Reportase Hari Kedua Sesi Siang
Kamis, 8 November 2018
Sesi Keynote Speech Desain Advokasi Kebijakan Kesehatan
Shita Listya Dewi, PhD sebagai moderator membuka sesi Keynote Speech tentang desain Advokasi Kebijakan kesehatan dengan mengundang Assoc. Prof Sauwakon Ratanawijitrasin, PhD, dari Mahidol University. Prof Saukawon menyampaikan bahwa untuk menuju Universal Health Coverage (UHC) memerlukan waktu yang lama. Skema UHC tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan jumlah peserta, namun dampak dari skema tersebut harus menjamin bahwa penduduk yang sakit/sehat mendapatkan layanan kesehatan ketika diperlukan. Kebijakan UHC memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kemampuan fiskal negara, dimana ketika suatu negara memiliki kemampuan ekonomi yang baik maka negara tersebut dapat mengembangkan paket manfaat. Kita harus melihat sejarah tentang UHC yang menjelaskan dimana Jerman memerlukan waktu hampir seratus tahun dan baru dapat mengembangkan paket manfaat yang diberikan. Jerman telah memiliki kemampuan ekonomi yang baik sehingga dapat melakukan perluasan manfaat dan menghitung cut cost “nilai ambang batas untuk penjaminan”.
Mandat kebijakan pemerintah yang kuat sangat mempengaruhi pencapaian UHC, seperti di Thailand, Thaksin Sinawatra (perdana menteri saat itu) memiliki kekuasaan yang sangat besar dan UHC dapat berhasil dicapai pada 2002. Pemimpin yang kuat ini berhasil membuat percepatan UHC di berbagai daerah di Thailand, bahkan pemimpin daerah berkomitmen untuk mencapai target UHC sebelum waktu yang ditentukan. Namun pencapaian tersebut memang tidak mudah dan beberapa ekspektasi keberhasilan tidak terpenuhi dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan UHC/JKN ini adalah kebijakan publik yang mendapatkan tekanan dari berbagai kepentingan dan wewenang. Prof Sauwakon mengilustrasikan seorang pria yang berdiri di perempatan jalan dan banyak mobil yang lewat, pria tersebut adalah kebijakan publik.
Faktor politik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan publik sehingga diperlukan advokasi kebijakan yang cukup terencana, Advokasi kebijakan membutuhkan keahlian untuk mengindentifikasi pemangku kepentingan maupun aktor politik dari masing-masing kebijakan yang disasar. Advokasi kebijakan yang dijalankan harus berdasarkan desain advokasi dan tidak boleh secara kebetulan. Advokasi kebijakan harus dilakukan suatu jaringan karena tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang saja.
Materi Keynotes dapat di akses pada link berikut
Reporter: Relmbus Biljers (PKMK UGM)
Analisis dan Advokasi Kebijakan JKN di Level Nasional
Sesi pleno yang berbentuk talkshow kali ini terbagi menjadi dua sesi, yaitu sesi 1 dengan judul Draft Awal Analisis Kebijakan JKN: Apakah Memerlukan Revisi UU SJSN dan UU BPJS? serta sesi 2 dengan judul Advokasi Kebijakan Level Nasional dan Daerah. Sesi pleno dimoderatori oleh Dr. dr. Andreasta Meliala , DPH. M.Kes, MAS dengan pembicara utama yaitu Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD serta pembahas dari beberapa institusi terkait.
Diawali dengan paparan Prof. Laksono mengenai draft analisis kebijakan di level pusat, yang dimulai dari proses kebijakan publik, peran analisis kebijakan, langkah-langkah analisis dan draft sementara. Hal menarik dari proses ini adalah saat penentuan kriteria dimana antara analis kebijakan dan pemerintah memiliki ideologi masing-masing. Laksono menyampaikan bahwa kesimpulan masalah kebijakan ada dua yaitu: 1) asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan tujuan UU SJSN dan UU BPJS menjadi masalah utama pelaksanaan kebijakan JKN dan, 2) efektivitas pemberian pelayanan JKN dalam kaitan mutu pelayanan masih dipertanyakan. Salah satu opsi kebijakan adalah merevisi UU SJSN dan UU BPJS terkait permasalahan sifat BPJS yang single pool.
Paparan Prof Laksono ini kemudian ditanggapi oleh para pembahas yaitu Aditya Syarif dari Kantor Staf Presiden, John Langenbrunner dari BANTU-USAID dan Elizabeth dari Ternyata Ltd. John menyarankan agar BPJS, Kementerian Kesehatan serta para akademisi bekerjasama untuk merumuskan model purchasing yang terbaik. Banyak pilot project yang sudah dikerjakan oleh berbagai universitas termasuk UGM yang dapat dikemas menjadi evidence untuk bahan advokasi.
John mengatakan bahwa disparitas yang tinggi di Indonesia menyebabkan BPJS tidak berjalan baik di beberapa daerah. Elizabeth Pisani menambahkan bahwa selama ini ia melihat adanya perbedaanantara UU yang ada dengan implementasi. Elizabeth mengingatkan bahwa tidak semua uji coba yang dilakukan di tingkat daerah cocok danbisaditerapkan secara nasional. Kebijakan berbasis bukti yang ditujukan untuk policy makers adalah yang berbasis ilmu dan kuantitatif. Prof. Laksono menjelaskan bahwa analisis dengan realist evaluation ini berbasis demografis yang dapat mengantisipasi disparitas yang besar di Indonesia.
Pada sesi kedua, Laksono mempresentasikan rencana advokasi kebijakan untuk mendorong perbaikan kebijakan JKN. Terdapat tiga pendekatan advokasi yang dilakukan JKKI yaitu direct persuasion, building support dan kolaborasi. Sebagai catatan, universitas-universitas yang tergabung dalam JKKI memiliki keterbatasan dalam advokasi sehingga diperlukan kerjasama dengan kelompok LSM, organisasi profesi serta perhimpunan lembaga pelayanan kesehatan.
Menanggapi presentasi Prof. Laksono, drg. Doni Arianto, MKM dari P2JK Kementerian Kesehatan mengakui bahwa regulasi sering berubah karena proses pembuatan kebijakan yang tidak mudah. Mengenai perubahan UU SJSN dan UU BPJS sampai saat ini belum ada pembicaraan di tingkat Kementerian Kesehatan, tetapi upaya harmonisasi antar regulasi sudah dilakukan salah satunya agar regulasi di pusat dan di daerah tidak tumpang tindih atau tidak sejalan, yang menyebabkan perbedaan dalam implementasi. Hasil kajian yang sudah dilakukan berbagai lembaga memang nyata adanya tetapi Doni mengatakan banyak hal yang akhirnya terbentur dengan regulasi. Saat ini Kementerian Keuangan masih melakukan proses audit kepada BPJS.
Di sisi lain, dr. James Allan Rarung, Sp.OG, MM selaku Ketua Umum Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu merasa ada ketidak jujuran dari pemerintah yang sebetulnya pemerintah sendiri belum mampu menjalankan SJSN. James mengatakan banyak peraturan tumpang tindih dan tidak jelas. Adanya regulasi yang menyebutkan bahwa BPJS berada di bawah presiden secara langsung menyebabkan kekacauan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan. Peraturan yang tidak jelas terhadap peserta yang tidak membayar iuran, serta sistem yang pada akhirnya dana untuk orang miskin jadi digunakan untuk membantu yang kaya juga dianggap tidak tepat. James dan Laksono beranggapan bahwa orang-orang kaya tidak bisa dipaksakan untuk menjadi peserta JKN. Sifat masyarakat kita yang heterogen menyebabkan seharusnya masyarakat bisa memilih apakah menjadi peserta JKN atau asuransi kesehatan lainnya.
Penulis: Novika Handayani (PKMK UGM)
Keynote speech: Arah Kebijakan Pemerintah untuk JKN Pasca 5 Tahun Pelaksanaan (2019 – dan seterusnya)
Forum Nasional VIII bertempat di Auditorium Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, sesi kali ini dengan pembicara dr. Donald Pardede, MPPM yang menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan Kementerian kesehatan RI. Moderator kali ini Dr. dr. Deni Sunjaya, DES dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Sesi kali ini membahas arah kebijakan pemerintah untuk JKN 5 tahun pelaksanaan. Donald Pardede menyatakan bahwa kita selalu berdiskusi tentang JKN. Dalam perjalanannnya, bahwa sistem JKN harus dirapikan, pada tingkatan mana yang akan diperbaiki? Yaitu pada kebijakan strategis, kebijakan manjerial, kebijakan teknis operasional. Harus membutuhkan evidence untuk melihat, hal yang sudah positif maka ditingkatkan dan yang negatif harus diperbaiki.
Bagaimana menjalankan JKN dengan prinsip sosial harus sesuai dengan tujuan, kepeserataan masyarakat harus dilihat dengan hati – hati, pada kelompok mana masyarakat mengikuti JKN. Saat ini konteks mana kita sudah mencapai tujuan dan bisa meningkatkan untuk ke depannya. Namun harus diperlukan evaluasi yang komprehensif untuk JKN. Donald Pardede menegaskan bahwa dengan JKN demand health care meningkat, akses kesehatan juga meningkat, berarti ada yang menolong bagi publik, juga fasilitas publik meningkat. Semua fasilitas kesehatan berusaha menyambut JKN dengan meyiapkan fasilitas, dengan adanya JKN sebagian fasilitas memiliki kepastian bayar. Juga terjadi peningkatan mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan.
Hal yang menjadi tantangan adalah karena peserta mengalami peningkatan dan tidak diiringi dengan penambahan fasilitas kesehatan maka mutu pelayanan kesehatan menjadi tantangan. Mestinya penggalangan kontribusi menjadi yang utama, faktanya kontribusi terbesar terhadap JKN adalah dari pemerintah. Terjadi sharing pada kelompok PBI dengan PBPU. Karena pada PBI risikonya kecil sedangkan PBPU risikonya besar dengan pemasukan yang kecil. Donald Pardede menyampaikan bahwa negara ini memliih asuransi sosial, namun tidak siap dengan asuransi sosial. Harus diuji kembali, apakah sudah baik pengendali – pengendalian yang dilakukan?
JKN sebagai suatu pilihan, membutuhkan empirical evidence. Apa yang positif harus diidentifikasi harus dipertahankan, yang negatif harus dicarikan solusinya. Pada tingkat mana yang harus diperbaiki. Tata kelola JKN harus diperbaiki. Donald Pardede menyampaikan Architecture of strategic Purchasing Issues yaitu Benefit JKN including Formularies, Price setting, Credentialing, contracting & recredentialing, Provider payment, URM including medical audit, Cost contaiments policy, Anti fraud policy. Pada akhir pemaparan, Donald Pardede mengatakan bahwa berbagai pekerjaan rumah yang ada harus dicermati dan dilakukan dengan baik. Perlu adanya masukan dan sinergi dari berbagai pihak untuk keberlanjutan JKN.
materi keynotes speech dapat disimak pada link berikut
Husniawan Prasetyo (PKMK UGM)
Sesi Kesimpulan Seminar / Penutupan
Prof Laksono menutup rangkaian acara Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan VIII dengan membahas prinsip penggunaan bukti yang bermutu secara lebih baik dalam penyusunan kebijakan di sektor kesehatan. Prinsip pertama yaitu komunikasi riset kebijakan yang lebih bermutu dan efektif. Forum ini menyampaikan bukti – bukti dampak dari suatu kebijakan dengan pendekatan mix method berbasis riset independen. Riset kebijakan ini diselenggarakan di 10 provinsi untuk melihat bukti capaian 8 sasaran peta jalan JKN menggunakan metode realist evaluation. Penelitian ini merupakan bentuk komunikasi riset kebijakan dari UGM dan perguruan tinggi lainnya yang dimulai pada 2018 hingga 2019. Prinsip kedua yaitu pembelanjaan untuk riset kebijakan kesehatan yang lebih banyak dan lebih baik. Kebijakan yang telah menggunakan dana sebesar 200 Trilyun namun dana untuk riset kebijakan JKN masih sangat kecil. Dewan Jaminan Sosial Nasional selaku lembaga yang ditunjuk untuk melakukan monitoring dan evaluasi program JKN tidak memiliki dana riset evaluasi. BPJS Kesehatan selaku penyelenggara program JKN memiliki dana untuk evaluasi, namun bukan lembaga independen. Sehingga riset tersebut tidak dapat dikatakan komprehensif. Prinsip ketiga yaitu data dan informasi yang lebih baik pengelolaan ketersediaannya dan dapat diterima. Harapannya terdapat akses data BPJS Kesehatan baik level nasional, provinsi maupun kabupaten/kota berdasarkan Pasal 86 Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Penelitian evaluasi kebijakan akan dilakukan selama 2 tahun berjalan (2018 – 2019). Dana riset berasal dari UGM dan Perguruan Tinggi lainnya. Kesempatan untuk bergabung dengan riset evaluasi JKN masih terbuka. Keuntungan bagi perguruan tinggi yang bergabung yaitu dapat menerbitkan paper maupun buku terkait evaluasi JKN di provinsi masing-masing. Analisis dan advokasi kebijakan akan dimulai pada 2019. UGM membuka diri bagi semua LSM maupun perhimpunan profesi untuk menggunakan data dan informasi dari penelitian ini dalam melakukan advokasi kebijakan yang harapannya dapat mempengaruhi pemikiran level pusat.
Sebelumnya, pembagian award kepada best poster dan best oral presentation mengawali penutupan rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan VIII. Best poster pertama diberikan kepada Endra Dwi Mulyanto dari SurveyMETER Yogyakarta dan best poster kedua kepada Rani Tyas Budiyanti dari AKK FKM Universitas Diponegoro. Dwijo Susilo dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI memperoleh best oral presentation pertama dan Radesa Guntur Budipramono dari Pascasarjana Hubungan International Universitas Ritsumeikan, Kyoto, Jepang meraih gelar best oral presentation kedua. Pembagian award diserahkan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc. PhD.
Seluruh informasi terkait riset ini dapat diakses melalui “www.kebijakankesehatanindonesia.com”.
Reporter : Afifah Nasyahta Dila (PKMK UGM)
Reportase Forum Nasional JKKI VIII Hari Pertama
Rabu, 7 November 2018
Pengantar Forum Nasional JKKI VIII
Pada Fornas Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) VIII, Shita Listyadewi, selaku Steering Committee, menyampaikan tahun ini telah dilaksanakan penelitian di 7 daerah dan pada hari ini akan ditampilkan hasil penelitian tersebut. Hal ini dilakukan karena penggunaan bukti yang bermutu dapat digunakan untuk komunikasi riset kebijakan yang bermutu dan efektif, sehingga pembelanjaan untuk riset kebijakan yang lebih baik.
Fornas JKKI VII mengangkat tema “Apakah Kebijakan JKN akan mencapai sasaran di peta jalan?” dengan fokus pembahasan 8 sasaran peta jalan JKN 2012 – 2019. Penting untuk diketahui, apakah kebijakan JKN akan mencapai sasaran di peta jalan dan apakah hasil penelitian mampu memberikan kontribusi terhadap jalannya kebijakan JKN?
Materi pengantar forum nasional dapat di simak pada link berikut
Fornas JKKI VIII pada hari pertama membahas hasil sementara monev JKN dan hari kedua akan membahas analisis kebijakan. Ke depan atau pada 2019 akan dirancang advokasi pada mitra, stakeholder dan media, analisis kebijakan, peningkatan kapasitas untuk advokasi dan melaksanakan advokasi kebijakan dan monitoringnya. Diharapkan setelah kegiatan ini, ada pengembangan kapasitas untuk pengembangan pengetahuan dan bisa hasil penelitian bisa memberikan rekomendasi terhadap kebijakan JKN.
Hasil Sementara Monitoring Evaluasi Kebijakan JKN 2018 Tingkat Nasional
Sebagai pengantar pertemuan, Prof Laksono menyampaikan hasil sementara monitoring evaluasi kebijakan JKN 2018 tingkat nasional. Hasil sementara ini merupakan draft awal hasil penelitian dengan menggunakan metode realist evaluation yang nantinya akan dibahas menggunakan analisis of policy dan analisis for policy. Prof Laksono menyatakan saat ini kita berada di tahun kelima analisis kebijakan, secara alamiah diperlukan proses evaluasi kebijakan setelah 5 tahun. UU SJSN dan UU BPJS disahkan dalam tekanan publik sehingga tidak bisa dikatakan UU tersebut sempurna. Di Vietnam telah dilakukan rerevisi UU setelah 4 tahun sehingga hal tersebut merupakan kewajaran.
Metode penelitian yang digunakan adalah realist evaluation. Ini adalah pendekatan realism. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana pendekatan yang sangat kompleks ini bisa dilihat secara realistis. Realist evaluation dapat menjawab pertanyaan apakah programnya baik, efektif dalam kondisi apa, dan untuk siapa, dalam konteks apa serta bagaimana proses pencapaian keberhasilan bisa berjalan. Realist evaluation juga akan mampu menjawab outcome yang ditimbulkan dari perubahan JKN nantinya.
Target dalam peta jalan JKN dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu tata kelola, pencapaian dan equity, serta kepuasan dan mutu. Hasil sementara monev menunjukkan ada masalah dalam prinsip tata kelola JKN. Beberapa masalah tersebut, diantaranya defisit JKN setiap tahun, regulasi yang begitu banyak namun masih saling silang dan menimbulkan banyak konflik. Selain itu, data masih sangat sulit diakses oleh Kementerian Kesehatan dan DJSN. Hal ini menunjukkan ada fragmentasi tata layanan kesehatan. Akibatnya, sulit dilakukan perencanaan hingga ke tingkat daerah karena perbedaan sistem antara pemerintah dengan BPJS Kesehatan. Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang JKN kemudian disahkan untuk mengurangi fragmentasi ini.
Masalah lain yang timbul adalah keberadaan fasilitas kesehatan yang sangat berbeda. Pertumbuhan rumah sakit dan jumlah dokter didominasi di Jawa. Dari segi mutu layanan, indikator pelayanan belum tercapai dengan baik. Kepuasan layanan pun belum mampu mencapai target dan masih belum diketahui apakah capaian kepuasan ini akan meningkat pada 2018.
Sebagai bentuk tindak lanjut, nantinya data akan terus ditambah dengan melibatkan semua provinsi dan dianalisis menggunakan realist evaluation. Monev kebijakan akan terus dilakukan untuk melihat apakah kebijakan ini berhasil atau belum. Advokasi bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta organisasi terkait yang akan dikerjakan pada Februari – Oktober 2019. Ini merupakan langkah awal dari proses panjang untuk mencapai analisis kebijakan.
Paparan Prof. Laksono dapat disimak pada link berikut
Selanjutnya hasil sementara monitoring evaluasi kebijakan JKN dibahas bersama dalam sesi pembahasan. Pembahas pertama adalah drg. Usman Sumantri, MSc selaku Dewan Jaminan Sosial Nasional melalui relay webinar. drg. Usman menyampaikan hasil penelitian bisa dijadikan masukan dalam 5 tahun peta jalan JKN. Dilihat dari sisi kepesertaan, JKN sudah cukup memadai dilihat dari capaian per tahun. Pada 2014 hingga 2017, capaian target kepesertaan sudah meningkat, namun 2018 capaian ini mulai melambat. Hal ini bukan persoalan BPJS semata melainkan menjadi persoalan bersama. drg Usman juga menambahkan BPJS JKN relatif lebih baik dibandingkan jaminan kesehatan yang diterapkan di Korea Selatan yang sudah puluhan tahun menerapkan JKN. Dari segi infrastruktur provider, kita masih terlalu mengandalkan puskesmas. Selain itu, sistem pembayaran kapitasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sehingga perlu reformasi sistem pembayaran provider.
Pembahas selanjutnya adalah dr. Andi Afdal Abdullah, MBA, AAK selaku Depdir Risbang BPJS Kesehatan Pusat. dr. Andi menyatakan UU merupakan kesepakatan sehingga nanti jika ingin menyasar ke UU harus mencermati kebijakan lain yang terkait. Kajian tentang Health Financing BPJS dan mekanisme single pool dan multipool juga perlu diperdalam, apa kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem jika diimplementasikan di lapangan. Terkait dengan data, dr Andi mengatakan selama ini data yang diminta ke BPJS Kesehatan adalah data mentah. Hal ini akan sangat sulit sehingga biasanya data yang diberikan berupa dummy table. Nantinya BPJS akan memberikan akses data guna keperluan pendidikan dan penelitian. Terkait kebijakan, dr Andi menyatakan tidak mungkin BPJS mengelola segala sesuatu sendiri sehingga membutuhkan banyak pihak untuk melaksanakan kebijakan.
Pembahasan kemudian dilanjutkan oleh Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, PhD, selaku Rektor Universitas Trisakti. Prof Ali Gufron mengatakan isi hasil monitoring evaluasi yang disusun oleh tim peneliti bertentangan dengan BPJS dan yang disampaikan Kementerian Kesehatan. Prof Ali Gufron menambahkan hal ini terjadi karena pendekatan evaluasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dengan tim peneliti berbeda. Evaluasi yang sudah dilakukan tim peneliti berbasis pada apa saja yang ada di WHO. WHO menggunakan 4 pendekatan evaluasi, yaitu kualitas, kepuasan, sustainabilitas dan equity. Hal ini menyebabkan ada perbedaan hasil monitoring evaluasi kebijakan JKN.
Pembahas terakhir adalah Dr. Taufik Hidayat, MM, AAK selaku Ketua Umum PAMJAKI. Secara singkat, Dr. Taufik menjelaskan peran DJSN yang cukup besar untuk memperkuat sistem jaminan kesehatan. Universal Health Coverage tidak bisa bicara hanya mencakup sekian orang saja, tapi juga seluruh fasilitas pelayanan. Ke depan juga perlu ada strategi untuk memperkecil defiasi/pembayaran out of pocket di masyarakat.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi oleh Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes, AAK selaku moderator. Diskusi berlangsung dengan antusiasme tinggi peserta, baik secara langsung maupun melalui relay webinar. Sesi diskusi membahas beberapa hal, terkait konteks budaya dalam prinsip tata kelola, pembiayaan kapitasi dan rujukan berjenjang, kelanjutan roadmap pasca 2019, dampak JKN terhadap pendidikan dokter dan dokter spesialis serta monitoring evaluasi oleh DJSN. Sebagai penutup, Prof Laksono menambahkan UU tetap menjadi objek yang harus dievaluasi, termasuk kaitannya dengan sistem single pool dan multipool yang terlah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, evaluasi kebijakan JKN membutuhkan pandangan independen untuk menemukan ide-ide terbuka dan solusi yang tepat guna memecahkan masalah yang ada.
Reporter: Yuditha Nindya
Sesi Diskusi Hasil Sementara Penelitian
Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia VIII dilanjutkan dengan sesi Diskusi Hasil Sementara Evaluasi JKN Daerah oleh peneliti daerah dari beberapa perguruan tinggi, antara lain dr. Suryani Yuliyanti, M.Kes dari FK Universitas Islam Sultan Agung (Jawa Tengah) dan Yennike Tri H, S.KM., M.Kes dari FKM Universitas Jember (Jawa Timur), Dr. Juanita, SE,M.Kes dari FKM Universitas Sumatera Utara dan Hans Peter Tari Herewila dari NTT. Pembahasan konteks RE di daerah disampaikan oleh Relmbuss Bilijers Fanda MPH. Diskusi dilanjutkan dengan sesi pembahas yang disampaikan oleh Pandu Harimurti dari World Bank dan dr. Donni Hendrawan, MPH dari BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Papua dan Papua Barat.
Hasil penelitian sementara di Jawa Tengah, NTT, Sumatera Utara dan Jawa Timur dapat disimpulkan bahwa implementasi program JKN bervariasi antar daerah. Terutama terkait ketersediaan dan distribusi fasilitas pelayanan kesehatan yang terangkum dalam sasaran 3 dan 4. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara memiliki pertumbuhan RS swasta yang cukup signifikan dibandingkan NTT yang tidak banyak mengalami perubahan setelah era JKN. Sama halnya dengan pertumbuhan dokter spesialis dan subspesialis yang masih terpusat di pulau Jawa dan wilayah perkotaan. Pemerataan paket manfaat medis khususnya yang berkaitan dengan layanan medis spesialis dan subspesialis belum terjadi. RS Rujukan Regional di NTT tidak memiliki layanan kateterisasi jantung, dan hanya memiliki 4 dokter SpJP dari seluruh kabupaten/kota di NTT. Tata kelola program JKN yang terangkum dalam sasaran 1, 5 dan 8 dalam peta jalan JKN tidak banyak variasi antar daerah. Data BPJS Kesehatan masih sulit diakses oleh pemerintah daerah untuk perencanaan anggaran daerah. Peraturan BPJS Kesehatan yang mengalami masalah di lapangan seperti sistem rujukan online dan pelaksanaan KBPK di FKTP. Topik mutu layanan yang terangkum dalam sasaran 6 dan 7 diterjemahkan dalam pelaksanaan kendali mutu kendali biaya, pembayaran kapitasi berbasis komitmen, dan pencegahan kecurangan. Di Jawa Tengah, Sumatera Utara, NTT dan Jawa Timur memiliki hasil yang sama, yaitu belum optimalnya pelaksanaan kebijakan mutu layanan meskipun tim di masing-masing daerah telah terbentuk.
Pemaparan hasil sementara penelitian dilanjutkan dengan pembahasan konteks dan mekanisme menggunakan pendekatan Realist Evaluation. Metode evaluasi ini digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi, bagaimana perubahan terjadi dan siapa yang dipengaruhi perubahan tersebut. Konteks merupakan situasi yang dialami oleh partisipan yang mempengaruhi mekanisme sehingga menyebabkan dampak tertentu terjadi. Mekanisme merupakan pilihan kepercayaan alasan dan ketertarikan serta bersifat tidak dapat dilihat dengan jelas sehingga harus digali melalui wawancara mendalam. Sasaran 1, 5 dan 8 terkait tata kelola sulit dicapai karena adanya kesamaan konteks yaitu belum ada aturan teknis tentang keterbukaan data, baik di daerah yang aktif maupun pasif terhadap akses tersebut. Variasi kebijakan mutu layanan yang terkait dengan sasaran 6 dan 7 dipengaruhi oleh struktur daerah. Pencapaian keadilan sosial yang terangkum dalam sasaran 2, 3 dan 4 tidak dapat dicapai pada 2019 karena perbedaan konteks kondisi perekonomian dan geografis serta kesiapan daerah yang menyebabkan pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan tidak terjadi.
dr. Donni Hendrawan, MPH menyampaikan bahwa sasaran peta jalan JKN merupakan pedoman bagi pemangku kepentingan untuk memahami dan mempersiapkan diri dengan berlakunya JKN dan bagaimana mencapai sasaran tersebut pada 2019. Sasaran peta jalan JKN menggambarkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya perubahan. Namun kelemahannya sasaran peta jalan JKN tidak memiliki indikator yang jelas. Penentuan indikator harus SMART dan sensitif terhadap apa yang akan dinilai.
Pandu Harimurti berpendapat bahwa manfaat yang dapat ditarik dari proses penelitian ini yaitu dengan instrumen yang sama dapat melihat variasi antar daerah dan mampu menangkap apa yang terjadi di daerah karena program ini diimplementasikan dalam konteks desentralisasi. Evaluasi JKN dengan pendekatan realist evaluation merupakan upaya untuk melihat bagaimana program yang menghabiskan sumber daya keuangan namun dokumen yang ada saat ini tidak membantu mengevaluasi kinerja program ini. Roadmap hanya menunjukkan sasaran yang ingin dicapai namun alat ukur dan indikator yang digunakan tidak dijelaskan dalam roadmap. Sehingga penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mendefinisikan indikator sasaran peta jalan tersebut.
silahkan klik untuk membaca hasil penelitian tiap daerah
- dr. Suryani Yuliyanti, M.Kes (Jawa Tengah)
- Hans Peter Tary Herewila (NTT)
- Dr. Juanita, SE, M.Kes (Sumatera Utara)
- Rini Anggraeni, SKM, M.Kes (Sulawesi Selatan)
Reporter: Afifah Nasyahta Dila (PKMK UGM)
Sesi Lanjutan Diskusi Hasil Sementara Evaluasi JKN Tingkat Daerah
Yogyakarta – PKMK. Sesi lanjutan diskusi hasil sementara evaluasi JKN tingkat daerah dalam Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia ini dipandu oleh moderator drg. Puti Aulia Rahma, MPH.,CFE. Dalam sesi ini hadir pula narasumber dan pembahas antara lain Tri Aktariyanti, S.H., M.H (PKMK FK KMK UGM), M. Faozi Kurniawan (Konsultan PKMK FK-KMK UGM), Dr. dr. Irmansyah, Sp.Kj (Kepala Puslitbang dan Yankes Kemenkes), dan dr. Krishnajaya, MS (Ketua Adinkes). Selain itu terdapat pula narasumber yang mengikuti via webinar yaitu Rini Anggraeni, SKM.,M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin), dan Jon Hendri Nurdan, S.E., M.Kes (Stikes Tri Mandiri Sakti).
Sesi ini membahas hasil temuan sementara penelitian realist evaluation capaian sasaran peta jalan JKN di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi Sulawesi Selatan, dan provinsi Bengkulu. Hasil temuan sementara provinsi DI Yogyakarta disampaikan oleh Tri Aktariyanti. Pada kesempatan ini Tri menyampaikan bahwa secara umum capaian delapan peta sasaran JKN di DI Yogyakarta sudah membaik namun dalam tata kelola masih terdapat hambatan terkait akses data di BPJS Kesehatan. Sementara itu, hasil capaian peta jalan JKN di provinsi Sulawesi Selatan yang disampaikan oleh Rini Anggraeni juga mendapatkan kondisi yang hampir sama namun dalam penerapan PMK No 36 Tahun 2015 tidak berjalan dan provider kesulitan dalam penerapan Kebijakan Pembayarakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan. Selain itu, hasil capain peta jalan JKN di provinsi Bengkulu yang disampaikan Jon Hendri lebih memprihatinkan karena pertumbuhan rumah sakit sangat kontras gap-nya dengan kedua daerah tadi dan rujukan online memberatkan rumah sakit tipe B”, papar Jon.
Dalam sesi ini juga dipaparkan metodologi penelitian evaluasi JKN yang disampaikan oleh Faozi Kurniawan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan realist evaluation yang menekankan pada context-mecanism-outcome yaitu apa yang berhasil, dalam kondisi apa, untuk siapa dan bagaimana prosesnya. Lebih lanjut Faozi memaparkan bahwa apa yang disampaikan oleh masing-masing daerah tadi merupakan outcome yang didapat, namun jika dilihat dari konteks dan mekanisme yang terjadi di masing – masing daerah, terlihat sangat jelas perbedaan antara provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan provinsi Bengkulu.
Hasil penelitian ini ditelaah oleh dr. Irmansyah dan dr. Krishnajaya. Ada beberapa hal khusus yang disampaikan terkait kendala akses data dalam penelitian itu memang penting, ada kasus yang banyak disorot terkait dengan rujukan online karena regulasi di BPJS sangat cepat sekali dan banyak regulasi yang dilanggar dalam rujukan online ini” ujar Irmansyah. Hal yang senada juga disampaikan dr. Khrisnajaya bahwa kesulitan akses data terjadi hampir semua FKTP setidaknya data itu dibuka minimal untuk Dinas Kesehatan. Lebih lanjut Krisna menerangkan kalau Data BPJS Kesehatan itu hanya BPJS dan Tuhan yang tahu” ucap Krisna.
silahkan klik untuk membaca hasil penelitian tiap daerah
- Rini Anggraeni, SKM, M.Kes (Sulawesi Selatan)
- Jon Hendri Nurdan, SE, M.Kes (Bengkulu)
- Reportase Post Forum Nasional
Reporter: Candra, SKM., MPH (PKMK FK-KMK UGM)
Ruang Auditorium FK-KMK UGM
Yogyakarta, PKMK – Rangkaian acara Forum Nasional pada hari pertama (7/11) diakhiri dengan presentasi oral yang dibagi menjadi dua lokasiberbedayaitu di Auditorium FK-KMK UGM dan Ruang Senat Gedung KPTU FK-KMK UGM. Presentasi oral yang diadakan di Auditorium FK-KMK UGM menampilkan 10 presentasi hasil penelitian, dimana 9 presentasi dilakukan secara langsung dan 1 presentasi dilakukan melalui webinar.
Presentasi oral yang dilaksanakan di Auditorium FK-KMK UGM dipandu oleh Dr. Dyah Ayu Puspandari, Apt., M.Kes., MEA. serta dua orang penilai Dr. dr. Deni Sanjaya, DEA. dan Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH. Presentasi ini dibagi menjadi dua sesi, setiap sesi menampilkan 5 presentasi hasil penelitian. Pada sesi pertama dilakukan selama 7 menit untuk setiap presentasinya. Lima presenter di sesi pertama adalah sebagai berikut:
- Al Asyary, dengan judul penelitian Studi Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah ke Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Bogor.
- Ch. Tuty Ernawati, dengan judul penelitian Hubungan Kepesertaan JKN Mandiri Dengan Pendapatan, Pengetahuan, Persepsi, Akses, dan Kepercayaan Masyarakat Suku Sakai di Desa Petani Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Tahun 2018.
- Chatila Maharani, dengan judul penelitian Kepuasan Dokter Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Era JKN: Studi Kualitatif di Area BPJS Kesehatan KCU Semarang.
- M. Fajarun Amin, dengan judul penelitian Belajar Dari Pengalaman Negara Maju dan Berkembang di Benua Asia Dalam Melahirkan dan Mengelola Asuransi Kesehatan Nasional: Memahami Sengkarut dan Mencari Alternatif Solusi Paradoks JKN di Indonesia Secara Rasional, Aplikatif dan Sustainable.
- Ni Made Ratih Kusuma Dewi, dengan judul penelitian Peran Jaminan Kesehatan Pemerintah pada Penggunaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia.
Setelah kelima presenter menyampaikan secara singkat hasil penelitiannya, muncul beberapa pertanyaan dari audiens. Salah satu pertanyaan menarik yang ditujukan ke Chatila mengenai alasan dalam penelitiannya yang tidak menggunakan indikator yang biasanya digunakan dalam penelitian semacam itu. Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan yakin oleh Chatila bahwa alasannya untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih detail.
Presentasi hasil penelitian disesi yang kedua juga dilakukan dengan 5 presentasi. Akan tetapi terdapat sedikit perbedaan dari sesi pertama yaitu waktu presentasi yang hanya 5 menit untuk setiap presentasinya, serta salah seorang presenter yang melakukan presentasinya melalui webinar yaitu Melissa Mina. Kelima presenter di sesi kedua adalah sebagai berikut:
- Pande Mirah Dwi Anggraeni, dengan judul penelitian Karakteristik dan Persepsi Masyarakat Yang Tidak Terdaftar Sebagai Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Wilayah Kerja Puskesmas Susut I Tahun 2017.
- Christyana Sandra, dengan judul penelitian Rekredensialing Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Pelayanan Rawat Jalan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di Kabupaten Jember Tahun 2017.
- Yulfira Media, dengan judul penelitian Implementasi Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Permasalahannya Dalam Penurunan Angka Kematian Ibu.
- Enung Nurchotimah, dengan judul penelitian Analisis Pemanfaatan Asuransi pada Layanan Rawat Jalan oleh Penderita Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Non PTM Saat BPJS Mulai Berlaku (Tahun 2014).
- Melissa Mina, dengan judul penelitian Meningkatkan Penggunaan Layanan Kebidanan di Era Jaminan Kesehatan Nasional: Upaya Indonesia Dalam Mencapai Universal Health Coverage.
Sebanyak sepuluh presentasi di Auditorium FK-KMK UGM telah selesai dilaksanakan, untuk presentasi oral akan dilanjutkan padahari berikutnya dengan penelitian yang berbeda. Langit yang mulai gelap pun mengiringi akhir dari rangkaian kegiatan padahari itu, dan kegiatan akan dilanjutkan di hari berikutnya.
Semua materi presentasi dapat disimak pada link berikut
Reporter: Miftakhul Fauzi (PKMK UGM)
Ruang Senat FK-KMK UGM
Yogyakarta, PKMK-FKKMK UGM. Sebanyak sepuluh peneliti telah mempresentasikan hasil penelitian terkiat dengan kebijakan kesehatan di Indonesia pada tujuh November di Yogyakarta. Kegiatan dilakukan dalam rangka memperingati forum nasional ke-8 Kebijakan Kesehatan Indonesia (KKI).
Peneliti berasal dari pusat penelitian, univesitas dan rumah sakit. Mulai dari Southeast Asian Ministers of Education Organization – Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO-RECFON)/ Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Sumatera Barat, RSUD Muntilan Kabupaten Magelang, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Ritsumeikan-Kyoto Jepang, dan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia. Kegiatan dimoderatori oleh Shita Listyawati.
Presentan pertama, Dian PM Saraswati berasal dari Southeast Asian Ministers of Education Organization – Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO-RECFON)/ Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Pemanfaatan Dana Kapitasi untuk Manajemen dan Pencegahan Gizi Buruk di Jakarta”. Penelitian bertujuan untuk memiliki gambaran pemanfaatan dana kapitasi untuk program gizi balita di Puskesmas di Jakarta. Menggunakan metode Studi kualitatif dengan meninjau dokumen dan wawancara mendalam. Dua Puskesmas di Jakarta Utara dan dua di Jakarta Selatan dipilih secara purposive. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dana kapitasi yang diterima oleh Puskesmas belum maksimal dikelola untuk inovasi dan penguatan program gizi di Jakarta. Adanya evaluasi dan monitoring penggunaan dana kapitasi mungkin dapat membantu meningkatkan alokasi dana ini pada program spesifik seperti pengelolaan dan pencegahan gizi buruk.
Presentan kedua, Evi Derma Sastiva. Berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Sumatera Barat. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Pengaruh Proses (Medis) terhadap Kinerja Puskesmas: Suatu Studi Kasus Puskesmas dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor lingkungan (manajemen) yang mempengaruhi kinerja Puskesmas. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini menyimpulkan bahwaFaktor lingkungan (manajemen) pada Puskesmas II (Puskesmas Andalas dan Puskesmas Lubuk Buaya) lebih baik dari pada pada Puskesmas I (Puskesmas Bungus, Puskesmas Lubuk Begalung, dan Puskesmas Ambacang).
Presentan ketiga, Evi Derma Sastiva. Berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Sumatera Barat. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Pengaruh Input (Dana) terhadap Kinerja Puskesmas: Suatu Studi Kasus Puskesmas dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional”. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor input (dana) yang mempengaruhi kinerja Puskesmas. Menggunakan metodekualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini menyimpulkan bahwaFaktor input (dana) yang mempengaruhi kinerja Puskesmas pada Puskesmas II (Puskesmas Andalas dan Lubuk Buaya) lebih baik dari pada pada Puskesmas I (Puskesmas Bungus, Lubuk Begalung, dan Ambacang).
Presentan keempat,Evi Derma Sastiva. Berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Sumatera Barat. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Pengaruh Lingkungan (Manajemen) terhadap Kinerja Puskesmas: Suatu Studi Kasus Puskesmas dalam Era Jaminan Kesehatan”. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi pasien dan keluarga terhadap Pelaksanaan Permenkes Nomor 4 Tahun 2017 di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang. Menggunakan metode studi kasus dengan desain multi kasus holistik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Faktor lingkungan (manajemen) pada Puskesmas II (Puskesmas Andalas dan Puskesmas Lubuk Buaya) lebih baik dari pada pada Puskesmas I (Puskesmas Bungus, Puskesmas Lubuk Begalung, dan Puskesmas Ambacang).
Presentan kelima, Fajar Nur Farida. Berasal dariRSUD Muntilan Kabupaten Magelang. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Persepsi Pasien BPJS dan Keluarga terhadap Pelaksanaan Permenkes Nomor 4 Tahun 2017 Di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang”. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi pasien dan keluarga terhadap Pelaksanaan Permenkes Nomor 4 Tahun 2017 di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang. Menggunakan metode studi kasus dengan desain multi kasus holistik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pasien memberikan persepsi yang positif terhadap pelaksanaan Permenkes Nomor 4 tahun2017 di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang karena pasien mendapat fasilitas lebih dan merasa lebihnyaman mendapat perawatan di kamar VIP.
Presentan keenam, Fitri Indrawati. Berasal dari Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Membayar Premi Peserta Mandiri Jaminan Kesehatan Nasional di Wilayah Kota Semarang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengankepatuhan membayar premi peserta mandiri Jaminan Kesehatan Nasional di wilayah Kota Semarang. Menggunakan metodesurvei analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini menyimpulkan bahwaperlu dilakukan kajian ulang mengenai peraturan atau kebijakan yang telah terlaksana, dalam proses pelaksanaan maupun dalam penyusunan rencana terkaitprogram JKN.
Presentan ketujuh, Nurhasmadiar Nandini. Berasal dariFakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Semarang. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Pemanfaatan Dana Kapitasi pada Upaya Promotif dan Preventif pada Pasien BPJS: Studi di Puskesmas Kabupaten Purbalingga”. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan dana kapitasi pada upaya promotif dan preventif di Puskesmas. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Puskesmas yang menyelenggarakan upaya promotif dan preventif belum seluruhnya mengalokasikan dana kapitasi untuk menunjang pelaksanaan kegiatan.
Presentan kedelapan, Dr. Dra. Chriswardani Suryawati. Mkes. Berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Semarang. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Telaah Hasil Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Pada Kebijakan Pelayanan Rumah Sakit”. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran masalah pelayanan rumah sakit yang dilakukan melalui penelaahan berbagai hasil penelitian dan grey literature. Menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Peningkatan utilisasi rumah sakit berimplikasi pada panjangnya antrian, meningkatnya beban kerja, menurunnya kepuasan kerja dokter, variasi “perlakuan “ RS terhadap perawatan pasien.
Presentan kesembilan, Radesa Guntur Budipramono. Berasal dariPascasarjana Hubungan Internasional Universitas Ritsumeikan, Kyoto, Jepang. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Pola Interaksi Birokrat, Perantara dan Pasien: Jaminan Kesehatan di Garda Terdepan”. Menggunakan metode riset kualitatif berbasis teori klasik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya realita keseharian yang mengacu pada kelemahan dalam kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia. Pemahaman yang lebih mendalam tentang pola interaksi informal para stakeholder di garda terdepan dapat menjadi evaluasi dan acuan untuk memperbaiki kelemahan dari kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia.
Presentan kesepuluh, Dwidjo Susilo. Berasal dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia. Menyampaikan hasil penelitian berjudul “Implikasi Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Angka Temuan Kasus Tuberkulosis di Kabupaten Bogor”. Menggunakan metode Studi kasus dengan pendekatan kuantitatif dan studi literatur. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Meningkatkan CDR TB sebagai upaya kesehatan masyarakat memerlukan keseriusan dalam pengalokasian pendanaan dan penyediaan SDM Kesehatan yang dibutuhkan. Petunjuk teknispenggunaan dana BOK harus lebih tegas. Moratorium ASN untuk tenaga kesehatan harus segera dicabut.Temuan kasus yang tinggi berdampak pada upaya pengobatan dini sehingga dapat mengurangi pengeluaran katastropik yang dapat membebani JKN maupun keuangan negara.
Sumber: Abstrak semua presentan
Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (PKMK FKKMK UGM)|[email protected]
Laporan Penutup 5th Global Symposium on Health System Research
Secara keseluruhan, kongres ini menunjukkan semakin berkembangnya penerapan ilmu kebijakan dan pemikiran sistem di sektor kesehatan. Ketika membahas pemikiran sistem ini, pelaku utama di masyarakat dan juga pelayanan swasta semakin mendapat perhatian. Masalah pemerataan juga semakin diperhatikan karena universal health coverage bukan hanya terkait dengan pendanaan saja, melainkan juga menyangkut banyak hal. Salah satu hal yang dirisaukan oleh berbagai pembicara adalah ketika faktor politik mempengaruhi terlalu banyak. Politik di sini dapat mencakup berbagai aspek, misalnya terkait penetapan anggaran, birokrasi, kelompok yang mendapatkan manfaat, serta di pelaku kesehatan. Aspek politik ini jika tidak dikelola secara baik dapat membawa sistem kesehatan menjadi sulit berkembang. Situasi ini juga terjadi di Indonesia dimana saat ini situasi sistem kesehatan terdorong oleh pengaruh politik praktis terkait dengan pemilihan presiden dan anggota DPR sehingga ada risiko aspek – aspek teknis menjadi sulit dikelola.
LINK TERKAIT
Plenary 3 Evidenced Based Approached: Epidemiological Value in Advancing Public Health Policy
4 Oktober 2018
Dr Siyan Yi adalah seorang peneliti senior dari University of Singapore dan sebagai pembicara pertama dalam sesi plenary ini. Topik yang dibawakan terkait data quality in developing countries. Beberapa isu penting pada negara-negara berkembang antara lain terkait dengan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap data. Dalam laporan internasional hanya 25 % populasi terdata dimana hanya 34 negara yang memiliki manajemen pendataan yang baik.
Dengan masalah ini, maka WHO berinisiatif untuk memperbaiki kualitas data dengan target hingga 2020. Beberapa perbaikan untuk meningkatkan kualitas data dengan menyusun berdasarkan kesesuaian/jenis data, mengorganisaikan, dan dengan penggunaan biaya murah. Sasaran data based ditargetkan pada registrasi sistem vital, seperti kelahiran, kematian, kesakitan, representasi dari populasi, keadilan kesehatan, dan lain – lain. Dr. Yi menutup dengan menegaskan bahwa data seharusnya menjadi isu utama yang perlu distandarkan dan dimonitor setiap saat.
DR. dr. Hariadi Wibisono sebagai ketua asosiasi epidemiologi se – Indonesia, memberikan materi terkait advancing surveillance system. Di awal paparan, Hari memetakan jenis masalah, tantangan, dan jalan keluar terhadap masalah – masalah yang terjadi berdasarkan ilmu surveilans. Seperti penanganan malaria, hal penting yang perlu dipertimbangkan seperti wilayah dan resistensi obat, kesadaran masyarakat, keterbatasan akses ke fasilitas, peningkatan factor risiko, dan sebagainya.
Dicontohkan lainnya seperti penanganan filariasis memiliki tantangan seperti transmisi penilaian dengan survey serta penetapan daerah endemik dan non endemik. Juga ditambahkan contoh pada intervensi penyakit ebola dan polio. Untuk itu Hari menyatakan bahwa sistem surveilans sangat penting ditingkatkan oleh negara berkembang.
Dr Ridwan Amiruddin, merupakan ketua Persakmi dan ketua ahli epidemiologi se- Sulawesi Selatan, memberikan materi tentang Cause and effect association: the key of effective public health policy.
Beberapa temuan penelitian yang bisa dijadikan dasar dalam penentuan intervensi. Seperti pada contoh kebijakan pengendalian tembakau. Sudah banyak bukti – bukti penelitian yang menunjukkan banyaknya masalah terkait dengan asap rokok, salah satu yang paling besar adalah kanker paru. Sehingga yang perlu dilakukan adalah bagaimana mendukung rekomendasi berdasarkan bukti-bukti nyata yang tentunya dipengaruhi oleh biaya, isu, serta bantuan dari pihak luar.
Pembeicara terakhir, Prof Virasakdi Chongsuvivatwong, berbicara tentang health service big data. Seluruhrumah sakti telah melakukan pendokumentasian tanpa menggunakan kertas melainkan system computer, dimana data besar terkumpul dalam satu sistem. Namun di lain sisi, kendala terkait dengan data yang memiliki struktur berbeda – beda sehingga terkadang penggunaan masih sangat minim.
Isu lain yang dihadapi adalah privasi data, di Amerika sendiri memiliki 16 variabel yang tidak boleh disebar ke khalayak, namun di negara – negara berkembang di Asia Tenggara hal ini belum menjadi fokus dari pemerintah. Beberapa masukan untuk kendala data yang dihadapi adalah dengan mengembangkan data variabel yang penting saja, menggunakan analisis sederhana (rata-rata, median, SD, IQR), dan membuat kluster analisis.
Reporter:
Faisal Mansur & Muhammad Asrullah
Link Terkait
{tab title=”Hari Pertama” class=”red”}
- Opening Ceremony, 13th IEA SEA Meeting and ICPH
- Keynote Speech
- Plenary 1. Public Health Achievement, where we are now
{tab title=”Hari Kedua” class=”orange”}
- Plenary 2. Global Chalenges for Good Health and well-being
- plenary 3 evidenced based approached epidemiological value in advancing public health policy
{/tabs}
Plenary 2 Global Chalenges for Good Health and well-being
Plenary 2 konferensi IEASEA 2018 mengangkat tema “Global Chalenges for Good Health and well-being”. Narasumber pada sesi ini adalah Dr Anung Sugihanto, M.Kes dari Kementerian Kesehatan, Dr. Umar Ibrahim dari University of Technology Sydney), serta dr. Maria,perwakilan WHO.
Dr Anung dalam paparannya menjelaskan mengenai pentingnya perencanaan berbasis bukti untuk mengendalikan penyebaran penyakit di Indonesia. Intervensi yang diberikan akan tepat sasaran jika mengetahui “Siapa”, “di mana”, “kapan”, dan “bagaimana” intervensi diberikan. Penanganan bencana alam yang terjadi di Sulawesi Tengah merupakan salah satu isu di Indonesia yang memerlukan perhatian khusus. Intervensi pasca bencana akan terjamin keberlanjutannya jika pemerintah tidak berdiri sendiri dalam upaya rehabilitasi pasca bencana. Harapannya, pihak swasta juga dapat memegang peran penting, dan intervensi yang diberikan akan berlandaskan pada evidence yang ada. Isu pasca bencana tidak hanya meliputi isu kesehatan jangka pendek, tetapi juga berpotensi menyebabkan peningkatan penyebaran penyakit jangka panjang misalnya TB dan penyakit menular lainnya. Oleh karena itu, pemerintah akan bekerja sama dengan seluruh pihak terkait dalam upaya untuk mengendalikan isu-isu kesehatan yang ada.
Dr. Maria dalam pemaparannya menjelaskan mengenai prevalensi AIDS dan TB, dan Malaria. Indonesia merupakan salah satu dari 91 negara endemi malaria di dunia. Secara global, terdapat strategi teknis untuk pencegahan malaria dengan 3 pilar utama, yakni memastikan akses yang menyeluruh terhadap kasus malaria, pencegahan, diagnosis, dan intervensi. Pilar kedua terkait dengan upaya percepatan upaya eliminasi, serta pilar ketiga yakni transformasi surveilans malaria menjadi upaya utama dalam proses pencegahan. Indonesia tidak termasuk dalam 6 negara yang telah terbebas dari malaria, dan 17 negara dengan status bebas kasus baru pada 2015.
Di lain sisi, berdasarkan laporan kasus dunia, HIV mengalami penurunan kasus dari tahun ke tahun. 5 pilar dalam strategi penurunan angka HIV yakni, informasi yang akurat, intervensi untuk memberi dampak yang signifikan berupa akurasi diagnosis dan pemeriksaan HIV, pelayanan yang merata dan adil, pembiayaan untuk mendukung keberlanjutan program, dan inovasi terbaru untuk mempercepat proses penurunan angka prevalensi. Sedangkan untuk kasus TB, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia. Harapannya, dunia bebas TB dengan menerapkan 3 pilar utama dalam pencegahan dan pengobatan TB yakni pemerintah yang transparan dengan kegiatan pemantauan dan evaluasi, membangun kerja sama yang baik antar sektor dalam pencegahan TB, melindungi hak asasi, etik, dan asas pemerataan, dan adaptasi strategi menjadi strategi nasional dengan pendekatan kerja sama lintas sektor.
Kolaborasi trans disiplin untuk keberlanjutan program merupakan isu yang disampaikan oleh Dr Umar. Dalam paparannya, Dr Umar menjelaskan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh faktor yang tidak berdiri sendiri. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi, dan merupakan tanggung jawab seluruh elemen, pemerintah dan swasta, serta masyarakat. Melibatkan lingkungan yang sehat akan mencegah penyebaran penyakit melalui isu ketahanan pangan, isu kesehatan lingkungan, air bersih, dan isu bencana alam. Kompleksitas dari masalah kesehatan dengan indikator lingkungan membutuhkan kolaborasi lintas sektor, waktu yang panjang, dan biaya yang besar, tetapi seluruh investasi kesehatan ini untuk sesuatu yang lebih besar dan berkelanjutan.
Reporter: Faisal dan Muhammad Asrullah
Link Terkait
Plenary 1. Public Health Achievement, where we are now
Plenary 1 bertema “Public Health Achievement, where we are now’. Plenary disampaikan oleh Prof. Syed Aljunid dari Kuwait University, DR. I Nyoman Kandun MPH dari FETP Indonesia, dan Dr Umesh Kapil dari All India Institute, Medical Sciences New Delhi.
Prof Syed Aljunid menyampaikan isu terkait beban penyakit tidak menular di negara-negara berkembang. Negara berkembang sedang menghadapi tantangan yang kompleks dalam mengembangkan sistem kesehatannya. Jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage/ uhc) yang pertama diperkenalkan oleh WHO pada 2008, bertujuan untuk memberikan hak yang sama atas kesehatan kepada seluruh masyarakat tanpa beban finansial. Salah satu isu terkait penerapan UHC adalah meningkatkan pembiayaan kesehatan yang seiring dengan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular. 41 juta kematian di Dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular, dan lebih dari 85% terjadi di negara berkembang. Penyakit jantung koroner, kanker, penyakit saluran pernafasan, dan diabetes merupakan penyakit tidak menular yang menyumbang angka kematian secara global. Beberapa faktor yang bisa diintervensi guna menurunkan angka prevalensinya adalah gaya hidup, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, diet, dan konsumsi alkohol. Salah satu alternatif solusi yang dapat ditempuh adalah menjamin kepesertaan asuransi kesehatan, alokasi sumber daya yang cukup besar untuk aspek pencegahan penyakit, dan pendekatan multi sektor yang komprehensif.
Dr I Nyoman Kandun membahas emergensi dari penyakit menular, dari segi upaya untuk pencegahan, deteksi dan responden. Secara nasional, agenda kesehatan global (Global Health Security Agenda), pengendalian penyakit tidak menular menjadi perhatian dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan Dunia. GHSA meliputi pencegahan penyakit, deteksi melalui sistem laboratorium yang tersistem, surveilans dan pelaporan yang real time,,pengembangan sumber daya, dan respon meliputi kerja sama lintas sektor antara sektor kesehatan dengan sektor lainnya. Kerja sama pengendalian penyakit tidak menular juga melibatkan antar negara, karena turis berpotensi menularkan penyakit.
Dr Umesh Kapil berbicara mengenai hubungan epidemiologi dengan nutrisi secara lebih spesifik. Menurut Dr. Umesh, sebagai praktisi dalam bidang epidemiologi harus meyakinkan hanya program intervensi berdasarkan bukti nyata yang dapat diterapkan, yang kedua adalah meyakinkan bahwa perhatian kita dalam intervensi berdasarkan kebutuhan dan bukan karena kepentingan komersial. Dalam paparannya, Dr Umesh juga menjelaskan melalui kegiatan evaluasi program implementasi Vitamin A Suplementasi (VAS). Dimulai dari bagaimana awal masalah defisiensi Vitamin A ditanggapi dan dianalisis, meyakinkan bahwa VAD sangat penting untuk diturunkan sehingga terjadi perubahan program VAS yang menyasar pada anak-anak. Dalam beberapa studi di India dan Indonesia telah menghasilkan beberapa hasil berbeda, Jika di India program suplementasi vitamin A memberikan pengaruh terhadap penurunan angka kematian pada anak-anak. Lain halnya di Indonesia, tidak menunjukkan hubungan signifikan. Salah satu indikasinya adalah karena bentuk intervensi pemberian suplemen vitamin A yang diberikan dan sangat beragamnya penyebab kematian lain yang juga memiliki pengaruh yang cukup besar. Sebagai penutup Dr Umesh Kapil menekankan perlunya suplai vitamin A terhadap balita diterapkan secara luas sebagai upaya untuk menurunkan angka kematian pada anak.
Reporter: Faisal dan Muhammad Asrullah
Link Terkait
Reportase Keynote Speech
Dr. Vinod K Srivastava dari IEA – WHO Liason mengangkat isu mengenai kesehatan ibu dan anak di negara- negara Asia Tenggara. Dr Vinod mengemukakan fakta yang menunjukkan bahwa 9,2 juta anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap kesehatan menjadi salah satu faktor penyebab kematian tersebut. Dari segi pencapaian, terjadi penurunan angka kematian anak tetapi tidak signifikan. Secara global, Asia Pasifik menyumbang sekitar 41% angka kematian anak di seluruh dunia. Perbedaan tingkat ekonomi dan jumlah kepadatan penduduk di beberapa negara menjadi kendala dalam upaya penurunan AKI dan AKB.
Misalnya, Bangladesh merupakan negara dengan jumlah kepadatan penduduk terbesar dari seluruh negara Asia Tenggara sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan negara lain. Bagi negara dengan ekonomi rendah, isu yang juga menjadi tantangan adalah pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Dengan diterapkannya jaminan kesehatan semesta (UHC) di beberapa negara, tentunya dengan sistem yang lebih jelas dan terarah dan kebijakan yang diambil berdasarkan bukti yang ada, diharapkan dapat menurunkan AKI dan AKB dengan pendekatan lokal yang berbeda-beda.
Beberapa pengalaman terkait upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak menunjukkan langkah yang lebih baik. Srilanka menjadi negara yang sukses menerapkan UHC. Kesehatan dan pendidikan gratis untuk seluruh masyarakat. Pelayanan kesehatan juga melibatkan pemerintah dan swasta. Pendekatan juga menekankan pada upaya preventif yang lebih besar dibandingkan dengan upaya kuratif, dan dilaksanakan secara berkelanjutan segera setelah menikah hingga mengandung dan bersalin.
Isu lain juga yang menjadi perhatian adalah aspek gizi, keluarga berencana, ASI ekslusif, dan isu gender. Menurut Dr Vinod, diperlukan investasi dalam skala besar untuk kesehatan ibu dan anak. Investasi tersebut akan membawa dampak yang besar tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi negara.
Reporter:
Muhammad Asrullah (PKMK UGM)
Link Terkait
Opening Ceremony, 13th IEA SEA Meeting and ICPH – SDev
3 Oktober 2018,
PKMK – Bali. Pembukaan konferensi IEASEA ke 13 dimulai dengan sambutan oleh Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat , Universitas Andalas, Defriman Djafri MPH PhD. Djafri menyampaikan terima kasih kepada seluruh audiens yang berpartisipasi dalam kegiatan ini. Pertemuan kali ini untuk memperkuat hubungan ahli epidemiologi juga para ahli public health antar negara di Asia. Selanjutnya Rektor Universitas Andalas, Prof Dr Tafdil Husni MBA menggambarkan secara umum tentang Universitas Andalas dan seluruh pogram studi dan fakultas yang ada, yang mana departemen epidemiologi adalah bagian penting dalam perjalanan sejarah pendidikan di Universitas Andalas.
Chandra Mani Panday sebagai International Advisory Committee dan ahli epidemiologi di Asia Tenggara menyatakan kegiatan di Bali kali ini memiliki banyak tantangan sebelum akhirnya pelaksanaan konferensi ini bisa direalisasikan. Chandra berterima kasih kepada pemerintah Indonesia dan semua partisipan yang bergabung dalam kegiatan ini. Harapannya bahwa kegiatan ini dapat berlangsung sukses sesuai dengan tujuannya dengan mempertemukan berbagai ahli di bidang epidemiologi di Asia.
Regional Counselor IEA SEA, dr Umesh Kapil, juga -memberikan sambutannya. Epidemiologi telah menjadi ibu dari seluruh ilmu sains kedokteran yang ada, epidemiologi dapat merambah ke berbagai hal seperti manajemen penanganan pasien, pemberian obat, hingga program-program pencegahan di masyarakat. Untuk itu, ahli epidemiologi diharapkan mampu berkontribusi banyak untuk segala permasalahan kesehatan yang terjadi dan yang akan terjadi.
Gubernur Bali, I Wayan Koster yang diwakili oleh salah satu stafnya menyatakan permintaan maaf bahwa gubernur yang tidak dapat menghadiri kegiatan ini. Untuk itu perwakilan gubernurmembacakan pesan melalui surat yang dimandatkan. Dengan adanya event ini, maka semua peserta dapat menyampaikan representasi dari negara masing-masing, yang pada akhirnya bisa dijadikan sebagai pembelajaran. Tidak menutup kemungkinan, nantinya juga bisa diterapkan di Bali. Setelah menyelesaikan pembacaan surat dari gubernur Bali, selanjutnya dilakukan pembukaan kegiatan konferensi dengan memukul gong secara bersama.
Reporter:
Faisal Mansur & Muhammad Asrullah
Link Terkait
Asian Healthcare Leadership Summit 2018
Acara Asian Healthcare Leadership Summit tahun 2018 kali ini bertemakan Inovasi, Kewirausahaan dan Disrupsi dalam Pelayanan Kesehatan, berlangsung pada 21 – 22 September 2018, bertempat di Resort World Sentosa. Acara ini merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan atas dukungan dari Victor dan William Fung Foundation yang merupakan ajang para pakar dalam berbagai bidang yang mendiskusikan bagaimana berbagai bentuk inovasi dan kewirausahaan di sektor kesehatan pada umumnya, dan layanan kesehatan pada khususnya di Asia telah menghasilkan capaian yang luar biasa dan bagaimana tantangannya ke depan.
21 September 2018
Host pagi ini adalah Lakshmi Pratury. Lakshmi menyatakan pentingnya setiap hadirin untuk menemukan satu momen tertentu dalam event ini yang menginspirasi kita dan yang akan menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu di bidang kita masing-masing. Lakshmi merujuk pada foto bumi yang dibuat oleh Voyager dari luar angkasa, yang memperlihatkan betapa kecilnya bumi ini, dan betapa tidak berartinya semua hal yang kita lakukan sehari-hari jika kita tidak melakukan sesuatu yang membuat kehidupan umat manusia di bumi ini lebih baik.
Kegiatan dibuka oleh Ben Chang, CEO idsMed grup, yang menggarisbawahi paradox yang terjadi saat ini, dimana investasi sebesar 8 trilyun dollar telah dikeluarkan untuk kesehatan di seluruh dunia namun separuh populasi dunia tidak memiliki akses ke pelayanan dasar, dan 4.8 milyar orang tidak memiliki akses ke layanan bedah, dan sebagian besar masyakarat jatuh miskin karena biaya kesehatan yang tinggi. Ben menyatakan hal ini terjadi karena saat ini sistem kesehatan berkembang begitu cepat di dalam silos mereka sendiri, mengakibatkan layanan yang terfragmentasi, mahal, dan tidak efektif. Ben memperhatikan bahwa kita seringkali mengabaikan faktor-faktor social yang mempengaruhi kesehatan yang merupakan 60% variable penentu status kesehatan kita, sementara layanan kesehatan hanyalah 10% (dan sisanya adalah genetic). Jadi kita seringkali membuat investasi yang salah, membuang sumberdaya untuk memperbaiki faktor yang 10% tetapi mengabaikan faktor yg 60%. Ben mengingatkan, bahwa tanpa perubahan di sisi kita, kita akan gagal menjadikan era ini sebagai era terbaik dalam sejarah manusia dan sebaliknya menjadikannya era terburuk, tidak soal seberapa maju teknologi yang telah kita punyai.
Sejalan dengan itu, pembicara utama pagi ini, George Papandreaou (mantan Perdana Menteri Yunani), juga menyatakan bahwa tantangan utama dalam memperbaiki situasi dunia saat ini, termasuk dalam sektor kesehatan, bukanlah tantangan teknis tetapi tantangan etik dan politik (bukan dalam artian negative dari politik, tetapi kembali ke akar kata “politik” dalam konteks Yunani kuno), yaitu sebagai masyarakat, apa yang kita lakukan dapat menentukan arah dan masa depan yang kita inginkan. Tetapi ada beberapa hal yang harus kita beresi terlebih dahulu yaitu untuk memastikan adanya tatakelola yang menjamin akuntabilitias, termasuk tatakelola digital, yang akan mengarah pada efisiensi. Selain itu, harus memastikan inklusi. Sejalan dengan Ben, George juga mengingatkan kita pada kutipan dari dr Martin Luther King, yaitu, dari semua ketidakadilan di dunia, ketidakadilan dalam bidang kesehatan adalah ketidakadilan yang paling tidak manusiawi.
Panel pagi ini difasilitasi oleh Lakshmi Pratury (pendiri INK – Innovation and Knowledge), yang mengarahkan topik ke arah bagaimana membentuk layanan kesehatan di masa depan (“The Big Picture: Shaping Public Healthcare for the Future”).
Sejalan dengan observasi yang dibuat oleh Ben, Dr Ashish Jha, dari Harvard Global Health Institute, juga melihat adanya paradox, yang disebabkan oleh adanya pengetahuan yang lebih sistematis terkumpul, data dan bukti serta adanya komitmen dan prioritas dari banyak Negara dan lembaga internasional. Namun, karena dunia telah berubah dengan sangat cepat, khususnya teknologi dan inovasi, sehingga tanpa adanya kolaborasi dan kerjasama, tidak mungkin permasalahan yang kita hadapi dapat kita selesaikan. Ashish menyatakan bahwa public-private partnership menjadi norma yang wajib di masa depan. Ashish melanjutkan bahwa yang harus diupayakan adalah transparansi, dan kemampuan mengubah pengetahuan dan wawasan menjadi aksi.
Dr. Somsak Chuncharas, dari National Health Foundation Thailand, melanjutkan diskusi dengan menyoroti pengalaman cakupan kesehatan semesta di Thailand dan apa pelajaran yang bisa diambil. Pertama, adalah ke berhasilan (dan kegagalan) sebuah sistem sangat bergantung pada bagaimana suatu sistem dirancang. Kedua, walau pun kepemimpinan politis penting, tetapi yang lebih penting adalah kepemimpinan dari semua stakeholder. Ketiga, bahwa kita harus selalu siap untuk ‘rethinking’ dan ‘redesign’. Namun kesempatan untuk melakukan hal ini hanya dapat dimungkinkan apabila kita mencari jawaban atas apa higher purpose yang ingin kita penuhi. Sistem kesehatan harus memiliki kemampuan untuk rethinking dan redesign. Kesehatan harus menjadi prioritas bagi semua stakeholders. Dan kesehatan yang dituju adalah wellbeing secara keseluruhan. Hal ini membutuhkan sikap kepemimpinan yang berbeda, bukan hanya evidence-based, tetapi menyadari bahwa tidak ada solusi yg sempurna, sehingga kepemimpinan yang harus ada adalah kepemimpinan yang ‘participative and learning’, termasuk belajar dan mendengarkan dari pihak-pihak yang bertentangan dengan kita. Hanya hal ini yang dapat menjauhkan sistem kesehatan dari fragmentasi.
Prof. Laksono Trisnantoro, dari FK-KMK Universitas Gadjah Mada, menceritakan mengenai berbagai masalah ketidakadilan dalam kesehatan yang saat ini terjadi di Indonesia dan bagaimana sistem pembiayaan yang baru (JKN) diaplikasikan di Indonesia. Laksono menyatakan bahwa pemerintah bukanlah satu-satunya sumber keuangan yang memadai untuk mengatasi masalah, mengingat struktur perpajakan Indonesia yang lemah. Dengan memastikan partisipasi masyarakat (yang non poor) dan sektor private dalam pembiayaan, Indonesia dapat memiliki kesempatan untuk menggunakan inovasi dan kewirausahaan untuk mengatasi masalah kesenjangan, misalnya pemanfaatan telemedicine.
John Petrovich, dari Alfred Mann Foundation, menyoroti mengenai bagaimana kebutuhan layanan kesehatan di China berubah secara drastis karena perubahan demografi akibat “kebijakan satu anak”, dimana piramida penduduk akan berubah akibat besarnya kelompok lansia dibanding dengan penduduk usia produktif. Akibatnya, dalam waktu dekat, China akan mengalami tantangan terbesar mereka dimana biaya kesehatan untuk lansia akan meningkat secara eksponensial, yang John sebut sebagai ‘a public health crisis in-the-making ’. Pemerintah China mempersiapkan investasi sebesar 125 juta dollar (2017) dan 1.4 milyar dollar (2018) untuk mengembangkan teknologi robotic, AI, drone dan kendaraan otomatis, yang semuanya dikembangkan untuk layanan kesehatan, namuni ini dirasa tidak mencukupi. Pemerintah China juga menyadari jumlah milyuner yang mereka miliki, sehingga pembiayaan melalui charity adalah sumberdaya baru yang mereka gali.
Setelah makan siang, Dr Peter Piot, direktur London School of Hygiene & Tropical Medicine, menyampaikan sesi mengenai tantangan kesehatan masyarakat di masa depan. Peter merefleksi pengalaman krisis kesehatan mulai dari epidemi flu Spanyol (yang mengakibatkan kematian hingga 100 juta orang, bahkan di masa penerbangan komersial belum ada) yang bahkan mencapai Singapura dan Hong Kong. Epidemi ini secara positif berimplikasi pada ekspansi riset klinis, dan perubahan paradigma dimana pemerintah kini dianggap sebagai pihak yang harus bertanggungjawab untuk mengantisipasi krisis kesehatan masyarakat. Namun di sisi lain, Peter menyebut bahwa sejak itu, ada berbagai epidemi fatal lainnya, misalnya STD, Ebola, H2N2, SARS, Nipah, dst, dan seluruh komunitas klinisi dan peneliti medis menghadapi tantangan besar untuk mengatasinya. Di forum Ekonomi Dunia dibahas pula bagaimana risiko global epidemi juga mempengaruhi perekonomian dunia. Epidemi juga memiliki implikasi sosial, misalya risiko proporsi anak-anak yatim piatu dsb. Ketika epidemi Ebola kembali mulai di Afrika Barat, saat ini negara-negara yang terinfeksi merupakan negara-negara yang tengah berada di dalam konflik, sehingga sistem kesehatan sedang lumpuh, dan epidemi ini menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Namun, Epidemi juga dapat menghasilkan implikasi positif berupa komitmen dari pemerintah dan para peneliti klinis, dan juga produsen obat dan vaksin. Sebagai contoh, ARV yang semula membutuhkan USD 14,000 saat ini dapat ditekan menjadi USD 300.
Epidemi dipicu oleh berbagai hal, termasuk perubahan ekologi, perubahan iklim, praktek pertanian, polusi dan juga transportasi komersial. Kita tidak mungkin menghindari munculnya epidemi, tetapi yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi wabah, dengan memperkuat sistem kesehatan masyarakat (surveilans, kemampuan deteksi dini, kemampuan respons cepat), reformasi terhadap tata kelola kesehatan global (termasuk WHO) dan partisipasi yang lebih aktif dari NGO dan sektor swasta. Yang tidak kalah penting adalah mengurangi disinsentif bagi pemerintah untuk mendeklarasi adanya wabah di negara tersebut (wabah biasanya diikuti oleh penutupan transportasi komersial, dsb, sehingga hal ini merupakan disinsentif bagi mereka).
Sesi berikutnya berfokus pada ‘Delivering Value’ melalui upaya layanan kesehatan yang lebih baik dan tidak lebih mahal. Dalam sesi ini, para pembicara adalah para innovator yang produk-produknya telah digunakan secara luas. Marc Koska, inventor alat suntik disposable berbicara mengenai evolusi dari alat suntik disposable yang nantinya akan memiliki pengaruh besar terhadap penurunan infeksi. Kevin Caldwell, berbicara mengenai potensi bank sumsum tulang belakang untuk memastikan pasien yang membutuhkan sumsum tulang belakang akan mendapat match. Sunny Singh, berbicara mengenai pendekatan yang terintegrasi untuk menghasilkan solusi. Hal ini berangkat dari observasi Sunny bahwa layanan kesehatan saat ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ‘manajemen penyakit’ karena layanan saat ini berpusat pada penanganan penyakit, bukan pada menghasilkan ‘wellbeing’.
Di sore hari, terdapat 4 topik yang berbeda yang dapat dihadiri peserta terkait kewirausahaan dan invoasi, yaitu (1) Kemajuan teknologi, (2) Inovasi dalam Pelayanan, (3) Inovasi untuk memastikan akses, dan (4) mass-customization untuk mengatasi masalah berskala besar.
Kami mengikuti topik mengenai inovasi dalam pelayanan. Dalam sesi ini inovasi yang dibahas adalah layanan dialisis di India. Walau pun prevalensi pasien yang membutuhkan dialisis terus membesar, tetapi akses sangat terbatas karena kebanyakan hanya tersedia di RS. Hal ini diubah melalui penyediaan layanan dialisis oleh network (hal ini dimungkinan karena ada skema public-private partnership yang memungkinkan reimbursement biaya dialisis oleh pembiayaan asuransi pemerintah) dan dalam 8 tahun telah tumbuh menjadi nomor 2 di India, dan biaya dialisis mereka sangat rendah (sekitar USD 25 per episode). Biaya dapat ditekan melalui penggunaan obat generik dan melalui protokol ketat yang menyaring pasien dengan infeksi, sehingga memungkinkan reuse.
Selain itu dibahas pula mengenai potensi pemanfaatan teknologi. Di AS dan Cina, spending terbesar (sekitar USD 3,5 trilyun) digunakan untuk digital health, AI dan block chain. Pasar yang paling potensial untuk tumbuh adalah aplikasi yang ada di telepon. AI yang dibuat merupakan open platform yang mengkombinasikan berbagai data yang dikumpulkan oleh aplikasi lain, misalnya Fitbit, iHealth, personal medical records, dll, sehingga menghasilkan data yang komprehensif (termasuk seberapa aktif pasien tersebut atau makanan yang dikonsumsi pasien sehari-hari, obat atau vitamin yang dikonsumsi) yang dapat diakses oleh dokter saat melakukan diagnosis jarak jauh. Aplikasi ini juga dapat mengirimkan laporan bulanan kepada penggunanya berbagai saran kesehatan yang customized sesuai dengan status kesehatannya dan juga kebiasaannya sehari-hari. Aplikasi ini tetap melindungi pengguna melalui enskripsi data.
Inovasi teknologi lain yang dibahas adalah alat deteksi dini stroke. Alat ini disebut SONAS (stroke or not a stroke). Alat ini dapat digunakan di rumah (berbentuk seperti headset).
Refleksi untuk Indonesia
Teknologi mengubah cara orang melakukan pekerjaan mereka, sehingga teknologi merupakan kekuatan yang menghasilkan disrupsi. Penggunaan telemedicine, teknologi digital dan AI dalam sektor kesehatan memiliki potensi mengatasi masalah. Walau pun dalam jangka pendek teknologi merupakan jawaban yang cepat atas berbagai masalah dalam sektor kesehatan, namun perubahan perilaku pengguna membutuhkan waktu. Oleh karena itu, investasi terhadap teknologi harus dibuat dengan sangat hati-hati. Selain itu, ada potensi besar bagi Indonesia untuk menghasilkan inovasi produk tersendiri yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, dan yang diproduksi lokal, sehingga berpotensi menekan biaya. Oleh karena jiwa kewirausahaan harus ditumbuhkan, namun juga diikuti oleh sikap kepemimpinan, yaitu kemauan untuk mengambil inisiatif yang akan menjadi solusi bagi kebutuhan spesifik.
Selain itu, beberapa pembicara yang berbeda mengulang pesan bahwa upaya untuk mengumpulkan uang lebih banyak untuk dapat menjawab tantangan sisi demand tidak akan berguna dalam jangka panjang, karena pertumbuhan demand tidak akan dapat dibendung, sementara sumber keuangan akan selalu terbatas. Oleh karena itu yang lebih penting untuk dilakukan adalah mendisain ulang bagaimana suatu sistem dilaksanakan. Lebih penting untuk berbicara dan mendengarkan kebutuhan dari semua stakeholders dalam melakukan disain ulang sistem kesehatan tersebut.
Reporter: Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)
22 September 2018
Hari kedua dibuka oleh dua paparan. Pertama, Professor Han Demin, yang berbicara mengenai “Healthy China”. Kontribusi sektor kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah 5.9 %, namun distribusi fasilitas kesehatan di Cina tidak merata, kebanyakan terkonsentrasi dan sangat maju di kota besar, namun tidak demikian halnya di daerah pedesaan. Biaya kesehatan sangat tinggi, sehingga sistem kesehatan harus berubah dari ‘mengobati penyakit’ menjadi layanan yang lebih promotif. Salah satu cara yang dipilih adalah menggunakan AI dalam industry kesehatan. Hal kedua yang menjadi prioritas adalah pemanfaatan ‘big data’ mengingat penduduk Cina yang saat ini sudah mencapai 4.1 milyar. Pembangunan big data di Cina dibagi ke dalam tiga tahap, membangun systematif platform, aplikasi big data, dan inovasi dalam AI.
Kedua, Jerry Liao, pendiri WeDoctor. WeDoctor didirikan karena Jerry merefleksi jumlah pasien rawat jalan di Cina saat ini (7.9 milyar per tahun), dan pola akses kesehatan yang mereka lakukan (46% di RS tersier, 40% di RS sekunder dan hanya 14% di primary care). Jerry menilai ada asimetri informasi sangat tinggi antara penyedia layanan dengan pasien dan juga inefisiensi yang tinggi, sehingga menyadari pentingnya konektivitas untuk memperbaiki pengalaman akses kesehatan dari masyarakat. WeDoctor adalah ‘dokter internet’ terbesar di China, yang bekerja sama dengan 2700 RS, lebih dari 240.000 dokter, lebih dari 15.000 apotek dan lebih dari 160 juta anggota. WeDoctor membantu masyarakat yang berada di pedesaan dan jauh dari fasilitas kesehatan untuk tetap mendapatkan diagnose dan pengobatan yang dibutuhkan walau pun berada di rumah, dan membantu mengurangi waktu tunggu untuk rawat jalan di fasilitas kesehatan. Jerry mengharap WeDoctor di masa depan dapat membantu menurunkan hingga separuh dari kebutuhan kesehatan untuk dapat dipenuhi di rumah, dan 35% dari kasus dapat dikontrol dan diselesaikan di primary care. WeDoctor juga dilengkapi dengan WeDoctor primary care di 100 kota, dan juga mobile clinic yang khusus ditempatkan di wilayah pedesaan, untuk menyediakan layanan kesehatan yang selama ini sulit didapatkan. Tahun depan, WeDoctor mentargetkan mobile clinic dapat melayani 100 juta orang di pedesaan.
Sesi kedua berisi topik-topik terkait inovasi teknologi yang telah digunakan saat ini. Teknologi pertama yang dibahas adalah teknologi genomes yang memastikan bahwa obat yang digunakan cocok dengan DNA kita. Pembicaranya adalah Dr Robert Green dari FK Harvard. Robert memprediksi bahwa di masa depan precision medicine akan menjadi arah baru dalam pengobatan, dan gen sequencing adalah cara untuk melakukannya. Genetika kita mengandung informasi yang sangat detil mengenai berbagai risiko kesehatan yang mungkin akan kita alami (khususnya penyakit khusus dan rare), sehingga kita dapat melakukan tindakan atau perubahan yang diperlukan untuk mengurangi risiko tersebut. Robert mendirikan Genomes2People yang memungkinkan setiap orang melakukan gen sequencing dan menghasilkan laporan ringkas (1 halaman) yang mudah dimengerti oleh orang awam, sehingga mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan mengenai risiko-risiko khusus (termasuk risiko yang akan diturunkan kepada anak-anak kita), respon yang lebih baik (atau lebih lambat) terhadap pengobatan tertentu, dsb. Robert memberikan contoh, Angelina Jolie yang melakukan masektomi karena secara genetika memiliki kemungkinan kanker payudara yang langka. Namun ada pula pendekatan yang tidak terlalu ekstrim, misalnya seseorang yang secara genetika memiiki risiko kanker usus mungkin akan melakukan colonoscopy secara teratur.
Pembicara berikutnya, Dr Catherine Morh, berbicara mengenai bedah robotic. Walau pun bedah robotic merupakan hal yang sering dianggap ‘mahal’, namun Catherine mengingatkan bahwa investasi yang tinggi biasanya bukan pada produknya itu sendiri melainkan pada berbagai pelatihan dan perubahan dalam disain, sistem dan organisasi RS untuk mengakomodasi bedah robotic. Selain itu Catherine mengingatkan bahwa dalam layanan termasuk layanan kesehatan, ‘biaya’ bukan pokok utamanya, melainkan ‘value’. Sebagai contoh, kebutuhan risiko yang menyertai tindakan bedah mungkin akan selalu ada, tetapi risiko dapat diperkecil melalui minimum invasive surgery. Namun agar bedah robotic hanya akan bermanfaat di sistem yang value-based, yang memiliki karakter pay for performance, quality of service, rendahnya readmisi. ‘Value’ adalah outcomes dan patient experience yang dibandingkan dengan biaya langsung dan tidak langsung. Catherine menyebutkan, misalnya, dampak jangka panjang (terkadang seumur hidup) yang harus dialami pasien akibat suatu tindakan bedah. Hal ini mungkin luput dari perhatian dokter, namun Catherine mengingatkan akan kualitas hidup pasien yang merupakan “biaya tidak langsung” yang lebih tinggi bagi pasien.
Saat makan siang, Victor Fung menyampaikan arti penting layanan kesehatan dalam ekonomi global. Victor menggarisbawahi ada tiga hal yang mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu perdamaian, globalisasi dan teknologi. Hanya hal-hal ini yang memungkinkan pencapaian SDG no 3 tanpa melupakan keseteraan dan keadilan. Victor mengingatkan bahwa hanya kesehatan individu dan keluarga yang memungkinkan orang untuk menjadi produktif. Dan sebaliknya, dengan menjadi produktif, akan tersedia sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara setara dan adil. Namun Victor juga menyatakan bahwa dunia yang berubah begitu cepat membutuhkan orang-orang yang dapat melakukan learn dan unlearn, learn sesuatu yang baru, dan unlearn hal-hal lama yang mereka percayai. Tanpa kemampuan unlearn, kita tidak dapat learn sesuatu yang baru. Unlearn pertama adalah bagi masyarakat untuk berhenti mengejar kesembuhan (dari penyakit) , tetapi lebih berpikir pada wellbeing secara keseluruhan. Victor mengingatkan, bukan hanya longevity yang penting, tetapi healthy ageing, healthy and happy longevity. Unlearn yang lain, adalah unlearn dari pemerintah bahwa pemerintah adalah satu-satunya sumber solusi bagi semua masalah dalam menyediakan layanan bagi publik. Pemerintah perlu mengakui dan menghargai potensi dari sektor swasta dan masyarakat akan kemampuan mereka menyediakan solusi yang inovatif dan praktis. Unlearn berikutnya adalah unlearn dari dunia usaha dan masyarakat. Victor berbicara mengenai pentingnya sebagai dunia usaha untuk tidak hanya berpikir mengenai profit jangka pendek tetapi juga value dan manfaat jangka panjang, serta berkeinginan untuk bekerjasama dengan banyak pihak, dan bahwa setiap individu harus merenungkan bagaimana mereka dapat give-back kepada masyarakat, menjadikan kehidupan lebih baik. Hanya dengan cara ini, perdamaian, globalisasi dan teknologi dapat tercapai dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Setelah makan siang, sesi diisi oleh berbagai pendekatan holistic terhadap kesehatan dan wellbeing. Dibahas mengenai dua praktek kuno yang berasal dari Asia, yaitu Ayurvedic dan pengobatan tradisional Cina, yang memiliki potensi luarbiasa untuk menjaga kesehatan dan wellbeing dengan risiko yang sangat rendah. Dr Mao Shing Ni dari Yo San University, menceritakan bagaimana ia pulih dari kelumpuhan dan brain damage berkat pengobatan herbal Cina. Dr Mao juga merawat pasiennya dengan pengobatan tradisional, olahraga dan life-coaching. Pembicara berikutnya, Dr Suhas Kshirsagar mengingatkan bahwa hidup yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak menyeimbangkannya dengan hal-hal yang mendatangkan wellbeing akan mengarah pada hidup yang tidak sehat, tidak bahagia dan bahkan toxic. Ketidakbahagiaan merupakan salah satu alasan utama mengapa orang menjalani cara hidup yang tidak sehat (makan berlebihan, dsb). Hal ini dikontraskan oleh pembicara ketiga dengan bagaimana krisis kesehatan terjadi di Amerika, sehingga muncul istilah ‘generasi Rx’. AS mengkonsumsi USD 1,026 per capita untuk obat-obatan. Dalam setiap dollar, 20% akan digunakan untuk biaya kesehatan. Sang pembicara, Robyn O’Brien menyatakan bahwa apa yang kita makan merupakan salah satu penyebabnya. Makanan yang diproduksi secara GMO, dan pestisida akan mempengaruhi kita pada jangka panjang. AS mulai memproduksi tanaman pangan GMO pada tahun 1980an, dan sejak itu angka alergi terhadap makanan meningkat dengan pesat di AS, begitu pula kanker serta autism. Oleh karena itu kita diingatkan untuk kembali ke makanan alami dan organik, untuk menghindarkan kita dari penyakit di masa depan.
Sesi terakhir pada hari ini berbicara mengenai kualitas hidup dan apa hal-hal penting yang dapat dilakukan untuk memastikan hal ini dalam jangka panjang. Berbagai contoh yang diangkat khususnya terkait apa yang dibutuhkan lansia, yaitu konektivitas sosial, interaksi, hidup yang aktif dan bermakna. Sisi manusiawi dari sebuah hubungan sosial menjadi penting untuk diangkat kembali, khususnya dalam dunia yang serba digital di mana interaksi face-to-face semakin berkurang.
Sebagai penutup acara, host kita Lakshmi, membuat refleksi dari acara dua hari ini. Kita semua diingatkan kembali ke kuotasi yang membuka acara kemarin, “It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was epoch of incredulity …”. Baik buruknya masa hidup kita dan masa depan kita akan ditentukan oleh keputusan yang kita buat.
Refleksi untuk Indonesia
Teknologi, khususnya teknologi digital telah menghasilkan disrupsi yang mengarah pada layanan kesehatan yang lebih baik. Berbagai inovasi yang dibahas hari ini adalah tidak hanya yang bersifat high-tech dan mahal misalnya bedah robotic terbaru, gen sequencing, dll, tetapi juga berbagai inovasi dalam produk portable dan wearables. Yang dibutuhkan adalah inovasi dan kemampuan untuk melihat value dalam layanan untuk kualitas hidup dan wellbeing dari pasien. Inovasi tidak harus mahal, seringkali inovasi dapat menjadi affordable dan praktis, awalnya hanya memiliki tactical competitive advantage tetapi dapat berkembang menjadi strategic competitive advantage dengan mengubah business model mereka. Pada tahap yang lebih matang, kita harus memiliki frugal mental model, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi dan melakukan inovasi dengan menggunakan teknologi dan knowledge yang saat ini sudah ada, dan mendorong co-creation (inovasi yang dapat dilakukan bersama-sama, lintas ilmu).
Dari perspektif sistem kesehatan, kalimat yang berulangkali disebut dalam pertemuan ini, mau pun pertemuan ini 2 tahun yang lalu, tetap sama, yaitu bahwa sistem kesehatan kita harus berpindah dari ‘sick-care’ menjadi ‘health-care’. Selain itu, bahwa secara individual kita harus lebih memperhatikan dan mengambil keputusan yang bertanggungjawab untuk causes of health untuk diri kita sendiri. Masyarakat kita perlu diedukasi untuk melihat kesehatan sebagai total wellness, yaitu jiwa dan raga. Hal ini khususnya semakin relevan mengingat populasi di Indonesia akan menua, dan biaya kesehatan lansia adalah 3-5 kali dari biaya kesehatan usia produktif.
Reportase: Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)
Disclaimer: Kehadiran kami dimungkinkan oleh dukungan idsMed dan IndoHealthCare.