Reportase ISQua’s 36th International Conference

Cape Town, 20-23 Oktober 2019 

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan berkesempatan untuk menghadiri konferensi internasional yang diselenggarakan oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua) ke – 36. Helatan ini diselenggarakan di Cape Town International Convention Centre dan berlangsung pada 20-23 Oktober 2019. Dengan mengusung tema Innovate, Implement, Improve: Beating the Drum for Safety, Quality, and Equity, helatan ini ingin menyerap semangat dari budaya Afrika untuk menginspirasi inovasi – inovasi besar melalui pemikiran kreatif dan kemajuan dengan menggunakan teknologi. Konferensi ini merupakan agenda internasional yang sangat besar, mewadahi 500 poster dan 250 presentasi dengan pembicara dari 40 negara dan diselenggarakan secara bersama – sama oleh ISQua, The Council of Health Service Accreditation of Southern Africa (COHSASA), dan Mediclinic.

Minggu, 20 Oktober 2019

Hari pertama rangkaian kegiatan ISQua ke – 36 diawali dengan beberapa seri pra konferensi. Pra konferensi ini merupakan agenda tambahan yang dipersiapkan panitia untuk mewadahi perwakilan dari berbagai negara agar dapat berbagi pengalaman dan mendalami isu – isu sektor mutu layanan kesehatan.

Terdapat tujuh seri pra konferensi, yang pertama terkait pentingnya evaluasi eksternal dalam meningkatkan kepuasan dan keselamatan pasien serta untuk mencapai tujuan – tujuan klinis. Sesi ini diisi oleh, antara lain, Ryan Swiers, David Greenfiels, Jeffrey Braithwaite, dan Carsten Engel. Para pembicara menilai pentingnya akreditasi dan akreditasi seperti apa yang mampu membantu meningkatkan kinerja sebuah rumah sakit. Evaluasi eksternal dinilai akan lebih bermakna dan mampu membawa perbaikan apabila turut melibatkan pasien, pengguna layanan, dan keluarga mereka.

Sesi kedua membahas masyarakat praktisi Afrika dimana para pembicara dari berbagai negara di regional Afrika berbagi beragam pengalaman inovasi kesehatan yang telah mereka lakukan di negara masing – masing, serta bagaimana inovasi tersebut mampu membantu menyelesaikan kesulitan dan tantangan yang mereka alami.

Di sesi ketiga, para pembicara memperkenalkan berbagai elemen kunci, peluang, dan tantangan dalam perencanaan mutu untuk membuat perbaikan dalam kualitas pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien. Sesi ini diselenggarakan bersamaan dengan sesi keempat yang menekankan penggunaan patient reported outcome (PRO) untuk membawa suara pasien ke dalam penyelenggaraan layanan kesehatan yang terbukti dapat meningkatkan kemitraan klinisi – pasien, tujuan – tujuan kesehatan, dan nilai layanan kesehatan. Peserta dibekali dengan pengetahuan mengenai aplikasi PRO di berbagai negara, teknik implementasi PRO dengan pendekatan praktis bertahap (stepwise practical approach), dan berdiskusi dengan sesama peserta mengenai bagaimana mengimplementasikan PRO dalam setting pekerjaan masing – masing peserta.

Paralel dengan semua sesi sebelumnya, sesi kelima merupakan sesi prakonferensi paling meriah karena di sesi ini perwakilan – perwakilan dari regional Afrika, Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, Amerika, dan Pasifik Barat mempresentasikan produk – produk inovasi mutu di negara mereka masing – masing dalam sesi bertajuk “ISQua First Quality Competition.” Sesi ini berlangsung dari pagi hingga sore dan mendapat sambutan antusias dari peserta konferensi.

Sesi pra konferensi yang keenam berbentuk lokakarya dengan tema “Developing Quality Improvement Skill Workshop,” yang mengajak peserta untuk belajar bagaimana menyatukan ide – ide peningkatan mutu ke dalam praktik sehari – hari berdasarkan Deming’s Profound Knowledge.

Sesi prakonferensi terakhir diselenggarakan oleh WHO untuk membahas isu mengenai pengurangan kejadian bahaya yang terkait dengan proses pengobatan. WHO dalam kesempatan ini menginisiasi WHO Global Patient Safety Challenge dengan medication without harm sebagai topik utamanya.

Hari pertama diakhiri dengan acara ramah tamah yang diinisiasi oleh pengurus ISQua untuk menjamu tamu – tamu yang telah datang untuk hadir dalam helatan konferensi internasional ISQua yang ke – 36 ini. Konferensi akan secara resmi dimulai esok harinya dan para peserta sudah penasaran akan ada ide – ide apa yang didatangkan dalam konferensi ini.

Senin, 21 Oktober 2019

isq1

Konferensi dibuka pada pukul 8.30 SAST, diawali dengan pementasan tarian tradisional, paduan suara anak – anak, dan pidato pembukaan dari Menteri Kesehatan Afrika Selatan, Dr. Zweli Mkhize; Ronnie van der Merwe (dari Mediclinic); dan penerima anugerah John Ware and Alvin Tarlov Career Achievement Award, Albert Wu. Sambutan presiden ISQua, Wendy Nicklin, menjadi penanda dibukanya konferensi internasional ISQua yang ke – 36.

Dengan adanya ratusan presentasi dan poster yang diterima oleh panitia konferensi, hari pertama berlangsung cukup padat dengan banyak sesi paralel yang berlangsung. Panitia juga mengadakan beberapa sesi pleno dengan beberapa isu yang menarik banyak peserta untuk berpartisipasi. Sesi-sesi pleno di hari pertama ini sebagian besar bertemakan penggunaan data untuk meningkatkan mutu, meningkatkan keamanan (safety), menjaga biaya, dan mengestimasi outcome serta untuk memicu inovasi, perbaikan, dan implementasi.

Salah satu sesi pagi yang kami ikuti bertemakan “Managing Quality and Containing Costs in Private Healthcare Funded Programs.” Barry Childs, pembicara pertama di sesi ini memamerkan penggunaan data – data di rumah sakit untuk membuat sebuah visualisasi benchmark untuk memantau bagaimana mutu pelayanan dan biaya yang dikeluarkan rumah sakit. Barry menekankan pentingnya visualisasi ini untuk memonitor status mutu yang dijalankan oleh sebuah rumah sakit dan merupakan insight berharga bagi pengembangan strategis dalam peningkatan mutu RS ke depannya. Meski demikian, tantangan terberat, ujarnya, datang dari buruknya kualitas data sehingga perlu digunakan beberapa proxy untuk menggambarkan suatu indikator yang ingin diketahui.

Masih di sesi yang sama, Morgan Chetty mengemukakan pentingnya peer review atau yang ia sebut dalam kasus pelayanan kesehatan sebagai peer mentoring. Peer review atau peninjauan praktik profesi oleh sesama profesional menurutnya merupakan bagian penting dalam pemeliharaan dan penguatan kapasitas klinis dan profesional tenaga medis. Para tenaga medis yang terlibat dalam skema peer review ini diajari mengenai kemampuan negosiasi, isu – isu etis dalam pelayanan kesehatan, pemantauan yang efisien dan efektif biaya, serta ide – ide mengenai manajemen aktuarial data, pengaturan risiko, dan berbagai topik klinis dari panduan terbaru.

Sesi lain yang berlangsung hari ini adalah i yang disponsori oleh PharmAccess, sebuah perusahaan yang bergerak di pengembangan teknologi digital untuk pelayanan kesehatan, terutama penyediaan akses layanan kesehatan yang lebih baik untuk orang – orang di negara – negara Afrika. Salah satu produk PharmAccess adalah M-TIBA yang diluncurkan di Kenya. M-TIBA yang terkoneksi dengan skema asuransi kesehatan pemerintah CarePay merupakan platform dompet elektroinik yang memfasilitasi jalannya cakupan kesehatan semesta di Kenya. Peserta CarePay menggunakan M-TIBA untuk mendapatkan asuransi, menyimpan uang, membayar pelayanan kesehatan keluarga, bahkan membantu pemerintah mensubsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu dengan cara yang langsung dan transparan.

Sesi lainnya berbicara mengenai keamanan pasien (patient safety) yang dibawakan oleh para pembicara dari Amsterdam University Medical Center yang memperkenalkan metode FRAM Functional Resonance Analysis Method (FRAM). Hadirnya FRAM diinisiasi oleh ide yang dicetuskan Erik Hollnagel, bahwa fokus pada mencegah terjadinya adverse outcomes atau kesalahan yang timbul dari suatu praktik pelayanan kesehatan, atau yang ia sebut sebagai Safety – I, tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas sistem kesehatan dimana banyak masalah yang tidak terdefinisikan dapat muncul begitu saja. Karenanya selain melakukan mitigasi risiko yang berfokus pada kejadian tidak diinginkan, pelayanan kesehatan seharusnya juga memastikan bahwa segala hal yang berlangsung sehari – hari dalam lingkup layanan kesehatan berjalan dengan baik dan sehat. Pendekatan ini ia sebut Safety – II. FRAM membantu menyediakan kerangka kerja untuk menganalisis proses sehari – hari dalam menjaga kualitas pelayanan dengan mempertimbangkan komplikasi suatu proses terhadap proses lainnya. FRAM juga memastikan pelayanan kesehatan dapat mengumpulkan data yang tepat dan apa yang perlu dilihat dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan.

Terdapat banyak sesi yang menarik sekaligus membuka mata kita mengenai bagaimana mengelola mutu kesehatan oleh banyak pembicara dari berbagai sudut pandang. Sesi pleno terakhir dibawakan oleh Margaret Kruk dan Laetitia Rispel. Mereka berbicara mengenai pengembangan sistem kesehatan bermutu tinggi dan apa yang perlu dilakukan untuk mencapainya. Mereka mengusulkan empat kemungkinan intervensi: mengatur dengan kualitas sebagai tujuan, desain ulang pemberian layanan yang berfokus pada mutu, mentransformasi tenaga kerja dengan pendidikan klinis berbasis kompetensi, dan memicu permintaan akan kualtias dengan mengedukasi masyarakat mengenai hak – hak kesehatan mereka. Pleno ini memberikan temuan dan rekomendasi mengapa intervensi – intervensi tersebut perlu untuk dilakukan (artikel mengenai sistem kesehatan bermutu tinggi dapat diperoleh di sini). Pleno ini sekaligus menutup kegiatan konferensi di hari pertama.

Selasa, 22 Oktober 2019

isq2 

Sorotan pada hari kedua dapat ditemui di sesi pleno pertama. Sesi ini diisi oleh Paul Batalden dan Rocco Perla. Paul Batalden membuka presentasinya dengan pertanyaan yang menghentak mengenai berapa banyak sebenarnya keuntungan yang kita peroleh dari memandang pelayanan kesehatan sebagai sebuah enterprise atau usaha komersial di mana kata – kata seperti sistem, proses, hubungan pelanggan – penyuplai, unwanted variation, atau resiliensi merupakan fokus dalam perkembangan sebuah pelayanan kesehatan? Cara berpikir tersebut, ia sebut sebagai Quality 2.0, telah membawa perubahan yang besar dalam pelayanan kesehatan dalam beberapa dekade terakhir, tetapi apakah cara berpikir tersebut akan tetap efektif dalam beberapa dekade ke depan? Paul mengajak peserta untuk berpikir lebih dalam mengenai apa yang dimaksud “service” dan “value” dan bagaimana “service” berbeda dengan “product”. “Service”, menurutnya, selalu di koproduksi oleh beberapa pihak dengan satu atau lain cara. Jika kita melihat layanan sebagai sebuah “service”, ia seharusnya merupakan koproduksi oleh berbagai pihak yang terlibat dimana pasien dan dokter merupakan pusat dari interaksi tersebut. Koproduksi ini melahirkan sebuah “value” atau nilai bagi sebuah produk atau layanan. Koproduksi mengajak kita untuk melihat ulang peran dari kedua pihak tersebut dan bagaimana mereka dapat saling bekerjasama untuk melahirkan sebuah layanan yang bernilai dan maksimal baik untuk pasien maupun dokter.

Rocco Perla menimpali apa yang disampaikan Paul Batalden dengan cerita pribadinya. Rocco menceritakan pengalamannya saat masih bekerja di Medicare. Di salah satu perjalanannya, ia berbicara dengan sopir taksi dan di tengah obrolan ia mengatakan bahwa ia bekerja di Medicare. Si sopir taksi, mendengar hal tersebut mengatakan pada Rocca, “Medicare has failed me (Medicare mengecewakan saya).” Sang sopir merupakan korban dimana upaya untuk mengefisiensikan biaya yang dirancang oleh pemerintah membuatnya tidak dapat terlindungi pengeluaran katastrofik dari operasi pinggang yang membuatnya harus menanggung hutang yang sangat besar. AS dan banyak negara lainnya menganut paham Triple Aim yaitu memperbaiki layanan medis, meningkatkan kesehatan, dan mengurangi biaya. Meski telah begitu banyak energi, inovasi, dan uang diinvestasikan dalam meningkatkan kualitas layanan medis dan mengurangi biaya, tujuan untuk meningkatkan kesehatan terbengkalai. Rocco menyebutkan bahwa metode – metode yang kita gunakan, pertanyaan – pertanyaan yang diajukan, data yang kita peroleh untuk menjawabnya, pilihan yang kita ambil karenanya memprioritaskan biaya dan pelayanan dengan mengorbankan kesehatan. Rocco mengambil contoh bagaimana status kesehatan di Amerika Serikat semakin memburuk tiap tahunnya. Ia secara tidak sengaja menemukan grafik yang menunjukkan meningkatnya warga Amerika yang kelaparan tiap tahunnya sejak resesi ekonomi 2008. Hal ini tidak pernah ia lihat saat ia bekerja di Medicare, dan hal tersebut tidak akan begitu diperhatikan oleh Medicare bahkan departemen kesehatan karena mereka menganggap bahwa lingkup kebijakan mereka hanya pada penyediaan layanan kesehatan. Rocco mengajak peserta untuk bertanya dan berpikir kembali, seperti inikah seharusnya sebuah upaya kesehatan? Rocco mengamini bahwa koproduksi seharusnya menjadi sebuah upaya untuk memastikan pasien mendapatkan “kesehatan” dan bukan hanya layanan kesehatan. Hal ini tentunya membawa konsekuensi pada sebuah tuntutan bagi perubahan sistem kesehatan yang lebih integratif dan tidak hanya melibatkan lembaga yang secara tradisional mengurusi kesehatan.

isq5

Kedua presentasi tersebut membawa semangat yang merupakan tema padfa hari kedua ini: koproduksi. Membuat sebuah value memerlukan kerjasama dari banyak pihak. Hal tersebut turut ditekankan dalam presentasi yang dibawa oleh Insan Rekso Adiwibowo, peneliti PKMK FK-KMK UGM yang menceritakan mengenai aktivitas Pelayanan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Pandu – PTM). Pandu – PTM ialah program Kementerian Kesehatan yang merupakan adaptasi dari WHO Package of Essential Non-communicable Diseases Intervention (WHO – PEN) di dalamnya mencakup kerangka menyeluruh dari deteksi kasus, penentuan faktor risiko, perawatan, monitoring, hingga penghitungan biaya di level puskesmas. Indonesia mengadaptasi kerangka ini dalam konteks Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dimana masyarakat diajak untuk turut berkoproduksi dalam deteksi kasus dan identifikasi faktor risiko melalui kegiatan Posbindu – PTM. Insan memberikan evaluasi dari penyelenggaraan Pandu – PTM dengan contoh kasus puskesmas – puskesmas Pandu – PTM di Kulon Progo melalui riset yang dilakukan bersama Shita Listyadewi dan Yodi Mahendradhata, disponsori oleh Kemenkes RI serta WHO. Dari riset tersebut, Insan mengemukakan bahwa dalam mengukur dan mengevaluasi kualitas tidak cukup dilakukan hanya dengan melakukan observasi pelayanan yang diberikan oleh dokter atau dengan melakukan tes terhadap pengetahuan dokter, tetapi juga menyelidiki pengalaman pasien dalam menerima layanan. Triangulasi ini penting agar ketidaksesuaian layanan dapat dilihat dan bagaimana sistem terlibat di dalamnya.

Berbagai sesi diselenggarakan dengan membahas bagaimana peran koproduksi dalam layanan kesehatan semesta, mengeksplorasi penghalang dalam mencapai akses universal terhadap layanan kesehatan primer yang terkoproduksi, serta berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai koproduksi dalam layanan kesehatan. Hari kedua ditutup dengan sesi pleno yang menekankan pentingnya kepemimpinan dalam membawa implementation change dalam kualitas dan keamanan.

Rabu, 23 Oktober 2019

isq3

Hari ketiga ditandai dengan presentasi oleh Erik Hollnagel dan Tommaso Bellandi yang mengajak peserta melihat lebih dalam mengenai kemananan pasien (patient safety) dari faktor manusia dan bagaimana pemahaman ini dapat membangun resiliensi dalam sistem. Dengan memberikan contoh berbagai penelitian dan inovasi mengenai Human Factors and Ergonomics (HFE) dalam level makro, meso, maupun mikro serta bagaimana inovasi tersebut mampu membuat sistem yang lebih baik.

Konferensi ISQua ke – 36 di hari ketiga ini bertemakan keamanan pasien. Panitia mengadakan sesi – sesi bertajuk Leraning Journeys di mana peserta dapat mempelajari mengenai isu keamanan pasien dalam tiga level, pemula (begginner), menengah (intermediate), dan lanjut (advanced). Di sesi pemula, peserta diajak untuk menyimak mendefinisikan keamanan pasien dan berbagai pendekatan dalam keamanan pasien dan sains yang mendasarinya. Sesi yang dipandu oleh Sara Albolino ini juga mengajak peserta untuk mengeksplorasi keamanan dari perspektif pasien dan memperkenalkan tools kunci yang digunakan dalam kemanan pasien.

Sesi learning journeys mengenai keamanan pasien level menengah mencoba menggali prioritas – prioritas kunci apa yang menandai keamanan pasien di dunia dan merefleksikan pengaruh konteks serta budaya dalam kemanan pasien. Peserta diajak untuk membentuk jejaring keamanan pasien yang dapat dibentuk di negara – negara yang memiliki prioritas dan pengalaman yang serupa dan saling belajar mengenai best practice dari satu sama lain. Sesi ini memberikan kesempatan pembicara dari Amerika Latin untuk menceritakan kesuksesan penyebaran strategi peningkatan mutu pelayanan sebagai saran untuk pembelajaran peserta mengenai aspek yang dapat ditingkatkan untuk mempercepat peningkatan mutu pelayanan di negara masing – masing.

Learning journeys level lanjut berpusat pada debat mengenai bagaimana cara untuk memperoleh strategi keamanan pasien yang baik, apakah dengan implementation science ataukah improvment science. Sementara improvement science merujuk pada upaya level sistem untuk meningkatkan mutu, keamanan, dan nilai pelayanan kesehatan, implementation science berfokus pada upaya sistematis untuk mengangkat intervensi berbasis bukti ke dalam praktik dan kebijakan. Para pembicara berpendapat bahwa kedua terminologi tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sama dan bagaimana keduanya dapat digunakan untuk membuat layanan kesehatan lebih aman. Peserta diajak mengevaluasi argumen yang mendukung dan menolak baik improvement science maupun implementation science dan bagaimana mensintesiskan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan metode terbaik dalam menghasilkan pelayanan kesehatan yang lebih aman.

isq4

Pada sesi penutup, panitia mengundang Claire Coetzee dari angkatan bersenjata Afrika Selatan untuk berbagi pengalaman mengenai mutu dan keamanan yang dilakukan seorang pilot helikopter militer. Sebagai seorang pilot militer, Claire seringkali menghadapi situasi – situasi sulit yang dapat mengancam nyawa dan sangat berbahaya. Claire dituntut untuk dapat melakukan pendaratan yang sulit, melakukan beberapa tugas yang membutuhkan kemampuan mengemudikan helikopter yang tinggi. Claire pun diharuskan dapat berkomunikasi dengan orang – orang dari berbagai negara dalam berbagai misi PBB yang ia jalankan dimana hal tersebut vital untuk koordinasi strategi dan menjamin keamanan misi. Claire menyebut tiga hal utama yang ia pelajari dari pengalamannya sebagai pilot militer, yaitu: pengetahuan adalah kekuatan, komunikasi merupakan kunci, dan berlatih, berlatih, berlatih. Menurutnya keamanan hanya dapat diperoleh ketika seseorang memiliki pengalaman yang memadai. Setiap orang yang menempati kursi pilot harus dipersenjatai dengan informasi, pengetahuan, pelatihan, keterampilan, dan penilaian untuk dapat menguasai pesawat terbang dengan utuh beserta seluruh komponen dan sistemnya dan berbagai situasi yang dapat secara bersamaan dan berkelanjutan terjadi selama penerbangan. Hal ini juga berlaku dalam hal penyediaan layanan kesehatan, ujarnya.

Setelah presentasi tersebut, presiden ISQua Wendy Nicklin menutup acara dengan memberikan beberapa ide – ide kunci yang muncul selama konferensi ISQua ke – 36 ini, dari peningkatan kualitas SDM kesehatan melalui pendidikan dan lingkungan kerja yang nyaman, koproduksi, peran teknologi dalam kesehatan, bagaimana seringkali metode membutakan kita dari melihat perbedaan antara kesehatan dan pelayanan kesehatan, bagaimana membentuk budaya mutu, hingga pentingnya untuk merayakan kesuksesan dan mendengarkan pasien. Kesemuanya, ujarnya, merupakan bagian dalam satu perjalanan menuju kualitas kesehatan yang lebih baik. Pernyataan tersebut menandai berakhirnya konferensi ISQua ke-36 ini.

Reporter: Insan Rekso Adiwibowo, perwakilan PKMK UGM menghadiri konferensi IsQUA 2019 di Cape Town (20 – 23 Oktober 2019)

Pelatihan Blended Learning Analisis Kebijakan

Kerangka Acuan Kegiatan

Pelatihan Blended Learning Analisis Kebijakan

Agustus – September 2019 (Webinar)

diselenggarakan oleh
PKMK FK – KMK UGM dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

  Latar Belakang

Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Aktivitas ini tidak dimaksudkan menggantikan politik, tetapi kolaborasi para teknokrasi dari berbagai disiplin ilmu, dan pelaku kebijakan dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat deskriptif, evaluatif, dan/ atau preskriptif pada suatu masalah publik. Kebijakan adalah tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu. Kebijakan yang dibentuk tersebut tak jarang menuai banyak kritik, dan tidak operasional. Memang kebijakan merupakan produk penilaian subjektif dari manusia, dan bersifat dinamis.

Kemajuan suatu negara dapat dilihat dari kualitas kebijakan publiknya, jika kebijakan publiknya buruk bisa dipastikan keadaan negara tersebut juga tidak jauh dari kualitas kebijakan publiknya. Penguasaan materi analisis kebijakan publik merupakan bagian penting dalam proses penyusunan kebijakan yang dapat bermanfaat untuk masyarakat luas, bukan kelompok kekuasaan politik tertentu. Untuk hal tersebut, PKMK FK – KMK UGM berinisiatif menyelenggarakan Blended Learning Analisis Kebijakan.

Sebagaimana kita ketahui, pelaksanaan program JKN secara tidak langsung mengubah sistem kesehatan nasional. Sudah tentu, perubahan tersebut akan memproduksi kebijakan -kebijakan baru dalam sektor kesehatan. Untuk mengawal kebijakan kesehatan yang unggul penting untuk para pelaksana kebijakan, konsultan, dan akademisi membekali diri dalam pelatihan analisis kebijakan yang didesain untuk memiliki pemahaman tentang dinamika dan konteks kebijakan publik di Indonesia melalui konsep analisis kebijakan, teknik analisis kebijakan, pengambilan keputusan, dan dokumentasi saran kebijakan (policy brief/policy memo).

  Tujuan

Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta akan mampu menguasai proses analisis keijakan publik, yang dinilai dari kemampuan:

  • Menjelaskan konsepsi analisis kebijakan yang secara rasional bisa dijalankan
  • Menghitung manfaat analisis kebijakan
  • Menjelaskan berbagai teknik dalam analisis kebijakan
  • Menunjukkan berbagai kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan
  • Mendemonstrasikan penggunaan teknik analisis sesuai dengan kriteria penilaian/pengambilan keputusan
  • Mampu merumuskan solution analysis secara sederhana namun substantif ke dalam dokumentasi kebijakan, berupa policy brief.

 &nbspPartisipasi

a. Narasumber

  1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,PhD – Pengamat Kebijakan Kesehatan
  2. Dr. Riant Nugroho – Direktur Institute for Policy Reform
  3. Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara

b. Peserta

  1. Kementerian Kesehatan
  2. Badan Perencanaan Daerah
  3. Akademisi
  4. Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, FKG, Fakultas Farmasi, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, STIKES, dan fakultas kesehatan lainnya

  Kegiatan

Tempat: Ruang Common Room – Gedung Litbang FK – KMK UGM

No Kegiatan Pokok Bahasan Narasumber Waktu & Tempat
1 Pemahaman Konsep Dasar Analisis Kebijakan
  • Indikator hasil belajar
  • Konsep dasar analisis kebijakan
  • Langkah dalam melakukan analisis kebijakan
  • Kompetensi analis kebijakan
  • Latihan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,PhD (Pengamat Kebijakan Kesehatan)

Kamis 1 Agustus 2019

Pkl: 10.00 – 12.00 WIB

2 Kriteria dan Teknik dalam Analisis Kebijakan
  • Indikator hasil belajar
  • Kriteria dalam analisis kebijakan
  • Menetapkan kriteria evaluasi
  • Kategori kriteria evaluasi
  • Teknik dalam analisis kebijakan
  • Latihan
Dr. Riant Nugroho   (Direktur Institute for Policy Reform)

Kamis 8 Agustus 2019

Pkl: 10.00 – 12.00 WIB

3 Mengembangkan dan Merumuskan Alternatif kebijakan
  • Indikator hasil belajar
  • Mengembangkan dan merumuskan alternative kebijakan
  • Penilaian dan permalan dalam setiap alternatif
  • Evaluasi alternatif kebijakan
  • Latihan

Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara

Kamis 22 Agustus 2019

Pkl: 10.00 – 12.00 WIB

4 Penyusunan Dokumen Analisis Kebijakan (Policy brief)
  • Teknik penyusunan gagasan tertulis dalam bentuk policy brief
  • Strategi pemilihan saluran publikasi dan dokumentasi konsultasi public
  • Bentuk akuntabilitas public dalam suatu perumusan kebijakan sekaligus justifikasi suatu usulan

Prof.dr.Laksono Trisnantoro, M.Sc.,PhD (Pengamat Kebijakan Kesehatan)

Deputi Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara

Kamis 22 Agustus 2019

Pkl: 10.00 – 12.00 WIB

  Informasi dan pendaftaran

Biaya Registrasi Peserta *)

  Jarak-jauh Onsite

Program 1:
Pelatihan Blended Learning Analisis Kebijakan:
Agustus – September 2019

Rp 1.500.000,- Rp 1.500.000,-

Pembayaran peserta dapat dilakukan dengan melalui transfer ke rekening panitia:

No Rekening    : 9888807171130003
Nama Pemilik   : Online Course/ Blended Learning FK UGM
Nama Bank      : BNI
Alamat            : Jalan Persatuan, Bulaksumur Yogyakarta 55281

Bukti transfer pembayaran tersebut di kirim melalui (pilih salah satu) dengan diberi nama lengkap peserta

  • Fax ke 0274-549425
  • Email ke [email protected]
  • Whatsapp Messenger ke No. 08111019077 / 082116161620

Pendaftaran peserta dapat dilakukan online melalui website Kebijakan Kesehatan Indonesia:

  Contact person:

Maria Lelyana (Kepesertaan)
Telp: 0274-549425 / 08111019077
Email: [email protected]
Tari (informasi konten)
HP: 0897 6060 427
Email: [email protected]

 

Reportase High Level Consultation On Innovations For Universal Health Coverage Asia Africa Perspective

Hanoi, Vietnam / 15 Mei 2019

Konsultasi 15 Mei akan terdiri dari dua diskusi panel tentang:

  1. Perspektif Asia:
  2. memperkuat kapasitas sistem kesehatan untuk UHC – Bagaimana pemerintahan, kepemimpinan, dan lingkungan politik memengaruhi kapasitas sistem kesehatan di Asia? Bagaimana pemerintah melakukan Inovasi dan Perusahaan Sektor Swasta untuk mencapai UHC?
  3. Inovasi, skala & peran yang dipimpin komunitas oleh perantara baru. Bagaimana THE sektor swasta / aktor non – negara mempengaruhi kapasitas sistem kesehatan? Apa faktor mendasar yang mendorong skala?

Kegiatan ini akan diikuti oleh diskusi mendalam tentang penguatan sistem kesehatan melalui inovasi yang dipimpin masyarakat dan peran perantara. Sesi diskusi mendalam akan membahas topik – topik seperti:

  • Meningkatkan inovasi berbasis masyarakat untuk UHC;
  • Peran enabler dalam meningkatkan inovasi; dan
  • Membangun mekanisme regulasi dan akuntabilitas dalam meningkatkan aktor non-negara dan inovasi yang didorong teknologi untuk UHC.

Perspektif global selatan tahun ini, dikembangkan dari dua pertemuan tentang Akselerasi UHC melalui Inovasi Pelayanan Kesehatan yang diadakan di Bangalore, India pada Juni 2018, dan di Kigali, Rwanda pada Maret 2019.

Kegiatan di Hanoi akan mendalami:

  1. Bagaimana negara – negara Asia berada mengadaptasi sistem kesehatan untuk mencapai UHC;
  2. Bagaimana inovasi kesehatan bersifat lintas sektoral dan mencakup peran beragam pemangku kepentingan dan perantara inovasi sosial dalam meningkatkan inovasi untuk membangun kapasitas sistem kesehatan;
  3. Bagaimana inovasi kesehatan yang dipimpin oleh sektor swasta dan aktor non – negara dapat tertanam dalam model UHC dan,
  4. Seperti apa regulasi dan mekanisme akuntabilitas yang perlu diterapkan untuk meningkatkan sektor swasta dan solusi berbasis teknologi yang lebih baru untuk UHC.

 

Mari kita tunggu laporan dari Hanoi.

 

 

 

 

Memperkuat Peran dan Tanggungjawab RS dalam Penanggulangan TB di DKI Jakarta

Memperkuat Peran dan Tanggungjawab RS dalam Penanggulangan TB di DKI Jakarta

Jakarta, 7 Mei 2019

 

 LATAR BELAKANG

Salah satu Strategi Nasional Program Penanggulangan TB tahun 2016-2020 untuk meningkatkan akses layanan TB yang bermutu dengan prinsip desentralisasi pada kabupaten/kota melalui jejaring layanan TB pemerintah dan swasta/district public private mix (DPPM). Studi inventori 2017 menyebutkan masih terdapat missing cases (underreporting dan unreached) TB di fasilitas layanan kesehatan seperti DPM/klinik, RS dan puskesmas. Oleh karena itu strategi PPM diharapkan menjadi faktor penentu untuk mengurangi angka missing cases dan meningkatkan notifikasi kasus.

Salah satu permasalahan yang ada terkait TB adalah masih banyak kasus TB yang belum terlaporkan di Rumah Sakit. Sehingga diperlukan penyisiran kasus TB di RS agar penemuan kasus dapat terlaporkan sehingga meningkatkan penemuan kasus TB.
Berbagai kegiatan diperlukan komitmen dari berbagai stakeholder untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi layanan antar unit pelayanan, mengurangi terjadinya keterlambatan diagnosis TB (delayed-diagnosis) dan kasus TB yang tidak terlaporkan (undereporting), pembentukan Tim DOTS yang melibatkan semua unit pelayanan/instalasi yang ada di rumah sakit, serta memastikan kasus TB dilaporkan secara berkala melalui sistem informasi program tuberkulosis.

Oleh karena itu, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM selaku sub award dari CTB KNCV akan melaksanakan petemuan dengan pimpinan tingkat Rumah sakit untuk bersama-sama berkomitmen untuk melakukan pelayanan TB yang lebih baik di rumah sakit.

  TUJUAN

  1. Meningkatkan Komitmen Pimpinan Rumah Sakit untuk memastikan kasus TB terlaporkan secara berkala melalui Sistem Informasi Tuberkolusis Terpadu
  2. Mengidentifikasi dan memprioritaskan metode penanggulangan TB di RS terpilih di provinsi DKI Jakarta
  3. Melibatkan seluruh RS dalam jejaring Layanan TB dalam kerangka PPM berbasis Kab/Kota di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat

  LUARAN

  1. Adanya Kesepakatan Perencanaan follow up aktifitas di tingkat rumah sakit
  2. Identifikasi jejaring layanan TB yang ideal di RS Provinsi di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur
  3. Model Penanggulangan TB di RS di Kota Jakarta Timur dan Jakarta Pusat

  PESERTA

  1. Kementerian Kesehatan RI (2 orang)
  2. Dinas Kesehatan
    1. Dinkes Provinsi DKI Jakarta (5 orang)
    2. Sudinkes Jakarta Pusat (2 orang)
    3. Sudinkes Jakarta Timur (2 orang)
  3. Manajemen Rumah Sakit, Tim TB Rumah Sakit di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat (28 Rumah Sakit, masing-masing 3 orang)
  4. CTB KNCV (7 orang)
  5. UGM (7 orang)

  WAKTU DAN TEMPAT

Tanggal  : Selasa, 7 Mei 2019
Waktu    : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat  : Four Points by Sheraton Hotel Jakarta ,Jl. M.H. Thamrin, Menteng, Jakarta

  JADWAL KEGIATAN

Waktu

Acara

Pembicara

09.00 – 09.30

Registrasi peserta

09.30 – 09.45

Pembukaan dan arahan

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta

09.45 – 10.15

Konsep District-based Public Private Mix untuk TB: posisi strategis Dinkes dan jejaring RS privat dan RS public dalam meningkatkan CDR TB

materi

dr. Ari Probandari, MPH, PhD

10.15 – 10.45

Hasil Penilaian Mandiri Rumah Sakit (PMRS)

materi

Peran KOPI TB dalam Memperkuat Kapasitas Tenaga Kesehatan Melalui Jejaring Internal RS untuk meningkatkan CDR dan Kualitas Layanan TB di FKTRL

materi

Hans Peter

 

 

KOPI TB

10.45 – 11.15

Peran Direksi dalam keberhasilan peningkatan CDR TB dalam kerangka DPPM

materi

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. PhD 

11.15 – 12.15

Diskusi dan Tanya Jawab

Moderator

12.15 – 12.30

Pernyataan Komitmen RS Jakarta Timur dan RS Jakarta Pusat dalam partisipasi DPPM TB di DKI

12.30 – 13.00

Penutupan

Sudinkes Jakarta Timur
Sudinkes Jakarta Pusat

 

 

 

Reportase Sesi Paralel dan Expert Talk

 24 April 2019

Sesi Paralel

Pada sesi paralel, terdapat empat topik yang disajikan dalam bentuk paparan hasil penelitian, antara lain : informal sector in health insurance, miscellaneous health economic issues, equity, dan local government roles in JKN. Peneliti PKMK sempat mengikuti 2 dari 4 sesi yang digelar. Beberapa rangkuman mengenai paparan hasil penelitian adalah sebagai berikut.

Pada topik miscellaneous health economic issues, terdapat tiga paparan penelitian yang ditampilkan. Hasil penelitian pertama disajikan oleh Dr. Haerawati Idris, SKM, MKes dengan judul Are changes in health insurance status related to changes in healthcare utilization over a period of 7 years in different regions of Indonesia? Penelitian ini menyimpulkan bahwa di seluruh wilayah Indonesia, kepemilikan asuransi melalui ketersediaan JKN mampu meningkatkan odd ratio, baik pada rawat jalan maupun rawat inap. Peneliti merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk melakukan perluasan kepesertaan asuransi kesehatan bagi masyarakat di daerahnya. Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt., MKes, MBA selaku penampil berikutnya memaparkan hasil riset dengan judul The unmet need of stroke patient in Indonesia: Is home care a cost effective alternative? Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan biaya yang dikeluarkan dari perawatan homecare dengan rawat jalan pada pasien post stroke. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penghematan pada perawatan homecare dibandingkan dengan rawat jalan.

Sementara itu, diketahui bahwa akses pelayanan kesehatan masih rendah untuk pasien post stroke, sehingga homecare bisa menjadi salah satu alternatif untuk perawatan pasien post stroke. Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. Firdaus Haifdz, MPH, PhD dengan judul penelitian National health insurance effect on health facility efficiency: bad news or good news? Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan utilisasi fasilitas kesehatan di Indonesia yang masih sangat rendah, sementara beban expenditure yang dikeluarkan sangat besar. Sumber data yang digunakan adalah data pada 2011 (sebelum era JKN, namun telah terdapat beberapa model asuransi berupa Askes dan Jamsostek). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat inefisiensi yang besar di puskesmas dan rumah sakit tipe rendah dengan kecenderungan sulit untuk bisa bertahan. Pada sisi efisiensi, optimalnya efisiensi puskesmas akan menunjang efisiensi pada rumah sakit. Kondisi efisiensi akan menjadi lebih baik jika fasilitas kesehatan bergabung dengan sistem BPJS pada era Jaminan Kesehatan Nasional.

Pada topik equity, terdapat tiga paparan penelitian yang ditampilkan. Pemaparan pertama disajikan oleh Novat Pugo Sambodo, SE, MSc dengan judul Healthcare Benefit Distribution and the Implementation of JKN: A Benefit Insidence Analysis. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi distribusi manfaat JKN berdasarkan pada status ekonomi. dr. Adelia Ulya Rachman, MSc melanjutkan paparan berikutnya dengan judul penelitian Unequal Chances to Survive Childhood in Indonesia? a Decomposition Analysis. Secara ringkas riset ini mengungkapkan bahwa ketimpangan (relative ineaquality) yang dilihat dari nilai CI (standard concentration index) tampak meningkat pada kalangan pro poor meskipun terjadi penurunan pada angka kematian bayi dan balita. Penurunan kematian balita dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni: cakupan imunisasi lengkap di tingkat kabupaten, urutan kelahiran, dan posisi perempuan sebagai kepala rumah tangga. Pendidikan ibu, usia ibu saat melahirkan dan status pernikahan pertama berkontribusi pada penurunan kematian bayi, namun demikian faktor yang disebutkan berpengaruh pada kematian balita memiliki hubungan yang sebaliknya. Paparan berikutnya disampaikan oleh dr. M. Fikru Rizal, MSc dengan judul penelitian Explaining the fall in Socioeconomic Inequality of Childhood Stunting in Indonesia. Berdasarkan dari analisis data IFLS 2007 – 2014 diketahui bahwa terjadi penurunan kondisi stunting di Indonesia secara signifikan. Kondisi stunting banyak terdapat pada masyarakat miskin, namun demikian terdapat penurunan secara signifikan pada kondisi inequality yang dipengaruhi oleh peningkatan taraf hidup dalam kurun waktu 2007 – 2012, kondisi sanitasi yang lebih baik dan pelayanan kesehatan yang semakin baik, salah satunya dengan penerapan jamkesmas. Mergy Gayatri menutup sesi ini dengan memaparkan hasil penelitian dengan judul The functioning of maternity waiting homes in Indonesia: a mixed method analysis. Riset ini secara ringkas menyebutkan bahwa fungsionalisasi rumah tunggu kelahiran masih sangat beragam di Indonesia dimana pelaksanaannya lebih efektif dilakukan di wilayah kepulauan. Agar berjalan lebih efektif, masih dibutuhkan pedoman yang komperhensif dan terstandarisasi untuk membangun rumah tunggu kelahiran, utamanya bagi pemerintah daerah serta monitoring dan evaluasi dari efektivitas rumah tunggu kelahiran yang ada saat ini.

Sesi Expert Talk

Pada sesi expert talk, dilakukan pembahasan mengenai rekomendasi untuk kondisi JKN pada masa mendatang, terutama setelah proses pemilihan umum dilakukan di Indonesia. Prof. Ali Ghufron Mukti menegaskan bahwa pengawasan pada kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pengawasan pada tenaga kesehatan guna memperkuat pemberian pelayanan kesehatan, perbaikan pelayanan kesehatan yang kurang bagus serta monitoring dan evaluasi perlu dilakukan. Hubungan kelembagaan antar berbagai pemangku kepentingan, baik pusat dan daerah, BPJS, Kemenkes, DJSN dan Presiden perlu dibangun lebih baik termasuk dukungan dari pemerintah daerah.

Pemerataan utilization di seluruh daerah di Indonesia serta sistem pemberian layanan kesehatan yang berorientasi pada mutu tenaga kesehatan dan fasilitas rumah sakit juga perlu menjadi perhatian bagi presiden terpilih (berikutnya). Prof Hasbullah Thabrany menekankan bahwa perbaikan pelayanan kesehatan bukan tugas BPJS, melainkan tugas dari pemerintah daerah. Demikian halnya tanggung jawab pada pelayanan kesehatan pribadi (UKP) merupakan ranah bagi BPJS, sementara upaya kesehatan masyarakat (UKM) merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah dan dinas kesehatan melalui upaya promotifpreventif. Kondisi defisit BPJS merupakan tanggung jawab pemerintah dan bagian dari kesalahan pemerintah dengan menetapkan besaran iuran yang masih rendah. Di samping itu, belum ada political will yang kuat untuk bisa mengalokasikan pengeluaran pendanaan yang lebih besar di sektor kesehatan. Selanjutnya, perlu ada peningkatan iuran BPJS yang sebaiknya melihat pada tingkat besaran pendapatan yang diterima dan pengalokasian budgeting yang lebih besar pula pada sektor kesehatan oleh pemerintah.

Reporter: Kurnia Widyastuti (PKMK UGM)

 

Link Terkait:

 {jcomments on}

 

 

 

Reportase Seminar: JKN Through The Ages: What Evidence Tell Us

24 April 2019

Session 1: Past JKN

Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP – MAK) FK – KMK UGM didukung oleh program Nuffic melaksanakan seminar untuk mempertemukan para peneliti untuk memaparkan hasil penelitian terbaru dengan pengambil keputusan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan seminar ini para peneliti dapat memberikan bukti mengenai pelaksanaan JKN di lapangan untuk mendorong pemerintah dalam perbaikan JKN ke depannya. Kegiatan dua hari ini (24 – 25/4/2019), terdiri dari seminar pada hari pertama dan juga pelatihan pada harikedua. Topik seminar yang diusung adalah JKN Through The Ages: What Evidence Tell Us.

Reportase kali ini secara ringkas akan memaparkan sesi satu dan sesi dua seminar tersebut. Kegiatan ini dibuka oleh pidato dari Dr. Yodi Mahendradhata selaku wakil dekan FKKMK UGM. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Dr. Diah Ayu Puspandari selaku direktur KPMAK dan penjelasan dari Ms. Esther den Hartog mengenai Nuffic Project yang berfokus pada penelitian, pembangunan kapasitas serta sharing knowledge mengenai universal health coverage dan kerja sama ini telah berlangsung pada Mei 2015 hingga Mei 2019

Sesi pembuka mengangkat topik JKN In The Past dipandu oleh Dr. Diah Ayu Puspandari. Pembicara pertama adalah Dr. Elizabeth Pisani yang merupakan seorang penulis juga direktur dari lembaga konsultasi dengan fokus pada kesehatan masyarakat, Ternyata Ltd. Dr. Elizabeth sebagai orang luar melihat sejarah perkembangan pelaksanaan JKN itu sendiri mirip dengan sejarah terbentuknya negara Indonesia, yaitu sama – sama dimulai dengan sesuatu yang emergency, tanpa melalui suatu persiapan yang matang, serta melewati berbagai trial dan error.

Dimulai dari zaman presiden Soekarno sebenarnya menurut R. Elisabeth sudah terdapat rancangan Undang – Undang negara tentang jaminan kesehatan, namun karena masalah politik dan ekonomi maka tidak terlaksana. Pada era presiden Soeharto terbitlah asuransi untuk TNI/Polri dan PNS. Ini merupakan awal mula asuransi kesehatan di Indonesia. Sampai kemudian berkembang dan muncul bentuk asuransi kesehatan sosial lain sampai ke Kartu Indonesia Sehat yang berlaku saat ini. Elisabeth menutup presentasinya dengan pertanyaan untuk JKN yaitu Bagaimana untuk menyeimbangkan kebutuhan lokal dan ketertarikan serta efisiensi nasional? Juga bagaimana secara terstruktur meningkatkan keadilan dan sustainabilitas dari JKN itu sendiri?

Pemateri berikutnya adalah Dr. Chazali Situmorang yang adalah mantan kepala DJSN dan saat ini menjabat sebagai Kepala Social Security Development Institute dan juga dosen di Universitas Negeri Jakarta. Selain mengulang sedikit sejarah yang tadi telah dikemukakan, Chazali lebih menekankan di dinamika perjalanan BPJS. UU BPJS terbit setelah digodok selama 7 tahun (2004 – 2011), hal ini menunjukkan saat itu komitmen politik yang masih lemah serta karena melibatkan banyak kementrian.

RUU BPJS itu sendiri tidak terlepas dari tekanan organisasi buruh. Proses pembentukan PP dan Perpres pun tidak kalah alotnya karena beragam kepentingan dan persepsi yang masih belum sama. Sampai akhirnya BPJS secara formal mulai berjalan 1 Januari 2014. Masalah yang masih terkait BPJS antara lain: persoalan tarif, defisit BPJS sejak tahun pertama hingga saat ini, pola distribusi faskes dan penyediaan tenaga, proporsi katastropik yang menggerus BPJS, dan masih banyak lagi.

Pemateri terakhir adalah Dr Chriswardani Suryawati, M. Kes. Secara garis besar, Chris juga menyingung tentang revolusi dari asuransi kesehatan di Indonesia baik itu dari sejarah pembentukan, maupun revolusi bentuk lembaga pelaksana mulai dari badan menjadi biro lalu perusahaan umum sampai menjadi persero. Dalam presenatasinya Chris menekankan pada budaya bangsa Indonesia yang ‘Jimpitan’ yaitu gotong royong saling membantu, terbukti dari penggunaan ‘dana sehat’ dalam lingkup masyarakat itu sudah umum dipakai. Begitupun prinsip dari asuransi sosial kesehatan, Chris menambahkan tentang sejarah munculnya Jamkesda yaitu karena munculnya otonomi daerah yang menuntut penyebaran keadilan. Lalu ada Jampersal, Jamkesmas dan JPKN. Inti dari materi Chris adalah penekanan bahwa Indonesia tidak memulai JKN dari Nol. Ada proses panjang yang telah dilalui, dan juga sejarah ini bisa dipakai untuk pembelajaran ke depannya.

Session II: Present JKN

Sesi kedua membahas Pelaksanaan JKN Saat Ini. Sesi ini diawali oleh presentasi dari dr. Andi Afdhal, MM selaku Deputi Direktur Penelitian dan Pengembangan dari BPJS KEsehatan. Andi menampilkan grafik dari utilisasi JKN saat ini. Sudah banyak sekali peningkatan dari penggunaan JKN. Saat ini setiap hari ada sekitar 640 ribu kunjungan ke faskes yang menggunakan JKN. Dari penelitian mereka juga didapatkan bahwa JKN mengurangi kesenjangan kesehatan dan meingkatkan indeks kepuasaan pemakai. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi masalah yang lain yaitu ageing population, pola penyakit yang mulai bergeser, serta kontribusi dari peserta mandiri yang belum mencapai target. Oleh karena itu, Andimengharapkan penelitian tentang JKN ini sendiri untuk terus diperkuat guna mencapai tujuan dari JKN itu sendiri. Presentasi berikutnya oleh drg. Agnes Pratiwi, MPH yang menyampaikan hasil penelitian timnya bertema Supply side dan Proteksi Keuangan di Indonesia pada Era JKN di Tahun 2012 – 2017. Kesimpulan dari penelitian ini adalah cakupan dari asuransi kesehatan nasional tidak memberi banyak keuntungan pada keluarga yang tinggal di daerah miskin Indonesia, dimana pelayanan sangat terbatas. Oleh karena itu, peningkatan akses dibutuhkan di sini.

Penyampaian selanjutnya dari Prof. Laksono Trisnantoro yang merupakan ahli di bidang kebijakan kesehatan di UGM. Prof Laksono menyampaikan hasil penelitian untuk evaluasi JKN dengan pendekatan Realist Evaluation (RE), yang mengambil tiga tema besar yaitu: Equity, Governance dan Quality. Laksono menekankan bahwa pendekatan RE ini digunakan lebih untuk melihat konteks dan eksistensi atau ontological depth dari JKN itu sendiri. RE melihat segala sesuatu melalui kerangka berpikir konteks, mekanisme dan outcome. Pada penelitian yang sudah dilaksanakan di 7 provinsi di Indonesia itu sendiri, terlihat bahwa utilisasi JKN di provinsi Indonesia timur, misalnya NTT masih sangat kurang. Konteks masalah kesehatan di NTT belum sepenuhnya terpenuhi di sini, jika dibandingkan dengan pelaksanaan JKN di DIY. Kesimpulannya target road map dari JKN belum tercapai secara maksimal. Sesi ini ditutup oleh Professor Menno Pradhan dari Virje Universiteit yang menyimpulkan bahwa paket keuntungan yang ditawarkan BPJS sudah cukup kuat. Masih ada tantangan untuk meningkatkan pelaksanaan JKN terutama dimulai dari level bawah, agar seluruh masyarakat dapat menikmati keuntungan dari paket JKN itu sendiri.

Reporter: Sandra Frans (PKMK UGM)

Link terkait:

 

Kesimpulan Buku

22 April 2019

Pada 2015 dunia menghabiskan 7,3 triliun USD untuk kesehatan, hampir 10% dari PDB global. Pengeluaran kesehatan tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pengeluaran kesehatan rata-rata per kapita adalah 1.011 USD. Setengah dari negara di dunia membelanjakan kurang dari 366 USD per orang.

Secara keseluruhan, sistem pembiayaan kesehatan di seluruh dunia berubah menjadi lebih tergantung pada cara prabayar wajib dan gabungan, meskipun terdapat berbagai variasi substansial antar negara. Gambaran umum menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan meningkat secara absolut dan juga meningkat sebagai bagian dari total pengeluaran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan telah menjadi prioritas pemerintah yang lebih besar dari waktu ke waktu. Banyak negara menyalurkan anggaran ke agen pembelian layanan kesehatan seperti dana asuransi kesehatan sosial. Pengeluaran kesehatan out of pocket meningkat secara absolut, tetapi relatif menurun sebagai bagian dari total pengeluaran kesehatan saat ini.

Pendanaan eksternal untuk kesehatan mewakili kurang dari 0,3% dari pengeluaran global. Namun, di negara-negara berpenghasilan rendah, pendanaan eksternal terhitung sekitar 33% pengeluaran kesehatan saat ini rata-rata, dan meningkat dari waktu ke waktu secara absolut. Pada saat yang sama, kapasitas fiskal pemerintah juga meningkat. Namun peningkatan kapasitas fiskal belum diterjemahkan ke dalam peningkatan pengeluaran kesehatan pemerintah. Sebaliknya, peningkatan pengeluaran donor tampaknya memiliki efek crowding-out, yang menyebabkan pemerintah mengalokasikan kembali pengeluaran domestik mereka ke sektor lain.

Pola dan tren dari Data Dasar, menyoroti isu-isu utama yang menjadi perhatian berbagai negaradan lembaga internasional. Sebagai alat pemantauan, Data Dasar mendukung pelacakan pola-pola ini dari waktu ke waktu, dan dapat memberikan pemicu untuk penyelidikan lebih dalam. Diperlukan pendekatan yang lebih mendalam (melampaui efek pengelolaan database global) untuk masuk ke dalam analisis spesifik negara. Ada berbagai isu yang perlu dibahas di dalam suatu negara:

  • Seberapa banyak peningkatan pengeluaran kesehatan disebabkan oleh kenaikan biaya untuk:(1) memproduksi jenis dan jumlah layanan yang sama, atau (2) berapa banyak yang disebabkan oleh peningkatan dan perubahan kebutuhan dan permintaan layanan?
  • Apa saja dampak pertumbuhan pengeluaran kesehatan pada rumah tangga, pemerintah, pasar tenaga kerja dan struktur ekonomi nasional?
  • Apakah penyaluran anggaran pemerintah kepada lembaga asuransi kesehatan sosial untuk tujuan memperluas cakupan ke populasi yang sebelumnya tidak terlayani atau apakah mengkonsentrasikan lebih banyak sumber daya dan layanan bagi mereka yang sudah memiliki akses yang baik?
  • Bagaimana membuat bantuan dari luar negeri lebih efektif: menargetkan program penyakit khusus, apakah sistem kesehatan keseluruhan atau barang publik global?
  • Berapa banyak yang dibutuhkan untuk memperkuat fondasi dan lembaga sistem kesehatan? Negara mana yang paling membutuhkan?
  • Bagaimana mencegah bantuan eksternal mengurangi pendanaan domestik yang perlu diinvestasikan pemerintah dalam bidang kesehatan, dan apakah beberapa cara menyalurkan bantuan terbukti kurang tunduk pada kesepadanan?

Tidak diragukan lagi, hal-hal di atashanya beberapa pertanyaan yang mungkin muncul dari analisis kami terhadap data pengeluaran kesehatan.

Prioritas masa depan

Sebagai kepentingan publik global, penelusuran pengeluaran kesehatan (Database Pengeluaran Kesehatan Global WHO) bertujuan untuk menyediakan data yang akurat, tepat waktu, dan kompatibel untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik di tingkat nasional, regional dan global, dan untuk meningkatkan transparansi serta akuntabilitas lokal, nasional, dan internasional dan tata kelola global. Pengalaman masa lalu telah dengan jelas menunjukkan bahwa: sistem informasi nasional yang berkembang dengan baik adalah fondasi untuk data kesehatan yang akurat, termasuk data pengeluaran kesehatan; memanfaatkan data untuk pembuatan kebijakan adalah kunci untuk pengumpulan data pengeluaran kesehatan rutin dan untuk meningkatkan kualitas data. Pengalaman menunjukkan bahwa strategi berikut untuk meningkatkan kualitas dan penggunaan data patut dipertimbangkan:

  • Terlibat aktif dalam memperkuat sistem informasi pengeluaran kesehatan nasional, termasuk pelaporan rutin dan pengumpulan data survei.
  • Memanfaatkan sepenuhnya sistem pelaporan data rutin dan survei sampel di negara ini sehingga sebagian besar kategori pengeluaran (seperti belanja publik dan informasi berbasis fasilitas) dapat dikumpulkan setiap tahun, dan estimasi berdasarkan survei (seperti untuk pengeluaran pribadi dan penyakit) / pengeluaran program) dapat diperbarui secara berkala.
  • Menciptakan siklus yang baik, yang menghubungkan pengumpulan data pengeluaran kesehatan dengan pengembangan kebijakan dan pekerjaan analitis di tingkat negara.

Selain perubahan proses ini, pekerjaan dalam menyusun Database Pengeluaran Kesehatan Global baru telah membantu mengidentifikasi bidang-bidang khusus untuk mendapat perhatian yang harus menjadi prioritas ke depan, karena relevansi kebijakan mereka, kelemahan yang diamati dalam data yang tersedia, dan potensi untuk melakukan sesuatu tentang hal itu melalui upaya bersama. Ini dirangkum di sini.

Memisahkan komponen modal dari total pengeluaran. Secara historis, pengelolaan data pengeluaran kesehatan oleh Database Pengeluaran Kesehatan Global tidak memisahkan modal dari pengeluaran operasional, dan tanpa data baru untuk semua negara dan tahun. Tidak ada dasar yang jelas untuk membuat estimasi tentang, misalnya, pengeluaran modal di negara tertentu pada tahun tertentu. Sementara estimasi lebih layak untuk mengisi kesenjangan dalam data pengeluaran saat ini. Ini berarti ruang lingkup kesalahan dalam memperkirakan modal menjadi jauh lebih besar. Akibatnya, rilis Database Pengeluaran Kesehatan Global 2017 memiliki banyak “kekurangan” dalam hal belanja modal.

Ke depan, membutuhkan adanya pertanyaan khusus tentang pengeluaran modal di setiap negara yang datanya saat ini tidak dilaporkan. Untuk mendapatkan data tentang sumber-sumber pengeluaran modal publik dan eksternal, membutuhkan:

  • keterlibatan erat dengan otoritas keuangan dan kesehatan nasional,
  • pengetahuan yang lebih dalam para ahli nasional dan internasional tentang sistem pelaporan data keuangan negara-negara tertentu (seperti untuk Program Investasi Publik di mana ini diberlakukan) dan
  • kerjasama yang lebih erat dengan lembaga internasional lainnya.

Mungkin juga dibutuhkan ruang bagi komunitas peneliti untuk setidaknya menggali potensi untuk mengembangkan metodologi estimasi untuk datatahun yang kurang.

Mengindentifikasi sumber pendapatan eksternal pengeluaran kesehatan.

Pergeseran ke SHA-2 tidak dengan sendirinya mengubah kesulitan untuk mendapatkan data rutin tentang semua pengeluaran yang bersumber dari luar negeri (sumber eksternal) di suatu negara untuk tahun tertentu. Upaya dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pengeluaran dari sumber eksternal melalui proses pengumpulan data. Dalam berbagai kasus, ternyata informasi tidak lengkap dan perlu mempertimbangkan penggunaan sumber data internasional. Upaya lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan kelengkapan informasi tentang arus masuk eksternal, untuk memisahkan pengeluaran aktual dari komitmen, dan untuk menggambarkan saluran dimana bantuan eksternal mengalir ke modal dan pengeluaran kesehatan saat ini. Juga yang bagaimana mengalir melalui pemerintah, LSM dan pengaturan pembiayaan swasta. Meskipun tidak akan pernah sempurna, menargetkan sumber daya untuk upaya pengumpulan data di negara-negara yang menerima bantuan pembangunan dalam jumlah besar, dengan upaya gabungan dari negara-negara tersebut dan donor yang menyediakan dana, dapat sangat memperbaiki situasi. Upaya lebih lanjut untuk mengekstraksi data yang lebih relevan dan andal dari OECD-DAC juga terbukti bermanfaat.

Mengurai sumber domestik asuransi kesehatan sosial.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa banyak negara menyalurkan anggaran pemerintah kepada lembaga asuransi kesehatan, seperti dana asuransi kesehatan sosial. Sumber utama informasi ini adalah laporan tahunan organisasi yang menyelenggarakan asuransi kesehatan sosoial. Selain itu, laporan transfer ke lembaga asuransi kesehatan sosial biasanya muncul dalam anggaran pemerintah. Jika tidak ada laporan rutin seperti itu, informasi tentang hal ini diperkirakan berdasarkan berbagai sumber serta pengetahuan ahli tentang pengaturan khusus dari negara-negara tertentu. Selain itu, masih ada ruang untuk meningkatkan keakuratan dan kelengkapan informasi ini melalui pemeriksaan silang, dan khususnya dengan mengajukan pertanyaan yang ditargetkan kepada lembaga yang tepat dan memperoleh sumber data yang tersedia untuk umum. Ini membutuhkan keterlibatan erat dari mereka yang melaksanakan proses pengumpulan data dengan komunitas pembiayaan kesehatan yang aktif di negara tersebut.

Mencirikan pengaturan pembiayaan kesehatan dengan benar.

Klasifikasi pembiayaan kesehatan yang benar dalam kerangka SHA-2 membutuhkan pengetahuan tentang pengaturan pembiayaan kesehatan suatu negara dan SHA-2. Pengetahuan ini biasanya terletak pada orang-orang yang terlibat dengan kebijakan pembiayaan kesehatan di negara tersebut dan dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan, misalnya, sifat hak atau apakah suatu pengaturan bersifat wajib atau sukarela. Dalam beberapa kasus, pengetahuan ini tidak terletak pada individu yang secara historis bertanggung jawab untuk melaporkan data pengeluaran kesehatan ke WHO.

Ke depan, penting untuk meningkatkan keterampilan dan latar belakang pelaporan pengeluaran kesehatan dengan memanfaatkan lebih banyak keahlian kebijakan pembiayaan kesehatan, di tingkat nasional maupun internasional. Arah yang bermanfaat untuk meningkatkan pengumpulan dataadalah untuk “menerjemahkan” klasifikasi menjadi pengelompokan yang akan diakui di negara tertentu, menggunakan terminologi dan nama agensi yang ada di negara itu. Tim pembiayaan kesehatan di enam kantor regional WHO (dan kantor sub-regional, seperti dalam kasus Wilayah Afrika) berada dalam posisi yang baik untuk mengambil peran ini, meskipun mereka perlu sumber daya yang tepat untuk tujuan ini. Selain itu, kolaborasi dengan pakar pembiayaan kesehatan dari lembaga mitra dengan staf yang aktif di negara tertentu, atau bekerja sama dengan jaringan (seperti P4H), akademisi, dan LSM, akan sangat berharga untuk upaya ini ke depan.

Mengingat pentingnya data pengeluaran kesehatan yang dapat dibandingkan secara internasional dan perannya sebagai barang publik global, terdapat kepentingan bersama untuk memastikan bahwa itu berkualitas tinggi dan ditafsirkan secara konsisten. Pada gilirannya, upaya kolektif yang terkoordinasi dengan baik – termasuk pembuatan data, pelaporan, dan pemeriksaan – diperlukan untuk memungkinkan peningkatan pada tahun– tahun mendatang, dan untuk memberikan landasan teknis yang kuat untuk analisis dan pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan untuk bergerak menuju UHC.

Di tingkat global, WHO akan terus mengumpulkan dan menerbitkan data pengeluaran kesehatan. Kami berkomitmen untuk bekerja erat dengan para ahli dan mitra global, regional dan lokal untuk menyempurnakan pedoman pelaksanaan, dan untuk mengeksplorasi dan meneliti cara pengumpulan data yang lebih baik. Kami juga akan memainkan peran pertemuan untuk berkoordinasi dengan mitra dalam membangun kapasitas negara dan dukungan teknis untuk pengumpulan data, analisis dan penggunaan data pengeluaran kesehatan untuk meningkatkan kebijakan kesehatan, mendukung pemantauan implementasi, dan mendorong pembiayaan kesehatan dan agenda penelitian reformasi sistem.

Link Terkait:

 

 

Pesan – Pesan Utama Dalam Buku

22 April 2019

Laporan ini didasarkan pada Database Pengeluaran Kesehatan Global WHO untuk 2000-2015. Ada berbagai kelebihan kerangka klasifikasi pengeluaran kesehatan baru yang mengungkapkan wawasan baru ke dalam pola dan tren pengeluaran kesehatan global di laporan ini.

 

 

 

 

 

1. “Ekonomi kesehatan” tumbuh lebih cepat daripada ekonomi global, tetapi pengeluarannya tidak merata.

  • Pada 2015, sistem kesehatan dunia membelanjakan 7,3 triliun, mewakili hampir 10% dari PDB global. Antara 2000 dan 2015, tingkat pertumbuhan tahunan dalam pengeluaran kesehatan adalah 4% sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi adalah 2,8% .
  • Pengeluaran kesehatan di seluruh dunia masih tidak setara: lebih dari 80% populasi dunia tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tetapi hanya menyumbang sekitar 20% dari pengeluaran kesehatan global.
  • Pengeluaran kesehatan rata-rata global per kapita adalah 1.011 USD, tetapi separuh negara di dunia menghabiskan di bawah 366 USD per kapita. Pada 2015, hampir 50 negara dengan populasi 2,7 miliar membelanjakan kurang dari 100 USD per kapita untuk kesehatan.

2. Pembiayaan publik (pemerintah) domestik adalah sumber utama pengeluaran kesehatan.

  • Sejak 2000 hingga 2015, pendanaan domestik pemerintah sebagai bagian dari pengeluaran kesehatan meningkat dari 66% menjadi 70% di negara-negara berpenghasilan tinggi; meningkat dari 48% menjadi 51% di negara-negara berpenghasilan menengah; tapi turun dari 30% menjadi 22% di negara-negara berpenghasilan rendah.
  • Sementara itu, sebagian besar negara dengan kebijakan asuransi kesehatan sosial mendanai pengeluaran kesehatan dari campuran kontribusi pengusaha serta karyawan tradisional, dan transfer dari pemerintah.

3. Bantuan pembangunan di bidang kesehatan dari luar negeri kecil dibandingkan dengan pengeluaran kesehatan secara keseluruhan. Tetapi tetap penting untuk negara-negara berpenghasilan rendah.

  • Bantuan pembangunan dari luar negeri untuk kesehatan pada 2015 melebihi 19 miliar USD, atau kurang dari 0,3% dari pengeluaran kesehatan global. Besaran rata-rata sumber daya eksternal dalam pengeluaran kesehatan di 31 negara berpenghasilan rendah, melebihi 30% pada 2015.
  • Sumber daya eksternal sebagai persentase pengeluaran kesehatan meningkat selama 15 tahun terakhir sementara komponen pengeluaran pemerintah justru menurun di negara-negara berpenghasilan rendah.

4. Pembiayaan kesehatan meningkat untuk meningkatkan akses ke layanan dan perlindungan keuangan.

  • Ada hubungan kuat antara meningkatnya pendanaan publik dan berkurangnya ketergantungan sistem pada pembayaran langsung dari kantong sendiri (out of pocket).
  • Pada 2015 dibandingkan dengan 2000, ada 1 miliar lebih sedikit orang yang tinggal di negara-negara dimana pengeluaran outofpocketmelebihi 50% dari pengeluaran kesehatan.

5. Data pengeluaran kesehatan global diakui sebagai barang publik yang berharga.

  • Data ini dapat mendukung dialog kebijakan dan pengembangan kebijakan.
  • Data ini dapat berkontribusi pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas untuk pengeluaran kesehatan di tingkat global, regional, nasional dan sub-nasional.

 

Link Terkait

{jcomments on}