Akses Untuk Obat yang Berkualitas dan Terjangkau dalam Implementasi JKN di Indonesia “Ending the Vicious Cycle”

underline

Pada 9 November 2017, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerjasama dengan GP. Farmasi Indonesia dan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) menyelenggarakan forum dialog Akses untuk Obat yang Berkualitas dan Terjangkau dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dengan tema “Ending the Vicious Cycle”. Acara ini diselenggarakan di Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat.

Acara dibuka oleh Direktur Eksekutif CSIS, Philips J. Vermonte. Philips menyampakan bahwa isu kesehatan di Indonesia sudah menjadi salah satu isu yang sangat penting di CSIS. Forum ini dapat dijadikan sebagai wadah mengumpulkan para ahli, pembuat kebijakan, dan stakeholder sehingga dapat memulai melakukan riset dan mendiskusikan tentang isu kesehatan. Pihaknya juga menyampaikan bahwa isu kesehatan mengenai JKN sangat kompleks. Isu JKN bukan hanya terbatas pada kepesertaan saja, melainkan juga harus dikaitkan dengan koordinasi, kooperasi, investasi, dalam hal pengetahuan, waktu, instansi, dan lainnya.

9novv

Sesi 1 : Perspektif Global dan Regional

suwwitSesi 1 menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof. Hans Hogerzeil dari University of Groningen, Netherlands dan Dr. Suwit Wibulpolprasert serta Ms. Woranan Witthayapipopsakul dari International Health Policy Program, Ministry of Health, Thailand. Moderator sesi ini adalah Prof. Dr. Tikki Pangestu dari Lee Kuan Yew School of Public Policy.

Prof. Hans Hogerzeil memaparkan perspektif global terhadap akses obat untuk JKN. Dalam paparannya, Hans menyampaikan bahwa suatu obat menjadi sangat esensial ketika obat tersebut sangat mahal tetapi banyak dibutuhkan. Konsep obat esensial adalah jangkauan terbatas pada obat-obatan esensial yang dipilih, yang mengarah pada layanan kesehatan yang lebih baik, manajemen obat yang lebih baik, dan biaya yang lebih murah. Definisi obat esensial yaitu obat yang memenuhi prioritas kebutuhan layanan kesehatan di masyarakat.

Dalam hal akses terhadap obat-obatan esensial yang ada, Hans menekankan bahwa pengobatan kronis seumur hidup dengan obat-obatan esensial murah untuk NCDs menyebabkan tingginya pengeluaran di bidang kesehatan, kebangkrutan, dan kematian. Hans juga menyampaikan bahwa kurangnya pemerataan obat-obatan esensial yang tersedia hanya bisa dikoreksi oleh pemerintah melalui asuransi kesehatan sosial dengan subsidi untuk masyarakat miskin. Perlu disadari pula bahwa pengaruh globalisasi dan kurangnya kontrol peraturan di negara berpenghasilan menengah ke bawah menyebabkan banyaknya obat yang tidak memenuhi standar di pasaran, sehingga perlu fokus pada penegakan hukum terhadap beberapa badan peraturan yang dipalsukan.

woranMateri selanjutnya dipaparkan oleh Dr. Suwit Wibulpolprasert dan Woranan Witthayapipopsakul mengenai pengalaman Thailand dalam memastikan akses terhadap obat-obatan yang terjangkau dan berkualitas untuk UHC/JKN.

Sistem JKN di Thailand mulai dibangun sejak 1975. Hingga sekarang, kebijakan obat nasional diperbarui setiap 5 tahun sekali. Setiap kebijakaan obat nasional yang dibuat akan ditranslasikan ke dalam daftar nasional obat-obatan esensial (National List of Essential Medicines – NLEM). NLEM adalah manfaat farmasi dasar yang menjadi hak warga Thailand untuk skema asuransi kesehatan utama JKN. Beberapa kriteria dalam seleksi NLEM antara lain kebutuhan kesehatan, efektivitas biaya, dampak anggaran, kelayakan pengiriman, dan pemerataan. Obat-obatan herbal dan obat-obatan dengan harga yang sangat mahal pun masuk ke dalam NLEM.

Thailand menggunakan harga standar sebagai harga referensi untuk pengadaan publik, mencakup obat-obatan modern, tradisional, maupun herbal. Penetapan harga standar bertujuan untuk memastikan harga yang wajar di bawah persaingan pasar.

Terkait dengan sistem pengadaan pemerintah, fasilitas umum harus mendapatkan obat-obatan penting yang diproduksi oleh organisasi farmasi pemerintah. Pengadaan dilakukan secara terpusat, melalui proses seleksi, spesifikasi, perkiraan permintaan, negosiasi harga, pengadaan dan distribusi.

Pelajaran yang bisa diambil dari sistem JKN yang diterapkan di Thailand adalah JKN meningkatkan daya negosiasi publik melalui harga referensi standar pembelian monopsonistik, pengendalian anggaran akhir yang efisien memotivasi rumah sakit untuk menggunakan obat generik yang dapat menghemat biaya dan manfaat industri local, sistem pengadaan dan tawar-menawar secara kolektif dapat menjamin akses yang terjangkau terhadap obat-obatan berkualitas, dan beberapa mekanisme ada untuk memperkuat industri lokal bersamaan dengan memastikan akses terhadap obat-obatan esensial.

Sesi 2 : Tantangan yang Dihadapi Indonesia dan Pilihan Kebijakan

sesi29novSesi 2 menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Prof. Dr. Tikki Pangestu mewakili Prof. Djisman Simandjuntak dari Universita Prasetya Mulya dan Syarifah Liza Munira dari Universitas Indonesia; Ir. Ferry Soetikno, M. Sc., MBA. dari Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia; dan Mr. Jorge Wagner, Ketua International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG). Moderator sesi ini adalah Johannes Setijono, Ketua Dewan Penasehat GP Farmasi Indonesia.

Prof. Dr. Tikki Pangestu mengawali sesi ini dengan membahas akses terhadap obat-obatan yang terjangkau dan berkualitas di Indonesia. Status kesehatan di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini juga diiringi dengan kenaikan Indeks Kualitas Akses dan Kesehatan setiap tahunnya. Namun peningkatan indeks kualitas akses dan kesehatan masih cukup rendah bila dibandingkan dengan negara-negara sekitar seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Pesan kunci terhadap akses obat-obatan yang terjangkau dan berkualitas antara lain : secara keseluruhan kemajuan tersebut sudah terlihat namun tantangan masih tetap ada; Indonesia cukup mahir dalam menghadapi penyebab penyakit tertentu (misalnya kanker rahim) tapi masih lemah di sisi lain ( misal TB); dari segi pembiayaan, pembayaran out of pocket masih cukup tinggi; harga obat-obatan masih cukup tinggi antara obat generik dan obat bermerk; dan isu seputar tantangan menyeimbangkan harga dan kualitas.

Beberapa tantangan dalam menyeimbangkan harga dan kualitas antara lain : penekanan yang berlebihan terhadap pengurangan harga dapat membahayakan kualitas dan keamanan dan menyebabkan komplikasi medis, mengurangi keefektifan, perawatan di rumah sakit yang lebih lama dan waktu pemulihan yang lama untuk pasien; diperlukan koordinasi yang lebih baik antara pemangku kepentingan termasuk produsen, LSM, konsumen, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, LKPP, dan BPOM; dan kelangsungan hidup dan keberlanjutan industri farmasi nasional ikut dipertaruhkan jika keseimbangan harga dan kualitas tidak dipecahkan secara kolegial, adil, dan transparan.

sesi29nov2Ir. Ferry Soetikno, M. SC., MBA memaparkan keberlanjutan Industri Farmasi di Indonesia dalam mendukung JKN. Isu utama yang selalu terjadi dalam fenomena pelaksanaan program JKN adalah persediaan obat. Untuk itu, keberlanjutan industri farmasi menjadi sangat penting. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam keberlanjutan industri adalah peningkatan kapasitas internal sebagai komitmen dalam mendukung JKN. Selain itu, seleksi produk juga menjadi sangat penting. Hal ini berkaitan pula dengan rencana kerja operasional untuk mengidentifikasi kebutuhan yang harus dipenuhi setiap tahunnya. Pola pemesanan pun perlu diperhatikan untuk dapat mengetahui status persediaan obat saat ini, terlebih jika ada pemesanan skala besar untuk menghindari stock out. Hal lain yang juga menjadi sangat penting adalah risiko pasokan dan erosi harga. Dalam empat tahun terakhir penawaran berdasarkan harga menghasilkan penurunan harga hingga mencapai 40%.

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mendukung program JKN dan keberlangsungan industri farmasi adalah persaingan sehat, sistem penghargaan dan hukuman yang adil dan jelas, memprioritaskan produk buatan lokal, menggerakkan tindakan promotif dan preventif, sistem tender tidak hanya berdasarkan pada harga namun juga pada prestasi, dan meningkatkan investasi untuk melaksanakan rencana kerja industri farmasi Indonesia dan melakukan penelitian, serta memasukkan produk penelitian sendiri ke dalam e-catalogue.

wagnerMr. Jorge Wagner dari IPMG memberikan paparan mengenai tantangan dan peluang kemajuan terhadap program JKN. Kemajuan program JKN telah terlihat dalam prosesnya meskipun ada tantangan awal dalam pelaksanaan JKN. Penyempurnaan yang dilakukan terus-menerus ini akan menjamin ketersediaan obat generik berkualitas dan produk inovatif, diiringi dengan peningkatan proses perencanaan, proses seleksi obat / akses awal obat-obatan inovatif, proses lelang dan negosiasi, implementasi e-katalog lebih lanjut, serta mendorong penggunaan yang tepat melalui pedoman pengobatan standar.

Perbaikan jangka panjang terhadap program JKN sangat diperlukan. IPMG berkomitmen dalam mencari solusi transformatif yang memerlukan pengaturan prioritas, dialog dan kerjasama antar pemangku kepentingan, termasuk kemitraan antara sektor swasta dan publik. Selain itu, pendekatan inovatif, termasuk co-payment, mengelola kesepakatan pembagian masuk dan risiko, dengan proses berbasis bukti untuk pengambilan keputusan harus dipertimbangkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perbaikan jangka panjang adalah meningkatkan akses terhadap obat-obatan inovatif, kemungkinan transfer teknologi dan investasi pengembangan klinis.

Sesi 3 : Lanskap dan Situasi Indonesia : Perspektif Pembuat Kebijakan

togiSesi 3 menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Dra. Togi Hutadjulu, Apt., MHA., Direktur Pengawasan Produk Terapeutik dan Narkotika serta Zat Psikotropika dan Adiktif BPOM; Prof. Dr. dr. Fachmi Idris M.Kes., Direktur Utama BPJS Kesehatan; dan Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph. D., Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan. Moderator sesi 3 adalah Dr. Becky Prastuti Soewondo, SE., MPH. daro Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Dra. Togi Hutadjulu, Apt., MHA. menyampaikan bahwa Badan POM berperan dalam mengawasi jaminan keamanan dan mutu obat di Indonesia. Komponen pengawasan obat disesuaikan dengan standar WHO Global Benchmark Tool, yaitu menggunakan sistem pre market dan post market.

Ada beberapa tantangan terkait kesinambungan jaminan mutu obat. Penetapan pemenang tender berdasarkan harga obat yang termurah diduga berimplikasi pada trade-off terhadap jaminan mutu obat akibat pelaksanaan bisnis yang tidak profesional, khususnya dalam kepatuhan penerapan ketentuan regulatori sesuai saat diberikan ijin edar. Tantangan lainnya adalah terjadinya peningkatan toll manufacturing kerjasama antar perusahaan domestik dan MNC. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, BPOM perlu lebih peka dan akomodatif dengan mengawal regulator lebih intensif sesuai ketentuan yang berlaku.

Langkah strategis yang perlu dilakukan terhadap jaminan mutu obat pada era sistem JKN ini antara lain peningkatan pelaksanaan kawalan jaminan mutu secara komprehensif baik dari aspek khasiat, keamanan, maupun mutu; penyempurnaan dan penyusunan regulasi yang diperlukan; peningkatan efektivitas dan efisiensi tersedianya obat dengan menerapkan standar dan persyaratan nasional dan internasional; peningkatan pemenuhan standar dan persyaratan jaminan mutu, peningkatan kerjasama lintas sektor dan jejaring kerja, serta pemberdayaan lintas sektor dan masyarakat dalam pelaksanaan Risk Communication.

idrisProf. Dr. dr. Fachmi Idris M.Kes. memaparkan tentang perspektif pembuat kebijakan dari sisi BPJS Kesehatan. Pada 2016, peserta Jaminan Kesehatan Nasional mencapai 171.9 juta peserta. Pemerintah telah mencanangkan peserta JKN pada 2019 bisa mencapai 100% populasi Indonesia. Di lain pihak, ada beberapa masalah yang sering dikeluhkan oleh peserta JKN antara lain biaya, display kamar, sistem antrian, dan ketersediaan obat. Masalah ini menjadi fokus penyelesaian pada 2017.

BPJS Kesehatan sendiri tidak memiliki kewenangan dalam mekanisme pengadaan dan penanganan kekosongan obat, tetapi menjadi kontak pertama penyampaian keluhan, sehingga perlu adanya kerja sama dengan instansi lain seperti Kemenkes, BPOM, LKPP, Industri Farmasi, dan organisasi profesi dalam menangani kasus ketersediaan obat supaya lebih cepat.

Usulan perbaikan yang perlu dilakukan untuk mendukung program JKN antara lain: penetapan formulatorium nasional bersamaan dengan penetapan harga, adanya masa transisi pemberlakuan kebijakan obat untuk sosialisasi dan perbaikan sistem, adanya regulasi yang mewajibkan semua fasilitas kesehatan untuk memberikan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) karena saat ini komitmen penyediaan RKO hanya ada di kontrak antara BPJS Kesehatan dengan faskes, pemberian akses e-purchasing bagi faskes swasta dan apotek, dan harga obat berlaku secara nasional. Selain itu, fasilitas kesehatan perlu diberikan kewenangan untuk mengadakan obat lain selain yang tercantum dalam e-catalogue sebagai substitusi jika terjadi kekosongan obat dan BPJS Kesehatan akan membayar sesuai dengan harga e-catalogue.

mauraDra. Maura Linda Sitanggang, Ph. D. memaparkan kebijakan tata kelola obat JKN. Langkah-langkah yang dilakukan terdiri dari Formulatorium nasional, Rencana Kebutuhan Obat, dan Pengadaan obat.

Tantangan yang ada dalam tata kelola obat JKN adalah RKO tidak akurat, obat yang akan diadakan tidak tayang dalam e-katalog, kewajiban satker/faskes dalam hal pembayaran belum diselesaikan, pembelian yang mendadak dan tidak terencana, akses e-purchasing bagi fakses swasta, dan persyaratan administrasi dari satker/faskes tidak lengkap. Solusi dari tantangan ini antara lain meningkatkan kepatuhan menyerahkan RKO dan kearutannya. Pada 2019 akan diatur kewajiban menyerahkan RKO yang dikaitkan dengan sanksi. Pengadaan obat dapat dilakukan dengan cara lain jika tidak ada dalam e-katalog. Selain itu, kewajiban satker/faskes dalam hal pembayaran kepada distributor harus segera diselesaikan supaya pemesanan berikutnya dapat dilayani.

Pada akhir sesi, Dra. Maura menekankan bahwa ketersediaan obat tergantung pada perencanaan kebutuhan, perencanaan pengadaan, proses pengadaaan, dan proses pendistribusian. Pengaturan terkait kewajiban menyerahkan RKO dan sanksinya akan mulai diterapkan pada 2019. Sedangkan akses e-purchasing bagi faskes swasta, sesuai rekomendasi KPK, akan diberikan pada 2018. Di samping itu, penerapan komitmen industri farmasi sebagai penyedia katalog obat harus dievaluasi terus menerus, termasuk evaluasi kesiapan industri farmasi sebagai penyedia obat.

Sesi 4 : Diskusi

Sesi Diskusi dipimpin oleh Dr. Nafsiah Mboi dan adalah Prof. Dr. Tikki Pangestu. Topik diskusi fokus pada tiga aspek, yaitu akses masyarakat terhadap JKN dengan kualitas dan efektifitas yang layak, keberlanjutan dari JKN dan farmasi, serta kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta.

The realist approach to policy implementation: How to capture the multilevel interactions that explain adoption, implementation and outcome?

Jean-Paul Dossou (Institute of Tropical Medicine, Belgium)
Brisbane, 24 Oktober 2017

Sesi ini memaparkan penelitian menggunakan pendekatan realisme untuk menilai atau mengevaluasi implementasi kebijakan di berbagai level. Menurut presenter sesi ini, dalam menilai implementasi kebijakan dengan pendekatan realist, dua hal harus dilakukan yaitu: (1) mendefinisikan secara jelas luaran atau outcome yang diinginkan serta; (2) konfigurasi C-M-O yang menjadi dasar pendekatan realist evaluation. Outcome kebijakan bisa berupa “penurunan angka mortalitas”, “tingkat akseptabilitas suatu program”, atau lainnya tetapi harus terdefinisi dengan jelas dan dapat diukur. Konfigurasi C-M-O juga harus jelas, misalnya mekanisme yang terjadi, konteks dimana suatu kebijakan diimplementasikan dalam hubungannya dengan outcome yang akan dilihat.

Sejumlah tantangan dalam mengevaluasi kebijakan dengan pendekatan realist evaluation yang dipaparkan dalam sesi ini berhubungan dengan:

  1. Outcome penelitian mungkin lebih sebatas evaluasi disain suatu kebijakan atau kelayakan kebijakan itu sendiri tetapi tidak secara langsung memberikan evaluasi hasil implementasi kebijakan itu sendiri. Hal ini dapat mengurangi nilai penelitian itu karena tidak mencapai tujuan evaluasi, yaitu apakah kebijakan ini berhasil/gagal di berbagai konteks yang berbeda saat diimplementasikan di subpopulasi yang berbeda pula.
  2. Posisi peneliti yang mungkin membatasi akses terhadap produk kebijakan ataupun data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Implementasi kebijakan juga ada di beberapa level, sehingga evaluasi kebijakan juga harus dapat menjelaskan berbagai konteks dimana suatu kebijakan mungkin berhasil atau justru gagal diimplementasikan serta untuk siapa saja kebijakan ini bermanfaat serta melalui mekanisme apa saja kebijakan ini berhasil. Realist evaluation ini berbeda dengan riset implementasi (atau implementation research) dimana ada beberapa tipe outcome, seperti (1) akseptabilitas, (2) fidelity atau seberapa implementasi kebijakan sesuai dengan disain awalnya, dan lainnya. Di dalam realist evaluation, outcome tidak hanya berhenti di akseptabilitas atau fidelity, misalnya, tetapi terus melihat outcome kebijakan itu sendiri di berbagai level dengan menggunakan sub-outcome (termasuk akseptabilitas, misalnya) sebagai bagian dari mekanisme kebijakan itu sendiri. Misalnya, outcome kebijakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang dilihat dari tingkat kompetensi penyedia layanan kesehatan mungkin cukup dapat diterima oleh pembuat kebijakan di level nasional dan provinsi (akseptabilitas) tetapi tidak untuk para petugas di lapangan ataupun masyarakat yang menerima layanan tersebut. Tingkat akseptabilitas yang berbeda ini kemudian dapat dijelaskan melalui berbagai mekanisme yang terjadi di level nasional, provinsi, serta di lapangan sendiri. Sehingga, outcome dari implementasi kebijakan sebaiknya dirumuskan dalam bentuk:

  • “apa dampak praktis (dari suatu kebijakan) yang ditimbulkan oleh mekanisme penyebab (proses implementasi) yang muncul di konteks tertentu?
  • Konstruksi yang merefleksikan langkah-langkah yang jelas dalam instalasi proses kebijakan
  • Merujuk pada kebijakan tertentu di level kebijakan tertentu pula
  • Hal-hal yang dapat memfasilitasi peningkatan pengetahuan

Dengan definisi di atas, tujuan evaluasi implementasi kebijakan dengan pendekatan realist evaluation adalah untuk “memberikan kerangka konsep implementasi kebijakan di berbagai level dan untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme serta berbagai konteks dimana kebijakan tersebut diimplementasikan”. Dalam evaluasi ini, juga digunakan istilah level makro, meso, dan mikro untuk tingkatan implementasi kebijakan.

Sebagai contoh kasus, sesi ini menggunakan kebijakan yang berfokus pada persalinan seksio caesarea di Belgia. Hasil dari evaluasinya dituangkan dalam tingkatan seperti gambar berikut ini (diambil dari Marchal et al., 2013, link:

http://www.abdn.ac.uk/femhealth/documents/Deliverables/FEMHealth_RE_metho_reflections_Final.pdf 

nov1

Hipotesis / skenario untuk temuan riset kebijakan:

  • Macro-level:
    • Tujuan utama kebijakan di level ini: proses administrasi draft kebijakan berjalan lancar dan ditranslasikan menjadi program kesehatan
      • Namun, kebijakan juga bisa jadi dihambat pada tingkat ini dengan beberapa skenario kemungkinan:
        • Draft kebijakan diperbaiki dan diteruskan (skenario terbaik)
        • Draft kebijakan tidak diteruskan (skenario terburuk)
        • Diteruskan sesuai rencana
        • Diteruskan dengan pengurangan desain dari draft kebijakan
  • Meso-level:
    • Tujuan utama kebijakan di level ini: Program diadopsi oleh manajer fasilitas
      • Skenario kemungkinan:
        • Adopsi dan adaptasi kebijakan dan juga konteks fasilitas tersebut, dimana kebijakan disesuaikan dengan konteks dan juga konteks fasilitas dibuat agar dapat menjadi tempat implementasi kebijakan itu sendiri (skenario terbaik)
        • Kebijakan diadopsi tetapi tidak disesuaikan
        • Konteks tidak disesuaikan dengan kebijakan
        • Tidak ada adopsi kebijakan (skenario terburuk)
  • Micro-level:
    • Di tingkat ini, implementasi kebijakan dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, pengguna layanan (pasien), dan keluarga pasien
    • Skenario kemungkinan:
      • Praktik kesehatan yang responsif terhadap perubahan kebijakan/program baru, dimana pelaksana program menyesuaikan diri dengan program baru dan sebaliknya, program disesuaikan pula dengan konteks baru (skenario terbaik)
      • Tidak terjadi implementasi di level mikro (skenario terburuk)
      • Implementasi mikro sesuai yang direncanakan
      • Implementasi tetapi tidak sesuai dengan kebijakan dasar

Dengan memetakan apa yang terjadi di setiap level di atas, outcome kebijakan bisa berbeda-beda (misalnya, terjadi skenario terbaik di level macro, tetapi di level meso tidak terjadi adaptasi kebijakan atau konteks yang tetap tidak sesuai untuk implementasi program baru). Hal ini akan lebih dapat memberikan gambaran detil apa saja mekanisme yang terjadi/tidak terjadi di setiap level serta bagaimana konteks implementasi kebijakan mendukung/menghambat implementasi kebijakan itu sendiri. Akan menarik untuk menggabungkan riset implementasi dan pendekatan realist evaluation ini untuk mengevaluasi program atau kebijakan kesehatan di Indonesia.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 {jcomments on}

Testing realist program theory – quantitative and qualitative impact evaluation

Andrew Hawkins, ARTD Consultants, Australia
Brisbane, 25 Oktober 2017

Prinsip dari pendekatan realist evaluation kembali ditekankan pada sesi ini dengan kaitannya pada kelebihan yang dapat ditawarkan sebagai solusi kepada pembuat kebijakan. Pertama, pendekatan ini mengidentifikasi untuk siapa dan pada situasi seperti apa mekanisme tertentu dapat mempegaruhi outcome. Pendekatan ini menghindari satu solusi untuk semua, tetapi mengidentifikasi konteks tertentu dimana beberapa mekanisme tertentu bekerja dan dapat berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap outcome yang diharapkan. Kedua, pendekatan ini dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang penting untuk implementasi intervensi di masa depan. Ketiga, pada kasus di mana intervensi dinilai gagal, pendekatan ini dapat membantu mengidentifikasi penyebab kegagalan intervensi tersebut. Keempat, memastikan adanya pendekatan ilmiah untuk kebijakan berbasis bukti. Pendekatan realist evaluation mengidentifikasi middle-range theories yang batasnya diartikan sebagai tidak sama spesifiknya dengan spesifik konteks dan tidak dapat tertransfer, tetapi tidak seabstrak sesuatu yang tidak informatif dan tidak dapat dites atau dibuktikan. Kelima, pendekatan ini dapat memberikan laporan tentang mekanisme intervensi yang menjadi penyebab perubahan terkait outcome dan bukan output. Sehingga fokus stakeholders dapat mengarah pada pencapaian outcome ini yang kemudian diaplikasikan ke dalam kegiatan perencanaan dan implementasi.

Dalam membandingkan impact evaluation dengan realist impact evaluation dapat diibaratkan bahwa realist impact evaluation adalah mikroskop sedangkan traditional impact evaluation itu teleskop. Hal ini menunjukkan realist impact evaluation menggambarkan situasi yang lebih detil dengan kemampuan menunjukkan setiap komponennya, proses kerjanya dan interaksi antar komponen. Lebih lanjut, realist evaluation dibandingkan dengan RCT, yang merupakan gold standard di metode penelitian, menunjukan betapa RCT lebih kuat dalam menunjukan dasar ilmiah namun kerap kehilangan makna ketika implementasi terutama dalam skala kebijakan yang berdampak luas. Hal ini disebabkan generalisasi dari hasil RCT dengan menciptakan situasi ideal demi melihat dampak intervensi terhadap outcome dinilai tidak cukup mampu mengidentifikasi konteks nyata di lapangan.

Pertanyaan besar kemudian muncul bagaimana membuat realist evaluation menjadi pendekatan ilmiah, dimana peran kreativitas dan kemampuan analisis evaluator memiliki peran besar dalam mengidentifikasi konteks, mekanisme dan outcome pada pendekatan ini. Beberapa langkah disebutkan oleh pembicara, sebagai berikut:

  1. Pengembangan teori-teori merupakan pokok dalam pelaksanaan realist evaluation.
  2. Interview dan temuan berupa perbedaan antar program memberikan stimulus untuk merumuskan teori.
  3. Perlu pemahaman untuk melakukan tes terhadap ide kita/evaluator. Terdapat tiga poin yang perlu diperhatikan yaitu, critical realism melalui debat, realist evaluation dengan melakukan tes Mechanisms, Contexts, and Outcomes (MCOs), dan berhati-hati untuk tidak overfitting data yang ada yang berdampak pada terlalu menyederhanakan kausal dari masalah apabila terlalu mengandalkan kreativitas pemikiran dan perbedaan antar program.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 {jcomments on}

Supporting policy dialogue for health planning and financing: A realist intervention theory of the Universal Health Coverage Parthnership

Speaker: Emilie Robert dan Denis Porignon (WHO, Switzerland)
Brisbane, 25 Oktober 2017

Universal health coverage (UHC) atau jaminan kesehatan semesta dinilai sebagai blueprint untuk penguatan sistem kesehatan di negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh speaker dan timnya masih berjalan pada saat presentasi ini disampaikan. Materi yang disampaikan pada presentasi ini adalah output pertama yang telah dicapai dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan realist intervention theory dengan melakukan studi kasus di beberapa negara (Togo, Liberia, Burkina Faso, Niger, DRC, Cape Verde). Sebagian besar metode yang digunakan adalah kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk membangun pemahaman yang lebih jelas mengenai bagaimana UHC-partnership dapat berkontribusi terhadap penguatan dialog kebijakan, bagaimana dan di konteks apa.

Pada output pertama yang ditemukan dari penelitian meliputi perspectif dari key stakeholders, yaitu: 1) Perspektif peneliti: terdapat tantangan untuk megenalkan intervention theory kepada stakeholders (reserachers: sociology dan anthropology) karena sebagian besar dari mereka masih awam dengan penggunaan intervention theory; 2) Perspektif pelaksana kegiatan (laporan/feedback dari lapangan): memperjelas situasi dalam proses implementasi program. Hal ini menjadi bermanfaat karena kerap kali para pelaksana kegiatan telah disibukan dengan kegiatan program hingga kehilangan kesempatan atau moment untuk menganalisis situasi maupun perkembangan selama ini; 3) Perspektif komisioner: para pembuat kebijkan kerap menekankan pada goal “berapa banyak (juta) nyawa diselamatkan” sebagai outcome akhir. Melalui intervensi ini, peneliti dapat mengkonfirmasi persepsi dari pembuat kebijakan dan mendemonstrasikan outcome sebenarnya dari intervensi yaitu pemahaman akan peran WHO sebagai sebuah institusi. Penelitian ini juga mampu menggambarkan proses yang sedang dan telah berjalan.

Sebagai penutup, speaker menyampaikan bahwa salah satu pencapaian sejauh ini yang cukup signifikan dari intervensi atau study ini adalah tingkat penggunaan hasil intervensi/utilization yang berhasil dicapai dengan melibatkan commissioner dan pelaksana program.

Reportase topik terkait:

Reportase oleh: Tiara Marthias & Dhini Rahayu Ningrum

 {jcomments on}

Pre-Kongres International Conference on Realist Evaluation and Review

Senin, 23 Oktober 2017

Pre-Kongres dari International Conference on Realist Resarch, Evaluation and Synthesis kali ini menghadirkan sejumlah pakar realist evaluation & synthesis. Dua topik utama yang dibawakan adalah mengenai Introduction to Realist Evaluation serta Introduction to Realist Synthesis. Kedua sesi ini sangat cocok untuk para peneliti dan evaluator yang akan memulai karir atau tertarik di bidang realism dan realist evaluation / synthesis.

Tentang Realist Evaluation

Andrew Hawkins (Director, ARTD Consulting)

Istilah “realistic evaluation” pertama kali diperkenalkan oleh Ray Pawson dan Nick Tilley pada tahun 1997, melalui buku berjudul “Realistic Evaluation” sebagai jawaban terhadap keterbatasan pendekatan ilmiah yang bersifat eksperimental. Realistic evaluation adalah pendekatan berbasis teori dan menggunakan paham realisme dalam melihat keberhasilan atau kegagalan program.

Seperti yang kita ketahui, metodologi seperti randomized control trial (RCT) tetap dianggap sebagai gold standard penelitian yang dapat memberikan penilaian objektif terhadap efektivitas suatu intervensi, seperti obat baru atau vaksinasi serta lainnya. Namun, intervensi yang bersifat sosial atau program yang bertujuan untuk mengubah tingkat pengetahuan atau perilaku tidaklah dapat dievaluasi dengan pendekatan eksperimental seperti RCT karena tidak semua aspek di populasi yang dibandingkan dapat dikontrol, seperti halnya penelitian RCT. Intervensi kesehatan, misalnya seperti promosi kesehatan untuk meningkatkan utilisasi layanan kesehatan, justru bekerja dengan mekanisme-mekanisme tertentu dan mungkin hanya efektif di populasi dengan karakteristik tertentu serta dipengaruhi oleh berbagai konteks yang ada di populasi itu sendiri. Interaksi dari semua aspek ini justru yang akan mempengaruhi efektivitas program promosi kesehatan tersebut. Sehingga, tidaklah sesuai apabila evaluasi program sosial seperti ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCT.

Pawson dan Tilley (1997) mengenalkan konfigurasi C-M-O, yaitu context – mechanism – setting berdasarkan prinsip filosofis realisme yang menganggap bahwa realitas yang sebenarnya ada di luar apa yang bisa diobservasi oleh manusia dan ada beberapa pola kejadian yang berulang untuk konteks dan setting tertentu. Andre Hawkins juga menyebutkan bahwa konfigurasi ini bisa disusun sebagai M-C-O. Sama seperti pendekatan positivisme lainnya, realist evaluation ini memegang prinsip objektivitas tetapi dengan lebih mendalami mekanisme yang dihasilkan oleh suatu intervensi atau program dalam konteks tertentu. Hal ini tentunya berbeda dengan RCT, dimana seluruh karakteristik populasi dikontrol dan dikondisikan sama dengan memperlakukan konteks sebagai ‘confounder’ penelitian.

Konfigurasi C-M-O:

pre1nov

Langkah-langkah yang disarankan untuk melakukan realistic evaluation ini adalah:

  1. Mengidentifikasi program theory. Teori program menjelaskan bagaimana elemen-elemen suatu intervensi (baik itu dalam bentuk program, strategi ataupun kebijakan) akan berkontribusi dalam menghasilkan output yang diinginkan. Teori program biasanya dituliskan dalam bentuk input-process-output/outcome, seperti berikut ini:

pre1nov

  1. Data yang didapatkan dari kegiatan evaluasi harus disusun dan dikategorikan sesuai dengan program theory dan tetap memegang prinsip konfigurasi C-M-O di atas. Jadi data akan berhubungan dengan apa saja yang telah dilakukan melalui program yang sedang dievaluasi (aktivitas dari intervensi/program) dalam konteks apa, mekanisme yang dihasilkan (proses), luaran/outcome serta orang-orang yang terlibat. Data yang dibutuhkan berupa kualitatif dan kuantitatif. Data yang berkaitan dengan outcome dikelompokkan menjadi beberapa sub-kategori, sesuai dengan program theory yang sudah dijabarkan di awal.
  2. Evaluator kemudian mengidentifikasi pola outcome kemudian menganalisis apa saja mekanisme yang muncul sehingga outcome-oucome tersebut dapat dihasilkan oleh intervensi yang sedang dievaluasi. Evaluator juga perlu melihat lebih jauh, dalam konteks apa saja mekanisme ini muncul atau tidak muncul. Sehingga, dalam konteks yang berbeda, bisa saja intervensi/program ini tidak menghasilkan output yang diinginkan karena mekanismenya tidak muncul. Konteks disini dapat berhubungan dengan sub-grup populasi dimana intervensi diterapkan, atau pemegang kepentingan/stakeholder yang berbeda-beda, proses dari implementasi intervensi itu sendiri, faktor-faktor organisasi, sosioekonomi, budaya serta kondisi politik.
  3. Proses analisis dari realist evaluation ini kadang perlu dilakukan berulang kali dan bolak-balik, dan harus kembali ke konfigurasi C-M-O. Hasil analisis berupa pernyataan yang menjelaskan konteks-mekanisme-outcome, misalnya:
    “Dalam konteks ini, mekanisme X (sebutkan mekanisme-nya) muncul untuk populasi X (sebutkan sub-populasinya) sehingga menghasilkan luaran/outcome X”.
  4. Langkah terakhir dari analisis adalah menghasilkan konfigurasi C-M-O yang paling dapat menjelaskan pola-pola luaran/outcome program yang didapatkan dari hasil observasi. Lalu konfigurasi C-M-O ini dibandingkan dengan program theory awal, apakah konteks, mekanisme dan output yang diinginkan memang muncul di implementasi di dunia nyata? Atau apakah untuk konteks tertentu, program ini tidak berhasil memunculkan mekanisme yang dibutuhkan sehingga diperlu perubahan di input atau proses dari implementasi? Sehingga, hasil realist evaluation ini dapat digunakan untuk perbaikan program ke depannya.

Mekanisme yang disebut di atas perlu dituliskan dalam bentuk middle-range theories, yaitu teori yang sifatnya tidak terlalu spesifik (sehingga tidak hanya akan berlaku untuk mekanisme yang terlalu sempit) tapi tidak terlalu luas juga (sehingga tidak akan menjadikan program/mekanisme itu seperti kebijakan one-size-fits-all yang terlalu umum untuk diterapkan di konteks yang berbeda-beda.

Realist evaluation ini memiliki nilai tambah untuk:

  • Menguji coba teori perubahan (theory of change) atau dalam proses pengembangan suatu program (juga bisa dalam bentuk process evaluation)
  • Mengukur keberhasilan suatu program yang memiliki target spesifik (misal populasi tertentu) atau menilai komponen dari suatu program yang diperkirakan (atau menurut program theory) bisa berhasil untuk populasi tertentu
  • Untuk mengetahui bagaimana suatu program (atau pilot program) dapat direplikasikan ke tempat lain (dengan lebih memahami konteks dan mekanisme dari program itu sendiri).

Sebaliknya, realist evaluation tidak akan terlalu membantu apabila tujuan evaluasi untuk akuntabilitas program saja, misalnya untuk seberapa besar effect size dari sebuah intervensi atau berapa cost effectiveness dari program A? Pasalnya realist evaluation akan menjelaskan lebih jauh dari sekedar apakah program tersebut berhasil atau tidak dan memberikan bagaimana program itu bekerja, untuk siapa serta melalui mekanisme apa.

Contoh singkat bagaimana realist evaluation dapat digunakan untuk mengevaluasi program/kebijakan kesehatan di Indonesia:

  • Kebijakan JKN untuk masyarakat berpenghasilan rendah:
    • Input: memberikan subsidi premi
    • Proses: Proteksi finansial akan melapangkan akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan saat populasi target sakit
    • Output:
      • Peningkatan utilisasi layanan kesehatan
      • Peningkatan status kesehatan
      • Turunnya pengeluaran out-of-pocket/catastrophic health expenditure
    • Mekanisme yang berpotensi ada dalam kebijakan ini:
      1. Program JKN akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan kesehatan
      2. Peningkatan akuntabilitas layanan kesehatan (penyedia layanan kesehatan dibayar melalui JKN dan bertanggung jawab terhadap para penerima benefit)
      3. Peningkatan kualitas layanan kesehatan dengan adanya sistem insentif JKN
      4. Berkurangnya pembayaran informal dan peresepan obat yang tidak rasional karena adanya sistem akuntabilitas dalam JKN
      5. Pemberi layanan kesehatan lebih aktif dalam men-skrining pasien dan menaati sistem rujukan berjenjang
    • Konteks:
      1. Latar belakang karakteristik dari penerima benefit
      2. Tingkat pengetahuan kesehatan
      3. Akses fisik ke layanan kesehatan (ketersediaan SDM atau fasilitas kesehatan, dan lain-lain)
      4. Sistem insentif yang diterapkan (kapitasi, pay for service, atau global budget, dan lain-lain)
Kemungkinan hasil analisis: sistem proteksi finansial untuk meningkatkan demand layanan kesehatan (atau yang sering disebut juga dengan demand-side-financing), dalam konteks di masyarakat berpenghasilan rendah di Jawa Timur (misalnya) berhasil memunculkan mekanisme peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan kesehatan yang berkualitas dan menyadarkan akan hak terhadap akses kesehatan sehingga berhasil meningkatkan tingkat penggunaan layanan di masyarakat”.

Namun, analisis dari realist evaluation ini juga mungkin akan menunjukkan hasil seperti berikut:

Hasil analisis alternatif: sistem proteksi finansial untuk meningkatkan demand akan layanan kesehatan (atau yang sering disebut juga dengan demand-side-financing), dalam konteks di masyarakat berpenghasilan rendah di NTT (misalnya) tidak berhasil meningkatkan tingkat penggunaan layanan di masyarakat karena adanya keterbatasan akses geografis ke layanan kesehatan yang berkualitas dan juga tingkat kesadaran masyarakat tidak meningkat secara signifikan karena rendahnya tingkat literasi pada populasi target ini”.

Di akhir sesi ini, digarisbawahi pula bahwa pendekatan realist evaluation dapat membantu konsep berpikir saat melakukan suatu evaluasi, yaitu dengan lebih mendetilkan bagaimana suatu program berhasil mencapai tujuannya dengan mekanisme apa saja dan dalam konteks yang seperti apa. Diharapkan konsep ini dapat membantu para pembuat kebijakan dan pelaksana program dalam menyusun intervensi yang disesuaikan dengan konteks spesifik, untuk populasi tertentu (dengan mempertimbangkan semua konteks yang ada di populasi itu) serta melalui mekanisme seperti apa yang diharapkan muncul saat pelaksaan program tersebut.

Untuk membaca lebih lanjut tentang realist evaluation ini, silakan klik link berikut:

  1. Introduction to Realist Evaluation
  2. Realist Evaluation chapter, Ray Pawson dan Nick Tilley (2004)
  3. Protocol—the RAMESES II study: developing guidance and reporting standards for realist evaluation (Greenhalgh et al., 2015)
  4. RAMESES II reporting standards for realist evaluations (Wong et al., 2016)

Contoh jurnal terkait kesehatan dan JKN yang menggunakan realist approach:

  1. What makes health demand-side financing schemes work in low and middle-income countries? A realist review. (Gopalan et al., 2014)
  2. Human resource management interventions to improve health workers’ performance in low and middle income countries: a realist review. (Dielemen et al., 2009)

Salah satu lembaga sosial yang bergerak di bidang program pembangunan di Indonesia (SOLIDARITAS) baru-baru ini menggunakan pendekatan realist evaluation untuk melihat keberhasilan program di bidang pendidikan. Salah satu peneliti SOLIDARITAS menuangkan pengalamannya di blog berikut ini.

Tentang Realist Review / Synthesis

Gill Westhorp (Professiorial Research Fellow, Charles Darwin University)

Sesi pre-conference ini dibuka dengan melihat bahwa cukup banyak penelitian (atau systematic literature review atau meta-analysis) yang melihat suatu intervensi yang serupa tetapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Misalnya, program peningkatan kesehatan ibu dalam bentuk pemberian voucher berhasil di daerah A tetapi tidak efektif di daerah lainnya. Atau program fortifikasi (pengayaan) pangan berhasil menurunkan angka kekurangan zat gizi mikro di negara X tetapi gagal di negara Y.

Realist review dilakukan berdasarkan teori (theory driven), menggunakan pendekatan kualitatif dan mixed-method serta menjadi alternatif (atau pelengkap) dari review konvensional seperti Cochrane review. Dengan melakukan realist review, diharapkan ilmu yang dihasilkan lebih dapat diterapkan ke isu-isu kebijakan yang relevan, terutama dalam hal menelaah berbagai program sosial yang bersifat kompleks dalam berbagai setting yang berbeda.

Realist review/synthesis adalah suatu pendekatan telaah dan analisis literatur sistematis yang lebih dalam melihat pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Untuk siapa program ini berhasil diterapkan?
  2. Dalam konteks apa program ini berhasil/tidak berhasil diimplementasikan?
  3. Dalam hal apa / sejauh apa program ini berhasil/efektif?
  4. Bagaimana program ini berhasil mencapai luaran/output yang diinginkan?

Dengan membuat pertanyaan penelitian seperti di atas, realist review berusaha mendetilkan analisis keberhasilan/kegagalan suatu program dengan melihat konteks dimana program tersebut diimplementasikan, untuk siapa program itu ditujukan, sejauh mana program tersebut mencapai tujuannya, serta bagaimana atau apa mekanisme yang membuat program tersebut berhasil. Realist review juga dilakukan untuk memperkaya teori program, sehingga hasil review dapat digunakan untuk mengembangkan atau memperbaiki berbagai program atau inisiatif lain.

Hal penting tentang realist review adalah:

  • Tidak berdasarkan program saja, tetapi melihat program theory yang ada dibalik suatu program/intervensi
  • Sehingga unit analisisnya adalah program theory dan bukan program itu saja
  • Bertujuan untuk menguji sebuah teori, atau theory-based dan bertujuan untuk memperbaiki teori itu sendiri
  • Beberapa program yang berbeda bisa memiliki program theory yang serupa, karena misalnya perubahan perilaku (misalnya memakai theory of change) bisa dihasilkan melalui berbagai pendekatan atau program yang berbeda-beda
  • Sumber literatur pun lebih beragam dibandingkan dengan systematic literature review atau meta-analysis konvensional

Strategi pencarian literatur untuk realist review:

  • Dilakukan secara berulang, tidak hanya terpaku pada “search term” awal karena dapat berkembang seiring dengan identifikasi teori atau mekanisme yang mendasari suatu program
  • Hasil penelitian/literatur tidak ditentukan semata-mata oleh jenis metodologi yang digunakan, karena metode tidak selalu menjamin kualitas data atau penjelasan yang diberikan oleh komponen-komponen dalam literatur atau laporan program
  • Keyword untuk pencarian juga meliputi kata kunci dari program theory
  • Kualitas penelitian atau evaluasi yang menjadi bagian dari review dilihat per bagian dan bukan keseluruhan laporan

Gill Westhorp juga menerangkan 7 langkah kunci dalam realist review:

  1. Membuat daftar teori yang mungkin diaplikasikan dalam jenis inisiatif/program yang akan ditinjau (theory elicitation), dengan cara membaca sumber-sumber tulisan tentang berbagai jenis teori yang dapat menjadi dasar program
  2. Pemilihan pertanyaan penelitian yang akan menentukan fokus review dan teori yang akan digunakan. Pada langkah ini, tentukan satu teori yang akan menjadi fokus review
  3. Mencari penelitian-penelitian atau literatur lain tentang evaluasi program yang sesuai untuk mengujicoba teori yang menjadi fokus tadi (theoretical sampling).
  4. Menentukan kualitas literatur yang menjadi bagian review (quality appraisal). Seperti yang disebutkan di atas, penilaian kualitas diberikan per komponen penelitian. Misalnya, walaupun suatu penelitian secara keseluruhan tidak memiliki metodologi yang kuat, bisa jadi satu komponen kecilnya tetap memberikan informasi yang berkualitas yang dapat dikaitkan dengan teori yang sedang di uji coba (misalnya bagian kualitatif tertentu dari penelitian tersebut).
  5. Mengambil data (theory extraction) dari literatur yang telah dikumpulkan. Langkah ini perlu dikaitkan dengan teori yang sedang diujicobakan melalui review ini. Hal yang dilihat saat pengambilan data ini adalah bagaimana komponen literatur dapat mendukung atau menolak teori di konteks tertentu.
  6. Sintesis atau perbaikan teori (theory refinement)
  7. Produk akhirnya adalah middle-range theory, yaitu teori yang cukup spesifik untuk dikembangkan menjadi suatu hipotesis dan cukup umum sehingga dapat ditransfer ke setting lain.

Untuk mempelajari lebih lengkap tentang realist review ini, beberapa sumber yang dapat digunakan ada di link berikut ini. Sedang dilaksanakan pula satu proyek besar bernama RAMESES yang bertujuan untuk membuat standar realist review dan realist evaluation, termasuk bagaimana cara menentukan kualitas review serta langkah-langkah dalam melakukan telaah.

Link ke RAMESES Project tentang realist review dan juga realist evaluation.

Beberapa contoh hasil realist review di bidang kesehatan:

  1. Providing oxygen to children in hospitals: a realist review (Graham et al., 2017)
  2. Improving organizational capacity to address health literacy in public health: a rapid realist review (Willis et al., 2014)
  3. Large-System Transformation in Health Care: A Realist Review (Best et al., 2012)
  4. Realist review and synthesis of retention studies for health workers in rural and remote areas (Dieleman et al., 2011)
  5. Implementing successful intimate partner violence screening programs in health care settings: Evidence generated from a realist-informed systematic review (Campo et al., 2010)
  6. Human resource management interventions to improve health workers’ performance in low and middle income countries: a realist review (Dieleman et al., 2009)

Keynote speech

Keynote speech:  Realistic evaluation: origins and destinations

Nick Tilley (University College London)
Brisbane, 24 Oktober 2017

Pada sesi ini, Nick Tilley yang juga menulis buku Realistic Evaluation bersama Ray Pawson (1997) memaparkan awal mula kedua penulis ini terjun ke dunia realisme dan merumuskan pendekatan yang sekarang dikenal dengan realist evaluation. Nick Tilley dan Ray Pawson adalah dua orang sosiolog yang merasa isu-isu sosial tidak tepat dievaluasi dengan pendekatan konvensional seperti randomized controlled trial (RCT). Namun, saat era 90-an sebelum realist evaluation dikenal luas, ada tendensi diantara peneliti untuk menempatkan RCT sebagai gold standard dalam mengevaluasi semua intervensi, termasuk intervensi sosial yang melibatkan aspek manusia yang begitu kompleks.

Ide awal realist evaluation dipublikasikan pertama kali dalam konferensi kriminologi di San Francisco pada 1991, kemudian diikuti dengan berbagai pubilkasi yang semakin mematangkan konsep realist evaluation ini. Ray Pawson lebih berkonsentrasi pada pengembangan metodologinya, sedangkan Nick Tilley dari sisi praktis dan kebijakan. Cukup menarik untuk melihat implementasi awal realist evaluation ini bermula dari topik kriminologi, dimana tingkat kriminalitas di seluruh dunia semakin turun akibat sejumlah intervensi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya.

Salah satu ilustrasi yang dipaparkan adalah fungsi dari kamera pengawas (surveillance/CCTV camera) dalam menurunkan atau mencegah terjadinya pencurian. Pertanyaan evaluasinya adalah: apakah/mengapa dan bagaimana kamera pengawas efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan?. Dengan pendekatan realist evaluation, ada beberapa teori di balik efektivitasnya:

  1. Calon kriminal / kriminal langsung dapat ditangkap karena polisi/petugas keamanan langsung dapat melihat kejahatan yang sedang/akan terjadi
  2. Calon kriminal / kriminal urung melakukan tindak kejahatan karena merasa diawasi dengan adanya CCTV tersebut

Dari 2 teori di atas saja, tampak bahwa CCTV bekerja berdasarkan setidaknya 2 mekanisme: (1) deteksi dan (2) pencegahan. Kedua teori ini perlu diuji lagi untuk menentukan pada lokasi tertentu dan jenis kriminal yang ada di lingkungan tersebut (misal, residivis mungkin tidak terlalu peduli apabila ada risiko tertangkap, sebaliknya remaja yang belum pernah berurusan dengan pihak berwajib akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan vandalisme dan juga faktor lain yang ada di dalam konteks yang sedang dievaluasi. Setelah ditentukan teori mana yang digunakan, maka perbaikan intervensi bisa dilakukan. Misal, untuk pencegahan, lebih baik CCTV diletakkan di tempat yang lebih terlihat agar calon kriminal langsung menyadari adanya CCTV. Sebaliknya, untuk konteks dimana deteksi lebih berperan, mungkin CCTV perlu diletakkan lebih tersembunyi dan langsung dihubungkan dengan sistem alarm polisi, dan sebagainya.

Sesi ini juga menekankan penggunaan middle-range theory dalam realist evaluation, yaitu teori yang diposisikan antara kebijakan besar (atau ‘big policy ideas’) dan level implementasi di lapangan. Hal ini penting karena tujuan realist evaluation untuk menunjukkan bagaimana suatu kebijakan/program/intervensi bekerja secara efektif, dalam konteks apa dan untuk siapa saja.

Nick Tilley kemudian memaparkan bahwa pendekatan realist evaluation ini menjanjikan dalam membantu evaluasi kebijakan yang kompleks. Namun, pendekatan ini masih dalam tahap awal dan butuh pengembangan metodologi serta meningkatkan penggunaannya dalam mengembangkan atau memperbaiki kebijakan di bidang sosial. Tantangan lain yang disebutkan berhubungan dengan penilaian kualitas evaluasi yang berdasarkan realist evaluation serta bagaimana memastikan rumusan middle-range theory dapat membantu perbaikan kebijakan. Hal ini sangat berhubungan juga dengan transferabilitas hasil realist evaluation itu sendiri yang cenderung dapat diinterpretasikan untuk konteks yang terbatas dan populasi target yang terbatas pula.

Dari sesi keynote ini, realist evaluation tampak sangat menarik untuk digunakan lebih lanjut dalam mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan, yang memiliki kompleksitas tinggi karena pendekatan ini akan memberikan gambaran lebih detil dan kontekstual dalam menilai berhasil atau tidaknya suatu kebijakan serta memberikan masukan untuk perbaikan ke depan agar kebijakan tidak bersifat one-size fits all.

Seven challenges for RE/RS: Seven tasks for the conference!

Raymond Pawson, University of Leeds, UK (in absentia)-Via video
Brisbane 25 Oktober 2017

Pada sesi ini, Ray Pawson berhalangan hadir untuk menyampaikan materinya. Namun Ray menampilkan video presentasinya yang sangat menarik dengan mengangkat 7 tantangan yang dihadapi dalam melakukan realist evaluation dan synthesis. Ketujuh isu ini menjadi bagian dari materi yang diharapkan dapat didiskusikan dan dijawab dalam seminar ini oleh para peserta seminar. Ketujuh isu tersebut meliputi:

  1. Mengganti ‘program-program’ dengan ‘programme theory’ sebagai unit dari analisis. Pada studi dengan pendekatan tradisional, seringkali gambaran keseluruhan dari suatu masalah menjadi tidak teridentifikasi atau tidak tertangkap. Hal ini disebabkan fokus dari evaluasi adalah pada program-program atau intervensi yang ada dan bukan program theory. Salah satu masukan dari Ray Pawson yaitu mengubah tahap awal dari evaluasi. Ray Pawson menekankan kelebihan dari menganalisis permasalahan yang ada terlebih dahulu sebelum menganalisis program kesehatan atau intervensi. Tahap awal ini disebut sebagai realist diagnostic of the program.
  2. Memperbanyak realist evaluation atau realist synthesis untuk bidang kebijakan dan bukan lagi program. Hal ini penting mengingat banyaknya penelitian evaluasi untuk menghasilkan evidenced-based policy namun jarang fokus terhadap ide-ide besar. Pendekatan realist untuk riset tentang ide-ide besar dan kebijakan dimulai dengan melihat aspek spesifik dari kebijakan, bagi dan fokuskan menjadi beberapa poin teori. Kemudian petakan menggunakan realist questions.
  3. Perlunya eksplorasi pada program dan sejarah kebijakan. Salah satu yang sering hilang dalam evaluasi suatu program adalah sequence antar program. Ketika kita terlalu fokus mengevaluasi satu program saja, banyak konteks lain yang hilang karena kita tidak melihat perbedaan antar program yang pernah dilakukan. Pemahaman ini akan memperkaya informasi lebih dari sekedar jawaban atas “apa yang membuat berhasil mencapai tujuan atau berhasil dilaksanakan”. Pemahaman atau eksplorasi antar program dan kebijakan yang ada, ditemukanadanya “kelelahan” program, dimana tingkat jenuh dari implementasi program telah terjadi dan menjadi salah satu faktor ketidakberhasilan suatu program.
  4. Presentasi atau visualisasi yang lebih baik dalam pemaparan realist theories. Seperti diagram teory of change atau program logic lainnya dalam studi evaluasi, panah-panah yang menjelaskan alur dari inputs, outputs hingga outcomes tidak terlalu dapat dipahami apa yang terjadi pada tahap panah/transisi ini. Sebaliknya, pendekatan realist dapat menjelaskan dengan lebih detil terkait apa-apa yang terjadi di ‘panah’ atau transisi ini dengan mencoba menggambarkan multiple dynamics system. Penjelasan ini mencakup konteks, mekanisme dan outcome yang berbeda-beda.
  5. Perlunya pemahaman yang lebih bahwa “theory testing” berarti “theory adjudication”. Poin ini menekankan pentingnya kemampuan dan pemahaman seorang researcher untuk dapat melakukan theory testing, yang berarti mampu menentukan di antara penjelasan yang masuk akal. Salah satu sindiran yang disampaikan adalah, apabila seorang mahasiswa mengalami kesulitan dalam menentukan setidaknya tiga penjelasan yang masuk akal untuk suatu program dapat berhasil atau gagal, maka sebaiknya mahasiswa tersebut memilih subject atau profesi yang lainnya.
  6. Meningkatkan pemahaman dan pengakuan bahwa realist explanation adalah trans-disciplinary. Penjelasan realist memerlukan pendekatan trans-disciplinary yang melibatkan banyak unsur keilmuan. Kompleksitas dari pendekatan ini dapat digambarkan dengan pohon realist, di mana banyak cabang yang mewakili beragam konteks, mekanisme dan outcomes.
  7. Mengurangi formula atau aplikasi tertentu dan memperbanyak pendalaman berpikir dan lebih banyak duduk. Intellectual craftsmanship menjadi pokok kegiatan yang harus lebih banyak dilakukan daripada mencoba memformulasikan kepingan informasi yang belum terpetakan. Pendekatan realist menempatkan peneliti sebgai aset yang penting dalam pengembangan riset evaluasi yang secara personal terlibat dalam kegiatan ini. Salah satu saran yang diberikan adalah dengan memiliki suatu diary atau dokumentasi perjalanan pemikiran (thinking journey) yang merekam perkembangan logika berpikir si peneliti dalam proses pengembangan realist evaluation. Dokumen ini penting menjadi acuan, bukan hanya untuk peneliti sendiri melainkan juga untuk keperluan pengembangan studi. Saran lainnya yang diberikan adalah dengan menggunakan pendekatan system project daripada single project.

Demikian 7 isu penting yang diharapkan oleh Ray Pawson dapat didiskusikan dalam seminar kali ini. Video menarik beliau menjadi penyemangat tersendiri dalam acara pembukaan seminar ini. Selain itu ke-tujuh isu di atas menjadi isu yang relevan dalam mengemebangan pendekatan realist untuk evaluation study ke depannya.

UNFPA Session

Pada hari kedua ini ada beberapa tema yang dibahas mengenai Keluarga Berencana dengan moderator dr. Likke Prawdya Putri, MPH. Tema pertama dengan pembicara dr. Annette Sachs Robertson (Representative UNFPA Indonesia) membahas mengenai

Universal Health Coverage : Sustainable Development Goals and Sexual and Reproductive Health and Rights

Disampaikan oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). UNFPA sampai saat ini telah bekerja sama dengan Indonesia selama 40 tahun. Terkait dengan SDGs bagaimana kebijakan pelaksanaan JKN khususnya kesehatan reproduksi. Di dalam tujuan SDGs terdapat 9 tujuan dimana Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) masuk ke dalam tujuan nomor 3 dan 5. Keluarga Berencana di Indonesia sudah mandiri dimana 70% program KB diberikan melalui sektor privat agar menuju arah kemandirian ber-KB, namun saat ini KB sudah diberikan oleh pemerintah melalui JKN.

materi

Family Planning Commodity in Universal Health Coverage

26okt 6oleh Dr. Melania Hidayat (Nasional Program Officer, UNFPA Indonesia). Indonesia termasuk negara dengan pencapaian KB yang cukup dramatis. Hanya dalam kurun waktu 25 tahun kita dapat menurunkan TFA lebih dari separuh, meningkatkan CPR 3 kali lipat, serta mengubah norma atau mindset “banyak anak banyak rejeki” saat ini menjadi “dua anak cukup”. Sejalan dengan perubahan politik dan sistem pemerintah, program KB ikut terdampak, termasuk struktur dan implementasi program. Desentralisasi KB terlihat terhambat, sehingga pada awal 2000 program KB di tingkat kabupaten tidak diperhatikan, hal ini ditinjau dari RPJMD segi kesehatan yang tidak mencantumkan program KB di dalamnya. Pendekatan KB saat ini harus diubah menjadi paradigma yang bahwa KB dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara. Jika dibandingkan ketika sebelum program JKN mulai diterapkan, sejak tahun 2000 semua indikator KB mengalami stagnasi bahkan menurun. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya adalah desentralisasi, atau karena Indonesia mengalami S curve dimana pada titik tertentu banyak indikator mengalami penurunan. Sedangkan pada era setelah JKN tepatnya pada 2016-2017 demand satisfied meningkat. Isu stockout atau ketersediaan alat kontrasepsi pada 2015-2016, stockout-nya meningkat. Saat ini dengan penerapan JKN, beban pemerintah untuk menyiapkan alat kontrasepsi bagi warga berlipat hingga 3 kali.

materi

Government’s Commitment to Achieve Universal Heath Coverage Through Right-Based Family Planning and Costed Implementation Plan

26okt 5oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS (Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olah Raga – Kementrian PPN / Bappenas). Integrasi perencanaan KB (right-based family planning) dilatarbelakangi oleh melemahnya kinerja program KB maupun angka kematian ibu yang tinggi. Dasarnya adalah hak asasi manusia untuk mendapatkan pelayanan, keadilan dalam akses, KB terintegrasi dalam sistem kesehatan, berbasis bukti, maupun sensitif gender. Strategi yang perlu dilakukan untuk right-based family planning diantaranya meningkatkan kualitas pelayanan terutama dari sisi suplai, meningkatkan penggunaan metode KB berkesinambungan, meningkatkan tata kelola pelayanan KB, dan aplikasi serta inovasi terkait riset. Terkait hal ini rencana pembiayaan implementasi untuk 2017 – 2019 sebesar Rp. 8.923 milyar. Selain itu diperlukan tahapan kegiatan agar right-based family planning ini dapat terwujud, dimana dimulai pada 2016 – 2017 sebagai tahun persiapan, 2018 sebagai tahun implementasi, 2019 sebagai tahun monitoring dan evaluasi, 2019 sebagai dokumentasi best practice, dan 2020 merupakan exit strategy dengan adanya penetapan prioritas.

materi

Reporter: Sabran

Session Oral 2

26okt 4

Akses dan utilisasi pelayanan kesehatan sangat menarik dan penting untuk didiskusikan, sesi oral presentasi yang kedua dipandu oleh dr. Bella Donna, M.Kes selaku Kepala Divisi bagian Bencana Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM ini terdapat empat presentan yang memaparkan hasil penelitian terkait akses dan utilisasi pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Perbandingan Biaya Kesehatan Katastrofik pada Rumah Tangga di Indonesia Tahun 2008 dan 2011

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Vini Aristianti, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung perbedaan kemampuan membayar Ability to Pay, menghitung perbedaan proporsi Catastrophic Health Expenditures, dan mengidentifikasi faktor-faktor Catastrophic Health Expenditure. Menurutnya, jika seseorang membayar biaya untuk pelayanan kesehatan, yang jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga, maka rumah tangga tersebut akan terjadi “bencana keuangan” sehingga akan memotong biaya untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengeluaran kesehatan katastrofik dari 2008 hingga 2011 yaitu sebanyak 0.29% di Indonesia, terdapat perbedaan kemampuan membayar pada rumah tangga untuk biaya pelayanan kesehatan, dimana faktor yang mempengaruhi pengeluaran kesehatan katastrofik diantaranya seperti : pendidikan kepala rumah tangga, jenis kelamin, rasio beban tanggungan, keberadaan lansia dalam rumah tangga, keberadaan balita dalam rumah tangga, status ekonomi, kepemilikan JKN dan lokasi tempat tinggal.

Peranan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Program Penanggulangan HIV dan AIDS Khususnya Pencegahan HIV melalui Transmisi Seks (PMTS) di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua

Hasil penelitian ini disampaikan olehHesty Tumangke, di awal presentasi Melkior menggambarkan tingginya kasus AIDS di Kabupaten Merauke dengan 85% dari 795 kasus termasuk HIV positif pada pekerja seks. Biaya kesehatan penderita HIV/AIDS memang sudah ditanggung penuh oleh pihak BPJS dan sudah ada sinkronisasi antara pihak daerah dengan BPJS, yang menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah kurangnya kepemilikan kartu BPJS pada pekerja seks karena adanya kesenjangan latar belakang pendidikan pemilik lokalisasi, para pekerja seks tidak mempunyai dokumen seperti KTP, KK dan adanya ketakutan saat mengurus berkas tersebut karena tidak mampu menjawab dimana mereka bertempat tinggal. Sehingga, perlu dilakukan edukasi pada pemilik lokalisasi terkait kepemilikkan kartu BPJS pada pekerja seks dan mengingat pengobatan penyakit penyerta infeksi oportunistik bagi ODHA cenderung lama perlu adanya kerjasama dari pihak BPJS dan dana KPS untuk RSUD.

Does JKN Incentivize Public-Private Mix in Tuberculosis Care?

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Edhie Santosa Rahmat, MD, MSc perwakilan dari USAID Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa saat ini penderita TB khususnya di daerah penelitian ini yaitu Jakarta, Jember dan Medan lebih memilih private sector untuk akses pelayanan kesehatan padahal private sector saat ini cenderung tidak melaporkan data penderita TB ke pemerintah, kemudian diagnosis TB cenderung kurang tepat karena tidak adanya pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang diberikan cenderung berbeda dengan program pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya strategi, koordinasi antara private sector dan pemerintah, agar private sector dapat berkontribusi terhadap kualitas diagnosis sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat untuk penderita TB sesuai dengan program pemerintah pada era JKN ini.

Analisis Unit Klaim dalam Sistem Tagihan Peserta JKN di RSUD Kota Padang Panjang Tahun 2017

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Maihendra, SKM. AAK, M.Kes, bahwa perubahan sistem pembiayaan dari fee for service ke pola tarif INA-CBG’s menimbulkan berbagai permasalahan dalam implementasi INA-CBG’s sehingga Direktur membuat kebijakan membentuk unit klaim untuk mengatasi sistem tagihan peserta JKN. Hasilnya unit klaim yang mencakup kebijakan, tenaga dan sarana belum terlaksana secara maksimal dikarenakan belum adanya SOP pada kebijakan yang dibuat, kemudian pada unit klaim sarana karena belum adanya bridging system sehingga belum efektif dan efisien dalam memasukkan data ke aplikasi INA-CBG’s. Namun, dengan adanya kebijakan ini dinilai baik karena ada unit yang fokus serta terintegrasi dengan unit lain dalam penyelesaian klaim peserta JKN.

Di akhir sesi oral presentasi yang kedua ini banyak peserta yang antusias bertanya serta bertukar pikiran terkait akses dan utilisasi pelayanan kesehatan di Indonesia dan harapannya semua penelitian yang terlaksana dapat membantu menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia untuk mencapai Universal Health Coverage 2019.

Reporter : Nilasari

Reportase Sesi Paralel 3 dan 4

Konsep Pemberian Kompensasi Pada Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat

26okt 3

Sesi Paralel 4 menghadirkan 3 pembahas yaitu dr. Ismiwanto Cahyono, MARS selaku dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Ri. Kedua adalah dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK selaku Deputi Direksi Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat. Ketiga dr. Fachrurrazi, MM, AAK selaku Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan Pusat.

Materi

Di awal pembahasan, dr. Ismiwanto Cahyono, MARS menekankan menindaklanjuti UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dimana dijelaskan mengenai daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan dan belum memenuhi syarat, dalam kalimat tersebut terdapat kata-kata “memenuhi syarat” setelah melakukan penelusuran lebih jauh lagi hingga sampai saat ini, dimana belum ada yang menguraikan atau menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat” atau dengan kata lain belum mempunyai definisi operasional yang jelas.

Selanjutnya dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK menjelaskan bahwa dalam hal puskesmas yang tidak memungkinkan untuk dibayarkan menggunakan kapitasi maka dapat dibayarkan dengan mekanisme lain yang lebih berdaya guna, proses ini masih dalam proses penghitungan kembali apakah daerah tersebut masih memungkinkan untuk dibayarkan kapitasi atau tidak, namun apabila puskesmas tersebut tetap tidak memungkinkan maka dibuat mekanisme yang lain, sehingga daerah yang tidak terjangkau dapat terlayani dengan mekanisme atau metode yang lain. Saat ini sedang dilakukan 3 kajian terkait metode pembayaran kapitasi untuk daerah yang tidak memungkinkan untuk diberikan kapitasi, kajian pertama adalah dengan melihat 130 PKM dengan Unit Cose tertinggi, Kedua real cost biaya di FKTP untuk melihat kapitasi yag dibayarkan apakah kelebihan atau kekurangan, Ketiga efektifitas pelayanan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK), dari hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan suatu solusi mekanisme pembayaran di FKTP yang lebih efektif dan efisien termasuk mengatasi permasalahan di daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat.

Saran yang diberikan oleh dr. Fachrurrazi, MM, AAK terkait definisi untuk daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat adalah dengan membuat definisi operasional terlebih dahulu sehingga diharapkan nantinya tidak adanya tumpang tindih antara regulasi yang ada, apabila regulasi tersebut berseberangan atau dengan kata lain tidak saling mendukung akan berdampak pada terjadinya kebingungan bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan.

26okt 2

Kemampuan Fiskal dalam Membiayai Sektor Kesehatan

26okt 7

Topik yang diangkat dalam sesi paralel 3 Forum Nasional VII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia mengenai kemampuan fiskal dalam membiayai belanja di sektor kesehatan. Hadir dalam kesempatan ini Bimo Wijayanto (Tenaga Ahli Utama, Kantor Staf Kepresidenan, Kedeputian Bidang Kajian Isu-isu Sosial Budaya dan Ekologi Strategis), Wahyudi Sulestyanto (Kasubdit Pemantauan dan Evaluasi Pendapatan Asli Daerah, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan), Wahyu Utomo (Kepala Bidang Kebijakan Belanja Pusat dan Pembiayaan, Kementerian Keuangan RI), dan Prof. Hasbullah Thabrany, (Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional). Membuka sesi ini, Giovanni Van Empel (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM) menyampaikan beberapa isu terkait dengan kapasitas fiskal dalam membiayai belanja sektor kesehatan khususnya dalam konteks defisit/mismatch dana JKN. Sebagaimana disampaikan, komitmen untuk mencapai anggaran 5% untuk kesehatan telah tercapai pada tahun 2016. Proporsi belanja kesehatan juga mencapai 7% dari total belanja negara pada tahun yang sama. Akan tetapi, kondisi defisit dana JKN setiap tahun selalu menimbulkan perdebatan tentang skenario kebijakan yang akan diambil. Hal ini disebabkan karena kapasitas fiskal Indonesia yang diharapkan mampu menyokong belanja negara kurang mendukung pembiayaan sektor publik, termasuk sektor kesehatan dan secara spesifik program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa pada dasarnya kinerja JKN dinilai cukup positif, akan tetapi masih memiliki banyak celah yang harus ditutupi. Diakui bahwa anggaran Indonesia untuk kesehatan masih cukup rendah jika dibandingkan negara ASEAN lain. Indonesia berada pada urutan 4 terendah di atas Kamboja, Myanmar, dan Laos. Hal ini tentu berimplikasi pada outcome kesehatan nasional seprti capaian angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) serta indikator lainnya. Beberapa strategi diterapkan pemerintah antara lain dengan meningkatkan pendapatan dari pajak melalui kebijakan tax amnesty, meminimalisir penggelapan pajak dengan menerapkan undang-undang, dan beberapa strategi lain yang diharapkan dapat berdampak pada peningkatan alokasi pembiayaan sektor publik, khususnya JKN. Menanggapi hal ini, Bimo menyampaikan bahwa sudah saatnya pemerintah memilih program prioritas. Selain itu, keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam membiayai program kesehatan perlu dilakukan, termasuk sinergisitas investasi keduanya. Perluasan cakupan JKN melalui peningkatan kesadaran penduduk (voluntary compliance) peserta bukan penerima upah (PBPU) mutlak dilakukan. Peningkatan pendapatan dari cukai misalnya rokok juga merupakan salah satu alternatif yang cukup potensial untuk menutup defisit dana JKN, meskipun pengelolaan dana bagi hasil tembakau di daerah masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan.

Wahyudi Sulestyanto menambahkan, kebijakan di lingkungan Kementerian Keuangan terkait dengan anggaran di daerah yang dialokasikan untuk sektor kesehatan antara lain dana perimbangan (dana alokasi khusus bidang kesehatan), dana bagi hasil (cukai), dan pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun undang-undang mengamanatkan alokasi dana APBN minimal 5% dan APBD 10% untuk kesehatan, pada kenyataannya di daerah belum terjadi sinergi alokasi antara beberapa sumber dana dalam mendukung layanan kesehatan. Sekitar 14% dari APBD masih dialokasikan untuk belanja pegawai, bukan murni untuk belanja layanan kesehatan. Selain itu, beberapa sumber dana tersebut belum diarahkan juga dialokasikan untuk JKN dalam rangka membantu menutup defisit. Oleh karena itu, perlu regulasi untuk mensinergikan aokasi dana pusat dan daerah untuk mendukung pembiayaan JKN.

Wahyu Utomo menekankan bahwa JKN memiliki nilai yang strategis baik dari sisi ekonomi maupun fiskal. Disampaikan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara outcome kesehatan dengan kapasitas fiskal. Kementerian keuangan sangat mendukung kebijakan JKN agar terlaksana secara efektif, memiliki keberlangsungan finansial, serta memiliki dukungan kapasitas fiskal yang cukup sehingga berdampak pada masyarakat luas. Beberapa ukuran yang diharapkan tercapai yaitu terjadinya peningkatan akses yang ditandai dengan meningkatnya utilisasi layanan kesehatan, adanya perlindungan finansial (financial protection) yang identik dengan rendahnya out of pocket, dan peningkatan kualitas layanan kesehatan yang merata. Menurut Wahyu, sudut pandang terhadap defisit dana JKN perlu diubah. Bukan hanya mitigasi yang ditekankan untuk mengatasi defisit, tapi road map JKN lah yang seharusnya diperkuat. Artinya, road map JKN harus jelas dan memiliki dampak yang terukur. Apabila JKN sudah dijalankan sesuai dengan road map namun terjadi defisit, maka pemerintsh bertanggung jawab untuk mengatasinya. Wahyu juga mengusulkan beberapa solusi terkait isu defisit dana JKN ini, yaitu mengoptimalkan kolektabilitas iuran, peningkatan kualitas layanan dan efisiensi melalui strategic purchasing termasuk melakukan review tarif INA-CBGs, cost sharing, dan mendorong FKTP sebagai gatekeeper, serta efisiensi layanan operasional BPJS Kesehatan itu sendiri melalui program kerja yang kredibel.

Sesi paralel 3 ini ditutup dengan paparan Prof. Hasbullah Thabrany yang menyatakan, permasalahan kesehatan Indonesia terjadi karena para pejabat publik belum memahami amanat undang-undang yang menegaskan bahwa setiap penduduk memiliki hak atas layanan kesehatan. Bagi Hasbullah, kurang tepat menjadikan ketidakmampuan fiskal sebagai alasan minimnya alokasi dana pemerintah untuk kesehatan, yang ada hanyalah “ketidakmauan fiskal”. Artinya, sebenarnya dana tersebut tersedia baik di level pemerintah pusat maupun daerah, namun pejabat publik enggan mengalokasikan dana tersebut untuk mendukung peningkatan kesehatan masyarakat. Banyak negara yang memiliki penghasilan lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia namun mampu mengalokasikan dana untuk kesehatan yang lebih tinggi. Hal ini berarti akar permasalahan bukan berada pada kemampuan finansial, akan tetapi prioritas. Kesehatan belum menjadi prioritas bahkan belum dijadikan sebagai kebutuhan dasar di Indonesia. Seringkali sektor kesehatan menjadi korban politik kepentingan di Indonesia. Oleh sebab itu, beberapa rekomendasi sebagai penutup sesi ini antara lain perlunya dukungan regulasi untuk mendorong fleksibilitas penggunaan dana JKN di daerah termasuk sisi akuntabilitas penggunaannya, perlunya mitigasi yang strategis untuk menghadapi defisit dana JKN, serta perbaikan sistem serta kualitas layanan kesehatan dalam cakupan JKN.

Reportase oleh: Dedik Sulistiawan

Reportase Keynote 1 – 3

26okt 1

Pengantar terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disampaikan oleh Shita Listya Dewi, Ph.D selaku moderator pada Keynote II dan III, yang dilaksanakan pada hari kedua pelaksanaan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan ke – VII di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. Sesi ini mendiskusikan mengenai pengalaman dan tantangan dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta di Thailand dan pemaparan hasil studi terkait implementasi kebijakan JKN di Indonesia.

Nopphol Witvorapong, PhD dari Center for Health Economics, Universitas Chulalongkorn Thailand menjadi pembicara pertama dalam sesi ini. Nopphol menjelaskan mengenai pengalaman pemerintah Thailand dalam hal pengaturan kelembagaan dan perubahan kebijakan untuk mewujudkan cakupan kesehatan semesta. Thailand adalah salah satu negara dengan penghasilan rendah yang mencapai cakupan kesehatan semesta dengan terlebih dahulu melalui proses yang panjang. Sejarah Thailand terkait upaya tersebut dimulai pada 1975 dengan menciptakan skema Kartu Kesejahteraan Medis untuk kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Upaya tersebut mengalami banyak perubahan hingga pada 2001, pemerintah Thailand menerapkan “Kebijakan 30-Bath”, dimana seluruh masyarakat yang ingin mendaftarkan diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di setiap fasilitas kesehatan diwajibkan membayar 30 Baht. Pada 2002, kebijakan tersebut dihapuskan dengan disahkannya undang-undang Jaminan Kesehatan Nasional dan berganti nama menjadi cakupan kesehatan semesta.

Materi

Sebelum diterapkannya cakupan kesehatan semesta pada 2002, sekitar 18 juta penduduk Thailand tidak memiliki asuransi kesehatan. Di lain sisi, terdapat kesenjangan fasilitas baik fasilitas kesehatan dan fasilitas publik di perkotaan dan pedesaan, dan rendahnya pemanfaatan pelayanan rumah sakit. Cakupan kesehatan semesta yang dapat diraih oleh pemerintah Thailand diawali dengan proses persiapan, penyediaan, dan penataan sumber daya kesehatan secara bertahap dan melibatkan sektor swasta dan universitas. Upaya juga meliputi perbaikan sektor farmasi untuk memproduksi obat murah guna menciptakan kemandirian obat dalam negeri, memperkuat peran fasilitas kesehatan di masyarakat, pendekatan politik oleh organisasi profesi kesehatan dalam upaya mengarahkan investasi terkait kesehatan masyarakat, dan regulasi terkait insentif dan kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan publik di daerah pedesaan.

Hal serupa juga disampaikan oleh Cheryl Chasin, dari lembaga “Result for Development” yang membahas implementasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dari sudut pandang keadilan. Cheryl Chasin menjelaskan bahwa implementasi JKN yang berlangsung sejak 2014 membawa dampak positif dan negatif terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Aspek positif dari implementasi JKN berupa peningkatan yang berarti terhadap kepesertaan JKN. Selain itu, terdapat bukti nyata yang menunjukkan bahwa akses dan penggunaan JKN di Indonesia telah memihak kepada rakyat miskin dengan kualitas pelayanan yang sama tanpa memihak strata sosial. Jumlah pengeluaran negara terkait kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun juga merupakan salah satu dampak positif dari implementasi JKN. Meningkatnya pengeluaran negara tersebut disertai dengan rendahnya biaya yang dikeluarkan individu untuk mengakses layanan kesehatan. Namun di sisi lain, hal yang dianggap perlu proses perbaikan adalah aspek sumber daya yang bervariasi di masing-masing daerah, sehingga dapat dicapai pemerataan tidak hanya pada aspek kuantitas tetapi juga pada kualitas layanan kesehatan yang diberikan sebagai bagian dari aspek keadilan.

Hal yang dianggap perlu dilakukan terkait menjamin keadilan pelayanan kesehatan adalah memperjelas fungsi pengawasan secara berkala, keterbukaan akses informasi BPJS Kesehatan, dan koordinasi antara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam hal penerapan JKN di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Indonesia diharapkan dapat belajar dari pengalaman sebelumnya untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

Kesimpulan dari sesi ini adalah pentingnya peran aktif yang menyeluruh dari berbagi pihak terkait penerapan JKN guna mempersiapkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Indonesia dapat menjadikan pengalaman Thailand dengan melihat bahwa seluruh upaya yang dilakukan membutuhkan waktu dan proses yang besar, serta dilakukan secara menyeluruh dari berbagai aspek dengan melibatkan seluruh elemen pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Reportase: Muhammad Asrullah