Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Webinar Series UU Kesehatan

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 09:00 – 11:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membahas pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D mengantar webinar dengan pemaparan mengenai era baru sistem kesehatan dengan adanya UU Kesehatan khususnya terhadap persoalan One Health. One Health di Indonesia masih belum operasional dengan baik di lapangan dimana para pelaku lintas sektor dan lintas level pemerintah belum teridentifikasi dengan baik dan peran sektor swasta belum terkelola. Persoalan One Health sangat terkait dengan penyakit menular yang diatur dalam pasal 91 dan pasal 92 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Meski demikian, pasal-pasal lain yang terkait dengan penyakit menular sangat banyak dibahas dalam UU ini, yaitu dalam hal peran pemerintah pusat, daerah dan swasta; pemerataan pelayanan; perbekalan; teknologi kesehatan; pendanaan kesehatan; dan sebagainya. Keterkaitan antar pasal dalam UU Kesehatan menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah reformasi kesehatan yang membuka peluang untuk mereformasi gerakan One Health dengan prinsip Transformasi Kesehatan yang mempunyai landasan hukum UU Kesehatan. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat di One Health menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Kelompok ini akan berjalan jangka panjang termasuk meneliti pelaksanaan UU Kesehatan ini dan tim ini dapat menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam One Health serta melakukan penelitian-penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di One Health.

Narasumber utama: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

Memasuki sesi pembahasan, Gunawan Wahab menyampaikan materi mengenai pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap One Health dari arah ekosistem One Health dan permasalahannya. One Health merupakan pendekatan kolaboratif multisektoral untuk menyusun dan mengimplementasikan program, kebijakan yang bertujuan untuk mencapai kesehatan masyarakat yang optimal dengan mengenali interkonektivitas antara manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan bersama. Sains dan pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa kesehatan lingkungan (termasuk satwa) dan kesehatan manusia sangat berhubungan erat. Contoh masalah yang sedang berlangsung di indonesia yaitu adanya kasus rabies yang terus menerus menjadi ancaman bagi masyarakat indonesia termasuk anak-anak.

Dalam konsep One Health, stakeholders yang berperan ialah lintas sektor. Stakeholders yang berperan dari pemerintahan yaitu kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan; kementerian kesehatan; kementerian pertanian; kementerian lingkungan hidup; pusat pelayanan daerah, BUMN di sektor kesehatan dan pertanian. Sedangkan di bagian swasta yaitu dari IDI; PDHI; veteriner, puskesmas dan puskeswan; perusahaan swasta; perusahaan manufaktur vaksin; perusahaan manufaktur produk makanan hewan; startup kesehatan digital; organisasi non pemerintah (NGO), Lembaga penelitian; shelter. Pemetaan ini menunjukkan One Health merupakan kegiatan multi sektor yang rumit, lintas kementerian dan badan, melibatkan pendanaan pemerintah dan swasta, membutuhkan ilmu multidisiplin, namun belum memiliki ekosistem yang jelas.

Kondisi One Health yang ideal sesuai definisi belum tercapai, bagaimana kemungkinan pengaruh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023? Terhadap pasal 30, pasal 31 ayat (4) dan (5) serta pasal 89, pemerintah perlu memperkuat kebijakan tentang hewan, seperti kewajiban vaksin, larangan perdagangan dan konsumsi hewan liar dan kewajiban pelaporan kesehatan sebagai tindakan preventif atau pencegahan penyakit menular dari hewan ke manusia (zoonosis) yang termasuk dalam pelayanan kesehatan primer yang merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, pemda dan pemerintah desa. Rekomendasi terkait pasal 19 ayat (2) dan (3) dan pasal 24 yaitu menetapkan standarisasi industri hewan terutama veteriner, makanan dan shelter. Penguatan standarisasi terhadap proses beserta alur pelaporan penyakit menular yang ditemukan pada hewan maupun manusia oleh veteriner, dokter manusia maupun tenaga medis kepada pemerintah juga perlu diperhatikan. Selain itu, masih banyak pasal lain yang dapat dipakai untuk memperkuat One Health seperti pasal yang mengatur pemanfaatan teknologi di pasal 25, program edukasi masyarakat pada pasal 14, pasal tentang penelitian, dan lain sebagainya.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D. menekankan pentingnya inklusivitas, penta helix, collaborative leadership dan governance dalam menilik persoalan one health yang saat ini menjadi isu global dengan perhatian internasional yang besar. One Health melibatkan banyak sektor baik di tatanan nasional maupun global sehingga diperlukan mapping untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada terkait dengan UU Kesehatan ini. Upaya di sektor masing-masing untuk menguatkan One Health telah ada namun belum terlihat secara terpadu. Semangat penguatan One Health yang tercantum dalam UU bisa dihadirkan di peraturan turunan untuk menindaklanjuti One Health dan melibatkan multi sektor terkait One Health.

Diskusi tentang pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net  di laman UU Kesehatan.

Materi dan video

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video


 

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 7 September 2023
Pukul 09:30 – 11:00 WIB

  Kegiatan

 

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Jumat, 8 September 2023  |   Pukul: 09:30 – 11:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik perbekalan kesehatan, khususnya alat kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Dian K. Nurputra, Ph.D., M.Sc., Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) selaku moderator.

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan pengantar tentang era baru sistem kesehatan sejak disahkannya UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan alat kesehatan. Saat ini Indonesia masih menghadapi masalah klasik akibat dominansi produksi impor, kurangnya riset dalam negeri, dan belum adanya pemahaman mengenai penggunaan alkes untuk upaya preventif. Ketentuan terkait alat kesehatan dalam UU Kesehatan tercantum dalam BAB IX pasal 332 dan 333 mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan. Pasal ini melandasi pilar ketahanan industri farmasi dan alkes serta pertama kalinya ketahanan industri obat dan alkes masuk ke dalam undang undang. Selain dua pasal tersebut, terdapat pasal-pasal lain yang juga memiliki keterkaitan dengan alat kesehatan sehingga antar pilar dalam transformasi kesehatan juga saling terkait. Dengan demikian, UU Kesehatan merupakan sebuah reformasi kesehatan yang sejati yang memberikan peluang untuk reformasi industri alkes menggunakan prinsip transformasi kesehatan. Kelompok masyarakat di industri alkes perlu menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU, memberikan masukan ke pemerintah dalam menyusun peraturan turunan, hingga melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023. Kelompok ini akan menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam industri alkes.

video   materi

Sesi Pemaparan

Paparan disampaikan oleh apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila) yang menyebutkan berbagai isu terkait alkes saat ini, mulai dari akses ketersediaan alkes yang belum merata, mutu yang belum optimal, hingga ketahanan industri yang masih didominasi oleh produk impor dimana kapasitas industri dan kemampuan teknologi Indonesia masih rendah menengah. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan pasal 138 mengenai pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alkes dan PKRT dimuat pada ayat (1) (2) dan (3) mengenai produk yang tidak memenuhi standar serta ayat (4) mengenai pengadaan, produksi, dan penyimpanan.

Pasal 140 mengatur sediaan farmasi alkes dan PKRT untuk melindungi masyarakat dari bahaya namun tidak jelas bagaimana cara mengukurnya. Pasal 141 ayat (2) mengatur bahwa penggunaan alat harus dilakukan secara tepat guna. Pasal 142 mengatur standar dan persyaratan, sementara pasal 143 mengenai pemenuhan perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau daerah berdasarkan standar dan peraturan ketentuan perundang-undangan. Dalam BAB VII, pasal 314 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pemerataan perbekalan kesehatan.

Sementara terkait dengan ketentuan pidana terhadap setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi atau alkes yang tidak memenuhi standar terdapat pada bab XVIII pasal 345. Menilik seluruh pasal-pasal tersebut, isu akses terhadap alkes sudah tercantum dalam UU namun belum secara spesifik diatur mengenai prinsip perencanaan kebutuhan alkes, prioritas atau kriteria esensial untuk sektor publik dan pengendalian harga. Sedangkan terkait isu mutu, belum terdapat kejelasan kepastian hukum terkait regulatori alkes. Sistem jaminan mutu melalui fungsi regulatori perlu ditegakkan.

video   materi

Sesi Pembahasan

Dalam sesi pembahasan, Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan) menyampaikan bahwa sudah ada penekanan yang cukup dalam riset penelitian dan keterlibatan teknologi dengan semangat utama dalam hal keamanan, khasiat, dan mutu. Harapannya, akan diformulasikan bersama peta jalan pengembangan industri alkes yang menjelaskan mekanisme pengaturan tahapan pengembangan nasional ke kebutuhan alkes beserta standar minimal untuk melakukan pelayanan dengan baik. Selain itu, perlu aturan turunan tentang tata cara intervensi helix untuk memenuhi kebutuhan riset, perumusan TKDN, serta investasi alat kesehatan dalam negeri maupun luar negeri.

video

Dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Kefarmasian KADIN) menambahkan tanggapan terkait pentingnya koordinasi dan kolaborasi publikasi serta bagaimana mengumpulkan sumber daya peneliti untuk alkes. Di samping itu, aturan turunan nantinya perlu mempertegas peran dan tanggungjawab pemerintah pusat khususnya menunjuk leading sector yang jelas. Perhatian terhadap alkes perlu diperkuat sebab UU ini lebih banyak menyebutkan kefarmasian.

video

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai isu terkait pengelolaan alat kesehatan mulai dari global benchmarking, investasi dalam dan luar negeri, distribusi, pengendalian harga, hingga masalah maintenance alat kesehatan. Undang-Undang ini menjadi landasan hukum untuk membentuk kembali sistem dan proses di industri alkes sehingga terjadi perbaikan pada setiap tahap pengelolaannya.

Diskusi mengenai era baru perbekalan dan alat kesehatan terkait UU Kesehatan diharapkan tidak berhenti pada webinar ini. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 8 September 2023
Pukul 09:30 – 11:00 WIB

  Kegiatan

Moderator:
dr. Dian K. Nu rputra, Ph.D, M.Sc, Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta)


Pengantar Diskusi:
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber :
apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila)

video   materi


Pembahas:

Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan)

video


dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap bidang Kefarmasian dan Alkes KADIN)

video

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 10:30 – 12:00 WIB

14sept9

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-20 membahas pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan. Webinar dipandu oleh Ardhina Nugraheni, MPH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam pengantarnya menjelaskan tentang bagaimana kaitan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pelayanan kesehatan jantung. Saat ini, masalah yang dihadapi pelayanan jantung antara lain persebaran fasilitas kesehatan jantung dan dokter ahli jantung yang masih kurang merata serta kenaikan klaim di Jawa dan kota-kota besar yang meningkat tajam. Dengan adanya UU Kesehatan yang baru, apakah pasal-pasal terkait mampu mendorong reformasi di pelayanan jantung? Pasal-pasal pelayanan jantung secara implisit termuat di bab V tentang Upaya Kesehatan: Bagian ke-12 yaitu penanggulangan penyakit menular dan tidak menular; dan berkaitan dengan pilar transformasi pelayanan dari primer sampai tersier. Hal ini berhubungan dengan aspek pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan lain-lain. Sehingga, perlu untuk melihat berbagai pasal lainnya dan aturan turunannya.

Dengan UU Kesehatan ini, akan ada era baru pelayanan jantung. Akan ada peluang untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan jantung dengan menggunakan prinsip transformasi kesehatan dengan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2023. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat terkait misalnya organisasi profesi perhimpunan dokter spesialis Kardiovaskuler Indonesia atau LSM terkait yang bersama sama menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Tim akan bekerja bertahun-tahun ke depan termasuk melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di Upaya Kesehatan dalam Pelayanan Jantung dan dapat menjadi masyarakat praktisi bersinergi untuk tujuan yang sama.

Pembahasan oleh dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)
dan dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

Pembahas pertama, dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), menyampaikan bahwa masalah penyakit jantung masih menempati posisi tertinggi di Indonesia. Masalah maldistribusi dokter spesialis jantung di Indonesia masih terus terjadi. Solusi untuk masalah ini dari sisi pendidikan salah satunya adalah melalui penunjukan beberapa RS pusat pengampu pendidikan oleh Kementerian Kesehatan, bersama dengan kolegium jantung, yang berupaya meningkatkan kapasitas dan meng-upgrade pendidikan dokter spesialis yang saat ini ada 13 centers. Setiap pihak memiliki peran penting di setiap tahapan, dimana kolegium berperan sebagai pengontrol dalam proses pendidikan ini. Terdapat beasiswa untuk pendidikan dokter spesialis jantung ini, antara lain beasiswa dari Kementerian Kesehatan, daerah, dan LPDP yang sudah berjalan. Di sisi lain, primary prevention sudah dipelopori oleh UGM dan terus dikembangkan agar dapat diimplementasikan di seluruh Indonesia.

dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) sebagai pembahas kedua juga mengangkat masalah persebaran dokter spesialis jantung yang kurang merata, dimana saat ini terdapat 66 dokter spesialis jantung di DIY dengan jumlah penduduk diperkirakan 4 juta pada tahun 2023. Dampaknya, pasien penyakit jantung akan menumpuk dan pelayanan pasien dapat tertunda khususnya pada pasien BPJS. UU Kesehatan menawarkan solusi yang termuat dalam bagian keenam tentang registrasi dan perijinan, khususnya pada paragraph kedua tentang perijinan pada pasal 263-267, dimana SIP diterbitkan oleh pemda yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menetapkan kuota tenaga medis dan tenaga kesehatan tanpa ada ketentuan batasan jumlah tempat praktik. Selain itu, pada kondisi tertentu menteri dapat menerbitkan SIP dan pada kondisi tertentu bisa tanpa SIP. Pasal 267 UU Kesehatan memuat mekanisme surat tugas yang dikeluarkan oleh Menteri untuk kepentingan pemenuhan pelayanan kesehatan. Seluruh ketentuan dalam pasal 263-267 memerlukan aturan turunan yang lebih detail dalam peraturan pemerintah.

UU Kesehatan ini membuka peluang reformasi kesehatan yang dapat dimanfaatkan dengan berpartisipasi aktif dalam mengawal PP serta menjemput bola untuk audiensi ke stakeholder, pemerintah pusat atau pemda sebagai pengambil keputusan. Secara konkrit, direkomendasikan bagi dinas untuk berkoordinasi dengan IDI dan PERKI dalam menetapkan kuota tenaga medis sampai dengan penerbitan SIP. Sementara untuk penanggulangan PTM, perlu perhatian dan dana khusus untuk program prevensi serta perlu mendorong pemerintah pusat dan pemda untuk bekerja bersama dengan OP untuk penanggulangan PTM mulai dari skrining, preventif, sampai dengan rehabilitatif.
Dalam sesi diskusi, gagasan untuk mentransformasi pelayanan jantung dibahas lebih mendalam. Pelayanan jantung selama ini lebih banyak berfokus di sisi kuratif di rumah sakit dengan alat dan pembiayaan yang besar. Diharapkan upaya preventif untuk pelayanan jantung juga memperoleh perhatian dan diperkuat dengan adanya UU Kesehatan ini.

Diskusi tentang pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator: Ardhina Nugraheni, MPH


Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Pembahas: dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)

video


dr. Real Kusumanjaya Marsam, Sp.JP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Diskusi ke-3 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Rabu, 9 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 – 14:00 WIB

Rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mulai berfokus pada topik yang lebih spesifik. Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang menitikberatkan pada pembahasan topik Kesehatan Jiwa dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan usulan untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan jiwa serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

9ags1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobsdikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19.Meski demikian, dengan pengalaman Covid-19, Transformasi Sistem Kesehatan dicanangkan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia.

Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Dengan masuk ke UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kesehatan jiwa diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik termasuk dalam hal pendanaan, SDM Kesehatan, teknologi, obat-obatan, dan berbagai pendukung lainnya yang tercantum dalam UU Omnibus Law (OBL) Kesehatan. Meski demikian, harapan ini bergantung pada kualitas penulisan regulasi turunan UU Kesehatan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya kesehatan jiwa.

video   materi

9ags2

Pembicara Utama: Diana Setyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, Direktur Centre for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM.

Pemaparan diawali dengan definisi kesehatan menurut WHO yang tidak hanya bermakna sehat fisik melainkan juga sehat mental yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas generasi di masa depan. Berbagai upaya kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan, antara lain terkait dengan disparitas upaya kesehatan jiwa di berbagai daerah, keterbatasan akses, fasilitas, tenaga kesehatan jiwa, dan program kesehatan, faktor sosial seperti stigma masyarakat, hingga faktor ekonomi. Disebutkan oleh Diana bahwa Indonesia merupakan negara dengan persentase mental health policy sebesar 25%. Kemudian Diana memaparkan bagaimana kondisi pelayanan keswa pada rezim Undang-Undang No. 18 Tahun 2014. Selama ini, program kesehatan jiwa lebih berfokus pada penanganan dan manajemen ODGJ, sementara kegiatan promosi dan prevensi masih terbatas pada deteksi dini dan belum ada perspektif komprehensif maupun pendekatan sepanjang rentang kehidupan terhadap sistem kesehatan jiwa. Energi dan potensi dinas kesehatan tersita untuk menangani masalah terkait keterbatasan obat, SDM kesehatan jiwa, secara tidak langsung ini mengakibatkan rendahnya literasi dan edukasi dalam kesehatan jiwa. Dengan demikian, perspektif positif yang perlu dibangun adalah menjadikan UU Kesehatan sebagai reformasi sistem kesehatan jiwa.

Secara umum, UU Kesehatan banyak membahas mengenai kesehatan jiwa, tidak hanya dalam Pasal 74-85 secara spesifik, melainkan juga secara integrasi dengan upaya kesehatan lainnya. Undang-Undang Kesehatan telah menggarisbawahi konsep bahwa kesehatan jiwa tidak hanya mengenai absent of mental illness melainkan juga bagaimana seseorang dapat hidup produktif. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa harus sepanjang siklus kehidupan manusia, dan bukan hanya untuk ODGJ melainkan untuk seluruh masyarakat. Upaya kesehatan jiwa diatur untuk dilaksanakan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan, yang mana diharapkan termasuk di sekolah dan tempat kerja.

Indonesia sebelumnya termasuk negara yang memiliki stand-alone mental health policy, meski demikian setelah UU Kesehatan OBL ini diharapkan Indonesia tetap memiliki regulasi turunan terkait kesehatan jiwa yang kuat. Oleh karena itu, diharapkan good mental health system dapat tertuang dalam regulasi turunan UU Kesehatan, antara lain: governance and leadership, financing and payment, facilities and infrastructure, human resources, mentah health services and programs, mental health information systems, serta research, monitoring, and evaluation. Narasumber menyampaikan berbagai rekomendasi terhadap turunan UU Kesehatan terkait upaya kesehatan jiwa, antara lain: penguatan kelembagaan dan pendekatan sistem dan multisector untuk penanganan kesehatan jiwa yang komprehensif; pengembangan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan; menjaga kesehatan jiwa masyarakat dengan strategi edukasi, promosi, dan prevensi lintas disiplin dan lintas sektor; pengembangan standar dan pemenuhan sarana prasarana dan SDM kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan; optimalisasi berbagai skema pembiayaan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa berkesinambungan; serta pengembangan sistem informasi kesehatan jiwa yang terintegrasi dan peningkatan penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa.

video   materi

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi terhadap berbagai pertanyaan dan masukan yang disampaikan oleh peserta dari Ikatan Psikolog Klinik Indonesia, puskesmas, dinas kesehatan, dan mahasiswa. Diskusi banyak membahas mengenai hambatan dan tantangan yang selama ini terjadi dalam upaya kesehatan jiwa, terutama terkait dengan keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, kompetensi yang harus dimiliki, upaya strategis untuk lebih berfokus pada promotif dan preventif, hingga telemedisin dan telekonsultasi terkait dengan kesehatan jiwa. Dalam diskusi ini digarisbawahi bahwa melalui UU Kesehatan ini, pemerintah daerah dan pemerintah pusat perlu memastikan ketersediaan SDM kesehatan yang tertulis dalam pasal UU Kesehatan adalah termasuk tenaga kesehatan jiwa, salah satunya psikolog klinik. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada video berikut

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa masuknya kesehatan jiwa dalam UU Kesehatan OBL merupakan kesempatan emas yang membuka pintu bagi inovasi-inovasi baru dalam upaya kesehatan jiwa. Namun demikian, tantangan besar saat ini adalah untuk lebih proaktif untuk menyampaikan rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan yang terkait kesehatan jiwa kepada Kementerian Kesehatan. Diharapkan diskusi tidak berakhir dalam webinar ini melainkan terus dilanjutkan, termasuk di dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan, sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab kebutuhan kesehatan jiwa di Indonesia.

video

Reporter: Valentina L Prabandari, Nila Munana

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Kesehatan Jiwa
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan dan langkah-langkah selanjutnya.
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang,

 

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 19:30 – 21:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-22 yang membahas proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan. Webinar ini dipandu oleh dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Webinar dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang menjelaskan bahwa terdapat ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kolegium menjadi organisasi penting yang bekerja sama untuk menguji kompetensi dokter secara nasional. Terkait kolegium, terdapat interpretasi pada pasal 272 ayat (1) pada kata “cabang ilmu” dan perannya untuk menyusun standar. Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat membantu merumuskan masukan mengenai kolegium, proses sertifikasi, dan kredensial dokter kepada pemerintah untuk penyusunan PP sebagai turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP memantik diskusi dengan 3 kata kunci yang perlu dibahas yaitu sertifikat kompetensi, STR, SIP yang menuai banyak keluhan. Bagaimana proses memperbaharui surat kompetensi untuk kemudian memperoleh STR? Jika di luar negeri dokter umum bisa menjadi internship dan langsung menjadi dokter layanan primer atau spesialis, bagaimana di Indonesia?

Pembahasan oleh dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K) selaku narasumber utama menyampaikan presentasi tentang proses sertifikasi kedensial dokter “umum” pasca UU kesehatan. Saat ini di Indonesia mulai bermunculan banyak universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran, namun kualitas pendidikan menjadi sorotan yang perlu diperhatikan, sehingga perlu ada pihak yang memegang tanggungjawab pengawasan kualitas pendidikan. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa mahasiswa yang sudah lulus uji kompetensi akan memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikasi. Kemudian setelah lulus internship, dokter dapat memilih apakah akan melanjutkan pendidikan ke PPDS 1, 2, atau fellow maupun jenjang karir lain.

Proses kredensial (pemberian hak istimewa untuk memberikan pelayanan kesehatan) sebelumnya dilakukan oleh KKI berupa pemberian sertifikat registrasi (Surat Tanda Registrasi/STR). Namun saat ini, dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 260 disebutkan bahwa STR diterbitkan oleh konsil atas nama Menteri dan berlaku seumur hidup. Hal ini diikuti dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 261. Pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan pasal 12 UU Nomor 17 tahun 2023. Mekanisme kontrol ini perlu dijelaskan dalam peraturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023.

Sesi Diskusi

Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK memberikan tanggapan dengan menyampaikan pembahasan mengenai riwayat kolegium untuk dokter umum dan “abuse of power” organisasi profesi yang berpotensi melanggar hukum dan perundang-undangan. Makna pengertian kolegium menurut UU Nomor 17 Tahun 2023 lebih bersifat umum yaitu kumpulan ahli untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan sehingga diperlukan penjelasan yang lebih detail tentang kolegium untuk dokter umum dalam aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023. dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) menanggapi dengan menyampaikan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 membawa perubahan besar dimana kolegium saat ini akan berada di bawah negara, bukan lagi di bawah organisasi. dr. Erfen juga menyampaikan bahwa meski STR berlaku seumur hidup, namun untuk ijin praktik berupa SIP masih memerlukan proses P2KB yang dirancang akan langsung di bawah Kementerian Kesehatan. Hal ini berpengaruh sangat besar untuk mengatasi “power abuse” organisasi profesi.

Dalam sesi diskusi dibahas tentang sertifikat kompetensi dokter umum, STR dokter umum, dan kompetensi tambahan dokter umum yang harus dipertimbangkan dengan meletakkan kepentingan publik. Ketentuan-ketentuan terkait hal-hal ini pelu diperjelas dalam aturan turunan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mana memerlukan peran aktif, tidak hanya Kementerian Kesehatan namun juga Dikti/Kemendikbudristek.

Diskusi tentang proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses sertifikasi dan kredensial dokter. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Materi dan Video

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video 

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 14 September 2023
Pukul 19:30 – 21:00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video 

Diskusi ke-4 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

Diskusi ke-4 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

Kamis, 10 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 – 14:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan. Sesi ini akan dimoderatori oleh dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo. Melalui diskusi ini diharapkan dapat muncul rekomendasi-rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan serta memberikan gambaran mengenai penggunaan websitetentang UU Kesehatan.

10ags5

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. mengenai UU Kesehatan dan kaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar dari reformasi kesehatan di Indonesia. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobs dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi yang dimulai dengan mengidentifikasi masalah, mendiagnosa masalah, membentuk rencana, mendapatkan persetujuan politik, kemudian dilaksanakan dengan diikuti langkah-langkah monitoring dan evaluasi. Secara historis, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh di Indonesia yang mengelola berbagai control knobs secara bersamaan sebelum pandemi Covid-19. Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law ini merupakan dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan yang merupakan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia. Undang-Undang Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, salah satunya terkait dengan Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan. Meski demikian, pertanyaan-pertanyaan berikut perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi kebijakan terhadap peraturan turunan UU Kesehatan: apakah IT ada di semua pasal? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif?

Video   materi

10ags6

Pembicara Utama: Anis Fuad, S.Ked., DEA., Peneliti dan Kepala Divisi e-Health PKMK FK-KMK UGM

Sesi pembahasan disampaikan oleh pembicara utama yaitu Anis Fuad, S.Ked., DEA (Peneliti PKMK Bidang e-Health). UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 memuat 20 Bab mulai dari Ketentuan Umum hingga Ketentuan Penutup. Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan secara spesifik dibahas dalam Bab X dan XI. Tetapi jika dipelajari, komponen sistem informasi dapat ditemukan dalam Ketentuan Umum, Tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Upaya Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, Kejadian Luar Biasa, Pendanaan Kesehatan. Namun mengapa tidak semua komponen bagian itu memuat sistem informasi dan teknologi kesehatan? Jika mengacu pada 10 Essential Public Health Services, sistem informasi dan teknologi kesehatan semestinya terkait erat dengan seluruh layanan mulai dari proses assessment, policy development, hingga assurance. Di samping itu, mengacu pada Data Use Partnership: Theory of Change, dalam mendukung siklus pemanfaatan data diperlukan komponen-komponen berikut: strategy and investment, standards and interoperability, infrastructure, workforce, legislation, policy, and compliance, services and applications, serta leadership and governance. Sebagian besar komponen ini termuat dalam Bab XI UU Kesehatan dan sebagian lainnya mungkin termuat dalam Bab-Bab lainnya.

Sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 termuat sebagai salah satu komponen dari sumber daya kesehatan, sehingga aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya kesehatan mestinya juga berkaitan dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) jika tidak ada pengecualian. Beberapa substansi SIK dalam UU Kesehatan berkaitan dengan 6 komponen besar, yaitu: tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah; penyelenggaraan kesehatan; upaya kesehatan; fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas dan RS); SDM Kesehatan dalam hal peraturan pendukung bagi tenaga kesehatan yang terkait dengan digitalisasi; dan SDM Kesehatan dalam hal yang spesifik pada aspek perencanaan, pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kerja, serta penyelenggaraan praktik. Substansi sistem informasi kesehatan diatur sebagai salah satu bagian di UU Kesehatan pasal 345-351 yang memuat prinsip fundamental dalam penyelenggaraan SIK. Sementara, substansi teknologi kesehatan diatur sebagai salah satu bagian di UU Kesehatan pasal 334-344. Kesemuanya ini memerlukan regulasi turunan.

Substansi UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 yang berkaitan dengan SIK dan Teknologi Kesehatan terdiri dari 3 topik besar: (1) pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan serta precision medicine; (2) penguatan sistem informasi kesehatan, termasuk kewenangan pemerintah dalam memanfaatkan data kesehatan melalui integrasi berbagai sistem informasi kesehatan ke dalam Sistem Informasi Kesehatan Nasional; dan (3) penguatan pendanaan kesehatan terkait penyelenggaraan sistem informasi pendanaan kesehatan dan menjamin pelayanan kesehatan yang berkeadilan. Sehingga, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan JKN juga semestinya akan diperkuat dengan sistem informasi.

Terdapat suatu kemajuan yang luar biasa pada Undang-Undang Kesehatan, dimana UU Kesehatan menempatkan terminologi khusus yaitu telemedisin yang dibedakan dari telekesehatan. Hal ini perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan turunan UU Kesehatan, bagaimana penyelenggaraan telekesehatan maupun telemedisin, dan bagaimana peraturan tersebut dapat mengelaborasi komponen-komponen yang sebelumnya tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 Tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2020. Muatan dalam Bab X tentang Teknologi Kesehatan sangat canggih dan detail dari sisi kemajuan teknologi. Akan tetapi terkait dengan isu pemanfaatan teknologi kesehatan, ketentuan mengenai pemeliharaan, kalibrasi, dan upaya menjaga kualitas teknologi yang telah masuk ke fasilitas pelayanan kesehatan perlu diperkuat dalam peraturan turunan UU Kesehatan.

Isu menarik lainnya adalah terkait dengan Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam pasal 197 yang terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung kesehatan. Dalam Pasal 199, untuk tenaga kesehatan telah mencakup tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, bahkan termasuk tenaga kesehatan tradisional. Namun, tenaga IT maupun data scientist tidak muncul pada pasal ini. Pasal 200 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga pendukung kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, hal ini perlu dikawal dengan kuat sehingga tenaga IT dapat memperoleh tempat di sektor kesehatan.

video   materi

10ags7

Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang banyak membahas mengenai tantangan terkait pengelolaan tenaga sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan, baik dalam hal rekrutmen maupun capacity building, yang mana terkait pula dengan sumber daya finansial yang memadai. Terlebih, target lulusan IT cenderung lebih mengarah pada sektor swasta maupun konsultan IT dibandingkan pada sektor pemerintah. Isu tenaga IT ini merupakan isu lintas sektor sehingga pembahasan ini memerlukan pembahasan lintas kementerian sehingga secara regulasi dapat difasilitasi. Meski demikian, sektor kesehatan sendiri sebaiknya telah memiliki kerangka konsep yang jelas mengenai tenaga sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan yang dituangkan dalam peraturan turunan Undang-Undang Kesehatan ini. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada link video berikut

video

Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini memang merupakan sebuah awal dari suatu pengembangan. Oleh karena itu, diharapkan teman-teman pakar IT fokus dalam membantu pemerintah untuk penyusunan peraturan turunan UU Kesehatan ini. PKMK berupaya memfasilitasi hal ini melalui website UU kesehatan www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan ini sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab berbagai tantangan Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan di Indonesia.

Reporter:
dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM. & Nila Munana, S.HG., MHPM.

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Sistem Informatika dan Teknologi Kesehatan.
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang

Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi Pasca Penerbitan UU No. 17 Tahun 2023: Tidak Terikat Waktu dan Kurikulum, Bersifat Moduler

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi Pasa Penerbitan UU No. 17 Tahun 2023: Tidak Terikat Waktu dan Kurikulum, Bersifat Moduler)

Selasa, 19 September 2023  |   Pukul: 09:00 – 11:00 WIB

20sept2

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-23 yang membahas peluang pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi pasca penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2023. Webinar ini dipandu oleh dr. Aditiawardana, SpPD, KGH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D memberikan pengantar dengan menggarisbawahi salah satu tujuan UU Kesehatan yaitu meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan. Salah satu contoh masalah akses pelayanan kesehatan yang masih terjadi di Indonesia adalah biaya klaim katarak per provinsi tahun 2015-2021, dimana fasilitas tingkat lanjut belum merata, terjadi backlog di operasi katarak, rata-rata pasien katarak yang belum dioperasi masih banyak. Contoh kasus lain yaitu di RS kota/kabupaten yang masih membutuhkan dokter spesialis obsgin tambahan agar bisa menjadi RS PONEK dan kematian ibu masih tinggi. Lalu bagaimana inovasi untuk menambah dokter spesialis? Apakah UU Kesehatan ini bisa menjadi inovasi?

Narasumber utama: dr. Ganis Irawan, Sp.PD
(Ketua Konsorsium Residensi Hospital Based PW Muhammadiyah Jateng)

dr. Ganis Irawan, Sp.PD memaparkan presentasi mengenai model residensi berbasis rumah sakit secara modular dan flextime. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengangkat model residensi baru yaitu hospital based, dari yang sebelumnya adalah university based, sehingga diperlukan perumusan model hospital based residency yang memiliki perbedaan jelas dengan model yang sudah ada sekaligus bisa menjawab permasalahan yang ada. Isu penting dalam pendidikan spesialis yang belum terselesaikan dengan sistem lama antara lain bahwa dokter spesialis dan residen terkonsentrasi di Jawa, residen bekerja 60 jam per minggu tanpa gaji, biaya PPDS yang mahal, serta diskriminasi usia masuk PPDS. Model residensi berbasis RS berpeluang menjadi katalisator penting untuk menyelesaikan isu-isu tersebut dalam waktu yang relatif singkat.

Kriteria RS yang dapat melaksanakan model residensi hospital based ini adalah konsorsium RSMA tipe B dan C, tidak harus merupakan RS pendidikan, memiliki dokter pendidik klinis yang relevan, serta bersedia memposisikan residen sebagai pekerja yang terlibat dalam alur pelayanan. Standar kompetensi mengikuti standar dari kolegium, pemenuhan dan pemahiran dengan rotasi di beberapa RSMA, serta uji kompetensi di setiap selesai satu modul kompetensi. Dalam model baru ini, universitas berperan dalam pelatihan dokter pendidik klinis serta pemberian gelar spesialis. Gelar spesialis dapat diperlakukan sebagaimana kebijakan untuk sarjana ilmu terapan yang bisa lulus tanpa harus skripsi.

Modular, dalam terminologi digital, artinya perubahan fungsi suatu produk dapat dilakukan hanya dengan menambah atau mengurangi satu bagian kecil (modul). Sebagai contoh untuk residen interna, misalkan kolegium ada 6 kompetensi spesialis penyakit dalam, kemudian ada seorang dokter umum ditambah dengan kompetensi DM, maka dokter tersebut dapat diberi kewenangan klinis DM dan dihargai BPJSKes. Residensi berbasis RS dapat menutup gap layanan di RS, memiliki direct benefit bagi RS penyelenggara, dan residen digaji oleh direct beneficiary (RS tempat training).

Pembahasan oleh dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M

dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M selaku pembahas menyampaikan bahwa meski UU Kesehatan belum sempurna, namun UU ini telah membuka pintu gerbang untuk perbaikan, yaitu dengan adanya payung hukum pendidikan berbasis rumah sakit. Pemerintah telah memiliki formula dimana pendidikan spesialis dan pelayanan berjalan dengan seiring. Hal ini tidak boleh melenceng dari standar pendidikan nasional, standar profesi, dan standar kompetensi sehingga harus dirumuskan menjadi panduan berupa modul yang dapat dipertanggungjawabkan dalam keilmuan atau penerapannya. Harus ada sinergi antara colegium university based dan hospital based sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan saling melengkapi.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi dibahas tentang konsep distribusi layanan spesialistik dan model academic health system pasca disahkannya UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan. Undang-Undang Kesehatan ini memberi peluang terkait jumlah dan kompetensi pendidikan spesialis dan bersifat fleksibel sehingga berpotensi mengatasi masalah pemerataan dan kebutuhan daerah yang bervariasi.

Diskusi tentang peluang pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi pasca penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses sertifikasi dan kredensial dokter. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

  Materi dan Video Narasumber

Moderator: dr. Aditiawardana, SpPD KGH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video   materi


Pembicara: dr. Ganis Irawan, Sp.PD (Ketua Konsorsium Residensi Hospital Based PW Muhammadiyah Jateng)

video   materi


Pembahas: Dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

Diskusi ke-5 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Diskusi ke-5 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 08:30 – 10:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Industri Obat dan Alat Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk peraturan turunan UU Kesehatan terkait Industri Obat dan Alat Kesehatanserta memberikan gambaran mengenai penggunaan website UU Kesehatan.

11ags 1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan memberikan pengantar untuk memahami UU Kesehatan sebagai dasar hukum reformasi kesehatan. Reformasi kesehatan yang sejati dilakukan dengan mengelola tombol-tombol kebijakan dalam sistem kesehatan secara bersama-sama. Secara historis, belum pernah ada reformasi kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi COVID-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan melakukan transformasi sebagai percepatan reformasi kesehatan dengan mengaktifkan banyak tombol kebijakan yang diatur dalam UU Kesehatan. Hal inilah yang mendasari mengapa UU Kesehatan Omnibus Law ini disebut sebagai UU Kesehatan yang reformis. Didasarkan pada UU ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan dimana salah satu pilarnya adalah terkait industri obat dan alat kesehatan. Lalu bagaimana muatan UU Kesehatan ini dengan industri obat dan alkes? Apakah ada pasal-pasalnya? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif? Pertanyaan ini perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan.

video   materi

Pembicara pertama: Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

11ags 2Sesi pembahasan pertama oleh Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati diawali dengan mapping unsur kefarmasian yang membutuhkan regulasi turunan UU Kesehatan dengan total 121 regulasi. Diantaranya terdapat 8 RPP yang dibutuhkan di bidang farmasi tentang: (1) pengamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT; (2) praktik kefarmasian; (3) ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan; (4) penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep; (5) penggolongan obat bahan alam; (6) pelaksanaan penelitian, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan obat bahan alam; (7) percepatan pengembangan dan ketahanan industry sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan (8) standar, sistem dan tata kelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau wabah. Pada webinar ini Prof. Zullies berfokus pada praktik kefarmasian dan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep.

Terkait praktik kefarmasian, disebutkan bahwa praktek kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang meliputi apoteker spesialis, apoteker dan tenaga vokasi farmasi dengan pembagian kewenangan disesuaikan dengan lingkup dan tingkat kompetensi dan kualifikasi tertinggi. Melihat hal ini, perlu ditetapkan regulasi untuk menjawab pertanyaan berikut: bagaimana kualifikasi pendidikannya? Bagaimana level KKNI-nya? Bagaimana karakteristik, kewenangan dan kompetensi profesionalnya? Terkait dengan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep, Pasal 320 menyebutkan bahwa selain obat bebas dan obat bebas terbatas, obat keras tertentu dapat diberikan oleh apoteker. Ketentuan ini memberikan ruang pada apoteker untuk bergerak pada daerah yang selama ini “abu-abu”, namun pemerintah perlu menetapkan indikasi dan ketentuan yang lebih jelas dan mendetail. Penjelasan tentang perbedaan konsep pelayanan menggunakan obat (pengobatan berdasarkan resep, pengobatan tanpa resep, dan swamedikasi) juga dibutuhkan dalam regulasi turunan UU Kesehatan ini.

Video   materi

Pembicara kedua: Dr. Apt. Hilda Ismail, Msi, Kepala Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan

11ags 3Sesi pembahasan berikutnya disampaikan oleh Dr. Hilda Ismail, Msi, Apt yang lebih berfokus pada Bab IX UU Kesehatan mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan yang berisi 11 pasal yaitu pasal 322-333. Indonesia masih mengalami masalah ketergantungan pada impor bahan baku obat (BBO) dan alat kesehatan, dimana impor BBO mencapai lebih dari 90% pada 2020. Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan utama pengembangan produksi obat tradisional yaitu memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar, baik dari sisi keamanan, mutu dan efikasi, dengan kualitas dan kuantitas yang memenuhi kebutuhan. Indonesia juga masih melakukan impor alat kesehatan mencapai 91.5% pada 2020.

Menilik masalah dan tantangan tersebut, usulan untuk regulasi turunan UU Kesehatan terkait produksi BBO dan alkes adalah perlunya penjelasan dan penegasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: (1) standar efikasi, keamanan, dan kualitas produk sediaan farmasi maupun alkes yang dikembangkan, diproduksi hingga digunakan dalam pengobatan; (2) penguatan kerjasama antar komponen pendukung dalam sistem ABG untuk kemandirian sediaan farmasi dan alkes; (3) penguatan dan fasilitasi pemanfaatan teknologi baru dalam proses produksi sediaan farmasi dan alkes; dan (4) penekanan pemanfaatan teknologi informasi dalam upaya peningkatan ketahanan sediaan farmasi maupun alkes.

video   materi

 

Sesi Diskusi:
Dalam sesi diskusi, diungkapkan bahwa UU Kesehatan ini memberi tempat bagi ketahanan farmasi pada level Undang-Undang, yang mana sebelumnya hanya pada level Inpres. Selain itu, terkait keorganisasian, terdapat ruang untuk menata kembali bagaimana organisasi profesi, kolegium atau cabang ilmu di bidang farmasi yang sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang. Diskusi juga membahas mengenai tanggung jawab riset di pemerintah pusat maupun daerah, yang mana baik dari pemerintah pusat maupun daerah dapat ambil bagian pada upaya penelitian dan pengembangan BBO bersumber alam. Dengan demikian, suatu kerja serius perlu dilakukan untuk membuat regulasi turunan UU Kesehatan ini. Berbagai pihak yang terdampak oleh UU ini perlu berpartisipasi karena regulasi turunan akan bersifat lebih praktis.

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini adalah fase awal dan diharapkan para pakar dapat mencermati UU Kesehatan ini. Sebab, undang-undang ini adalah UU OBL, yang mana akan bisa berjalan dengan baik jika kita memahami tidak hanya UU yang terkait bidang tertentu saja melainkan juga terkait dengan pendanaan, SDM, dan aspek lainnya. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM & Nila Munana, S.HG., MHPM.

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik Industri Obat dan Alkes
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang,

  Waktu Kegiatan

Jam (WIB) PIC / Narasumber
08.35 – 08.50

Pengantar Diskusi
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar dan Konsultan PKMK FK-KMK)

materi

08.50 – 09.10

Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati
(Guru Besar dan Peneliti di bidang Farmakologi, Farmasi Klinik, dan Farmakogenomik cluster Fakultas Farmasi UGM)

materi

09.10 – 09.30

Dr. Hilda Ismail, M.Si., Apt
(Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan UGM)

materi

09.30 – 09.55 Moderator, Narasumber dan Peserta
09.55-10.00 Rangkuman diskusi
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Sosialisasi Halaman tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan

Sosialisasi Halaman tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
pada website kebijakankesehatanindonesia.net

Jumat, 22 September 2023  |   Pukul: 14:00 – 14:30 WIB

  Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Menyusul setelah pengundangan tersebut, pada bulan September 2023 ini Pemerintah telah mempublikasikan rancangan Peraturan Pemerintah yang direncanakan menjadi peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023. Selaras dengan hal tersebut, pemerintah juga membuka kesempatan untuk berpartisipasi dalam perancangan Peraturan Pemerintah tersebut. PKMK FK-KMK UGM berupaya untuk mengelola agar rancangan peraturan pemerintah ini tersosialisasi dengan baik dan dapat terbaca dengan baik. Oleh sebab itu dikembangkanlah halaman khusus dalam website yang dikelola yaitu pada https://kebijakankesehatanindonesia.net. Terdapat keinginan agar jejaring, mahasiswa dan akademisi yang terhubung dengan PKMK FK-KMK UGM dapat tersosialisasikan dengan baik, dan kedepannya memiliki kesempatan untuk menentukan arah kebijakan kesehatan di Indonesia dalam partisipasi masyarakat untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mensosialisasikan terkait cara mengakses Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan
  2. Mensosialisasikan tentang terbukanya partisipasi masyarakat untuk memasukkan usulan pasal-pasal sesuai dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Anggota Jaringan Kebijakan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI)
  2. Akademisi/Dosen dan Mahasiswa Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM
  3. Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK ) FK-KMK UGM
  4. Peneliti dari lembaga penelitian dan Think Tank lainnya
  5. Akademisi/Dosen dan Mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta lainnya

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 14 September 2023
Pukul 10:30 – 12:00 WIB

Link Zoom

ID Zoom : 899 1263 9460
Passcode : 276527
Streaming : PKMK FK-KMK UGM (CH 1)

  Kegiatan

Moderator:
Eurica Stefany Wijaya, S.H., M.H.


Pemaparan Sosialisasi halaman Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan pada kebijakankesehatanindonesia.net
oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D


 

 

 

 

Diskusi ke-6 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Diskusi ke-6 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:00 WIB

Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #6 berfokus pada topik pembahasan topik Kesehatan Mata dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas tentang UU Kesehatan sebagai sebuah reformasi. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu tombol kebijakan dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan berupaya mempercepat reformasi kesehatan melalui proses Transformasi Sistem Kesehatan yang mengelola banyak tombol kebijakan dalam bentuk pilar-pilar transformasi. Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Upaya kesehatan pendengaran dan penglihatan termuat dalam UU Kesehatan ini pada Bab V Bagian 10 pasal 71-73, namun dalam memahaminya perlu untuk menelaah pula bagian lain yang terkait dengan pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan sebagainya. Selanjutnya berbagai ketentuan dalam UU ini akan diturunkan dalam regulasi turunan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat mencapai tujuan reformasi kesehatan terkait kesehatan mata.

VIDEO

Pembicara Utama: dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D (Kepala Departemen Ophtalmology FK-KMK UGM, Ahli Vitreo-retina bedah dan medis)

11ags 4Sesi pembahasan disampaikan oleh dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D yang menjelaskan bahwa UU Kesehatan yang mengatur tentang pelayanan kesehatan mata hanya termuat dalam 3 pasal dan bersifat sangat generic. Namun, dalam UU Kesehatan ini terdapat kata kunci yang menarik di Pasal 72 ayat (1) bahwa upaya kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Kata kunci ini menggarisbawahi pentingnya sistem surveillance yang selama ini masih belum optimal. Sebelumnya sistem surveillance ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan 82 tahun 2020 dan masih banyak area abu-abu yang belum jelas sehingga belum optimal. Hal ini juga terkait pada pasal 72 ayat (2) dimana pemerintah pemerintah pusat dan daerah dapat menetapkan gangguan penglihatan atau pendengaran tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah. Dari pasal tersebut bisa membuat aturan turunan terkait pendanaan, pendayagunaan dan infrastruktur. Sehingga di aturan turunan perlu diperjelas supaya kita bisa memetakan secara lebih akurat daerah mana terkait gangguan penglihatan dan pendengaran sehingga bisa mendukung strategi nasional kesehatan mata yang efektif dan tepat sasaran.

video


Sesi Diskusi:
Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas tentang telemedisin untuk upaya kesehatan mata, yang mana telemedisin telah diatur dalam UU Kesehatan ini. Aturan turunan UU Kesehatan perlu memberikan rambu-rambu yang jelas untuk pelaksanaannya sehingga upaya kesehatan mata dengan konsep “rumah sakit tanpa dinding” dapat memperoleh payung regulasi yang jelas. Diskusi juga membahas task-shifting dalam upaya kesehatan mata. Task-shifting untuk kesehatan mata saat ini masih jauh dari pemikiran karena dibutuhkan waktu, infrastruktur dan effort yang cukup besar untuk melatih dokter umum dalam tindakan medis penanganan kasus mata, berbeda dengan melatih dokter umum untuk tindakan bedah minor. Sehingga, strategi saat ini masih mengarah pada afirmasi pendidikan spesialis mata untuk dokter umum yang akan ditempatkan di daerah terpencil. UU Kesehatan memiliki sisi inovasi pada isu ini dimana terdapat pendekatan baru yang memungkinkan daerah untuk membangun kerjasama sister hospital kaitannya dengan pendidikan spesialis hospital-based. Potensi segmen pasar non-BPJS untuk pelayanan kesehatan menjadi isu menarik untuk didiskusikan yang mana juga terkait dengan muatan UU Kesehatan pada aspek pendanaan.

video

11ags 5

Sesi Penutup:

Dalam sesi penutup, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menyampaikan bahwa para pakar kesehatan mata, spesialis mata, kesehatan masyarakat dan sebagainya harus aktif dalam menyusun dan memberikan masukan untuk regulasi turunan UU Kesehatan ini. Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD juga mengarahkan bahwa diskusi dapat dilanjutkan di website yang telah dikembangkan oleh PKMK: https://kebijakankesehatanindonesia.net

video

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik kesehatan mata
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang