingnya peran Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Di daerah terpencil, layanan KIA yang berkualitas dan mudah diakses masih menjadi tantangan utama. Dalam konteks ini, artikel akan membahas bagaimana integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dapat berperan sentral dalam meningkatkan pelaksanaan program KIA di daerah remote Indonesia. Dengan demikian, artikel ini menggarisbawahi peran integrasi dan kerja sama antara sektor publik dan swasta dalam memperbaiki sistem kesehatan di daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus.

Integrasi Pelayanan Kesehatan

Integrasi pelayanan kesehatan merupakan suatu pendekatan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan memadukan berbagai komponen pelayanan, meliputi fungsi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Di daerah terpencil, integrasi layanan kesehatan menjadi sangat penting karena sumber daya seringkali terbatas. Dalam konteks Indonesia, integrasi layanan kesehatan mencakup berbagai layanan, seperti klinik kesehatan, rumah sakit, puskesmas, dan fasilitas kesehatan swasta.

Integrasi pelayanan kesehatan memberikan solusi untuk meningkatkan keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan khususnya di daerah terpencil di Indonesia. Dengan menggabungkan komponen layanan yang berbeda, pendekatan ini dapat memaksimalkan penggunaan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, integrasi layanan kesehatan sangat penting dalam upaya meningkatkan akses dan layanan kesehatan yang lebih efektif di seluruh tanah air.

Peran Sektor Swasta dalam Integrasi Pelayanan Kesehatan

Peran swasta dalam mengintegrasikan layanan kesehatan, khususnya di daerah terpencil, memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan. Beberapa peran penting swasta dalam konteks ini antara lain menyediakan fasilitas kesehatan, bermitra dengan pemerintah, memberdayakan tenaga kesehatan setempat, dan menggunakan teknologi telemedicine.

Pertama, sektor swasta dapat membantu meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dengan mendirikan fasilitas kesehatan seperti klinik atau rumah sakit di daerah yang membutuhkan. Misalnya, pendirian klinik swasta di pedalaman Kalimantan telah membantu memberikan layanan kesehatan dasar kepada masyarakat di daerah terpencil yang sebelumnya kesulitan mengakses layanan kesehatan.

Kedua, kemitraan antara sektor swasta dan pemerintah daerah dapat memperkuat infrastruktur kesehatan di daerah terpencil. Pemerintah dapat mendorong dokter-dokter swasta untuk bekerja di daerah-daerah terpencil, seperti program mendorong dokter untuk bekerja di daerah-daerah terpencil di Indonesia Timur, sehingga dapat meningkatkan sumber daya manusia medis di daerah-daerah yang membutuhkan.

Ketiga, sektor swasta juga dapat berperan dalam pemberdayaan tenaga kesehatan setempat melalui pelatihan dan pengembangan perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini akan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam menyediakan layanan kesehatan dasar, sehingga membantu meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Terakhir, berkat perkembangan teknologi, sektor swasta dapat menggunakan telemedicine untuk memberikan konsultasi medis kepada pasien di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Hal ini memungkinkan akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan berkualitas, bahkan di daerah terpencil. Oleh karena itu, peran sektor swasta dalam mengintegrasikan layanan kesehatan sangat penting untuk menjawab tantangan kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Tabel: Strategi, Penjelasan, dan Tantangan dalam Meningkatkan Keterlibatan Antara Sektor Kesehatan Swasta dan Masyarakat dalam Pelayanan Kesehatan

No. Strategi Penjelasan Tantangan
1 Pendidikan dan pelatihan masyarakat 1. Melakukan program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat. 1. Budaya dan tingkat literasi yang beragam di masyarakat remote.
2. Mendorong partisipasi aktif dalam pemantauan kesehatan ibu dan anak. 2. Memastikan pemahaman yang tepat tentang kesehatan ibu dan anak.
2 Kolaborasi dengan komunitas lokal 1. Memperkuat kerja sama dengan komunitas lokal untuk merancang dan mengimplementasikan program-program KIA.

1. Memahami budaya dan tradisi setempat yang memengaruhi kesehatan.

2. Membangun kepercayaan antara sektor swasta dan masyarakat remote. 2. Koordinasi yang efektif dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah setempat.
3 Mobile clinics dan tim medis lapangan 1. Menggunakan mobil klinik dan tim medis yang mobile untuk memberikan pelayanan langsung di daerah remote.

1. Perawatan mobil klinik dan akses ke daerah terpencil.

2. Meningkatkan akses terhadap layanan KIA dan pemantauan kehamilan. 2. Koordinasi dengan fasilitas kesehatan lainnya.
4 Telemedicine untuk konsultasi dan edukasi masyarakat

1. Memanfaatkan teknologi telemedicine untuk memberikan konsultasi medis jarak jauh dan edukasi kesehatan.

1. Keterbatasan akses internet di daerah remote.

2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi kesehatan. 2. Pelatihan tenaga medis lokal dalam penggunaan teknologi telemedicine.
5 Program KIA berbasis komunitas 1. Membangun program KIA yang berbasis komunitas yang melibatkan ibu dan keluarga dalam pemantauan kesehatan. 1. Partisipasi aktif dari masyarakat dalam program.
2. Mendorong peran ibu dan keluarga dalam perawatan ibu dan anak. 2. Memastikan kelangsungan program di tengah perubahan kepemimpinan komunitas.
6 Kemitraan dengan perusahaan swasta 1. Kolaborasi dengan perusahaan swasta dalam mendukung pendanaan dan sumber daya untuk program KIA. 1. Mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.
2. Menyediakan dana untuk perluasan program KIA di daerah remote. 2. Memahami tujuan dan nilai-nilai perusahaan dalam kemitraan.
7 Kampanye promosi KIA dan edukasi 1. Melakukan kampanye promosi dan edukasi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya KIA. 1. Mengukur efektivitas kampanye dan dampaknya pada perilaku masyarakat.
2. Menyediakan informasi tentang manfaat KIA dan langkah-langkah kesehatan pra-natal. 2. Pemahaman budaya dan tradisi setempat yang memengaruhi kesehatan.

Strategi-strategi yang disebutkan di atas mencerminkan berbagai pendekatan yang dapat diadopsi untuk meningkatkan partisipasi sektor kesehatan swasta dan pemerintah dalam layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di daerah terpencil. Kolaborasi yang erat antara sektor swasta, komunitas lokal dan masyarakat sangat penting untuk memastikan bahwa program KIA mencapai tujuannya dan memberikan manfaat maksimal.

Strategi-strategi ini juga menunjukkan pendekatan konkrit terhadap integrasi layanan kesehatan dan peran sektor swasta di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Misalnya, mengembangkan layanan swasta di komunitas dan menggunakan telemedicine dapat meningkatkan akses terhadap layanan dan kualitas layanan secara signifikan. Namun tantangan seperti keterbatasan sumber daya dan tingkat kesadaran masyarakat harus diatasi agar strategi ini efektif.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dalam Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di daerah remote Indonesia memegang peran krusial dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Sejumlah strategi yang telah dibahas dalam artikel ini memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Kolaborasi yang kuat antara sektor kesehatan swasta, komunitas lokal, dan pemerintah adalah kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program-program KIA di lingkungan yang beragam dan seringkali sulit dijangkau.

Integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dapat berperan penting dalam meningkatkan akses kesehatan di daerah remote Indonesia. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat setempat membantu mengatasi tantangan yang dihadapi oleh daerah-daerah terpencil dalam mendapatkan layanan kesehatan.

Ke depan, terus mengembangkan langkah-langkah konkrit seperti program kolaboratif adalah kunci untuk terus meningkatkan akses kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah-daerah terpencil tersebut. Dengan komitmen yang kuat terhadap kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta, serta dukungan masyarakat lokal, dapat mencapai tujuan untuk memberikan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Rekomendasi utamanya adalah mendorong lebih banyak inisiatif sektor swasta yang fokus pada daerah terpencil, memanfaatkan teknologi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan ibu dan anak.

Sumber Referensi:

  1. https://www.kanalkalimantan.com/peduli-kesehatan-masyarakat-pedalaman-kalimanta n-diaspora-indonesia-di-as-sumbang-alat-medis/
  2. https://www.alamsehatlestari.org/project-detail/klinik-asri-di-sukadana
  3. https://theconversation.com/dokter-menumpuk-di-jawa-dan-kota-akar-masalahnya-pa da-sistem-rekrutmen-dan-pendidikan-kedokteran-122391
  4. https://www.antaranews.com/berita/2755229/mewujudkan-pemerataan-sumber-daya-l ewat-transformasi-kesehatan
  5. https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/progam-intervensi-komunitas-dalam-kesehatan
    -ibu-dan-anak/
  6. https://kebijakankesehatanindonesia.net/images/2013/9/Laksono-Kebijakan-KIA-Kupa ng-Hari1.pdf
  7. https://www.kominfo.go.id/content/detail/7788/telemedicine-solusi-untuk-peningkata n-pelayanan-kesehatan-di-daerah-terpencil/0/sorotan_media
  8. Vora, K.S., Mavalankar, D.V., Ramani, K.V., Upadhyaya, M., Sharma, B., Iyengar, S., Gupta, V. and Iyengar, K. (2009). Maternal health situation in India: a case study. Journal of health, population, and nutrition, 27(2), p.184.
  9. Maroju, R.G., Choudhari, S.G., Shaikh, M.K., Borkar, S.K., Mendhe, H., Maroju Jr,
    R.G. and Borkar, S. (2023). Role of telemedicine and digital technology in public health in India: a narrative review. Cureus, 15(3).

 

 

 

Keterlibatan Fasilitas Kesehatan Swasta dalam Penanggulangan TBC di Indonesia

Indonesia masih peringkat ke dua dari delapan negara yang menyumbang tuberkulosis (TBC) global. Pada 2021, Indonesia dilaporkan telah menyumbang kasus TBC global sebesar 9,2% (Global Tuberculosis Report, 2022) dan dengan jumlah rata-rata insiden TBC menurut WHO (2021) masih mencapai 354/100.000 penduduk. Masih besarnya kontribusi TBC dari Indonesia ini disebabkan karena dari estimasi 969 ribu kasus TBC yang terlaporkan hanya 443 ribuan kasus, sehingga masih ada 500 ribuan atau 51% kasus TBC aktif maupun pasif yang belum ditemukan. Kasus TBC yang tidak ditemukan ini memiliki dampak yang besar dalam perluasan penularan. Berdasarkan sebuah penelitian sebelumnya, kasus TBC di Indonesia yang tidak ditemukan paling banyak terjadi ketika di layanan kesehatan swasta (Febriyeni dkk., 2019). Kondisi ini sejalan dengan data Kementerian Kesehatan 2022, hanya 31% fasilitas kesehatan swasta yang melakukan pelaporan terduga TBC.

Pengalaman Kabupaten Tangerang Provinsi Banten di Indonesia menjadi salah satu contoh dari daerah yang belum optimal melibatkan fasilitas kesehatan swasta, khususnya DPM/Klinik dalam pelaporan kasus TBC. Pemerintah Kabupaten Tangerang telah dilakukan berbagai upaya untuk melibatkan DPM/Klinik melalui MoU dengan Puskesmas, pembentukan Tim KOPI TB, Tim DPPM dan penyusunan Rencana Aksi Daerah SPM TBC. Namun, data SITB April 2023 di Kabupaten Tangerang menunjukkan, dari 806 DPM/Klinik hanya 31 DPM/Klinik yang melakukan pelaporan terduga dan 18 DPM/Klinik yang melaporkan kasus. Selain itu, hanya 29% pasien TBC di DPM/Klinik yang mendapatkan periksaan TCM (Tes Cepat Molekuler) di Kabupaten Tangerang. Hasil observasi yang dilakukan oleh STPI pada 2023 menemukan bahwa di Kabupaten Tangerang, penemuan, pelaporan dan pengobatan kasus TBC masih terpusat di fasilitas kesehatan pemerintah seperti Puskesmas dan RS Pemerintah.

Sebuah studi di Indonesia menjelaskan keterlibatan fasilitas kesehatan swasta yang minim ini dipengaruhi oleh masih rendahnya kesadaran terhadap TBC. Sebagaimana di Dokter Praktik Mandiri (DPM)/Klinik banyak yang merujuk pasien TBC atau pasien terduga TBC, karena berisiko bagi tempat praktik mereka (Sunjaya D dkk., 2022). Persoalan ini juga terjadi di India, rendahnya kesadaran tentang masalah TBC di fasilitas kesehatan swasta ini membuat pasien tidak mendapatkan layanan yang memadai (Ariminpathy dkk., 2016). Fasilitas kesehatan swasta masih rendah menyadari masalah TBC karena belum memahami pengobatan TBC maupun peranan mereka dalam program (Mathew dkk., 2020). Sebuah studi menjelaskan, fasilitas kesehatan swasta yang belum memahami peranan mereka dalam penanggulangan TBC dipengaruhi oleh sektor publik yang berperan secara dominan dan tidak melibatkan swasta dalam setiap proses (Datta dkk., 2010). Fasilitas kesehatan swasta dalam hal ini sering kali hanya dilibatkan sebagai pelaksana untuk setiap kebijakan/program yang telah ditetapkan sehingga membuatkan mereka tidak nyaman (Mausumi dkk., 2013).

Sebuah studi menjelaskan pula, terbatasnya peranan fasilitas kesehatan swasta dalam masalah TBC dapat terjadi karena sumber daya yang terbatas seperti ketersediaan sarana prasarana untuk deteksi dan obat yang tidak memadai (Ariminpathy dkk., 2016). Di Indonesia, fasilitas kesehatan swasta di daerah sering mengalami keterbatasan sumber daya manusia (jumlah dan kemampuan) untuk pelaporan kasus TBC melalui sistem yang telah ada (STPI, 2023). Dalam pembiayaan untuk terlibat dalam penanggulangan TBC, fasilitas kesehatan swasta juga memiliki anggaran yang terbatas dan belum mendapatkan insentif khusus dari pemerintah (STPI 2023).
Pemerintah Indonesia sendiri telah berupaya untuk mendorong pelibatan fasilitas kesehatan swasta dalam penanggulangan TBC. Salah satunya, pada 2016, strategi Public-Private Mix (PPM) telah dikembangkan menjadi District Public-Private Mix (DPPM) untuk memperkuat jaringan pelayanan TBC di kabupaten/kota dengan melibatkan berbagai fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta dengan koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kementerian Kesehatan, 2019). Sayangnya, implementasi DPPM hingga kini masih belum sukses dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena masih banyaknya fasilitas kesehatan swasta yang tidak terlibat dalam penemuan, pengobatan dan pelaporan pasien TBC.

Pengalaman dari beberapa negara lain, perkuat implementasi DPPM dapat dilakukan dengan tidak hanya memosisikan fasilitas kesehatan swasta sebagai pelaksana program (Mukund, 2003). Di Egypt dan Belanda, seluruh pimpinan fasilitas kesehatan swasta dilibatkan dalam penyusunan dan penetapan program TBC (Mukund, 2003). Selain itu, di DR Congo sendiri menyediakan sarana prasarana dan obat-obatan hingga menyubsidi ke fasilitas kesehatan (Mukund, 2003). Untuk itu, Indonesia butuh strategi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah seperti: 1) Melibatkan fasilitas kesehatan swasta dalam proses perencanaan program dan kebijakan TBC; 2) Memperluas program peningkatan kapasitas kepada sumber daya manusia swasta; 3) Melakukan pertemuan rutin tahunan yang mengundang pimpinan fasilitas kesehatan swasta; 4) Melakukan kunjungan rutin Dinas Kesehatan ke fasilitas kesehatan swasta; 5) Menetapkan peraturan daerah yang memfasilitasi dan mendukung keterlibatan fasilitas kesehatan swasta; dan 6) Menyediakan dukungan berupa material (sarana prasaran dan obat-obatan) dan insentif berupa anggaran ke fasilitas kesehatan swasta untuk memberikan layanan TBC.

Reference

  • Datta K, Bhatnagar T, Murhekar M. Private practitioners’ knowledge, attitude and practices about tuberculosis, Hooghly district, India. Indian J Tuberc. 2010 Oct;57(4):199-206. PMID: 21141338.
  • Sunjaya, D. K., Paskaria, C., Herawati, D. M. D., Pramayanti, M., Riani, R., & Parwati, I. (2022). Initiating a district-based public–private mix to overcome tuberculosis missing cases in Indonesia: readiness to engage. BMC Health Services Research, 22(1). https://doi.org/10.1186/S12913-022-07506-4 
  • Arinaminpathy, N., Batra, D., Khaparde, S., Vualnam, T., Maheshwari, N., Sharma, L., Nair, S. A., & Dewan, P. (2016). The number of privately treated tuberculosis cases in India: an estimation from drug sales data. The Lancet. Infectious Diseases, 16(11), 1255–1260. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(16)30259-6 
  • Uplekar, M. (2003). Involving private health care providers in delivery of TB care: Global strategy. Tuberculosis, 83(1–3), 156–164. https://doi.org/10.1016/S1472-9792(02)00073-2 
  • Basu, M., Sinha D, & Roy B. (n.d.). ORIGINAL ARITICLE Knowledge and practice regarding pulmonary tuberculosis among private practitioners Article Cycle Citation. Ind J Comm Health, 25(4), 403–412.
  • Kemenkes RI. (2019). Panduan Penerapan Jejaring Layanan Tuberkulosis di Fasilitas Kesehatan Pemerintah dan Swasta berbasis Kabupaten/Kota (DPPM). Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta.
  • Febriyeni M, Machmud R, Yani FF. (2019). Overview of tuberculosis missing cases at the primary healthcare facilities in the City of Padang Panjang. J Kesehatan Andalas. 8(4):145–50.

Tri Muhartini – Divisi PH, PKMK FK-KMK UGM

 

 

 

 

Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer Peran dari Pemerintah dan Sektor Swasta

Upaya integrasi pelayanan kesehatan primer yang berkesinambungan merupakan hal penting. Hal ini disebabkan karena pelayanan kesehatan primer merupakan layanan kesehatan paling awal diakses oleh masyarakat. Koordinasi pelayanan kesehatan tingkat primer melibatkan semua penyedia layanan kesehatan dan organisasi yang berkecimpung dalam pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan kesehatan multidisiplin, perawatan yang berpusat pada pasien, dukungan manajemen yang mandiri, upaya preventif, pelayanan kesehatan tingkat primer, dan pengobatan penyakit. Hal ini merupakan upaya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang fokus pada pendekatan masyarakat secara berkesinambungan serta memenuhi kebutuhan kesehatan.

Pelayanan kesehatan multidisiplin, kolaboratif secara berkelanjutan, dan penyediaan berbagai pelayanan kesehatan merupakan faktor esensial dalam pelayanan kesehatan. Kolaborasi interprofesional atau pelayanan kesehatan multidisiplin dalam pelayanan kesehatan primer penting karena kebutuhan kesehatan setiap pasien sangatlah kompleks, dan satu tenaga kesehatan tidak dapat memenuhi semua kebutuhan pasien. Dalam pendekatan multidisiplin ini, masing-masing profesi akan memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif. Akan tetapi di lapangan pelayanan kesehatan multidisiplin masih memiliki banyak tantangan seperti salah satu profesi terbiasa bekerja sendirian, bertanggung jawab lebih dari satu program, dan lainnya. Faktor penting dalam kolaborasi adalah saling percaya, rasa hormat, dan kompetensi di masing-masing profesi.

Koordinasi pelayanan kesehatan di tingkat individu berfokus pada siklus hidup manusia dengan kebutuhan kesehatan yang spesifik. Upaya penguatan kesehatan primer di Indonesia memiliki tiga faktor utama yaitu siklus kesehatan hidup manusia yang menjadi fokus dalam pelayanan kesehatan dan sekaligus sebagai fokus penguatan promosi kesehatan. Kedua, integrasi jejaring pelayanan kesehatan primer hingga tingkat desa/kelurahan dan dusun memperkuat promosi dan pencegahan. Ketiga yaitu memperkuat pemantauan wilayah atau PWS. Pemenuhan kebutuhan kesehatan ini dapat melibatkan berbagai sektor kesehatan. Koordinasi dalam pelayanan kesehatan yang komprehensif didukung berbagai pelayanan kesehatan mulai dari upaya preventif hingga kuratif.

Salah satu tantangan pelayanan kesehatan di Indonesia yaitu ketersediaan tenaga kesehatan yang belum merata. Strategi utama untuk mengatasi kekurangan sumber daya terutama pada daerah rural adalah dengan membentuk kemitraan pemerintah-swasta untuk memanfaatkan kapasitas kedua sektor dalam mencapai tujuan kesehatan yang direncanakan. Kemitraan publik-swasta pada dasarnya adalah kerja sama antara organisasi pemerintah dan swasta untuk memanfaatkan sumber daya keuangan, manusia, teknis, dan informasi secara bersama untuk mencapai tujuan terencana yang disepakati. Kemitraan sektor publik-swasta pada dasarnya adalah kontrak jangka panjang antara sektor swasta dan pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan masyarakat.

Pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta untuk penyediaan layanan kesehatan dalam hal keuangan, desain, konstruksi, pemeliharaan, layanan klinis, dan promosi kesehatan, serta operasi non-klinis. Sistem kesehatan masyarakat tidak dapat menyelesaikan semua permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan. Oleh karena itu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ini, sistem kesehatan harus membuat perubahan yang mampu memanfaatkan sumber daya manusia, keuangan, teknis, dan administratif yang diinvestasikan di berbagai sektor secara lebih efisien.

Efektivitas dari kemitraan publik-swasta yaitu sebagai sarana diskusi pengetahuan dan keahlian, dukungan terhadap pembangunan publik, integrasi sumber daya, dan maksimalisasi efisiensi yang sesuai dengan agenda tertentu. Hal ini berpotensi memperluas akses dan memfasilitasi layanan kesehatan di daerah, serta meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Kemitraan ini mampu menghasilkan cakupan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi kelompok masyarakat tertentu, meningkatkan responsiveness, kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik, keberhasilan dalam pemberian layanan kesehatan, biaya yang lebih rendah serta harga yang terjangkau, dan akses layanan kesehatan yang tinggi.

Kemitraan ini memberikan peluang bagi banyak pasien untuk dapat mengakses layanan kesehatan di daerah terpencil, biaya lebih sedikit di luar pengobatan, efisien waktu, waktu tunggu dalam menerima hasil laboratorium berkurang, serta akses lebih mudah bagi neonatus. Meskipun menekankan partisipasi sektor non-pemerintah sebagai mitra penting dalam pencegahan penyakit, partisipasi ini masih memerlukan perhatian serius untuk memperkuat tersedianya laboratorium. Kemitraan ini mempunyai dampak positif terhadap pemberi layanan kesehatan, penghematan biaya, dan efisiensi layanan. Selain itu, kemitraan dapat meningkatkan akses skrining kanker payudara misalnya.

Beberapa faktor dapat membantu meningkatkan efisiensi kemitraan publik-swasta yaitu mengidentifikasi karakteristik demografi dan ciri khas suatu populasi seperti agama, pendidikan, karakteristik pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan LSM yang berbeda di setiap wilayah ke wilayah. Meskipun demikian, keberhasilan kemitraan pemerintah-swasta bergantung pada faktor-faktor tertentu yaitu peran mitra yang terlibat, kerangka kebijakan, infrastruktur, proses, dan rencana yang jelas. Langkah pertama untuk memastikan keberhasilan kemitraan ini adalah dengan mengidentifikasi berbagai pola layanan kesehatan yang ada dan status sosial-ekonomi dari populasi masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan bergerak menuju tujuan utama kesehatan. Jenis pelayanan kesehatan sendiri yang disediakan di setiap negara bergantung pada kondisi ekonomi negara tersebut. Namun demikian, negara-negara berpenghasilan rendah juga telah meningkatkan kualitas layanan melalui interaksi dengan sektor swasta di bidang pendidikan, dukungan keuangan, koordinasi, dan kontrak kerja.

Konteks politik juga merupakan faktor lain yang berpengaruh dalam kemitraan publik-swasta di bidang kesehatan. Oleh karena itu, dalam merencanakan metode dan jenis kemitraan, seseorang didorong untuk mencari dukungan dan pengaruh politik, aspirasi pemerintah, serta tanggung jawab dan akuntabilitas bersama. Beberapa tantangan utama sumber daya manusia yang dihadapi di sebagian besar negara di dunia muncul dari kebijakan dan rencana yang tidak tepat, serta inkonsistensi dalam penawaran dan permintaan, kualitas, dan distribusi kekuatan yang tidak tepat. Tantangan dalam proses ini adalah memastikan peningkatan kualitas dan akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan diatasi dengan menerapkan kebijakan baru dan efektif untuk akses yang lebih baik terhadap pelayanan kesehatan. Pemerintah tidak bisa hanya memenuhi standar kualitas yang disyaratkan dan pemerintah memerlukan bantuan mitra lain atau sektor swasta untuk meningkatkan cakupan dan kualitas layanan kesehatan.

Tanpa melibatkan masyarakat, rencana kesehatan akan gagal. Melalui bantuan dan kemitraan publik-swasta, pemerintah dapat memfasilitasi proses untuk mencapai tujuan kesehatan dan memperoleh hasil yang lebih baik. Interaksi yang tepat bersifat fleksibel dan dinamis, mencegah hilangnya sumber daya dan menghindari layanan kesehatan yang paralel dan berulang sehingga menghasilkan kemajuan yang sinergis menuju tujuan yang direncanakan. Kemitraan ini dapat meningkatkan implementasi rencana sehingga penting bagi para mitra untuk terlibat secara sistematis dan mendapat informasi dalam proses kebijakan kesehatan. Selain itu, kemitraan publik-swasta dapat diperkuat dengan mengintegrasikan fasilitas sektor swasta dengan fasilitas sektor publik dengan menyelaraskan kepentingan dan visi penyedia layanan dengan tujuan kesehatan masyarakat. Kesadaran mengenai rencana serta informasi mengenai kapasitas sektor publik dan swasta, interaksi saling menguntungkan antara para pihak, serta mekanisme pengawasan dan pemantauan yang diperlukan untuk implementasi rencana kesehatan yang sinergis.

Kerja sama yang sukses antara para dermawan yang didukung oleh dukungan politik dan pemerintah ini diterapkan di Indonesia, di mana upaya bersama dilakukan oleh semua pihak yang terlibat untuk merencanakan dan mendistribusikan sumber daya manusia menuju rencana Universal Health Coverage (UHC). Usaha kolaboratif ini berhasil mendapatkan dukungan internasional untuk memajukan sumber daya manusia dalam negeri dengan memobilisasi sumber daya keuangan dan perusahaan domestik serta internasional secara teknis. Indonesia merupakan contoh dari efektivitas kemitraan publik-swasta dalam memobilisasi sumber daya manusia, keuangan, dan informasi menuju kemitraan terencana yang dibantu oleh dukungan pemerintah. Kemitraan publik-swasta ini membebaskan pemerintah dari sebagian tanggung jawabnya untuk fokus pada langkah-langkah yang lebih penting sehingga pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugas intinya, termasuk pengelolaan, pembuatan kebijakan, dan pengawasan, dengan fokus dan kekuasaan yang lebih besar.

Daftar Pustaka

  1. Kementerian Kesehatan (2023). Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer untuk Tingkatkan Kesehatan Masyarakat. Akses 19 Oktober 2023. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/ 
  2. Khatri, R., Endalamaw, A., Erku, D. et al. Continuity and care coordination of primary health care: a scoping review. BMC Health Serv Res 23, 750 (2023). https://doi.org/10.1186/s12913-023-09718-8
  3. Wiarsih, Wiwin S.Kp., MN; Sahar, Dra. Junaiti M.App.Sc., PhD; Nursasi, Astuti Yuni S.Kp., MN. A qualitative study: Interprofessional collaboration practice in Indonesian primary healthcare. Nursing Management (Springhouse) 54(5S):p 13-18, May 2023. | DOI: 10.1097/nmg.0000000000000010
  4. Ghasemi M, Amini-Rarani M, Shaarbafchi Zadeh N, Karimi S. Role of Public-Private Partnerships in Primary Healthcare Services Worldwide: A Scoping Review. Health Scope. 2022;11(3):e129176. https://doi.org/10.5812/jhealthscope-129176.

Penulis : Ardhina Nugrahaeni

 

 

Webinar dan Talkshow Kader Posyandu Peduli Wasting

Kerangka acuan kegiatan

Webinar dan Talkshow Kader Posyandu Peduli Wasting

Selasa, 24 Oktober 2023   |   Pukul 10.00 – 11.30 Wib

  Pengantar

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan prevalensi balita wasting di Indonesia meningkat dari 7,1% menjadi 7,7%. Balita wasting berisiko lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan balita dengan status gizi baik. Kondisi wasting juga diketahui meningkatkan risiko kematian pada balita terutama bayi berusia di bawah 1 tahun (Wright et al., 2021). Wasting menjadi salah satu prioritas program kesehatan dalam RPJMN 2020-2024 yang ditargetkan prevalensinya menurun hingga 7% di tahun 2024. Melalui pendekatan Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT), pemerintah berupaya mencapai target penurunan wasting dengan mengoptimalkan 4 komponen, yakni mobilisasi masyarakat, pemberian layanan rawat jalan bagi balita gizi buruk tanpa komplikasi medis, layanan rawat inap bagi balita dengan komplikasi medis, dan layanan balita dengan gizi kurang.

Dalam upaya mobilisasi masyarakat, kader posyandu memiliki peran yang penting disini. Kader posyandu berperan mulai dari penemuan dini, rujukan, pendampingan, dan dukungan untuk balita wasting dalam dan paska perawatan. Salah satu langkah untuk deteksi dini wasting pada balita di masyarakat adalah melalui pemeriksaan lingkar lengan atas (LiLA) yang secara rutin dilakukan di Posyandu atau oleh pengasuh di rumah. Balita yang ditemukan berisiko wasting, dirujuk ke Puskesmas untuk mendapatkan penanganan yang tepat Oddo et al., 2022). Dengan menyediakan layanan kesehatan dasar di tingkat komunitas, kader posyandu memungkinkan Ibu dan anak untuk menerima layanan yang diperlukan untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik. PGBT pertama kali diujicobakan pada tahun 2015 dan berdampak pada peningkatan cakupan skrining dan perawatan wasting di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak diperluas pada tahun 2018 (Bait et al., 2019).

Namun, kader posyandu sering kali diharapkan melakukan berbagai intervensi dengan waktu, sumber daya, dan remunerasi yang terbatas. Mereka memerlukan kurikulum, program pelatihan, dan sistem pendukung yang sesuai – termasuk sistem pemantauan, dukungan, dan pendampingan (USAID, SPRING & APC, 2016). Merespon rekomendasi USAID, Kemenkes telah mengembangkan 25 kompetensi dasar kader sebagai upaya penguatan kapasitas kader. Peningkatan kapasitas kader posyandu menjadi prioritas karena kader posyandu merupakan relawan yang berperan penting dalam pencegahan, penemuan dini, rujukan, dan tata laksana wasting di masyarakat. Pelatihan kader posyandu mengenai gizi buruk pada balita diketahui memberikan dampak positif terhadap kapasitas kader dalam skrining status gizi balita (Adisti et al., 2017). Kader posyandu dapat berperan dalam proses transfer informasi dan keterampilan kesehatan kepada masyarakat. Kader posyandu dapat membantu masyarakat mengidentifikasi dan merespon kebutuhan kesehatan secara mandiri. (Iswarawanti, 2010) Kader Posyandu juga berperan dalam proses mendekatkan pelayanan kesehatan dasar khususnya yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak dalam program 1000 hari pertama kehidupan kepada masyarakat (Astikasari, 2023).

Mempertimbangkan pentingnya peran kader dalam bidang kesehatan dan gizi, termasuk pencegahan, penemuan dini, rujukan dan tata laksana wasting, maka, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerja sama dengan UNICEF Indonesia,mendukung Kementerian Kesehatan akan menyelenggarakan webinar dengan judul “Kader Posyandu Peduli Wasting”

  Tujuan Kegiatan

  1. Membahas upaya penguatan kapasitas dan kompetensi kader melalui 25 kompetensi dasar.
  2. Berbagi pengalaman terkait penguatan kapasitas kader dalam mendukung pencegahan, penemuan dini, rujukan dan tata laksana balita wasting.

  Narasumber

  1. Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI: Strategi dan Program Penguatan Kapasitas Kader Posyandu Berbasis 25 Kompetensi
  2. UNICEF. Pendekatan Kader Peduli Wasting untuk Mendukung Penemuan Dini, Rujukan dan Tata Laksana Wasting
  3. Tim Narasumber Provinsi NTB yang terdiri dari
    1. Sesi Berbagi terkait Penguatan Kapasitas: Dinas Kesehatan dari Kab Lombok Utara
    2. Sesi Berbagi terkait Penguatan Kapasitas: Perwakilan Kader dari Kab Lombok Utara

  Target peserta

  1. Pengambil keputusan nasional dan daerah.
  2. Akademisi bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dll.
  3. Peneliti, konsultan dan pemerhati bidang kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan, dll.
  4. Masyarakat umum, organisasi profesi, mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Hari dan Tanggal : Selasa, 24 Oktober 2023
Pukul 10:00 – 11:30 WIB

Link Zoom

Meeting ID : 851 2321 4208
Passcode : 907858

  Kegiatan

Waktu Kegiatan
10.00 – 10.05 WIB Pembukaan   (MC dan Moderator – 5 menit)
10.05– 10.35 WIB

Pemaparan:

  • Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI (15 menit)
  • UNICEF (15 menit)
10.35 – 10.40 WIB Video Bridging dan Take Away Message (5 menit)
10.40 – 11.00 WIB

Talkshow

Tim Narasumber Provinsi NTB (20 menit)

11.00 – 11.05 WIB Take Away Message
11.05 – 11.25 WIB Diskusi dan Tanya Jawab (Moderator – 20 menit)
11.25 – 11.30 WIB Penutupan (MC dan Moderator – 5 menit)

 

 

 

 

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Pendanaan Kesehatan

Diskusi ke-8 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Pendanaan Kesehatan

Rabu, 16 Agustus 2023  |   Pukul: 09:00 – 10:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Pendanaan Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk peraturan turunan UU Kesehatan terkait Pendanaan Kesehatan serta memberikan gambaran penggunaan website UU Kesehatan.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS

18ags 1Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS dalam pengantarnya mengajak peserta untuk memikirkan jawaban terhadap pertanyaan berikut: berapa dana yang cukup untuk membiaya sistem kesehatan kita sehingga status kesehatan masyarakat Indonesia menjadi optimal? Sebab faktanya, beban kesehatan meningkat hari demi hari oleh karena perubahan gaya hidup, perubahan penyakit, bersama dengan banyak pemicu yang lain. Status kesehatan dari tahun ke tahun belum membaik, di sisi pendanaan kesehatan selalu meningkat, maka apakah pendanaan yang sudah dikeluarkan sudah memenuhi kebutuhan terhadap status kesehatan di Indonesia? UU Kesehatan yang baru memuat ketentuan-ketentuan tentang pendanaan kesehatan dan berimplikasi terhadap sistem kesehatan daerah dan nasional terkait mandatory spending sehingga terdapat tantangan dalam hal bagaimana kemampuan daerah terkait pembiayaan kesehatan. Penting untuk didiskusikan bagaimana channel sumber pembiayaan dan alokasi pembiayaan terkait prioritas dan isu utama sistem kesehatan. Oleh karena itu, pada webinar ini akan dibahas mengenai bagaimana konsep pembiayaan kesehatan Indonesia berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023 oleh narasumber dan dimoderatori oleh M. Faozi Kurniawan, S.E., Akt., MPH.

18ags 2

Pembicara Utama: Dr. Apt., Diah Ayu Puspandari, M.Kes., MBA., AAK

Sesi pembahasan disampaikan oleh Dr. Apt., Diah Ayu Puspandari, M.Kes., MBA., AAK terkait UU RI Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengenai Pendanaan Kesehatan. Pendanaan Kesehatan dalam UU Kesehatan termuat dalam Bab XIII. Pasal 401 mengawali Bab XIII dengan tujuan pendanaan kesehatan yaitu mendanai pembangunan kesehatan secara berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna. Berhasil guna artinya mampu mencapai target dan berdaya guna artinya pemanfaatan sesuai kebutuhan. Di sini termuat juga unsur seperti sumber pendanaan, alokasi, dan pemanfaatan, serta sumber-sumber pendanaan kesehatan yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sumber lain yang sah sesuai ketentuan perundang-undangan. Sumber-sumber yang sah ini perlu diatur dengan jelas melalui Peraturan Pemerintah.

Pasal 402 menyebutkan bahwa pemantauan untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan dilakukan dengan pengembangan sistem informasi yang terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan nasional yang meliputi data, informasi, indikator dan capaian kinerja pendanaan kesehatan yang dikelola secara terpadu. Pasal 403 menyebutkan pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab menyediakan dana: upaya kesehatan, penanggulangan bencana, KLB atau wabah, dan sebagainya. Pasal 404 menyebutkan mengenai pendanaan kesehatan untuk kepentingan hukum dimana pemerintah pusat dan daerah bertanggungjawab atas pendanaan pemeriksaan dan pelayanan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum. Hal ini mungkin terkait juga dengan Permenkes Nomor 38 Tahun 2022 Pelayanan Kedokteran untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2011 Tentang Kedokteran Kepolisian. Pasal 405 menyebutkan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta menjadi sumber dana untuk kejadian ikutan pasca pemberian obat/imunisasi pada pencegahan massal, KLB, wabah untuk audit kausalitas, pelayanan kesehatan, rehabilitas medis dan santunan terhadap korban. Terkait dengan pasal-pasal tersebut, tentunya membutuhkan aturan pelaksana untuk bisa menyediakan dana yang dibutuhkan.

Pasal 406 membahas tentang sumber pendanaan RS dan Pasal 407 mengenai bantuan pemerintah pusat, daerah dan atau masyarakat dalam rangka peningkatan dan pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pasal 408 membahas mengenai pemanfaatan dana kesehatan, sementara Pasal 409 memuat hal-hal terkait penyusunan anggaran kesehatan untuk program kesehatan yang menjadi acuan bagi Rencana Induk Bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja. Rencana Induk Bidang Kesehatan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat yang penyusunannya dikoordinasikan oleh Menteri setelah dikonsultasikan dengan alat kelengkapan DPR RI yang membidangi kesehatan. Pasal 410 mengenai insentif dan disinsentif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, Pasal 411 mengenai jaminan kesehatan, dan Pasal 412 mengenai penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Sementara itu, dalam Pasal 453 disebutkan bahwa pada saat UU ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana 10 UU sebelumnya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Kesehatan ini; dengan demikian, diperlukan rencana induk bidang kesehatan, sinkronisasi peraturan yang masih berlaku dan peraturan pelaksanaan agar UU UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mampu laksana.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi yang dipandu oleh M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH. banyak dibahas mengenai sumber dana kesehatan baik dari APBN, APBD Provinsi, maupun APBD kabupaten/kota serta peran pemerintah pusat, daerah, dan swasta dalam pendanaan kesehatan. Terkait dengan hal ini, ditekankan pentingnya saling berkoordinasi untuk menginventarisasi apa yang menjadi tantangan dan menetapkan peraturan turunan yang berkualitas agar tidak terjadi kerancuan dan agar tidak terjadi inefisiensi dana kesehatan.

Sesi Penutup

Untuk selanjutnya, diharapkan pembahasan ini dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi berkelanjutan dalam rangka menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pembukaan Oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS video
Pengantar Diskusi oleh M. Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH  video
Dr. Apt. Diah Ayu Puspandari, M.Kes, MBA, AAK video   materi
 Sesi Diskusi video

 

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik pendanaan kesehatan
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang

 

Diskusi ke-11 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Diskusi ke-11 UU Kesehatan

UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Jumat, 25 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 – 16:30 WIB

Topik pembahasan yang diangkat dalam webinar UU Kesehatan seri ke 11 berfokus pada kontrak perorangan antara residen dengan rumah sakit terkait dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas perintah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengelolaan tenaga residen di jalur university based dan hospital based. Sebelum UU Kesehatan Omnibus Law ini disahkan, pendidikan dokter spesialis diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran selama periode 2013-2023. Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini disusun berdasarkan situasi di Indonesia dan benchmarked di US dan Australia, dimana residen bukan sebagai mahasiswa biasa namun sebagai pekerja. Pada pasal 31 mengenai UU Pendidikan Kedokteran terdapat penjelasan mengenai hak dan kewajiban mahasiswa serta ketentuan lanjut diatur dalam peraturan menteri. Namun, apa yang terjadi dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran 2013? Peraturan turunan tidak banyak disusun, stakeholder utama tidak peduli pada residen, dan sebagainya. Selain itu, UU ini gagal mengubah budaya kerja di pelayanan kesehatan yang tetap tidak mengakui residen sebagai pekerja. Namun, pandemi COVID-19 menyadarkan bangsa bahwa residen adalah pekerja. UU Kesehatan 2023 membuka jalur hospital-based yang diikuti dengan berbagai pro dan kontra. Jalur hospital-based dan university-based memiliki kesamaan yaitu residen sebagai pekerja. Pada pasal 219 prinsip residen sebagai pekerja diatur dalam UU Kesehatan berdasarkan praktek global dan membutuhkan kontrak perorangan antara RS dengan residen. Meski demikian, konsekuensi perintah UU Kesehatan yaitu residen sebagai pekerja tidak mudah karena memerlukan berbagai adaptasi.

materi   video

Narasumber Utama: Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes

Sesi pembahasan disampaikan oleh Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes yang mengantarkan peserta dalam sebuah pertanyaan menarik: apakah UU Nomor 17 Tahun 2023 dapat efektif dalam hal kontrak perorangan residen dengan RS pendidikan? Jika melihat kembali ke UU Nomor 20 Tahun 2013, pendidikan residen menganut sistem university-based, namun pendekatan lain di beberapa negara menggunakan sistem hospital-based. UU Nomor 17 Tahun 2023 membuka opsi pendidikan kedokteran dengan hospital-based dan memerintahkan adanya hak dan kewajiban peserta didik. Apakah hal ini dapat dituangkan dalam kontrak perorangan antara RS Pendidikan dengan residen? Sebelum adanya UU Pendidikan Kedokteran 2013, residen dianggap sebagai siswa yang harusnya membayar ke RS, tidak memiliki kompetensi klinis, tidak memiliki dasar hukum untuk diberi insentif, dan tidak bisa dikontrak. Selain itu, belum ada regulasi yang mengatur pendidikan residen dan peran negara. Namun, UU Pendidikan Kedokteran memerintahkan residen sebagai pekerja sehingga semestinya ada kontrak kerja antara residen dengan RS Pendidikan. Pada kenyataannya, tidak ada niat yang cukup dari berbagai stakeholder, budaya RS yang menempatkan residen sebagai mahasiswa, serta tidak adanya kontrak atau perjanjian sehingga terjadi kegagalan dan adanya perundungan dalam pelaksanaan UU Pendidikan kedokteran tahun 2013.

Tata kelola residen saat ini belum baik, tergambar dalam situasi dimana residen harus membayar dana pendidikan yang besar jumlahnya, hubungan antara residen junior dan senior belum tertata sehingga terdapat bullying, dan mutu pelayanan RS menjadi sulit dikembangkan. Di masa depan, pasca UU Kesehatan sudah selayaknya residen diberikan insentif atas jasa pelayanan medis sesuai kompetensi, mengingat besarnya kontribusi residen. Dalam pelaksanaannya, mengacu pada UU Tenaga Kerja dan PP terkait seperti PP RI Nomor 35 Tahun 2021, unsur dalam hubungan kerja tertera dalam pasal 1 angka 1 yaitu “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Jika melihat dalam unsur pekerjaan, residen melakukan pekerjaan dengan memberikan pelayanan; dalam unsur perintah, residen mendapat perintah untuk melakukan suatu pekerjaan. Sehingga, dalam hal upah semestinya mendapatkan imbalan jasa yang layak. Selain itu, dalam hal beban kerja, paska UU Kesehatan semestinya terjadi minimalisasi beban kerja residen di RS pendidikan dengan mempertimbangkan jam kerja ideal yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan RS. Sebagai kesimpulan, tantangan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini adalah bagaimana memaksa semua RS pendidikan pada jalur university based maupun hospital based dalam mengatur hak dan kewajiban residen dalam sebuah kontrak perorangan sebagaimana praktek yang terjadi di negara maju?

materi   video

Pembahas: dr. Andi Khomeini SpPD

Tanggapan terhadap pembahasan ini disampaikan oleh dr. Andi Khomeini SpPD yang menggarisbawahi implementasi sumpah dokter, dimana dokter mengaku bahwa sesama dokter nilainya seolah-olah seperti saudara kandung, tidak selalu mudah. Sebagai saudara semestinya sesama dokter saling menghormati dan menyayangi sebagai prinsip dasar kehidupan yang baik terutama para pelayan medis. Namun, mengapa masih terjadi bullying? Setelah adanya UU Kesehatan ini penting untuk diperhatikan bagaimana kita membuat residen di kontrak sebagai pekerja dan dapat memberikan pelayanan dengan perlindungan hukum. Dalam sesi diskusi banyak dibahas tentang residen sebagai pekerja, kontrak/perjanjian kerja dengan RS, serta insentif atau jasa pelayanan bagi residen dalam kaitannya dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Diskusi juga menyoroti perlunya sinkronisasi pelaksanaan UU Kesehatan ini dengan stakeholders lain seperti Kementerian Keuangan dan badan pemeriksa keuangan.

video

Sesi Penutup

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS 
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Jumat, 25 Agustus 2023
Pukul : 15:00 – 16.30

  Narasumber

Moderator: dr. Diaz Novera, BMedSc(Hons), MPH


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Phd

materi   video


Narasumber Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes.

materi   video


Pembahas Oleh dr. Andi Khomeini Takdir

video


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-12 UU Kesehatan Topik Tata Kelola Rumahsakit

Diskusi ke-12 UU Kesehatan

Topik Tata Kelola Rumahsakit

Senin, 28 Agustus 2023  |   Pukul: 12:00 – 13:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-12 yang membahas tata kelola rumah sakit dalam kerangka UU Kesehatan Omnibus Law.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes (Ketua PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes mengantar webinar dengan menjelaskan bahwa, dari sisi manajemen, terdapat beberapa poin dalam UU Kesehatan yang baru yang dapat mengubah dan menjadi peluang pengembangan rumah sakit. Meski demikian, hal ini akan sangat bergantung pada aturan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023. Dengan memahami pasal-pasal yang ada, diharapkan kita dapat memperoleh informasi dan mensintesisnya menjadi sebuah gagasan untuk membangun rumah sakit dalam keterkaitannya dengan UU Kesehatan yang baru.

Dalam UU Kesehatan ini, rumah sakit tidak lagi termuat secara independen dalam bab tersendiri melainkan secara terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan kata lain, berbagai aturan terkait dengan sumber daya manusia, logistik, maupun sistem informasi akan berpengaruh terhadap pengelolaan rumah sakit. Sebagai manajer kita diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memanfaatkan peluang yang ada.

video

Pembahasan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Sesi pembahasan disampaikan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes yang menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan layanan rujukan yang harus bertransformasi sesuai dengan pilar transformasi pelayanan rujukan sebagai bagian dari transformasi sistem kesehatan. Seluruh aturan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan lembaga yang terlibat akan mendukung upaya pembangunan peningkatan pelayanan RS. Hal ini tertuang didalam pasal-pasal UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Salah satu yang termuat dalam UU Kesehatan ini adalah terkait potensi besar pengobatan tradisional seperti medical wellness agar masuk ke dalam standar pelayanan kesehatan. Dalam hal ini diperlukan aturan turunan yang menjelaskan penyelenggaraan, kompetensi, serta kewenangan dan tanggung jawab pusat dan daerah. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 187 dan 196, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan kewajiban RS untuk melaksanakan sistem rujukan yang terintegrasi serta sistem rujuk balik. Dalam hal keuangan fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 194, diperlukan aturan turunan berupa peraturan menteri kesehatan tentang pola tarif nasional yang dipertegas untuk RS Pemerintah dan di-update secara berkala (maksimal 2 tahun).

Dalam hal SDM Kesehatan, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan beberapa aspek penting seperti apa saja yang termasuk dalam tenaga pendukung dan penunjang kesehatan, beban kerja tenaga kesehatan di RS, serta kebutuhan SDM yang mencakup residen. RS akan menghitung terlebih dahulu kebutuhan SDM agar beban pembiayaan tidak terlalu besar, termasuk pembiayaan bagi residen karena akan dibayar sesuai kerjanya.

Terkait pasal 234, diperlukan aturan turunan mengenai penempatan tenaga medis dalam hal insentif (finansial atau non finansial), jaminan keamanan (terutama di daerah rawan konflik), serta perlindungan hukum saat menjalankan tugas. Terkait pasal 251 dan 253, diperlukan PP terkait pendayagunaan tenaga medis lulusan luar negeri. Mengenai pendanaan kesehatan pada pasal 402 ayat 4 dan pasal 406, diperlukan PP yang mengatur bahwa RS non pemerintah harus melaporkan penggunaan anggaran yang berasal dari pemerintah; RS pemerintah harus melaporkan realisasi belanja kesehatan; serta pendapatan RS pemerintah diakui sebagai pendapatan pemerintah yang penggunaan seluruhnya untuk operasional RS. Sementara terkait dengan farmasi, diperlukan aturan turunan yang mengatur dengan detail kompetensi apoteker, proses peresepan obat keras, hingga telemedicine yang kini menjadi bagian dari layanan kesehatan di rumah sakit.

video   materi

Sesi Diskusi

Diskusi mengenai isu-isu yang muncul dengan adanya UU Kesehatan dibahas dalam sesi diskusi, antara lain terkait dengan pola tarif nasional yang termuat dalam pasal 194 ayat 1 dan perlu diatur oleh peraturan pelaksana. Selain itu, diskusi juga mengangkat kekhawatiran upaya badan layanan umum yang kini termuat dalam pasal 185 ayat (2) “Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam memberikan layanan Kesehatan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Isu terkait dengan aturan bahwa pimpinan rumah sakit harus berlatar belakang medis juga dibahas dalam diskusi ini.

video

Sesi Penutup

Diskusi tentang tata kelola rumah sakit dalam Kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 28 Agustus 2023
Pukul 12.00 – 13.00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)


Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes

video


Narasumber: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani , S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

video   materi


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-13 UU Kesehatan Topik Perkembangan Academic Health System (AHS)

Diskusi ke-13 UU Kesehatan

Perkembangan Academic Health System (AHS)

Selasa, 29 Agustus 2023  |   Pukul: 13:30 – 14:30 WIB

Webinar ini membahas perkembangan Academic Health System (AHS) dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH selaku moderator.

Pengantar oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) untuk memantik diskusi tentang penerjemahan sistem kesehatan akademik (Academic Health System) dan keterkaitannya dengan UU Kesehatan. Dalam UU ini, terdapat 2 jalur pendidikan yaitu hospital-based dan university-based. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 ini mengatur bahwa residen berstatus sebagai pekerja sekaligus peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dan berhak mendapatkan bantuan hukum, mendapat waktu istirahat dan mendapat imbalan sesuai pelayanan kesehatan yang dilakukan. Lantas bagaimana pengaruh UU Kesehatan terhadap Academic Health System (AHS) dengan university-based? Apakah amanat UU Kesehatan dapat dilakukan pada AHS termasuk perencanaan kewilayahan? Kedua pertanyaan ini menjadi isu diskusi yang penting.

materi   video

Pembicara Utama dr. Haryo Bismantara, MPH

dr. Haryo Bismantara, MPH (Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) selaku narasumber membawakan pembahasan mengenai penerjemahan konsep sistem kesehatan akademik dalam pemenuhan dokter spesialis di Indonesia dalam keterkaitannya dengan pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023. Sesi ini membahas 4 topik utama, yaitu masalah kekurangan dokter/dokter spesialis dan transformasi SDM Kesehatan, sistem kesehatan akademik sebagai sarana untuk mewujudkan transformasi SDM kesehatan di Indonesia, penerjemahan konsep AHS untuk pemenuhan dr spesialis di Indonesia, dan AHS pasca UU Nomor 17 Tahun 2023.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan dokter spesialis di Indonesia masih tinggi. Dari aspek produksi, per tahunnya terdapat kurang lebih 3000 lulusan dokter spesialis baru dengan kurang lebih 800 tambahan kuota penerimaan dalam 5 tahun terakhir. Meski demikian, meski jumlah terus ditambah namun tanpa mempertimbangkan faktor lain maka tidak akan berhasil karena dapat muncul masalah distribusi, retensi, dan lain sebagainya. Isu transformasi sistem kesehatan ini merupakan isu kompleks yang memiliki karakteristik berkesinambungan dan melibatkan banyak stakeholders. Model AHS memiliki potensi besar untuk mendukung kecepatan dan keberlangsungan upaya transformasi SDM Kesehatan dengan meningkatkan jumlah nakes, mengupayakan pemerataan tenaga kesehatan, meningkatkan mutu tenaga kesehatan, sekaligus mewujudkan transformasi SDM kesehatan yang bernilai tambah melalui efisiensi, kolaborasi yang berkelanjutan, dan kemandirian pemerintah daerah dalam menentukan prioritas tenaga kesehatan yang diperlukan.

Dalam rangka penerjemahan AHS untuk pemenuhan dokter spesiali terdapat beberapa strategi yang digunakan yaitu strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek diharapkan ada peningkatan kuota mahasiswa dokter spesialis, dalam jangka menengah diharapkan ada peningkatan jumlah dosen dan RS pendidikan, sementara dalam jangka panjang diharapkan ada peningkatan jumlah prodi/FK baru. Untuk memonitor ini, Kementerian Kesehatan membagi AHS dalam 6 wilayah yang harapannya akan mewujudkan AHS di masing-masing provinsi sehingga tujuan akhirnya adalah seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dapat mandiri dalam merencanakan kebutuhan, mendidik, mendistribusikan, dan meretensi SDM Kesehatan. Berdasarkan hasil monev, program AHS sudah menunjukkan kebermanfaatannya dan diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan berbagai aturan turunan UU Kesehatan. Aktivitas yang ditawarkan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis terdiri dari 3 stream, yaitu pemenuhan dokter umum dan dokter gigi di puskesmas, pemenuhan dokter spesialis di RS, dan penguatan RS Pendidikan. Secara umum, UU Kesehatan ini memberikan peluang untuk penguatan sistem kesehatan di wilayah yang tercantum pada pasal 173 ayat (1) poin f. Model AHS dapat menjawab pasal 12 UU Kesehatan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap perlindungan kepada pasien dan SDM Kesehatan serta dalam perencanaan. Meski demikian, terdapat beberapa isu yang perlu pendalaman oleh stakeholders AHS ke depan yaitu keberadaan RS, mekanisme pendidikan dokter spesialis di RS (termasuk uji kompetensi, pemberian sertifikat, dan gelar), hak dan kewajiban peserta didik. Terbitnya UU Kesehatan membuka peluang optimalisasi penyelenggaraan AHS.

materi   video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, dibahas mengenai keterlibatan RS swasta terstandar RS pendidikan dan bisa menjadi tempat yang ideal untuk penempatan peserta program pendidikan dokter spesialis serta roadmap pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis berbasis konsorsium dan AHS. Inisiasi dan maintenance program AHS juga menjadi topik menarik yang didiskusikan.

Sesi Penutup

Diskusi tentang perkembangan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dokter Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 29 Agustus 2023
Pukul 13.30 – 14.30 WIB

  Kegiatan

Moderator dr. Srimurni Rarasati, MPH


pengantar diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, Phd

materi   video


Narasumber: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

materi   video


Sesi Diskusi

video


 

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan dalam UU Kesehatan No.17 Tahun 2023

Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 08:00 – 09:00 WIB

7sep9

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Kembali menyelenggarakan Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Diskusi tersebut masih merupakan rangkaian dalam Webinar Series Pembahasan UU Kesehatan, kali ini dengan topik diskusi terkait Turunan Undang-Undang dalam Urusan Bencana Kesehatan.

Pemantik diskusi kali ini ialah dr. Alif Indiralarasati, dipandu oleh moderator Madelina Ariani, SKM., MPH, dan dibahas sejumlah narasumber diantaranya. dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD, dr. Bella Donna, M.Kes, Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc, Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Lalu Madahan, SKM, MPH (Dinas Kesehatan NTB), dan Kudiyana, S.KM., M.Sc (Dinas Kesehatan DIY).

Diskusi berjalan cukup lancar, dalam panelnya para pembahas cukup banyak menyoroti tentang Hospital Disaster Plan (HDP) dan standarisasi layanan ambulans dalam aturan turunan nanti. Namun, selain dua hal di atas, aspek lainnya juga diidentifikasi seperti logistik dan pendanaan. Secara lebih lanjut diskusi juga mencermati terkait sinkronisasi lebih lanjut dengan aturan yang bersisihan dengan bencana lainnya, misalnya Permenhan Nomor 39 Tahun 2014 yang membahas HDP. Turunan UU selazimnya dapat lebih memperhatikan terkati kehati-hatian standarisasi nomina dalam urusan teknis.

Diakhir acara disimpulkan bahwa diskusi ke depan terkait UU Kesehatan perlu untuk membahas satu-satu per isu yang disebutkan, dan perlu membahas mapping stakeholder untuk Peraturan Pemerintah.

Reporter: Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D (FK-KMK UGM)

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator : Madelina Ariani, SKM., MPH.


Pemantik Diskusi: dr. Alif Indiralarasati

video   materi


Pembahas:

dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD

video


Lalu Madahan, S.KM., MPH.  Dinas Kesehatan NTB

video


 dr. Bella Donna, M.Kes

video


Kudiyana, S.KM., M.Sc  Dinas Kesehatan DIY

video


Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid

video


Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc

video